Anda di halaman 1dari 22

NEUROTRANSMITTER PADA PASIEN SKIZOFRENIA

BAB I
PENDAHULUAN

I. Latar Belakang
Dalam berbagai tinjauan penelitian berbasis imunoneuropatobiologis
menunjukkan bahwa neurotransmiter berperanan sangat penting dalam gangguan
perilaku dan gangguan psikiatrik. Neurotransmiter yang berpengaruh pada
terjadinya gangguan perilaku dan pskiatrik diantaranya adalah dopamin,
norepinefrin, serotonin, GABA, glutamat dan asetilkolin. Selain itu, penelitian-
penelitian juga menunjukksan adanya kelompok neurotransmiter lain yang
berperan penting pada timbulnya mania, yaitu golongan neuropeptida, termasuk
endorfin, somatostatin, vasopresin dan oksitosin. Diketahui bahwa
neurotransmiter-neurotransmiter ini, dalam beberapa cara, tidak seimbang
(unbalanced) pada otak individu mania dibanding otak individu normal. GABA
diketahui menurun kadarnya dalam darah dan cairan spinal pada pasien mania.
Norepinefrin meningkat kadarnya pada celah sinaptik, tapi dengan serotonin
normal. Dopamin juga meningkat kadarnya pada celah sinaptik, menimbulkan
hiperaktivitas dan agresivitas mania, seperti juga pada skizofrenia. Antidepresan
trisiklik dan MAO inhibitor yang meningkatkan epinefrin bisa merangsang
timbulnya mania, dan antipsikotik yang memblok reseptor dopamin yang
menurunkan kadar dopamin bisa memperbaiki mania, seperti juga pada
skizofrenia (Guyton & Hall, 2006).
Otak menggunakan sejumlah senyawa neurokimiawi sebagai pembawa
pesan untuk komunikasi berbagai bagian di otak dan sistem saraf. Senyawa
neurokimiawi ini, dikenal sebagai neurotransmiter, sangat esensial bagi semua
fungsi otak. Sebagai pembawa pesan, mereka datang dari satu tempat dan pergi ke
tempat lain untuk menyampaikan pesan-pesannya. Bila satu sel saraf (neuron)
berakhir, di dekatnya ada neuron lainnya. Satu neuron mengirimkan pesan dengan
mengeluarkan neurotrasmiter menuju ke dendrit neuron di dekatnya melalui celah
sinaptik, kemudian ditangkap oleh reseptor-reseptor pada celah sinaptik tersebut
(Baehr & Frotscher, 2012).
Neurotransmiter adalah senyawa organik endogenus yang membawa
sinyal di antara neuron. Neurotransmiter terbungkus oleh vesikel sinapsis,
sebelum dilepaskan bertepatan dengan datangnya potensial aksi. Neurotransmitter
dalam bentuk zat kimia bekerja sebagai penghubung antara otak ke seluruh
jaringan saraf dan pengendalian fungsi tubuh. Secara sederhana, dapat dikatakan
bahwa neurotransmiter merupakan bahasa yang digunakan neuron di otak dalam
berkomunikasi. Neurotransmiter muncul ketika ada pesan yang harus di
sampaikan ke bagian-bagian lain (Baehr & Frotscher, 2012).
Seluruh aktivitas kehidupan manusia yang berkenaan dengan otak di atur
melalui tiga cara, yaitu sinyal listrik pada neuron, zat kimiawi yang disebut
neurotransmitter dan hormon yang dilepaskan ke dalam darah. Hampir seluruh
aktivitas di otak memanfaatkan neurotransmitter (Baehr & Frotscher, 2012).

Beberapa neurotransmiter utama, antara lain:

 Asam amino: asam glutamat, asam aspartat, serina, GABA, glisina


 Monoamina: dopamin, adrenalin, noradrenalin, histamin, serotonin,
melatonin
 Bentuk lain: asetilkolina, adenosina, anandamida, dll.
Puluhan jenis neurotransmiter yang telah teridentifikasi dibentuk melalui
asupan yang berbeda. Bahan dasar pembentuk neurotransmiter adalah asam
amino.
Asam amino merupakan salah satu nutrisi otak terpenting, yang berfungsi
meningkatkan kewaspadaan, mengurangi kesalahan, dan memacu kegesitan
pikiran (Guyton & Hall, 2006).
Jaringan otak terdiri atas berjuta-juta sel otak yang disebut neuron. Sel ini
terdiri atas badan sel, ujung axon dan dendrit. Antara ujung sel neuron satu
dengan yang lain terdapat celah yang disebut celah sinaptik atau sinapsis. Satu
neuron menerima berbagai macam informasi yang datang, mengolah atau
mengintegrasikan informasi tersebut, lalu mengeluarkan responsnya yang dibawa
suatu senyawa neurokimiawi yang disebut neurotransmiter. Terjadi potensial aksi
dalam membran sel neuron yang memungkinkan dilepaskannya molekul
neurotransmiter dari axon terminalnya (prasinaptik) ke celah sinaptik lalu
ditangkap reseptor di membran sel dendrit dari neuron berikutnya. Terjadilah
loncatan listrik dan komunikasi neurokimiawi antar dua neuron. Pada reseptor
bisa terjadi “supersensitivitas” dan “subsensitivitas”. Supersensitivitas berarti
respon reseptor lebih tinggi dari biasanya, yang menyebabkan neurotransmiter
yang ditarik ke celah sinaptik lebih banyak jumlahnya yang berakibat naiknya
kadar neurotransmiter di celah sinaptik tersebut. Subsensitivitas reseptor adalah
bila terjadi sebaliknya. Bila reseptor di blok oleh obat tertentu maka
kemampuannya menerima neurotransmiter akan hilang dan neurotransmiter yang
ditarik ke celah sinaptik akan berkurang yang menyebabkan menurunnya kadar
(jumlah) neurotransmiter tertentu di celah sinaptik (Baehr & Frotscher, 2012).
(Sumber: www.macalester.edu)
Suatu kelompok neurotransmiter adalah amin biogenik, yang terdiri atas
enam neurotransmiter yaitu dopamin, norepinefrin, epinefrin, serotonin,
asetilkolin dan histamin. Dopamin, norepinefrin, dan epinefrin disintesis dari
asam amino yang sama, tirosin, dan diklasifikasikan dalam satu kelompok sebagai
katekolamin. Serotonin disintesis dari asam amino triptofan dan merupakan satu-
satunya indolamin dalam kelompok itu. Serotonin juga dikenal sebagai 5-
hidroksitriptamin (5-HT) (Guyton & Hall, 2006).
Selain kelompok amin biogenik, ada neurotransmiter lain dari asam
amino. Asam amino dikenal sebagai pembangun blok protein. Dua
neurotransmiter utama dari asam amino ini adalah gamma-aminobutyric acid
(GABA) dan glutamat. GABA adalah asam amino inhibitor (penghambat), sedang
glutamat adalah asam amino eksitator. Kadang cara sederhana untuk melihat kerja
otak adalah dengan melihat keseimbangan dari kedua neurotransmiter tersebut
(Baehr & Frotscher, 2012).
Bila oleh karena suatu hal, misalnya subsensitivitas reseptor-reseptor pada
membran sel paskasinaptik, neurotransmiter epinefrin, norepinefrin, serotonin,
dopamin menurun kadarnya pada celah sinaptik, terjadilah sindrom depresi.
Demikian pula bila terjadi disregulasi asetilkolin yang menyebabkan menurunnya
kadar neurotransmiter asetilkolin di celah sinaptik, terjadilah gejala depresi (Baehr
& Frotscher, 2012).

Monoamin dan Depresi

 Penelitian menunjukkan bahwa zat-zat yang menyebabkan berkurangnya


monoamin, seperti reserpin, dapat menyebabkan depresi. Akibatnya timbul
teori yang menyatakan bahwa berkurangnya ketersediaan neurotransmiter
monoamin, terutama NE dan serotonin, dapat menyebabkan depresi. Teori
ini diperkuat dengan ditemukannya obat antidepresan trisiklik dan
monoamin oksidase inhibitor yang bekerja meningkatkan monoamin di
sinap. Peningkatan monoamin dapat memperbaiki depresi (Guyton & Hall,
2006).

Serotonin

 Neuron serotonergik berproyeksi dari nukleus rafe dorsalis batang otak ke


korteks serebri, hipotalamus, talamus, ganglia basalis, dan hipokampus.
Proyeksi ke tempat-tempat ini mendasari keterlibatannya dalam gangguan-
gangguan psikiatrik. Ada sekitar 14 reseptor serotonin, 5-HT1A dan
seterusnya yang terletak di lokasi yang berbeda di susunan saraf pusat.
 Serotonin berfungsi sebagai pengatur tidur, selera makan, dan libido.
Sistem serotonin yang berproyeksi ke nukleus suprakiasma hipotalamus
berfungsi mengatur ritmik sirkadian (siklus tidur-bangun, temperatur
tubuh, dan fungsi axis HPA). Serotonin bersama-sama dengan
norepinefrin dan dopamin memfasilitasi gerak motorik yang terarah dan
bertujuan. Serotonin menghambat perilaku agresif pada mamalia dan
reptilia.
 Kelainan serotonin (5HT) berimplikasi terhadap beberapa jenis gangguan
jiwa yang mencakup ansietas, depresi, psikosis, migren, gangguan fungsi
seksual, tidur, kognitif. dan gangguan makan.
 Banyak tindakan dalam perawatan gangguan jiwa adalah dengan jalan
mempengaruhi sistem serotonin tersebut.
 Fungsi utama dari serotonin (5HT) adalah dalam pengaturan tidur,
persepsi nyeri, mengatur status mood dan temperatur tubuh serta berperan
dalam perilaku agresi atau marah dan libido.
 Gejala defisit : irritabilitas & agresif, depresi & ansietas, psikosis, migren,
gangguan fungsi seksual, gangguan tidur & gangguan kognitif, gangguan
makan, Obsessive Compulsive Disorder (OCD)
 Gejala berlebihan : sedasi, penurunan sifat dan fungsi agresi. Pada kasus
yang jarang: halusinasi
 Neurotransmiter serotonin terganggu pada depresi. Dari penelitian dengan
alat pencitraan otak terdapat penurunan jumlah reseptor pos-sinap 5-HT1A
dan 5-HT2A pada pasien dengan depresi berat. Adanya gangguan
serotonin dapat menjadi tanda kerentanan terhadap kekambuhan depresi.
 Dari penelitian lain dilaporkan bahwa respon serotonin menurun di daerah
prefrontal dan temporoparietal pada penderita depresi yang tidak mendapat
pengobatan. Kadar serotonin rendah pada penderita depresi yang agresif
dan bunuh diri.
 Triptofan merupakan prekursor serotonin. Triptofan juga menurun pada
pasien depresi. Penurunan kadar triptofan juga dapat menurunkan mood
pada pasien depresi yang remisi dan individu yang mempunyai riwayat
keluarga menderita depresi. Memori, atensi, dan fungsi eksekutif juga
dipengaruhi oleh kekurangan triptofan. Neurotisisme dikaitkan dengan
gangguan mood, tapi tidak melalui serotonin. Ia dikaitkan dengan fungsi
kognitif yang terjadi sekunder akibat berkurangnya triptofan.
 Hasil metabolisme serotonin adalah 5-HIAA (hidroxyindolaceticacid).
Terdapat penurunan 5-HIAA di cairan serebrospinal pada penderita
depresi. Penurunan ini sering terjadi pada penderita depresi dengan usaha-
usaha bunuh diri.
 Penurunan serotonin pada depresi juga dilihat dari penelitian EEG tidur
dan HPA aksis. Hipofrontalitas aliran darah otak dan penurunan
metabolisme glukosa otak sesuai dengan penurunan serotonin. Pada
penderita depresi mayor didapatkan penumpulan respon serotonin
prefrontal dan temporoparietal. Ini menunjukkan bahwa adanya gangguan
serotonin pada depresi (Guyton & Hall, 2006).

Asetilkolin

 Neuron kolinergik mengandung asetilkolin yang terdistribusi difus di


korteks serebri dan mempunyai hubungan timbal balik dengan sistem
monoamin. Abnormal kadar kolin (prekursor asetilkolin) terdapat di otak
pasien depresi. Obat yang bersifat agonis kolinergik dapat menyebabkan
letargi, anergi, dan retardasi psikomotor pada orang normal. Selain itu, ia
juga dapat mengeksaserbasi simptom-simptom depresi dan mengurangi
simptom mania.
 Hipotesis kolinergik mengklaim bahwa penurunan fungsi kognitif pada
demensia terutama terkait dengan penurunan neurotransmisi kolinergik.
Hipotesis ini telah menyebabkan minat yang besar dalam keterlibatan
putatif dari neurotransmisi kolinergik dalam proses pembelajaran dan
memori.
 Fungsi asetilkolin antara lain mempengaruhi kesiagaan, kewaspadaan, dan
pemusatan perhatian. Berperan pula pada proses penyimpanan dan
pemanggilan
kembali ingatan, atensi dan respon individu. Di otak, asetilkolin ditemukan
pada
cerebral cortex, hipocampus (terlibat dalam fungís ingatan), bangsal
ganglia
(terlbat dalam fungís motoris), dan cerebelum (koordinasi bicara dan
motoris).
Ach merupakan neurotransmitter yang tidak diproduksi di dalam neuron.
Ia
ditransportasikan ke otak dan ditemukan pada seluruh bagaian otak. AcH
memiliki
konsentrasi tinggi di basal ganglia dan cortex motorik.
 Fungsi utama Acetylcholine (ACh) adalah mengatur atensi, memori, rasa
haus, pengaturan mood, tidur REM, memfasilitasi perilaku sexual dan
tonus otot.
 Gejala defisit: kurangnya inhibisi, berkurangnya fungsi memori, euphoria,
antisosial, penurunan fungsi bicara
 Gejala berlebihan: over-inhibisi, anxietas & depresi dan keluhan somatik
 Asetilkolin merupakan neurotransmiter hasil sintesa dari bahan utama
berupa kolin (Guyton & Hall, 2006).

Noradrenergik atau Norepinefrin

 Norepinefrin memiliki konsentrasi tinggi di dalam locus ceruleus serta


dalam konsentrasi sekunder dalam hipocampus, amigdala, dan korteks
serebral. Selain itu ditemukan juga dalam konsentrasi tinggi di saraf
simpatis.
 Norepinefrin dipindahkan dari celah sinaptik dan kembali ke penyimpanan
melalui proses reuptake aktif.
 Fungsi Utama adalah mengatur fungsi kesiagaan, pusat perhatian dan
orientasi; mengatur “fight-flight”dan proses pembelajaran dan memory.
 Gejala defisit : ketumpulan, kurang energi (fatique), depresi.
 Gejala berlebihan : anxietas, kesiagaan berlebih, penurunan rasa awas,
paranoia, kurang nafsu makan, dan paranoid.
 Badan sel neuron adrenergik yang menghasilkan norepinefrin terletak di
locus ceruleus(LC) batang otak dan berproyeksi ke korteks serebri, sistem
limbik, basal ganglia, hipotalamus dan talamus. Ia berperan dalam mulai
dan mempertahankan keterjagaan (proyeksi ke limbiks dan korteks).
Proyeksi noradrenergik ke hipokampus terlibat dalam sensitisasi perilaku
terhadap stressor dan pemanjangan aktivasi locus ceruleus dan juga
berkontribusi terhadap rasa ketidakberdayaan yang dipelajari. Locus
ceruleus juga tempat neuron-neuron yang berproyeksi ke medula adrenal
dan sumber utama sekresi norepinefrin ke dalam sirkulasi darah perifer.
 Stresor akut dapat meningkatkan aktivitas LC. Selama terjadi aktivasi
fungsi LC, fungsi vegetatif seperti makan dan tidur menurun. Persepsi
terhadap stressor ditangkap oleh korteks yang sesuai dan melalui talamus
diteruskan ke LC, selanjutnya ke komponen simpatoadrenal sebagai
respon terhadap stressor akut tersebut. Porses kognitif dapat memperbesar
atau memperkecil respon simpatoadrenal terhadap stressor akut tersebut.
 Rangsangan terhadap bundel forebrain (jaras norepinefrin penting di otak)
meningkat pada perilaku yang mencari rasa senang dan perilaku yang
bertujuan. Stressor yang menetap dapat menurunkan kadar norepinefrin di
forebrain medial. Penurunan ini dapat menyebabkan anergia, anhedonia,
dan penurunan libido pada depresi.
 Hasil metabolisme norepinefrin adalah 3-methoxy-4-hydroxyphenilglycol
(MHPG). Penurunan aktivitas norepinefrin sentral dapat dilihat
berdasarkan penurunan ekskresi MHPG. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa MHPG mengalami defisiensi pada penderita depresi.
Kadar MHPG yang keluar di urin meningkat kadarnya pada penderita
depresi yang di ECT (terapi kejang listrik) (Guyton & Hall, 2006).

Dopamin
 Berbagai penelitian menunjukkan dopamin juga makin mendekatkan pada
kesimpulan bahwa neurotransmiter jenis ini mempengaruhi proses
pengingatan. Melalui mekanisme kompensasi yang dimunculkan oleh
dopamin, maka hubungan zat kimia ini dalam proses belajar dan ingatan
dapat terlihat jelas.
 Dopamin diproduksi pada inti-inti sel yang terletak dekat dengan sistem
aktivasi retikuler. Dopamin di bentuk dari asam amino tirosin, yang
berfungsi membantu otak mengatasi depresi, meningkatkan ingatan dan
meningkatkan kewaspadaan mental.
 Walaupun dopamin di produksi oleh otak, individu tetap membutuhkan
asupan tirosin yang cukup guna memproduksi dopamin. Tirosin di
temukan pada makanan berprotein seperti : daging, produk-produk susu
(sperti keju), ikan , kacang panjang, kacang-kacangan dan produk kedelai.
Dengan 3-4 ons protein sehari, energi kita akan lebih terjaga.
 Fungsi Dopamin sebagai neururotransmiter kerja cepat disekresikan oleh
neuron-neuron yang berasal dari substansia nigra, neuron-neuron ini
terutama berakhir pada regio striata ganglia basalis. Pengaruh dopamin
biasanya sebagai inhibisi.
 Dopamin bersifat inhibisi pada beberapa area tapi juga eksitasi pada
beberapa area. Sistem norepinefrin yang bersifat eksitasi menyebar ke
setiap area otak, sementara serotonin dan dopamin terutama ke regio
ganglia basalis dan sistem serotonin ke struktur garis tengah (midline).
 Ada empat jaras dopamin di otak, yaitu tuberoinfundobulair, nigrostriatal,
mesolimbik, mesokorteks-mesolimbik. Sistem ini berfungsi untuk
mengatur motivasi, konsentrasi, memulai aktivitas yang bertujuan, terarah
dan kompleks, serta tugas-tugas fungsi eksekutif. Penurunan aktivitas
dopamin pada sistem ini dikaitkan dengan gangguan kognitif, motorik, dan
anhedonia yang merupakan manifestasi simptom depresi (Guyton & Hall,
2006).

Glutamat
 Asam amino glutamat dan glisin merupakan neurotransmiter utama di
SSP, yang terdistribusi hampir di seluruh otak. Ada 5 reseptor glutamat,
yaitu NMDA, kainat, L-AP4, dan ACPD. Bila berlebihan, glutamat bisa
menyebabkan neurotoksik. Obat-obat yang antagonis terhadap NMDA
mempunyai efek antidepresan.
 Glutamat merupakan neurotransmitter eksitatori utama pada otak dimana
hampir tiap area otak berisi glutamate. Glutamat memiliki konsentrasi
tinggi di kortikostriatal dan di dalam sel serebelar. Gangguan pada
neurotrasmitter ini akan berakibat gangguan atau penyakit bipolar afektif
dan epilepsi.
 Fungsi utama glutamat adalah pengaturan kemampuan memori dan
memelihara fungsi otomatik.
 Gejala defisit : gangguan memori, low energy, distractibilitas.
schizophrenia
 Gejala berlebihan : kindling, seizures dan bipolar affective disorder
(Guyton & Hall, 2006).

GABA

 GABA merupakan neurotransmitter yang memegang peranan penting


dalam gejala-gejala pada gangguan jiwa. Hampir tiap-tiap area otak berisi
neuron-neuron GABA.
 GABA (gamma-aminobutyric acid) memiliki efek inhibisi terhadap
monoamin, terutama pada sistem mesokorteks dan mesolimbik.
 Pada penderita depresi terdapat penurunan GABA. Stressor kronik dapat
mengurangi kadar GABA dan antidepresor dapat meningkatkan regulasi
reseptor GABA. Banyak jalur di otak menggunakan GABA dan
merupakan Neurotransmitter utama untuk sel Purkinje. GABA
dipindahkan dari sinaps melalui katabolism oleh GABA transaminase.
 Fungsi utama adalah menurunkan arousal dan mengurangi agresi,
kecemasan dan aktif dalam fungsi eksitasi.
 Gejala defisit : irritabilitas, hostilitas, tension and worry, anxietas, seizure.
 Gejala berlebihan : mengurangi rangsang selular, sedasi dan gangguan
memori (Guyton & Hall, 2006).

HPA aksis (Hypothalamic-Pituitary-Adrenal)

 Bila pengalaman yang berbentuk stressor dalam kehidupan sehari-hari kita


tercatat dalam korteks serebri dan sistem limbik sebagai stresor atau emosi
yang mengganggu, bagian dari otak ini akan mengirim pesan ke tubuh.
Tubuh meningkatkan kewaspadaan untuk mengatasi stressor tersebut.
Target adalah kelenjar adrenal. Adrenal akan mengeluarkan hormon
kortisol untuk mempertahankan kehidupan. Kortisol memegang peranan
penting dalam mengatur tidur, nafsu makan, fungsi ginjal, sistem imun,
dan semua faktor penting kehidupan. Peningkatan aktivitas glukokortikoid
(kortizol) merupakan respon utama terhadap stressor. Kadar kortisol yang
meningkat menyebabkan “umpan balik”, yaitu hipotalamus menekan
sekresi cortikotropik-releasing hormone (CRH), kemudian mengirimkan
pesan ini ke hipofisis sehingga hipofisi juga menurunkan produksi
adrenocortictropin hormon (ACTH). Akhirnya pesan ini juga diteruskan
kembali ke adrenal untuk mengurangi produksi kortisol.
 Pengalaman buruk seperti penganiayaan pada masa anak atau penelantaran
pada awal perkembangan merupakan faktor yang bermakna untuk
terjadinya gangguan mood pada masa dewasa.
 Sistem CRH merupakan sistem yang paling terpengaruh oleh stressor yang
dialami seseorang pada awal kehidupannya. Stressor yang berulang
menyebabkan peningkatan sekresi CRH, dan penurunan sensitivitas
reseptor CRH adenohipofisis. Stressor pada awal masa perkembangan ini
dapat menyebabkan perubahan yang menetap pada sistem neurobiologik
atau dapat membuat jejak pada sistem saraf yang berfungsi merespon
respon tersebut. Akibatnya, seseorang menjadi rentan terhadap stressor
dan resiko terhadap penyakit-penyakit yang berkaitan dengan stressor
meningkat, seperti terjadinya depresi setelah dewasa.
 Stressor pada awal kehidupan seperti perpisahan dengan ibu, pola
pengasuhan buruk, menyebabkan hiperaktivitas sistem neuron CRH
sepanjang kehidupannya. Selain itu, setelah dewasa, reaktivitas aksis HPA
sangat berlebihan terhadap stressor.
 Adanya faktor genetik yang disertai dengan stressor di awal kehidupan,
mengakibatkan hiperaktivitas dan sensitivitas yang menetap pada sistem
saraf. Keadaan ini menjadi dasar kerentanan seseorang terhadap depresi
setelah dewasa. Depresi dapat dicetuskan hanya oleh stressor yang
derajatnya sangat ringan.
 Peneliti lain melaporkan bahwa respons sistem otonom dan hipofisis-
adrenal terhadap stressor psikososial pada wanita dengan depresi yang
mempunyai riwayat penyiksaan fisik dan seksual ketika masa anak lebih
tinggi dibanding kontrol.
 Stressor berat di awal kehidupan menyebabkan kerentanan biologik
seseorang terhadap stressor. Kerentanan ini menyebabkan sekresi CRH
sangat tinggi bila orang tersebut menghadapi stressor. Sekresi tinggi CRH
ini akan berpengaruh pula pada tempat di luar hipotalamus, misalnya di
hipokampus. Akibatnya, mekanisme “umpan balik” semakin terganggu.
Ini menyebabkan ketidakmampuan kortisol menekan sekresi CRH
sehingga pelepasan CRH semakin tinggi. Hal ini mempermudah seseorang
mengalami depresi mayor, bila berhadapan dengan stressor.
 Peningkatan aktivitas aksis HPA meningkatkan kadar kortisol. Bila
peningkatan kadar kortisol berlangsung lama, kerusakan hipokampus
dapat terjadi. Kerusakan ini menjadi prediposisi depresi. Simptom
gangguan kognitif pada depresi dikaitkan dengan gangguan hipokampus
 Hiperaktivitas aksis HPA merupakan penemuan yang hampir selalu
konsisten pada gangguan depresi mayor. Gangguan aksis HPA pada
depresi dapat ditunjukkan dengan adanya hiperkolesterolemia, resistennya
sekresi kortisol terhadap supresi deksametason, tidak adanya respon
ACTH terhadap pemberian CRH, dan peningkatan konsentrasi CRH di
cairan serebrospinal. Gangguan aksis HPA, pada keadaan depresi, terjadi
akibat tidak berfungsinya sistem otoregulasi atau fungsi inhibisi umpan
balik. Hal ini dapat diketahui dengan test DST (dexamethasone supression
test) (Guyton & Hall, 2006).

Pada pasien penyakit jiwa seperti skizofrenia terdapat berbagai keadaan


yang diyakini disebabkan oleh salah satu atau lebih dari tiga kemungkinan
berikut: (1) terjadi hambatan terhadap sinyal-sinyal saraf di berbagai area pada
lobus prefrontalis atau disfungsi pada pengolahan sinyal-sinyal; (2) perangsangan
yang berlebihan terhadap sekelompok neuron yang mensekresi dopamin dipusat-
pusat perilaku otak, termasuk di lobus frontalis, dan atau; (3) abnormalitas fungsi
dari bagian-bagian penting pada pusat-pusat sistem pengatur tingkah laku limbik
di sekeliling hipokampus otak (Guyton & Hall, 2006).
Dopamin telah diduga kemungkinan penyebab skizofrenia secara tidak
langsung karena banyak pasien parkison yang mengalami gejala skizofrenia ketika
diobati dengan obat yang disebut L-DOPA. Obat ini melepaskan dopamin dalam
otak, yang sangat bermanfaat dalam mengobati parkinson, tetapi dalam waktu
bersaman obat ini menekan berbagai bagian lobus prefrontalis dan area yang
berkaitan dengan lainnya. Telah diduga bahwa pada skizofrenia terjadi kelebihan
dopamin yang disekresikan oleh sekelompok neuron yang mensekresikan
dopamin yang badan selnya terletak di tegmentum ventral dari mesensefalon, di
sebelah medial dan superior substansia nigra. Sekresi dopamin ke bagian medial
dan anterior dari sistem limbik, khususnya hipokampus, amigdala, nukleus
kaudatus anterior dan sebagian lobus prefrontalis. Semua ini merupakan pusat-
pusat pengatur tingkah laku yang sangat berpengaruh. Suatu alasan yang lebih
meyakinkan untuk mempercayai bahwa skizofrenia mungkin disebabkan oleh
produksi dopamin yang berlebihan ialah bahwa obat-obat yang bersifat
efektif mengobati skizofrenia seperti klorpromazin, haloperidol, dan thiothiksen
semuanya mengurangi sekresi dopamin pada ujung-ujung syaraf dopaminergik
atau mengurangi efek dopamin pada neuron yang selanjutnya (Guyton & Hall,
2006).
Gambar Patofisiologi Skizofrenia

Patofisiologi skizofrenia

Pada skizofrenia terdapat penurunan aliran darah dan ambilan glukosa,


terutama di korteks prefrontalis, dan pada pasien tipe II (negativisme) terdapat
penurunan sejumlah neuron (penurunan jumlah substansia grisea). Selain itu,
migrasi neuron abnormal selama perkembangan otak secara patofisologis sangat
bermakna.
Atrofi penonjolan dendrit dari sel piramidal telah ditemukan pada korteks
prefrontalis dan girus singulata. Penonjolan dendrit mengandung sinaps
glutaminergik, sehingga transmisi glutamineriknya terganggu. Selain itu, pada
area yang terkena, pembentukan GABA dan atau jumlah neuron GABAnergik
tampaknya berkurang sehingga penghambatan sel piramidal menjadi berkurang.
Makna patofisiologis khusus dikaitkan dengan dopamin. Availabilitas
dopamin atau agonis dopamin yang berlebihan dapat menimbulkan gejala
skizofrenia. Penghambatan pada reseptor dopamin-D2 telak sukses digunakan
dalam penatalaksanaan skizofrenia.. Di sisi lain, penurunan reseptor D2 yang
ditemukan pada korteks prefrontalis dan penurunan reseptor D 1 dan D2 berkaitan
dengan gejala negatif skizofrenia., seperti kurangnya emosi. Penurunan reseptor
dopamin mungkin terjadi akibat pelepasan dopamin mungkin terjadi akibat
pelepasan dopamin yang meningkat dan ini tidak memiliki efek patogenetik.
Dopamin berperan sebagai transmiter melalui beberapa jalur (Silbernagl,
2003):
a. Jalur dopaminergik ke sistem limbik (mesolimbik)
b. Jalur dopaminergik ke korteks (sistem mesokorteks) mungkin
penting dalam perkembangan skizofrenia
c. Pada sistem tubuloinfundibular, dopamin mengatur pelepasan
hormon hipofisis (terutama pelepasan prolaktin)
d. Dopamin mengatur aktivitas motorik pada sitem nigrostriatum
Serotonin mungkin juga berperan dalam menimbulkan gejala skizofrenia.
Kerja serotonis yang berlebihan dapat menimbulkan halusinasi dan banyak obat
antipsikotik akan menghambat reseptor 5-HT2A.

Hipotesis yang paling banyak yaitu adanya gangguan neurotransmitter sentral


yaitu terjadinya peningkatan aktivitas dopamin sentral (hipotesis dopamin). Hipotesis ini
dibuat berdasarkan tiga penemuan utama (Psikiatri UI):
1. Efektivitas obat-obat neuroleptik (misalya fenotiazin) pada skizofrenia, ia bekerja
memblok reseptor dopamin pasca sinaps (tipe D2).
2. Terjadinya psikosis akibat penggunaan amfetamin. Psikosis yang terjadi sukar
dibedakan, secara klinik dengan psikosis skizofrenia paranoid akut. Amfetamin
melepaskan dopamin sentral. Selain itu, amfetamin juga memperburuk
skizofrenia.
3. Adanya peningkatan jumlah reseptor D2 di nukleus kautdatus, nukleus akumbe
dan putamen pada skizofrenia.

Hipotesis Dopamin Skizofrenia


Pengenalan bahwa dopamin, suatu neurotransmitter eksitator, yang kemungkinan
memainkan peran dalam patogenesis, patofisiologi, dan farmakoterapi skizofrenia
merupakan temuan kunci di jalan untuk meringankan gangguan tersebut.
Dopamin merupakan neurotransmitter endogen biasanya ada di seluruh tubuh manusia.
Untuk memungkinkan komunikasi antara neuron, neuron presinaptik melepaskan
dopamin ke dalam sinaps untuk melakukan perjalanan ke neuron postsynaptic dengan
mengikat reseptor dopamin dan kemudian menstimulasi neuron pasca-sinaptik. Dopamin
yang tersisa di sinaps ini kemudian dibawa kembali ke dalam neuron presinaptik oleh
transporter dopamin untuk ditempatkan dalam paket yang akan dilepas bila diperlukan
(Brasic, 2013).
Garis besar bukti berkumpul untuk mengkonfirmasi gagasan bahwa perubahan
dalam densitas, distribusi, dan fungsi neuroreseptor D2 dan D3 di otak berperan dalam
patogenesis dan patofisiologi skizofrenia. Hipotesis dopamin pada skizofrenia
mengusulkan bahwa skizofrenia adalah hasil dari disfungsi neurotransmisi dopaminergik
di otak. Kemungkinan terdapat beberapa subtipe biologis yang berbeda dari orang dengan
skizofrenia. Temuan yang berbeda dari penelitian yang diterbitkan tentang neuroreseptor
pada orang dengan skizofrenia mungkin hasil dari perbedaan subkelompok biologis yang
tidak diketahui dari populasi orang dengan sindrom klinis skizofrenia. Sebuah
subkelompok biologis orang dengan skizofrenia tampaknya memiliki penurunan basal,
level tonik dopamin intrasinaptik yang mengakibatkan hiperfungsi sistem dopaminergik
pada skizofrenia. Gejala-gejala positif skizofrenia, menyajikan pada masa remaja dan
dewasa muda, termasuk halusinasi, delusi, dan masalah proses berpikir, yang diduga hasil
dari sebuah kelebihan fase intermiten dopamin di sinaps dalam subkelompok orang yang
bermanifestasi sindrom klinis skizofrenia. Gejala-gejala negatif skizofrenia, termasuk
apatis, penarikan, dan kurangnya motivasi, yang diduga hasil dari defisit tonik intermiten
dopamin dalam sinaps pada subkelompok orang dengan sindrom klinis skizofrenia.
Dengan demikian, populasi orang dengan skizofrenia benar-benar termasuk beberapa
kelompok biologis yang tidak diketahui yang berbeda masing-masing dengan pola khas
disfungsi neuroreceptors tercermin dalam pola unik kepadatan neuroreceptor dan
distribusi di bagian tertentu dari otak. Tujuan dari studi pencitraan dari neuroreceptors di
skizofrenia adalah untuk membedakan karakteristik identifikasi unik dari masing-masing
kelompok biologis dari populasi orang dengan sindrom klinis skizofrenia (Robert, 2006).
Penemuan bahwa gejala positif skizofrenia diatasi ketika 60% sampai 80% dari
neuroreseptor dopamin menyerupai D2 di otak ditempati oleh obat-obatan antipsikotik
yang ditunjukkan oleh PET merupakan kemajuan besar dalam pengembangan obat baru
untuk mengobati orang dengan skizofrenia. PET memungkinkan dokter untuk
menentukan dosis optimal obat yang memblokir reseptor D2 dopamin untuk
menghasilkan efek terapeutik dengan efek samping minimal. Dosis antipsikotik tipikal
mengakibatkan lebih besar dari 80% hunian reseptor dopamin D2 di otak yang
ditunjukkan oleh PET dapat meningkatkan risiko pengembangan diskinesia tardive,
gangguan gerak lain, dan efek samping lainnya mungkin dengan dosis yang lebih tinggi.
Dengan demikian, studi pencitraan densitas dan distribusi reseptor D2 dopamin sebelum
dan sesudah administrasi agen terapi untuk skizofrenia merupakan alat untuk
mengidentifikasi dosis terapi.
Selain itu hipotesis bahwa aktivitas dopaminergik berlebihan yang berperan
dalam gangguan kognitif beberapa orang dengan skizofrenia dikonfirmasi oleh studi
hewan. Misalnya, gangguan memori kerja terjadi pada tikus dengan reversibel
peningkatan jumlah reseptor dopamin D2 di otak. Temuan ini memberikan bukti bahwa
karakteristik overaktivitas dopaminergik dari subkelompok biologis dari populasi orang
dengan skizofrenia dapat menyebabkan gangguan kronis dalam memori kerja. Pada tikus
reseptor dopamin D1 dan D2 berbeda-beda memodulasi penghambatan asam gamma
amino butirat (GABA) di neuron piramidal kortikal prefrontal. Temuan ini menyediakan
mekanisme yang mungkin untuk defisit memori dari subkelompok biologis dari populasi
orang dengan skizofrenia. Pengamatan ini dapat memberikan dasar untuk hipotesis
tentang kemungkinan disfungsi prefrontal manusia dengan skizofrenia yang akan diuji
melalui eksperimen neuroimaging.

Pencitraan Sistem Serotonin Di Skizofrenia

Efek menguntungkan dari neuroleptik atipikal menawarkan bukti lebih lanjut


bahwa sistem serotonin berperan dalam patofisiologi skizofrenia. Perubahan dalam sistem
serotonergik mungkin berkontribusi pada gejala suasana hati orang dengan skizofrenia.
Gejala suasana hati yang umum pada orang dengan skizofrenia. Sekitar sepersepuluh dari
orang dengan skizofrenia bunuh diri. Gejala-gejala mood subkelompok orang dengan
skizofrenia cenderung merupakan hasil dari disfungsi sistem serotonergik dalam
hubungannya dengan anomali sistem dopaminergik (Brasic, 2013).

Hipotesis Glutamat pada Skizofrenia

Glutamat, sebuah neurotransporter eksitator, dapat berpartisipasi dalam


patogenesis dan patofisiologi skizofrenia. Sekelompok orang dengan skizofrenia terjadi
pengurangan kronis pada korteks frontal sehingga mengakibatkan kompensasi yaitu
peningkatan dopamin pada striatum. Karakterisasi peran glutamat pada
patofisiologi skizofrenia dapat ditingkatkan dengan memvisualisasikan phencyclidine
(PCP) site dari saluran reseptor untuk reseptor glutamat N-methyl-D-aspartat (NMDA).
Meskipun pencitraan situs PCP saluran reseptor NMDA dicapai dengan cara PET setelah
injeksi [123I]-N-(1-naftil)-N'-(3-iodophenyl)-N-methylguanidine([ 123I]-CNS-1261), sebuah
radioligand yang melekat pada situs PCP di thalamus dan area otak lainnya, tidak
membedakan orang skizofrenia dari subyek kontrol normal sehat, administrasi clozapine,
sebuah neuroleptik atipikal, mengurangi pengikatan [ 123I]-CNS-1261. Hasil ini
menunjukkan bahwa clozapine bertindak sebagian melalui sistem glutamatergik.
Hipotesis glutamat pada skizofrenia mengusulkan bahwa gejala negatif skizofrenia adalah
hasil dari hipoglutamatergik endogen. Glutamat juga mungkin memainkan peran dalam
gejala positif skizofrenia. Ide ini didukung oleh temuan bahwa pemberian ketamin
(Ketalar®), sebuah glutamat agonis memblokir saluran reseptor NMDA untuk situs PCP,
menginduksi gejala positif skizofrenia pada orang dewasa yang sehat. Selain itu, ketamin
mengurangi pengikatan dalam korteks retrosplenial dan singulata setelah administrasi
FLB-457, sebuah radiotracer dengan afinitas tinggi untuk dopamin ekstrastriatal.
Selanjutnya, ketamine mengurangi penyerapan [11C] raclopride oleh reseptor D2 dopamin
di striatum sambil menghasilkan halusinasi dan gejala psikotik lainnya, Di sisi lain,
ketamin meningkatkan penyerapan transporter dopamin (DAT) pada monyet ditunjukkan
melalui scan mengikuti administrasi (-)-2-beta[ 11C]carbomethoxy-3-beta (4-fluorophenyl)
tropane ([11C]beta-CIT) dan N-(2-fluoroethyl)-2-beta[11C] carbomethoxy-3-beta(4-
iodophenyl)tropane([C]betaCIT-FE) melalui mekanisme yang tidak diketahui, Mirip
dengan primata, manusia adalah penggunaan kronis ketamin menunjukkan ketersediaan
reseptor dopamin D1 di korteks prefrontal dorsolateral. Penggunaan kronis ketamin oleh
manusia cenderung mengubah transmisi dopamin di wilayah prefrontal menghasilkan
defisit dalam memori dan fungsi eksekutif, karena itu, hipotesis glutamat skizofrenia
mengusulkan bahwa gangguan konektivitas sinaptik yang dihasilkan dari disfungsi N-
methyl-D-aspartat (NMDA) reseptor di korteks prefrontal didukung oleh
(1) endofenotip dopamin berhubungan dengan skizofrenia, dan
(2) produksi gejala positif skizofrenia dengan pemberian kronis ketamin

Pemberian ketamin, antagonis nonkompetitif dari reseptor saluran NMDA,


reseptor glutamat, untuk orang dewasa yang sehat menghasilkan peningkatan rilis
dopamin terinduksi amfetamin sebanding dengan orang dewasa skizofrenia. Administrasi
LY 354740, agonis kelompok reseptor metabotropik glutamat (mGlu) II untuk babon
meningkatkan pelepasan dopamin terinduksi amfetamin. Temuan ini menunjukkan bahwa
pada primata, gangguan transmisi glutamat adalah kemungkinan hasil dalam regulasi
yang rusak pada neurotransmisi dopaminergik. Fenomena yang sama dapat terjadi pada
manusia dengan endofenotip dopamin berhubungan dengan skizofrenia. Temuan ini
mendukung hipotesis glutamat skizofrenia bahwa defisit fungsi glutamat di korteks
dorsolateral prefrontal menyebabkan gangguan regulasi dari neurotransmisi
dopaminergik untuk memproduksi gejala positif skizofrenia pada manusia. Selain itu
sebuah genotipe catechol-O-methyltransferase (COMT) mempengaruhi kognisi dan
korteks prefrontal pada manusia. Polimorfisme fungsional untuk gen COMT
meningkatkan risiko skizofrenia dan psikosis lainnya. [ 11C]NNC112, radiotracer PET
untuk reseptor D1 dopamin, menunjukkan pengikatan lebih besar dalam korteks, tetapi
tidak pada striata, manusia yang sehat dengan homozigot untuk alel valin daripada
manusia carrier yang sehat. Ini menemukan membuktikan hipotesis bahwa COMT
mengatur neurotransmisi dopaminergik di korteks dan bukan striata pada manusia yang
sehat.
Penelitian pencitraan di masa depa,n sistem COMT dapat menjelaskan disfungsi jalur
tersebut pada skizofrenia. Temuan ini selanjutnya memberikan dasar untuk
mempertimbangkan intervensi terapi COMT termasuk tolcapone, penghambat COMT
(Brasic, 2013).
Hipotesis glutamat pada skizofrenia lebih lanjut dibuktikan oleh temuan bahwa
orang yang berisiko skizofrenia menunjukkan berkurangnya glutamat di thalamus dan
peningkatan glutamin dalam singulata anterior berbeda dengan orang dewasa yang sehat
(Brasic, 2013).
DAFTAR PUSTAKA

Baehr & Frostcher.2012.Neurotransmitter.

Brasic, J. R. 2013. Neurotransmiter Visualization in Schizophrenia. Journal of


Biomedical Graphics and Computing 3 (2): 30-45. DOI:
10.5430/jbgc.v3n2p30. ISSN 1925-400.

Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto. 2010. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Frankenburg, F. R. 2013. Schizophrenia.


http://emedicine.medscape.com/article/288259-overview#aw2aab6b2b3aa
[9 April 2017]

Guyton & Hall. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran: Edisi 11. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.

Malacester. 2012. Seven Process in Neurotransmitter.www.Malacester.edu

Robert D. Hunt, M. (2006). Functional Roles of Norepinephrine and Dopamine in


ADHD. Retrieved September 2013, from www.medscape.org

Anda mungkin juga menyukai