Anda di halaman 1dari 5

Tadabbur Surat Al-Buruj (Gugusan Bintang)

: Para Penggali Parit

Sumber:http://www.dakwatuna.com/2014/09/02/56527/tadabbur-surat-al-buruj-gugusan-bintang-
para-penggali-parit/#ixzz6AJRWWMYZ
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook
Para ahli tafsir sepakat berpendapat bahwa bahwa surat al-Burûj diturunkan di Makkah setelah
surat asy-Syams([1]). Surat ini masih membahas dan menekankan masalah aqidah dan penguatan
keyakinan tentang hari akhir. Di samping itu tambahan yang ada dalam surat ini selain
pembahasan tersebut adalah tentang kisah ashabul ukhdud (para penggali parit) yaitu sebuah
cerita tentang pengorbanan dan tebusan jiwa dalam mempertahankan akidah dan iman([2]).
Dalam surat ini Allah kembali bersumpah dengan langit ciptaan-Nya yang memiliki gugusan-
gugusan bintang, tempat bintang-bintang berpusat dan beredar, serta demi hari yang telah
dijanjikan-Nya yaitu hari kiamat, sekaligus menyampaikan kedahsyatan kekuasaan Allah yang
tiada batas([3]).

Kesaksian-Kesaksian
“Demi langit yang mempunyai gugusan bintang. Dan hari yang dijanjikan. Dan yang
menyaksikan dan yang disaksikan”. (QS. 85: 1-3)
Allah bersumpah dengan empat hal dalam surat ini.

Pertama, demi langit yang mempunyai gugusan-gugusan bintang. Langit yang luasnya


hanya diketahui oleh-Nya itu memiliki gugusan, tempat semayam bintang-bintang yang menjadi
penghias alam semesta sekaligus sebagai pelempar untuk setan-setan([4]). Hal ini agar manusia
berpikir bahwa tanda-tanda kekuasaan Allah itu jelas, bisa dilihat dan dirasakan, kemudian bisa
ditadabburi dan pada akhirnya diperintah untuk mengambil kesimpulan. Memang sampai saat ini
tak ada yang bisa mencapai langit, bahkan melihatnya pun tidak sanggup. Namun, manusia bisa
melihat dan memperhatikan bintang-bintang yang dijadikan Allah sebagai penghias langit dunia.
Kedua, Allah bersumpah dengan hari yang dijanjikan. Para ahli tafsir sepakat bahwa hari
yang dimaksud dalam ayat ini adalah hari kiamat.
Ketiga dan keempat, Allah bersumpah dengan syâhid (yang menyaksikan)
dan masyhûd  (yang disaksikan). Ibnu Abbas, Hasan al-Bashry dan Said bin Jubair
menafsirkan syâhid yaitu Allah dan masyhûd adalah yang selainnya([5]).Sedangkan Mujahid dan
Ikrimah berpendapat bahwa syâhid adalah manusia dan masyhûd adalah yang bisa
dilihatnya([6]). Dan Sahal bin Abdullah mengatakan bahwa syâhidadalah malaikat
dan masyhûd  adalah manusia dan amalnya ([7]). Hal tersebut juga sekaligus mengingatkan
manusia akan adanya pengawasan dan pengadilan agung.
Sumpah-sumpah di atas terjawab dengan ayat keempat, “Binasa dan terlaknatlah orang-orang
yang membuat parit. Yang berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar.  Ketika mereka duduk di
sekitarnya. Sedang mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang
beriman” (QS. 85: 4-7)
Ayat ini berkisah tentang ashâbul ukhdûd (penggali parit) sebagaimana diriwayatkan
oleh Imam Muslim([8]) dan at-Tirmizi([9]) dari riwayat sahabat Shuhaib ar-Rumy ra.
Rasululullah bercerita tentang ashâbul ukhdûd, “Dahulu ada seorang raja([10])  yang
memiliki penasehat seorang ahli sihir yang ternama. Usianya sudah sangat lanjut.
Penyihir tersebut hendak mencari penerus dan pewaris ilmunya yang kelak akan
menggantikan posisinya sebagai penasehat raja. Hingga didapatlah seorang anak
laki-laki yang cerdas. Sayangnya sang anak tersebut  (ghulam) sering berbeda pendapat
dan perangai dengan sang penyihir tersebut. Di tengah jalan antara rumahnya dan
istana, terdapat sebuah gua yang dihuni oleh seorang rahib. Setiap ghulam lewat tempat
tersebut ia selalu bertanya beberapa hal kepada sang rahib. Hingga sang rahib mengaku
bahwa dia menyembah Allah dan mengesakannya. Lambat laun Ghulam lebih suka
berlama-lama di tempat rahib untuk belajar dan selalu terlambat datang ke tempat
tukang sihir. Hingga suatu saat kerajaan memerintahkan menjemput ke rumah karena
hampir saja ia tidak hadir pada suatu hari. Ghulam memberitahu perihal ini kepada
rahib. Sang rahib menjawab mencarikan rasionalisasi: Jika penyihir itu bertanya di
mana engkau, jawab saja aku ada di rumahku. Jika keluargamu menanyakan
keberadaanmu maka beritahu mereka bahwa engkau berada di tempat penyihir. Suatu
hari, ketika Ghulam sedang di jalan ia menjumpai sekelompok orang terhenti jalannya
karena ada binatang buas (singa) yang menghalangi mereka. Ghulam segera mengambil
batu dan berkata: Ya Allah jika yang dikatakan sang rahib benar maka izinkan aku
membunuh binatang ini. Jika apa yang dikatakan sang penyihir yang benar maka aku
meminta supaya engkau menggagalkanku membunuh binatang ini. Kemudian ia lempar
batu tersebut dan binatang itu mati seketika. Orang-orang pun terperanjat setelah tahu
bahwa anak kecil itu yang membunuhnya. Mereka berkata: anak itu tahu suatu ilmu
yang tidak diketahui oleh orang lain. Hingga didengarlah oleh seorang pejabat kerajaan
yang buta. Ia mendatangi ghulam dan berkata: Jika engkau kembalikan penglihatanku
maka akan aku beri hadiah ini dan itu. Ghulam menjawab: Aku tak memerlukan itu dari
Anda. Jika aku bisa mengembalikan penglihatanmu apakah engkau beriman kepada
Dzat yang mengembalikan penglihatanmu? Dia menjawab: ya. Maka sang buta tersebut
dapat melihat dan beriman pada ghulam. Berita ini tersiar sampai ke kerajaan. Hingga
sang raja marah besar dan membunuhi siapa saja yang mengikuti ajaran sang ghulam.
Hingga ditangkaplah sang rahib dan sang buta yang telah melihat. Mereka berdua
dibunuh dengan sadis, yaitu dibelah badannya dengan gergaji. Ghulam yang ditangkap
akhirnya dibawa ke atas gunung bersama beberapa tentara kerajaan untuk dilempar
dari atas gunung. Namun, tak ada yang selamat dari atas gunung kecuali ghulam dan ia
pun kembali. Sang raja memerintahkan untuk membawa ghulam ke tengah laut untuk
dibuang di sana. Badai pun menyerang mereka. Tak ada yang selamat kecuali ghulam.
Ia pun kembali lagi. Setiap makar yang dibuat untuk membunuhnya selalu gagal.
Akhirnya ghulam berkata kepada sang raja: Engkau takkan bisa membunuhku kecuali
dengan menyalibku di depan rakyatmu kemudian memanahku sambil berkata “bismillah
rabbil ghulam” [dengan nama Allah Tuhan anak kecil ini]. Setelah disalib dan sang raja
mengucapkan kata-kata tersebut dengan keras, panah yang meluncur dari busur sang
raja itupun menancap di tubuh ghulam dan menewaskannya sebagai seorang syahid.
Orang-orang di sekitarnya berkata: ghulam tahu ilmu yang tidak diketahui orang lain,
kita harus beriman kepada Tuhannya. Sang raja murka dan memerintahkan untuk
menggali parit dan menyalakan api. Barang siapa yang tak mau meninggalkan
agamanya (agama ghulam) maka akan dilempar ke dalam parit yang menyala-nyala
tersebut. Hingga ada seorang ibu yang menyusui anaknya sedang ragu-ragu. Sang bayi
yang ada dalam buaiannya pun berkata meyakinkannya: Ibu, sabarlah. Sesungguhnya
engkau berada dalam pihak yang benar ” ([11]).
Dalam peristiwa pembakaran dan pembunuhan kaum mukminin ini gugur sebagai
syuhada ribuan orang-orang yang beriman kepada Allah([12]). Raja Najran tersebut
mengerahkan segala tentaranya untuk membunuh kaum beriman dengan cara membakar mereka
hidup-hidup di dalam parit besar yang mereka sediakan. Mereka saling menyaksikan dan dengan
bodohnya mereka melakukan kezhaliman. Hati nurani mereka yang jernih telah terkeruhkan oleh
angkara dan nafsu kekuasaan.

Semena-Mena Terhadap Kaum Beriman


“Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin
itu beriman kepada Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. Yang mempunyai kerajaan
langit dan bumi; dan Allah Maha menyaksikan segala sesuatu” (QS. 85: 8-9)
Apa yang dilakukan oleh ashabul ukhdûd bukanlah sesuatu hal baru. Bani Israil bahkan
membunuh dan mengejar-ngejar nabi-nabi dan rasul yang diutus Allah kepada mereka. Hal
seperti ini akan terulang terus sepanjang waktu. Karena dalam realita akan selalu ada tokoh
antagonis yang memusuhi risalah yang dibawa oleh utusan Allah dan diimani oleh orang-orang
mukminin. Orang-orang kafir yang dengki dan iri tersebut tidaklah berbuat keji dan menyiksa
kaum mukminin kecuali hanya karena keyakinan yang mereka pegang dengan sepenuh jiwa.
Kaum mukminin tersebut disiksa hanya karena beriman pada Dzat Yang Esa, pemilik kerajaan
langit dan bumi.
Hal ini juga dirasakan oleh para sahabat Nabi saw. as-sâbiqûn al-awwalûn pada periode Makkah.
Bahkan Nabi Muhammad saw sendiri tak luput dari intimidasi ini. Terlebih sepeninggal Khadijah ra. dan
paman beliau Abu Thalib. Bani Tsaqif yang tadinya diharapkan mau melindungi beliau ternyata
memusuhinya. Tua, muda, laki-laki, perempuan dari segala umur dikerahkan untuk melempari beliau.
Hingga beliau terusir dari Thaif dengan tubuh berdarah-darah. Semoga Allah merahmati beliau –
shallalLâhu ‘alaihi wa sallam– orang mulia yang tak pernah menyimpan dendam. Bahkan kepada mereka
yang dengan tega memperlakukannya seperti di atas.
“Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang yang mukmin laki-laki
dan perempuan kemudian mereka tidak bertaubat, maka bagi mereka azab Jahanam dan bagi mereka
azab (neraka) yang membakar”. (QS. 85: 10)
Orang-orang yang berlaku kejam dan aniaya terhadap orang-orang beriman seperti di atas kelak
akan dibalas Allah dengan neraka yang lebih panas daya bakar dan apinya. Padahal Allah membuka pintu
taubat. Dengan syarat taubat tersebut dilakukan sebelum diturunkannya adzab dan sebelum nyawa mereka
dicabut oleh malaikat pencabut nyawa([13]).
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh bagi mereka surga
yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; Itulah keberuntungan yang besar”. (QS. 85: 11)
Sementara itu orang-orang yang bersabar dan mampu tsabat dalam mempertahankan akidahnya di
tengah himpitan dan aniaya orang-orang jahat tersebut, bagi mereka balasan Allah yang tiada
bandingannya. Orang-orang beriman itu akan dihadiahi Allah kebun-kebun yang sangat luas, yang di
bawahnya mengalir sungai-sungai yang jernih airnya. Itulah sebenar-benar kemenangan yang besar dan
hakiki.

Kesempurnaan Sifat Dan Kekuasaan-Nya


Dzat yang bisa dan mampu berlaku apa saja terhadap orang-orang zhalim serta pasti memberikan
balasan yang baik bagi hamba-Nya yang bersabar di atas adalah Dzat Yang Maha Sempurna yang tak
memiliki kekurangan sedikitpun. Di dalam ayat ini disebutkan beberapa karakteristik yang sesuai dengan
maqam cerita ashabulukhdud serta setting umat Islam pada periode Makkah yang sangat tertindas.
1. Sifat Pertama, “Sesungguhnya azab Tuhanmu benar-benar keras”. (QS. 85: 12)
Penempatan sifat ini mungkin dimaksudkan sebagai peringatan keras bagi orang-orang zhalim. Sebagai
ancaman sekaligus teguran, juga membuka peluang bagi mereka untuk bertaubat.  Karena Dia sanggup
menangguhkan adzab-Nya sekaligus membalas kekejaman orang-orang zhalim tersebut dengan balasan
yang sangat pedih dan setimpal pula.
2. Sifat Kedua, “Sesungguhnya Dia-lah yang menciptakan (makhluk) dari permulaan dan
menghidupkannya (kembali)”. (QS. 85: 13)
Adapun penguasa hari kebangkitan sekaligus sang pencipta yang tak tertandingi ini adalah Dzat yang
sanggup menciptakan apapun dari permulaannya. Apalagi sekadar mengembalikan dari yang pernah ada
tentunya hal tersebut sangat mudah. Dan setelah dihidupkan lagi mereka semua menerima
konsekuensinya. Yang baik akan dibalas dengan kebaikan dan yang buruk akan menerima pembalasan
yang setimpal.
3. Sifat Ketiga, “Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih”. (QS. 85: 14)
Luar biasa karunia dan kasih sayang-Nya. Betapapun ulah zhalim dan melampaui batas dari hamba-
hamba-Nya, tapi Allah tak pernah sekalipun menutup pintu taubat-Nya. Allah selalu memanggil hamba-
hamba-Nya. Setiap saat. Setiap hari di sepertiga malam terakhir. Siapa yang mendatangi-Nya dengan
segala tadharru’ meski ia bergelimang dosa, Allah akan mengampuninya. Allah bahkan mengasihi semua
makhluk-Nya. Tak memperdulikan keadaan mereka yang taat dan yang bejat, semuanya dibagi dan diberi
rezeki yang sesuai. Subsidi kenikmatan-Nya tak pernah sedetik pun berhenti kepada para makhluk-Nya.
4. Sifat Keempat, “Yang mempunyai ‘Arsy, lagi Maha Mulia”. (QS. 85: 15)
Kelak sebagaimana janji-Nya kita akan bertemu dengan puncak kemuliaan, saat menjumpai-Nya di
“singgasana”-Nya, di Arsy-Nya. Kita –allhumma amin– insya Allah akan diizinkan melihat dan berjumpa
dengan Dzat Yang Maha Mulia ini. Yang kemuliaan dan sifat pendermanya tiada batas. Raja, penguasa
yang ada di dunia ini mungkin bisa jadi sangat membanggakan istana dan singgasananya. Namun, hal itu
tiada sebanding dengan Arsy-Nya yang luas dan dimuliakan seluruh penduduk langit.
5. Sifat Kelima, “Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya”. (QS. 85: 16)
Sangat layak -memang- jika Allah lah yang menyandang sifat ini. Dia yang maha berkehendak dan
berkuasa berbuat apapun sesuai titah-Nya. Takkan ada yang sanggup mencegah keinginan-Nya.

Belajar dari Sejarah Masa Lalu


“Sudahkah datang kepadamu berita kaum-kaum penentang (yaitu kaum) Fir’aun dan (kaum) Tsamud?”.
(QS. 85: 17-18)
Siapa yang tak mengenal Fir’aun ini. Penguasa yang sangat lalim dan keji serta menghalalkan apa saja
untuk mempertahankan kekuasaannya. Meskipun ia berhasil membangun peradaban bangsanya sehingga
dikenal oleh dunia sepanjang masa. Namun, kemegahan dan kejayaan yang dibangun di atas puing-puing
derita dan kezhaliman takkan pernah membahagiakan pemiliknya. Allah akan binasakan orang-orang
zhalim dan pongah seperti ini. Hingga saat ini, kita –seharusnya- bisa belajar dari kisah sejarah
keangkuhan dan kesombongan ini. Megahnya peradaban Mesir kuno, tak banyak membawa manfaat bila
para pelakunya zhalim dan mendurhakai Allah. Mereka tak kuasa melawan takdir Allah saat digulung air
laut yang menelan mereka, Fir’aun dengan semua tentaranya dan segala keangkuhannya.
Juga Kaum Tsamud, kaum yang tak kalah cerdik dan pandainya. Kaum yang sangat kuat dan
berperadaban paling maju di zamannya.
“… kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk
dijadikan rumah”(QS. 7: 74)
Para pemahat gunung, seniman agung dan pemilik gedung-gedung raksasa dari bahan serba batu
itu pun tak kuasa membendung kekuasaan Allah. Tidak dengan kepandaian mereka. Juga tidak dengan
kekuatan fisik mereka yang melebihi orang-orang modern. Jika saat adzab tiba, saat pintu taubat telah
tertutup mereka benar-benar menjumpai kebinasaannya. “Adapun kaum Tsamud, Maka mereka telah
dibinasakan dengan kejadian yang luar biasa (sambaran petir dan suara yang memekakkan telinga)”.
(QS. 69: 5)
Seharusnya dengan dua peristiwa tersebut membuat kita lebih bisa merenung dan berpikir bahwa
ketika Allah masih memberi peluang kita mesti gunakan dengan sebaik-baiknya. Supaya kelak kita tidak
terlalu menyesal karena kelalaian dan sifat yang suka menunda-nunda.
“Sesungguhnya orang-orang kafir selalu mendustakan.  Padahal Allah mengepung mereka dari belakang
mereka”. (QS. 85: 19-20)
Sayangnya orang-orang kafir selalu ada. Orang-orang lalai dan terlena dengan dunia selalu saja memiliki
pengikut dan pembela. Dan mereka selalu melecehkan ajakan berbuat baik dan bahkan membalikkannya
dengan tuduhan keji dan hina. Mereka dengan sangat congkak mendustakan risalah kebenaran yang
dibawa Rasul-Nya. Salah satu yang paling mereka dustakan adalah hari kiamat dan pembalasan.
Tidakkah mereka tahu bahwa Allah Maha Melihat dan Mendengar. Dzat yang serba maha
tersebut tidak pernah lalai sedetikpun untuk memperhatikan semua gerak-gerik hamba-Nya. Bahkan
sampai sesuatu yang terdetik dalam hati mereka Dia selalu mengetahuinya secara detil.
Imam al-Alusy mempunyai penakwilan yang menarik tentang ayat di atas. Kata “min wara’ihim” yang
berarti dari belakang mereka, seolah menggambarkan sedemikian zhalimnya orang-orang yang
mendustakan ajaran Allah di atas. Mereka membelakangi Allah, meletakkan ajaran Allah di belakang
mereka dan selalu mengedepankan hawa nafsu dan dunia yang sangat mereka cintai melebihi segala-
galanya ([14]).

Keberanian yang Melampaui Batas


Orang-orang yang digambarkan di atas sungguh berbuat apa saja dalam hidup mereka. Mereka
bahkan sangat yakin bahwa hari akhir adalah sebuah mitos belaka. Karena itu mereka mendustakan hari
akhir dan segala hal yang menjadi keniscayaannya, hari kehancuran, hari kebangkitan, hari penghitungan
amal dan hisab serta kemudian hari pembalasan dan kesudahan dari segalanya. Dan… “bahkan yang
didustakan mereka itu ialah Al-Quran yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh” (QS. 85: 21-
22)

Jika yang mereka dustakan dan mereka anggap mitos adalah Al-Quran, berarti sama saja dengan
menuduh bahwa Allah adalah pembohong besar. Dan inilah petaka yang sangat besar karena
mendatangkan kemurkaan Allah. Menuduh Allah dengan tuduhan keji dan sembarangan serta tanpa bukti
sedikitpun. Dan mereka meremehkan perbuatan tersebut. Padahal kelak Allah akan mintai
pertanggungjawaban dari semua tuduhan jahat tersebut.
Tahukah mereka bahwa yang mereka dustakan adalah kalam suci yang tersimpan di lauh
mahfuzh. Menurut Ibnu Abbas luasnya melebihi luas langit dan bumi. Warnanya putih cemerlang,
lembarannya terbuat dari permata yaqut merah yang mengkilat penanya adalah cahaya. Allah
menengoknya dalam sehari 300 kali. Dia mencipta dan memberi rezeki. Dia menghidupkan dan
mematikan. Dia memuliakan seseorang dan merendahkan yang lainnya. Dia melakukan semuanya
sesuka-Nya, sesuai kehendak-Nya, tanpa ada yang menghalangi([15]).
Semoga takdir kita yang termaktub dalam lauh mahfuzh sebagai hamba-hamba-Nya yang shalih dan
dirahmati selalu oleh Allah, baik di dunia maupun kelak di akhirat. Amin.

Anda mungkin juga menyukai