Anda di halaman 1dari 47

Form Protokol Penelitian Kesehatan

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL”VETERAN”


JAKARTA
JL. RS. FATMAWATI JAKARTA SELATAN
Telp/ Fax.
E-mail : komisietikupnvj@gmail.com

PROTOKOL PENELITIAN
(Dibuat rangkap tiga, dengan diketik satu spasi, dalam halaman yang tersedia)

I. RINGKASAN

1. PENGUSUL
a. Nama : Siti Nuraeni
b. Jabatan : Mahasiswa
c. Instansi/Kantor : Farmasi ISTN
d. Alamat dan telepon : Jl. M. Kahfi II, Jagakarsa, Jakrta 12640. Telp
Kantor (021) 7270090
2. PROYEK PENELITIAN
a. Judul Penelitian :

“ Studi Peresepan Obat Antidiabetes Oral pada poli PTM di Puskesmas Kecamatan
Kebayoran Lama Jakarta Selatan periode Januari 2017 – Januari 2018 ”

b. Ringkasan Penelitian : Saya akan meneliti studi peresepan obat antidiabetes oral
pada poli PTM di Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Jakarta Selatan. Diabetes
melitus merupakan suatu kondisi medik berupa peningkatan kadar glukosa dalam darah
melebihi batas normal. Hiperglikemia merupakan salah satu tanda khas penyakit Diabetes
Melitus ( DM )meskipun mungkin juga didapatkan pada beberapa keadaan yang lain.
Pada saat ini hasil penelitian epidemiologi menunjukkan adanya peningkatan angka
insidensi dan prevalensi DM tipe 2 di berbagai penjuru dunia. Badan kesehatan dunia
( WHO ) memprediksi adanya peningkatan jumlah penderita DM yang menjadi salah satu
ancaman kesehatan global. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melihat pola peresepan
antidiabetes oral. Dengan melakukan pengamatan pada catatan rekam medik pasien.

c. Tempat Penelitian : Puskesmas kecamatan kebayoran lama Jakarta Selatan.


Jalan Ciputat Raya No.3B Kebayoran lama, Jakarta Selatan,12240

d. Lama Penelitian : Juli - Agustus 2019

1
3. RENCANA BIAYA

Rp 1.500.000,-

2
II. PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG
Diabetes Melitus merupakan suatu kondisi medik berupa
peningkatan kadar glukosa dalam darah melebihi batas normal.
Hiperglikemia merupakan salah satu tanda khas penyakit Diabetes
Melitus (DM), meskipun mungkin juga didapatkan pada beberapa
keadaan yang lain. Pada saat ini hasil penelitian epidemiologi
menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidensi dan
prevalensi DM tipe 2 diberbagai penjuru dunia. Badan Kesehatan Dunia
(WHO) memprediksi adanya peningkatan jumlah penderita DM yang
menjadi salah satu ancaman kesehatan global ( PERKENI, 2015 )
Diabetes Melitus ( DM ) merupakan salah satu penyakit yang
mendunia dengan jumlah penderita yang semakin meningkat. “World
Health Organization “ (WHO) memperkirakan lebih dari 346 juta jiwa di
seluruh dunia menderita penyakit DM dan di Association of South East
Asian Nations ( ASEAN ) sebanyak 19,4 juta jiwa pada tahun 2010,
kemungkinan jumlah ini akan terus meningkat dua kali lipat lebih banyak
pada tahun 2030 tanpa intervensi. Hampir 80% kematian akibat diabetes
terjadi di negara yang berpenghasilan menengah ke bawah ( Swiraka IP,
2012 ). WHO memperkirakan peningkatan jumlah penderita DM di
Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi 21,3 juta pada tahun
2030. Data tersebut menempatkan Indonesia berada pada urutan
keempat setelah negara Cina, India, dan Amerika Serikat ( Nati F, 2013 ).
( Worang FHK, Bawotong J, Untu FM, 2013 )
Menurut laporan hasil Riset Kesehatan Dasar ( Riskesdas ) tahun
2013 oleh Departemen Kesehatan ( DepKes ) menunjukkan bahwa
prevalensi DM mengalami peningkatan dari 1,1 % pada tahun 2007
meningkat menjadi 2,1 % pafda tahun 2013. Prevalensi DM tertinggi yang
telah terdiagnosis oleh dokter terdapat di Daerah Istimewa Yogyakarta
yaitu sebanyak 2,6 % , DKI jakarta 2,5%, Sulawesi Utara 2,4 %, dan
Kalimantan Timur 2,3 %. Data ini menunjukkan bahwa DKI Jakarta
merupakan salah satu prevalensi dengan angka prevalensi DM tertinggi
kedua di Indonesia ( Balai penerbit FK UI, 2009 )
Klasifikasi diabetes melitus terbagi menjadi 4 tipe, yaitu diabetes melitus
3
tipe 1, diabetes tipe 2, gestasional diabetes melitus, dan diabetes tipe
spesifik. Diabetes melitus tipe 2 merupakan tipe diabetes paling umum,
jumlah penderitanya lebih banyak bila dibandingknan dengan diabetes
tipe 1 dan tipe lainnya. Jumlah penderita diabetes melitus tipe 2
mencapai 90-95% dari keseluruhan populasi penderita diabetes melitus
diabetes melitus memerlukan pengelolaan penanganan secara
multidisiplin yang mencakup terapi obat dan non obat. ( Depkes RI,
Jakarta )
Berdasarkan penelitian prevalensi responden yang mempunyai
riwayat DM meningkat sesuai dengan bertambahnya usia. Prevalensi
lebih banyak pada wanita dan kelompok sosioekonomi yang lebih tinggi.
Pria dalam kelompok usia 45-54 mengalami diabetes tipe 2 dua kali lebih
sering dibanding wanita. Diatas usia 75 tahun, wanita mengalami
diabetes tipe 2 lebih sering daripada pria. Lebih dari 50% lansia diatas 60
tahun yang tanpa keluhan, ditemukan hasil tes toleransi glukosa yang
abnormal. Intoleransi glukosa ini masih belum bisa dikatakan sebagai
diabetes, sehingga dikenal istilah prediabetes. Prediabetes merupakan
kondisi tingginya kadar gula darah puasa (gula darah puasa 100-
125mg/dL) atau gangguam toleransi glukosa ( kadar gula darah 140-
199mg/dL 2 jam setelah pembebanan 75 gram glukosa) ( ADA, 2015 )
Seiring dengan proses penuaan, semakin banyak lansia yang
beresiko terhadap terjadinya diabetes melitus, karena sudah menurunnya
fungsi organ dan metabolisme pada lansia. Faktor yang memperburuk
penyakit yang timbul pada lansia adalah polifarmasi, yaitu pemberian
obat dalam jumlah yang banyak dalam suatu resep, sehingga efek
samping yang ditimbulkan akan semakin meningkat dengan penyakit
penyerta lain selain diabetes itu sendiri. (Rambadhe, A.2012)
1.1 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang maka dilakukan penelitian sebagai
berikut :
1. Bagaimana gambaran demografi yaitu jenis kelamin, usia, berat
badan
2. pada pasien DM tipe 2 di Puskesmas kecamatan Kebayoran
Lama?

4
3. Berapakah nilai GDP,GD2PP (2 jam setelah makan )pada
diabetes melitus tipe 2 ?
4. Berapakah dosis dan frekuensi yang di gunakan untuk obat
diabetes melitus tipe 2 ?
5. Golongan dan jenis obat apa yang digunakan dalam pengobatan
diabetes melitus tipe 2 ?

1.2 Tujuan Penelitian


Penelitian mengenai peresepan obat antidiabetes oral pada
penderita diabetes melitus tipe 2 kepada pasien rawat jalan di Puskesmas
Kecamatan Kebayoran Lama bertujuan untuk :
1. Mengetahui gambaran demografi pasien yang akan diteliti pada
pengobatan diabetes melitus tipe 2 di Instalasi rawat jalan
Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama.
2. Mengetahui nilai GDP,GD2PP yang normal pada diabetes melitus
tipe 2.
3. Mengetahui dosis dan frekunsi yang dibutuhkan untuk
pengobatan diabetes melitus tipe 2.

1.3 Manfaat Penelitian


1. Penelitian ini dapat berguna bagi dokter sebagai bahan evaluasi
dalam peresepan obat anti diabetes.
2. Penelitian ini dapat mengedukasi dan menambah pengetahuan
bagi apoteker untuk dapat mengetahui tingkat kepatuhan pasien
diabetes melitus dan bisa dilakukan peningkatan pharmaceutical
care terutama untuk pasien diabetes melitus.
3. Penelitian ini dapat bermanfaat untuk instansi untuk lebih
meningkatkan kembali kualitas mahasiswa sarjana farmasi
maupun apoteker sebagai bagian dari tenaga kesehatan yang
memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat terutama
dalam hal konseling kepada pasien.
4. Penelitian ini dapat berguna sebagai bahan acuan pembelajaran
untuk menambah informasi dan pengetahuan yang baru tentang
peresepan obat antidiabetes oral pada diabetes melitus tipe 2

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Diabetes Melitus


Diabetes melitus ( DM ) adalah suatu penyakit heterogen yang
gejalanya ditandai dengan peningkatan kadar gula darah ( hiperglikemia )
yang disebabkan adanya gangguan yang terjadi pada sekresi insulin,
kerja insulin, maupun keduanya dalam tubuh ( American Diabetes
Association, 2015).
2.1.1 Epidemiologi Diabetes Melitus
Diabetes melitus telah di kategorikan sebagai penyakit global
oleh WHO, World Health Organization ( WHO ) memperkirakan lebih
dari 346 juta jiwa di seluruh dunia menderita penyalit diabetes dan
ASEAN menyebutkan sebanyak 19,4 juta jiwa pada tahun 2010.
Jumlah ini memungkinkan akan terus meningkat lebih dari dua kali
lipat pada tahun 2030 tanpa intervensi. Hampir 80% kematian

6
diabetes terjadi di negara yang berpenghasilan menengah kebawah (
Swiraka IP, 2012 ) WHO memprediksi peningkatan jumlah penderita
diabetes melitus di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi
21,3 juta pada tahun 2030. Data tersebut menempatkan Indonesia
berada pada peringkat keempat di negara dengan jumlah penderita
diabetes terbanyak setelah negara Cina, India, dan Amerika Serikat.
( Nati F, 2013 ).
Menurut laporan hasil Riset Kesehatan Dasar ( Riskesdas) pada
tahun 2013 oleh Departemen Kesehatan ( DepKes ), menunjukkan
bahwa nilai prevalensi diabetes melitus di Indonesia untuk usia
diatas 15 tahun sebesar 6,9 % . Prevalensi diabetes melitus di
Indonesia mengalami peningkatan dari 1,1 % pada tahun 2007
bertambah menjadi 2,1 % pada tahun 2013. Prevalensi tertinggi
diabetes melitus yang telah terdiagnosis oleh dokter terdapat di
Daerah Istimewa Yogyakarta ( DIY ) yaitu sebanyak 2,6 %, DKI
Jakarta sebanyak 2,5%, Sulawesi Utara sebanyak 2,4 %, dan
Kalimantan Timur sebanyak 2,3 %. Hal ini menunjukkan bahwa DKI
Jakarta merupakan salah satu provinsi dengan angka prevalensi
diabetes melitus terbanyak di Indonesia ( RisKesDas, 2013 )
2.1.2 Klasifikasi Diabetes Melitus
Menurut American Diabetes Association ( ADA ) , klasifikasi
diabetes meliputi 4 tipe secara klinis, yaitu : Diabetes Melitus tipe
sering dikenal dengan sebutan Insulin Dependent Diabetes Melitus
( IDDM ), terjadi akibat kerusakan sel β pankreas ( reaksi autoimun )
yang menyebabkan defisiensi insulin yang absolut. Bila kerusakan
sel β telah mencapai 80-90 % maka gejala diabetes melitus mulai
timbul. Kerusakan sel β ini lebih cepat terjadi pada anak-anak
daripada dewasa. Sebagian besar penderita diabetes melitus tipe 1
mempunyai antibodi yang menunjukkan adanya proses autoimun
yang terjadi, dan sebagian kecil tidak terjadi proses autoimun.
Kondisi ini digolongkan sebagai tipe 1 idiopatik. Sebagian besar 75%
kasus terjadi sebelum usia 30 tahun, tetapi usia tidak termasuk
kriteria untuk klasifikasi ( American Diabetes Association,.2015 )
Diabetes Melitus Tipe 2 merupakan 90% dari kasus DM yang

7
dikenal sebagai non insulin diabetes melitus ( NIDDM ). Pada
diabetes ini terjadi penurunan kemampuan insulin bekerja di
jaringan perifer dan disfungsi sel β. Akibatnya pankreas tidak mampu
memproduksi insulin yang cukup untuk mengkompensasi insulin
resistan. Kedua hal ini menyebabkan terjadinya defisiensi insulin
relatif. Gejala minimal dan kegemukan sering berhubungan dengan
kondisi ini, yang umumnya terjadi pada usia > 40 tahun. Kadar
insulin bisa normal, rendah maupun tinggi sehingga penderita tidak
bergantung pada pemberian insulin klasifikasi ( American Diabetes
Association,.2015 )
Diabetes tipe spesifik lain gejalanya berupa gangguan genetik
fungsi sel β: Kromosom 13, insulin promoter factor-1 ( IPF-1 ;
MODY4 ), Kromosom 17, HNF-1β ( MODY5 ), Kromosom 2, Neuro D1 (
MODY 6 ), DNA mitokondrua, gangguan genetik dalam kerja insulin :
Insulin resisten tipe A, Diabetes Lipoatropic, penyakit eksokrin
pankreas : Pankreatitis, Trauma / pankreatektomi, Neoplasia,
endokrinopati : Akromegali, Hipertiroidisme, Aldosteronoma, induksi
obat atau bahan kimia : Vacor, pentamidin, Asam Nikotinat,
Glukokortikoid, Hormon Tiroid, infeksi, bentuk yang jarang terjadi
dari diabetes yang di perantarai imun, sindroma genetik yang
kadang dihubungkan dengan diabetes : sindroma tumer, sindroma
Wolfram’s, Friedreich ataksia, Huntington chorea, sindrome
Laurence-Moon-Biedl (American Diabetes Association,.2015 )
Gestasional diabetes melitus. Pada beberapa pasien tidak
dapat diklasifikasikan dengan jelas sebagai diabetes tipe 1 atau tipe
2. Presentasi klinis dan perkembangan penyakit bervariasi jauh dari
kedua jenis diabetes tersebut. Terkadang pasien yang dinyatakan
memiliki diabetes tipe 2 dapat hadir dengan ketoasidosis ( sel lemak
dipecah dan menghasilkan keton, yang merupakan senyawa kimia
beracun yang bisa menyebabkan darah menjadi asam ) ( American
Diabetes Association,.2015 )
Klasifikasi menurut Perkeni 2015 dapat dilihat pada tabel
dibawah ini : ( Perkeni, 2015)
Tabel 2.1 Klasifikasi etiologis DM

8
Tipe 1 Destruksi sel beta umumnya menjurus ke
defisiensi insulin absolut : autoimun &
idiopatik
Tipe 2 Bervariasi, mulai dari yang dominan
resistensi insulin disertai defisiensi insulin
relatif sampai yang dominan defek sekresi
insulin disertai resistensi insulin
Tipe lain - Defek genetik fungsi sel beta
- Defek genetik kerja insulin
- Penyakit eksokrin pankreas
- Endokrinopati
- Karena obat atau zat kimia
- Infeksi
- Sebab imunologi yang jarang
- Sindrom genetik lain yang berkaitan
dengan DM
DM gestasional

2.1.3 Patogenesis Diabetes Melitus tipe 2


Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta
pankreas telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM
tipe 2. Belakangan diketahui bahwa kegagalan sel beta pankreas terjadi
lebih dini dan lebih berat daripada yang diperkirakan sebelumnya. Selain
otot, sel liver dan sel beta, organ lain seperti jaringan lemak
( meningkatnya lipolisis ) gastrointestinal ( defisiensi incretin ), sel alpha
pancreas ( hiperglukagonemia ), ginjal ( peningkatan absorpsi glukosa ),
dan otak ( resistensi insulin), semuanya ikut berperan dalam
menimbulkan terjadinya gangguan toleransi pada DM tipe 2. Delapan
organ penting dalam gangguan toleransi glukosa ini penting dipahami
karena dasar patofisiologi ini memberikan konsep tentang : pengobatan
harus ditujukan guna memperbaiki gangguan patogenesis, bukan hanya
untuk menurunkan HbA1c saja, pengobatan kombinasi yang diperlukan

9
harus didasari atas kinerja obat pada gangguan multiple dari patofisiologi
DM tipe 2, pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah
atau memperlambat progresivitas kegagalan sel beta yang sudah terjadi
pada penyandang gangguan toleransi glukosa.(Perkeni, 2015)
DeFronzo pada tahun 2009 menyampaikan, bahwa tidak
hanya otot, liver, dan sel beta pancreas saja yang berperan sentral dalam
patogenesis penderita DM tipe 2 tetapi terdapat organ lain yang berperan
yang disebutnya sebagai the ominous octet ( gambar 1 )

Gambar 1 The ominus octet, delapan organ yang berperan dalam


patogenesis hiperglikemia pada DM tipe 2 ( Perkeni, 2015)
( Ralph A.DeFronzo. From the Triumvirate to the ominous octet: A new
paradigm for the treatment of type 2 Diabetes Melitus. Diabetes. 2009 ;
58: 773-795)
Secara garis besar patogenesis DM tipe 2 disebabkan oleh delapan hal
( Omnious octet ) sebagai berikut :
Kegagalan sel beta pancreas
Pada saat diagnosis DM tipe 2 ditegakkan, fungsi sel beta
sudah sangat berkurang. Obat antidiabetik yang bekerja melalui
jalur ini adalah sulfonilurea, meglitinid, GLP-1, agonis, dan DPP-4

10
inhibitor (Perkeni, 2015)
Liver
Pada penderita DM tipe 2 terjadi resistensi insulin yang berat
dan memicu gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam
keadaan basal oleh liver ( HGP = hepatic glucose production )
meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini adalah metformin
yaitu menekan proses gluconeogenesis (Perkeni, 2015)

Otot
Pada penderita DM tipe 2 didapatkan gangguan kinerja insulin
yang multiple di intramioseluler, akibat gangguan fosforilasi
tirosin sehingga timbul gangguan transport glukosa dalam sel
otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi
glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin dan
tiazolidindion (Perkeni, 2015)
Sel Lemak
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari
insulin, menyebabkan peningkatan proses lifolisis dan kadar
asam lemak bebas dalam plasma. Peningkatan asam lemak
bebas akan merangsang proses glukoneogenesis, dan
mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. Peningkatan
asam lemak bebas juga akan mengganggu sekresi insulin.
Gangguan yang disebabkan ini disebut sebagai lipotoxocity, obat
yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidindion (Perkeni, 2015)
Usus
Glukosa yang ditelan memicu rspon insulin jauh lebih besar
dibanding diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai
efek incretin ini diperankan oleh 2 hormon yaitu GLP-1
( glucagon-like polypeptid-1 ) dan GIP ( glucose-dependent
insulinothropic polypeptide ) atau disebut juga gastric inhibitory
popypeptide. Pada penderita DM tipe 2didapatkan defisiensi GLP-
1dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin akan
segera dipecah oleh keberadaan enzim DPP-4, sehingga hanya

11
bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja menghambat
kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor.
Saluran pencernaan juga memiliki peran dalam penyerapan
karbohidrat melalui kinerja enzim alfa-glucisodase yang mmecah
polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian diserap oleh
usus dan berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan.
Obat yang bekerja untuk menghambat kinerja enzim alfa-
glukosidase adalah akarbosa (Perkeni, 2015)

Sel Alfa pancreas


Merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia
dan sudah diketahui sejak 1970. Sel alfa berfungsi dalam sintesis
glukagon yang dalam keadaan puasa kadarnya didalam plasma
akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan HGP dalam
keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding dengan
individu yang normal. Obat yang menghambat sekresi glukagon
atau menghambat reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis,
agonis, DPP-4 inhibitor dan amyllin (Perkeni,2015)
Ginjal
Merupakan organ yang diketahui berperan dalam
pathogenesis DM tipe 2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram
glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini
akan diserap kembali melalui peran SGLT-2. Obat yang
menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan
kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan
dikeluarkan lewat urin. Obat yang bekerja dijalur ini adalah SGLT-
2 inhibitor. Dafaglizodin adalah salah satu contoh obatnya
(Perkeni,2015)
Otak
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada
individu yang mengalami obesitas baik yang DM maupun non-
DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme
kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan
makanan justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang

12
juga terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur ini adalah GLP-1
agonis, amyllin, dan bromokriptin (Perkeni, 2015)

2.1.4 Faktor Resiko Diabetes Melitus ( Binfar,2005)


Berikut beberapa faktor resiko untuk diabetes melitus,
terutama pada diabetes melitus tipe 2 ditampilkan pada table
dibawah ini :
Tabel 2.2 Faktor resiko diabetes melitus ( Binfar 2005)
Usia 20-59 tahun : 8,7 %
>65 tahun : 18 %
Obesit >120 % ( berat badan ideal )
as
Hipert >140/90 mmHg
ensi
Hiperl Kadar HDL rendah <35 mg/dl
ipide Kadar lipid darah tinggi >250 mg/dl
mia
Riway Dalam keluarga terdapat riwayat
at diabetes ras/etnis.
Menderita diabetes gestasional
Pernah melahirkan bayi dengan BB >4
kg
IFG (Impaired Fasting Glucose ) atau
IGT ( Impaired Glucose Tolerance )
Menderita kista ovarium ( PolyCystic
ovary syndrome )
Faktor Pola makan yang rendah serat
resiko Kurangnya melakukan olahraga yang
lain teratur.

2.1.5 Lansia
Pengertian Lanjut Usia ( Lansia )
Usia lanjut adalah sesuatu yang harus diterima sebagai suatu
kenyataan dan fenomena biologis. Kehidupan itu akan diakhiri dengan
proses penuaan yang berakhir dengan kematian ( Stenley et al, 2006 ).

13
WHO dan Undang – undang nomor 13 tahun 1998 tentang
kesejahteraan lanjut usia pada Bab 1 pasal 1 ayat 2 menyebutkan bahwa
usia 60 tahun adalah usia permulaan tua. Menua bukanlah suatu
penyakit, tetapi merupakan proses yang berangsur-angsur
mengakibatkan perubahan kumulatif, merupakan proses menurunnya
daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam dan luar
tubuh.
Secara ekonomi, penduduk lanjut usia lebih dipandang
sebagai daya. Banyak orang yang beranggapan bahwa kehidupan
masa tua tidak lagi memberikan manfaat.
Batasan Lansia
WHO menggolongkan lanjut usia berdasarkan usia
kronologis/biologis menjadi 4 kelompok, yaitu : usia pertengahan (middle
age) yaitu antara usia 45 sampai 59, lanjut usia (elderly) berusia antara
60-74, lanjut usia tua (old) 75-90tahun, dan usia sangat tua (Very old)
diatas 90 tahun.
Sedangkan Nugroho (2000) menyimpulkan pembagian umur
berdasarkan pendapat beberapa ahli, bahwa yang dimaksud lanjut usia
adalah orang yang berumur 65 tahun keatas.
Menurut Prof. Dr. Koesmanto Setyonegoro, lanjut usia
dikelompokkan menjadi : usia dewasa muda (elderly adulthood) yaitu
usia 19-25 tahun, dan usia dewasa penuh (middle years) yaitu usia 25-65
tahun, lanjut usia (geriatric age) lebih dari 65 tahun atau 70 tahun yang
dibagi lagi dengan 70-75 tahun (young old) 75-80 tahun (old), lebih dari
80 tahun (very old).
Menurut Undang-undang no 4 tahun 1965 pasal 1, seseorang
dapat dinyatakan sebagai seorang jompo atau lanjut usia setelah
mencapai umur 55 tahun, tidak mempunyai atau tidak berdaya mencari
nafkah sendiri untuk kebutuhan hidupnya sehari-hari dan menerima
nafkah dari orang lain. Undang-undang no.13 tahun 1998 tentang
kesejahteraan lansia bahwa lansia adalah seseorang yang mencapai usia
60 tahun ke atas.
Penggolongan lansia menurut Depkes RI dikutip dari Azis
(1994)menjadi tiga kelompok, yaitu : kelompok lansia dini (55-64 tahun)

14
merupakan kelompok yang baru memasuki lansia, kelompok lansia (65
tahun keatas), kelompok lansia resiko tinggi yaitu lansia yang berusia
lebih dari 70 tahun.
Fisiologi Lansia
Proses penuaan bersifat normal, berlangsung secara terus
menerus secara alamiah. Dimulai sejak manusia lahir bahkan sebelumnya
dan umumnya dialami seluruh makhluk hidup. Menua merupakan proses
penurunan fungsi struktural tubuh yang diikuti penurunan daya tahan
tubuh. Setiap orang akan mengalami masa tua, akan tetapi penuaan
pada tiap orang berbeda-beda tergantung pada berbagai faktor yang
mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut dapat berupa faktor herediter,
nutrisi, stress, status kesehatan, dan lain-lain (Gramedia,Jakarta)

Permasalahan Yang Terjadi Pada Lansia


Berbagai permasalahan yang berkaitan dengan pencapaian
kesejahteraan lanjut usia, antara lain) : makin besar jumlah lansia yang
berada dibawah garis kemiskinan, makin melemahnya nilai kekerabatan
sehingga anggota keluarga yang berusia lanjut kurang diperhatikan,
dihargai, dan dihormati,masih rendahnya kuantitas dan kualitas tenaga
profesional pelayanan lanjut usia, belum membudaya dan melembaganya
kegiatan pembinaan kesejahteraan lansia. (Basuki Riyanto, 2015)
Permasalahan khusus pada lansia yaitu berlangsungnya
proses menua yang berakibat timbulnya masalah baik secara fisik mental
maupun sosial, berkurangnya integrasi sosial lanjut usia, rendahnya
produktifitas kerja lansia, banyaknya lansia yang miskin terlantar dan
cacat, berubahnya nilai sosial masyarakat individualistik. ( Azizah, M.L
2011 )

Perubahan-perubahan yang terjadi pada Lansia


Semakin bertambahnya umur manusia, terjadi proses
penuaan secara degeneratif yang akan berdampak pada perubahan-
perubahan pada diri manusia, tidak hanya perubahan fisik tetapi juga
kognitif, perasaan,sosial, dan seksual.(Basuki Riyanto, 2015)
Perubahan fisik

15
Sisten Indra : sistem pendengaran ( gangguan pada
pendengaran) oleh karena hilangnya kemampuan (daya) pendengaran
pada telinga dalam, terutama pada bunyi suara atau nada-nada yang
tinggi, suara yang tidak jelas, sulit dimengerti kata-kata,50% terjadi pada
usia diatas 60 tahun. (Basuki Riyanto, 2015)
Sistem Intergumen : pada lansia kulit mengalami atropi,
kendur, tidak elastis, kering dan berkerut. Kulit akan kekurangan cairan
sehingga menjadi tipis dan berbercak. Kekeringan kulit disebabkan atropi
glandula sebasea dan glandula sudoritera, timbul pigmen berwarna
coklat pada kulit dikenal dengan liver spot. .(Basuki Riyanto, 2015)
Sistem Muskoloskeletal : perubahan sistem muskoloskeletal
pada lansia antara lain jaringan penghubung (kolagen dan elastin),
kolagen sebagai pendukung utama kulit,tendon, tulang,kartilago, dan
jaringan pengikat mengalami perubahan menjadi bentangan yang tidak
teratur(Basuki Riyanto, 2015)
Jaringan Kartilago : pada persendian lunak dan mengalami
granulasi dan akhirnya permukaan sendi menjadi rata, kemudian
kemampuan kartilago untuk regenerasi berkurang dan degenerasi yang
terjadi cenderung ke arah progresif, konsekuensinya kartilago pada
persendian menjadi rentan terhadap gesekan. .(Basuki Riyanto, 2015)
Tulang : berkurangnya kepadatan tulang setelah di observasi
adalah bagian dari penuaan fisiologi akan mengakibatan osteoporosis
lebih lanjut akan mengakibatkan nyeri, deformitas, fraktur.(Basuki
Riyanto,2015)
Otot : perubahan struktur otot pada penuaan sangat
berfariasi, penurunan jumlah dan ukuran serabut otot, peningkatan
jaringan penghubung dan jaringan lemak pada otot mengakibatkan efek
negatif.
Sendi : pada lansia, jaringan ikat sekitar sendi seperti
tendon,ligament dan fasia mengalami penuaan elastisitas. .(Basuki
Riyanto, 2015)
Sistem Kardiovaskuler : massa jantung bertambah, ventrikel
kiri mengalami hipertropi dan kemampuan peregangan jantung
berkurang karena perubahan pada jaringan ikat dan penumpukkan

16
lipofusin dan jaringan konduksi berubah menjadi jaringan ikat.(Basuki
Riyanto, 2015).
Sistem Respirasi : pada penuaan terjadi perubahan jaringan
ikat paru, kapasitas total paru tetap tetapi volume cadangan paru
bertambah untuk mengompensasi kenaikan ruang rugi paru, udara yang
mengalir ke paru berkurang. Perubahan pada otot, kartilago dan
kemampuan peregangan toraks menjadi berkurang. .(Basuki Riyanto,
2015)
Pencernaan dan Metabolisme : perubahan yang terjadi pada
sistem pencernaan seperti penurunan produksi sebagai penurunan fungsi
yang nyata misalnya kehilangan gigi, indera pengecap menurun, rasa
lapar menurun (sensitifitas lapar menurun), liver(hati)makin mengecil dan
menurunnya tempat penyimpanan serta berkurangnya aliran darah. .
(Basuki Riyanto, 2015)
Sistem perkemihan : pada sistem perkemihan terjadi
perubahan yang signifikan. Banyak fungsi yang mengalami kemunduran,
contohnya laju filtrasi, eksresi dan reabsorpsi oleh ginjal. .(Basuki
Riyanto, 2015)
Sistem saraf : sistem susunan saraf mengalami perubahan
anatomi dan atropi yang progresif pada serabut saraf lansia. Lansia
mengalami penurunan koordinasi dan kemampuan dalam
melakukan aktifitas sehari-hari. .(Basuki Riyanto, 2015)
Sistem reproduksi : perubahan sistem reproduksi lansia
ditandai dengan menciutnya ovary dan uterus. Terjadi atropi pada
payudara, pada laki-laki testis masih dapat memproduksi
spermatozoa meskipun adanya penurunan secara berangsur-
angsur. .(Basuki Riyanto, 2015)
2.1.6 Pengelolaan Diabetes melitus tipe 2
Diagnosis DM ditetapkan atas dasar pemeriksaan kadar
glukisa darah. Pemeriksaan kadar glukosa darah yang dianjurkan
adalah pemeriksaan darah secara enzimatik dengan bahan
plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat
digunakan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah
kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan

17
atas dasar adanya glukosuria.( Perkeni, 2015)
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada pasien
DM.Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat
keluhan seperti : keluhan klasik DM ( poliuria, polidipsia,
polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan sebabnya), keluhan lain ( badan lemah, kesemutan,
gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus
vulva pada wanita ) (Perkeni, 2015)

2.2 Diagnosa Diabetes Melitus


Diagnosa diabetes melitus berdasarkan American Diabetes
Association( ADA ) pada tahun 2015 terdapat beberapa cara untuk
mendiagnosa DM berdasarkan tipe DM tersebut :
Diagnosa diabetes melitus tipe 1 dan 2 : parameter glikemik
pada pasien yang tidak hamil, Fasting Plasma Glucose ( FPG ) :
Metode termudah yang sering digunakan, 126 mg/dl atau lebih,
Random Plasma Glucose ( RPG ): 200 mg/dl atau lebih dengan
adanya gejala hiperglikemia, gejala hiperglikemia disertai dengan
poliurua, polidipsi, dan kehilangan berat badan, konsentrasi
hemoglobin A 1 c baik. Test glukosa oral : konsentrasi glukosa
selama 2 jam proses pencernaan dengan 75 gram glukosa oral,
200 mg/dl atau lebih, lebih sensitif dan spesifik dibandingkan
dengan FPG, tetapi bila digunakan tidak praktis, A 1 c
( hemoglobin ) : 6,5% atau lebih, kurang sensitif bila
dibandingkan dengan FPG tetapi tidak mengharuskan untuk
melakukan puasa sehingga hasilnya kurang bervariasi dari hari
ke hari, nilai A 1 c tidak akurat pada pasien yang baru saja
menerima transfusi darah atau kehilangan banyak darah.Test
diagnosa lain : C-peptida ( kadar sekresi insulin biasanya tidak
terlalu berarti pada DM tipe 1 dan normal maupun tinggi pada
DM tipe 2, terdapat sel antibodi
Diagnosis pre diabetes : berkurangnya glukosa puasa : FPG
diantara 100-125 mg/dl, berkurangnya glukosa toleran : 2 jam
glukosa plasma setelah OGTT ( 75 gram diantara 140-199 mg/dl )

18
( ADA,2015)
Diagnosis diabetes gestasional : Parameter glikemik pada
pasien hamil => 75 gram OGTT pada kehamilan 24-28 minggu :
puasa : 92 mg/dl atau lebih, 1 jam setelah OGTT : 180 mg/dl atau
lebih, 2jam setelah OGTT : 153 mg/dl atau lebih. ( ADA,2015)

2.3 Penatalaksanaan Diabetes Melitus( PERKENI 2015)


Penatalaksanaan diabetes melitus mempunyai 2 macam
penatalaksanaan menurut Persatuan Endokrinologi Indonesia ( PERKENI
2015) yaitu berupa terapi tanpa obat dengan cara pengaturan diet,
olahraga secara teratur. Sedangkan untuk terapi obat dapat dilakukan
dengan antidiabetes oral, terapi insulin, atau keduanya.
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan
kualitas hidup penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan tersebut
meliputi :
Tujuan jangka pendek : menghilangkan keluhan DM,
memperbaiki kualitas hidup, dan mengurangi resiko komplikasi
akut
Tujuan jangka panjang : mencegah dan menghambat
progresivitas penyulit mikroangiopati dan makroangiopati
Tujuan akhir pengelolaan adalah menurunnya morbiditas dan
mortalitas DM.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa
darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid melalui pengelolaan
pasien secara komperensif. ( PERKENI 2015)

Langkah-langkah penatalaksanaan umum


Perlu dilakukan evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama
yang meliputi :
Riwayat penyakit : usia dan karakteristik saat onset diabetes, pola
makan, status nutrisi, status aktifitas, fisik, dan riwayat perubahan berat
badan ; riwayat tumbuh kembang pada pasien; pengobatan yang pernah
dilakukan sebelumnya secara lengkap,termasuk terapi gizi, medis, dan
penyuluhan yang telah diperoleh tentang perawatan DM secara mandiri;

19
pengobatan yang sedang dijalani,termasuk obat yang sedang digunakan,
perencanaan makan, dan program latihan jasmani; riwayat komplikasi
akut ( ketoasidosis diabetik, hiperosmolar hiperglikemia, hipoglikemia );
riwayat infeksi sebelumnya terutama infeksi kulit, gigi, dan trakus
urogenital; gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik pada ginjal,
mata, jantung dan pembuluh darah, kaki, saluran pencernan, dll ;
pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah ;
faktor resiko : merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner,
obesitas, dan riwayat penyakit keluarga ( termasuk penyakit DM dan
endokrin lain ); riwayat penyakit dan pengobatan diluar DM ; karakteristik
budaya, psikososial, pendidikan, dan status ekonomi. ( PERKENI 2015)
Pemeriksaan fisik :Pengukuran tinggi dan berat badan,
Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah
dalam posisi berdiri untuk mencari kemungkinan adanya
hipotensi ortostatik, Pemeriksaan funduskopi, Pemeriksaan
rongga mulut dan kelenjar tiroid, Pemeriksaan jantung, evaluasi
nadi baik secara palpasi maupun dengan stetoskop,
Pemeriksaan kaki secara komprehensif (evaluasi kelainan
vaskular, neuropati, dan adanya deformitas), Pemeriksaan kulit
(akantosis nigrikans, bekas luka, hiperpigmentasi, necrobiosis
diabeticorum, kulit kering, dan bekas lokasi penyuntikan insulin),
Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe lain.
(PERKENI 2015)
Evaluasi Laboratorium, Pemeriksaan kadar glukosa darah
puasa dan 2jam setelah TTGO, Pemeriksaan kadar HbA1c.
Penapisan Komplikasi : harus dilakukan pada setiap pasien yang
baru terdiagnosis diabetes melitus tipe 2 melalui pemeriksaan :
Profil lipid pada keadaan puasa : kolesterol total, High Density
Lipoprotein ( HDL ) dan Low Density Lipoprotein ( LDL ) dan
trigliserid; test fungsi hati, test fungsi ginjal ( kreatinin serum dan
estimasi GFR ); test urin rutin; albumin urin-kreatinin sewaktu;
elektrokardiogram; pemeriksaan kaki secara komperensif.
Penapisan komplikasi dilakukan di pelayanan kesehatan primer,
Bila fasilitas belum tersedia, pasien dirujuk ke pelayanan

20
kesehatan sekunder dan atau tersier. (PERKENI 2015)

Langkah-langkah Penatalaksanaan Khusus


Penatalaksanaan DM dimulai dengan menerapkan pola hidup
sehat (terapi nutrisi medis dan aktivitas fisik) bersamaan dengan
intervensi farmakologis dengan obat anti hiperglikemia secara
oral dan/atau suntikan. Obat anti hiperglikemia oral dapat
diberikan sebagai terapi tunggal atau kombinasi. Pada keadaan
emergensi dengan dekompensasi metabolik berat, misalnya:
ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan
cepat, atau adanya ketonuria, harus segera dirujuk ke Pelayanan
Kesehatan Sekunder atau Tersier. (PERKENI 2015)
Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala
hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan kepada
pasien. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri tersebut
dapat dilakukan setelah mendapat pelatihan khusus. (PERKENI
2015)

Edukasi
Dengan tujuan promosi hidup sehat perlu selalu dilakukan
sebagai bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang
sangat penting dari pengelolaan DM secara holistik. Materi edukasi terdiri
dari materi edukasi tingkat awal dan materi edukasi tingkat lanjutan.
(PERKENI 2015)
Materi edukasi tingkat awal dilakukan di pelayanan kesehatan
primer yang meliputi : materi tentang perjalanan penyakit DM,
makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara
berkelanjutan, penyulit DM dan resikonya, intervensi non
farmakologis dan farmakologis serta target pengobatan, interaksi
antara asupan makanan, aktifitas fisik dan obat
antihiperglikemia oral atau insulin serta obat-obatan lain, cara
pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah
atau urin mandiri ( hanya jika pemantauan glukosa darah
mandiri tidak tersedia ),mengenal gejala dan penanganan awal

21
hipoglikemia, pentingnya latihan jasmani yang teratur,
pentingnya perawatan kaki, cara mempergunakan fasilitas
perawatan kesehatan. (PERKENI 2015)
Materi edukasi pada tingkat lanjutan dilaksanakan di
pelayanan kesehatan sekunder dan atau tersier yang meliputi :
mengenal dan mencegah penyulit akut DM, pengetahuan
mengenai penyulit menahun DM, penatalaksanaan DM selama
menderita penyakit lain, rencana untuk kegiatan khusus ( contoh
: hamil, puasa ), hasil penelituan dan pengetahuan masa kini dan
teknologi mutakhir tentang DM, pemeliharaan atau perawatan
kaki. Perilaku hidup sehat bagi penyandang Diabetes Melitus adalah memenuhi
anjuran: Mengikuti pola makan sehat, Meningkatkan kegiatan jasmani dan latihan
jasmani yang teratur, Menggunakan obat DM dan obat lainya pada keadaan
khusus secara aman dan teratur, Melakukan Pemantauan Glukosa Darah Mandiri
(PGDM) dan memanfaatkan hasil pemantauan untuk menilai keberhasilan
pengobatan, melakukan perawatan kaki secara berkala, memiliki kemampuan
untuk mengenal dan menghadapi keadaan sakit akut dengan tepat, mempunyai
keterampilan mengatasi masalah yang sederhana, dan mau bergabung dengan
kelompok penyandang diabetes serta mengajak keluarga untuk mengerti
pengelolaan penyandang DM, mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan
kesehatan yang ada. (PERKENI 2015)
Prinsip yang perlu diperhatikan pada proses edukasi DM adalah : memberikan
dukungan dan nasehat yang positif serta hindari terjadinya kecemasan, memberikan
informasi secara bertahap dimulai dengan hal-hal yang sederhana dan dengan cara yang
mudah dimengerti, melakukan pendekatan untuk mengatasi masalah dengan melakukan
simulasi, mendiskusikan program pengobatan dengan secara terbuka, perhatikan keinginan
pasien, berikan penjelasan secara sederhana dan lengkap tentang program pengobatan yang
diperlukan oleh pasien dan didiskusikan hasil pemeriksaan laboratorium, melakukan
kompromi dan negosiasi agar tujuan pengobatan dapat diterima, memberikan motivasi
dengan memberikan penghargaan, melibatkan keluarga atau pendamping dalam proses
edukasi, perhatikan kondisi jasmani dan psikologis serta tingkat pendidikan pasien dan
keluarganya, gunakan alat bantu audiovisual ( Perkeni, 2015)
Merurut American Diabetes Association ( ADA ) pada tahun 2015 menyarankan
beberapa parameter yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan penatalaksanaan

22
diabetes melitus
Tabel 2.3 Target penatalaksanaan diabetes melitus menurut ADA
( ADA, 2015)
Parameter Kadar ideal yang di inginkan
Kadar glukosa plasma saat 110-150 mg/dl
tidur ( Bedtime plasma
Glucose )
Kadar insulin < 7 mg/dl
Kadar Hb A 1c < 7%
Kadar LDL 100-129 mg/dl
Kadar Glukosa darah puasa <126 mg/dl
Kadar glukosa plasma puasa 90-130 mg/dl
Kadar toleransi gula darah 180 mg/dl
Tekanan darah < 130/80 mmHg

2.3.1 Golongan Obat-Obatan Antidiabetes


Penggolongan obat antidiabetes terdiri dari sulfonilurea, biguanid, glinid,
tiazolidindion dan penghambat alfa glukosidase.
Golongan sulfonilurea merupakan obat pilihan ( drug of
choice ) untuk penderita diabetes dewasa baru dengan berat badan
normal dan kurang, serta sebelumnya belum pernah mengalami
ketoasidosis. Senyawa-senyawa sulfonilurea sebaiknya tidak diberikan
pada penderita gangguan hati, gangguan ginjal, dan gangguan tiroid.
Absorpsi senyawa-senyawa sulfonilurea melalui usus cukup baik sehingga
dapat diberikan per oral ( Depkes RI, 2005 ). Senyawa sulfonilurea dibagi
menjadi dua golongan atau generasi senyawa. Golongan pertama
senyawa sulfonilurea diantaranya tolbutamid, asetoheksamid, tolazamid,
dan klorpropamid. Sedangkan untuk generasi kedua diantaranya
glibenclamid,glipizida, glikazida, dan glimepirid. Obat-obat generasi
kedua sifatnya lebih kuat bila dibandingkan dengan senyawa sebelumnya
( Gilman,A.G.,2008 ).
Golongan biguanid yang pemakaiannya masih dipakai sampai
sekarang adalah metformin. Metformin mempunyai efek utama
mengurangi produksi glukosa hati ( glukoneogenesis ), disamping juga
memperbaiki ambilan glukosa perifer, terutama dipakai pada penderita

23
diabetes yang mempunyai tubuh gemuk. Metformin di kontra indikasikan
pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal ( kreatinin serum > 1,5 ) dan
hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia ( penyakit
serebrovaskular, sepsis, syok, dan gagal jantung ) (PERKENI, 2015)
Tabel 2.4 Golongan obat (Perkeni, 2015)
Golongan Nama Obat Mekanisme Kerja
Sulfonilurea Gliburida/glibenclamid, Merangsang sekresi
Glipizida Glikazida insulin dikelenjar
Glimepirida pankreas, sehingga
Glikuidon hanya efektif pada
penderita diabetes
yang sel-sel β
pankreasnya masih
berfungsi dengan baik
Meglitinida Repaglinid Merangsang sekresi
insulin dikelenjar
pankreas
Turunan Fenilalamin Nateglinid Meningkatkan
kecepatan insulin oleh
pankreas
Biguanida Metformin Bekerja langsung
pada hati ( hepar ) ,
menurunkan produksi
glukosa hati, tidak
merangsang sekresi
insulin oleh kelenjar
pankreas
Tiazolidindion Rosiglitazon Meningkatkan
Troglitazon kepekaan tubuh
Pioglitazon terhadap insulin,
berikatan dengan
peroxisome
proliferators actived
receptor gamma /
PPAR gamma di otot,
jaringan lemak dan
hati untuk
menurunkan
resistensi insulin.
Acarbose Saxagliptin Mengurangi absorbsi
Sitagliptin glukosa di usus halus,
Linagliptin sehingga mempunyai
efek menurunkan
kadar glukosa darah
setelah makan.
DPP-IV Inhibitor Vildagliptin Meningkatkan kadar
dan aksi dari GLP-1,
pankreas
memproduksi lebih
banyak insulin pada
saat setelah makan
dan menekan sekresi
glukagon dari sel
pankreas.

24
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya samA dengan
sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin
fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu
Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat
fenilalanin). Obat ini diabsorbsi denga cepat setelah pemberian
secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini
dapat mengatasi hiperglikemia postprandial. Efek samping yang
mungkin terjadi adalah hipoglikemia (Perkeni, 2015 )
Tiazolidindion (TZD), merupakan agonis dari Peroxisome
Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu
reseptor inti yang terdapat antara lain di sel otot,
lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan
resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut
glukosa,sehingga meningkatkan ambilan glukosa di jaringan
perifer.Tiazolidindion meningkatkan retensi cairan
tubuh sehingga dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal
jantung karena dapat memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati
pada gangguan faal hati, dan bila diberikan perlu
pemantauan faal hati secara berkala. Obat yang masuk
dalam golongan adalah Pioglitazone. (Perkeni,2015)
Penghambat Alfa Glukosidase.Obat ini bekerja dengan
memperlambat absorbsi glukosa dalam usus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah
makan.Penghambat glukosidase alfa tidak digunakan pada keadaan:
GFR≤ /min/1,73 m2,gangguan faal hati yang berat, irritable bowel
syndrome. Efek samping yang mungkin terjadi berupa bloating
(penumpukan gas dalam usus)sehingga sering menimbulkan
flatus.Guna mengurangi efek samping pada awalnya 30. Konsensus
Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2. diberikan
dengan dosis kecil. Contoh obat golongan ini adalah Acarbose.
( Perkeni, 2015)

25
Tabel 2.5 Profil obat antihiperglikemia Oral ( Perkeni, 2015)
Golongan Obat Cara kerja utama Efek samping

Sulfonilurea Meningkatkan sekresi BB naik,


insulin hipoglikemia
Glinid Meningkatkan sekresi BB naik,
insulin hipoglikemia
Metformin Menekan produksi Dispepsia, diare,
glukosa hati & asidosis laktat
menambah sensitifitas
terhadap insulin
Penghambat alfa- Menghambat absorpsi Flatulen, tinja
glukosidase glukosa lembek
Tiazolidindion Menambah sensitifitas Edema
terhadap insulin
Penghambat DPP- Meningkatkan sekresi Muntah
IV insulin, menghambat
sekresi glukagon
Penghambat Menghambat Dehidrasi, infeksi
SGLT-2 penyerapan kembali saluran kemih
glukosa di tubuli distal
ginjal

Insulin diperlukan pada saat keadaan : penurunan berat


badan yang cepat, hiperglikemia berat yang disertai ketosis,
ketoasidosis diabetik, hiperglikemia hiperosmolar non ketotik,
hiperglikemia dengan asidosis laktat, gagal dengan kombinasi
OHO dosis yang hampir maksimal, stress berat (infeksi sistemik,
pasca operasi besar, dan stroke), kehamilan dengan DM/
diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan terapi
gizi medis, gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat, kontra
indikasi dan atau alergi terhadap
OHO(Sunaryo,Haryati.Welas,2007)

26
Terapi Kombinasi
Pemberian obat hipoglikemik oral maupun insulin selalu
dimulai dengan dosis rendah untuk selanjutnya ditingkatkan
secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa darah.
Terapi dengan obat hipoglikemik oral kombinasi, harus dipilih dua
macam obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja
yang berbeda. Jika sasaran kadar glukosa darah belum tercapai,
dapat diberikan kombinasi tiga obat hipoglikemik oral dari
kelompok yang berbeda atau kombinasi obat hipoglikemik oral
dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinik
dimana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, dipilih terapi
dengan kombinasi tiga obat hipoglikemik
oral(Sunaryo,Haryati.Welas,2007)
Dasar Pemikiran terapi insulin : sekresi insulin fisiologis
terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial. Terapi insulin
diupayakan mampu menyerupai pola sekresi insulin yang
fisiologis, defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin
basal, insulin prandial atau keduanya. Defisiensi insulin basal
menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada keadaan puasa,
sedangkan defisiensi insulin prandial akan menimbulkan
hiperglikemia pada saat setelah makan. Terapi insulin untuk
substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap defisiensi
yang terjadi.
Sasaran pertama terapi hiperglikemia yaitu mengendalikan
glukosa darah basal ( puasa, sebelum makan ). Hal ini dapat
dicapai dengan terapi oral maupun insulin.Insulin yang
dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah basal
adalah insulin basal ( insulin kerja sedang atau panjang ).
Penyesuaian dosis insulin basal untu pasien rawat jalan dapat
dilakukan dengan menambah 2-4 unit setiap 3-4 hari bila sasaran
terapi belum tercapai. Apabila sasaran glukosa darah basal
( puasa ) telah tercapai, sedangkan HbA1c belum mencapai
target maka dilakukan pengendalian glukosa darah prandial (
meal-related ). Insulin yang digunakan untuk mencapai sasaran

27
glukosa darah prandial adalah insulin kerja cepat ( rapid acting)
yang disuntikkan 5-10 menit sebelum makan atau insulin kerja
pendek ( short acting ) yang disuntikkan 30 menit sebelum
makan.(ADA, 2015)
Insulin basal juga dapat dikombinasikan dengan obat
antihiperglikemia oral untuk menurunkan glukosa darah prandial
seperti golongan obat peningkat sekresi insulin kerja pendek
( golongan glinid ), atau penghambat penyerapan karbohidrat
dari lumen usus (acarbose ), atau metformin ( golongan
biguanid ). Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan
dengan kebutuhan pasien dan respon individu yang dinilai dari
hasil pemeriksaan kadar glukosa darah harian. (ADA, 2015)

Komplikasi
Komplikasi diabetes melitus dapat bersifat akut maupun
kronis. Komplikasi akut terjadi jika kadar glukosa daeah
seseorang meningkat atau menurun tajam dalam waktu yang
relatif singkat. Komplikasi kronis berupa kelainan pembuluh
darah yang akhirnya bisa menyebabkan serangan jantung, ginjal,
saraf, dan penyakit berat yang lainnya. (ADA, 2015)
Komplikasi akut
Hipoglikemia : Adalah suatu keadaan seseorang dengan kadar
gula darah dibawah normal
Ketoasidosis diabeteik-non diabetik : Komplikasi ini dapat
diartikan sebagai suatu keadaan tubuh yang sangat
kekurangan insulin dan sifatnya yang mendadak
Koma hiperosmolar non ketotik : Komplikasi ini diartikan
sebagai suatu kondisi tubuh tanpa penimbunan lemak
sehingga penderita tidak menunjukkan pernafasan cepat dan
dalam.
Koma Lakto asidosis : Komplikasi ini diartikan sebagai suatu
keadaan tubuh dengan asam laktat didalam darah meningkat
(hiperlaktatemia) dan akhirnya menimbulkan koma.
Komplikasi kronis

28
Retinopati : Gejalanya berupa penglihatan yang secara
mendadak buram atau seperti berkabut
Nefropati : Gejalanya berupa terdapatnya protein dalam air
kencing, terjadi pembengkakan, hipertensi, dan kegagalan
fungsi ginjal yang menahun.
Neuropati : Gejalanya perasaan terhadap getaran berkurang,
rasa panas dibagian ujung tubuh, rasa nyeri, kesemutan,
serta rasa pada dingin dan panas berkurang

DM Lifestyle + Lifestyle +
terdiagnosis : metformin + basal Metformin +
lifestyle + insulin intensive insulin
metformin

Lifestyle +
metformin +
Sulfonilurea

STEP 1 STEP 2 STEP 3


Algoritma diabetes melitus tipe 2

Gambar 2.2 Algoritma diabetes melitus tipe 2


Keterangan :
*Titrasi metformin : dimulai dengan dosis rendah ( 500mg ) yang
diberikan 1 atau 2 kali bersama makan ( sarapan dan atau makan
malam ) atau 850 mg. Setelah 5-7 hari, jika efek samping
gastrointestinal tidak terjadi, dosis dapat dinaikkan menjadi 850 mg
atau 1000mg ( 2 tab 500mg ) 2kali sehari, jika pada saat dosis
dinaikkan terjadi efek samping gastrointestinal, maka dosis

29
diturunkan ke dosis sebelumnya yang lebih rendah, dan dapat
dicoba dinaikkan kembali dosis yang lebih tinggi namun setelah efek
samping menghilang. Dosis efektif maksimal dapat mencapai
1000mg 2xperhari tetapi sering hanya 2x850mg perhari, efek
samping gastrointestinal dapat dijadikan sebagaipembatas dosis
yang dapat diberikan.
Untuk kasus DM tipe2 tanpa komplikasi seperti ketoasidosis
diabeticum ( KAD ) dan Koma HiperOsmolar Non-Ketotik
(KHONK), dll.
Target jangka panjang dari terapi adalah Hba1c dilakukan setiap
3 bulan sekali.
Targer terapi kadar gula darah untuk mencapai tujuan A1c
adalah gula darah puasa ( GDP ) dan prepandial antara 70-
130mg/dl.
untuk step 2 : pemilihan antara basal insulin dan sulfonilurea
dapat mempertimbangkan kadar A1c dan ada/tidak adanya
gejala-gejala klinis yang sekunder disebabkan oleh hiperglikemia.
Jika kadar A1c > 8,5% atau adanya gejala hiperglikemia, maka
lebih dipertimbangkan untuk memakai basal inslin dengan tetap
memperhatikan edukasi dan monitoring yang baik.
step 3 : Jika step 2 gagal dilakukan, maka langkah selanjutnya
adalah menambahkan suntikan insulin tambahan yan dapat
berupa short atau rapid acting insulin yang diberikan sebelum
makan untuk mengurangi gula darah postprandial. Jika injeksi
insulin sudah dimulai, maka pemberian insulin secreteagogues
( sulfonilurea atau glinide ) harus segera dihentikan, karena
kombinasi keduanya tidak sinergis.

Monitoring
Pada praktek sehari-hari, hasil pengobatan diabetes melitus tipe 2
harus dipantau secara terencana dengan melakukan anamnesis,
pemeriksaan jasmani, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan
yang dapat dilakukan yaitu :
Pemeriksaan kadar glukosa darah, dengan tujuan untuk

30
mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai,melakukan
penyesuaian dosis obat bila belum tercapai sasaran terapi.(Perkeni,
2015)
Waktu pelaksanaan glukosa darah yaitu pada saat pemeriksaan
kadar glukosa darah puasa, glukosa 2 jam setelah makan, atau
glukosa darah pada waktu yang lain secara berkala sesuai dengan
kebutuhan.
pemeriksaan HbA1c :test hemoglobin terglikosilasi yang
disebut juga sebagai glikohemoglobin atau hemoglobin glikosilasi
merupakan cara yang digunakan untuk melihat efek perubahan terapi 8-
12 minggu sebelumnya. Untuk melihat hasil terapi dan rencana
perubahan terapi, HbA1c diperiksa setiap 3 bulan, atau tiap bulan pada
keadaan HbA1c sangat tinggi (> 10% ). Pada pasien yang telah mencapai
sasaran terapi disertai kendali glikemik yang stabil, HbA1c diperiksa
paling sedikit dua kali dalam setahun. HbA1c tidak dapat dipergunakan
sebagai alat untuk evaluasi pada kondisi tertentu seperti : anemia,
hemoglobinopati, riwayat transfusi darah 2-3 bulan terakhir, keadaan lain
yang mempengaruhi umur, eritrosit dan gangguan fungsi ginjal. (Perkeni,
2015)
Pemantauan Glukosa Darah Mandiri( PGDM ) : dapat
digunakan dengan menggunakan darah kapiler. Pada saat ini, banyak
didapatkan alat pengukur kadar glukosa darah dengan menggunakan
reagen kering yang sederhana dan mudah dipakai. Hasil pemeriksaan
kadar glukosa darah dengan memakai alat-alat tersebut dapat dipercaya
sejauh kalibrasi dilakukan dengan baik dan cara konvensional secara
berkala. PGDM dianjurkan bagi pasien dengan pengobatan suntik insulin
beberapa kali perhari.atau pada pengguna obat pemacu sekresi insulin.
Waktu pemeriksaan PGDM bervariasi, tergantung pada tujuan
pemeriksaan yang pada umumnya terkait dengan terapi yang diberikan.
Waktu yang dianjurkan adalah pada saat sebelum makan, 2 jam setelah
makan ( untuk menilai ekskursi glukosa ),menjelang waktu tidur ( untuk
menilai resiko hipoglikemia) dan diantara siklus tidur ( untuk menilai
adanya hipoglikemia nokturnal yang kadang tanpa gejala ), atau ketika
mengalami gejala seperti hypoglicemic spell.

31
PGDM terutama dianjurkan kepada : pasien dengan A1c yang tidak
mencapai target setelah terapi, wanita yang merencanakan hamil, wanita
hamil dengan hiperglikemia, kejadian hipoglikemi yang berulang (Perkeni,
2015)
Kelompok masyarakat yang mempunyai resiko tinggi dan
intoleransi glukosa
Materi penyuluhan meliputi : Program penurunan berat
badan : diet sehat, jumlah asupan kalori ditujukan untuk mencapai
berat badan ideal, karbohidrat kompleks merupakan pilihan dan
diberikan secara terbagi dan seimbang sehingga tidak
menimbulkan puncak glukosa darah yang tinggi pada saat setelah
makan, komposisi diet sehat mengandung sedikit lemak jenuh dan
tinggi serat larut, (Perkeni, 2015)
Latihan jasmani : latihan jasmani yang dianjurkan yaitu
latihan dikerjakan sedikitnya selama 150menit/minggu dengan latihan
aerobik sedang ( mencapai 50-70% denyut jantung maksimal )atau 90
menit/minggu dengan latihan aerobik berat ( mencapai denyut jantung >
70% maksimal ), Menghentikan kebiasaan merokok, pada kelompok
dengan resiko tinggi diperlukan intervensi farmakologis (Perkeni, 2015)

2.4 American Diabetes Association( ADA ) 2015


American Diabetes Association ( ADA ) 2015 adalah pedoman
ringkasan rekomendasi yang digunakan sebagai acuan dalam
pengobatan diabetes melitus yang merujuk ke dokumen sumber sebagai
rekomendasi penuh berdasar pada tingkat bukti yang ada.
Diagnosa diabetes
Kriteria untuk diagnosa diabetes terdapat 4 pilihan, yaitu :
A 1c ≥ 6,5%*: Hasil di laboratorium menggunakan metode
NGSP ( National Glycohemoglobin Standarization Program )
-bersertifikat dan standar untuk tes DCCT (Diabetes Control
and Complication Trial).
FPG ≥ 126mg/dl (7,0 mmol/L) selama OGTT (75-g/)*:
Dilakukan seperti yang dijelaskan oleh WHO , menggunakan
beban glukosa yang mengandung equlivalent 75 g glukosa

32
anhidrat dilarutkan dalam air.
Acak PG ≥200 mg/dl( 11.1 mmol/L) : Pada orang dengan
gejala hiperglikemia atau hipoglikemia krisis.(ADA,2015)
Target Glikemik
Target glikemik dewasa yang tidak hamil dengan diabetes
A1c ( Hemoglobin ) < 7,0 %, menurunkan A1c dibawah atau
sekitar 7,0 % telah ditunjukkan untuk mengurangi : komplikasi
mikrovaskuler dan penyakit makrovaskuler, prepandial kapiler PG
80-130 mg/dl(4,1 7,2mmol/L), puncak postprandial kapiler PG <
180 mg/dl ( < 10,0 mmol/L) (ADA, 2015)

Strategi untuk mencegah atau menunda diabetes melitus


tipe 2 Pencegahan penundaan diabetes tipe 2 Pasien
dengan IGT, IFG, atau lihat 5,7-6,4% A1c intensif juga diet dan
aktifitas fisik ( lifestyle ) perilaku konseling : berat badan (7%
berat badan), peningkatan aktifitas fisik ( ≥150 min/ minggu
aktifitas moderate )
Mempertimbangkan terapi morfin untuk diabetes tipe 2,
pencegahan pada pasien dengan IGT, IFG, atau A1c 5,7-6,4%
terutama dengan : BMI > 35kg/m2, usia <60tahun, wanita
dengan sebelum GDM (ADA, 2015)
1. Farmakologis terapi untuk diabetes melitus tipe 2
Obat untuk hiperglikemia pada diabetes melitus tipe 2
Metformin pilihan terapi awal ( jika ditoleransi dan tidak ada
kontraindikasi ), kapan perubahan gaya hidup sendirian tidak
mencapai atau mempertahankan tujuan glikemik.
Pertimbangkan terapi insulin dengan atau tanpa agen lain di
awal pada pasien yang baru didiagnosa dengan kadar glukosa
darah nyata gejala atau peningkatan atau A1c
Tambahkan 2 agen lisan,GLP-1 reseptor agonis atau insulin
jika non insulin monoterapi maksimal ditoleransi dosis tidak
mencapai atau mempertahankan A 1c target lebih dari 3 bulan
yang berpusat pada pasien mengingat untuk kemanjuran, biaya,
potensi efek samping, efek pada berat badan, comorbidities,

33
resiko hipoglikemia, pasien preferensi Insulin pada akhirnya
diperlukan bagi banyak pasien karena sifat progresif diabetes
melitus tipe 2.
2. Insulin dan pemantauan glukosa
Pemantauan diri glukosa darah ( SMBG )
Mendorong pasien untuk menerima beberapa dosis insulin
atau terapi pompa insulin pada saat sebelum makanan utama
dan cemilan, terkadang postprandial, pada waktu tidur, sebelum
latihan, ketika glukosa darah rendah, setelah mengobati darah
rendah glukosa sampai kadar gula darah normal, memberikan
instruksi berkelanjutan dan teratur evaluasi SMBG teknik dan
hasil dari kemampuan pasien untuk menyesuaikan terapi.
3. Komplikasi mikrovaskuler dan perawatan kaki
Pemeriksaan dan pengobatan nefropati mengoptimalkan
glukosa dan kontrol BP untuk mengurangi resiko dan
memperlambat perkembangan nefropati. Skrinning setiap
tahunnya ukuran urin albumin eksresi pada pasien diabetes tipe
1 ≥5yr durasi dan semua pasien tipe 2 mulai dari diagnosis.

34
2.5 Kerangka teori

Demografi :
Umur, Berat badan, Jenis
kelamin

Obat Diabetes
tipe 2 :
Sulfonylurea,Asetoheksamid,
Tolazamid, Glipizid, Biguanid

Pengobatan 15 hari kembali


atau langsung 1 bulan

GDP / GD2PP GDP / GD2PP


Normal tidak Normal
(50-115 mg/dl) > 115 mg/dl

Gambar 2.3 Kerangka Teori


Studi Peresepan Obat Antidabetes Oral Pada Poli Ptm Rawat
Jalan Di Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama
Periode Januari 2017-Januari 2018

35
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Penelitian ini menggunakan cara penelitian secara deskriptif cross-
sectional, yaitu dengan mengambil data dari rekam medis pasien DM tipe
2 . Dalam penelitian ini dilakukan dengan memperhatikan pola peresepan
pada penggunaan obat antidiabetes oral dengan menggunakan metode
Retrospectif. Penelitian retrospectif adalah sebuah penelitian yang
didasarkan padacatatan rekam medis, mencari mundur sampai sampai
waktu peristiwanya terjadi di masa lalu. Retrospectif umumnya adalah
melihat kembali peristiwa yang terjadi atau karya yang dihasilkan di
masa lalu Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan catatan rekam
medik pasien penderita diabetes melitus tipe 2 dengan kategori usia 55-
75 tahun pada poli PTM rawat jalan di Puskesmas Kecamatan Kebayoran
Lama kota Jakarta Selatan.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


3.2.1 Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di ruang laboratorium dan ruang obat
Puskesmas Kecamatan kebayoran Lama Jakarta Selatan.
3.2.2 Waktu Penelitian
Pengambilan data penelitian dilakukan pada bulan Februari –
April 2019

3.3 Populasi dan Sampel


3.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua rekam medik


36
pasien Diabetes Melitus tipe 2 dengan di Puskesmas Kecamatan
Kebayoran Lama Jakarta Selatan periode Januari 2017 – Januari 2018.
Populasi dalam penelitian ini sebanyak 316 pasien.

3.3.2 Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah semua rekam medik


pasien Diabetes Melitus tipe 2 yang mengambil resep di Puskesmas
Kecamatan Kebayoran Lama Jakarta Selatan periode Januari 2017 –
Januari 2018. data pasien harus jelas dan lengkap memiliki nomor
rekam medik di setiap data yang diambil.

Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah data rekam medik


yang keadaannya rusak, tidak terbaca, maupun tidak lengkap.

3.4 Teknik Pengambilan Data


Pada peneltian ini dilakukan pengumpulan data dengan cara non
random sampling, yaitu dengan menghitung, mengelompokkan kiteria
inklusi dan eksklusi, mencatat data yang diperlukan meliputi umur, kadar
gula darah puasa dan kadar gula darah 2 jam setelah puasa, jenis
kelamin, jenis obat antidiabetes oral, jumlah dosis harian dan kombinasi
obat antidiabetes oral dengan obat penyakit penyerta lain, mengolah dan
menganalisis data. Data rekam medik yang usianyanya tidak diketahui
dengan jelas, nilai GDP dan GD2Ppnya masih dibatas normal, dan hanya
melakukan kunjungan tanpa ambil resep menjadi kriteria eksklusi.

3.5 Perhitungan Minimum Sampel


Metode pengambilan sampel adalah berapa jumlah sampel yang
dibutuhkan dalam penelitian. Sampel yang terlalu kecil dapat
menyebabkan penelitian tidak dapat menggambarkan kondisi populasi
yang sesungguhnya. Sebaliknya, sampel yang terlalu besar dapat
mengakibatkan pemborosan biaya penelitian.
Salah satu metode yang digunakan untuk menentukan jumlah
sampel adalah dengan menggunakan rumus slovin seperti berikut,

37
dimana jumlah populasi yang ada yaitu 316 pasien dan setelah
digunakan metode slovin didapat jumlah sampel minimum sebanyak
pasien.
N
Rumus slovin : n=
1+ Ne 2

Keterangan : n : jumlah sampel


N : jumlah populasi
E : batas toleransi kesalahan
N
Perhitungan sampel yang dibutuhkan: n=
1+ Ne ²
316
n= = 176,53
1+316 x 0 , 05²
n = 176,53 dibulatkan menjadi 177 pasien, kemudian ditambahkan 10%
dari jumlah sampel minimum didapat 194,7 pasien dilakukan
pembulatan menjadi 195 pasien.

3.6 Definisi Operasional


NO Variabel Definisi Pengamatan Skala
Operasional
1 Usia/umur Lamanya waktu Pengelompokkan usia Inter
responden menurut Depkes RI yang val
hidup, dihitung diambil yaitu
dari lahir sampai  55-64 tahun
pada saat  65-69 tahun
dilakukan  70-75 tahun
pengambilan
data
2 Jenis Tanda pada jenis Jenis kelamin dihitung Nomi
Kelamin kelamin pada dengan mengkategorikan nal
rekam medik yaitu :
Perempuan
Laki-laki
3 Peresepan Obat yang -oral Nomi
obat digunakan - insulin nal
antidiabet pasien selama -kombinasi
ik menjalani
pengobatan
4 Penyakit Penyakit lain Hipertensi Nomi
penyerta yang diderita Kardiovaskular nal

38
pasien diabetes Gagal ginjal
melitus tipe 2 Dll
5 Berat Mengetahui Pada Pria Rasio
Badan berat badan - <17 (kurus)
responden - 17-23(normal/ideal)
ideal atau - 23-27(gemuk)
tidak - >27 obesitas
ideal. Pada wanita
- <18 (kurus)
- 18-25 (normal/ideal)
- 25-27(gemuk)
- >27(obesitas)
6 Gula darah jumlah - Glukosa Darah Puasa Nominal
kandungan (GDP)
glukosa - Glukosa darah 2 jam
dalam setelah makan
plasma (GD2PP)
darahpuasa
3.6.1 Jenis Variabel
Variabel bebas :
1. Penyakit penyerta lain
2. Jenis kelamin
3. Dosis obat
4. Jenis obat yang diberikan
Variabel terikat : Permasalahan terkait pasien yang tidak patuh
terhadap meminum obat antidiabetes yang terjadi selama
pengobatan

3.7 Alur Perizinan Penelitian


Dalam hal proses pengambilan data sekunder melalui rekam
medik yang dlakukan, peneliti mengajukan surat pengantar terlebih
dahulu dari program studi Farmasi yang disetujui oleh dekan Farmasi
ISTN, yang kemudian surat izin penelitian tersebut diserahkan
kepada PTSP walikota Jakarta Selatan. Setelah 3 hari kerja dapat
balasan dari kantor walikota Jakarta Selatan selanjutnya menuju

39
kekantor suku dinas kesehatan Jakarta Selatan dengan membawa
surat penghantar dari kantor walikota Jakarta Selatan , kurang lebih
14 hari kerja menunggu surat balasan dari kantor suku dinas
kesehatan Jakarta Selatan selanjutnya ke tempat penelitian yaitu
Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama dengan membawa surat
balasan dari kantor Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan
diserahkan ke bagian Tata Usaha untuk meminta ijin melakukan
penelitian ditempat tersebut. Setelah mendapat persetujuan dari
Kepala Puskesmas kecamatan Kebayoran Lama setelah itu penelitian
boleh dilakukan.Untuk mengumpulkan data pasien yang menderita
penyakit Diabetes Melitus tipe 2, pertama peneliti mendatangi poli
PTM untuk melihat populasi penyakit DM tipe 2 dari umur 55-75
tahun lalu ke bagian poli obat untuk melihat segi peresepannya dan
ke ruang laboratorium untuk melihat nilai kadar gula darah puasa
dan 2 jam setelah puasa.
Setelah semua data terkumpul, dilanjutkan dengan
mengidentifikasi pasien diabetes melitus tipe 2 ke Puskesmas
kecamatan Kebayoran Lama melakukan pengobatan rutin atau tidak.

3.8 Analisis Data


Pada proses menganalisa data pasien melakukan pengobatan
rutin atau tidak dapat terlihat pada saat pasien melakukan
pengambilan resep. Menurut hasil penelitian, pasien yang datang
berobat ke Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama hanya sebagian
yang rutin menjalani pengobatan rutin, sisanya hanya melakukan
check-up ke Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama ( cek kadar
gula darah, cek tensi darah ) sedangkan obat ditebus diluar Ini
karena mungkin pasien tidak mau antri lama saat mau melakukan
pengambilan obat atau mungkin lagi dalam keadaan buru-buru
urusan lain.

3.9 Kerangka Konsep


Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran

40
peresepan obat antidiabetes oral, apakah pasien diabetes melitus
tipe 2 melakukan pengobatan rutin atau tidak dilihat dari data rekam
medik dan obat apa saja yang diberikan selama proses pengobatan
di Puskesmas kecamatan Kebayoran Lama kota Jakarta Selatan.
Variasi permasalahan yang terjadi pada pengobatan tersebut
dapat diuraikan dalam bentuk variabel bebas dan terikat dalam
bentuk gambar kerangka konsep penelitian sebagai berikut :
3.10 Kerangka Konsep

Variabel Bebas
Variabel terikat

Umur Obat Diabetes GDP


Berat Badan Tipe 2: GD2PP
Jenis kelamin 1. Metformin 500 Dosis obat
ng

Gambar 3.1 Kerangka Konsep


Studi peresepan obat antidiabetes oral pada poli PTM rawat jalan
di Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Jakarta Selatan
periode Januari 2017 – Januari 2018

DAFTAR PUSTAKA

41
1. PERKENI, 2015, Konsensus Pengolahan Diabetes Melitus di Indonesia.
Jakarta
2. Swiraka IP, Penyakit degeneratif Yogyakarta, Nuha Medika; 2012. P45-
51.
3. Nati F, Diabetes bukan akhir dari segalanya, Majalah Rumah Sakit
Mitra Keluarga, 2013.
4. Worang FHK, Bawotong J, Untu FM. Hubungan pengendalian diabetes
melitus dengan kadar glukosa darah pada pasien diabetes melitus di
RSUD Manembo nembo bitung, Jurnal keperawatan Universitas Sam
Ratulangi. 2013 ; 1 : 2
5. Soegondo S, Soewondo P, Subekti 1. Penatalaksanaan diabetes
melitus terpadu Edisi ke-2 Jakarta : Balai penerbit FK UI : 2009.P.13,
15-16, 33-44, 123-6, 152, 155-6
6. American Diabetes Association,.2013.Standards of Medical Care in
Diabetes 2013.Diabetes Care Volume 36 Supplement 1 : 11-16
7. Anonim, 2005, Pharmaceutical Care untuk Penyakit Diabetes Melitus,
Depkes RI, Jakarta.
8. American Diabetes Association 2015. Diabetes Guideline Summary
Recommendation From NDEI
9. Mansjoer,2001. Kepala selekta kedokteran edisi ketiga. Jakarta Media
Aesculapius hal 580-588
10. Purnamasari, Endah dan Poerwantoro, Bambang 2011. Diabetes
Melitus dengan penyakit kronis Jakarta Pusat. Bagian patologi klinik
Fakultas Kedokteran Universitas Yani
11. Hasil Riset Kesehatan Dasar ( Riskesdas ). Jakarta Badan Penelitian
dan pengembangan kesehatan RI;2013, ( diakses tanggal 15
november 2015 ),
12. American Diabetes Association 2012. Diagnosis and Clasification of
Diabetes Melitus. Diabetes care volume 35 supplement 1:64-71
13. Powers,A.C.,2010.Diabetes Melitus,in:Jameson J.L.Harison
Endocrinology Ed 2.USA:McGraw-Hill Companies,inc:267-313
14. BINFAR 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes Melitus.
Jakarta
15. Gilman,A.G.,2008.Goodman dan Gilman Dasar Farmakologi Terapi
Volume 2,1688,1670.Diterjemahkanoleh
Aisyah,C.,Elviara,E.,Syarief,W.R.,Hanif,A,Manurung.J,Penerbit Buku
Kedokteran EGC.Jakarta
16. Soegondo, 2005.R,Sindrome Metabolik.Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid III
17. Utami, prapri dan Tim Lentera,2003. Tanaman Obat Untyk Mengatasi
42
Diabetes Melitus, Jakarta:Agro Medika Pustaka
18. Sunaryo,Haryati.Welas,2007.Perbandingan pendidikan kesehatan
antara metode diskusi dan pemecahan masalah dalam perbuatan
perilaku pasien DM tipe 2 di RSUD Swadana Pekalongan, Jurnal
Keperawatan Soedirman Volume 2, No.1,Maret 2007
19. Stenley et al.2006.Buku ajar keperawatan Geronik,ed 2.EGC,.Jakarta
20. American Diabetes Association. Diabetes Complication.
www.diabetesjournals.org.27.2004,Hal 1506-15014

43
44
45
46
47

Anda mungkin juga menyukai