Anda di halaman 1dari 3

Menakar Problem Lembaga Intra Kampus

“Deru ombak menggunungkan lautan. Tiupan angin berganti arah, layar


kapal dengan bantuan mesin tak menaruh kompromi, hingga kapal berlagak
mogok ditengah laut. Cemas, kepanikan dan tak ambil pusing dengan situasi
oleh awak kapal membingungkan sang Kapten, bagaimana menghadapi
kondisi ini?”.

Sepenggal kalimat diatas (dalam tafsiran penulis) adalah awal untuk


membuka dan masuk, membicarakan kondisi disekitar kita terutama
berkenaan dengan lembaga Intra, khususnya Badan Eksekutif Mahasiswa
(BEM), dan tak menutup kemungkinan HIMAPRO /HMJ-pun dengan
sendirinya akan tergiring dalam wacana yang sama, yang itu hadir sebagai
dan dari satu bentuk kontemplasi, perunungan dengan penuh kesadaran atas
kondisi yang kini menimpah. Banyak masalah yang mengahlikan perhatian
yang itu membutuhkan suatu tindakan responsif yang sekiranya menjadi
solusi bukan ilusi hingga menjadi wacana basi dalam diskusi.

What do you think? is there a problem around You? What is the


solution? Pertanyaan-pertanyaan serupa harus dan perlu dikemukakan,
hingga biarkan kesadaran menampar, lalu kita terbangun dari mimpi dan ego
individualis. Hingga kembali bertanya, apa yang terjadi selama ini.

Kita masih akan memakai istilah organisasi yang pernah dikemukakan


bukan karena miskin konsep, tapi dimaksudkan untuk konsistensi pengertian
(ma’lum tak semua paham), bahwa Organisasi adalah sebuah wadah untuk
sekumpulan orang yang bekerja sama secara rasional serta sistematis yang
terpimpin atau terkendali untuk mencapai tujuan tertentu memanfaatkan
sumber daya yang ada di dalamnya. Di sini yang dimaksud dengan sumber
daya adalah segala potensi diri, baik itu yang bersifat intelek maupun
kratifitas-kretifitas lain yang dimiliki oleh setiap individu. Olehnya itu
organisasi memiliki visi dan misi yang sebaik-baiknya untuk organisasi dan
manusia yang ada di dalamnya.

Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) adalah lembaga intra kampus


yang secara sah diakui keberadaannya di lingkungan kampus yang itu
merupakan subsistem kelembagaan non-struktural di tingkat fakultas dan
juga Jurusan untuk HIMAPRO/HMJ yang berada di bawah Badan Eksekutif
Mahasiswa (BEM) sesuai dengan amanat Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga Ikatan Keluarga Mahasiswa (AD&ART-IKM) Unkhair, BAB I
Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 12 dan 13.

Tentu saja, setiap Organisasi memiliki tujuan tersendiri yang itu jelas
berbeda dengan organisasi lainnya, terutama Badan Eksekutif Mahasiswa
(BEM) sekalipun berada dalam satu Institusi yang sama. Hal yang paling
subtansial dan pokok yang harus diperhatikan ialah persoalan tugas dari
pada BEM sebagai lembaga tinggi yang berada di tingkat Fakultas. Misalnya;
membuat program kerja yang jelas (tidak hitam putih), melaksanakan
koordinasi pada tingkat Fakultas dan HIMAPRO/HMJ, merealisasikan
Program kerja dan mendukung, memperjuangkan atau menindaklanjuti
aspirasi mahasiswa selama tidak bertentangan dengan sumber dan proses
hukum serta masih banyak lagi sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam
AD&ART IKM-Unkhair.
Bagaimana dengan kondisi rumah tangga kita, lembaga intra yakni
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan HIMAPRO/HMJ yang ada di Fakultas
Ilmu Budaya, apakah sudah sesuai dengan aturan mainnya, ataukah
sebaliknya? Anggap saja tulisan ini adalah keresahan seorang yang terlibat
langsung dengan kondisi nyata, bukan sebatas tulisan khayalan hasil
imajinasi yang banyak berandai-andai.

Kita realistis saja, tak perlu malu sehingga tak berlarut kita berada
dalam lingkaran setan yang mata rantainya hanya akan putus bila di Ruki’ah
layaknya orang kesurupan. Perlu disadari dini bahwa adalah kesalahan dan
masalah didalam organisasi dan cara kita menjalankan roda organisasi.
Misalkan ketimpangan struktur. Hal ini terjadi apabila posisi structural
(jabatan) dalam setiap bidang diisi/dijabati oleh/dari kalangan orang yang
memimpin. Sehingga organisasi yang dimana semestinya menjadi wadah
untuk menampung aspiratif dan kepentingan kolektif kini berubah menjadi
kepentingan sepihak dimana yang yang mayoritas menguasai yang
minoritas. Belum lagi posisi tersebut dijabati oleh orang yang secara
kapasitas dan pemahamnya tentang organisasi belumlah memadai. Sehinga
terkesan kaku untuk menjalankan roda organisasi. Bukan bermaksud
meragukan kemampuan atau membatasi orang lain untuk mengambil peran
dalam organisasi, tapi setidaknya dia, orang yang dipercayakan untuk
menjalankan roda organisasi, adalah orang yang dibuktikan dengan track
record dalam berorganisasi. Masalah inilah yang mengakibatkan terjadinya
ketimpangan struktur.

Poin kedua yang perlu dikemukakan sebagai masalah dalam


organisasi ialah hitam putihnya Program Kerja (PROKER) dan Rencana
Strategis yang tak terlalu mengarah pada subtansi Visi dan Misi Organisasi.
Ketidakjelas Program kerja berefek pada lemahnya kinerja Organisasi (dalam
artian tiap bidang dalam struktur organisasi). Kenapa tidak, kebingungan
hadir antara bidang-bidang, mana yang harus mendahului dan mana yang
didahului, rencana strategispun tak berlaku. Terkesan kaku, yang semestinya
antara Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan HIMAPRO/HMJ harus
mencari formula untuk menselaraskan program kerja, justru sebaliknya
beradu kekuatan, lembaga intra mana yang paling banyak buat kegiatan. Hal
ini seakan ada persaingan sengit antara kedua lembaga tersebut.

Dengan kondisi yang demikian, tak menutup kemungkinan


diskomunikasi hadir antara lembaga, antar pengerus yang akhirnya
memperkeruh suasana, memperparah masalah. ditambah lagi kesibukkan
sebagian anggota yang lebih cenderung pada hal-hal dan kesibukkan yang
non-organisasi. Kondisi terakhir ialah apa yang semestinya terealisasi sesuai
dengan konsep dan desain awal yang dijadikan Visi dan Misi serta tujuan
organisasi dalam satu kerangkan program kerja lengkap dengan rancangan
strategis hanya akan manjadi fatamorgana, disorientasilah yang terjadi. Jika
demikian, bukankah itu akan berefek fatal pada kefakuman organisasi? Jika
sampai pada tahap ini, dan tak ada satupun yang menyadari, bahkan
jikalaupun menyadaripun tapi bingung harus mulai darimana maka bisa di
pastikan jika tak ada jalan lain yang di ambil, langkah taktis sebagai solusi
maka organisasi akan berlarut-larut dalam kondisi yang menyedihkan.
Haruskah menunggu ratu adil atau bahkan dewa penyelamat untuk
menyelesaikan masalah, membawa keluar organisasi dari masalah ini?
Sekiranya perlu dipertanyakan dan harus dijawab.

Berdasarkan teori tauladan sejarah (the exampler theory), sejarah


dapat dipergunakan sebagai bahan pengajaran moral (Moral Instruction) atau
filsafat Moral (Moral Philospyi). Sejarah dapat mengajarkan kepada kita,
bagaimana dalam situasi tertentu kita harus bersikap, mengambil keputusan
dan bertindak. Pepatah Latin kuno “Historia Vitae Magistra”, yang berarti
sejarah adalah guru kehidupaan, cukup menunjukan kepada kita bahwa
sejarah dapat menjadi guru petunjuk, atau pedoman bagi kehidupan kita.

Hal paling urgen yang harus ada setiap organisasi ialah loyalitas.
Orang-orang yang yang loyal akan memiliki militansi yang tinggi, yang itu
berefek pada kerja-kerja organisasi. Artinya organisasi akan terus maju bila
ada orang yang bekerja sama di dalamnya secara kompak atas dasar
kesetiaan. Mereka yang memiliki kemampuan yang berbeda namun
mempunyai tujuan yang sama. Mereka loyal terhadap organisasi dan orang
yang memimpinnya.

Keragaman kemampuan menjadi modal selanjutnya untuk terus


membangun organisasi lebih maju lagi. Bagi seorang pemimpin sudah
menjadi tugasnya dalam mengetahui dan memilah-milah kemampuan
anggotanya sehingga dapat menempatkan para anggotanya sesuai dengan
keahlian masing-masing. Sehingga apa yang telah dikemukakan diatas bisa
terhindarkan, yakni ketimpangan Struktur akibat posisi/jabatan yang di isi
tidak sesuai dengan bidangnya. Organisasi yang aktif, responsive tidak
kaku,dimana program kerja dan rencana strategi berjalan berkelindan akan
orang-orang yang telah mempercayai, memberikan amanah kepada meraka
untuk menjalankan roda organisasi akan merasa senang karena mereka
hanya di tuntut kesediannya dalam membangun suatu organisasi sesuai
dengan keadaan hati mereka. Tidak ada paksaan, sehingga mereka dapat
dengan ikhlas menjalaninya.

Satu hal yang harus di perhatikan dan yang penting disini ialah
pemimpin organisasi. Sebagai seorang pemimpin harus mampu membangun
suatu organisasi yang berasal dari hati nurani, dimana bekerja tampa
paksaan melainkan dari niat hati dan kesadaran diri semata-mata bahwa apa
yang dilakuakn ialah untuk kepentingan dan kesejahtraan bersama.
Sehingga keikhlasan selalu menyertainya dan dengan sendirinya para
anggota akan sadar akan kedudukannya masing-masing yang telah di
embankan oleh seorang pemimpin. Selanjutnya tugas, fungsi dan peran
mereka akan di jalaninya tanpa harus ada perintah yang bersifat memaksa.
Terlepas dari semua yang dikemukaka sebagai solusi ialah Managemen
Organisasi yang baik, tersusun dengan rapi dan terorganisir dengan baik.

Anda mungkin juga menyukai