Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tanah mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, oleh karenanya untuk

menjaga agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari, dan juga untuk

menjamin kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah di Indonesia,

Pemerintah diwajibkan untuk menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh

wilayah Republik Indonesia, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 ayat (1)

UUPA, yang menentukan bahwa : “Untuk menjamin kepastian hukum oleh

Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia

menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”.

Maksud pasal di atas, jelas bahwa perbuatan hukum pendaftaran tanah

merupakan suatu peristiwa yang sangat penting, untuk mendapatkan kepastian

hukum bagi pemilikan tanah.

Perbuatan hukum pendaftaran tanah merupakan suatu peristiwa yang

sangat penting, karena menyangkut soal penyerahan hak atas tanah, dan hal

tersebut merupakan hak keperdataan seseorang. Hak keperdataan adalah

merupakan asasi seseorang manusia atau badan hukum yang harus dijunjung

tinggi dan dihormati oleh sesama manusia lainnya yang bertujuan untuk adanya

kedamaian dalam ikatan kehidupan kemasyarakatan yang dengan adanya

pendaftaran tanah tersebut, maka akan mendapat jaminan kepastian hukumnya.

1
Dengan demikian atas dasar hak menguasai dari negara maka menjadi

kewajiban bagi pemerintah melaksanakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah

Republik Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau biasanya disingkat dengan UUPA,

baik dengan sistem sistematis maupun sporadik. Dalam Pasal 19 UUPA

ditentukan bahwa untuk menjamin kepastian hukum hak-hak atas tanah harus

didaftarkan. Pendaftaran tanah berfungsi untuk melindungi si pemilik tanah.

Di samping itu pendaftaran tanah juga berfungsi untuk mengetahui

status sebidang tanah, siapa pemiliknya, apa haknya, berapa luasnya, untuk apa

dipergunakan dan sebagainya, dengan kata lain pendaftaran tanah bersifat land

information system dan geografis information system.

Dengan pendaftaran tanah maka masyarakat perorangan maupun badan

hukum akan memperoleh sertipikat hak atas tanah. Sesuai ketentuan Pasal 32

ayat (1) PP No.24 Tahun 2004, sertipikat merupakan tanda bukti hak yang kuat

dalam arti selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya data fisik dan data yuridis

yang tercantum di dalamnya harus diterima sebagai data yang benar.

Untuk melakukan pendaftaran tanah tersebut harus dipenuhi

persyaratan-persyaratan seperti ketentuan Pasal 37 ayat (1) Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah, bahwa : Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun

melalui jual beli, tukar menukar, hibah, waris, pemasukan dalam perusahaan

dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak


melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat

oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku, serta peraturan perundang-undangan tentang agraria.

Demikian pula halnya dengan pendaftaran tanah yang dilakukan oleh

masyarakat pesisir pantai di wilayah Kecamatan Bunguran Barat Kabupaten

Natuna Kepulauan Riau, selain harus memenuhi ketentuan Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

tanah , juga harus memenuhi Peratuan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004

Tentang Penatagunaan Tanah dan Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 1997

tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.

Namun kenyataannya di dalam masyarakat, masih ada sebagian

masyarakat yang mengajukan permohonan pendaftaran tanah dengan dasar

memiliki Surat Keterangan Penguasaan Tanah (SKPT) lalu diproses oleh

Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Natuna dan diterbitkan sertifikat hak

milik atas tanah yang dikuasainya di pesisir pantai, sedangkan sebagian yang

lainnya ditolak dengan alasan penguasaan tanah berada pada kawasan lindung

(sempadan pantai).

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk menelitinya

lebih lanjut dan membahasnya dalam bentuk skripsi dengan judul :

“PELAKSANAAN PENDAFTARAN TANAH PESISIR PANTAI OLEH

MASYARAKAT SEDANAU KECAMATAN BUNGURAN BARAT

KABUPATEN NATUNA KEPULAUAN RIAU”.


B. Rumusan Masalah

Bertitik tolak pada latar belakang penelitian di atas, maka penulis

merumuskan masalah penelitian sebagai berikut :

“Apakah Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Natuna Kepulauan Riau

Telah Mengabulkan Permohonan Sertifikat Tanah Oleh Pemegang Surat

Keterangan Penguasaan Tanah (SKPT)”.

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1. Untuk mendapatkan data dan informasi tentang pelaksanaan pendaftaran

tanah yang didasarkan Surat Keterangan Penguasaan Tanah (SKPT) oleh

masyarakat di Kecamatan Bunguran Barat Kabupaten Natuna Kepulauan

Riau.

2. Untuk mengungkapkan faktor yang menyebabkan Kantor Pertanahan

Kabupaten Natuna Kepulauan Riau belum mengabulkan permohonan

sertifikat tanah oleh pemegang Surat Keterangan Penguasaan Tanah

(SKPT).

3. Untuk mengungkapkan akubat hukum terhadap pemegang Surat

Keterangan Penguasaan Tanah (SKPT) yang belum dikabulkan

permohonan sertifikat tanah oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Natuna

Kepulauan Riau.
4. Untuk mengungkapkan upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh

pemegang Surat Keterangan Penguasaan Tanah (SKPT) untuk

mendapatkan sertifikat tanah.

D. Kerangka Pemikiran

1. Tinjauan Pustaka

Mengingat bahwa tanah menyangkut hajat hidup orang banyak maka

berdasarkan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, maka negara

menguasai dan wewenang mengatur mengenai peruntukan, kepemilikan

tanah. Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UUPA ditentukan :

“Hak menguasai dari negara termasuk dalam ayat (1) pasal ini
memberikan wewenang kepada :
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi,
air dan ruang angkasa”.1

Dalam rangka pelaksanaan kekuasaan itulah maka pemerintah

berdasarkan ketentuan Pasal 19 UUPA menyelenggarakan pendaftaraan

tanah dan memberikan atau menerbitkan sertipikat sebagai alas hak yang

terkuat bagi bukti kepemilikan tanah, sebagaimana selengkapnya Pasal 19

UUPA menegaskan :

(1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan


pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut
ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi :
a. pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah;
b. pendaftaran hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat.2

Dimaksudkan pemberian surat-surat tanda bukti hak tersebut di atas

adalah pemberian sertipikat atas kepemilikan tanah, sebagaimana ketentuan

Pasal 1 angka 20 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah menegaskan:

Sertifikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak
pengelolaan tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak
tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah
yang bersangkutan.3

Hal ini berarti sertipikat adalah merupakan bukti yang terkuat atas hak

kepemilikan tanah, dan apabila melakukan perbuatan hukum yang

berhubungan dengan tanah tersebut dan dilindungi hukum.

Dengan demikian untuk mendapatkan sertifikat tanah perlu dilakukan

pendaftaran tanah oleh pemegang hak, dan dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, memberikan

pengertian bahwa yang dimaksudkan dengan :

“Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan


oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur,
meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan , dan penyajian serta
pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan
daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun,
termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang
tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun
serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

Dalam rangka pendaftaran tanah tersebut, diperlukan alas hak untuk

penerbitan sertifikat oleh Kantor Pertanahan Kabupaten atau Kota dan untuk

pendaftaran tanah untuk pertama kalinya (yang belum pernah didaftarkan

sebelumnya) dasar alas hak yang dijadikan dasar untuk pendaftaran dapat

berupa Surat Keterangan Penguasaan Tanah (SKPT) seperti halnya yang

dilakukan oleh masyarakat pesisir pantai di Kecamatan Bunguran Barat

Kabupaten Natuna Kepulauan Riau, yang hanya memiliki Surat Keterangan

Penguasaan Tanah (SKPT) sebagai alas hak untuk dijadikan dasar

pengajuan permohonan sertifikat tanah pada Kantor Pertanahan Kabupaten

Natuna Kepulauan Riau, dan hal ini dimungkinkan sebagaimana ketentuan

yang diatur dalam Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun

1997 tentang Pendaftaran Tanah, menentukan bahwa :

Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun
melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan
dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan
hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan
akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.4

Berdasarkan ketentuan di atas, dapat dinyatakan bahwa untuk

melakukan pendaftaran tanah dapat dilakukan dengan akta di bawah tangan


dan dapat juga dilakukan dengan akta otentik yang dibuat oleh Pejabat

Pembuat Akta Tanah (PPAT).

Untuk masyarakat pesisir pantai selain ketentuan yang harus dipenuhi

untuk mendapatkan sertifikat tanah selain ketentuan Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah juga harus memenuhi

ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 Tentang

Penatagunaan Tanah dan Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 1997 tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.

Pengertian Pantai adalah bagian yang berbatasan dengan air laut

pada waktu air pasang surut yang terendah.5 Sedangkan yang

dimaksudkan dengan pesisir adalah bagian daratan antara batas air laut

pada waktu pasang surut yang terendah dan pasang naik yang

tertinggi.6

Dalam Pasal 10 Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 1997 tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ditentukan bahwa kawasan lindung

meliputi :

a) kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya;

b) kawasan perlindungan setempat;

c) kawasan suaka alam;

d) kawasan pelestarian alam;

e) kawasan cagar budaya;

f) kawasan rawan bencana alam dan ;


g) kawasan lindung lainnya.

Selanjutnya Pasal 32 Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 1997 tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional diatur bahwa kriteria kawasan

lindung berupa ukuran dan persyaratan yang digunakan untuk penentuan

kawasan-kawasan yang perlu ditetapkan sebagai kawasan berfungsi lindung.

Kemudian dalam pasal 34 ayat (1) ditetapkan bahwa kriteria kawasan

lindung untuk sempadan pantai yaitu daratan sepanjang tepian yang

lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100

meter dari titik pasang tertinggi ke arah barat.

Sedangkan dalam Pasal 13, 14 dan 15 PP No. 16 tahun 2004 ditentukan

bahwa penggunaan dan pemanfaatan tanah di kawasan lindung harus sesuai

dengan fungsi kawasan dalam rencana tata ruang wilayah dan tidak boleh

mengganggu fungsi alam, tidak mengubah benteng alam dan ekosistem

alami.

Namun kenyataannya di Kecamatan Bunguran Barat Kabupaten Natuna

Kepulauan Riau yang mengajukan permohonan sertifikat tanah yang

dikuasai masyarakat berdasarkan alas hak Surat Keterangan Penguasaan

Tanah (SKPT) belum dikabulkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten

Natuna.

2. Kerangka Konsep

Untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum bagi pemilikan tanah

perlu dilakukan pendaftaran tanah, dan yang dimaksudkan pendaftaran

tanah adalah pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan


pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang

meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftarkan dalam

wilayah atau bagian wilayah suatu desa atau kelurahan.

Dengan dilakukannya pendaftaran tanah pada Kantor Pertanahan

Kabupaten atau Kota akan diterbitkan sertifikat, dan pengertian sertifikat

adalah surat tanda bukti yang kuat bagi pemilikan hak atas tanah, dan di

dalam sertifikat tersebut dicantumkan luas tanah, lokasi batas-batas tanah

dan nama pemegang hak atas tanah tersebut. Dengan adanya sertifikat hak

atas tanah berarti adanya jaminan kepastian hukum bagi pemilikan hak atas

tanah.

Kantor Pertanahan Kabupaten atau Kota adalah kantor atau instansi

yang berwenang untuk menerbitkan sertifikat hak milik atas yang diajukan

oleh penguasa tanah (pemilik tanah) setelah melalui prosedur dan telah

melengkapi persyaratan yang telah ditetapkan.

Pendaftaran tanah dilakukan oleh masyarakat Sedanau Kecamatan

Bunguran Barat Kabupaten Natuna Kepulauan Riau adalah tanah pesisir

pantai, dimaksudkan pengertian pantai adalah bagian yang berbatasan

dengan air laut pada waktu air pasang surut yang terendah, sedangkan

pesisir adalah bagian daratan antara batas air laut pada waktu pasang surut

yang terendah dan pasang naik yang tertinggi.


E. Hipotesis

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis dapat merumuskan hipotesis

sebagai jawaban atas masalah penelitian yang masih perlu dibuktikan akan

kebenarannya, yakni sebagai berikut :

“Bahwa Masih Ada Pemegang Surat Keterangan Penguasaan

Tanah (SKPT) Yang Belum Dikabulkan Permohonan Sertifikat

Oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Natuna”.

F. Metode Penelitian

Penulis menggunakan metode Deskriptif Analisis dalam penelitian ini,

karena dimaksudkan untuk memberikan gambaran keadaan yang sebenarnya

terjadi pada saat penelitian ini dilakukan, kemudian menganalisis fakta dan

data tersebut untuk memperoleh kesimpulan yang terakhir.

1. Bentuk Penelitian

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research) :

Yakni dengan mempelajari berbagai literatur-literatur, Undang-undang,

peraturan-peraturan dan tulisan-tulisan para sarjana yang ada

hubungannya dengan masalah yang diteliti.

b. Penelitian Lapangan (Field Research) :

Yakni suatu kegiatan penelitian di lapangan dengan menghimpun data

secara langsung dari obyek yang akan diteliti.

2. Teknik dan Alat Pengumpul Data

a. Teknik Komunikasi Langsung :


Yaitu dengan mengadakan kontak langsung dengan sumber data, dalam

hal ini dengan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Natuna Kepulauan

Riau, Lurah Sedanau Kecamatan Bungur Barat Kabupaten Natuna

Kepulauan Riau dengan alat pengumpul data yang dipergunakan adalah

wawancara (interview).

b. Teknik Komunikasi Tidak Langsung :

Yaitu dengan mengadakan kontak secara tidak langsung dengan sumber

data, dengan penyebaran angket (Kuestioner) kepada masyarakat pesisir

pantai Kecamatan Bunguran Barat Kabupaten Natuna Kepulauan Riau

yang telah dimiliki Surat Keterangan Penguasaan tanah (SKPT).

3. Populasi dan Sampel

a. Populasi

Populasi merupakan keseluruhan dari obyek yang diteliti dalam penelitian

ini. Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Natuna Kepulauan Riau.

2. Lurah Sedanau Kecamatan Bungur Barat Kabupaten Natuna

Kepulauan Riau.

3. Masyarakat pesisir pantai Kecamatan Bunguran Barat Kabupaten

Natuna Kepulauan Riau yang telah memiliki Surat Keterangan

Penguasaan Tanah (SKPT) dari Januari 2009 sampai dengan Juli 2013

sebanyak 558 orang.


b. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang menjadi sumber data dalam

penelitian ini. Dalam penelitian ini penulis menggunakan sampel dengan

teknik Purpose Sampling atau sampel bertujuan, dimana subjek sampel

dipilih dapat mewakili populasi yang ada. Mengenai jumlah sampel yang

diambil, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ronny Hanitijo Soemitro,

bahwa :

“Pada prinsipnya tidak ada peraturan-peraturan yang ketat


untuk secara mutlak menentukan beberapa persen sampel
tersebut harus diambil dari populasi, namun pada umumnya
orang berpendapat bahwa sampel yang berlebihan itu lebih baik
dari kekurangannya sampel”.7

Berdasarkan pendapat tersebut, maka penulis dapat menentukan jumlah

sampel dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut :

1. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Natuna Kepulauan Riau.

2. Lurah Sedanau Kecamatan Bungur Barat Kabupaten Natuna

Kepulauan Riau.

3. Masyarakat pesisir pantai Kecamatan Bunguran Barat Kabupaten

Natuna Kepulauan Riau yang telah memiliki Surat Keterangan

Penguasaan Tanah (SKPT) dari Januari 2009 sampai dengan Juli 2013

sebanyak 558 orang diambil 5 % berjumlah 28 orang.


BAB II
KETENTUAN HUKUM TENTANG PENDAFTARAN TANAH

A. Pengertian Dan Dasar Hukum Pendaftaran Tanah

Sebelum sampai kepada pembahasan pendaftaran tanah, terlebih dahulu

dibahas mengenai asas-asas pendaftaran tanah. Di dalam Pasal 2 Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 disebutkan bahwa pendaftaran tanah

dilaksanakan berdasarkan asas sederhana, aman, terjangkau, mutakhir dan

terbuka. Yang dimaksud dengan asas sederhana adalah agar ketentuan-

ketentuan pokoknya, maupun prosedurnya dengan mudah dipahami oleh

pihak-pihak yang berkepentingan, terutama pada pemegang hak atas tanah.

Asas aman, adalah untuk menunjukkan bahwa pendaftaran tanah perlu

diselenggarakan secara teliti dan cermat, sehingga hasilnya dapat memberi

jaminan kepastian hukum, sesuai dengan tujuan pendaftaran tanah.

Yang dimaksud dengan asas terjangkau, adalah memperhatikan

kemampuan pihak-pihak yang berkepentingan yaitu keterjangkauan pihak

yang memerlukan khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan

kemampuan golongan ekonomi lemah.

Yang dimaksud dengan asas mutakhir, adalah menentukan data

pendaftaran tanah secara terus-menerus dan berkesinambungan sehingga data

yang tersimpan di Kantor Pertanahan selalu sesuai dengan keadaan nyata di

lapangan. Sedangkan asas terbuka adalah agar publik dapat memperoleh


keterangan mengenai data yang benar di setiap saat, jadi merupakan

pelaksanaan dari fungsi informasi.

Namun, sayangnya hingga saat ini prinsip keterbukaan tersebut belum

dapat dilaksanakan oleh kantor Badan Pertanahan Nasional, sehingga

masyarakat yang hendak melakukan pendaftaran hak atas tanah untuk pertama

kalinya masih mengalai berbagai kendala dalam memohon pendaftaran hak

atas tanahnya.

Menurut Boedi Harsono, bahwa :

“Sistem pendaftaran tanah, adalah mempermasalahkan tentang


apa yang harus didaftar, bentuk penyimpanan dan penyajian data
yuridis, serta bentu tanda buktinya. Terdapat dua macam sistem
pendaftaran tanah yaitu, “Sistem Pendaftaran tanah atau registration of
Deeds dan Sistem Pendaftaran Hak atau Registration of Titles”.1

Dalam hal Sistem pendaftaran tanah maupun sistem pendaftaran hak,

setiap pemberian atau penciptaan hak baru, serta pemindahan dan

pembebanannya dengan hak lain, maka harus dibuktikan dengan suatu akta.

Dalam akta tersebut dimuat data yuridis tanah yang bersangkutan yaitu

mengenai apa perbuatan hukumnya, haknya, penerimaan haknya, dan hak apa

yang dibebankan, yang kemudian akta didaftarkan oleh Pejabat Pendaftaran

Tanah.

Pada sistem pendaftaran akta, Pejabat Pendaftaran Tanah bersikaf pasif.

Artinya, Pejabat Pendaftaran Tanah tidak melakukan pengujian kebenaran

data yang disebut dalam akta yang didaftar. Jadi, di dalam sistem pendaftaran

akta, jika terjadi perubahan, wajib dibuatkan akta sebagai buktinya. Maka
dalam sistem pendaftaran akta, data yuridis yang diperlukan harus dicari

dalam akta-akta yang bersangkutan. Apabila terjadi cacat hukum pada suatu

akta yang dibuat kemudian. Sedangkan untuk memperoleh data yuridis, harus

dilakukan dengan cara title search yang memakan waktu relatif lama, di

samping dana yang lebih banyak, karena diperlukan campur tangan dari ahli.

Meskipun akta tetap merupakan sumber datanya. Jadi, di dalam sistem

pendaftaran hak terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dibuatkan suatu

daftar isian. Pada sistem pendaftaran hak, pejabat pendaftaran tanah akan

melakukan pengujian kebenaran data, yaitu sebelum dilakukan pendaftaran

hak di dalam buku tanah. Jadi, pejabat pendaftaran tanah, dalam hal ini

bersikap aktif.

Bagaimanapun sistem pendaftaran tanah yang dilakukan, hukum

melindungi kepentingan orang sebagai pemegang bukti hak berdasarkan data

yang disajikan kegiatan pendaftaran tanah, yaitu dapat dilihat dari sistem

publikasi yang dianut dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah.

Menurut Boedi Harsono, bahwa : “Penyelenggaraan pendaftaran

tanah, ada dikenal dua sistem publikasi, yaitu sistem publikasi positif

dan sistem publikasi negatif”.2

Yang dimaksud dengan sistem publikasi positif, yaitu sistem yang

menggunakan sistem pendaftaran hak, di mana buku tanah sebagai bentuk

penyajian data yuridis, dan sertifikat hak sebagai tanda bukti hak. Untuk
mengikuti siapa pemegang hak, yaitu dengan melihat nama siapa yang

terdaftar dan bukan perbuatan hukumnya.

Sedangkan sistem publikasi negatif, adalah yang menitik beratkan pada

sahnya perubahan hukum yang dilakukan untuk kemudian dapat menentukan

peralihan haknya. Dalam situasi demikian, meskipun pendaftaran sudah

dilakukan tetapi masih terbuka kemungkinan timbulnya gugatan jika

pemegang hak yang sebenarnya dapat membuktikannya.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, menganut sistem

publikasi negatif yang berunsur positif. Jadi sistem yang digunakan adalah

bukan sistem negatif murni. Pemerintah sebagai penyelenggara pendaftaran

tanah, harus berusaha sedapat mungkin untuk menyajikan data yang benar

dalam buku tanah dan peta pendaftaran, selama tidak terdapat pembuktian

yang lain, maka data yang terdapat dalam buku tanah dan yang ada pada

pendaftaran merupakan data yang dianggap benar dinyatakan sah.

Menurut Muntoha Mantan Kepala Jawatan Pendaftaran Tanah,

Departemen Agraria, menyatakan bahwa : Sistem pendaftaran tanah di

Indonesia sekarang adalah sistem negatif dengan bertendensi positif. 3

Artinya dengan sistem negatif yang bertendensi positif tersebut, jika

pada keterangan-keterangan yang ada, terdapat ketidakbenaran fakta, maka

dapat diubah dan disesuaikan dengan keadaan sebenarnya.

Ketentuan-ketentuan yang dijadikan dasar dalam pembaharuan hukum

tanah adalah Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960, dimuat dalam Lembaran


Negara Nomor 2043, demikian hukum Agraria Indonesia dapat diperbaharui

setelah lima belas tahun kemerdekaan.

Pentingnya pembaharuan hukum tanah yang dimotivasi oleh Undang-

Undang Pokok Agraria selanjutnya dapat dilihat di dalam penjelasan umum

sebagai berikut :

1. Karena Hukum Agraria yang berlaku sekarang ini sebagian


tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintah
jajahan dan sebagian lainnya yang dipengaruhi olehnya, hingga
bertentangan dengan kepentingan rakyat dan negara di dalam
melaksanakan pembangunan semesta dalam rangka
menyelesaikan revolusi nasional sekarang ini.
2. Karena sebagian akibat dari politik hukum pemerintah jajahan
itu hukum agraria tersebut mempunyai sifat dualisme, yaitu
dengan berlakunya peraturan-peraturan dari hukum adat
disamping peraturan-peraturan dari dan didasarkan atas
Hukum Barat, hal mana selain menimbulkan berbagai masalah
antar golongan yang serba sulit, juga tidak sesuai dengan cita-
cita persatuan-persatuan bangsa.
3. Karena bagi rakyat asli hukum agraria penjajah tidak
menjamin kepastian hukum.4

Setelah Undang-Undang Pokok Agraria mulai berlaku tanggal 24

September tahun 1960 dan dengan tegas mencabut peraturan-peraturan yang

berlaku pada zaman penjajahan.

Demikianlah pada pokoknya tujuan Undang-Undang Pokok Agraria

adalah sebagai berikut :

1. Meletakkan dasar-dasar penyusunan hukum agraria nasional


yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran,
kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama
rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.
2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan
kesederhanaan dalam hkum pertanahan.
3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum
mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.5

Menurut Chadidjah Dalimunthe, mengemukakan bahwa :

Pembaharuan hukum tanah telah nyata dilakukan dengan

diberlakukannya Undang-Undang Pokok Agraria di mana

perombakan hukum kolonial dan menggantikannya dengan hukum

nasional merupakan suatu pelaksanaan landreform di Indonesia.6

Selanjutnya hukum tanah yang telah diperbaharui, dikenal dengan

hukum tanah nasional yang bersifat nasional baik dari segi formal

maupun dari segi materilnya.7

Dari segi formal, hukum tanah nasinal dapat dilihat dalam peraturan

perundangan, yang dibuat oleh pembentuk Undang-Undang Indonesia, dibuat

di Indonesia dan disusun dalam bahasa Indonesia, Undang-Undang tersebut

berlaku di Indonesia meliputi semua tanah yang ada di wilayah Negara

Indonesia.

Sedangkan dari segi materilnya, hukum tanah nasional adalah

berkenaan dengan tujuan, konsepsi, asas-asas, sistem dan isinya yaitu :

1. Harus didasarkan atas hukum adat tentang tanah.


2. Harus sederhana
3. Harus menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat
Indonesia.
4. Harus tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada
hukum agama.
5. Harus memberi kemungkinan supaya bumi, air dan ruang
angkasa dapat mencapai fungsinya dalam membangun
masyarakat yang adil dan makmur.
6. Harus sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia.
7. Harus memenuhi pula keperluan rakyat Indonesia menurut
permintaan zaman dalam segala soal agraria.
8. Harus mewujudkan penjelmaan daripada ketuhanan Yang
Maha Esa Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan, dan
Keadilan Sosial sebagai asas Kerohanian negara dan Cita-cita
Bangsa, seperti yang tercantum di dalam Pembukaan Undang-
Undang Dasar.
9. Harus merupakan pelaksana daripada Dekrit Presiden tanggal 5
Juli 1959 dan manifesto politik Republik Indonesia sebagai yang
ditegaskan dalam pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960.
10. Harus melaksanakan pula ketentuan dalam Pasal 33 Undang-
Undang Dasar yang mewajibkan negara untuk mengatur
pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, hingga semua
tanah di seluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, penggunaan itu
bisa secara perseorangan maupun gotong royong.8

Indonesia telah mempunyai suatu lembaga pendaftaran tanah yang

uniform yang berlaku secara nasional, hal ini sebagai konsekwensi

berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, yang kemudian

disempurnakan kembali dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997,

L.N. 1997 Nomor 59 tanggal 8 Juli 1997 dan baru berlaku aktif tanggal 8

Oktober 1997 (Pasal 66), yang merupakan perintah dari Pasal 9 UUPA yakni

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang berbunyi: Untuk menjamin

kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh


Wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur

menurut peraturan pemerintah.

Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini menyebutkan:

1. Pengukuran, pemetaan dan pembukaan tanah.

2. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut.

3. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat

pembuktian yang kuat.

Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara

dan masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial ekonomi, serta kemungkinan

penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria.

Dalam peraturan pemerintah telah diatur tentang biaya-biaya

pendaftaran tanah, di dalamt ayat (1) peraturan tersebut, dengan ketentuan

bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya

pendaftaran tanah.

Pendaftaran tanah berasal dari bahasa Prancis, yaitu Cadastre yang

berarti suatu daftar yang menggambarkan semua persil tanah yang ada

dalam suatu wilayah berdasarkan pemetaan dan pengukuran yang

cermat, dengan kata lain suatu rekaman yang menunjukan luas, nilai

dan kepemilikan terhadap suatu bidang tanah, pengertian ini sesuai

dengan pengertian umum dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor

24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.9


Dalam bahasa Belanda, pendaftaran tanah berasal dari kata

Kadaster suatu istilah teknis untuk rekod atau rekaman, menunjukkan

kepada masyarakat luas, nilai dan kepemilikan atau lain-lain atas hak

terhadap suatu bidang tanah.10

Istilah Kadaster berasal dari istilah latin, yaitu mengenai pendaftaran

tanah. Sesungguhnya, Surveying Kadaster adalah kegiatan surveying yang

berhubungan dengan penetuan dan pendefinisian kepemilikan dan batas

tanah/lahan. Pada umumnya, masyarakat berpikir bahwa kegiatan surveying

kadaster, relatif tidak penting hingga suatu saat baru menyadari bahwa lokasi

tanahnya memberikan perspektif. Prakter pencarian batas, bukan sepenuhnya

suatu proses legal dan bukan pula sepenuhnya sebagai proses ilmiah, akan

tetapi diantara keduanya.

Seorang Surveyor Kadaster penentu batas, dalam mencari survey

sebelumnya harus mengetahui deskripsi legal dan setiap konflik serta yang

mempengaruhi tanah tersebut. Hal ini tidak hanya melibatkan ilmu

pengetahuan, akan tetapi keterampilan dalam meneliti dan menyelidikinya.

Selain itu, surveyor Kadaster harus mengerti konsep pengukuran

dengan baik untuk mencari dan menggambarkan apa yang ditemukannya, dan

mampu menginterpretasikan hubungannya dengan yang dicatat.

Kadaster adalah sistem informasi pertanahan berbasis persil yang berisi

informasi terkini tentang segala kepentingan yang terkait dengan tanah,


seperti hak atas tanah, batasan-batasan dan tanggung jawab yang harus

dipenuhi dalam pemilikan dan pengelolaan tanah.

Umumnya kadaster meliputi deskripsi geometris bidang tanah atau

persil yang dikaitkan dengan catatan lain mengenai kepentingan yang terkait

dengan bidang tanah tersebut, kepemilikan atau kontrol terhadap kepentingan-

kepentingan tersebut, selain itu sering pula berisi informasi mengenai nilai

bidang tanah dan pengembangan yang telah dilakukan di atas bidang tanah

tersebut.

Kadaster adalah merupakan alat yang tepat memberikan uraian dan

Identifikasi dari lahan tersebut dan juga sebagai continueous recording atau

rekaman yang berkesinambungan dari hak atas tanah. Namun secara umum

pendaftaran tanah merupakan kegiatan administrasi yang dilakukan oleh

pihak pemilik tanah terhadap hak atas tanahnya, baik dalam pemindahan hak

maupun dalam pemberian dan pengakuan hak baru. Berdasarkan Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 telah merumuskan mengenai pengertian

pendaftaran tanah.

Sayuti Thalib mengemukakan bahwa :

Dari kegiatan pendaftaran tanah ini yang dikenal dengan istilah


kadaster hak merupakan peta dan daftar mengenai bidang tanah yang
menguraikan keadaan hukum bidang-bidang tanah tersebut berupa
luasnya, lokasinya, subjek haknya, riwayat pemilik tanah, perbuatan
hukumnya serta perubahan-perubahan batas akibat perubahan hukum
atas tanah tersebut.11
Bachtiar Effendi, membedakan pengertian kegiatan pendaftaran tanah

dengan pendaftaran hak atas tanah, yaitu:

Kegiatan pendaftaran tanah adalah kewajiban yang harus


dilaksanakan oleh pemerintah secara terus-menerus dalam rangka
menginfentarisasikan data-data berkenaan dengan hak-hak atas tanah
menurut UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah. Pendaftaran hak atas tanah adalah
kewajiban yang harus dilaksanakan oleh si pemegang hak yang
bersangkutan dan dilaksanakan secara terus-menerus setiap peralihan
hak atas tanah tersebut dalam rangka menginfentarisasikan data-data
berkenaan dengan peralihan hak-hak atas tanah menurut UUPA dan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah gunanya untuk mendapatkan sertifikat tanda bukti hak atas
tanah yang kuat.12

Selanjutnya, Douglas J. Whalan The Toorens berpendapat bahwa

pendaftaran tanah mempunyai 4 (empat) keuntungan, antara lain

1. Security and certainly or true, artinya dengan pendaftaran tersebut


terdapat adanya kebenaran dan kepastian dari hak tersebut baik dari
peralihan haknya dan juga adanya suatu klaim dari orang lain.
2. Peniadaan dari keterlambatan dan pembiayaan yang berlebihan,
artinya dengan adanya pendaftaran tanah berkelebihan, artinya
dengan adanya pendaftaran tanah tersebut maka tidak perlu selalu
diulangi dari awal setiap adanya peralihan haknya, apakah dia
berhak atau tidak dan bagaimana rangkaian peralihan hak tersebut.
3. Penyederhanaan atas alas hak yang berkaitan peralihan hak tersebut,
maka peralihan hak itu disederhanakan dan segala proses akan dapat
dipermudah.
4. Ketelitian, artinya dengan adanya pendaftaran tanah tersebut, maka
ketelitian sudah tidak diragukan lagi.13

Pada dasarnya yang didaftarkan terhadap tanah itu adalah hak. Fungsi

hak ini lebih dominan dalam pendaftaran tanah yang terdaftar bukan hak
tetapi fungsi hak, dimana tujuan akhir dari pendaftaran tanah adalah untuk

memungkinkan haknya tersebut.

Bachtiar Effendi, mengemukakan bahwa:

Pendaftaran hak atas tanah dimaksudkan untuk memenuhi asas


Publisiteit dan asas spesialitet. Asas Publisiteit bermaksud agar
pendaftaran itu diketahui oleh semua orang, sedangkan asas spesialitet
bermaksud supaya diketahui di mana letak tanah tersebut. Pendaftaran
tanah dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor
10 tahun 1961 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah.14

Pendaftaran tanah dimaksudkan untuk mencatatkan identitas tanah yang

telah dimiliki seseorang atau suatu badan dengan hak tertentu ke Kantor

Pertanahan.

B. Hak Dan Kewajiban Pemegang Surat Keterangan Penguasaan Tanah

Sebelum pendaftaran hak atas tanah dilakukan terlebih dahulu yang

perlu diperhatikan apakah terhadap tanah tersebut pernah dibukukan atau

belum dan kelengkapan surat-surat tanahnya apakah ada atau tidak.

Sehubungan dengan kelengkapan tersebut, Effendi Perangin., membagi

proses pengeluaran sertifikat hak atas tanah melalui tiga pola seperti

berikut :

Pola 1 :Kalau tanah sudah pernah dibukukan dan surat-surat


tanahnya
Pola 2 :Kalau tanahnya belum pernah dibukukan atau sudah pernah
dibukukan tetapi tidak ada surat-surat tanahnya; tetapi ada
surat/keterangan yang dapat dipergunakan sebagai bukti
permulaan atau petunjuk bukti hak. Sebelum
dikeluarkan sertifikat perlu pengumuman.
Pola 3 :Kalau tanahnya belum/sudah pernah dibukukan tetapi tidak
ada alat bukti sama sekali. Pengeluaran sertifikat setelah ada
pengakuan hak oleh Gubernur.15

Setiap pola tersebut masing-masing mempunyai cara dan syarat-

syarat sendiri-sendiri yang harus dilengkapi guna memperoleh sertifikat.

Pada pola pertama, dimana pemilik tanah memiliki surat-surat

tanahnya dan tanah tersebut pernah dibukukan, maka prosedur yang

ditempuh pertama-tama pemilik tanah mengajukan permohonan bersama-

sama lampiran-lampirannya diajukan kepada Kepala Kantor sub

Direktorat Agraria setempat (sekarang Kepala Kantor Pertanahan

Kota/Kabupaten).

Adapun syarat-syarat yang harus dilengkapi dan dilampirkan

dalam surat-surat permohonan penerbitan sertifikat tersebut adalah :

1. Surat tanah bukti hak ata tanah;

2. Surat ukur;

3. Surat tanda kewarganegaraan;

4. Surat keterangan mengenai penggunaan tanah.16

Selanjutnya surat permohonan dan lampiran-lampirannya diperiksa

oleh petugas Kantor Pertanahan Kota/Kabupaten, dan jika semua sudah

lengkap maka Kantor Pendaftaran tanah membuat buku tanah.

Pola kedua, dimana pemilik tanah tidak mempunyai alat bukti yang

kuat tetapi mempunyai surat atau keterangan yang memberikan petunjuk,


bahwa ia adalah pemilik tanah tersebut, prosedur yang ditempuh adalah

mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Pertanahan

Kota/Kabupaten untuk pendaftaran hak atas tanah dan pengeluaran

sertifikat tanah.

Berdasarkan Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

ayat (1) ditegaskan bahwa : “Sertifikat diterbitkan untuk kepentingan

pemegang hak yang bersangkutan sesuai dengan tata fisik dan data yuridis

yang telah didaftarkan dalam buku tanah sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 30 ayat (1)”.17

Sedangkan dalam Pasal 30 ayat (1) ditentukan bahwa :

Atas dasar alat bukti dan berita acara pengesahan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 29 (3) hak atas bidang tanah :
a. Yang data fisik dan data yuridisnya sudah lengkap dan tidak ada
yang disengketakan, dilakukan pembukuannya dalam buku tanah
menurut ketentuan Pasal 29 ayat (1);
b. Yang data fisik atau data yuridisnya belum lengkap dilakukan
pembukuannya dalam buku tanah dengan catatan mengenai hal-
hal yang belum lengkap.
c. Yang data fisik dan atau data yuridisnya disengketakan tetapi
tidak diajukan gugatan ke pengadilan dilakukan pembukuannya
dalam buku tanah dengan catatan mengenai adanya sengketa
tersebut dan kepada pihak yang keberatan diberitahukan oleh
Ketua Panitia Ajudikasi untuk pendaftaran tanah secara
sistematik atau Kepala Kantor Pertanahan untuk pendaftaran
tanah secara sporadik untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan
mengenai data yang disengketakan dalam waktu 60 (enam puluh)
hari dalam pendaftaran tanah secara sporadik dihitung sejak
disampaikannya pemberitahuan tersebut.
d. Yang data fisik dan atau data yuridisnya disengketakan dan
diajukan gugatan ke Pengadilan tetapi tidak ada perintah dari
Pengadilan untuk status quo dan tidak ada putusan penyitaan dari
Pengadilan, dilakukan pembukuannya dalam buku tanah dengan
catatan mengenai adanya dalam buku tanah dengan catatan
mengenai sengketa tersebut serta hal-hal yang disengketakan;
e. Yang data fisiknya atau data yuridisnya disengketakan dan
diajukan ke Pengadilan serta ada perintah untuk status quo atau
putusan penyitaan dari Pengadilan, dibukukan dalam buku tanah
dengan mengosongkan nama pemegang haknya dan hal-hal lain
yang disengketakan serta mencatat di dalamnya adanya sita atau
perintah status quo tersebut.18

Berdasarkan uraian diatas , dapat dinyatakan bahwa pendaftaran

tanah bertujuan untuk mendapatkan kepastian hukum mengenai data-data

dari letak, batas, luas, status tanah dan orang yang berhak menerima hak

atas tanah tersebut, serta tujuan akhirnya menerbitkan sertifikat hak atas

tanah kepada yang bersangkutan yang namanya tercantum di dalam

sertifikat tersebut.

Bachtiar Effendi., mengemukakan :

“Pendaftaran tanah itu adalah kewajiban yang harus


dilaksanakan oleh pemerintah secara terus menerus dalam rangka
menginventarisasi data-data berkenaan dengan hak-hak atas tanah
menurut UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
sedangkan pendaftaran hak atas tanah adalah kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh si pemegang hak yang bersangkutan dan
dilaksanakan secara terus menerus setiap ada peralihan hak atas
tanah tersebut dalam rangka menginventarisasikan data-data
berkenaan dengan peralihan hak-hak atas tanah tersebut menurut
UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 guna
mendapatkan sertifikat tanda bukti hak atas tanah yang kuat”.19

Berdasarkan pendapat tersebut, dapat dibedakan dua pendaftaran,

yakni :
1. Pendaftaran tanah; merupakan kewajiban kepada pemerintah untuk

melakukan pendaftaran tanah tersebut, khususnya mengenai data-data

letak, batas, luas, status tanah, yang berhak atas tanah dan hanya

dilakukan satu kali khusus untuk tanah yang bersangkutan, dalam arti

apabila sudah didaftarkan maka tanah tersebut tidak lagi dilakukan

pendaftaran”.

2. Pendaftaran hak atas tanah : Merupakan kewajiban oleh si pemegang

hak atas tanah yang bersangkutan dan dilakukan setiap kali ada

peralihan hak atas tanah tersebut, seperti karena jual beli, hibah atau

karena diperoleh secara waris dan lain-lain. Disin tampak dengan jelas

bahwa pendaftaran hak mengandung aspek hukum perdata.

Setelah kewajiban berupa syarat-syarat untuk pendaftaran tanah

dipenuhi oleh pemegang atau pihak yang menguasai tanah barulah pihak

Badan Pertanahan menerbitkan sertifikat hak atas tanah dari pemegang hak

tersebut, namun untuk pemberian sertifikat hak milik atas tanah di

kawasan pesisir pantai ada ketentuan tambahan yang harus dipenuhi, yakni

ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 16

Tahun 2004 Tentang Penatagunaan Tanah dan Peraturan

Pemerintah No. 47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

Nasional.

Dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004

Tentang Penatagunaan Tanah, kebijakan penatagunaan tanah

diselenggarakan terhadap obyek tanah yang meliputi :


a) Bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya baik yang sudah atau

belum terdaftar;

b) Tanah negara

c) Tanah ulayat masyarakat hukum adat sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Terhadap obyek tanah-tanah tersebut, sebagaimana disebutkan di

atas, penggunaan dan pemanfaatan tanahnya harus sesuai dengan rencana

tata ruang wilayah. Penggunaan dan pemanfaatan tanah yang tidak sesuai

dengan rencana tata ruang wilayah tidak dapat dikembangkan

penggunaannya dan pemanfaatannya.

Obyek dari penyelenggaraan kebijakan penatagunaan tersebut di

atas dapat dikaitkan dengan pola pengelolaan tata guna tanah yang terdiri

dari kegiatan di bidang pertanahan di kawasan lindung dan kawasan

budidaya.

Dalam Pasal 13, 14 dan 15 PP No. 16 tahun 2004 ditentukan bahwa

penggunaan dan pemanfaatan tanah di kawasan lindung harus sesuai

dengan fungsi kawasan dalam rencana tata ruang wilayah dan tidak boleh

mengganggu fungsi alam, tidak mengubah benteng alam, dan ekosistem

alami.

Sedangkan Rencana Tataa Ruang Wilayah Nasional tersebut diatur

dalam Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 1997 tentang Rencana Tata

Ruang Wilayah Nasional, dalam Pasal 1 angka 7 disebutkan bahwa

kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama


melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber alam,

sumber daya buatan.

Lebih lanjut dalam Pasal 10 Peraturan Pemerintah No. 47 tahun

1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ditentukan bahwa

kawasan lindung meliputi :

a) Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya;

b) Kawasan perlindungan setempat;

c) Kawasan suaka alam;

d) Kawasan pelestarian alam;

e) Kawasan cagar budaya;

f) Kawasan rawan bencana alam dan ;

g) Kawasan lindung lainnya.

Kawasan perlindungan setempat meliputi :

a) Kawasan pantai;

b) Kawasan sungai;

c) Kawasan sekitar danau/waduk;

d) Kawasan sekitar mata air;

e) Kawasan terbuka hijau kota termasuk di dalamnya hutan kota.

Selanjutnya Pasal 32 Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 1997

tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional diatur bahwa kriteria

kawasan lindung berupa ukuran dan/atau persyaratan yang digunakan

untuk penetuan kawasan-kawasan yang perlu ditetapkan sebagai kawasan

berfungsi lindung.
Kemudian dalam Pasal 34 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 47

tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ditetapkan

bahwa : Kriteria kawasan lindung untuk sempadan pantai sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) huruf a yaitu daratan sepanjang tepian

yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai

minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah barat.

Pada Pasal 40 Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 1997 tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ditentukan bahwa pola pengelolaan

kawasan lindung bertujuan untuk :

a) Mencegah timbulnya kerusakan fungsi lingkungan hidup dan

melestarikan fungsi lindung kawasan. Sasaran pengelolaan kawasan

lindung diselenggarakan untuk meningkatkan fungsi lindung terhadap

tanah, air, iklim, tumbuhan dan satwa serta nilai budaya dan sejarah bangsa

dan

b) Mempertahankan keanekaragaman hayati, satwa, tipe ekosistem dan

keunikan alam.

Dalam pasal 41 ayat (2) ditentukan langkah-langkah pengelolaan

kawasan perlindungan setempat antara lain untuk sempadan pantai adalah

menjaga sempadan pantai untuk melindungi wilayah pantai dari kegiatan

yang mengganggu kelestarian fungsi pantai.

Dengan demikian masyarakat yang memiliki Surat Keterangan

Penguasaan Tanah (SKPT) di daerah pesisir pantai hanya dapat diterbitkan


sertifikat hak miliknya apabila area penguasaan tanah tidak berada di

kawasan sempadan pantai.

C. Akibat Hukum Bagi Pemegang Surat Keterangan Penguasaan Tanah

Yang Tidak Mengajukan Pendaftaran Tanah

Dalam hal pemberian hak atas tanah kepada warga masyarakat

yang berada pada kawasan sempadan pantai, khususnya di Sedanau

Kecamatan Bunguran Barat Kabupaten Natuna Kepulauan Riau, terdapat

kendala-kendala diantaranya adalah penguasaan Tanah di area sempadan

pantai.

Sebagaimana yang diungkapkan diatas bahwa terdapat tanah yang

berada pada kawasan sempadan pantai di Kecamatan Bunguran Barat

Kabupaten Natuna Kepulauan Riau ada bidang-bidang tanah yang dikuasai

oleh penduduk nelayan setempat tersebut biasanya didirikan rumah tempat

tinggal dengan konstruksi rumah panggung yang letaknya berada persis di

tepi pantai atau di areal pasang surut.

Penguasaan penduduk nelayan atas rumah panggung digunakan

untuk tempat tinggal tersebut hanya didasarkan Surat Keterangan

Penguasaan Tanah (SKPT) berada dalam kawasan sempadan pantai yakni

dalam area 100 meter dan data fisik tidak lengkap sehingga Badan

Pertanahan tidak bersedia menerbitkan sertifikat tanah sebagai alat bukti

pemilikan dan penguasaan atas tanahnya.

Sebagaimana dalam uraian terdahulu, bahwa pendaftaran tanah

merupakan serangkaian kegiatan dilakukan oleh pemerintah guna untuk


memperoleh data mengenai letak, batas dan luas serta status tanah pihak

yang berhak atas tanah. Untuk mendapatkan data mengenai letak dengan

demikian dibuatkan peta-petanya, sedangkan untuk mendapatkan data

batas serta luasnya dilakukan pengukuran, dan untuk mendapatkan data

yuridisnya yakni orang yang berhak dengan melihat bukti-bukti dapat

diperlihatkan pihak yang mengajukan permohonan hak atas tanah yang

bersangkutan.

Setelah data fisik dan yuridis didaftarkan dan lengkap serta tidak

ada catatan dalam arti data fisik dan atau yuridis tidak disengketakan baru

diterbitkan sertifikat hak atas tanah sebagai bukti yang kuat sebagai

jaminan kepastian hukum mengenai kepemilikan hak atas tanah tersebut.

Dalam prakteknya, Effendi Perangin., mengemukakan :

“Setelah semua syarat yang tercantum dalam Surat Keputusan

Pemberian Hak (SKPH) dipenuhi, maka Kepala Seksi Pendaftaran

segera melakukan pendaftaran hak itu pada buku tanah. Pada saat

inilah lahirnya hak atas tanah itu”.20

Dimaksudkan syarat-syarat tersebut adalah kelengkapan syarat

yang telah ditentukan dalam artian data fisik dan atau yuridis lengkap dan

tidak disengketakan (Pasal 31 ayat (1) huruf b, c, d, e Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997).

Pasal 31 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

menentukan : “Sertifikat untuk kepentingan pemegang hak yang


bersangkutan sesuai dengan data fisik dan data yuridis yang telah

didaftarkan dalam buku tanah sebagaimana diamksud dalam Pasal

30 ayat (1)”.21

Sedangkan Pasal 30 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor

24 Tahun 1997 menentukan : “Yang data fisik dan data yuridisnya

sudah lengkap dan tidak ada yang disengketakan, dilakukan

pembukuannya dalam buku tanah menurut ketentuan Pasal 29 ayat

(1).22

Berdasarkan uraian tersebut di atas, setelah dilakukan pendaftaran

tanah, sudah lengkap data fisik dan yuridis dan tidak ada sengketa

mengenai data fisik dan atau data yuridis baru dikeluarkan sertifikat hak

atas tanah dan diketahui bahwa sertifikat adalah merupakan alat bukti yang

kuat bagi kepemilikan hak atas tanah, maka akibat hukum apabila tidak

ada sertifikat hak milik atas tanah maka tidak akan ada bukti atas

kepemilikan tanah.

Pihak yang memiliki tanah tetapi tidak memiliki sertifikat hak

milik atas tanah, sehingga yang bersangkutan tidak dapat membuktikan

kepemilikannya atas tanah yang tersebut, karena tidak memiliki sertifikat

untuk membuktikan kepemilikannya atas tanah secara hukum.

Dalam hubungan dengan hal tersebut, Djoko Prakoso, dan Budiman

Adi Purwanto., mengemukakan :


“Kemudian dari lain pihak timbul suatu pertanyaan tentang
masalah ini bagaimanakah seseorang atau badan hukum dapat
membuktikan, bahwa ia mempunyai hak atas tanah atas suatu bidang
tertentu, dialah yang berhak, dialah yang mempunyainya. Hal
demikian itu mungkin saja timbul dari pihak-pihak yang
berkepentingan yang ingin menghaki atau mempunyai tanah atau
bidak tanah dengan melalui transaksi yang benar, apakah tanah itu
betul-betul merupakan hak atau kepunyaan”.23

Dengan demikian sekalipun seseorang secara nyata (yang

sebenarnya) memiliki bidang tanah akan merasakan kesulitan untuk

membuktikan bahwa yang bersangkutan memang benar-benar memiliki

sebidang tanah.

Dengan memiliki sertifikat hak atas tanah tentunya kesulitan di

atas, tidak akan ada, karena sertifikat merupakan alat bukti yang kuat bagi

kepemilikan hak atas tanah, dan sertifikat tersebut diperoleh setelah

dilakukan pendaftaran tanah. Sebaliknya apabila tidak dilakukan

pendaftaran atas tanah yang bersangkutan, maka sulit untuk membuktikan

kepemilikan hak atas tanah tersebut.

Lebih lanjut Djoko Prakoso, dan Budiman Adi Purwanto.,

mengemukakan :

“Dengan sertifikat hak atas tanah dengan mudah dapat


membuktikan, ditinjau dari segi yuridis :
a. Status hukum tanah yang kita kuasai (punyai) apakah
tanah hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak
pakai atau hak pengelolaan.
b. Bahwa kitalah yang berhak atas tanah itu.
c. Beban yang mungkin ada di atas tanah kita itu, tanah kita
sedang dalam sitaan atau sedang dijadikan jaminan hutang
dengan dibebani hak tanggungan.
d. Peristiwa-peristiwa hukum apa yang terjadi atas tanah kita
itu, jual beli, tukar menukar, hibah, hibah wasiat, warisan
dan lain-lain peristiwa yang harus dicatat di dalam buku
tanah dan sertifikat hak tanah menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.
Dan ditinjau dari kadasternya : Tanah yang mana yang kita
haki itu, letaknya batas-batasnya dan luasnya.24

D. Upaya Pemegang Surat Keterangan Penguasaan Tanah (SKPT) Yang

Tidak Mengajukan Permohonan Pendaftaran Tanah

BPN dalam memberikan sertifikat hak milik atas tanah kepada

pemegang hak berpegang teguh terhadap pada ketentuan hukum yang

berlaku pada kawasan sempadan pantai.

Dalam ketentuan Pasal 11 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 16

tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah, dengan tegas mengatur : bahwa

terhadap tanah dalam kawasan lindung yang belum ada hak atas tanahnya

dapat diberikan hak atas tanah, kecuali pada kawasan hutan. Namun

sebagaimana diatur dalam Pasal 13, penggunaan dan pemanfaatan tanah di

kawasan lindung harus sesuai dengan fungsi kawasan dalam Rencana Tata

Ruang Wilayah dan tidak boleh mengganggu fungsi alam, tidak mengubah

bentang alam dan ekosistem alami.

Dengan demikian berdasarkan ketentuan di atas, dapat dinyatakan

upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh pemegang Surat Keterangan

Penguasaan Tanah (SKPT) di kawasan sempadan pantai adalah


mengusahakan dan dapat membuktikan bahwa penggunaan dan

pemanfaatan tanah di kawasan sempadan pantai tidak bertentangan dengan

fungsi kawasan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah dan tidak boleh

mengganggu fungsi alam, tidak mengubah bentang alam dan ekosistem

alami.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian - uraian yang telah dikemukakan terdahulu pada

Bab III, maka kita dapat menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Bahwa sebagian besar pemegang Surat Keterangan Penguasaan Tanah

(SKPT) di Kecamatan Bunguran Barat Kabupaten Natuna Kepulauan Riau

permohonan pengajuan sertifikat hak atas tanah pada Kantor Pertahanan

Kabupaten Natuna Kepulauan Riau tidak dikabulkan.

2. Bahwa faktor yang menyebabkan Kantor Pertanahan Kabupaten Natuna

Kepulauan Riau belum mengabulkan permohonan pengajuan sertifikat hak

atas tanah pesisir pantai, yang diajukan poleh pemegang Surat Keterangan

Penguasaan Tanah (SKPT) adalah karena penguasaan tanah berada pada

kawasan lindung (sempadan pantai), harus sesuai dengan rencana tata

ruang wilayahh dan dikhawatirkan merusak lingkungan dan ekosistem.

3. Bahwa akibat hukum terhadap Kantor Pertahanan Kabupaten Natuna yang

tidak mengabulkan permohonan pengajuan setifikat oleh pemegang Surat

Keterangan Penguasaan Tanah (SKPT) adlah pembuktian pemilikan tanah

hanya didasarkan pada Surat Keterangan Penguasaan Tanah (SKPT), tidak

adanya jaminan kepastian hukum bagi kepemilikan tanah.

4. Bahwa upaya – upaya yang dilakukan responden terhadap Kantor

Pertaanahan Kabupaten Natuna yang tidak mengabulkan permohonan

57
58

pengajuan sertifikat hak atas tanah adalah menghubungi Kantor Pertanahan

Kabupaten Natuna, dapat membuktikan bahwa penggunaan dan

pemanfaatan tanah di kawasan sempadan pantai tidak bertentangan dengan

fungsi kawasan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah dan tidak boleh

mengganggu fungsi alam.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan – kesimpulan yang telah di kemukakan di atas,

maka kita dapat memberikan saran sebagai berikut :

1. Hendaknya pihak Kantor Badan Pertahanan Kabupaten Natuna Kepulauan

Riau memberikan bimbingan dan penyuluhan mengenai saran dan

prosedur pendaftaran tanah di area sempadan pantai, agar masyarakat

terutama yang tinggal di area sempadan pantai dapat lebih memahami

melakukan perbuatan hukum yang berhubungan dengan tanah sehingga

ada kepastian hukum pemilikan tanah.

2. Hendaknya Pemerintah Daerah Kabupaten Natuna Kepulauan Riau dapat


mencarikan solusi yang terbaik pada masyarakat pemegang Surat

Keterangan Penguasaan Tanah (SKPT) yang ditolak pendaftaran

pengajuan sertifikat oleh Kantor Badan Pertanahan Kabupaten Natuna

Kepulauan Riua agar masyarakat tidak menjadi resah terutama mengenai

tempat tinggal mereka.

Anda mungkin juga menyukai