Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang
RIYA.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dengan melakukan sesuai
kemampuan terbaik kami, dan bantuan dari berbagai pihak sehingga memperlancar
pembuatan makalah ini. untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih atas selesainya
penyusunan makalah
ini.
Terlepas dari semua itu kami menyadari masih ada keurangan baik dalam segi
penyusunan maupun tata bahasanya. Oleh karena itu saran dan kritik yang
membangun sangat dibutuhkan agar dapat membuat makalah dengan lebih baik lagi
kedepanya.
Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang RIYA ini memeberikan manfaat
dan dapat menambah wawasan pembaca.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar………………………………………………………………………………………………………………………i
Daftar Isi……………………………………………………………………………………………………………………………….ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang…………………………………………………………………………………………………………………1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………………………………………………………….2
C. Tujuan Makalah………………………………………………………………………………………………………………..2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Riya………………………………………………………………………………………………………………..3
C. Hukum Riya………………………………………………………………………………………………………………………5
E. Ciri-ciri Riya………………………………………………………………………………………………………………………7
A. Kesimpulan…………………………………………………………………………………………………………………….20
B. Saran………………………………………………………………………………………………………………………………20
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sudah menjadi hal pasti dan tidak bisa ditawar lagi, dalam diri manusia ada
yang namanya nafsu yang selalu mendorong jiwa pada hal yang negative dan
perbuatan yang jelek. Disadari atau tidak nafsu ini, adalah semacam energy negatif
yang terus memicu pada arah yang keji dan tidak diridhai oleh Allah SWT.
Persoalan ini, sebenarnya bukan hal yang asing untuk di perbincangkan, akan
tetapi problem lawas yang sampai saat ini tetap saja aktual untuk selalu dibahas dan
selalu didiskusikan. Mengapa demikian? Tidak dapat dipungkiri lagi, pergolakan
akut dalam jiwa antara energi buruk dan energi baik senantiasa bergejolak memimpin
jalan hidup manusia. Konsekwensinya adalah siapakah pemenang dari pergolakan
tersebut maka dialah yang akan menjadi sebuah karakter yang melekat pada setiap
individual.
Dari hal inilah, hasil dari pergolakan tersebut akan menuai banyak kerugian.
Sebab jika yang menang adalah energi jelek yang didorong oleh hawa nafsu atau
tuntunan syetan, maka sudah bisa dipastikan akan menjadi boomerang terhadap
dirinya sendiri dan menjerumuskan pada kobaran api neraka yang sarat dengan
siksaan yang sangat pedih. Dalam hal ini sebisa mungkin bagaimana bias
mengantisipasi semaksimal mungkin akan terjadinya pergolakan dan dimenangkan
oleh energi jelek itu sendiri, sehingga bisa selamat dari pergolakan dua energi itu.
Bagaimana caranya hal itu dihasilkan?
Menjadi hal urgen, untuk meminimalisir terjadinya pergolakan adalah tetapnya
hati senantiasa ingat dan senantiasa bertafakkur terhadap kekuasaan Allah SWT.
sehingga dengan seperti itulah akan didapatkan kesadaran akan kekuasaan Allah.
Bukankah Allah mencipta segala sesuatu merupakan hal yang perlu dikaji dan banyak
hikmahnya?
1
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Makalah
PEMBAHASAN
A. Pengertian Riya
Secara etimologi, kata riya berasal dari kata ru’yah, yang artinya
menampakkan. Dikatakan arar-rajulu, berarti seseorang menampakkan amal shalih
agar dilihat oleh manusia. Makna ini sejalan dengan firman Allah SWT:
1. Al-Qur’an
َلو سانلا ءائر هلام قفني يذلاك ىذلْاو نمل@اب مكتاقدص اول@طبت َل اونمآ نيذلا اهيأ اي
ادلص هكرتف لباو هباصأف بارت هيل@ع ناوفص لثمك هلثمف رخْلا مويلاو للَّاب نمؤي
نيرفاكلا موقلا يدهي َل اللَّو اوبسك امم ءيش ىل@ع نوردقي َل
ايرلا لاق كرشل ا امو هللا ل وسر اي اول@اق رغص َلا ك رشل ا مكيلع فاخا ام فخا نا
) ( دمحا هور
Artinya :”Sesungguhnya perkara yang paling aku khawatirkan dari beberapa
hal yang aku khawatirkan adalah syirik kecil. Sahabat bertanya,”Apa syirik kecil
itu, ya Rasulallah ?” Beliau menjawab,”Riya.” (HR Ahmad nomor 225828 dari
Mahmud bin Labidin)
C. Hukum Riya
Riya’ ada dua jenis. Jenis yang pertama hukumnya syirik akbar. Hal ini terjadi jika
sesorang melakukan seluruh amalnya agar dilihat manusia, dan tidak sedikit pun
mengharap wajah Allah. Dia bermaksud bisa bebas hidup bersama kaum muslimin,
menjaga darah dan hartanya. Inilah riya’ yang dimiliki oleh orang-orang munafik.
Allah berfirman tentang keadaan mereka (yang artinya), “Sesungguhnya orang-
orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka . Dan
apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka
bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka
menyebut Allah kecuali sedikit sekali” (QS. An Nisaa’:142).
Adapun yang kedua adalah riya’ yang terkadang menimpa orang yang beriman.
Sikap riya’ ini terjadang muncul dalam sebagian amal. Seseorang beramal karena
Allah dan juga diniatkan untuk selain Allah. Riya’ jenis seperti ini merupakan
1
perbuatan syirik asghar.
1
I’aanatul Mustafiid bi Syarhi Kitaabi at Tauhiid II/84. Syaikh Shalih Fauzan. Penerbit Markaz
Fajr
Jadi, hukum asal riya’ adalah syirik asghar (syirik kecil). Namun, riya’ bisa berubah
hukumnya menjadi syirik akbar (syirik besar) dalam tiga keadaan berikut :
2. Jika riya’ dan sum’ah mendominasi dalam seluruh jenis amalan seseorang.
2
Al Mufiid fii Muhimmaati at Tauhid 183. Dr. ‘Abdul Qodir as Shufi. Penerbit Daar Adwaus Salaf.
Cetakan pertama 1428/2007
E. Ciri-ciri Riya
ههجو هللا مرك يلع لاق مذ اذإ، تامالع يئارملل، هدحو ناك اذإ لسكي، يف ناك اذإ طشنيو
سانلا، ىنثأ اذإ لمعلا يف ديزيو، صقنيو
“Orang yang riya, terdapat beberapa ciri, (1) malas, jika seorang diri, (2) giat
jika di tengah-tengah orang banyak, (3) bertambah semangat beramal jika
mendapatkan pujian, (4) berkurang frekwensi amalnya jika mendapatkan celaan.”
6. Riya’ dengan (akibat) yang terjadi setelah perbuatan, seperti orang yang
menyukai agar diberi ucapan salam terlebih dulu, diberi sambutan dengan
wajah yang ceria, dicukupi keperluan-keperluannya dan diberi kelapangan
dalam majelis.
10. Seorang hamba beribadah dengan tujuan dan keinginannya ikhlas karena
Allah, namun ketika manusia melihat ibadahnya maka ia bertambah
giat
dalam beribadah serta membaguskan ibadahnya. Ini termasuk perbuatan
syirik tersembunyi.
11. Seorang hamba beribadah pada awalnya ikhlas karena Allah dan sampai
selesai keadaannya masih demikian, namun pada akhir ibadahnya dipuji
oleh manusia dan ia merasa bangga dengan pujian manusia tersebut serta ia
mendapatkan apa yang diinginkannya (dunia, missal: dengan memperoleh
kedudukan di masyarakat dan lainnya).
Ibnu Taimiyyah berkata, “Hal ini karena terkadang tujuan manusia itu adalah
mendapatkan ilmu dan hikmah, atau mendapatkan mukasyafah dan ta’tsirat, atau
mendapatkan penghormatan dan pujian dari manusia, atau tujuan -tujuan
lainnya, dan dia mengetahui bahwasanya hal itu bisa didapatkan dengan ikhlas
dan mengharap wajah-Nya, maka jika dia bertujuan untuk mendapatkan hal tersebut
dengan ikhlas kepada Allah dan mengarapkan Wajah-Nya, maka ini saling
bertentangan; karena orang yang menginginkan sesuatu karena sesuatu yang lain,
maka yang kedua itulah yang dituju secara dzatnya, sedangkan yang pertama
digunakan karena ia adalah perantara kepadanya, maka jika dia ikhlas kepada Allah,
dengan tujuan agar menjadi seorang alim, orang pintar, orang yang memiliki
hikmah, mukasyafah, tasharrufat, dan yang semisalnya, maka dia berarti tidak
menginginkan Allah, akan tetapi dia menjadikan Allah sebagai perantara untuk
mendapatkan tujuannya yang rendah tersebut.” (Dar’u Ta’arudh an-Naql wa al-Aql,
6/66-67).
Syaikhul Islam sangat keras sekali terhadap orang-orang yang melarang untuk
melakukan amal yang disyariatkan karena takut riya’, dan beliau menjelaskan
bahwasanya ini adalah termasuk di antara tanda-tanda orang-orang munafik yang
senantiasai mencela kaum mukminin yang taat beribadah
a) Seorang siswa mau melaksanakan tugas piketnya dengan baik sesudah guru
masuk ke kelas, dengan harapan guru menilai bahwa siswa tersebut tergolong siswa
yang rajin melaksanakan tugas
b) Seseorang menyantuni anak yatim dihadapan banyak orang agar orang banyak
menilai dirinya sebagai orang dermawan dan baik hati.
Selain contoh diatas, perbuatan riya itu bisa timbul dalam berbagai kegiatan antara
lain:
a. Riya’dalamberibadah
Apabila ada diantara jama’ah atau karena dilihat orang biasanya memperlihatkan
kekhusu’an, ruku’, sujud dipanjangkan begitu juga dengan wirid dan do’anya,
dengan harapan ingin mendapatkan pujian sebagai orang yang tekun beribadah.
b. Riya’ dalam bersedekah
Memberikan sedekah bukan karena ingin menolong orang dengan ikhlas, akan tetapi
karena ingin dicap sebagai dermawan dan pemurah.
Memakai pakaian yang bagus, perhiasan yang mahal dan beraneka ragam,
dengan harapan ingin disebut dengan orang yang kaya, mampu, melebihi orang lain.
Perbuatan riya adalah sifat tercela yang dapat menghapuskan pahala amal
ibadah seseorang. Riya berasal dari kata ru’yah, Ibnu Hajar mengatakan dalam
Fathul Bari bahwa sifat riya adalah menampakkan ibadah dengan tujuan ingin dilihat
manusia.
Para ulama berupaya memberikan berbagai jalan guna menemukan kiat-kiat agar
terhindar dari keriyaan serta mampu menghadirkan keikhlasan dalam jiwa. Diantara
cara yang mereka tawarkan adalah:
a) Menghadirkan sikap muraqabatullah, yaitu sikap yang menghayati bahwa Allah
senantiasa mengetahui segala gerak-gerik kita hingga yang sekecil-kecilnya, bahkan
yang tergores dan terlintas dalam hati sekalipun yang tidak pernah diketahui oleh
siapapun. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW mengungkapkan, “..dan
sempurnakanlah amal, karena Sang Pengawas (Allah) Maha
Melihat.,
c) Dirinya pun perlu menyadari, bahwa lambat launpun manusia akan mengetahui
apa yang terdapat di balik amalan-amalan baik yang dilakukannya, baik di dunia
apalagi di akhirat kelak.
Perbuatan riya adalah sifat tercela yang dapat menghapuskan pahala amal
ibadah seseorang. Riya berasal dari kata ru’yah, Ibnu Hajar mengatakan dalam
Fathul Bari bahwa sifat riya adalah menampakkan ibadah dengan tujuan ingin
dilihat manusia.
Abu Layyist Samarqandi dalam Tanbihul Ghafilin mengutip kalam hikmah dari
Sayyidina Ali bin Abi Thalib tentang ciri-ciri orang riya sebagaimana berikut ini.
عم ناك اذا طشنيو هدحو ناك اذا لسكي تامالع عبرا يءارملل لاق هناهنع اللها يضر بلاط يبا نب يلع نع هب مذ اذا صقنيو
هيلع ينثا اذا لمعلا يف ديزيو سانلا
Dari Ali bin Abu Thalib berkata, ” Orang yang riya memiliki empat pertanda. Dia
malas (beramal saleh) jika sedang seorang diri, semangat jika melakukannya bersama
orang-orang, bertambah rajin jika dipuji perbuatannya, dan tambah malas jika
dihina.”
Setidaknya dengan mengetahui keempat pertanda ini, kita bisa mawas diri agar
jangan sampai termasuk dari orang-orang yang riya. Jika menemukan pertanda-
pertanda tersebut dalam diri hendaknya segera memperbaiki kembali hati dan niat.
Menurut Abu Layyist Samarqandi setidaknya kita bisa melakukan tiga hal berikut ini
agar jangan sampai kita terjatuh ke dalam sifat riya, sebagaimana berikut.
Pertama, meminta izin dari Allah dalam setiap amal saleh yang kita lakukan.
Maksudnya setiap amal perbuatan tidak akan terjadi kecuali atas izin dan
kehendaknya, dengan demikian kita akan selalu bersyukur karena diberi kesempatan
untuk beribadah dan bukannya merasa kagum bangga atas amal ibadah yang
dikerjakan.
Riya’ kini sudah begitu merajalela. Meskipun dari setiap orang memiliki kadar yang
berbeda, tetap saja tujuannya adalah sama-sama ingin mendapat pujian dari manusia
dan tidak ikhlas. Riya’ berbahaya karena merupakan salah satu daripada penyakit
hati yang menjadikan seseorang masuk dalam golongan orang munafik.
Riya’ juga merupakan dosa besar karena tergolong dalam perbuatan syirik yang
mendatangkan murka Allah SWT. Balasannya tidak lain adalah siksa api neraka.
Riya’ dapat menimpa siapa saja bahkan termasuk orang mukmin yang shaleh dan
shalehah sekalipun. Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah RA, dan diriwayatkan
oleh Imam Muslim, Rasulullah SAW mengabarkan bahwa golongan yang pertama
kali dihisab adalah yang mati syahid, mempelajari dan mengajarkan ilmu, dan
bersedekah.
Akan Allah SWT justru melempar ketiganya ke dalam api neraka karena amal ibadah
yang mereka lakukan tidak dengan niat kepada Allah SWT. Firman Allah SWT
yang artinya;
“Dan apabila mereka (kaum munafikin) berdiri mengerjakan shalat, maka mereka
berdiri dalam keadaan malas dan riya’ di hadapan manusia dan tidaklah mereka
mengingat Allah kecuali sedikit sekali.” (Q. S. An Nisa ayat 142).
Masih banyak lagi bahaya perbuatan riya’ yang tentu saja sangat merugikan,
yakni:
Pada dasarnya, perbuatan riya’ itulah adalah didasarkan daripada niatnya dalam
mengerjakan amal ibadah yang ditujukan kepada selain Allah SWT. Oleh karena
niat, orang lain tidak akan tahu bahwa apa yang dikerjakan itu tujuannya adalah
untuk mendapat pujian. Oleh sebab itu, baiknya mengenali beberapa perkara yang
kebanyakan dikira riya’ dan syirik, padahal bukan.
Tidak dengan sengaja mendapat pujian dari orang lain atas perbuatan baik yang
dilakukan. Dari Abu Dzar: “Ditanyakan kepada Rasulullah SAW;
“Beritakan kepadaku tentang seseorang yang melakukan amalan kebaikan dan
orang-orang memujinya padanya!” Beliau bersabda: “itu adalah kabar gembira
yang segera bagi seorang mukmin.” (H. R. Muslim).
Ibadah yang dilakukan dengan giat tidak hanya dihadapan orang lain tapi juga saat
sendirian.
Membaguskan pakaian bukan untuk pamer atau ingin dipuji melainkan karena Allah
SWT menyukai keindahan. Dari Abdullah bin Mas’ud RA, Nabi Muhammada SAW
bersabda yang artinya;
“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan seberat
biji sawi”. Seorang laki-laki bertanya : “Ada seseorang suka bajunya bagus dan
sandalnya bagus (apakah termasuk kesombongan?)”. Beliau menjawab :
“Sesungguhnya Allah Maha Indah dan menyukai keindahan kesombongan adalah
menolak kebenaran dan merendahkan manusia.” (H. R. Muslim).
Tidak membeberkan atau menceritakan dosa sendiri, bukan maksud untuk menutupi
kekurangan agar hanya dilihat kebaikannya. Tapi berdasarkan sabda Rasulullah SAW
yang artinya;
“Semua umatku akan diampuni (atau : tidak boleh dighibah) kecuali orang yang
melakukan kemaksiatan dengan terang-terangan. Dan sesungguhnya termasuk
melakukan kemaksiatan dengan terang-terangan, yaitu seseorang yang melakukan
perbuatan (kemaksiatan) pada waktu malam dan Allah telah menutupinya (yakni,
tidak ada orang yang mengetahuinya), lalu ketika pagi dia mengatakan : “Hai
Fulan, kemarin aku melakukan ini dan itu”, padahal pada waktu malam Allah telah
menutupinya, namun ketika masuk waktu pagi dia membuka tirai Allah terhadapnya.
” (H. R Bukhari dan Muslim).
“Maukah kalian aku beritakan tentang penghuni neraka ; yaitu setiap orang
yang
berperangai jahat serta kasar, orang gemuk yang berlebih-lebihan
dalam
berjalannya, dan orang-orang yang sombong,” (H. R Bukhari, At-Tirmidzi, dan Ibnu
Majah).
1. Senjata paling ampuh adalah dengan berdoa kepada Allah SWT agar dihindarkan
daripada sifat riya’.
2. Sebisa mungkin menyembunyikan segala macam bentuk ibadah dan amalan.
3. Menumbuhkan semangat beribadah dengan cara memandang kecil kepada amalan-
amalan yang sering kita lakukan.
4. Tumbuhkan rasa takut bahwasanya ibadah akan ditolak jika tidak dikerjakan
dengan ikhlas hanya kepada Allah SWT.
5. Jangan terpengaruh orang lain.
6. Sadar bahwa sebaik-baiknya pujian adalah kebaikan di hadapan Allah SWT.
7. Sadar bahwa yang menentukan baik atau buruk, surga atau neraka, hanyalah Allah
SWT.
8. Ingatkan diri bahwa saat meninggal pun, kita akan sendirian di dalam kubur dan
yang bisa menemani kita hanya amal ibadah yang kita lakukan secara ikhlas semasa
hidup.
19
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pada intinya, keikhlasan menginginkan bagaimana seorang hamba mampu
memberikan porsi ketawazunan (baca; keseimbangan) dalam amalannya antara yang
dzahir dan bathin. Karena yang diinginkan dari ikhlas adalah adanya kesamaan
dalam kedua amalan ini, baik yang dzhir (amalan yang terlihat oleh orang lain),
maupun yang bathin (yang hanya diketahui sendiri oleh dirinya). Jika amalan
dzahirnya melebihi amalan bathinnya, berarti terdapat indikasi keriyaan. Contoh
amalan yang dilakukan secara bathin adalah senantiasa hati seseorang “basah”
dengan dzikir kepada Allah, dimanapun dan kapanpun dia berada. Demikian
juga dalam kesendirian-kesendiriannya, ia justru memperbanyak dzikir dan
melakukan aktivitas ibadah, bukan malah merupakan kesempatan untuk berlaku
maksiat.
B. SARAN
Semoga Allah mengaruniakan kepada kita hati yang ikhlas. karena betapapun
kita melakukan sesuatu hingga bersimbah peluh berkuah keringat, habis tenaga dan
terkuras pikiran, kalau tidak ikhlas melakukannya, tidak akan ada nilainya di
hadapan Allah. Bertempur melawan musuh, tapi kalau hanya ingin disebut sebagai
pahlawan, ia tidak memiliki nilai apapun.
20
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Karim
http://danil-ardika01.blogspot.com/2016/09/makalah-tentang-sifat-riya.html
https://muslimah.or.id/9937-jenis-jenis-riya-rincian-dan-macam-macam-
pelakunya.html https://muslim.or.id/5470-riya-penghapus-amal.html
https://dalamislam.com/akhlaq/larangan/riya-dalam-islam
https://www.islampos.com/hati-hati-ini-11-macam-riya-yang-mungkin-tidak-kita-sadari-
108533/
https://bincangsyariah.com/ubudiyah/lakukan-tiga-hal-ini-agar-terhindar-dari-sifat-riya-
dalam- beribadah/