Anda di halaman 1dari 28

PROPOSAL

HUBUNGAN ANTARA KOMUNIKASI PETUGAS KESEHATAN TERHADAP


SELF CARE DIABETES PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2
DI PUSKESMAS TOLO KECAMATAN KELARA
KABUPATEN JENEPONTO

Sebagai Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep) Pada


Program Studi S1 Keperawatan Stikes Tanawali Persada Takalar

OLEH:

IKAWATI M

16 CP 1049

PROGRAM STUDI SI KEPERAWATAN


STIKES TANAWALI PERSADA
TAKALAR
2020

i
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

DM merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan meningkatnya

kadar glukosa dalam darah yang diakibatkan oleh kelainan dalam sekresi insulin,

aksi insulin atau keduanya. DM dibagi dalam 2 kategori yaitu DM tipe 1 dan DM

tipe 2 (DMT2), DM tipe 1, disebabkan karena kekurangan absolut sekresi

insulin. DM tipe 2, disebabkan karena resistensi insulin dengan kelainan pada

sekresi insulin (American Diabetes Association, 2018).

DMT2 merupakan DM yang paling umum atau yang paling sering

dijumpai. Menurut International Diabetes Federation, (2016) diabetes sebagai

penyakit kronis yang mempengaruhi hampir 285 juta individu diseluruh dunia

dan prevalensi penyakit ini telah meningkat sebesar 50%. Didapatkan laporan

dari 130 negara pada tahun 2015 bahwa 382 juta orang menderita diabetes dan

diperkirakan akan meningkat menjadi 592 juta pada tahun 2035 (Guariguata et

al., 2017).

Di Indonesia didapatkan data dari Perkumpulan Endokrinologi

Indonesia bahwa pada tahun 2015, yang menderita DM mencapai 9.1 juta orang,

sehingga menempati urutan ke 5 terbanyak penderita DM setelah Negara Cina,

India, USA dan Brazil, yang sebelumnya menempati urutan ke 7 pada tahun

2013 (PERKENI, 2015). Demikian halnya di Sulawesi Selatan, didapatkan

bahwa ada 15 Provinsi yang angka kejadian DM melebihi angka kejadian secara

nasional dan Sulawesi Selatan menempati urutan ke 3 tertinggi setelah Sulawesi

1
Utara (RISKESDAS, 2013). Khusus di Kabupaten . Jeneponto Pada tahun 2018,

jumlah penderita DM tipe II terdapat 17.010 orang (2,32%), pada tahun 2019

terdapat 17.333 orang (2,74%). Hal teersebut

menunjukkan peningkatan sebesar 0,42 % Dinkes Kabupaten Jeneponto (Pada

periode Januari-Desember 2019).

Berdasarkan data yang di peroleh dari rekam medik Puskesmas Tolo,

Kecamatan. Kelara, Kabupaten. Jeneponto Terdapat 4.020 kunjungan peserta

sakit Periode Januari-Maret 2020, dari jumlah pasien yang datang terdapat 42

orang yang menderita DM, Rata-rata klien berada pada rentang usia 45-64 tahun

rekam medik Puskesmas Tolo, Kecamatan. Kelara, Kabupaten. Jeneponto

(2020).

DM tipe 2 merupakan jenis diabetes yang lebih sering terjadi 90-95%

dari semua orang yang menderita diabetes (ADA, 2016). Masalah utama yang

dihadapi oleh klien DM tipe 2 adalah peningkatan kadar gula darah yang dapat

memicu timbulnya beberapa komplikasi baik mikrovaskuler ataupun

makrovaskuler (Sousa et al, 2009). Permasalahan lain dari penderita DM tipe 2

adalah masalah psikologis yaitu beban psikologi (stress), respon emosional

negatif, cemas, depresi. Masalah social dapat muncul pada penderita DM tipe 2

berupa berkurangnya interaksi sosial dan hubungan interpersonal akibat perasaan

putus asa. Permasalahan lain yaitu masalah ekonomi terhadap penurunan

produktifitas kerja, pendapatan serta pengendalian pada pengobatan DM tipe 2

dalam jangka waktu lama yang berdampak pada ekonomi keluarga (Price &

Wilson, 2016).

2
Masalah-masalah yang dialami klien DM tipe 2 dapat diminimalkan

jika klien memiliki pengetahuan dan kemampuan yang cukup untuk melakukan

pengontrolan terhadap penyakitnya dengan melakukan self care. Self care

menggambarkan perilaku individu yang dilakukan secara sadar, bersifat universal

dan terbatas pada diri sendiri dengan tujuan mengoptimalkan, meningkatkan

kemandirian dalam derajad kesehatan (Weiler & Janice, 2016; Sousa et al, 2017).

Perawat berupaya memandirikan klien DM tipe 2 dalam mengelola

penyakitnya agar tercapai pengontrolan gula darah dan pencegahan terhadap

komplikasi. Upaya mandiri yang dilakukan oleh klien DM tipe 2 tersebut disebut

dengan self care diabetes, yang merupa-kan bagian terintegrasi dari proses

keperawatan. Self care diabetes yang dilakukan oleh klien meliputi minum obat

secara teratur, melakukan pengaturan makan/diet, melakukan latihan fisik,

monitor gula darah secara kontinu dan melakukan perawatan kaki secara teratur

(Xu Yin, et al, 2017).

Peningkatan aktifitas self care diabetes akan berdampak terhadap

peningkatan status kesehatan, karena merupakan dasar untuk mengontrol

diabetes dan mencegah komplikasi (Xu Yin et al, 2017). Self care diabetes sangat

berguna bagi klien DM tipe 2, tetapi tindakan ini belum konsisten dilakukan oleh

beberapa klien DM tipe 2.

Berdasarkan hasil wawancara dengan tiga orang klien DM tipe 2

diketahui dua orang diantaranya bosan minum obat, satu orang pola makannya

tidak teratur, dan ketiganya tidak melakukan perawatan kaki dengan alasan tidak

mengetahuinya dan petugas kesehatan tidak memberikan penjelasan secara jelas.

3
Hal ini menggambarkan bahwa self care diabetes belum dilakukan secara

adekuat.

Komunikasi dalam asuhan keperawatan klien khususnya pada

penderita DM tipe 2 memiliki peranan yang penting didalam mencapai tujuan

perawatan mandiri (Shigaki et al, 2017). Komunikasi yang efektif antara petugas

dengan klien akan mendorong perubahan perilaku perawatan diri yang lebih

mandiri dan memberikan dampak pada peningkatan derajad kesehatan yang

optimal (Piette et al,2016). Perawat sebagai petugas kesehatan perlu mengkaji,

melakukan komunikasi efektif dan mendalam terhadap beberapa aspek yang

berkaitan dengan self care diabetik.

Beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku self care diabetes

diantaranya adalah pengetahuan tentang diabetes, self efficacy, dukungan

keluarga (Xu Yin et al, 2017; Nelson et al, 2017; Bai et al, 2018). Hasil

penelitian lain menjelaskan bahwa selain faktor tersebut, social ekonomi, aspek

emosional, komunikasi, motivasi yang berkaitan dengan perilaku dalam

melakukan perawatan diri (Nwanko, 2017; Shigaki et al 2017; Kusniawati,

2018).

Hasil penelitian yang di lakukan oleh Kusniawati (2016) Komunikasi

petugas kesehatan yang efektif merupakan hal penting dan factor yang

paling berpengaruh terhadap self care diabetes. Komunikasi petugas kesehatan

yang baik tidak hanya memeberiakn pemahaman yang penting bagi klien

tentang penatalaksanaan self care diabetes yang harus dijalankan tetapi juga

dapat meningkatkan kepercayaan diri (Kusniawati, 2016).

4
Peningkatan komunikasi petugas kesehatan selain berdampak pada

self care diabetesjuga berdampak pada kepuasan dan kepatuhan ter-hadap

perencanaan pengobatan serta mening-katkan pencapaian hasil dalam

pengelolaan diabetes. Petugas kesehatan memiliki peran terdepan dalam

membantu klien mengelola kondisi kronik penyakitnya untuk meningkatkan

status kesehatan dan kualitas hidup (Heisler et al, 2015 dalam Kusniawati, 2016).

Komunikasi petugas kesehatan yang terkait dengan pendidikan

kesehatan dapat mening-katkan ketrampilan self care diabetes dan

penyesuaian terhadap diabetes serta berdampak terhadap kesehatan

emosional, mengurangi kecemasan dan depresi. Pendidikan kesehatan terkait

dengan aktifitas self care diabetes harus selalu dipertahankan dalam setiap

kunjungannya yang dilakukan dengan tujuan agar klien selalu PROFESI,

Volume 14, Nomor 1, September 2016 40 mengingat dan mematuhi hal-hal apa

saja yang harus dilakukan oleh klien dirumah agar tercapai kadar gula darah

yang terkontrol dan memini-malkan komplikasi akibat diabetes (Kusniawati

2016)

Petugas kesehatan dapat berkontribusi dalam proses tersebut dengan

cara memberikan informasi yang dibutuhkan oleh klien untuk mengatasi

masalah yang dihadapinya, membantu menetapkan tujuan agar tercapai

perubahan perilaku dan memberikan dukungan emosional secara

berkesinambungan. Hal ini dapat meningkatkan kemampuan klien jangka

panjang untuk mempertahankan self care yang efektif dan membantu klien

5
menghindari rasa bosan yang biasa dialami oleh klein diabetes (Waspatji,

2017)

Peningkatan komunikasi kesehatan antara klien dan petugas kesehatan

akan meningkatkan kepuasan, kepatuhan terhadap perencanaan pengobatan yang

harus dijalankan dan meningkatkan status kesehatan. Meningkatkan partisipasi

klien dalam pengambilan keputusan dan meningkatkan komunikasi petugas

kesehatan akan meningkatkan self care Komunikasi petugas kesehatan

merupakan faktor yang paling dominan berpengaruh terhadap self care DM.

Komunikasi petugas kesehatan berpengaruh terhadap self care terutama

berkaitan dengan pengaturan makan (diet). Komunikasi yang dijalankan oleh

petugas kesehatan berkaitan dengan pendidikan kesehatan tentang bagaimana

tindakan yang harus dilakukan oleh klien dalm kehidupan sehari hari agar gula

darah dapat terkontrol sehingga komplikasi akibat DM dapat diminimalkan

(Heisler et al, 2017)

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, penulis tertarik untuk

meneliti, Hubungan antara komunikasi petugas kesehatan dengan self care

diabetes pada klien DM di Puskesmas Tolo, Kecamatan. Kelara, Kabupaten.

Jeneponto dengan alasan karena Puskesmas ini merupakan salah satu tempat

pelayanan kesehatan yang mendapatkan banyak kunjungan oleh masyarakat.

6
1.2 Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan komunikasi petugas kesehatan dengan self care

diabetes pada penderita DM, di Puskesmas Tolo, Kelurahan. Tolo,Kecamatan.

Kelara, Kabupaten. Jeneponto ?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui hubungan antara komunikasi petugas kesehatan dengan self

care diabetes

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui gambaran self care diabetes melitus di Puskesmas

Tolo, Kelurahan. Tolo,Kecamatan. Kelara, Kabupaten. Jeneponto

b. Untuk mengetahui gambaran komunikasi petugas kesehatan pada

pasien diabetes melitus di Puskesmas Tolo, Kelurahan.

Tolo,Kecamatan. Kelara, Kabupaten. Jeneponto

c. Untuk mengetahui hubungan antara komunikasi petugas kesehatan

terhadap self care diabetes

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Masyarakat

Penelitian ini dapat memberikan informasi kepada masyarakat umum,

penderita dan keluarga, tentang pentingnya Self Care terhadap penderita

DM.

7
1.4.2 Bagi Instansi Puskesmas Tolo

Penelitian ini dapat memberikan informasi terkait dengan

penyakit DM, sehingga dapat meningkatkan pengetahuan tentang DM

pada masyarakat.

1.4.3 Bagi Peneliti Lain

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan dan dasar bagi

peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian tentang DM secara

lebih mendalam.

8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar

2.1.1 Pengertian

DM ialah suatu kelompok penyakit metabolic dengan ciri khasnya

yaitu peningkatan kadar glukosa darah dalam tubuh akibat kelainan dalam

sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya (PERKENI, 2015). DM ialah

suatu sindrom akibat terganggunya metabolisme karbohidrat, lemak, dan

protein akibat oleh kekurangan atau hilangnya sekresi insulin (John E

Hall, 2016). DM secara umum dapat dibagi menjadi diabetes tipe 1 yaitu

adanya destruksi sel beta yang menjurus pada defisiensi insulin absolut,

diabtes tipe 2 ialah diabetes akibat resistensi insulin yang disertai

defisiensi insulin, diabtes tipe lain yaitu akibat defek gentik, sindrom

genetic yang berkaitan dengan DM, karena infeksi, atau zat kimia, dan

DM gestasional yaitu diabetes saat hamil bagi perempuan (PERKENI,

2015b).

Manifestasi klinis dari diabetes ialah munculnya poliuria,

polidipsia, polifagia, pengelihatan buram, keletihan, paresthesia, dan

infeksi kulit (LeMone et al, 2017).

DM yang sering terjadi ialah DM tipe 2 yaitu sekitar 90 hingga

95% kasus diabetes. DM tipe 2 terjadi pada umur diatas 30 tahun,

biasanya antara umur 50 hingga 60 tahun. Berbeda dengan diabetes

9
tipe 1, diabetes tipe 2 dihubungkan dengan peningkatan konsentrasi

plasma insulin (hiperinsulinemia). Hiperinsulinemia terjadi sebagai

respon dari kompensasi sel-sel beta pancreas untuk meresistensi

insulin, berkurangnya sensitivitas insulin akibat efek dari metabolism

insulin. Menurunnya sensitivitas insulin akibat peningkatan glukosa

darah dan merangsang peningkatan sekresi insulin (John E Hall,

2016). Saat terjadi resistensi insulin, kerja insulin dihambat sehingga

kadar glukosa darah akan meningkat, jika ada peningkatan sekresi

insulin yang tidak bisa mengimbangi hiperglikemia yang parah, maka

perlahan akan menyebabkan sel-sel beta pankreas menjadi “lelah”

untuk melakukan sekresi insulin (John E Hall, 2016), yang nantinya

akan mengakibatkan penurunan fungsi sel beta secara progresif

(Suyono, 2015). Namun, apabila sel-sel beta tidak mampu

mengimbangi peningkatan kebutuhan dari insulin, maka kadar glukosa

akan terus meningkat dan dapat terjadi DM tipe 2.

Selain menyebabkan gangguan metabolik, DM dapat

menyebabkan penyulit kronik yang menjadi penyebab dari tingginya

angka morbiditas dan mortalitas yang berkaitan dengan penyakit ini

sendiri (PERKENI, 2015). Konsentrasi glukosa darah yang terlalu

tinggi dapat menimbulkan sejumlah besar tekanan osmotik dalam

cairan ektrasel yang dapat mengakibatkan timbulnya dehidrasi sel dan

keluarnya glukosa dalam air seni. Hilangnya glukosa melalui urine

juga menimbulkan diuresis osmotik oleh ginjal, yang dapat megurangi

10
jumlah cairan tubuh dan elektrorit. Selain itu glukosa darah yang

tinggi dalam darah menyebabkan kerusakan pada banyak jaringan

terutama pembuluh darah yang mengenai sistem mikrovaskular

(retinopati, nefropati, dan beberapa tipe neuropati) dan makrovaskular

(penyakit arteri koroner, penyakit vaskular perifer) (John E Hall,

2016).

Komplikasi ini diakibatkan karena perilaku dari penderita DM

yang tidak merubah pola hidupnya seperti pola makan tidak seimbang,

kurang melakukan olahraga dan aktivitas fisik, dan tidak mengontrol

kadar glukosa darah secara rutin.

Komplikasi dapat dicegah dengan perubahan perilaku pasien

DM untuk menjalani penatalaksanaan DM dengan mengubah pola

hidup pasien DM menjadi pola hidup sehat. Untuk mencegah

terjadinya komplikasi pada penderita diabetes maka pengontrolan dan

pengelolaan terhadap glukosa darah harus dilakukan sejak dini

sebelum semuanya terlambat.

2.2 Tinjauan Tentang Diabetes Self Care

2.2.1 Defenisi

World Health Organisation (2016) mendefinisikan self-care

sebagai kemampuan individu, keluarga dan masyarakat dalam

meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit, dan menjaga kesehatan dan

mengatasi penyakit dan kecacatan dengan atau tanpa dukungan dari

penyedia layanan kesehatan.

11
Self care merupakan teori keperawatan yang dikembangkan oleh

Dorothea Orem (2015). Orem mengembangkan definisi keperawatan yang

menekankan kebutuhan klien terhadap perawatan diri sendiri. Perawatan

diri sendiri (self care) dibutuhkan oleh setiap individu manusia, baik laki-

laki maupun perempuan, anak-anak maupun dewasa. Saat self care tidak

dapat terpenuhi maka akan mengakibatkan terjadinya kesakitan ataupun

kematian.

Menurut Orem, asuhan keperawatan diperlukan ketika klien tidak

dapat memenuhi kebutuhan biologis, psikologis, perkembangan dan sosial.

Perawat akan menilai apa yang membuat klien tidak dapat memenuhi

kebutuhannya, apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan

kemampuannya, serta menilai seberapa jauh klien mampu memenuhinya

secara mandiri.

Keperawatan terkadang berupaya mengatur dan

mempertahankan kebutuhan perawatan diri secara konsisten bagi mereka

yang tidak dapat melakukannya secara keseluruhan. Perawat membantu

klien dalam memenuhi kebutuhan perawatan diri sendiri dengan

melakukannya sebagian dari seluruh prosedur. Hal tersebut dilakukan

perawat dengan cara memberikanpengawasan dan memberikan instruksi

secara bertahap kepada klien.

12
2.2.2 Self Care Diabetes Melitus

Self care DM merupakan program yang harus dijalankan

sepanjang kehidupan penderita DM dan menjadi tanggungjawab penuh

bagi penderita DM. Self care DM bertujuan mengoptimalkan kontrol

metabolik, mengoptimalkan kualitas hidup, serta mencegah komplikasi

akut dan kronis. Beberapa studi menunjukan bahwa menjaga glukosa darah

tetap normal dapat meminimalkan komplikasi yang terjadi karena DM.

Self care DM merupakan tindakan mandiri yang harus

dilakukan oleh penderita DM dalam kehidupannya sehari-hari. Tujuan

melakukan tindakan self care untuk mengontrol glukosa darah. Tindakan

yang dapat mengontrol glukosa darah, meliputi pengaturan pola makan

(diet), latihan fisik (olahraga), perawatan kaki, penggunaan obat diabetes,

dan monitoring gula darah.

Penyakit DM membutuhkan penanganan seumur hidup dalam

pengendalian kadar gula darah. Terapi pada DM memiliki tujuan utama

yaitu untuk mengurangi komplikasi yang ditimbulkan akibat DM dengan

cara menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa darah. Hal tersebut

dapat dilakukan dengan cara memelihara kualitas hidup yang baik dan

menjaga kadar glukosa darah dalam batas normal tanpa terjadi

hipoglikemia.

13
a) Terapi nutrisi (manajemen diet)

Penatalaksanaan diet pada pasien DM memiliki beberapa tujuan

yaitu mempertahankan kadar glukosa darah dan lipid mendekati normal,

mencapai dan mempertahankan berat badan dalam batas-batas normal atau

± 10% dari berat badan ideal, mencegah komplikasi akut dan kronik, serta

meningkatkan kualitas hidup. Penatalaksanaan nutrisi dimulai dari menilai

kondisi pasien atau status gizi pasien dengan cara menghitung Indeks Masa

Tubuh (IMT). Hal ini bertujuan agar pasien mengetahui apakah penderita

mengalami obesitas, normal, atau kurang gizi. IMT normal orang dewasa

adalah antara 18,5-25.

Konsumsi makanan untuk pasien DM harus diperhatikan,

misalnya mengkonsumsi makanan berkolestrol harus dibatasi karena akan

hiperkolestrolemia yang akan menyebabkan aterosklerosis. Standar

komposisi makanan untuk pasien DM yang dianjurkan adalah karbohidrat

45-65 %, protein 10-20 %, lemak 20-25 %, kolestrol <300 mg/hr, serat 25

g/hr, garam dan pemanis dapat digunakan secukupnya.

b) Latihan fisik (olahraga)

Penatalaksanaan latihan fisik bertujuan untuk meningkatkan

pengambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian insulin dengan

cara menurunkan kadar glukosa. Manfaat lainnya adalah memperbaiki

sirkulasi darah dan tonus otot, mengubah kadar emak darah yaitu

menurunkan kadar kolestrol total dan trigliserida serta meningkatkan kadar

HDL-kolesterol.

14
Olahraga bagi penderita diabetes yang dianjurkan adalah sesuai

CRIPE (Contious Rythmiccal Intensicy Progressife Endurance), yaitu

dilakukan secara terus menerus tanpa berhenti sehingga otot-otot

berkontraksi dan relaksasi secara teratur. Otot otot yang berkontraksi secara

teratur ini akan merangsang peningkatan aliran darah dan penarikan

glukosa ke dalam sel. Latihan CRIPE sebaiknya dilakukan minimal 3 kali

dalam seminggu dan dua hari lainnya melakukan olahraga yang disenangi

penderita diabetes.

Olahraga yang baik dilakukan pada pagi hari sebelum jam 06.00

selama kurang lebih setengah jam. Suasana pada pagi hari akan membuat

penderita lebih nyaman berolahraga dan tidak mengalami stres karena

udara yang masih bersih juga suasana yang belum ramai.9 Aerobik

merupakan jenis latihan yang dianjurkan bagi penderita DM seperti jalan

kaki, jogging, berenang, senam berkelompok atau aerobik dan bersepeda di

mana latihan ini bertujuan untuk meningkatkan stamina penderita DM.

Prinsip olahraga bagi penderita DM:

1) Frekuensi olahraga tiap minggu sebaiknya dilakukan 3-5 kali secara

teratur

2) Intensitas ringan dan sedang (60-70 % maximius heart rate)

3) Durasi 30-60 menit

4) Jenis latihan seperti latihan jasmani endurans (aerobik)

15
c) Monitoring kadar gula darah

Self-monitoring blood glucose (SMBG) atau dikenal dengan

pemantauan kadar gula darah secara mandiri berfungsi sebagai deteksi dini

dan mencegah terjadinya hiperglikemi serta hipoglikemi. Dan dalam

jangka panjang akan mengurangi komplikasi diabetik jangka panjang.

SMBG telah menjadi dasar dalam memberikan terapi insulin. Monitoring

ini dianjurkan bagi pasien dengan penyakit DM yang tidak stabil, memiliki

kecenderungan untuk mengalami ketosis berat, hiperglikemia dan

hipoglikemia tanpa gejala ringan.

d) Terapi farmakologi/ Minum Obat DM

Kadar gula darah dalam rentang normal atau mendekati normal

adalah tujuan dari terapi farmakologi dengan insulin. Insulin juga

merupakan terapi obat jangka panjang untuk penderita DM tipe 2 karena

bertujuan untuk mengendalikan kadar glukosa darah jika dengan diet,

latihan fisik, dan Obat Hipoglikemia Oral (OHO) ketika tidak dapat

menjaga gula darah dalam rentang normal. Insulin dibutuhkan secara

kontemporer selama mengalami sakit, infeksi, kehamilan, pembedahan,

dan beberapa kejadian stres pada Penderita DM tipe 2.

OHO saat ini terbagi menjadi 2 kelompok yaitu obat yang

memperbaiki kerja insulin dan obat yang meningkatkan kerja insulin.

Golongan obat yang memperbaiki kerja insulin adalah obat-obatan seperti

metformin, glitazone, dan akarbose. Obat-obatan ini bekerja pada tempat di

mana terdapat insulin yang mengatur glukosa darah seperti pada hati, usus,

16
otot dan jaringan lemak. Sementara golongan obat yang meningkatkan

kerja insulin adalah sulfonil, repaglinid, nateglinid, dan insulin yang

disuntikkan. Obat-obatan ini berfungsi untuk meningkatkan pelepasan

insulin yang disuntikkan untuk menambah kadar insulin di sirkulasi darah.

Obat-obatan golongan diatas memiliki mekanisme kerja yang berbeda.

e) Perawatan Kaki

Perawatan kaki merupakan aktivitas penting yang harus

dilakukan penderita DM untuk merawat kaki yang bertujuan mengurangi

resiko ulkus kaki. Hal-hal yang perlu diperhatikan saat perawatan kaki

adalah penderita DM harus memeriksa kondisi kaki setiap hari, mencuci

kaki dengan bersih dan mengeringkannya menggunakan lap, memeriksa

dan memotong kuku kaki secara rutin, memilih alas kaki yang nyaman,

serta mengecek bagian sepatu yang akan digunakan.

2.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Self Care

1) Usia

Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa penderita DM dengan

usia tua memiliki self care yang lebih baik dan teratur daripada penderita

DM usia muda. Peningkatan usia merupakan peningkatan terjadinya

kematangan dan kedewasaan seseorang sehingga klien akan berfikir lebih

rasional tentang manfaat yang didapatkan jika melakukan aktivitas self

care DM secara adekuat. Usia lanjut berkaitan erat dengan tingginya

tingkat aktivitas fisik, kepatuhan terhadap makanan atau diet, dan

perawatan kaki diabetik

17
2) Jenis kelamin

Jenis kelamin memiliki hubungan terhadap aktivitas self care DM.

aktivitas self care DM harus dilakukan oleh penderita DM laki-laki

maupun perempuan. Terdapat penelitian yang menyatakan bahwa penderita

DM berjenis kelamin perempuan memiliki aktivitas self care lebih baik

dibandingkan dengan penderita DM berjenis kelamin pria. Namun, terdapat

pula penelitian yang menyatakan sebaliknya bahwa pria memiliki aktivitas

self care yang lebih baik dibandingkan penderita DM wanita. Kusniawati

(2016) meyatakan bahwa tidak terdapat korelasi antara jenis kelamin

dengan aktivitas self care DM.

3) Tingkat pendidikan

Dalam mengelola penyakit DM, pengetahuan merupakan faktor

yang penting. Sebuah studi menyatakan bahwa kurangnya pengetahuan

akan menghambat pengelolaan self care. Sementara penderita dengan

tingkat pendidikan yang rendah akan mengalami kesulitan dalam belajar

merawat diri dengan DM. Namun banyak penelitian juga mengungkapkan

bahwa tidak terdapat korelasi antara tingkat pengetahuan dengan aktivitas

self care DM, yang berarti belum tentu penderita dengan pendidikan tinggi

akan patuh dalam melakukan aktivitas self care DM.

4) Tingkat pendapatan

Pendapatan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

self care pada DM. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, pada umumnya

penderita DM dengan penghasilan yang tinggi kurang patuh terhadap self

18
care DM dibandingkan dengan penderita DM dengan penghasilan rendah.

Hal ini mungkin dikarenakan penderita dengan penghasilan tinggi memiliki

hidup yang lebih beresiko daripada penderita berpenghasilan lebih rendah.

5) Lamanya menderita DM

Penderita DM yang memiliki penyakit ini dalam kurun waktu yang

lebih lama memiliki aktivitas self care DM yang lebih tinggi dibandingkan

penderita yang baru menderita DM. Klien yang menderita DM lebih dari

11 tahun biasanya lebih memahami perilaku self care berdasarkan

pengalamannya selama menjalani penyakit tersebut sehingga klien lebih

memahami tentang hal-hal terbaik yang dilakukan untuk mempertahankan

kesehatannya. Hal tersebut dapat dicapai dengan melakukan aktivitas self

care secara teratur dan konsisten.

6) Motivasi

Motivasi merupakan suatu kondisi internal yang membangkitkan

seseorang untuk bertindak, mendorong untuk mencapai tujuan tertentu,

serta membuat seseorang tetap tertarik dalam kegiatan tertentu.Motivasi

dapat menimbulkan suatu perubahan energi dalam diri seseorang dan pada

akhirnya akan berhubungan langsung dengan kejiwaan, perasaan, dan

emosi untuk bertindak dan melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan ,

kebutuhan, dan keinginan tertentu. Motivasi pada penderita DM merupakan

faktor penting yang mampu memberikan dorongan kuat bagi klien DM

untuk melakukan aktivitas self care DM, sehingga gula darah dapat

terkontrol secara optimal dan kejadian komplikasi dapat dicegah. Penelitian

19
menunjukkan bahwa motivasi merupakan salah satu faktor utama self care

pada DM. Kusniawati (2016) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa

terdapat hubungan motivasi terhadap self care DM, semakin tinggi

motivasi klien maka aktivitas self care DM klien semakin meningkat.

7) Dukungan sosial

Beberapa penelitian menyatakan bahwa terdapat korelasi antara

self care DM dengan dukungan sosial. Semakin banyak dukungan sosial

yang didapatkan makan semakin banyak kegiatan self care yang dilakukan.

8) Aspek emosional

Masalah emosional pada penderita DM berupa stres, rasa

khawatir tentang penyakit dan masa depannya, bersikap sedih, memikirkan

komplikasi yg akan muncul, perasaan takut, tidak semangat dengan

program pengobatan, bosan dengan perawatan rutin yang dijalani, serta

khawatir terhadap perubahan kadar gula darah. Aspek emosional yang

dialami penderita DM merupakan hal yang akan mempengaruhi aktivitas

self care DM. Klien akan dengan mudah melakukan perawatan mandiri

dalam kehidupannya sehari-hari jika klien menerima dan memahami segala

kondisi yang terjadi akibat penyakitnya. Oleh sebab itu diperlukan

penyesuaian emosional yang tinggi untuk mencapai keberhasilan program

perawatan bagi penderita DM sehingga klien dapat beradaptasi dengan

kondisi penyakit dan menerima perawatan rutin yang harus dijalaninya.

20
9) Keyakinan terhadap efektivitas penatalaksanaan DM

Terdapat kontribusi antara keyakinan terhadap efektifitas

penatalaksanaan DM terhadap self care. Semakin tinggi keyakinan terhadap

efektifitas penatalaksanaan DM maka aktivitas self care DM semakin meningkat.

10) Komunikasi petugas kesehatan

Komunikasi merupakan poin penting dalam perawatan diri penderita

DM. Pemberian informasi dan pendidikan kesehatan tentang self care yang

diberikan akan berpengaruh terhadap tingkat self care klien. Semakin tinggi

frekuensi petugas kesehatan memberikan informasi maka aktivitas self care

semakin meningkat. Penelitian yang dilakukan Kusniawati (2016) menyatakan

bahwa komunikasi petugas kesehatan merupakan faktor yang paling dominan

berkontribusi terhadap self care DM.

21
BAB 3

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konsep

Berdasarkan landasan teoritis yang telah diuraikan pada tinjauan pustaka

maka disusun kerangka konsep sebagai berikut :

Variabel independen Variabel dependen

Komunikasi Petugas
Kesehatan Diabetes Melitus
Tipe II
Self Care
Diabetes

Keterangan :

: Variabel independen

: Variabel dependen

: Variavel yang diteliti

: Penghubung antar variabel

Gambar 3.1 : Kerangka Konsep

22
3.2 Hipotesis

Pada penelitian ini jenis Hipotesis alternatif (Ha), hipotesis ini

menyatakan adanya suatu hubungan antara dua atau lebih variabel . Adapun

hipotesis pada penelitian ini adalah :

1. Hi : Ada Hubungan antara Komunikasi Petugas kesehatan terhadap

self care diabetes pada pasien diabetes melitus di Puskesmas Tolo,

Kecamatan. Kelara, Kabupaten Jeneponto.

23
BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penilitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah cross sectional study dengan

pendekatan deskriptif analitik yang dilakukan pada seluruh pasien DM yang

datang memeriksakan diri ke Puskesmas Tolo, Kelurahan. Tolo,Kecamatan.

Kelara, Kabupaten. Jeneponto

4.2 Kerangka Kerja (Frame Work)

Sampling

Penentuan Populasi Penentuan Samel

Pengumpulan Data

Pengolahan dan analisis data


 Editing
 Coding
 Sorting
 Entry data
 cleaning
 Penyajian data

Laporan awal

Seminar hasil

Pembuatan laporan
akhir

Gambar 4.2 Kerangka Kerja

24
4.3 Identitas Variabel

4.3.1 Variabel independen (Bebas)

Variabel independen merupakan variabel bebas atau variabel

yang mempengaruhi variabel lain (Nursalam, 2017:177). Variabel

independen pada penelitian ini adalah “ Komunikasi petugas

keshatan dan self care Diabetes Meliitus”.

4.3.2 Variabel dependen (Terikat)

Variabel dependen merupakan variabel terikat atau variabel

yang dipengaruhi oleh variabel lain. (Nursalam, 2017:178). Variabel

dependen pada penelitian ini adalah “Diabetes Meliitus Tipe 2”.

4.4 Defenisi Operasional

Tabel 4.4 Defenisi Operasional

Defenisi Alat
No Variabel Kriteria Skala
Operasional Ukur
1 Variabel petugas kesehatan Kuesioner Baik jika Ordinal
Independen yang efektif mendaptkan
(bebas) merupakan hal skore ≥ 50
Komunikasi penting dan factor Kurang : jika
petugas yang paling Mendapatkan
kesehatan berpengaruh terhadap skore ≤ 50
self care diabetes
Sebagai contoh
Ceramah,seminar,disk
usi kelompok dan
sebagainya
Self Care Self Care Baik:jika Ordinal
Diabetes Diabetes Meliitus mendaptkan
Meliitus Adalah tindakan skore ≥ 50
mandiri yang harus Kurang : jika
dilakukan oleh mendapatkan
penderita Dmdalam skore ≤50
kehidupannya
sehari-hari

25
2 Variabel DM Tipe 2 adalah Kuesioner Baik:jika Ordinal
dependen penyakit gangguan Mendaptkan
(Terikat) metabolik yang di skore ≥ 50
Diabetes Mellitus tandai oleh Kurang : jika
Tipe 2 kenaikan gula Mendapatkan
darah akibat Skore ≤ 50
penurunan sekresi
insulin oleh sel
beta pankreas

4.5 Populasi dan Sampel

4.5.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien DM yang

datang memeriksakan diri ke Puskesmas Tolo, Kelurahan.

Tolo,Kecamatan. Kelara, Kabupaten. Jeneponto yaitu mulai bulan

Januari-Maret 2020.

4.5.2 Sampel

Adapun sampel dalam penelitian ini adalah semua pasien DM

yang datang memeriksakan diri ke Puskesmas Tolo, Kelurahan.

Tolo,Kecamatan. Kelara, Kabupaten. Jeneponto yaitu mulai bulan

Januari-Maret 2020.

4.5.3 Teknik Pengambilan Sampel

Adapun cara pengambilan sampel yang digunakan adalah dengan

cara mengambil seluruh kunjungan sakit yang datang sebagai sampel di

Puskesmas Tolo, Kel. Tolo, Kelurahan. Tolo,Kecamatan. Kelara,

Kabupaten. Jeneponto pada saat penelitian berlangsung.

26
4.6 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Tolo, Kelurahan. Tolo,Kecamatan.

Kelara, Kabupaten. Jeneponto yaitu mulai bulan Januari-Maret 2020.

4.7 Pengumpulan Data

Data primer dan sekunder di dapatkan dengan melakukan wawancara terhadap

responden dan pengumpulan data sekunder. Hasil dari pengumpulan data primer

dan sekunder akan dikonfirmasikan dalam bentuk tabel distribusi dan narasi.

4.8 Analisa data

Data di analisa secara deskriptif kuantitatif dengan menggunakan SPSS 18

27

Anda mungkin juga menyukai