A. Latar Belakang
Pariwisata merupakan salah satu sektor penting bagi perekonomian di Indonesia.
Pariwisata di Indonesia memang telah dikenal luas hingga mata Internasional. Indonesia
memiliki banyak sekali jenis wisata yang menarik untuk dikunjungi dan dinikmati mulai
dari wisata alam, sejarah hingga wisata budaya. Seiring dengan berkembangnya industri
pariwisata yang seakan-akan memberikan banyak keuntungan masyarakat dan pemerintah
juga berbondong-bondong untuk mengembangkan serta membuka usaha pariwisata ini di
seluruh wilayah Indonesia. Dengan perkembangan pariwisata tidak hanya menimbulkan
dampak positif saja namun juga menimbulkan dampak negatif salah satunya timbulnya
konflik di dalamnya. Konflik dalam pariwisata biasanya terjadi dalam masyarakat maupun
dalam birokrasi pemerintah. Konflik itu juga bisa melibatkan pihak masyarakat dengan
pemerintah itu sendiri.
Salah satu kasus konflik yang pernah hangat dibahas beberapa tahun lalu mengenai
konflik pemanfaatan sumber daya Arkeologi di kawasan Situs Sangiran anatara pemerintah
pusat dengan Pemda Sragen. Seperti sudah kita ketahui dengan dikeluarkannya UU Nomor
22 tahun 1999 Pemda Sragen mulai melihat seluruh potensi sumber daya alam maupun
sumber daya budaya di wilayahnya termasuk kawasan Situs Sangiran. Kawasan yang
memiliki luas 56 km2 ingin dijadikan sebagai sebuah ODTW oleh Pemda Sragen. Kawasan
Situs Sangiran memang sudah sejak lama masyarakat cenderung lebih memiliki orientasi
ekonomis. Banyak sekali fosil yang digunakan secara subjekti untuk kepentingan ekonomis
masyarakat lokal di sana Konflik perbedaan kepentingan dalam memanfaatkan kawasan
Situs Sangiran semakin dipertajam dengan munculnya rencana pengelolaan situs ini dari
pihak Pemda Sragen maupun Pemerintah Daerah Karanganyar. Keadaaan tersebut
diperparah dengan pembangunan menara Pandang di Desa Pagerejo, Sangiran dan
pemanfaatan daerah Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar sebagai tempat pembuangan
sampah memperlihatkan lemahnya sistem pengelolaan Situs Sangiran sebagai situs dunia
selama ini. Dalam penanganan situs dunia ini tidak ada koordinasi dan integrasi maupun
sinkronisasi di antara berbagai pihak yang merasa memiliki wewenang untuk
mengelolanya. Antara keinginan pemerintah daerah dengan pemerintah pusat bertolak
belakang, karena perbedaan persepsi dalam memaknai benda cagar budaya Situs Sangiran.
Konflik pemanfaatan sumber daya lainnya adalah konflik rencana pembangunan
kompleks perbelanjaan “Jagad Jawa” di dekat Candi Borobudur yang diprakasai oleh
Pemda Jawa Tengah. Namun, rencana ini tidak disetujui oleh masyarakat. Pleh karena itu,
Pemda membuat rencana lain dengan pembangunan Shopping Street di dekat pagar Candi
Borobudur. Rencana ini pun tidak luput dari kritik tajam berbagai pihak. Mereka
beranggapan bahwa pembangunan Shopping Street ini diperkirakan akan menggeser pagar
taman candi ke belakang sejauh 30 meter. Sementara konflik Shopping Street belum selesai
lalu muncullah konflik lainnya setiap saat antara para pedagang asongan dan pramuwisata
dengan PT Taman Wisata atau antara pihak pemerintah (pengelola perlindungan ) dengan
PT Taman Wisata itu sendiri. Permasalahan candi Borobudur sangat kompleks yang tidak
dapat diatasi secara sepihak dan cukup memalukan jika benar ICOMOS dan UNESCO
sampai ikut turun tangan (sumber: Kompas, 11 Januari 2002). Hal yang menrik untuk
dijadikan perhatian adalah semua konflik tersebut muncul setelah Candi Borobudur berhasil
masuk dalam salah satu situs warisan dunia. Ini menjadikan salah satu cermin bukti
rapuhnya sistem pelestarian dan pengelolaan situs warisan budaya di Indonesia.
Konflik memang bisa ada di semua bidang industri tidak terkecuali dalam industri
pariwisata. Beberapa contoh kasus di atas merupakan bentuk konflik yang terjadi dalam
kawasan cagar budaya yang biasanya merupakan bagian dari birokrasi pemerintah sebagai
salah satu pengelolanya walaupun ada juga yang ditanggani pengelolaannya oleh swasta.
Kawasan Cagar Budaya di Yogyakarta terutama di kawasan Cagar Budaya Situs Ratu Boko
dan Candi Ijo pun berpotensi untuk terjadi konflik di dalamnya. Ini disebabkan karena
beberapa faktor yang kemungkinan bisa memicu terjadinnya poteensi konflik di dalamnya
diantaranya adanya kegiatan penambangan batu putih di sekitar kawasan Cagar Budaya
Candi Ijo. Kegiatan tersebut ditakutkan akan mengancam kelestarian kawasan cagar budaya
namun apabila kegiatan tersebut dihentikan maka akan menimbulkan dilema dalam hal
pengelolaan kawasan cagar budaya tersebut. Ini dikarenakan kegiatan penambangan batu
putih tersebut bisa dikatakan merupakan salah satu sumber penghasilan warga di sekitar
kawasan cagar budaya. Ada juga problematika lainnya yang berada di kawasan Situs Ratu
Boko yaitu mengenai persoalan jual beli lahan yang dilakukan masyarakat sekitar kawasan
Situs kepada para pihak investor atau pemodal yang berkeinginan dan tertarik untuk
menanamkan modalnya di kawasan pegunungan seribu ( Sewu Plateu) yang memiliki
pesona bentang alam atau landscape yanf mempesona dan menarik. Namun, usaha jual beli
tersebut juga menimbulkan permasalahan karena lahan yang dijual berada di kawasan situs
dan ada beberapa situs yang seakan-akan ikut terjual akan proses transaksi tersebut. Belum
lagi masalah kesadaran dan sikap acuh dari masyarakat sekitar mengenai arti pentingnya
situs warisan budaya tersebut. Situasi yang seperti itu dikarenakan masyarakat belum
menyadari serta mendapatkan manfaat langsung dari keberadaan adanya situs tersebut.
Maka dari itu, sering terjadi konflik di kawasan situs cagar budaya yang seharusnya bisa
diminimalisir bahkan kalau bisa diberantas hingga tuntas.
Kawasan wisata Desa Sambirejo saat ini tengah mengembangkan industri pariwisata
denga melibakan masyarakat setempat disana dalam kegiatan-kegiatan pariwisata yang ada
di sana. Ada tiga atraksi utama yang ada disana yang ingin ditonjulkan sebagai atraksi
utama yang menggabunggkan wisata alam dan wisata sejarah yaitu Candi Ijo, Candi
Barong dan Tebing Breksi. Ketiga atraksi utama tersebut saat ini tengah dikembangkan
oleh pemerintah disana agar lebih dikenal oleh wisatwan. Namun, dalam pengembangan
usaha tersebut ternyata juga menimbulkan beberapa masalah dan konflik di dalamnya.
Kawasan penambangan batu breksi atau batu putih yang ada di kawasan Desa
Sambirejo bisa dikatakan sebagai salah satu kawasan wisata baru yang bisa dikatakan
sebagai salah satu kawasan yang perlu dilestarikan. Ini dikarenakan tempat yang dijadikan
lokasi penambangan telah diakui sebagai salah satu kawasan warisan nasional geologi yang
termasuk dalam kawasan pegunungan seribu di Gunung Kidul. Kawasan yang baru-baru ini
mulai dikembangkan menjadi kawasan wisata ini juga dapat menimbulkan konflik di
dalamnya terutama antara pengelola kawasan wisata tambang breksi dengan para
penambang batu breksi disana. Kegiatan pariwisata di kawasan ODTW tersebut ditakutkan
akan mengganggu kegiatan penambangan yang ada disana. Selain itu, kegiatan wisata juga
kemungkinan akan menimbulkan kerusakan di tambang yang notabene telah dijadikan
warisan dunia geologi tersebut. Ada beberapa faktor yang kemungkinan akan menjadi
penyebab konflik terjadi di dalamnya. Selain itu, kegiatan wisata tidak dikelola dan
diatur dengan baik, karena ketertarikan yang sangat besar dari masyarakat untuk berwisata
ke Tambang Breksi Sambirejo. Perlu suatu pengaturan dan pengendalian dimana
pengunjung diberikan kesempatan untuk melihat, menikmati dan mengambil pengetahuan
atas obyek atau fenomena yang ada dan tidak diperkenankan melakukan aktivitas lain yang
bersifat destruktif, yang pada akhirnya dapat mengancam keutuhan kawasan.
Selain itu, konflik pengelolaan serta pemanfaatan disana juga cukup menarik untuk
dikaji. Ini dikarenakan sampai saat ini belum ditetapkan solusi yang tepat dan memuaskan
semua pihak, walaupun telah diupayakan beberapa alternatif pemecahan permasalahan di
sana. Persoalan utama yang mendasari hal ini adalah perbedaan cara pandang antara pihak
pengelola kawasan dengan masyarakat, terutama yang berada di sekitar kawasan.
Pariwisata mendatangkan manfaat yang dirasa lebih nyata, yaitu berupa pendapatan
langsung yang bisa diperoleh mereka sekarang, sedangkan konservasi sebenarnya juga
mendatangkan manfaat tapi tidak disadari atau kadang tidak dirasakan secara langsung
meskipun sebenarnya sangat berguna untuk kehidupan jangka panjang.
Isu ini penting untuk dikaji guna melihat apa penyebab sebenarnya terhadap
terjadinya konflik pengelolaan kawasan tambang breksi Sambirejo. Siapa saja aktor
yang terlibat di dalamnya? Oleh karena itu, maka perlu diketahui sejauh mana pengaruh
kondisi ekonomi, politik, sosial dan budaya masyarakat terhadap cara pandang
mereka terhadap status kawasan wisata tersebut. Dengan mengetahui penyebab yang
sebenarnya, diharapkan nantinya pihak-pihak terkait bisa mengupayakan jalan keluar yang
terbaik. Penting pula dibuat suatu gambaran atau peta konflik, mengingat konflik
pengelolaan ini adalah suatu sengketa publik yang untuk penyelesaiannya perlu melibatkan
semua governance stakeholder.
Konflik ini cukup rumit, karena akan membenturkan dua kebutuhan yang sama-sama
memiliki arti penting bagi kehidupan manusia, yaitu kebutuhan konservasi dengan
kebutuhan ekonomi (pariwisata). Kedua hal tersebut sama-sama memiliki argumen masing-
masing yang dilandasi dengan argumen dan pendapat dari masing-masing pendukung
sehingga akan sulit untuk mempertemukan keduanya. Untuk itulah penulis tertarik untuk
meneliti dan mengkaji kasus ini dengan judul : “Konflik Pengelolaan Sumber Daya
Pariwisata di Desa Sambirejo”
B. Perumusan Masalah
Konflik kepentingan yang terjadi di kawasan Desa Sambirejo terjadi karena
kurangnya kesadaran dari masyarakat mengenai pentingnya memelihara warisan budaya
serta konflik kepemilikan lahan dan kurangnya penyuluhan dari pihak berwenang pada
masyarkat lokal dan pengelola serta pengusaha jasa usaha wisata di kawasan tersebut
mengenai benda cagar budaya yang ada. Akar konflik yang terjadi bermula dari konflik
lahan serta pemanfaatan sumber daya pariwisata di kawasan cagar budaya situs ratu boko.
Masyarakat, khususnya yang berada di sekitar kawasan, telah melanggar batas aturan
tersebut dengan menggunakannnya sebagai objek wisata alam. Penelitian yang dilakukan
menggunakan metode deskriptif kualitatif, berusaha menginterpretasikan faktor-faktor
penyebab konflik, aktor yang terlibat serta dampak bagi kegiatan pariwisata di kawasan
tersebut yang terjadi sekomprehensif mungkin. Data yang diperlukan dalam penelitian ini
adalah data primer yang dikumpulkan melalui observasi dan wawancara mendalam, dan
data sekunder yang diperoleh dengan teknik dokumentasi teori yang digunakan untuk
menganalisis fenomena konflik ini adalah sengketa publik, konsep governance serta studi
literatur mengenai hubunggan pariwisata dan konflik.
Permasalahan yang ingin penulis angkat dalam tulisan ini adalah mengenai “Konflik
Pemanfaatan Sumber Daya Pariwisata di Desa Sambirejo”. Dari permasalahan tersebut
memunculkan beberapa pertanyaan penelitian yang akan dijawab dengan penelitian di
lapangan selanjutnya. Di bawah ini ada beberapa pertanyaan penelitian yang diajukan
penulis diantaranya :
1. Faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya konflik di kawasan cagar budaya
tersebut?
2. Bagaimana pengaruh konflik tersebut terhadap kegiatan pariwisata di kawasan
tersebut?
3. Siapa saja yang terlibat dalam konflik tersebut?
Salah satu yang ingin dibahas dan diteliti dalam tulisan nantinya adalah konflik
peemanfaatan sumber daya pariwisata di kawasan Desa Sambirejo. Penulis ingin
mengetahui permasalahan konflik apa saja yang terjadi dalam konteks pemanfaatan dan
pengelolaan sumber daya daya tersebut. Pihak mana saja yang terlibat dan bertanggung
jawab dalam permasalahan tersebut. Sementara itu, tujuan dari penelitian tersebut adalah
untuk mengidentifikasi dan mengeksplorasi permasalahan yang terjadi dalam konflik
tersebut serta mencari solusi pemecahan dari konflik tersebut dan memberikan kesadaran
akan pentingnya pengelolaan sumber daya pariwisata di kawasan cagar budaya sendiri bagi
masyarakat lokal, pemilik jasa usaha wisata di kawasan situs serta pemerintah.
C. Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai Konflik Pengelolaan Sumber Daya Pariwisata di Sambirejo ini
baru pertama kali diteliti. Ini dikarenakan lokasi yang dipilih oleh peneliti merupakan
ODTW baru yang akan dikembangkan oleh masyarakat setempat dan pemerintah desa
setempat. Peneliti akan memfokuskan mengenai konflik pengelolaan sumber daya
pariwisata di 3 lokasi wisata yang dijadikan atraksi wisata utama di Sambirejo dan
dampaknya bagi pengembangan pariwisata di kawasan Desa Sambirejo.
D. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui apa penyebab utama terjadinya konflik pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya pariwisata di kawasan tambang breksi Desa Sambirejo.
2. Mengidentifikasi para pihak yang terlibat konflik (para stakeholder) dan sejauh
mana keterlibatan mereka masing-masing.
3. Untuk mencoba menyusun suatu alternatif pemecahan masalah sebagai salah satu
alternatif pemecahan masalah di kawasan tambang breksi Sambirejo.
E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat positif bagi berbagai
pihak, dan secara garis besar bisa dikategorikan dalam dua hal:
1. Manfaat Teoritis
Bisa menjadi suatu sumber informasi untuk pengembangan ilmu pengetahuan,
terutama dalam bidang pengelolaan konflik dan pengembangan pariwisata di suatu ODTW
atau kawasan.
2. Manfaat Praktis
Bagi Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Badan Pelestarian Cagar
Budaya DIY, Pemerintah Desa Sambirejo, Lembaga Swadaya Masyarakat, Masyarakat
umum dan Swasta, bisa digunakan sebagai bahan pertimbangan atau acuan dalam
menyusun rancangan dan kebijakan guna menemukan solusi yang bisa diterima semua
pihak atas konflik yang sedang dihadapi saat ini maupun di masa mendatang. Bisa juga
dijadikan acuan dalam menangani suatu konflik pariwisata yang terjadi di suatu kawasan
wisata.
F. Kajian Pustaka
Seperti kita ketahui Yogyakarta merupakan daerah tujuan wisata kedua yang paling
banyak dikunjungi wisatawan di Indonesia setelah Bali. Yogyakarta menawarkan berbagai
macam wisata yang menarik dan unik. Dengan banyaknya wisatawan yang datang banyak
sekali memunculkan prospek pembangunan di bidang pariwisata guna menunjang
pariwisata itu sendiri. Namun, dibalik itu semua pengembangan pariwisata tersebut juga
tidak luput dari dampak negatif yang timbul dan masalah karena adanya pariwisata salah
satunya mengenai konflik pemanfaatan sumber daya pariwisata. Seperti kita ketahui, jika
sebagian besar wilayah di Kecamatan Prambanan merupakan kawasan cagar budaya
dimana banyak terdapat situs dan benda cagar budaya yang harus dilestarikan dan dijaga
keutuhannya. Namun, saat ini banyak kawasan di sana sudah banyak yang beralih fungsi
menjadi sarana penunjang pariwisata salah satunya di Candi Ijo
Kawasan situs cagar budaya bisa dikatakan sebagai bagian dari warisan budaya yang
sudah semestinya bisa dipergunakan untuk berbagai macam kepentingan yang berbeda-
beda diantaranya, agama, pendidikan, budaya, sosial, ilmu pengetahuan dan pariwisata.
Apabila dilihat dari sudut pandang pendidikan bisa diktakan keberadaan warisan budaya
tersebut sangat berarti bagi pengembangan pendidikan. Bangunan cagar budaya dapat
dikategorikan dalam sumber informasi yang akan memberikan ilmu dan pengetahuan
seperti arsitektur, geografi, geologi, lingkungan, teknologi dan lainnya bagi masyarakat luas
dan wisatawan yang datang mengunjunginya. Hal itu, lalu memunculkan konflik
kepentingan di dalamnya baik itu secara vertikal maupun horizontal seperti yang pernah
terjadi di beberapa tempat yang ada di Bali, Padang bahkan sekitar Candi Borobudur.
Banyak sekali faktor yang melatar belakangi terjadinya konflik di kawasan Cagar Budaya
tersebut baik itu antara pemerintah dan masyarakat atau masyarakat dengan masyarakat
lainnya bahkan ada juga antara masyarakat dan pemilik jasa usaha wisata di sekitar
kawasan tersebut.
Walaupun sangat berbeda baik dalam skala maupun signifikasinya, contoh konflik
sebagaimana disinggung di atas memiliki banyak persamaan. Semua menggambarkan
konflik antara dua pihak atau lebih yang memperlihatkan situasi masing-masing pihak
merasa benar. Masing-masing saling menuntut agar sesuatu tidak diberikan oleh pihak yang
lain. Sesuatu itu dapat berupa hak tanah, hak pekerjaan, keamanan, bahkan bermuara ke
materi keuangan, dll. Konflik-konflik seperti itu sebenarnya tidak dapat dilihat sebagai
kasus yang berdiri sendiri dan tidak dapat dilepaskan pula dari proses melembaganya upaya
pelestarian sejak awalnya. Walaupun diakui terdapat unsur-unsur pemicu konflik,
khususnya berkaitan dengan perubahan budaya maupun politik seperti munculnya undang-
undang otonomi daerah yang dibuat secara tergesa-gesa dan memperkuat kekuasaan bupati.
Sayang sekali, kompleksitas permasalahan pelestarian benda cagar budaya akibat
perubahan sistem pemerintahan ini tidak cepat ditanggapi oleh para pengemban
kebudayaan, khususnya para pengelola kepurbakalaan (Tanudirdjo, 2003: VIII).
5. Konsep Pemikiran
- Lembaga Pemerintah
Kegiatan Pariwisata
2. Variabel Bebas / Independent Variabel, yaitu :