Anda di halaman 1dari 15

Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Pariwisata di Kawasan Cagar Budaya Desa

Sambirejo, Prambanan, DIY


Oleh : Tyas Raharjeng P (MKP 2014)

A. Latar Belakang
Pariwisata merupakan salah satu sektor penting bagi perekonomian di Indonesia.
Pariwisata di Indonesia memang telah dikenal luas hingga mata Internasional. Indonesia
memiliki banyak sekali jenis wisata yang menarik untuk dikunjungi dan dinikmati mulai
dari wisata alam, sejarah hingga wisata budaya. Seiring dengan berkembangnya industri
pariwisata yang seakan-akan memberikan banyak keuntungan masyarakat dan pemerintah
juga berbondong-bondong untuk mengembangkan serta membuka usaha pariwisata ini di
seluruh wilayah Indonesia. Dengan perkembangan pariwisata tidak hanya menimbulkan
dampak positif saja namun juga menimbulkan dampak negatif salah satunya timbulnya
konflik di dalamnya. Konflik dalam pariwisata biasanya terjadi dalam masyarakat maupun
dalam birokrasi pemerintah. Konflik itu juga bisa melibatkan pihak masyarakat dengan
pemerintah itu sendiri.
Salah satu kasus konflik yang pernah hangat dibahas beberapa tahun lalu mengenai
konflik pemanfaatan sumber daya Arkeologi di kawasan Situs Sangiran anatara pemerintah
pusat dengan Pemda Sragen. Seperti sudah kita ketahui dengan dikeluarkannya UU Nomor
22 tahun 1999 Pemda Sragen mulai melihat seluruh potensi sumber daya alam maupun
sumber daya budaya di wilayahnya termasuk kawasan Situs Sangiran. Kawasan yang
memiliki luas 56 km2 ingin dijadikan sebagai sebuah ODTW oleh Pemda Sragen. Kawasan
Situs Sangiran memang sudah sejak lama masyarakat cenderung lebih memiliki orientasi
ekonomis. Banyak sekali fosil yang digunakan secara subjekti untuk kepentingan ekonomis
masyarakat lokal di sana Konflik perbedaan kepentingan dalam memanfaatkan kawasan
Situs Sangiran semakin dipertajam dengan munculnya rencana pengelolaan situs ini dari
pihak Pemda Sragen maupun Pemerintah Daerah Karanganyar. Keadaaan tersebut
diperparah dengan pembangunan menara Pandang di Desa Pagerejo, Sangiran dan
pemanfaatan daerah Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar sebagai tempat pembuangan
sampah memperlihatkan lemahnya sistem pengelolaan Situs Sangiran sebagai situs dunia
selama ini. Dalam penanganan situs dunia ini tidak ada koordinasi dan integrasi maupun
sinkronisasi di antara berbagai pihak yang merasa memiliki wewenang untuk
mengelolanya. Antara keinginan pemerintah daerah dengan pemerintah pusat bertolak
belakang, karena perbedaan persepsi dalam memaknai benda cagar budaya Situs Sangiran.
Konflik pemanfaatan sumber daya lainnya adalah konflik rencana pembangunan
kompleks perbelanjaan “Jagad Jawa” di dekat Candi Borobudur yang diprakasai oleh
Pemda Jawa Tengah. Namun, rencana ini tidak disetujui oleh masyarakat. Pleh karena itu,
Pemda membuat rencana lain dengan pembangunan Shopping Street di dekat pagar Candi
Borobudur. Rencana ini pun tidak luput dari kritik tajam berbagai pihak. Mereka
beranggapan bahwa pembangunan Shopping Street ini diperkirakan akan menggeser pagar
taman candi ke belakang sejauh 30 meter. Sementara konflik Shopping Street belum selesai
lalu muncullah konflik lainnya setiap saat antara para pedagang asongan dan pramuwisata
dengan PT Taman Wisata atau antara pihak pemerintah (pengelola perlindungan ) dengan
PT Taman Wisata itu sendiri. Permasalahan candi Borobudur sangat kompleks yang tidak
dapat diatasi secara sepihak dan cukup memalukan jika benar ICOMOS dan UNESCO
sampai ikut turun tangan (sumber: Kompas, 11 Januari 2002). Hal yang menrik untuk
dijadikan perhatian adalah semua konflik tersebut muncul setelah Candi Borobudur berhasil
masuk dalam salah satu situs warisan dunia. Ini menjadikan salah satu cermin bukti
rapuhnya sistem pelestarian dan pengelolaan situs warisan budaya di Indonesia.
Konflik memang bisa ada di semua bidang industri tidak terkecuali dalam industri
pariwisata. Beberapa contoh kasus di atas merupakan bentuk konflik yang terjadi dalam
kawasan cagar budaya yang biasanya merupakan bagian dari birokrasi pemerintah sebagai
salah satu pengelolanya walaupun ada juga yang ditanggani pengelolaannya oleh swasta.
Kawasan Cagar Budaya di Yogyakarta terutama di kawasan Cagar Budaya Situs Ratu Boko
dan Candi Ijo pun berpotensi untuk terjadi konflik di dalamnya. Ini disebabkan karena
beberapa faktor yang kemungkinan bisa memicu terjadinnya poteensi konflik di dalamnya
diantaranya adanya kegiatan penambangan batu putih di sekitar kawasan Cagar Budaya
Candi Ijo. Kegiatan tersebut ditakutkan akan mengancam kelestarian kawasan cagar budaya
namun apabila kegiatan tersebut dihentikan maka akan menimbulkan dilema dalam hal
pengelolaan kawasan cagar budaya tersebut. Ini dikarenakan kegiatan penambangan batu
putih tersebut bisa dikatakan merupakan salah satu sumber penghasilan warga di sekitar
kawasan cagar budaya. Ada juga problematika lainnya yang berada di kawasan Situs Ratu
Boko yaitu mengenai persoalan jual beli lahan yang dilakukan masyarakat sekitar kawasan
Situs kepada para pihak investor atau pemodal yang berkeinginan dan tertarik untuk
menanamkan modalnya di kawasan pegunungan seribu ( Sewu Plateu) yang memiliki
pesona bentang alam atau landscape yanf mempesona dan menarik. Namun, usaha jual beli
tersebut juga menimbulkan permasalahan karena lahan yang dijual berada di kawasan situs
dan ada beberapa situs yang seakan-akan ikut terjual akan proses transaksi tersebut. Belum
lagi masalah kesadaran dan sikap acuh dari masyarakat sekitar mengenai arti pentingnya
situs warisan budaya tersebut. Situasi yang seperti itu dikarenakan masyarakat belum
menyadari serta mendapatkan manfaat langsung dari keberadaan adanya situs tersebut.
Maka dari itu, sering terjadi konflik di kawasan situs cagar budaya yang seharusnya bisa
diminimalisir bahkan kalau bisa diberantas hingga tuntas.
Kawasan wisata Desa Sambirejo saat ini tengah mengembangkan industri pariwisata
denga melibakan masyarakat setempat disana dalam kegiatan-kegiatan pariwisata yang ada
di sana. Ada tiga atraksi utama yang ada disana yang ingin ditonjulkan sebagai atraksi
utama yang menggabunggkan wisata alam dan wisata sejarah yaitu Candi Ijo, Candi
Barong dan Tebing Breksi. Ketiga atraksi utama tersebut saat ini tengah dikembangkan
oleh pemerintah disana agar lebih dikenal oleh wisatwan. Namun, dalam pengembangan
usaha tersebut ternyata juga menimbulkan beberapa masalah dan konflik di dalamnya.
Kawasan penambangan batu breksi atau batu putih yang ada di kawasan Desa
Sambirejo bisa dikatakan sebagai salah satu kawasan wisata baru yang bisa dikatakan
sebagai salah satu kawasan yang perlu dilestarikan. Ini dikarenakan tempat yang dijadikan
lokasi penambangan telah diakui sebagai salah satu kawasan warisan nasional geologi yang
termasuk dalam kawasan pegunungan seribu di Gunung Kidul. Kawasan yang baru-baru ini
mulai dikembangkan menjadi kawasan wisata ini juga dapat menimbulkan konflik di
dalamnya terutama antara pengelola kawasan wisata tambang breksi dengan para
penambang batu breksi disana. Kegiatan pariwisata di kawasan ODTW tersebut ditakutkan
akan mengganggu kegiatan penambangan yang ada disana. Selain itu, kegiatan wisata juga
kemungkinan akan menimbulkan kerusakan di tambang yang notabene telah dijadikan
warisan dunia geologi tersebut. Ada beberapa faktor yang kemungkinan akan menjadi
penyebab konflik terjadi di dalamnya. Selain itu, kegiatan wisata tidak dikelola dan
diatur dengan baik, karena ketertarikan yang sangat besar dari masyarakat untuk berwisata
ke Tambang Breksi Sambirejo. Perlu suatu pengaturan dan pengendalian dimana
pengunjung diberikan kesempatan untuk melihat, menikmati dan mengambil pengetahuan
atas obyek atau fenomena yang ada dan tidak diperkenankan melakukan aktivitas lain yang
bersifat destruktif, yang pada akhirnya dapat mengancam keutuhan kawasan.
Selain itu, konflik pengelolaan serta pemanfaatan disana juga cukup menarik untuk
dikaji. Ini dikarenakan sampai saat ini belum ditetapkan solusi yang tepat dan memuaskan
semua pihak, walaupun telah diupayakan beberapa alternatif pemecahan permasalahan di
sana. Persoalan utama yang mendasari hal ini adalah perbedaan cara pandang antara pihak
pengelola kawasan dengan masyarakat, terutama yang berada di sekitar kawasan.
Pariwisata mendatangkan manfaat yang dirasa lebih nyata, yaitu berupa pendapatan
langsung yang bisa diperoleh mereka sekarang, sedangkan konservasi sebenarnya juga
mendatangkan manfaat tapi tidak disadari atau kadang tidak dirasakan secara langsung
meskipun sebenarnya sangat berguna untuk kehidupan jangka panjang.
Isu ini penting untuk dikaji guna melihat apa penyebab sebenarnya terhadap
terjadinya konflik pengelolaan kawasan tambang breksi Sambirejo. Siapa saja aktor
yang terlibat di dalamnya? Oleh karena itu, maka perlu diketahui sejauh mana pengaruh
kondisi ekonomi, politik, sosial dan budaya masyarakat terhadap cara pandang
mereka terhadap status kawasan wisata tersebut. Dengan mengetahui penyebab yang
sebenarnya, diharapkan nantinya pihak-pihak terkait bisa mengupayakan jalan keluar yang
terbaik. Penting pula dibuat suatu gambaran atau peta konflik, mengingat konflik
pengelolaan ini adalah suatu sengketa publik yang untuk penyelesaiannya perlu melibatkan
semua governance stakeholder.
Konflik ini cukup rumit, karena akan membenturkan dua kebutuhan yang sama-sama
memiliki arti penting bagi kehidupan manusia, yaitu kebutuhan konservasi dengan
kebutuhan ekonomi (pariwisata). Kedua hal tersebut sama-sama memiliki argumen masing-
masing yang dilandasi dengan argumen dan pendapat dari masing-masing pendukung
sehingga akan sulit untuk mempertemukan keduanya. Untuk itulah penulis tertarik untuk
meneliti dan mengkaji kasus ini dengan judul : “Konflik Pengelolaan Sumber Daya
Pariwisata di Desa Sambirejo”

B. Perumusan Masalah
Konflik kepentingan yang terjadi di kawasan Desa Sambirejo terjadi karena
kurangnya kesadaran dari masyarakat mengenai pentingnya memelihara warisan budaya
serta konflik kepemilikan lahan dan kurangnya penyuluhan dari pihak berwenang pada
masyarkat lokal dan pengelola serta pengusaha jasa usaha wisata di kawasan tersebut
mengenai benda cagar budaya yang ada. Akar konflik yang terjadi bermula dari konflik
lahan serta pemanfaatan sumber daya pariwisata di kawasan cagar budaya situs ratu boko.
Masyarakat, khususnya yang berada di sekitar kawasan, telah melanggar batas aturan
tersebut dengan menggunakannnya sebagai objek wisata alam. Penelitian yang dilakukan
menggunakan metode deskriptif kualitatif, berusaha menginterpretasikan faktor-faktor
penyebab konflik, aktor yang terlibat serta dampak bagi kegiatan pariwisata di kawasan
tersebut yang terjadi sekomprehensif mungkin. Data yang diperlukan dalam penelitian ini
adalah data primer yang dikumpulkan melalui observasi dan wawancara mendalam, dan
data sekunder yang diperoleh dengan teknik dokumentasi teori yang digunakan untuk
menganalisis fenomena konflik ini adalah sengketa publik, konsep governance serta studi
literatur mengenai hubunggan pariwisata dan konflik.
Permasalahan yang ingin penulis angkat dalam tulisan ini adalah mengenai “Konflik
Pemanfaatan Sumber Daya Pariwisata di Desa Sambirejo”. Dari permasalahan tersebut
memunculkan beberapa pertanyaan penelitian yang akan dijawab dengan penelitian di
lapangan selanjutnya. Di bawah ini ada beberapa pertanyaan penelitian yang diajukan
penulis diantaranya :
1. Faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya konflik di kawasan cagar budaya
tersebut?
2. Bagaimana pengaruh konflik tersebut terhadap kegiatan pariwisata di kawasan
tersebut?
3. Siapa saja yang terlibat dalam konflik tersebut?
Salah satu yang ingin dibahas dan diteliti dalam tulisan nantinya adalah konflik
peemanfaatan sumber daya pariwisata di kawasan Desa Sambirejo. Penulis ingin
mengetahui permasalahan konflik apa saja yang terjadi dalam konteks pemanfaatan dan
pengelolaan sumber daya daya tersebut. Pihak mana saja yang terlibat dan bertanggung
jawab dalam permasalahan tersebut. Sementara itu, tujuan dari penelitian tersebut adalah
untuk mengidentifikasi dan mengeksplorasi permasalahan yang terjadi dalam konflik
tersebut serta mencari solusi pemecahan dari konflik tersebut dan memberikan kesadaran
akan pentingnya pengelolaan sumber daya pariwisata di kawasan cagar budaya sendiri bagi
masyarakat lokal, pemilik jasa usaha wisata di kawasan situs serta pemerintah.
C. Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai Konflik Pengelolaan Sumber Daya Pariwisata di Sambirejo ini
baru pertama kali diteliti. Ini dikarenakan lokasi yang dipilih oleh peneliti merupakan
ODTW baru yang akan dikembangkan oleh masyarakat setempat dan pemerintah desa
setempat. Peneliti akan memfokuskan mengenai konflik pengelolaan sumber daya
pariwisata di 3 lokasi wisata yang dijadikan atraksi wisata utama di Sambirejo dan
dampaknya bagi pengembangan pariwisata di kawasan Desa Sambirejo.
D. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui apa penyebab utama terjadinya konflik pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya pariwisata di kawasan tambang breksi Desa Sambirejo.
2. Mengidentifikasi para pihak yang terlibat konflik (para stakeholder) dan sejauh
mana keterlibatan mereka masing-masing.
3. Untuk mencoba menyusun suatu alternatif pemecahan masalah sebagai salah satu
alternatif pemecahan masalah di kawasan tambang breksi Sambirejo.
E. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat positif bagi berbagai
pihak, dan secara garis besar bisa dikategorikan dalam dua hal:
1. Manfaat Teoritis
Bisa menjadi suatu sumber informasi untuk pengembangan ilmu pengetahuan,
terutama dalam bidang pengelolaan konflik dan pengembangan pariwisata di suatu ODTW
atau kawasan.
2. Manfaat Praktis
Bagi Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Badan Pelestarian Cagar
Budaya DIY, Pemerintah Desa Sambirejo, Lembaga Swadaya Masyarakat, Masyarakat
umum dan Swasta, bisa digunakan sebagai bahan pertimbangan atau acuan dalam
menyusun rancangan dan kebijakan guna menemukan solusi yang bisa diterima semua
pihak atas konflik yang sedang dihadapi saat ini maupun di masa mendatang. Bisa juga
dijadikan acuan dalam menangani suatu konflik pariwisata yang terjadi di suatu kawasan
wisata.
F. Kajian Pustaka
Seperti kita ketahui Yogyakarta merupakan daerah tujuan wisata kedua yang paling
banyak dikunjungi wisatawan di Indonesia setelah Bali. Yogyakarta menawarkan berbagai
macam wisata yang menarik dan unik. Dengan banyaknya wisatawan yang datang banyak
sekali memunculkan prospek pembangunan di bidang pariwisata guna menunjang
pariwisata itu sendiri. Namun, dibalik itu semua pengembangan pariwisata tersebut juga
tidak luput dari dampak negatif yang timbul dan masalah karena adanya pariwisata salah
satunya mengenai konflik pemanfaatan sumber daya pariwisata. Seperti kita ketahui, jika
sebagian besar wilayah di Kecamatan Prambanan merupakan kawasan cagar budaya
dimana banyak terdapat situs dan benda cagar budaya yang harus dilestarikan dan dijaga
keutuhannya. Namun, saat ini banyak kawasan di sana sudah banyak yang beralih fungsi
menjadi sarana penunjang pariwisata salah satunya di Candi Ijo
Kawasan situs cagar budaya bisa dikatakan sebagai bagian dari warisan budaya yang
sudah semestinya bisa dipergunakan untuk berbagai macam kepentingan yang berbeda-
beda diantaranya, agama, pendidikan, budaya, sosial, ilmu pengetahuan dan pariwisata.
Apabila dilihat dari sudut pandang pendidikan bisa diktakan keberadaan warisan budaya
tersebut sangat berarti bagi pengembangan pendidikan. Bangunan cagar budaya dapat
dikategorikan dalam sumber informasi yang akan memberikan ilmu dan pengetahuan
seperti arsitektur, geografi, geologi, lingkungan, teknologi dan lainnya bagi masyarakat luas
dan wisatawan yang datang mengunjunginya. Hal itu, lalu memunculkan konflik
kepentingan di dalamnya baik itu secara vertikal maupun horizontal seperti yang pernah
terjadi di beberapa tempat yang ada di Bali, Padang bahkan sekitar Candi Borobudur.
Banyak sekali faktor yang melatar belakangi terjadinya konflik di kawasan Cagar Budaya
tersebut baik itu antara pemerintah dan masyarakat atau masyarakat dengan masyarakat
lainnya bahkan ada juga antara masyarakat dan pemilik jasa usaha wisata di sekitar
kawasan tersebut.
Walaupun sangat berbeda baik dalam skala maupun signifikasinya, contoh konflik
sebagaimana disinggung di atas memiliki banyak persamaan. Semua menggambarkan
konflik antara dua pihak atau lebih yang memperlihatkan situasi masing-masing pihak
merasa benar. Masing-masing saling menuntut agar sesuatu tidak diberikan oleh pihak yang
lain. Sesuatu itu dapat berupa hak tanah, hak pekerjaan, keamanan, bahkan bermuara ke
materi keuangan, dll. Konflik-konflik seperti itu sebenarnya tidak dapat dilihat sebagai
kasus yang berdiri sendiri dan tidak dapat dilepaskan pula dari proses melembaganya upaya
pelestarian sejak awalnya. Walaupun diakui terdapat unsur-unsur pemicu konflik,
khususnya berkaitan dengan perubahan budaya maupun politik seperti munculnya undang-
undang otonomi daerah yang dibuat secara tergesa-gesa dan memperkuat kekuasaan bupati.
Sayang sekali, kompleksitas permasalahan pelestarian benda cagar budaya akibat
perubahan sistem pemerintahan ini tidak cepat ditanggapi oleh para pengemban
kebudayaan, khususnya para pengelola kepurbakalaan (Tanudirdjo, 2003: VIII).

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai permasalahan konflik yang terjadi di


kawasan wisata Desa Sambirejo ada baiknya kita mengetahui mengenai konsep konflik
terlebih dahulu yang penulis gunakan untuk menganalisa permasalahan konflik tersebut.
Ada beberapa konsep konflik yang disampaikan oleh beberapa Sosiolog. Menurut Coser,
konflik dibedakan menjadi dua tipe dasar konflik yaitu realistis dan non-realistis. Konflik
realistis merupakan konflik yang memiliki sumber yang nyata dan biasanya bersifat
material seperti sumber ekonomi dan wilayah. Dalam hal ini, Coser melihat konflik realistis
termasuk juga konflik yang melibatkan aktor dimana aktor bersifat rasional dengan kata lain
aktor yang berkonflik berusaha menghindari kontak fisik dan lebih mengedepankan
cara-cara diplomatis untuk menyelesaikan konflik yang terjadi.
Sementara itu, konflik non-realitis merupakan kebalikan dari konflik realistis
dimana kontak fisik sangat mudah terjadi. Ini dikarenakan aktor-aktor yang berkonflik lebih
bersifat irasional. Konflik ini biasanya merujuk pada konflik ideologis, seperti konflik
agama, etnis, dan sebagainya. Kemungkinan kombinasi konflik yang lebih kompleks
antara konflik realistis dan non-realistis menurut Coser tetap berpeluang terjadi di tengah-
tengah masyarakat. Otomar J. Bartos dan Paul Wehr mendefinisikan konflik sebagai
“situasi pada saat para aktor menggunakan perilaku yang memicu konflik melawan satu
sama lain untuk menyelesaikan tujuan yang berseberangan atau mengekspresikan naluri
permusuhan”. Dalam definisi itu sebenarnya Bartos dan Wehr memasukkan unsur dalam
perilaku konflik sebagai pemicu konflik. Penulis pun mengasumsikan aktor yang terlibat
dalam konflik yang terjadi di kawasan situs ratu boko diantaranya pihak pengelola situs,
masyarakat lokal setempat dan pemilik jasa usaha wisata di kawasan situs.
Konflik yang terjadi di kawasan cagar budaya tersebut biasanya terjadi karena
perbedaan kepentingan dan kurangnya kesadaran dari masyarakat setempat serta pengelola
kawasan mengenai pelestarian situs cagar budaya yang bisa dikatakan merupakan salah
satu warisan budaya dunia yang harus kita lindungi. Selain itu, konflik tersebut terjadi juga
dikarenakan masyarakat di sekitar kawasan situs belum dapat merasakan manfaat dari
adanya kegiatan pariwisata cagar budaya yang ada di wilayah tempat tinggalnya. Beberapa
situs yang telah dikelola dengan intensif pun belum dapat dirasakan manfaatnya oleh
masyarakat apalagi yang belum dikelola. Pelestarian dan pengembangan wisata yang
berlangsung selama ini mengalami berbagai kendala. Upaya maksimal yang telah dilakukan
tidak membawa hasil yang sepadan. Masyarakat sekitar Candi Ijo merasa belum dapat
memperoleh manfaat optimal dari upaya pelestarian dan pengembangan yang telah
dilakukan (Hartono, 2004). Namun, upaya pengembangan dan pelestarian kawasan situs
cagar budaya memang harus bisa mempertimbangkan kepentingan banyak pihak yang
seringkalii menimbulkan pertentangan sehingga memunculkan konflik kepentingan di
dalamnya. Hal tersebut berarti bahwa usaha konservasi situs warisan budaya tersebut pada
masa sekarang harus berubah tidak hanya pada upaya konservasi secara fisik saja namun
juga harus bisa memperhatikan kebermaknaan soal situs tersebut bagi masyarakat sekitar
kawasan cagar budaya (Byrne, et al,t t, dalam Sulistyanto.2011).
Selain itu, terkadang tujuan yang terkandung dalam upaya konservasi tersebut juga
akan memunculkan konflik kepentingan antar lembaga atau birokrasi pemerintah,
masyarakat lokal atau antara masyarakat dan lembaga serta masyarakat dengan pengelola
situs (Tanudirjo,1998). Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang lebih baik serta
kesepakatan mengenai pemanfaatan berbasis konservasi tersebut agar konflik kepentingan
tidak muncul di waktu mendatang. Memahami peran warisan sittus cagar budaya di sektor
ekonomi secara berkelanjutan salah satunya adlaah melalui konservasi, pelestarian dan
pemeliharaan. Maka dari itu, konflik kepentingan dapat dihindari jika setiap orang yang
memiliki minat mampu menyadari pentingnya melestarikan warisan budaya dan
memprioritaskan keseimbangan kepentingan, salah satu kelompok tidak harus berpikir
bahwa mereka lebih baik dari yang lain (Haryono,1999;2003). Konflik yang terjadi di
kawasan cagar budaya bisa dikatakan sebagai konflik kepentingan yang dikarenakan karena
kurangnya kesadaran dari mamsyarakat lokal di sana mengenai pentingnya pelestarian
warisan budaya dan kurangnya penyuluhan dari pihak berwenang mengenai pentingnya
melestarikan situs cagar budaya. Ini berakibat pada tindakan-tindakan negatif yang justru
akan merusak keberadaan situs cagar budaya itu sendiri.
Banyak sekali cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi konflik tersebut. Upaya-
upaya pemerintah untuk melestarikan benda cagar budaya di kawasan situs-situs dunia
seperti Sangiran, Bobudur, Prambanan hingga sekarang dapat dikatakan belum berhasil
sepenuhnya. Kurang berhasilnya usaha pemerintah dalam mengatasi masalah tersebut di
atas, disebabkan karena pemerintah sejauh ini lebih menekankan pada cara penegakan
hukum (law enforcement) semata, tanpa melihat keinginan-keinginan lain dari aspirasi
masyarakat. Akibatnya konflik pun tidak dapat terhindarkan. Sebenarnya konflik seperti itu
dapat dihindarkan jika masyarakat setempat selalu dilibatkan dalam setiap pengambilan
keputusan sejak dari awal kegiatan, mulai studi kelayakan, pelaksanaan pelestarian, hingga
saat pemanfaatannya dan rencana pengembangan di masa depan. Salah satu cara untuk
mencegah dan meminimalisir terjadinya konflik di kawasan cagar budaya seperti situs-situs
yang ada di kawasan wisata Sambirejo yang rawan konflik adalah dengan melakukan
kegiatan pemberdayaan masyarakat di kawasan yang memang rawan konflik.
G. Hipotesis
Menurut penulis, konflik yang ada di kawasan cagar budaya Desa Sambirejo bisa
dikategorikan sebagai konflik kepentingan yang melibatkan beberapa pihak yakni
masyarakat lokal, pengelola situs kawasan cagar budaya, pemerinntah desa setempat dan
pengusaha jasa usaha wisata di kawasan tersebut. Konflik yang terjadi disana tidak
menganggu kegaiatn pariwisata di kawasan situs tambang breksi Sambirejo. Namun, perlu
segera ditangani agar segera dapat diselesaikan dan tidak memperlebar jangkauan konflik
sehingga dapat terjadi titik temu dan solusi di dalamnya.
H. Metode Penelitian Lapangan
1. Pemilihan Lokasi
Lokasi yang dipilih oleh penulis ada di kawasan Desa Sambirejo yang termasuk
dalam wilayah administratif Desa Sambirejo Kecamatan Prambanan Kabupaten Sleman
Daerah Istimewa Yogyakarta. Ini dikarenakan di kawasan tersebut salah satu kawasan situs
yang rawan konflik pemanfaatan sumber daya pariwisata. Penulis akan mengambil fokus
lokasi di tiga tempat yang memanng dijadikan sebagai atraksi wisata utama di Sambirejo
yaitu Candi Ijo, Candi Barong dan Tebing Breksi.
2. Jenis Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan menggunakan metode kualitatif, yang sifatnya
deskriptif dalam upaya menginterpretasikan gejala-gejala yang terjadi dalam konteks
sosial. Dengan metode seperti ini diharapkan bisa didapat berbagai data sekomprehensif
dan sedetail mungkin mengenai situasi yang tengah akan diteliti.
3. Sumber Data
Data yang akan dipakai dalam penelitian ini dikumpulkan dari data primer
melalui wawancara dan observasi di lapangan, dan dari data sekunder yang diperoleh dari
berbagai sumber, seperti buku, jurnal, laporan atau dokumentasi pemerintah dan Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM), internet, laporan penelitian, dan lain-lain.
k
e
r
t
a
is
D
o
A
W
l
p
4. Variabel Lapangan
Pengertian operasional variabel menurut Sugiyono (2010:58) adalah : “Segala sesuatu
yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh
informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya.” Variabel lapangan yang
ada adalah Konflik, sumber daya pariwisata, kegiatan pariwisata yang memiliki pengaruh
satu sama lainnya
Variabel penelitian terdiri atas 2 (dua) macam yaitu : Variabel terikat (dependent
variabel) atau variabel yang tergantung pada variabel lainnya, dan variabel bebas
(independent variabel) atau variabel yang tidak tergantung pada variabel lainnya. Variabel
yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Variabel Terikat / Dependent Variabel : Konflik Kepentingan

a. Sumber Daya Pariwisata


b. Relasi hubungan : - Masyarakat Lokal

5. Konsep Pemikiran
- Lembaga Pemerintah
Kegiatan Pariwisata
2. Variabel Bebas / Independent Variabel, yaitu :

- Pengelola Cagar Budaya


- Pengusaha Jasa Usaha Wisata

6. Metode Pengumpulan Data

Adapun pendekatan, metode, dan jenis data yang digunakan adalah

sebagaimana disebutkan pada Tabel berikut, :


Tabel 1. Metode pengumpulan data

No Pendekatan Metode Jenis


Data
1. Survey ke dalam dan Pengamatan 1. Kawasan digunakan sebagai lokasi
sekitar kawasan Langsung wisata dan penambangan breksi

2. Studi pustaka dan analisis 1. Status hukum fungsi kawasan


data sekunder 2. Sosial, ekonomi dan budaya
masyarakat sekitar kawasan Cagar
Alam
3. Pengetahuan umum seputar kawasan
4. Refleksi keinginan terhadap kawasan
5. Penggunaan kawasan
3. Wawancara dengan  Status hukum fungsi kawasan
pihak-pihak dan instansi  Sosial, ekonomi dan budaya
terkait (Masyarakat masyarakat sekitar kawasan Cagar
sekitar, pengunjung, Alam
Perangkat desa,  Pengetahuan umum seputar kawasan
penambang dan lain-  Refleksi keinginan terhadap
lain) kawasan

7. Metode Analisis Data

Data-data yang nantinya berhasil dikumpulkan akan dikelompokkan menurut


kategori atau polanya tersendiri, kemudian diorganisasikan dalam tema- tema tertentu.
Tema-tema tersebut nantinya akan dianalisis menggunakan alur kerangka pemikiran dan
metode penelitian social, serta landasan teori yang relevan, sehingga bisa menuntun pada
suatu kesimpulan. Penelitian ini dilakukan untuk memberikan gambaran mengenai suatu
konflik, menganalisa, dan membuat upaya pengelolaan konflik pariwisata.
Metode kualitatif adalah “prosedur penelitian yang menghasilkan data- data
deskriptif berupa kata-kata tertulis dan lisan dari orang-orang dan pelaku yang diamati dan
diwawancarai. Pencarian data-data tersebut dilakukan dengan metode induktif dimana
fakta-fakta atau peristiwa umum yang terjadi di lapangan kemudian ditarik generalisasi
yang lebih bersifat khusus.
Sedangkan pengelolaan datanya digunakan metode reflektif. Komponen-komponen
metode reflektif adalah: (a) perekaan, (b) penafsiran, (c) penilaian, (d) deskripsi, (e)
pemahaman; dan (g) analisa. Kemudian, dalam berpikir reflektif induksi akan diawali dari
fakta-fakta khusus dan menuju ke pernyataann umum yang menerangkan fakta-fakta itu.
Kemudian dari ekplanasi yang bersifat umum tersebut diselidiki kembali fakta-fakta yang
telah ada tadi untuk meyakinkan kebenaran ekplanasi yang telah dirumuskan (verifikasi).
Model analisis data yang digunakan untuk menganalisis data pada penelitian ini adalah alat
analisis boundary model (Model Batas).
Ada beberapa alasan mengapa menggunakan Model batas sebagai alat bantu analisis
dalam kasus konflik pengelolaan sumber daya pariwisata di tambang breksi Sambirejo ini :
1) Dalam hal diagnosis permasalahan, model ini dapat membantu mendiagnosis
penyebab potensial dari konflik dalam suatu keadaan tertentu. Namun begitu, Model ini
juga membatasi diagnosisnya pada isu-isu terkait batas, yang berarti bahwa model ini
ternatas dalam jangkauan atau skope diagnosisnya.
2) Dalam hal strategi pemecahan masalah, model ini menawarkan ide-ide yang
jelas bagi dilakukannya tindakan intervensi, seiring dengan tujuan kunci dilakukannya
intervensi, yang dapat membantu bagi para praktisi.
3) Model ini memiliki kegunaan yang sangat tinggi dalam hal konflik yang
bersifat relasional, konflik dimana para pihak yang terlibat akan terus berinteraksi setelah
sengketa yang terjadi dipecahkan.
Sumber :
Boulding, K. E. 1962. Conflict and defense: a general theory, Harper, New York.
Kriesberg, L. 1982, Social conflicts, Prentice-Hall, Englewood Cliffs, N.J.
Sugiyono, 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:
Alfabeta .
Arfani, Riza Noer 2005, ‘Governance sebagai pengelolaan konflik’, Jurnal Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Volume 8 No. 3, Maret 2005.
Haryono, Timbul, 1999. Pengelolaan Sumber Daya Arkeologi Asas Keseimbangan,
A Paper Presented in Archaelogical Symposium XI, Ujung Pandang.
Tanudirjo, Daud, 1998. Cultural Resource Management as Conflict Management,
Artefak Magazine No. 19, pp: 14-18
Sulistyanto, Bambang, 2003. Balung Buto: Warisan Budaya Dunia dalam Perspektif
Masyarakat Sangiran. Kunci Ilmu: Yogyakarta.
Kompas, 11 januari 2002
Kompas, Ditolak, Pembangunan Jagat Jawa Borobudur. 3 Januari 2003.
Kompas, Tinjau Ulang Kontrak Borobudur, 11 Januari 2003.
Pruit. G. Dean, dan Rubin Z. Jeffrey. 2004. Teori Konflik sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. Terjemahan dari Social Conlict, Escalation, Statemen, and Setlemen. New York:
McGraw-Hill, Inc 1986.
Damanik, Janianton dan Weber, Helmut. 2006. Perencanaan Ekowisata dari Teori ke
Aplikasi. Yogyakarta: PUSPAR UGM dan Penerbit Andi.
Pitana. Igede dan Gayatri. 2005. Sosiologi Pariwisata. Bandung: Penerbit Andi.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan.
Bartos J. Otomar, Paul Wehr. 2002. Using Conflict Theory. Cambridge : Cambridge
University Press
Coser, Lewis, 1967. Continuities in the Study of Social Conflict. New York: Free
Press.
Coser, Lewis , 1956. The Function of Social Conflict. New York: Free Press. 1956.
Byrne, t.t.Denis, Helen Brayshaw, Tracy Ireland. Social Significance. A Discussion
Paper. NSW National Parks & Wildlife Service, Research Unit, Cultural Heritage Devision.
Marpaung, Happy dan Bahar, Herman. 2002. Pengantar Pariwisata.Bandung:
Alfabeta.

Anda mungkin juga menyukai