Anda di halaman 1dari 17

Referat

Terapi Bermain pada Anak dengan Disfungsi Keluarga

Oleh:

Mita Innana Nurjannah 04084821921076


Fatimah Azzahrah 04084821921144
Nyimas Nisyah Nadhirah 04084822921118

Pembimbing:
dr. Diyaz Syauki Ikhsan, Sp.KJ

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
RS ERNALDI BAHAR SUMATERA SELATAN
2020

i
HALAMAN PENGESAHAN

Referat

Terapi Bermain pada Anak dengan Disfungsi Keluarga

Oleh :

Mita Innana Nurjannah 04084821921076


Fatimah Azzahrah 04084821921144
Nyimas Nisyah Nadhirah 04084822921118

Dosen Pembimbing:
dr. Diyaz Syauki Ikhsan, Sp.KJ

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
kepaniteraan klinik senior di Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya Palembang.

Palembang, April 2020

dr. Diyaz Syauki Ikhsan, Sp. KJ

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul ” Terapi Bermain
pada Anak dengan Disfungsi Keluarga”.
Referat ini merupakan salah satu tugas Kepaniteraan Klinik di
Bagian/Departemen Psikitri RSUP dr. Moh. Hoesin Palembang Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Diyaz Shauki Ikshan, Sp.KJ,
selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan
penyusunan laporan kasus ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan
kasus ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis
harapkan. Semoga laporanini dapat memberi manfaat bagi pembaca.

Palembang, April 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................i


HALAMAN PENGESAHAN........................................................................ii
KATA PENGANTAR....................................................................................iii
DAFTAR ISI ..................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................2
2.1 Disfungsi Keluarga.....................................................................................2
2.1.1 Definisi.............................................................................................2
2.1.2 Penanganan pada Anak dari Keluarga yang Disfungsi.....................3
2.2 Terapi Bermain...........................................................................................3
2.2.1 Definisi.............................................................................................3
2.2.2 Tahapan Bermain..............................................................................3
2.2.3 Tujuan Terapi Bermain.....................................................................4
2.2.4 Manfaat Bermain..............................................................................4
2.2.5 Macam-macam Pendekatan Terapi Bermain....................................5
2.2.6 Materi Bermain.................................................................................6
2.2.7 Teknik Terapi Bermain.....................................................................6
2.2.8 Proses Terapeutik Bermain...............................................................7
2.2.9 Karakteristik Terapis untuk Terapi Bermain....................................9
2.2.10 Terapi Bermain dan Disfungsi Keluarga........................................9
BAB III SIMPULAN......................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................11

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Individu yang menjadi konseli tidak selamanya remaja atau orang dewasa
saja. Tidak menutup kemungkinan individu yang menjadi konseli adalah anak-
anak. Jika anak usia dini mengalami masalah, tentu akan berpengaruh terhadap
perkembangan anak usia dini, di mana anak usia dini berada pada fase golden
age. Pada fase ini anak usia dini sebagai individu dalam masa perkembangan yang
sangat pesat memiliki dorongan untuk melakukan yang terbaik dan beradaptasi
terhadap kesenjangan yang dialami.1
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak usia dini juga memiliki
potensi mengalami masalah.2 Anak-anak ini masih tinggal bersama keluarga
mereka, meskipun untuk beberapa struktur keluarga mungkin telah berubah.
Anak-anak mungkin menjadi korban dari rusak dan kurangnya fungsi keluarga
yang telah terjadi selama beberapa waktu. 3 Anak-anak yang mengalami kesulitan
mengontrol emosionalnya biasanya adalah mereka yang mendapatkan pengalaman
tidak baik pada dua tahun pertama kehidupa..4 Pada saat dewasa, banyak dari
anak-anak ini akan menjadi individu yang acuh tak acuh, benci, cemburu, mudah
marah dan kasar.2
Membutuhkan usaha dan kreatifitas yang lebih pada konselor untuk
memberikan layanan konseling pada anak usia dini yang sedang mengalami
masalah. Hal ini membutuhkan sebuah inovasi dalam memberikan layanan
konseling pada anak usia dini, salah satunya melalui media bermain atau play
therapy.4 Melalui media bermain, akan mendorong munculnya komunikasi
interaktif yang berlandaskan rasa percaya diantara konselor dan konseli, sehingga
konseli mampu mengatur kehidupannya.5 Play therapy merupakan sebuah teori
yang menyatakan bahwa masa kanak-kanak adalah masa bermain, setiap mereka
melakukan banyak aktifitas yang bermuara pada permainan. 6 Hal ini berarti play
therapy dapat digunakan dalam menyembuhkan permasalahan yang dialami oleh
anak usia dini.3
Pemaparan di atas menunjukkan bahwa play therapy merupakan sebuah
inovasi layanan konseling yang perlu dikembangkan konselor untuk membantu
anak usia dini keluar dari masalahnya. Akan tetapi, saat ini belum banyak
ditemukan tenaga konselor yang secara bidang keahlian, menjadi pihak yang ahli
memberikan layanan konseling dengan teknik play therapy untuk membantu
konseli keluar dari masalahnya.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Disfungsi Keluarga

2.1.1 Definisi
Disfungsi keluarga adalah suatu situasi terjadinya pertentangan atau
perselisihan antara satu individu dengan individu lainnya, sehingga menyebabkan
hilangnya rasa kasih sayang, kehangatan keluarga dan rasa menghargai. Disfungsi
keluarga dapat berupa kondisi apa pun yang mengganggu fungsi keluarga yang
sehat. Sebagian besar keluarga memiliki beberapa periode waktu di mana
fungsinya terganggu oleh keadaan stres (kematian dalam keluarga, penyakit serius
orang tua, dll). Keluarga sehat cenderung kembali berfungsi normal setelah krisis
berlalu. Namun, dalam keluarga yang mengalami disfungsional, masalah
cenderung kronis sehingga anak-anak tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka.
Pola perilaku negatif orang tua cenderung dominan dalam kehidupan anak-anak
mereka.7
Menurut M. Rutter sebagaimana yang dikemukakan Sarlito W Sarwono,
ciri-ciri disfungsi keluarga adalah sebagai berikut : 8,9
1. Kematian salah satu atau kedua orang tua.
2. Kedua orang tua berpisah atau bercerai.
3. Hubungan kedua orang tua tidak baik.
4. Hubungan orang tua dan anak tidak baik.
5. Kesibukan pekerjaan orang tua.

Keluarga sehat bukan berarti harus sempurna, mereka mungkin juga


berteriak, bertengkar, salah paham, tegang, terluka, dan marah - tetapi tidak setiap
saat. Keluarga sehat memungkinkan individualitas; setiap anggota didorong untuk
mengerjakan kewajibannya dan mendapatkan haknya. Anak-anak secara konsisten
diperlakukan dengan baik, dan tidak merasa takut akan pelecehan emosional,
verbal, fisik, atau seksual. Orang tua dapat diandalkan untuk memberikan
perawatan bagi anak-anak mereka. Anak-anak diberikan tanggung jawab sesuai
dengan usia mereka dan tidak diharapkan mengambil tanggung jawab orang tua.
Dalam keluarga sehat semua orang membuat kesalahan dan kesalahan tersebut
diizinkan. Kesempurnaan tidak mungkin tercapai dan tidak realistis.
Ada banyak jenis disfungsi dalam keluarga. Beberapa orang tua tidak
melakukan kewajibannya, membiarkan anak-anak mereka berjuang sendiri.
Sementara orang tua lain memiliki terlalu banyak kontribusi, tidak pernah
membiarkan anak-anak mereka tumbuh dewasa dan hidup sendiri. Di bawah ini
adalah karakteristik dari beberapa jenis disfungsi keluarga bersama dengan
beberapa masalah umum yang terkait dengan masing-masing.

2
3

2.1.2 Penanganan pada Anak dari Keluarga yang Disfungsi7,10


Terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan oleh individu agar merasa
terlepas dari trauma mereka, seperti halnya :
1. Mencari bantuan atau dukungan dari luar
2. Belajar mengidentifikasi dan mengekspresikan emosi
3. Mulailah belajar untuk memercayai orang lain
4. Berlatih merawat diri sendiri dengan baik
5. Mulailah mengubah hubungan dengan keluarga
6. Menambah wawasan yang memotivasi (membaca buku)

2.2 Terapi Bermain


Ada lebih dari 4000 bahasa sebagai alat komunikasi di dunia, dan
meskipun bermain tidak dapat didengarkan seperti bahasa, namun dapat
dimengerti dan bermakna.1 Sepanjang masa kanak-kanak, bermain sangat
mempengaruhi penyesuaian pribadi dan sosial anak. Sutton Smith
mengatakan:”Bermain bagi anak terdiri atas empat mode dasar yang membuat
kita mengetahui tentang dunia-meniru, eksplorasi, menguji, dan membangun.”15

2.2.1 Definisi
Landreth berpendapat bahwa bermain sebagai terapi merupakan salah satu
sarana yang digunakan dalam membantu anak mengatasi masalahnya, sebab bagi
anak bermain adalah simbol verbalisasi. Terapi bermain dapat dilakukan didalam
ataupun diluar ruangan. Terapi yang dilakukan didalam ruangan sebaiknya
dipersiapkan dengan baik terutama dengan alat-alat permainan yang akan
digunakan. Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa terapi bermain adalah terapi
yang menggunakan alat-alat permainan dalam situasi yang sudah dipersiapkan
untuk membantu anak mengekspresikan perasaannya, baik senang, sedih, marah,
dendam, tertekan, atau emosi yang lain.13

2.2.2 Tahapan Bermain


Anak-anak melakukan aktivitas permainan sesuai dengan tahapan
perkembangan kognitifnya, oleh karena itu tahapan bermain pada anak-anak
dapat diklasifikasikan menjadi tiga periode, yaitu:
1. Periode Bayi : permainan sensorimotor
Bayi mengumpulkan informasi melalui sensori dengan
memanipulasi objek dan menunjukkan motor tertentu. Dengan demikian
selama tahun pertama anak-anak senang mengeksplorasi diri serta
lingkungannya, menstimulasi sensorimotor, bermain secara soliter dan
paralel serta meniru.
2. Periode kanak-kanak awal
4

Pada masa kanak-kanak awal (mulai usia 2 tahun), kemampuan


untuk membuat symbol begitu sentral. Mereka memainkan permainan
imajinasi yang menandakan kemajuan dalam perkembangan intelektual
dan bahasa. Permainan imajinasi umumnya terjadi antara umur 2 hingga 6
tahun. Permainan imajinasi meliputi permainan drama dan sosiodrama,
fantasi dalam bentuk lamunan atau kreasi dari imajinasi seorang teman.
Golomb dan Galasso menyatakan bahwa, dalam bermain pura-
pura anak tetap dapat membedakan antara fantasi dan realitas. Dalam
permainan pura-pura anak menirukan karakter yang dikaguminya dalam
kehidupan nyata atau dalam media massa atau ingin menyerupainya. Anak
merasa tidak ada perasaan bersalah sudah menceriterakan perihal dirinya
dan semua perasaannya meskipun hanya dalam permainan. Suasananya
merupakan reproduksi dari suasana yang sebenarnya. Dari situasi bermain
anak akan dituntun untuk mempunyai satu mekanisme pemecahan
masalah.
3. Periode kanak-kanak akhir
Ketika anak berusia 7 hingga 11 tahun mereka mulai memainkan
permainan yang didalamnya terdapat aturan permainan tersebut
memerlukan latihan, kemampuan mengontrol impuls, kemampuan
toleransi terhadap frustrasi, kemampuan membuat strategi, perencanaan,
organisasi, kemampuan berpikir logis dan dapat memecahkan masalah.

2.2.3 Tujuan Terapi Bermain


Tujuan terapi bermain adalah:
1. Menciptakan suasana aman bagi anak-anak untuk mengekspresikan
diri mereka.
2. Memahami bagaimana sesuatu dapat terjadi, mempelajari
aturan sosial dan mengatasi masalah mereka
3. Memberi kesempatan bagi anak-anak untuk berekspresi dan
mencoba sesuatu yang baru.

2.2.4 Macam-macam Pendekatan Terapi Bermain


Macam-macam model dalam terapi bermain adalah:16
1. Model Adlerian, yaitu kehidupan sosial perlu untuk dimiliki,
perilaku adalah tujuannya, melihat hidup secara subyektif dan hidup
adalah sesuatu yang khusus dan kreatif.
2. Model Terapi Client-Centered, motivasi internal yang dimiliki
anak-anak mendorong pertumbuhan dan aktualisasi diri.
3. Model Kognitif-Behavioral, Model ini berpandangan bahwa anak
memiliki pikiran dan perasaan yang sama seperti orang dewasa yaitu
5

ditentukan melalui bagaimana anak berfikir tentang diri dan


dunianya.
4. Model Ekosistemik, Dasar yang digunakan adalah teori dari terapi
realitas, yang mempunyai pandangan bahwa berada dalam
interaksi terhadap lingkungan dapat mempengaruhi perkembangan.
5. Model Eksistensialisme, Memiliki pandangan bahwa anak-anak
adalah manusia berguna, unik, ekspresi diri dan pertolongan
terhadap diri sendiri mendorong aktualisasi diri
6. Model Gestalt, manusia secara total, dilahirkan dengan fungsi utuh.
7. Model Jungian, psikis terdiri dari ego, ketidaksadaran diri, dan
ketidaksadaran kolektif, kekuatan menyembuhkan adalah bawaan.
8. Model Psikoanalitik, anak memiliki rasa takut, memerlukan rasa
aman, berusaha berhubungan dengan tuntutan lingkungan.

2.2.5 Materi Bermain


Materi bermain dalam terapi bermaian dapat diklasifikasikan menjadi 4,
yaitu:
1. Mainan untuk memudahkan ekspresi, mainan adalah kata-kata anak-anak
dan bermain adalah bahasa mereka.
2. Mainan yang mendorong kreativitas, beberapa mainan, sudah menjadi sifat
dasarnya mendorong kreativitas. Sebuah kotak di pojok bisa menjadi
rumah.
3. Mainan untuk menyalurkan emosi, anak dapat menggunakan cat, pasir,
tanah liat untuk menyalurkan perasaannya yang kuat dimana dia tidak
berani mengkomunikasikan dengan lebih terbuka.
4. Mainan yang dapat mengekspresikan sifat agresif, contohnya menembak,
menusuk, memukul, dan meninju dengan keras adalah ekspresi simbolik
dari kemarahan, dan jika diberi kebebasan bermain akan memberikan
terapeutik katarsis, konsentrasi dan koordinasi.

2.2.6 Teknik Terapi Bermain


Ada beberapa teknik yang dapat dilakukan dalam terapi bermain,
diantaranya yaitu :
1. Permainan boneka, boneka memberikan suatu cara yang tidak mengancam
untuk anak-anak bermain di luar pikiran dan perasaan mereka,
mengidentifikasi diri mereka dan memproyeksikan perasaan mereka.
Manfaat permainan boneka, diantaranya sebagai berikut:
a. Melalui gerakan boneka, anak dapat menghadapi pikiran
dan perasaan yang sulit untuk mereka akui sebagai diri sendiri.
b. Dengan menggunakan boneka, anak dapat menciptakan orang
lain dan berinteraksi serta mengungkapkan pikiran dan
6

perasaannya sekaligus kemarahannya yang dalam kehidupan nyata


tidak bisa dilakukannya.
c. Anak-anak juga dapat menciptakan tokoh yang tidak bisa
diungkapkannya sendiri. Dengan bermain boneka dalam kelompok,
membuat anak saling menghargai sudut pandang orang lain, dapat
memecahkan masalah dan keterampilan sosial.
2. Bercerita, secara psikologis membaca atau bercerita merupakan salah satu
bentuk bermain yang paling sehat. Cerita memberikan cara yang
menyenangkan untuk mengembangkan rapport dan belajar tentang anak.
3. Bermain, permainan anak kecil bersifat spontan dan informal. Secara
bertahap bermain menjadi semakin formal. Permainan mengajar anak
tentang mendisiplin diri, serta belajar untuk menang dan kalah. Permainan
yang diterapkan untuk terapi bermain dapat dimainkan sendiri maupun
berkelompok.
4. Bermain pasir, anak bebas membuat adegan, membuat pemandangan
atau apa saja sebagai cara melukiskan pengalaman di mana mereka
tidak dapat menceritakan dengan kata-kata.

2.2.7 Proses Terapeutik Bermain


1. Pelaksanaan Sesi Terapi Bermain
Pelaksanaan sesi terapi bermain pada subjek dimulai dengan
langkah-langkah yang berurutan yaitu:
a. Pembuatan rancangan treatmen
Untuk mendapatkan rancangan treatmen yang tepat, perlu
menciptakan hubungan yang baik/ rapport antara terapis dengan
anak, sehingga anak dapat mengeksplorasi secara optimal dalam
bermain dan mempunyai perasaan senang dalam melakukan
sesuatu, hasil observasi selama awal sesi merupakan sumber
informasi.3
b. Pelaksanaan treatment3
Tahap selanjutnya adalah pelaksanaan. Dalam tahap ini
terapis melaksanakan rancangan treatment yang sudah dibuat
dengan menjaga sikap profesional, kejujuran dan kerahasiaan.
Selain itu terapis juga perlu menciptakan rasa aman dan kebebasan
pada diri anak untuk menentukan pilihan dan mengekspresikan
diri. Menurut Mc. Mahon ada beberapa cara untuk mengajak anak
terlibat aktif dalam bermain, misalnya :Terapis memainkan boneka
tangan, bermain Teddy Bear atau boneka lain, atau membuat hal-
hal yang lucu. Hal ini dilakukan untuk membuat anak mau
bermain, bukan mengarahkan permainan anak.
7

Hasil observasi segera dicatat setelah sesi selesai, bila


dimungkinkan gunakan recorder sebagai perekam atau camera
perekam, sehingga mudah untuk menentukan treatmen
selanjutnya. Secara garis besar, tujuan dari terapi ini adalah
menolong anak untuk mampu berhadapan dan hidup dengan
kondisi emosinya yang terluka (Mc. Mahon). Oleh sebab itu ada
beberapa tahap kemajuan yang biasanya dilewati oleh anak, yaitu:
Tahap 1 : perasaan marah, cemas atau emosi yang tidak
mengenakan. Tingkah laku yang muncul anak nampak
destruktif/ merusak mainan atau sebaliknya nampak ketakutan
pada sesuatu.
Tahap 2: perasaan marah sudah terarah pada orang tertentu,
bisa terapisnya atau permainan simbol.
Tahap 3 : nampak ekspresi positif dan negatif berjalan bersama.
Misalnya: suatu saat anak menyuapi boneka, disaat yang lain dia
memukuli boneka tersebut.
Tahap 4 : anak sudah dapat memilih dan memisahkan erasaan
positif dan negatif tentang orang dan situasi dalam realitas.
2. Pendekatan Terpadu dalam proses terapi bermain meliputi :
a. Relating emosinya yang selama ini disembunyikan.
b. Re-creating, menciptakan kembali kejadian-kejadian yang
signifikan.
c. Reexperiencing, anak-anak mulai mengembangkan pengertian
kejadian-kejadian masa lalu dan menghubungkan pengertian itu
dengan pikiran, perasaan dan tingkah laku sekarang.
d. Resolving, dalam tahap ini anak memperoleh pengertian bahwa dia
mempunyai masalah dan bereksperimen dengan berbagai
pemecahan.
e. Releasing, Karena tidak semua masalah dapat dipecahkan, anak
dapat mengembangkan keterampilan penting untuk menghadapi
masalah.

3. Bermain di kontrol versus bermain bebas


Ada perbedaan pendapat apakan bermain seharusnya dikontrol
atau bebas. Menurut Levy mengontrol mainan dengan menyeleksi
mainan-mainan tertentu dapat digunakan untuk memecahkan konflik-
konfliknya. Namun, Axline dan Moustakas berpegang pada anak boleh
memilih mainannya secara bebas. Mereka mengatur ruangan dengan
cara yang sama untuk semua anak. Menurut pendapat mereka memilih
mainan secara spontan mengurangi kepalsuan. Baik bermain di kontrol
8

maupun bermain bebas memiliki keunggulan tersendiri untuk membantu


anak memecahkan masalahnya.

2.2.8 Karakteristik Terapis untuk Terapi Bermain


Terapis untuk terapi bermain perlu mengembangkan beberapa
karakteristik di bawah ini :3
1. Berminat/ peduli/ relasi hangat dengan anak
2. Penerimaan terhadap anak
3. Mampu menciptakan rasa aman
4. Sensitif dan memberikan kesempatan ekspresi pada perasaan anak
5. Percaya kapasitas anak untuk berkembang
6. Percaya kemampuan anak untuk kontrol perilaku
7. Paham terapi bermain adalah proses yang bertahap

2.2.9 Terapi Bermain pada Anak dengan Disfungsi Keluarga


a. Dampak pada Anak dengan Disfungsi Keluarga
Anak merupakan masa yang rentan ketika mengalami peristiwa
traumatis seperti (kekerasan secara fisik,verbal dan seksual, kematian
salah satu atau kedua orangtua, ditelantarkan dll.) hal tersebut akan
mengganggu perkembangan dari segala aspek (perilaku, kognitif,
emosi, psikologi, fisik dan sosial) secara holistik. Selain itu, mereka
sulit mengontrol fungsi emosi dan perilaku serta dapat membuat
performa di sekolahnya menurun karena dampak dari tidak
tercapainya potensi yang sempurna pada masa perkembangan.
b. Alternatif Pilihan Terapi Bermain
Contoh permainan yang dapat digunakan untuk anak dengan
interpersonal trauma yang sering dialami oleh anak dengan keluarga
disfungsi adalah17:
1. Child Centered Play Therapy
CCPT adalah pendekatan bermain non-direktif dengan suara.
Terapi ini menggunakan prinsip empati, kebaikan dan hal-hal positif
tanpa syarat pada anak-anak. Filososfi yang digunakan pada terapi ini
melibatkan keyakinan yang mendalam pada kemampuan membangun,
mengarahkan diri anak-anak. Terapis yang menggunakan metode
CCPT berusaha membangun hubungan pada anak-anak dengan cara
melepaskan beban secara terarah, konstruktif, maju, kreatif untuk
penyembuhan diri mereka. Sehingga mereka menghasilkan
kemampuan untuk mengkespresikan pengalaman batin yang mereka
alami dengan konstruktif.
9

2. Child Parent Relationship Training


CPRT merupakan metode dengan cara menggunakan
orangtua/wali sebagai aliansi dari terapis dalam proses terapi bermain,
terapis akan bertemu dengan orangtua/wali setiap minggu selama satu
tahun dan kemudian setiap 5 atau 6 bulan sekali, yang bertujuan
melatih mereka untuk menerapkan prinsip CCPT. Keterampilan
orangtua untuk mendengarkan reflektif, mengenali perasaan anak-
anak mereka, membangun harga diri, melacak dan membangun
batasan yang jelas adalah tujuan dari metode ini sehingga
kepercayaan anak dengan caregiver (orangtua) dapat diciptakan.19
3. Cognitive Behaviourial and Ecosystem Play Therapy
CBPT menggunakan metode direktif, dengan cara menerapkan
sesi bermain berdasarkan dengan cara mereka mengatasi trauma,
anak-anak memiliki kendali tentang bagaimana, apa dan kapan
mereka mengatasi trauma. Hal tersebut berfungsi agar anak-anak
yang mengalami interpersonal trauma (seperti kekerasan, pelecehan)
dapat belajar kembali untuk mengekspresikan emosi mereka.18
Ecosystem Play Therapy (EPT) menerapkan pendekatan kognitif
dan semua sistem yang terlibat pada anak untuk mengetahui kesulitan
serta rencana perkembangan dari terapi anak tersbut. Terdapat dua
prinsip utama yang membedakan EPT dengan metode terapi bermain
lainnya: pertama, terapis EPT melihat perilaku anak sebagai upaya
terbaik mereka untuk memenuhi kebutuhan untuk menghindari
konsekuensi. Kedua, dengan memahami motivasi anak, terapis EPT
juga membantu anak-anak secara efektif memenuhi kebutuhan
mereka. Tujuan EPT adalah untuk melanjutkan fungsi perkembangan
dalam semua aspek kehidupan mereka.18
4. Trauma Focused Integrated Play Therapy
TF-IPT merupakan metode yang digunakan pada anak usia 5-17
tahun dengan cara melibatkan anak sepenuhnya pada terapi yang
mereka jalani dan mengenali kebutuhan alami pada anak tersebut.
Tujuan dari metode TP-IPT ini adalah untuk memanajemen
pengalaman traumatis yang anak tersebut rasakan20. Penelitian Gil
menyebutkan bahwa penting untuk memutus masa penolakan (denial)
dan memperbaiki ingatan traumatis sehingga dapat mengurangi gejala
post traumatis, mendorong interaksi sosial yang lebih baik dan
mencegah coping yang tidak baik.18
c. Hasil Terapi Bermain
Terapi bermain dengan metode manapun umumnya memiliki
dampak yang baik pada anak daripada dengan yang tidak diterapi.
10

Hasil yang dapat terlihat dari terapi bermain terutama pada perubahan
perilaku anak, kepribadian dan fungsi sosialnya. Selain itu, keefektifan
terapi bermain akan meinigkat seiring dengan jumlah sesi yang
dilaksaakan (hingga 35 sesi) dan partisipasi orangtua dalam
mendukung anaknya.22 Bermain merupakan aktivitas
penting pada masa anak-anak. Berikut ini adalah
bererapa hasil yang didapat pada terapi bermain:
1. Perkembangan aspek fisik. Anggota tubuh
mendapat kesempatan untuk digerakkan, anak
dapat menyalurkan tenaga (energi) yang berlebihan,
sehingga ia tidak merasa gelisah. Dengan demikian
otot-otot tubuh akan tumbuh menjadi kuat.
2. Perkembangan aspek motorik kasar dan halus.
3. Perkembangan aspek sosial. Ia akan belajar tentang
sistem nilai, kebiasaan-kebiasaan dan standar
moral yang dianut oleh masyarakat.
4. Perkembangan aspek emosi atau
kepribadian. Anak mendapat kesempatan untuk
melepaskan ketegangan yang dialami, perasaan
tertekan dan menyalurkan dorongan-dorongan
yang muncul dalam dirinya. Setidaknya akan
membuat anak relaks.
5. Perkembangan aspek kognisi. Anak belajar konsep
dasar, mengembangkan daya cipta, memahami
kata-kata yang diucapkan oleh teman-temannya.
6. Mengasah ketajaman penginderaan,
menjadikan anak kreatif, kritis dan bukan anak yang
acuh tak acuh terhadap kejadian disekelilingnya.
7. Sebagai media terapi, selama bermain
perilaku anak-anak akan tampil bebas dan bermain
adalah sesuatu yang secara alamiah sudah dimiliki
oleh seorang anak.
8. Sebagai media intervensi, untuk melatih
kemampuan-kemampuan tertentu dan sering
digunakan untuk melatih konsentrasi pada tugas
tertentu, melatih konsep dasar.
BAB III
KESIMPULAN

Anak yang mengalami berbagai tekanan sejak dini seperti memilki


keluarga yang disfungsi dapat menyebabkan anak tersebut memiliki masa kecil
yang penuh dengan ketakutan dan kesakitan sehingga mengalami kesulitan dalam
pengelolaan dan mengatasi emosi mereka. Masa yang seharusnya senang, banyak
bermain dan penuh kasih sayang akan hancur ketika mereka mengalami kejadian
tersebut. Perkembangan pesat yang terjadi dari mulai perilaku, kognitif, emosi,
psikologi, fisik dan sosial akan terganggu secara holistik sehingga akan
berdampak pada terhambatnya potensi anak tersebut untuk berkembang dan pada
kasus yang parah tidak dapat berkembang secara penuh.21
Terapis yang peduli dan terampil dapat membantu anak-anak melalui masa
perkembangan tersebut dengan cara bermain. Bermain merupakan aktivitas
penting pada masa anak-anak karena bermanfaat untuk perkembangan pada aspek
fisik, motoric kasar dan halus, sosial, emosi, dan kognisi. Selanjutnya, bermain
dapat menjadikan anak kreatif dan kritis, sebagai media terapi bermain dapat
membuat anak bebas mengekspresikan dirinya sendiri sebagai bentuk komunikasi
alami yang digunakan dalam upaya penyembuhan diri mereka dan memperbaiki
kepercayaan pada orang lain. Terapi bermain memiki dampak yang baik pada
anak, terutama yang memiliki keluarga disfungsi.18

10
DAFTAR PUSTAKA

1. Mashar, R. A. 2011. Play Therapy Dalam Kelompok Guna Meningkatkan


Emosi Positif Anak Usia Dini. Makalah diisampaikan dalam Seminar dan
Workshop Internasional di Universitas Pendidikan Indonesia Bandung
Tanggal 29 dan 30 Oktober 2011.
2. Alhadi, Said. 2016. Play Therapy: Sebuah Inovasi Layanan Konseling bagi
Anak Usia Dini. Jurnal CARE Edisi Khusus Temu Ilmiah Volume 3 No.3.
Universitas Ahmad Dahlan
3. McMahon, L. 2005. The Handbook of Play Therapy; Chapter 5: Play
Therapy for Children Living in Unhappy Families. London: Taylor &
Francis Group.
4. Cattanach, A. 2003. Introduction to Play Therapy. New York: Brunner-
Routledge.
5. Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. 2002. A Child’s World,
Infancy through Adolescence. Ninth Edition. Boston: McGraw Hill
6. Huda, M., Wulandari, D. A., & Astuti, L. P. 2016. Pengaruh Terapi
Bermain Lempar Bola terhadap Penurunan Kecemasan Pada Anak Usia
Pra Sekolah di RSUD Sunan Kalijaga Demak.
7. Forward, S. 1989. Toxic parents: Overcoming their hurtful legacy and
reclaiming your life. New York: Bantam Books.
8. Sarwono, Sarlito Wirawan. 2012. Psikologi Remaja. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
9. Minuchin, S., Reiter, M., & Borda, C. 2013. The craft of family therapy:
Challenging certainties. New York: Routledge.
10. Gravitz, H.L. and Bowden, J.L. (1985). Guide to recovery: A book for adult
children of alcoholics. Holmes Beach, FL:Learning Publications.
11. Gil, E. 1983. Outgrowing the pain: A book for and about adults abused as
children. San Francisco: Launch Press.
12. Beattie, M. 1987. Codependent no more: How to stop controlling others and
start caring for yourself. New York: Harper and Row.
13. Landreth, Garry L. 2001. Innovations In Play Therapy. Taylor & Francis
Group.
14. Djiwandono, Sri Esti Wuryani. 2005. Konseling dan Terapi dengan
Anak dan Orang Tua. Jakarta : PT Gramedia Widiasarana
15. Lester, S. (2009). Play as progress (sutton-smith). In R. P. Carlisle
(Ed.), Encyclopedia of play in today's society(pp. 535-535). Thousand Oaks,
CA: SAGE Publications, Inc.
doi: 10.4135/9781412971935.n300
16. LaBauve, B. J., Watts, R. E., & Kottman, T. (2001). Approaches to Play
Therapy: A Tabular Overview. TCA Journal, 29(1), 104–113.
doi:10.1080/15564223.2001.12034583 
17. Cohen, G. J., Weitzman, C. C., Committee On Psychosocial Aspects Of
Child And Family Health, & Section On Developmental And Behavioral
Pediatrics. 2016. Helping Children and Families Deal With Divorce and

11
Separation. Pediatrics, 138(6),e20163020.
https://doi.org/10.1542/peds.2016-3020
18. O’Connor, Kevin J. Schaefer, Charles E. Braverman, Lisa D. Handbook of
Play Therapy. 2016. Wiley & Sons,Inc. New Jersey

19. Landreth, G., & Bratton, S. 2019. Child-parent relationship therapy (CPRT):
An Evidence-Based 10-Session Filial Therapy Model (2nd ed.). New York,
NY: Routledge.
20. Gil, E. 2011. Trauma-Focused Integrated Play Therapy (TF-IPT).
Handbook of Child Sexual Abuse, 251–
278.doi:10.1002/9781118094822.ch11 
21. Van der Kolk B. 2000. Posttraumatic Stress Disorder And The Nature Of
Trauma. Dialogues in clinical neuroscience, 2(1), 7–22.
22. Bratton, Sue.C, Ray, Dee. Rhine,Tammy. 2005. The Efficacy of Play
Therapy With Children: A Meta-Analytic Review of Treatment Outcomes.
Professional Psychology: Research and Practice. 36(4). pp.376 –390

Anda mungkin juga menyukai