Anda di halaman 1dari 56

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Berdasarkan WHO 1999 penyebab kematian tertinggi akibat penyakit infeksi di dunia
adalah pneumonia dan influenza. Insidensi pneumonia komuniti di Amerika adalah 12 kasus
per 1000 orang per tahun. Angka kematian akibat pneumonia di Amerika mencapai 10%.
Asma adalah penyakit saluran respiratori. Prevalensi kejadian asma anak pada tahun 2011 di
Amerika Serikat mencapai 11%. Angka prevalensi di Indonesia menurut survei oleh Ikatan
Dokter Anak Indonesia sejak tahun 1990 hingga 2012 di beberapa daerah bervariasi mulai dari 3
hingga 24 persen.
Insiden cerebral palsy di seluruh dunia mencapai 2-2,5 tiap 1000 kelahiran hidup. Selain itu
prevalensi cerebral palsy di USA meningkat dari 20% (dari 1,9-2,3/1000 lahir hidup) diantara
tahun 1960 dan 1986. Di Denmark angka kejadian sekitar 3/1000 di awal tahun 1950 turun
menjadi 2/1000 di pertengahan tahun 60-an (Glenting 1973). Di swedia antara tahun 1954 dan
1970 penurunan drastic tercatat dari 2,24 menjadi 1,34/1000.
Penyebab pneumonia sulit ditemukan , dengan tindakan invasif hanya bisa menentukan
penyebab sebanyak 50%. Selain itu perlu waktu beberapa hari untuk mendapatkan hasilnya,
sedangkan pneumonia dapat menyebabkan kematian bila tidak segera diobati sehingga perlu
diberikan antibiotik sebagai terapi empiris. Asma merupakan penyakit dimana ada penyempitan
saluran nafas yang bila tidak ditangani secara langsung dapat membuat henti nafas dan membuat
kematian. Cerebral palsy adalah gangguan terhadap pergerakan dan postur tubuh yang
disebabkan adanya gangguan di otak sehingga mempengaruhi tumbuh kembang. Penyakit ini
tidak dapat disembuhkan namun dapat dilakukan tindakan terapi untuk memaksimalkan gerakan
dan postur tubuh untuk berfungsi seperti anak sesuai usianya. Bila tidak diterapi secara rutin,
penderita dapat mengalami kelumpuhan seumur hidup. Selain itu penderita cerebral palsy
cenderung rentan terkena penyakit lain.
Pasien pada laporan kasus ini menderita ketiga penyakit ini, yaitu bronkopneumonia, asma
dan cerebral palsy yang membuat kasus ini sangat kompleks dan saling berkaitan satu sama lain.
Maka dari itu kasus ini dipilih menjadi laporan kasus, sehingga dapat dipelajari kronologi
penyakit serta penatalaksanaan yang maksimal untuk pasien seperti ini.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Bronkopneumonia
a. Definisi
Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru; peradangan pada paru dimana
proses peradangannya ini menyebar membentuk bercak-bercak infiltrat yang berlokasi di alveoli
paru dan dapat pula melibatkan bronkiolus terminal. Pneumonia adalah sindrom klinis,
sehingga didefinisikan berdasarkan gejala dan tanda klinis, dan perjalanan penyakitnya.
Salah satu definisi klinis klasik menyatakan pneumonia adalah penyakit respiratorik yang
ditandai dengan batuk, sesak napas, demam, ronki basah, dengan gambaran infiltrat pada foto
rontgen toraks.

b. Epidemiologi
Insidens penyakit saluran napas menjadi penyebab angka kematian dan kecacatan yang
tinggi di seluruh dunia. Sekitar 80% dari seluruh kasus baru praktek umum berhubungan dengan
infeksi saluran napas yang terjadi di masyarakat (PK) atau di dalam rumah sakit/pusat
perawatan (pneumonia nosokomial/PN). Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan
masalah utama dalam bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun
yang sudah maju. Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi
akibat penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk pneumonia
dan influenza. Insidensi pneumonia komuniti di Amerika adalah 12 kasus per 1000 orang per
tahun dan merupakan penyebab kematian akibat infeksi pada orang dewasa di negara itu. Angka
kematian utama akibat infeksi pada orang dewasa di negara itu. Angka kematian akibat
pneumonia di Amerika adalah 10%. Di Amerika dengan cara invasif pun penyebab
pneumonia hanya ditemukan 50%. Penyebab pneumonia sulit ditemukan dan memerlukan
waktu beberapa hari untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pneumonia dapat menyebabkan
kematian bila tidak segera diobati, maka pada pengobatan awal pneumonia diberikan
antibiotik secara empiris.

2
c. Klasifikasi
Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan, dan pada
umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi. Beberapa ahli telah membuktikan
bahwa pembagian pneumonia berdasarkan etiologi terbukti secara klinis dan memberikan terapi
yang lebih relevan.
a. Berdasarkan lokasi lesi di paru
 Pneumonia lobaris
 Pneumonia lobularis
 Pneumonia intersitialis
b. Berdasarkan asal infeksi
 Pneumonia yang didapat dari masyarakat (community acquired pneumonia)
 Pneumonia yang didapat dari Rumah Sakit (hospital based pneumonia)
c. Berdasarkan mikroorganisme penyebab
 Pneumonia bakteri
 Pneumonia virus
 Pneumonia mikoplasma
 Pneumonia jamur
d. Berdasarkan karakteristik penyakit pneumonia
 Pneumonia tipikal
 Pneumonia atipikal
e. Berdasarkan lama penyakit
 Pneumonia akut
 Pneumonia persisten

Selain itu dapat pula diklasifikasi berdasarkan Lingkungan dan Pejamu, yaitu:

3
d. Etiologi
Etiologi pneumonia sulit dipastikan karena kultur sekret bronkus merupakan tindakan yang
sangat invasif sehingga tidak dilakukan. Patogen penyebab pneumonia pada anak
bervariasi tergantung :
a. Usia
b. Status imunologis
c. Status lingkungan
d. Kondisi lingkungan (epidemiologi setempat, polusi udara)
e. Status imunisasi
f. Faktor pejamu (penyakit penyerta, malnutrisi)
Usia pasien mrupakan peranan penting pada perbedaan dan kekhasan pneumonia anak,
terutama dalam sprectrum etiologi, gambaran klinis dan strategi pengobatan.
Berikut daftar etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan usia yang bersumber dari data di
negara maju :

4
e. Patogenesis
Istilah pneumonia mencakup setiap keadaan radang paru dimana beberapa atau seluruh
alveoli terisi dengan cairan dan sel-sel darah. Jenis pneumonia yang umum adalah
pneumonia bakterialis yang paling sering disebabkan oleh pneumokokus. Penyakit ini
dimulai dengan infeksi dalam alveoli, membran paru mengalami peradangan dan
berlubang-lubang sehingga cairan dan bahkan sel darah merah dan sel darah putih keluar dari
darah masuk kedalam alveoli. Dengan demikian, alveoli yang terinfeksi secara progresif
menjadi terisi dengan cairan dan sel-sel, dan infeksi disebarkan oleh perpindahan bakteri dari
alveolus ke alveolus. Dalam keadaan normal, saluran respiratorik mulai dari area sublaring
sampai parenkim paru adalah steril. Saluran napas bawah ini dijaga tetap steril oleh mekanisme
pertahanan bersihan mukosiliar, sekresi imunoglobulin A, dan batuk.
Mekanisme pertahanan imunologik yang membatasi invasi mikroorganisme patogen
adalah makrofag yang terdapat di alveolus dan bronkiolus, IgA sekretori, dan imunoglobunlin
lain. Umumnya mikroorganisme penyebab terhisap ke paru bagian perifer melalui saluran

5
respiratori. Mula-mula terjadi edema akibat reaksi jaringan yang mempermudah proliferasi dan
penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian paru yang terkena mengalami
konsolidasi, yaitu terjadi serbukan sel PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema, dan
ditemukannya kuman di alveoli. Stadium ini disebut stadium hepatisasi merah. Selanjutnya,
deposisi fibrin semakin bertambah, terdapat fibrin dan leukosit PMN di alveoli dan terjadi
proses fagositosis yang cepat. Stadium ini disebut stadium hepatisasi kelabu. Berikutnya,
jumlah makrofag meningkat di alveoli, dimana sel akan mengalami degenerasi, fibrin
menipis, kuman dan debris menghilang. Stadium ini disebut stadium resolusi.
Sistem bronkopulmoner jaringan paru yang tidak terkena akan tetap normal. Pneumonia
viral biasanya berasal dari penyebaran infeksi di sepanjang jalan napas atas yang diikuti
oleh kerusakan epitel respiratorius, menyebabkan obstruksi jalan napas akibat bengkak, sekresi
abnormal, dan debris seluler. Diameter jalan napas yang kecil pada bayi menyebabkan bayi
rentan terhadap infeksi berat. Atelektasis, edema intersitial, dan ventilation-perfusition
mismatch menyebabkan hipoksemia yang sering disertai obstruksi jalan napas. Infeksi viral
pada traktus respiratorius juga dapat meningkatkan risiko terhadap infeksi bekteri sekunder
dengan mengganggu mekanisme pertahanan normal pejamu, mengubah sekresi normal, dan
memodifikasi flora bakterial. Ketika infeksi bakteri terjadi pada parenkim paru, proses patologik
bervariasi tergantung organisme yang menginvasi. M. penumoniae menempel pada epitel
respiratorius, menghambat kerja silier, dan menyebabkan destruksi seluler dan memicu
respons inflamasi di submukosa.
Ketika infeksi berlanjut, debris seluler yang terlepas, sel-sel inflamasi, dan mukus
menyebabkan onstruksi jalan napas, dengan penyebaran infeksi terjadi di sepanjang cabang-
cabang bronkial, seperti pada pneumonia viral. S. pneumoniae menyebabkan edema lokal yang
membantu proliferasi mikroorganisme dan penyebarannya ke bagian paru lain, biasanya
menghasilkan karakteristik sebagai bercak-bercak konsolidasi merata di seluruh lapangan paru.
Infeksi streptokokus grup A pada saluran napas bawah menyebabkan infeksi yang lebih
difus dengan pneumonia intersitial. Pneumonia lobar tidak lazim. Lesi terdiri atas nekrosis
mukosa trakeobronkial dengan pembentukan ulkus yang compang-camping dan sejumlah besar
eksudat, edema, dan perdarahan terlokalisasi. Proses ini dapat meluas ke sekat
interalveolar dan melibatkan fasa limfatika. Pneumonia yang disebabkan S.aureus adalah berat
dan infeksi dengan cepat menjadi jelek yang disertai dengan morbiditas yang lama dan
6
mortalitas yang tinggi, kecuali bila diobati lebih awal. Stafilokokus menyebabkan
penggabungan bronkopneumoni yang sering unilateral atau lebih mencolok pada satu sisi
ditandai adanya daerah nekrosis perdarahan yang luas dan kaverna tidak teratur.

f. Manifestasi Klinik
Gejala dan tanda klinis pneumonia bervariasi tergantung dari kuman penyebab, usia
pasien, status imunologis pasien, dan beratnya penyakit. Manifestasi klinis biasanya berat yaitu
sesak, sianosis, tetapi dapat juga gejalanya tidak terlihat jelas seperti pada neonatus. Gejala dan
tanda pneumonia dapat dibedakan menjadi gejala umum infeksi (nonspesifik), gejala pulmonal,
pleural, atau ekstrapulmonal. Gejala nonspesifik meliputi demam, menggigil, sefalgia, resah
dan gelisah. Beberapa pasien mungkin mengalami gangguan gastrointestinal seperti muntah,
kembung, diare, atau sakit perut. Gejala pada paru timbul setelah beberapa saat proses infeksi
berlangsung. Setelah gejala awal seperti demam dan batuk pilek, gejala napas cuping
hidung, takipnu, dispnu, dan timbul apnu. Otot bantu napas interkostal dan abdominal
mungkin digunakan. Batuk umumnya dijumpai pada anak besar, tapi pada neonatus bisa tanpa
batuk. Frekuensi napas merupakan indeks paling sensitif untuk mengetahui beratnya
penyakit. Hal ini digunakan untuk mendukung diagnosis dan memantau tata laksana
pneumonia. Pengukuran frekuensi napas dilakukan dalam keadaan anak tenang atau tidur.
Tim WHO telah merekomendasikan untuk menghitung frekuensi napas pada setiap anak
dengan batuk. Dengan adanya batuk, frekuensi napas yang lebih dari normal serta adanya
tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest indrawing), WHO menetapkan sebagai
pneumonia (di lapangan), dan harus memerlukan perawatan dengan pemberian antibiotik.
Perkusi toraks pada anak tidak mempunyai nilai diagnostik karena umumnya kelainan
patologinya menyebar; suara redup pada perkusi biasanya karena adanya efusi pleura. Suara
napas yang melemah seringkali ditemukan pada auskultasi. Ronkhi basah halus yang khas untuk
pasien yang lebih besar, mungkin tidak terdengar pada bayi. Pada bayi dan balita kecil
karena kecilnya volume toraks biasanya suara napas saling berbaur, dan sulit untuk
diidentifikasi. Secara klinis pada anak sulit membedakan pneumonia bakterial dengan
pneumonia viral. Namun sebagai pedoman dapat disebutkan bahwa pneumonia bakterial
awitannya cepat, batuk produktif, pasien tampak toksik, leukositosis, dan perubahan nyata pada

7
pemeriksaan radiologis. Namun keadaan seperti ini kadang-kadang sulit dijumpai pada seluruh
kasus.
 Pneumonia pada neonatus dan bayi kecil
Pneumonia ini sering terjadi akibat transmisi vertikal ibu-anak yang berhubungan
dengan proses persalinan, misalnya melalui aspirasi mekonium, cairan amnion, dari
serviks ibu, atau berasal dari kontaminasi dengan sumber infeksi dari RS. infeksi juga
dapat terjadi karena kontaminasi dari komunitasnya. Gambaran klinis pneumonia
pada neonatus dan bayi kecil tidak khas, mencakup serangan apnea, sianosis,
merintih, napas cuping hidung, takipnea, letargi, muntah, tidak, mau minum,
takikardi atau bradikardi, retraksi subkosta dan demam. Pada bayi BBLR sering terjadi
hipotermi. Keadaan ini sering sulit dibedakan dengan keadaan sepsis dan meningitis.
 Pneumonia pada balita dan anak yang lebih besar
Gejala klinis yang timbul pada pneumonia yang terjadi pada balita dan anak yang
lebih besar meliputi demam, menggigil, batuk, sakit kepala, anoreksia, dan kadangkadang
keluhan gastrointestinal (muntah dan diare). Secara klinis gejala respiratori seperti
takipnea, retraksi subkosta (chest indrwaing), napas cuping hidung, ronki, dan sianosis.
Penyakit ini sering ditemukan bersama konjungtivitis, otitis media, faringitis, dan
laringitis. Anak besar dengan pneumonia lebih suka berbaring pada sisi yang sakit
dengan lutut tertekuk karena nyeri dada. Ronki hanya ditemukan bila ada infiltrat
alveoler. Bila terjadi efusi pleura atau empiema, gerakan ekskursi dada tertinggal di
daerah efusi. Gerakan dada juga terganggu bila terdapat nyeri dada akibat iritasi
pleura. Bila efusi bertambah, sesak napas akan semakin bertambah, tetapi nyeri
pleura akan semakin berkurang dan berubah menjadi nyeri tumpul. Kadang timbul nyeri
abdomen bila terdapat pneumonia lobus kanan bawah yang menimbulkan iritasi
diafragma. Nyeri ini dapat menyebar ke kuadran kanan bawah dan menyerupai
appendisitis. Abdomen mengalami distensi akibat dilatasi lambung yang disebabkan oleh
aerografi atau ileus paralitik. Hati akan teraba bila tertekan oleh diafragma, atau
memang membesar karena terjadi gagal jantung kongestif sebagai akibat komplikasi
pneumonia.
 Pneumonia atipik

8
Mikroorganisme penyebab adalah Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia spp,
Legionnela pneumofilia, dan Ureaplasma urealyticum. Mycoplasma pneumoniae,
Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab potensial infeksi respiratori dan
pneumonia pada anak, terutama pada anak usia sekolah dan remaja. Chlamydia
trachomatis sering ditemukan sebagai penyebab infeksi akut respiratori pada bayi
melalui transmisi vertikal (proses kersalinan) dan merupakan etiologi infeksi
perinatal yang penting. Legionnela pneumofilia, dan Ureaplasma urealyticum jarang
dilaporkan menyebabkan ifeksi pada anak.
 Infeksi oleh Mycoplasma pneuoniae
Infeksi diperoleh melalui droplet dari kontak dekat (di asrama, keluarga dengan
jumlah anggota keluarga yang sangat banyak). Masa inkubasi lebih kurang 3
minggu. Gambaran klinis pneumonia atipik didahului dengan gejala menyerupai
influenza (influenza like flu syndrome) seperti demam (jarang lebih dari 380C), malaise,
sakit kepala, mialgia, tenggorokan gatal dan batuk. Kadang-kadang dapat sembuh
sendiri, tetapi kasus berat seperti severe necrotizing pneumonitis dengan konsolidasi
luas pada jaringan paru dan efusi pleura pernah dilaporkan. Kadang dapat berlanjut
menjadi bronkitis, bronkiolitis, dan pneumonia. Batuk terjadi 3-5 hari setelah awitan
penyakit, awalnya tidak produktif tetapi kemudian menjadi produktif. Sputum
mungkin berbercak darah dan batuk dapat menetap hingga berminggu-minggu. Mengi
dapat ditemukan pada 30-40% kasus pneumonia mikoplasma dan lebih sering ditemukan
pada anak yang lebih besar. Kultur bakteri memerlukan waktu 2 minggu dan uji
serolig hanya bermanfaat bila telah terjadi pembentukan antibodi (ketika penyakit
telah sangat berkembang). Gambaran foto rontgennya sangat bervariasi, meliputi
gambaran infiltrat intersisial, retikuler, retikulonoduler, bercak konsolidasi,
pembesaran kelenjar hilus, dan kadang-kadang disertai efusi pleura.
 Infeksi oleh Chlamydia penumoniae
Gejala klinis awalnya berupa gejala seperti flu, yaitu batuk kering, mialgia, sakit
kepala, malaise, pilek, dan demam yang tidak tinggi. Pada pemeriksaan auskultasi
dada tidak ditemukan kelainan. Gejala respiratori umunya tidak mencolok. Leukosit
darah tepi biasanya normal. Gambaran foto rontgen toraks menunjukan infiltrat difus atau
gambaran peribronkial nonfokal yang jauh lebih berat daripada gejala klinis.
9
Pneumonia Klamidia lebih sering ditemukan di daerah tropis, bersifat endemik, dan
epidemik dengan interval 3-4 tahun. Infeksi Klamidia juga dapat berperan dalam
patogenesis asma.

g. Pemeriksaan Penunjang
 Darah Perifer Lengkap
Pada pneumoia virus dan juga mikoplasma umumnya ditemukan leukosit dalam batas
normal atau sedikit meningkat. Akan tetapi pada pneumonia bakteri didapatkan
leukositosis (15.000 – 40.000/mm) dengan predominan PMN. Leukopenia
(<5000/mm) menunjukkan prognosis yang buruk. Pada infeksi Chlamydia kadang-
kadang ditemukan eosinofilia. Pada efusi pleura didapatkan sel PMN pada cairan
eksudat berkisar 300-100.000/mm, protein > 2,5 g/dl, dan glukosa relatigf lebih rendah
daripada glukosa darah. Kadang – kadang terdapat anemia ringan dan LED yang
meningkat. Secara umum hasil peneriksaan darah perifer lengkap tidak dapat
membedakan antara infeksi virus dan bakteri secara pasti.
 C- Reaktif Protein ( CRP )
CRP adalah suatu protein fase akut yang disisntesis oleh hepatosit. Sebagai
respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP secara cepat distimulasi oleh
sitokin, terutama IL-6, IL-1 da TNF. Meskipun fungsi pastinya belum diketahui,
CRP sangat mungkin berperan dalam opsonisasi mikroorganisme atau sel rusak. Secara
klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan antara faktor infeksi
dan noninfeksi, infeki virus dan bakteri, atau infeksi superfisialis atau profunda. Kadar
CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus atau infeksi superfisialis daripada profunda.
 Uji Serologis
Uji serologik untuk mendateksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri tipik
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang rendah. Secara umum, uji serologis tidak
terlalu bermanfaat dalam mendiagnosis infeksi bakteri tipik, namun bakteri atipik
seperti Mycoplasma dan chlamydia tampak peningkatan anibodi IgM dan IgG.
 Pemeriksaan mikrobiologis
Untuk pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat diambil dari usap tenggorok,
sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah, punksi pleura atau aspirasi paru.
10
Diagnosis dikatakan definitif apabila kuman ditemukan dari darah, cairan pleura,
atau aspirasi paru. Kultur darah jarang positif pada infeksi Mycoplasma dan Chlamydia.
 Pemeriksaan rontgen Thoraks
Secara umum gambaran oto thoraks terdiri dari :
 Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan bronkovaskuler,
peribronchial cuffing dan hiperaerasi.
 Infiltrat alveoler, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram.
Konsolidasi dapat mengenai satu lobus ( pneumonia lobaris ), atau terlihat sebagai
lesi tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis, batas tidak terlalu tegas,
menyerupai lesi tumor paru, dikenal sebagai round pneumonia.
 Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru,
berupa bercak – bercak infiltrat yang meluas hingga ke daerah perifer paru, disertai
dengan peningkatan corakan peribronkial.
Gambaran radiologis pneumonia meliputi infiltrat ringan pada satu paru hingga
konsolidasi luas pada kedua paru. Pada satu penelitian, ditemukan bahwa lesi
pneumonia pada anak terbanyak berada di paru kanan, terutama di lobus atas. Bila
ditemukan di pru kiri dan terbanyak di olbus bawah, hal itu merupakan prediktor
perjalanan penyakit yang lebih berat dengan resiko terjadinya pleuritis lebih besar.

h. Diagnosis
Diagnosis etiologi berdasarkan pemeriksaan mikrobiologis dan / atau serologis merupakan
dasar terapi yang optimal. Akan tetapi penemuan bakteri penyebab tidak selalu mudah
karena memerlukan laboratorim yang memadai. Prediktor paling kuat adanya pneumonia adalah
demam, sianosis, dan lebih dari satu gejala respiratori sebagai berikut: takipnea, batuk,
nafas cuping hidung, rtraksi, ronki dan suara nafas melemah serta didukung oleh gambaran
radiologis.
Akibat tingginya angka morbiditas dan mortalitas pneumonia pada balita, maka dalam
upaya peanggulangannya WHO mengembangkan pedoman diagnosis dan tatalaksana
pneumonia yang sederhana. Berikut adalah klasifikasi pneumonia berdasarkan pedoman tersebut:
11
 Bayi dan anak berusia 2 bulan – 5 tahun
Pneumonia sangat berat
 Tidak dapat minum/makan
 Kejang
 Letargis
 Malnutrisi
Pneumonia berat
 Bila ada sesak nafas, ada retraksi
 Harus dirawat dan diberikan antibiotik
Pneumonia
 Bila tidak ada sesak nafas
 Ada nafas cepat dengan laju nafas
 50 x / menit untuk anak usia 2 bulan – 1 tahun
 40 x / menit untuk anak usia >1-5 tahun
 Tidak perlu dirawat, diberikan antibiotik oral
Bukan pneumonia
 Bila tidak ada nafas cepat dan sesak nafas
 Tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya diberikan pengobatan
simptomatis seperti penurun panas.
 Bayi berusia dibawah 2 bulan
Pneumonia sangat berat
 Tidak mau menetek/minum
 Kejang
 Letargis
 Demam atau hipotermi
 Bradipnea atau pernapasan ireguler
Pneumonia harus dirawat dan diberikan antibiotik
 Bila ada nafas cepat ( > 60 x / menit ) atau sesak nafas
 Retraksi
 Harus dirawat dan diberikan antibiotik
Bukan pneumonia
12
 Tidak ada nafas cepat atau sesak nafas
 Tidak perlu dirawat, cukup diberikan pengobatan simptomatis

i. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi meliputi empiema torasis (komplikasi tersering oleh
pneumonia bakteri), perikarditis purulenta, pneumotoraks, atau infeksi ekstrapulmoner
seperti meningitis purulenta. Miokarditis (tekanan sistolik ventrikel kanan meningkat,
kreatinin kinase juga meningkat, dan gagal jantung) juga dilaporkan cukup tinggi pada seri
pneumonia anak berusia 2-24 bulan.

j. Tatalaksana
Sebagian pneumoni pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi perawatan terutama
berdasarkan berat ringannya penyakit, misalnya toksis,disters pernafasan, tidak mau makan atau
minum, atau ada penyakit dasar yang lain, komplikasi, dan terutama mempertimbangkan
usia pasien. Neonatus dan bayi kecil dengan kemungkinan klinis pneumonia harus dirawat
inap. Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan antibiotik yang
sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi pemeberin cairan intravena,
oksigen, koreksi terhadap gangguan asa basa, elektrolit, dan gula darah. Untuk nyeri dan demam
dapat diberikan analgetik /antipiretik. Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utma
keberhasilan pengobatan. Terapi antibiotik harus segera diberikan pada anak dengan
pneumonia.

 Pneumonia Rawat Jalan


Pada pneumonia rawat jalan diberikan antibiotik lini pertama secara oral, misalnya
amoksisilin atau kotrimoksazol. Dosis amoksisilin yang diberikan adalah 25 mg/kgBB,
sedangkan kotrimoksazol adalah 4mg/kgBB TMP-20 mg/kgBB sulfametoksazol.
Makrolid, baik eritromisin maupun makrolid baru dapat digunakan sebagai terapi
alternatif beta laktam untuk pengobatan inisial pneumonia, dengan pertimbangan
adanya aktivitas ganda terhadap S.pneumonia dan bakteri atipik. Dosis eritromisin 30-50
mg/kgBB/hari, diberikan setiap 6 jam selama 10-14 hari. Klaritromisin diberikan 2 kali

13
sehari dengan dosis 15 mg/kgBB. Azitromisin 1 kali sehari 10mg/kgBB 3-5 hari
(hari pertama) dilanjutkan dengan dosis 5mg/kgBB untuk hari berikutnya.
 Pneumonia Rawat Inap
Pada pneumonia rawat inap antibiotik yang diberikan adalah beta laktam, ampisilin atau
amoksisislin dikombinasikan degan kloramfenikol. Antibiotik yang diberikan berupa :
Penisilin G intrvena ( 25.000 U/kgBB setiap 4 jam ) dan kloramfenikol ( 15 mg/kgBB
setiap 6 jam ), dan seftriaxon intravena ( 50 mg/kgBB setiap 12 jam ). Keduanya
diberikan selama 10 hari.

k. Preventif
 Pencegahan Primer
Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor resiko terhadap kejadian
pneumonia. Upaya yang dapat dilakukan antara lain:
 Memberikan imunisasi campak pada usia 9 bulan dan imunisasi DPT (Dipteri,
Pertusis, Tetanus) sebanyak 3 kali yaitu pada usia 2, 3, dan 4 bulan.
 Menjaga daya tahan tubuh anak dengan cara memberikan ASI pada bayi
neonatal sampai berumur 2 tahun dan makanan yang bergizi pada balita. Di samping
itu, zat-zat gizi yang dikonsumsi bayi dan anak-anak juga perlu mendapat
perhatian.
 Mengurangi polusi lingkungan seperti polusi udara dalam ruangan dan polusi di
luar ruangan.
 Mengurangi kepadatan hunian rumah.
 Pencegahan Sekunder
Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk mencegah orang
yang telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas penyakit, menghindari
komplikasi, dan mengurangi ketidakmampuan. Pencegahan sekunder meliputi
diagnosis dini dan pengobatan yang tepat sehingga dapat mencegah meluasnya
penyakit dan ternjadinya komplikasi. Upaya yang dapat dilakukan antara lain:
 Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik parenteral dan
penambahan oksigen.
 Pneumonia : diberikan antibiotik kotrimoksasol oral, ampisilin, atau amoksisilin.
14
 Bukan pneumonia : perawatan di rumah saja. Tidak diberikan terapi antibiotik.
Bila demam tinggi diberikan paracetamol. Bersihkan hidung pada anak yang
mengalami pilek dengan menggunakan lintingan kapas yang diolesi air garam.
Jika anak mengalami nyeri tenggorokan, beri penisilin dan dipantau selama 10 hari
ke depan.
 Pencegahan Tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier adalah mencegah agar tidak munculnya
penyakit lain atau kondisi lain yang akan memperburuk kondisi balita, mengurangi
kematian serta usaha rehabilitasinya. Pada pencegahan tingkat ini dilakukan upaya untuk
mencegah proses penyakit lebih lanjut seperti perawatan dan pengobatan. Upaya
yang dilakukan dapat berupa :
 Melakukan perawatan yang ekstra pada balita di rumah, beri antibiotik selama
5 hari, anjurkan ibu untuk tetap kontrol bila keadaan anak memburuk.
 Bila anak bertambah parah, maka segera bawa ke sarana kesehatan terdekat agar
penyakit tidak bertambah berat dan tidak menimbulkan kematian.

l. Prognosis
Dengan pemberian antiboitik yang tepat dan adekuat, mortalitas dapat diturunkan sampai kurang
dari 1%. Anak dalam keadaan malnutrisi energi protein dan yang datang terlambat menunjukan
mortalitas yang lebih tinggi.

2. Asma
a. Definisi
Asma adalah penyakit saluran respiratori dengan dasar inflamasi kronik yang mengakibatkan
obstruksi dan hiperaktivitas saluran respiratori dengan derajat bervariasi. Manifestasi klinis asma
dapat berupa batuk, wheezing, sesak nafas, dada tertekan yang timbul secara kronik dan atau
berulang, reversibel, cenderung memberat pada malam atau dini hari, dan biasanya timbul jika
ada pencetus. Ada 2 jenis asma pada anak yaitu wheezing berulang dan asma kronik. Asma jenis
wheezing berulang ditemukan pada masa anak awal yang dicetuskan oleh karena infeksi virus
15
pada system pernafasan, biasanya membaik saat anak memasuki usia sekolah. Asma kronik
merupakan asma yang berhubungan dengan alergi yang tetap ada selama masa anak bahkan
sering hingga mencapai usia dewasa. Selain itu asma juga dapat diklasifikasikan berdasarkan
tingkat keparahan (intermiten atau persistent (ringan, sedang, berat) atau kontrol (terkendali
penuh, terkendali sebagian, asma tidak terkendali).

b. Epidemiologi
Prevalensi kejadian asma pada anak di Amerika berkisar antara 3 hingga 7 persen. Tahun
2011 prevalensi asma anak di Amerika Serikat mencapai 11%. Angka prevalensi di Indonesia
menurut survei oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia sejak tahun 1990 hingga 2012 di beberapa
daerah di Indonesia memunculkan angka yang beragam mulai dari 3 hingga 24 persen.

c. Etiologi
Etiologi asma dibagi menjadi 2 yaitu Faktor Lingkungan dan Faktor Genetik. Pada faktor
lingkungan, episode wheezing berulang pada anak-anak dikaitkan dengan virus yang menyerang
saluran nafas misalnya rhinovirus, respiratory syncytial virus, influenza virus, adenovirus, para-
influenza virus, dan human metapneumovirus. Alergen rumah pada orang yang sensitif terhadap
alergen juga dapat mencetuskan inflamasi saluran nafas dan hipersensitifitas terhadap paparan
alergen lainnya. Dengan menghindari allergen, maka dapat mengurangi gejala asma dan
terkadang dapat menyembuhkan asma. Asap rokok dan polusi udara juga dapat menimbulkan
keradangan pada saluran nafas sehingga dapat memperberat asma. Udara yang kering dan dingin,
hiperventilasi setelah berolahraga atau aktifitas, serta bau-bauan yang tajam dapat memicu
terjadinya konstriksi bronkus. Faktor genetis di sisi lain juga berperan penting dalam terjadinya
asma. Salah satu yang berperan adalah proallergic dan proinflammatory gen.

16
d. Klasifikasi Asma
 Berdasarkan Kekerapan Terjadinya Asma

Derajat Asma Uraian kekerapan gejala asma


Episode gejala asma <6x/tahun atau jarak antara
Intermitten
gejala ≥6 minggu
Persisten ringan Episode gejala asma >1x/bulan, <1x/minggu
Episode gejala asma >1x/minggu, namun tidak
Persisten sedang
setiap hari
Persisten berat Episode gejala asma terjadi hampir tiap hari
Keterangan :
 Klasifikasi berdasarkan kekerapan timbulnya gejala dibuat setelah diagnosis kerja
asma dan dilakukan tatalaksana umum (pengendalian lingkungan, penghindaran
pencetus) selama 6 minggu.
17
 Jika sudah yakin diagnosis asma dan klasifikasi sejak kunjungan awal, tatalaksana
dapat dilakukan sesuai klasifikasi.
 Klasifikasi kekerapan ditujukan sebagai acuan awal penetapan jenjang tatalaksana
jangka panjang.
 Jika ada keraguan dalam menentukan klasifikasi kekerapan, masukkan dalam
klasifikasi yang lebih berat.
 Berdasarkan derajat kendali
 Asma terkendali penuh
 Asma terkendali sebagian
 Asma tidak terkendali

Berdasarkan Derajat Kendali


Terkendali
Karakteristik Terkendali Penuh Tidak Terkendali
Sebagian
Tidak ada
Gejala siang hari >2x/minggu
(<2x/minggu)
Limitasi pada
Tidak ada Ada
aktivitas Tiga atau lebih
Gejala pada malam kriteria terkendali
hari/terbangun Tidak ada Ada sebagian
malam hari
Tidak ada
Perlu pereda asma >2x/minggu
(<2x/minggu)

 Berdasarkan derajat beratnya serangan


 Asma serangan ringan-sedang
 Asma serangan berat
 Serangan asma dengan ancaman henti napas

Ancaman Henti
Parameter Ringan-Sedang Berat
Nafas
Sesak timbul pada Berjalan Istirahat
saat
18
Bayi: tidak mau
Bayi: menangis keras
makan/minum
Berbicara Kalimat Kata-kata
Lebih senang duduk Duduk bertopang
Posisi
daripada berbaring lengan
Bingung dan
Kesadaran Tidak gelisah Biasanya irritable
mengantuk
Sangat nyaring,
Sedang, sering hanya
Mengi (wheezing) teredengar tanpa Sulit/tidak terdengar
pada akhir ekspirasi
stetoskop
Gerkakan paradok
Otot bantu nafas Tidak ada Ada
torako-abdominal
Dangkal, retraksi Dalam, nafas cuping
Retraksi Dangkal/hilang
interkostal hidung
Laju nafas Meningkat Meningkat Menurun
Laju nadi Normal Takikardi Bradikardi
SpO2% 90-95% ≤90%
>50% prediksi atau PEF ≤50% prediksi
PEF
terbaik atau terbaik

e. Penatalaksanaan
Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah mencapai kendali asma sehingga
menjamin tercapainya potensi tumbuh kembang anak secara optimal. Tujuan yang ingin
dicapai adalah :
 Aktivitas pasien berjalan normal, termasuk bermain dan olahraga.
 Gejala tidak timbul pada siang maupun malam hari.
 Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan.
 Efek samping obat dapat dicegah untuk tidak atau sesedikit mungkin terjadi, terutama
yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.
Tatalaksana jangka panjang pada asma anak dibagi menjadi tatalaksana non-medikamentosa
dan tatalaksana medikamentosa.
a) Tatalaksana Non-Medikamentosa

19
 Program KIE
Tujuan program KIE adalah memberi informasi dan pelatihan sesuai terhadap pasien
dan keluarganya untuk meningkatkan pengetahuan atau pemahaman, keterampilan,
dan kepercayaan diri dalam mengenali gejala serangan asma, mengambil langkah-
langkah yang sesuai, serta memotivasi dalam menghindari faktor-faktor pencetus,
sehingga meningkatkan keteraturan terhadap rencana pengobatan yang sudah
ditetapkan sehingga mampu meningkatkan kemandirian dalam tatalaksana asma yang
lebih baik.

 Penghindaran Pencetus
Penghindaran pencetus asma merupakan bagian dari tatalaksana non-medikamentosa
pada asma anak selain tatalaksana KIE. Terdapat 2 faktor resiko yang sangat berperan
20
pada kejadian asma, yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik
hampir tidak dapat dimodifikasi dalam tatalaksana penghindaran faktor pencetus.
Sedangkan faktor lingkungan dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori yaitu
alergen hirupan, iritan, kondisi komorbid, dan faktor lain. Penghindaran faktor
pencetus merupakan upaya yang terutama dalam tatalaksana asma. Dengan
penghindaran pencetus yang adekuat, kebanyakan asma dapat dikendalikan walau
terkadang tanpa obat asma.
b) Tatalaksana Medikamentosa
 Obat pengendali
Obat pengendali digunakan untuk mencegah serangan asma. Obat ini untuk
mengatasi masalah dasar asma yaitu inflamasi respiratori kronik, sehingga tidak
timbul serangan atau gejala asma. Pemakaian obat ini secara terus-menerus dalam
jangka waktu yang relatif lama, bergantung pada kekerapan gejala asma dan
responsnya terhadap pengobatan/penanggulangan. Obat pengendali asma terdiri dari
steroid anti-inflamasi inhalasi atau sistemik, antileukotrien, kombinasi steroid-agonis
β2 kerja panjang, teofilin lepas lambat, dan anti-imunoglobulin E.
 Steroid inhalasi
Steroid inhalasi merupakan obat pengendali asma yang paling efektif. Pemberian
steroid inhalasi setara dosis budesonid 100-200μg/hari dapat menurunkan angka
kekambuhan asma dan memperbaiki fungsi paru pada pasien asma. Pada anak
yang berusia diatas 5 tahun, steroid inhalasi dapat mengendalikan asma,
menurunkan angka kekambuhan, memperbaiki fungsi paru, dan menurunkan
serangana sma akibat berolahraga.
 Agonis β2 kerja panjang
Sebagai pengendali asma, agonis β2 kerja panjang tidak digunakan tunggal
melainkan selalu bersama steroid inhalasi. Kombinasi agonis β2 kerja panjang
dengan steroid terbukti memperbaiki fungsi paru dan menurunkan angka
kekambuhan asma.
 Antileukotrien
Menurut studi antileukotrien memiliki efek bronkodilatasi kecil dan bervariasi,
mengurangi gejala termasuk batuk, memperbaiki fungsi paru dan mengurangi
21
inflamasi jalan nafas dan mengurangi eksaserbasi. Kombinasi steroid inhalasi dan
antileukotrien dapat menurunkan angka serangan asma dan menurunkan
kebutuhan dosis steroid inhalasi. Antileukotrien dapat mencegah terjadinya
serangan asma akibat berolahraga dan obstructive slee apnea.
 Teofilin lepas lambat
Sebagai obat pengendali asma, teofilin lepas lambat dapat diberikan sebagai
preparat tunggal atau diberikan sebagai kombinasi dengan steroid inhalasi pada
anak usia diatas 5 tahun. Kombinasi steroid inhalasi dan teofilin lepas lambat
akan memperbaiki kendali asma dan dapat menurunkan dosis steroid inhalasi
pada anak dengan asma persisten.
 Anti-imunoglobulin E
Pada orang dewasa dan anak diatas 5 tahun, omalizumab dapat diberikan pada
pasien asma yang telah mendapat steroid inhalasi dosis tinggi dan agonis β2 kerja
panjang namun masih sering mengalami eksaserbasi dan terbukti asma karena
alergi. Omalizumab terbukti memperbaiki gejala asma pada asma persisten
sedang dan berat yang disebabkan oleh karena alergi. Pemberian omalizumab
akan menurunkan kebutuhan steroid inhalasi dan menurunkan angka serangan
asma.
 Jenjang pengendalian asma
Pedoman Nasional Asma Anak tahun 2015 membagi derajat penyakit asma anak
berdasarkan kekerapan gejala dan derajat kendali. Setelah dilakukan tatalaksana
umum berupa penghindaran pencetus, klasifikasi kekerapan asma dapat ditentukan
dalam waktu enam minggu. Pada asma intermitten tidak dibutuhkan tatalaksana asma
jangka panjang sesuai dengan jenjang 1, sedangkan pada asma persisten dilakukan
tatalaksana jangka panjang sesuai dengan jenjang 2 sampai jenjang 4 kemudian
dievaluasi secara berkala untuk menaikkan atau menurunkan jenjang dalam
pemakaian obat pengendali asma. Diagnosis derajat kendali dibuat setelah 6 minggu
menjalani tatalaksana jangka panjang awal sesuai klasifikasi kekerapan.

22
Keterangan :
 Acuan awal penetapan tatalaksana jangka panjang menggunakan klasifikasi
kekerapan.
 Bila suatu jenjang dalam tatalaksana sudah berlangsung selama 6-8 minggu dan
asma belum terkendali, maka tatalaksana naik jenjang ke atasnya.
 Bila suatu jenjang dalam tatalaksana sudah berlangsung selama 8-12 minggu dan
asma terkendali penuh, maka tatalaksana turun jenjang bawahnya.
 Perubahan jenjang tatalaksana harus memperhatikan aspek-aspek penghindaran,
penyakit penyerta.
 Pada jenjang 4, jika belum terkendali, tatalaksana ditambahkan omalizumab.
Pengendalian asma selalu dilakukan berdasarkan derajat kendali asma. Apabila asma
belum terkendali maka dilakukan pemberian obat sesuai jenjang selanjutnya.
Sebelumnya perlu diperhatikan mengenai dosis, cara pemberian obat apakah sudah
tepat, setelah itu memastikan apakah penghindaran faktor pencetus telah dilakukan
dengan benar. Pada setiap jenjang pengendalian, apabila terjadi serangan/eksaserbasi
asma, pasien harus mendapatkan obat pereda asma yaitu obat inhalasi agonis β2 kerja
pendek.
 Obat pereda
 Agonis β2 kerja pendek
Gejala asma ringan sedang memberikan respons yang cepat terhadap inhalasi
agonis β2 kerja pendek tunggal sehingga obat ini menjadi pilihan utama bagi
serangan asma ringan sedang yang terjadi di rumah maupun di fasilitas layanan
kesehatan. Pemberiannya dapat diulang hingga 2 kali dengan interval 20 menit,
jika di rumah keadaan pasien belum juga membaik harus segera dibawa ke
fasilitas layanan kesehatan terdekat, sedangkan bila pemberian 2 kali sudah

23
dilakukan di fasyankes maka pemberian ketiga dipertimbangkan kombinasi
dengan ipratropium bromida. Contoh agonis β2 kerja pendek adalah salbutamol,
terbutalin, dan prokaterol.
 Ipatropium bromida
Kombinasi agonis β2 kerja pendek dengan ipratropium bromida (antikolinergik)
pada serangan asma ringan-sedang menurunkan resiko rawat inap dan
memperbaiki PEF dan FEV1 dibandingkan dengan β2 agonis saja. Ipratropium
bromida terbukti memberikan efek dilatasi bronkus lewat peningkatan tonus
parasimpatis dalam inervasi otonom di saluran nafas.
 Aminofilin intravena
Aminofilin intravena diberikan pada anak dengan serangan asma berat atau
dengan ancaman henti nafas yang tidak berespon terhadap dosis maksimal
inhalasi agonis β2 dan steroid sistemik. Dosis yang direkomendasikan yaitu
dengan dosis inisial bolus pelan 6-8mg/kgBB diberikan dalam 20 menit
dilanjutkan dengan pemberian rumatan secara drip 1mg/kg/jam. Loading 1mg/kg
akan meningkatkan kadar aminofilin serum 2mcg/ml. Untuk efek terapi yang
maksimal, target kadaaminofilin serum adalah 10-20 μg/ml. Oleh karena itu kadar
aminofilin serum seharusnya diukur 1-2 jam.
 Steroid sistemik
Pemberian steroid sistemik dapat mempercepat perbaikan serangan dan mencegah
kekambuhan, dan direkomendasikan untuk diberikan pada semua jenis serangan.
Steroid sistemik berupa prednison atau prednisolon diberikan per oral dengan
dosis 1-2mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 40mg/hari, maksimal 1 kali
dalam 1 bulan. Lama pemberian 3-5 hari tanpa tappering off.

 Steroid inhalasi
Steroid nebulisasi dengan dosis tinggi (1600-2400 μg budesonide) dapat
digunakan untuk serangan asma, namun perlu diperhatikan untuk memberi dalam
dosis tinggi karena steroid nebulisasi dosis rendah tidak bermanfaat untuk
mengatasi serangan asma.

24
Alur Tatalaksana Serangan Asma

25
26
3. Cerebral Palsy
a. Definisi
Cerebral Palsy adalah suatu keadaan kerusakan jaringan otak yang kekal dan tidak
progresif. Terjadi pada waktu masih muda (sejak di lahirkan) dan merintangi perkembangan
otak normal dengan gambaran klinis dapat berubah selama hidup dan menunjukkan kelainan
dalam sikap dan pergerakan , disertai kelainan neurologis berupa kelumpuhan spastis ,
gangguan ganglia basalis dan serebellum dan kelainan mental.
Cerebral palsy pada dasarnya adalah gangguan terhadap pergerakan dan postur tubuh. Hal
ini di istilahkan sebagai “payung” yang mencakup gangguan pengontrolan gerakan akibat
adanya lesi atau kelainan terhadap perkembangan otak di awal tahap kehidupan dengan latar
belakang penyakit yang tidak progresif. Ini dapat di tetapkan sebagai static encephalopathy
yang dimana, meskipun kelainan atau kerusakan lesi primer tetap, namun tampakan pola
klinis mungkin dapat berubah seiring berjalannya waktu karna pertumbuhan dan
perkembangan plastisitas dan pematangan sistem saraf pusat.

b. Epidemiologi
Cerebral palsy adalah masalah umum yang terjadi di seluruh dunia ,insidennya 2-2,5 dari tiap
1000 kehidupan neonatus. Ketika William Little pertama kali mendeskripsikan cerebral palsy,
dia sudah mengaitkan faktor resiko terjadinya cerebral palsy adalah akibat terjadinya trauma
lahir , dan pandangan ini sudah di pertahankan selama beberapa dekade. Kemajuan manajemen
neonatus dan perawatan obstetric belum menunjukkan penurunan kejadian cerebral palsy.
Sebaliknya, dengan penurunan angka kematian bayi sebenarnya telah terjadi peningkatan insiden
dan keparahan dari cerebral palsy. Insiden pada bayi premature lebih tinggi di banding bayi
cukup bulan.
Cerebral palsy di tandai dengan adanya gangguan motorik dan dapat menunjukkan adanya
disfungsi mental . pada tahun 2001, United Cerebral Palsy Foundation memperkirakan bahwa
764.000 anak dan dewasa di United States di diagnosis carrier cerebral palsy .dengan kata lain di
perkirakan 8000 bayi dan neonatus di tambah 1200 hingga 1500 anak pra-sekolah didiagnosis
dengan cerebral palsy tiap tahun di united states.
Seperti di ketahui bahwa insiden cerebral palsy di seluruh dunia adalah sekitar 2-2,5 tiap
1000 kelahiran hidup. Dimana hal ini sangat terkait dengan usia kehamilan, terjadi pada 1 dari 20
bayi premature yang masih hidup. Penting untuk di catat bahwa, meskipun prematuritas adalah
27
faktor resiko yang paling umum terhadap terjadinya cerebral palsy ,sebagian besar anak-anak
yang terkena dampak jangka panjang. Meskipun terjadi penurunan tingkat kelahiran dengan
asfiksia dari 40/100.000 pada tahun 1979 menjadi 11/100.000 pada tahun 1996, namun tidak
tampak terjadinya penurunan prevalensi cerebral palsy. Faktanya, prevalensi cerebral palsy di
USA malah meningkat dari 20% (dari 1,9-2,3/1000 lahir hidup) diantara tahun 1960 dan 1986.
Insiden cerebral palsy dan jumlah kasus baru yang terjadi selama beberapa periode terakhir
sangat bervariasi dan berbeda berdasarkan kriteria, waktu dan study komunitas. Angka dari 1
hingga 3 kasus tiap 1000 bayi lahir hidup telah di jadikan acuan. Angka akurat tersebut hanya
dapat diperoleh di kebanyak Negara berkembang . Di Denmark angka kejadian sekitar 3/1000 di
awal tahun 1950 turun menjadi 2/1000 di pertengahan tahun 60-an (Glenting 1973). Di swedia
antara tahun 1954 dan 1970 penurunan drastic tercatat dari 2,24 menjadi 1,34/1000. Prevalensi
dari cerebral palsy adalah jumlah kasus yang muncul selama beberapa tahun terakhir. Itu
menunjukkan pengukuran cerebral palsy lebih berguna berdasarkan tingkat prevalensi umur yang
spesifik. Prevalensi kelahiran mengindikasikan jumlah dari kasus cerebral palsy per 1000
neonatal hidup. Prevalensi dari cerebral palsy pada umur berikutnya bisa berbeda , setelah
beberapa anak cerebral palsy mengalami kematian dan klinik dari waktu ke waktu sehingga
dapat berakibat pada penetapan diagnosis yang berbeda.

c. Etiologi
Cerebral palsy adalah kondisi neurologis yang di sebabkan oleh cedera pada otak yang terjadi
sebelum perkembangan otak sempurna. Karena perkembangan otak berlangsung selama dua
tahun pertama. Cerebral palsy dapat di sebabkan oleh cedera otak yang terjadi selama periode
prenatal , perinatal, dan postnatal. 70-80% kasus cerebral palsy diperoleh selama masa prenatal
dan sebagian besar penyebab tidak di ketahui. Lebih dari 50 % penyebab cerebral palsy tidak
diketahui. Etiologi dapat di klasifikasikan berdasarkan waktu dari gangguan selama masa
prenatal, perinatal, ddan postnatal. Sistem klasifikasi etiologi yang lain berdasarkan penyebab
sebenarnya seperti kongenital (syndrome, malformasi, developmental) atau acquired (trauma,
infeksi, hypoxia, iskemik, infeksi TORCH, dll) . Perinatal asphyxia hanya sekitar 8-15% dari
seluruh kasus cerebral palsy dan kasus cerebrial palsy pada masa postnatal sekitar 12-21%.

28
a) Pranatal :
 Inheritance : Jika di duga lebih dari satu kasus cerebral palsy ditemukan pada saudara
kandung. Terjadinya lebih dari satu kasus cerebral palsy pada satu keluarga tidak
membuktikan adanya kondisi genetic. Penyebabnya mungkin lesi otak perinatal
sebagai komplikasi persalinan (persalinan prematur) yang dapat terjadi lebih dari satu
kali pada ibu yang sama.
 Infeksi : jika ibu mengalami infeksi organisme yang dapat menembus plasenta dan
menginfeksi janin, proses ini meyebabkan prenatal brain injury. Infeksi janin
tersering adalah syphilis, toxoplasmosis, rubella, cytomegalic . semua dapat
menyebabkan gejala dan tanda akut pada neonatus di ikuti dengan kerusakan otak
permanen saat masa kanak-kanak. Di dominasi temuan retardasi mental tapi
gangguan gerak juga dapat muncul.
 Komplikasi lain selama kehamilan : komplikasi selama kehamilan seperti episode
anoxia, radiasi x-ray, intoksikasi maternal dapat mempengaruhi fetus. Jika terjadi
kondisi yang menyebabkan gangguan pada otak fetus , biasanya akan terjadi retardasi
yang biasanya di kombinasi dangan cerebral palsy
b) Perinatal :
 Anoxia : penyebab tersering cerebral palsy adalah masih trauma otak yang terjadi
selama periode perinatal meskipun insiden menurun terus menerus dengan
peningkatan pelayanan obsetri dan neonatal care. Anoxia dapat terjadi seketika
sebelum atau setelah kelahiran. Resiko meningkat jika proses persalinan mengalami
komplikasi seperti posisi abnormal janin atau disproporsional antara pelvis ibu dan
kepala janin menyebabkan partus lama.
 Perdarahan intrakranial : kondisi yang sama yang dapat menyebabkan anoxia juga
dapat menyebabkan perdarahan intracranial. Ini dapat terdiri dari perdarahan berat
dari sinus venosus, biasanya akibat sobekan tentorium cerebelli. Perdarahan dapat
berlokasi di dalam otak dan menyebabkan cerebral palsy.
 Premature : bayi kurang bulan mempunyai kemungkinan menderita perdarahan otak
lebih banyak di bandingkan bayi cukup bulan. Karena pembuluh darah, enzim, faktor
pembekuan darah dan lain-lain masih belum sempurna.

29
 Jaundice : jaundice selama periode neonatal dapat menyebabkan kerusakan otak
permanen dengan cerebral palsy akibat masuknya bilirubin ke ganglia basal.
 Purulent meningitis : meningitis purulent dimana pada periode perinatal biasanya
akibat bakteri gram negatif yang dapat menyebabkan cedera otak dengan komplikasi
cerebral palsy
 Expansive hidrochepalus
c) Postnatal :
 Beberapa cedera otak yang terjadi selama periode postnatal dari perkembangan otak
dapat menyebabkan serebral palsy. Contohnya trauma yang menyebabkan kecelakaan
fisik trauma kepala, meningitis, enchepalitis.

d. Patofisiologi
Seperti di ketahui sebelumnya bahwa cerebral palsy merupakan kondisi neurologis yang di
sebabkan oleh cedera pada otak yang terjadi sebelum perkembangan otak sempurna. Karena
perkembangan otak berlangsung selama dua tahun pertama. Cerebral palsy dapat di sebabkan
oleh cedera otak yang terjadi selama periode prenatal , perinatal, dan postnatal.
Trauma cerebral yang menyangkut trauma dari arteri cerebral media adalah rangkaian
patologis yang paling sering di temukan dan dikonfirmasi dari pasien dengan cerebral palsy
spastic hemiplegia dengan menggunakan evaluasi dari computed tomography (CT) dan magnetic
resonance imaging (MRI) . Penilaian tersebut telah menunjukkan kehilangan jaringan (nekrosis
dan atrofi) dengan atau tanpa gliosis. Beberapa anak dengan cerebral palsy hemiplegia
mengalami atrofi periventricular, menunjukkan adanya ketidaknormalan pada white matter. Pada
pasien dengan cerebral palsy bergejala quadriplegia, gangguan motorik yang terjadi pada kaki
bisa sama sampai lebih berat daripada tangan. Yang terkait dengan cerebral palsy bentuk ini
adalah adanya rongga yang terhubung dengan ventrikel lateral , multiple cystic lesion pada white
matter, diffuse cortical atrophy, dan hydrocephalus. Cerebral palsy bentuk coreoathetoid yang
kadang mengalami spastisitas cenderung terjadi bayi pada cukup bulan, dystonia dari
ekskremitas juga sering terjadi bersama spastisitas tapi cenderung tidak dikenali. Hipotonus yang
menetap atau atonic pada cerebral palsy menunjukkan adanya keterlibatan cerebellar pathways.
Long-track signs seperti reflex deep-tendon cepat dan respon plantar extensor cenderung disertai

30
hipotonia. Pembesaran sistem ventricular adalah yang paling sering dihubungkan pada neuro-
imaging.
Prevalensi dari spastic diplegia atau quadriplegia meningkat di Australia, swedia, dan united
kingdom pada tahun 1970 seiring dengan meningkatnya tingkat kelahiran bayi premature.
Selama 30 tahun terakhir , neuropathologist telah memaparkan bahwa periventricular white
matter merupakan lokasi terpenting dari kelainan yang menyebabkan disfungsi motorik
kongenital. Periventricular leukomalacia adalah istilah untuk karakteristik lesi necrosis
koagulatif pada white matter yang dekat dari ventrikel lateral , dengan menggunakan
pemeriksaan ultrasound mencari tanda adanya trauma pada white matter secara virtual seperti
kedua area hiperechoic (echodense) dan hipoechoic (echolusent). Bayi yang lahir pada umur
kehamilan kurang dari 32 minggu beresiko tinggi terhadap kedua lesi hiperechoic dan
hipoechoic. Umumnya lesi hiperechoic menandakan kongesti vascular atau hemorrhage dan
penampakan dini dari kerusakan jaringan. Sedangkan lesi hipoechoic tampak pencerminan dari
pelepasan/kehilangan jaringan nekrotik dan perkembangan struktur seperti kista.

e. Klasifikasi
Upaya klasifikasi klinik cerebral palsy di perkirakan di awali oleh Sachs pada tahun 1891 ,
yang menyarankan pengelompokan kasus berdasarkan waktu dari faktor etiologi dan berdasarkan
distribusi dan tipe gangguan klinik (diplegia, paraplegia, hemiplegia, ataxia, choreic, dan
gangguan athetoid) . Pada tahun 1843 dan 1862 Little telah mendeskripsikan tiga kategori dari
paralysis yaitu hemiplegic rigidity, paraplegia atau generalized rigidity, dan kondisi dengan
gangguan pergerakan. Hemiplegia rigidity disebut sebagai kongenital hemiplegia . kategori Little
yang kedua yaitu paraplegia atau generalized rigidity di kenal dengan sebutan Little’s disease
kemudian disebut diplegia. Kategori ketiganya yaitu gangguan pergerakan yang di kenal
beberapa tahun kemudian pada tahun 1871 Hammond Coined mengistilahkannya sebagai
athetosis untuk mendeskripsikan gerakan yang tidak disadari pada jari yang terlihat pada
beberapa pasien hemiplegia.
Element penting gangguan motorik pada cerebral palsy adalah munculnya reaksi postural
primitive atau reflex, seperti reflex tonus leher, assimetris dan simetris ,reflex moro, dan reaksi
berjalan dan penempatan otomatis. Berat dan persisten nya reaksi tersebut beberapa hal
berhubungan dengan berat dan tipe dari cerebral palsy . faktor penting lainnya dalam hal

31
pengklasifikasian seorang anak dengan cerebral palsy adalah ada dan beratnya kecacatan yang di
sebabkan oleh gangguan motorik. Oleh karena itu retardasi mental dan epilepsy biasa terjadi
pada anak dengan cerebral palsy dan kecacatan bisa menjadi lebih gawat dari gangguan motorik
itu sendiri dalam hal terbatasnya potensi untuk perbaikan fungsional. Gangguan motorik pada
cerebral palsy dapat di bagi berdasarkan :
a) Disfungsi Motorik
 Spastisitas : lokasi lesi yang menyebabkan spastisitas terutama pada traktus
kortikospinal. Pada spastisitas terjadi peningkatan konstan pada tonus otot ,
peningkatan reflex otot kadang di sertai klonus (reflex peregangan otot yang
meningkat) dan tanda Babinski positif. Tonic neck reflex muncul lebih lama dari
normal namun jarang terlihat jelas, dan reflex neonatus lainnya menghilang pada
waktunya. Hipertonik permanent dan tidak hilang selama tidur. Peningkatan tonus
otot tidak sama pada sesuatu gabungan otot. Lengan adduksi, siku dan pergelangan
tangan flexi, tangan pronasi, jari flexi dengan jempol melintang di telapak tangan.
kaki adduksi, panggul dan lutut flexi, kaki plantar-flexi dengan tapak kaki berputar
ke dalam. Golongan spastisitas ini meliputi 2/3-3/4 penderita cerebral palsy.
Bentuk kelumpuhan spastisitas tergantung kepada letak dan besarnya kerusakan
,yaitu :
1. Monoplegia/monoparesis : kelumpuhan keempat anggota gerak tetapi salah
satu anggota gerak lebih hebat dari yang lainnya.
2. Hemiplegia/hemiparesis : kelumpuhan lengan dan tungkai di pihak yang sama
3. Diplegia/diparesis : kelumpuhan keempat anggota gerak tetapi tungkai lebih
hebat daripada tangan.
4. Tetraplegia/tetraparesis : kelumpuhan keempat anggota gerak ,tetapi lengan
lebih atau sama hebatnya dibandingkan dengan tungkai.
 Perubahan tonus otot : lokasi lesi yang menyebabkan ketidaknormalan tonus otot
terutama pada brain stem . bayi pada golongan ini pada usia bulan pertama tampak
flaksid dan berbaring dengan posisi seperti katak terlentang dan mudah di
kelirukan dengan bayi dengan kelainan motor neuron menjelang umur 1 tahun
barulah terjadi perubahan tonus otot daari rendah hingga tinggi. Bila dibiarkan
berbaring tampak flaksid dan sikap seperti katak terlentang namun bila dirangsang
32
atau mulai diperiksa tonus ototnya berubah menjadi spastis .reflex otot normal atau
sedikit meningkat dan klonus jarang ditemukan. Tanda Babinski bisa positif
maupun tidak. Karakteristik dari cerebral palsy tipe ini adalah reflex neonatus dan
tonic neck reflex menetap, kadang terbawa hingga masa kanak-kanak. Reflex tonus
otot dan reflex moro sangat jelas. Sindrom dari perubahan tonus otot dapat disertai
dengan choreoathetosis dan ataxia. Sekitar 10-25 persen anak dengan cerebral
palsy mengalami sindrom ini.
 Choreoathetosis :lokasi lesi utama yang menyebabkan kelainan ini adalah ganglia
basalis . 5-25 persen anak dengan cerebral palsy menunjukkan choreoathethosis.
Anak dengan choreoathetosis memiliki gangguan pergerakan dengan karakteristik
pergerakan yang tidak disadari dan sikap yang abnormal. Pasien biasanya flaccid
pada 6 bulan pertama lahir dan kadang di salah diagnosiskan dengan gangguan
motor unit. Gerakan yang tidak disadari dan kelainan sikap biasanya berkembang
selama pertengahan tahun kedua . reflex neonatus kadang tampak, spastisitas dan
ataxia bisa ditemukan. Kecacatan motorik kadang berat, kelainan postur
mengganggu fungsi normal eksremitas.
 Ataxia : lokasi lesi utama yang menyebabkan kelainan ini adalah cerebellum. 1-15
persen anak dengan cerebral palsy menunjukkan ataxia. Pasien dengan kondisi ini
biasanya flaccid ketika bayi dan menunjukkan perkembangan retardasi motorik.
Menjelang akhir tahun pertama ketika mereka memulai menjangkau suatu objek
dan mencoba berdiri, itu mulai tampak dan mereka tidak seimbang.
Ketidaknormalan akibat rendahnya tonus otot menetap hingga kanak-kanak.
Reflex otot normal dan reflex neonatus hilang sesuai umur normal.
 Bentuk campuran : choreoathetosis di sertai spastisitas atau dengan sindrom
perubahan tonus adalah tipe campuran yang paling sering dari disfungsi motorik,
tapi semua jenis kombinasi dapat terjadi.
b) Disfungsi Nonmotorik
 Gangguan perkembangan mental : hal ini ditemukan pada sekitar setengah dari
seluruh pasien cerebral palsy . perkembangan mental harus selalu di nilai dengan
perhatian besar pada anak dengan retardasi perkembangan motorik. Kecacatan

33
motorik harus selalu dapat dimengerti dan latih potensi terbaik anak sebelum
perkembangan intelektual mereka di evaluasi. Tipe lain dari gangguan
perkembangan motorik bisa terlihat pada anak dengan cerebral palsy , beberapa
dari mereka menunjukkan gejala perhatian yang mudah teralih, kurang konsentrasi,
gelisah, dan prilaku tidak di duga .

 Konvulsi : konvulsi adalah gambaran klinik yang kompleks , biasanya pada anak
tetraparesis dan hemiparesis . pemeriksaan electroencephalogram harus di lakukan
pada kondisi tersebut.
 Retardasi pertumbuhan : retardasi pertumbuhan terlihat pada semua jenis gangguan
pergerakan . retardasi pertumbuhan paling signifikan pada hemiparesis, ukuran
tangan,kaki, kuku yang tidak sama adalah tanda diagnostic yang penting.

 Gangguan sensorik : gangguan sensasi adalah hal biasa yang di temukan pada
hemiparesis.
 Gangguan penglihatan : paling sering adalah strabismus yang biasa di temukan
pada pasien dengan spastic diparesis. Katarak terlihat utamanya pada anak dengan
asphyxia pada periode perinatal yang berat, scar setelah koreoretinitis terlihat pada
anak dengan infeksi fetus.

 Gangguan pendengaran : di temukan 5-10 persen dari seluruh anak yang menderita
cerebral palsy. gangguan pendengaran ditemukan paling banyak pada anak dengan
choreoathetosis dan syndrome perubahan tonus otot.
 Kesulitan berbicara : dapat ringan hingga berat. Pada choreoathetosis biasanya
pergerakan involunter juga mempengaruhi bibir dan otot lidah .
f. Diagnosis
Penegakan diagnosis adalah hal yang sangat penting dalam mengenali cerebral palsy, sebagai
retardasi mental. tonggak penetapan adalah saat mencapai akhir dari kedua kondisi tersebut dan
mempelajari secara pelan-pelan akan membantu membedakan anak-anak dengan keterlambatan
pencapaian motorik akibat keterbelakangan mental dengan lainnya yang cerebral palsy.
Perbandingan di buat tidak hanya melihat perkembangan pasien dari anak normal yang lain tapi
juga dari fungsi anggota badan kanan dan kiri dan dari tangan dan kaki. Dengan cara ini cerebral
palsy hemiplegia dan diplegia dapat dicurigai. Pada fase awal dari banyak bentuk cerebral palsy,
34
hypotonia adalah hal yang paling menonjol sedangkan hypertonia dan involuntary movement
muncul belakangan. Respon primitive automatic yang persistent seperti reflex moro, reflex
menggenggam,dan tonic neck reflex asimetris menghilang melebihi dari usia normal seharusnya,
dimana hal ini dapat memberikan petunjuk penting pada fase awal.
Observasi dari keterlambatan perkembangan motorik, kelainan tonus otot, dan postur tubuh
yang tidak biasa adalah penanda penting dalam mendiagnosis cerebral palsy. penilaian terhadap
reflex infant persistent juga penting , pada bayi yang tidak mengalami cerebral palsy reflex moro
jarang terlihat setelah umurnya lewat 6 bulan, hand preference jarang berkembang sebelum umur
12 bulan. Hand preference dapat terjadi sebelum umur 12 bulan apabila hemiplegia spastic
terjadi. Strategi diagnosis berdasar dari gejala klinik,pola dari perkembangan gejala, riwayat
keluarga, dan faktor lain dapat mempengaruhi dalam penegakan diagnosis yang lebih spesifik.
Tes laboratory dan cerebral imaging menggunakan computed tomography, magnetic resonance
imaging, dan ultrasound sangat berguna dalam menunjang diagnosis. Pengawasan terhadap
disabilitas seperti gangguan pendengaran dan penglihatan kejang, dan disfungsi kognitif dapat
membantu melengkapi penilaian klinis dalam menentukan diagnosis. Pemeriksaan khusus
diperlukan pada anak yang dicurigai atau terbukti cerebral palsy. pemeriksaan tersebut adalah :
1. Semua anak dengan cerebral palsy harus melakukan pemeriksaan penglihatan dan
pendengaran yang segera dilakukan setelah diagnosis cerebral palsy ditegakkan.
Kerusakan dari indera tersebut sangat mempengaruhi pendidikan dan pelatihan anak.
2. Pungsi lumbal harus dilakukan untuk menilai cairan cerebrospinal ,dilakukan paling
tidak satu kali pada anak yang dicurigai cerebral palsy untuk menyingkirkan
kemungkinan penyakit degeneratif ,tumor intracranial, subdural hygroma . Pada pasien
cerebral palsy cairan cerebrospinal normal.
3. Pemeriksaan EEG dilakukan terutama pada pasien dengan hemiparesis atau
tetraparesis karena beresiko tinggi kejang.
4. Indikasi ultrasound dan computerized tomography kepala sangat membantu dalam
penegakan diagnosis dan mengeliminasi kemungkinan diagnosis lainnya. CT dan MR
akan menunjukkan perkembangan kerusakan dan lokasi dari infark, kontusio, atau
hemorrhage.
5. Penilaian psikologis perlu dilakukan untuk tingkat pendidikan yang di butuhkan anak

35
6. Pemeriksaan metabolik untuk menyingkirkan penyebab lain dari retardasi mental. anak
yang di curigai harus di screening untuk melihat kelainan metabolic seperti
hypoglycemia, hypothyroidism, and aminoacidurias.
g. Diagnosis
Pengobatan kasual pada cerebral palsy tidak ada, hanya simtomatik. Pada keadaan ini
diperlukan teamwork dengan rencana pendekatan kepada masalah individu anak. Anak, orang
tua, dokter anak, dokter saraf, ahli terapi fisik, psikiater dan pihak sekolah harus turut serta .
secara garis besar , penatalaksanaan penderita cerebral palsy adalah sebagai berikut:
1. Aspek medis
a) Aspek medis umum :
 Gizi : masalah gangguan pola makan yang berat pada anak dengan cerebral
palsy tampak pada beberapa kelompok anak yang tidak menjaga status gizi
normal dan menandakan kegagalan pertumbuhan. Masalah pola makan mereka
biasanya di awali dari saat lahir dan mereka bisa di identifikasi dini dari lama
waktu mengunyah dan menelan jumlah standar makanan dan dibandingkan
dengan control berat badan mereka. (Gisel & Patrick 1988) . nutrisi yang
adequate pada anak tersebut tidak dapat dicapai dengan tambahan makanan
dari nasogastric tube bahkan dengan gastrostomy walaupun metode tersebut
mungkin bermanfaat. Pencatatan rutin perkembangan berat badan anak perlu
dilaksanakan.
 Aspek medis lain : Disfungsi traktus urinarius bawah pada anak dengan
cerebral palsy dengan inkontinensia urinarius sebagai gejala paling umum.
Pengobatan berdasarkan temuan urodynamic dan adanya infeksi saluran kemih
adalah antibiotic propilaxis dan kateterisasi intermittent. Masalah gangguan
tidur biasa terjadi pada pasien cerebral palsy ,pengobatan pada gangguan tidur
berat pada anak cerebral palsy dengan memberikan melatonin oral dosis 2-10
mg tiap waktu tidur. Osteopenia adalah masalah yang lebih umum pada
cerebral palsy biasa nya di terapi dengan biophosphonates selama 12-18 bulan
dan menunjukkan peningkatan densitas tulang sekitar 20-40%.
 Terapi obat-obatan : obat pada gangguan motorik cerebral palsy dibatasi,
namun tetap harus di berikan utamanya pada bentuk spastic. Diazepam jarang
36
digunakan karena kurang membantu dan dapat menyebabkan kantuk dan
kadang menimbulkan hipotonia namun pada syndrome dyskinetic kadang dapat
mengurangi gerakan involunter . Lioresal (baclofen) telah terbukti sangat
efektif pada beberapa kasus hemiplegia dan diplegia dalam mengurangi
spatisitas dan memudahkan fisioterapi namun kontraindikasi pada anak dengan
riwayat seizures.
 Terapi aspek orthopedic : kontribusi orthopedic penting, perencanaan yang
hati-hati dari prosedur orthopedic berpengaruh terhadap pengobatan, dan hal
tersebut membantu ahli bedah mengedintifikasi pasien lebih dini sehingga
mereka dapat merencanakan kemungkinan intervensi yang akan di lakukan
bersama, dengan pendekatan kolaborasi dengan spesialis anak, fisioterapis dan
orang tua. Splint dan calipers di batasi pada pasien cerebral palsy meski dalam
beberapa kasus hal terssebut berguna. Splint soft polyurethane foam telah
terbukti sangat efektif dalam mengurangi flexi berat pada lutut . Pemberian
boots dan sepatu membutuhkan pertimbangan pelan-pelan dan ahli bedah
orthopedic berkontribusi banyak dalam hal ini. Bentuk spastic dari cerebral
palsy paling sering di lakukan pembedahan. Elongasi tendon Achilles pada satu
atau kedua sisi dan prosedur untuk mengurangi adduksi hip dan flexi lutut
adalah prosedur yang relative simple dan sangat membantu fungsinya. Waktu
pembedahan sangat penting dan harus selalu di kombinasi dengan fisioterapy.
 Fisioterapi : tindakan ini harus segera di lakukan secara intensif . orang tua
turut membantu program latihan di rumah. Untuh mencegah kontraktur perlu di
perhatikan posisi penderita pada waktu istirahat atau tidur. Bagi penderita yang
berat di anjurkan untuk sementara tinggal di suatu pusat latihan . fisioterapi
dilakukan sepanjang penderita hidup.
b) Aspek non medis :
 Pendidikan dan pekerjaan : penderita cerebral palsy dididik sesuai dengan
tingkat inteligensinya . di sekolah luar biasa dan bila mungkin di sekolah biasa
bersama-sama dengan anak yang normal . mereka sebaiknya diperlakukan
sama seperti anak yang normal yaitu pulang kerumah dengan kendaraan
bersama-sama sehingga mereka merasa tidak di asingkan , hidup dalam
37
suasana normal . orang tua janganlah melindungi anak secara berlebihan .
Untuk mendapatkan pekerjaan di populasi biasa sangat sulit dengan kecacatan
yang di alami sang anak, prospek untuk pekerjaan saat anak sudah melewati
bangku sekolah harus di fikirkan dan di rencanakan matang-matang.

h. Prognosis
Di Negara yang telah maju misalnya inggris dan skandinvia terdapat 20-25 % penderita
cerebral palsy sebagai buruh penuh dan 30-50-% butuh penanganan dan perawatan di institute
cerebral palsy . prognosis pada penderita dengan gejala motorik ringan adalah baik. Makin
banyak gejala penyertanya dan makin berat gejala motoriknya makin buruk prognosisnya.
Komplikasi seperti retardasi mental, epilepsy, gangguan pendengaran dan visual. Anak-anak
dengan cerebral palsy berat dan keterbelakangan mental juga kadang mengalami epilepsy dan
beresiko tinggi mengalami chest infection, status epilepticus dan masalah lainnya. Cerebral palsy
berat juga menyebabkan prognosis yang buruk pada pasien yang lebih tua. Perkiraan yang tepat
dari kelangsungan hidup dari cerebral palsy berat sangat sulit, tapi yang penting adalah
perencanaan untuk kebutuhan pasien dan keperluan tujuan medikolegal.

38
BAB III
CASE REPORT

STATUS PASIEN

1. Identitas Pasien
No. RM : 633093
Nama : AN. M
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Tanggal Lahir : 02//01/2014
Usia : 5 tahun 9 bulan 26 hari
Agama : Islam
Alamat : Waru, Sidoarjo
Tanggal MRS : 28 Oktober 2019
Tanggal Pemeriksaan: 28 Oktober 2019
Ruang : D2 – 1B

2. Anamnesis (28 Oktober 2019)


 Keluhan Utama
Demam 3 hari
 Keluhan Tambahan
Batuk dan sesak.
 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD Rumkital Dr. Ramelan Surabaya diantar oleh keluarga pada
tanggal 28 Oktober 2019 pukul 16.00 WIB atas rujukan dari RSI Surabaya
dengan diagnosis bronkopneumonia karena tidak mendapat kamar di RS tersebut,
pasien datang dengan keluhan demam, batuk, dan sesak. Demam 3 hari, hari
ketiga makin tinggi, diukur dirumah mencapai 39oC, sudah diberi obat
paracetamol tapi tidak membaik. Demam disertai dengan batuk dan sesak. Batuk
dirasakan pasien sejak 3 hari yang lalu, batuk grok-grok tapi dahak tidak keluar,
darah (-), pilek (-), pasien belum diberikan obat batuk, hanya diberikan vitamin,
dan batuk tidak membaik. Sesak dirasakan sejak bangun pagi, sesak sudah
diberikan oksigen dan nebulisasi, sesak membaik tapi masih menetap. BAB
normal tidak ada diare, BAK terakhir tadi pagi warna kuning cerah. Mimisan (-)
gusi berdarah (-) muntah (-). Pasien sebelumnya juga memiliki riwayat minum
susu coklat.
 Riwayat Penyakit Dahulu
39
i. Kejang (+) disertai dengan demam, kejang pertama kali saat umur 4 bulan.
sampai saat ini kurang lebih total 10 kali kejang disertai demam. Pasien
pernah megalami kejang berulang dalam hari yang sama, setelah kejang
pasien tidak sadar. Kejang terakhir dialami 3 hari yang lalu, kejang disertai
demam.
ii. Asma (+)
iii. Alergi (+) pasien alergi coklat dan telur.
iv. Pernah dirawat di rumah sakit dengan diagnosis bronkopnemonia.
v. Riwayat sering sakit berupa diare, demam, dan batuk hingga masuk rumah
sakit yang berulang.
 Riwayat Penyakit Keluarga
kejang (-), nenek pasien menderita asma (+).
 Riwayat Penggunaan Obat
- Paracetamol tablet
- Nebul Ventolin
- Phenytoin + Phenobarbital Puyer
- Diazepam rectal
 Riwayat Alergi
Alergi telur, Coklat, kacang-kacangan
 Riwayat Kehamilan
Ante Natal Care rutin, pada usia kehamilan 7 bulan pasian jatuh di kamar mandi
yang menyebabkan ketuban pecah dini. Pasien mengatakan pernah keputihan dan
demam selama hamil . Pemeriksaan TORCH tidak pernah diperiksakan pasien.
 Riwayat Kelahiran
Persalinan secara Sectio Caesarea (SC), persalinan tertunda 1 hari dikarenakan
masalah keuangan pasien, lahir prematur (7 bulan), BBL 1700gram, tidak
menangis, biru seluruh badan, lemas dan di masukan ke inkubator selama 4 bulan
lamanya.
 Riwayat Nutrisi
Dari awal lahir diberikan susu formula oleh karena ASI tidak keluar.
 Riwayat Imunisasi
BCG (+)
 Riwayat Tumbuh Kembang
Mengalami gangguan tumbuh kembang.
Pada usia sekarang (5 tahun) pasien belum bisa berjalan dan belum bisa berbicara.
 Riwayat Ekonomi dan Sosial
Kakak pasien batuk. 3 hari sebelum pasien ke poli anak (26/10/19)

40
Growth Chart berdasarkan CDC :

41
42
Interpretasi Strature for Age 2-20 Years : Below 5th Percentile , Short Strature
Interpretasi BMI for Age 2-20 Years : Below 5th Percentile , Underweight

3. Review of System
Sistem Saraf : Riwayat kejang (+)
Sistem Pernafasan : Sesak nafas (+)
Batuk (+)
Pilek (-)
Sistem Kardiovaskular : Berdebar (-)
Sistem Gastrointestinal : Muntah (-)
Diare (-)
Konstipasi (-)
Sistem Hepatobilier : Pembesaran hepar (-)
Icterus (-)
Hematemesis/melana (-)
Asites (-)
Sistem Urinari : Kencing keruh (-)
Hematuria (-)
Disuria (-)
Straining (mengejan
saat kencing) (-)
Polakisuria (-)
Sistem Endokrin : Diabetes mellitus (-)
Goiter (-)
Sistem Rheumatologi : Kaku sendi (-x`)
Nyeri sendi (-)
Bengkak sendi (-)
Sistem Alergi dan
Imunologi : `Riwayat alergi obat dan makanan (+)

4. Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan Umum
- Keadaan Umum : pasien tampak sakit sedang
- Kesadaran : compos mentis
2. Tanda Vital
- Tekanan darah : 110/80 mmHg
- Nadi : 130x/menit
- RR : 40 x/menit
- Suhu : 37,4⁰C

43
- SpO2% : 97%
3. Antropometri
- Berat Badan : 9,6 kg
- Panjang Badan : 90 cm
4. Kepala
- Anemis/Ikterus/Cyanosis/Dyspneu : -/-/-/+
- Ubun-ubun : Belum tertutup (-)
- Rambut : Tidak rontok
- Alis : Simetris
- Mata : Palpebra : Edema (-/-)
Konjungtiva : Anemis (-/-)
Sclera : Ikterus (-/-)
Mata cowong : (-/-)
Pupil : Refleks cahaya (+/+),pupil bulat, isokor
- Telinga : Daun telinga simetris, sekret (-/-)
- Hidung : Deviasi septum nasi (-)
pendarahan (-)
- Mulut : Sianosis (-), gusi berdarah (-), lidah kotor (-)
faring hiperemis (-), tonsil T1/T1
- Sinus : Nyeri tekan pada sinus (-)
5. Leher
- Pembesaran KGB : (-)
- Pembesaran Thyroid : (-)
- Deviasi Trakea : (-)
6. Thorax
- Pulmo
Inspeksi : Normochest, gerak nafas simetris,
retraksi dada (+)
Palpasi : Gerak nafas simetris, fremitus raba sulit dievaluasi
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, rhonki (+), wheezing (+)
Vesikuler Rhonchi Wheezing
+ + + + + +
+ + + + + +
+ + + + + +

- Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS V midclavicular
line dekstra

44
Perkusi : Batas jantung kanan pada ICS V parasternal line
dekstra
Batas jantung kiri pada ICS V midclavicular
line sinistra
Auskultasi : S1, S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)
7. Abdomen
- Inspeksi : Datar, distended (-)
- Auskultasi : Bising usus (+) normal
- Palpasi : Supel, turgor kulit normal, nyeri tekan sulit
dievaluasi
- Perkusi : Timpani (+)
8. Ekstrimitas
- Akral hangat : +/+. +/+
- Edema : -/-. -/-
9. Pemeriksaan Neurologis

GCS: 4/x/6
Pemeriksaan rangsang meningeal
Kaku kuduk (-)
Brudzinski I – IV sulit dievaluasi

Nervus kranialis
Nervus I sulit dievaluasi
Nervus II, Visus sulit dievaluasi, diameter pupil 3mm/3mm isokor
Nervus III, IV, VI sulit dievaluasi
Nervus V-XII sulit dievaluasi

Refleks Patologis
Hoffman : -/-
Tromner : -/-
Chaddock : -/-
Babinski : -/-

Refleks Fisiologis
APR : +2/+2
BPR : +2/+2
TPR : +2/+2
KPR : +2/+2

Sensorik : SDE
45
Motorik :
+5 +5
+5 +5

5. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium Darah Lengkap
Parameter Nilai Nilai rujukan Unit
Leukosit 12.56 4-10 103/uL
HGB 12.1 11.0 – 16.0 g/dL
Hematokrit 37.4 37-54 %
Basofil 0.05 0-1 %
Neutrofil 87.4 50-70 %
Limfosit 5.2 25-40 %
Monosit 6.9 2-8 %
Eosinophil 0.1 2-4 %
Trombosit 209 150-440 Ribu/mmol

Foto thoraks
46
terdapat perselubungan dengan gambaran airbroncogram di parahiler sinistra
suspek bronkopnemoni.

Berikut adalah lampiran pemeriksaan yang sudah pernah dilakukan sebelumnya,


47
Pemeriksaan EEG 16 februari 2015 (Usia anak 1 tahun)

6. Assessment
Bronkopneumonia + Asma + Cerebral Palsy

7. Planning
48
Injeksi D5 ½ NS 1000cc/24 Jam
Injeksi Cinam 4 x 250 mg
Injeksi Antrain 3 x 100 mg
Nebulisasi Ventolin 3x1

Puyer Batuk
Ambroxol 5 mg
Salbutamol 0,5 mg
Tremenza 1/6 tab

Puyer Panas
Paracetamol 300 mg
As. Mefenamat 150 mg

Planning lanjutan :
Rujuk ke bagian Rehabilitasi Medik dan Saraf untuk penanganan kejang pasien dan alat
bantu seperti ortesa dan fisioterapi.
Pertimbangan pemeriksaan IQ bila sudah diatas 6 tahun

49
BAB IV
PEMBAHASAN

Perjalanan Penyakit
Kronologi MRS Waktu Riwayat MRS
Lahir prematur 7 bulan disebabkan karena jatuh lalu ketuban pecah dini,
Lahir pasien menunda persalinan 1 hari. Setelah lahir pasien sianosis, lemas ,
dan tidak menangis, lalu dirawat 4 bulan.
Umur 4 Kejang pertama kali, durasi 1 menit, ciri menghentak-hentakkan kaki
Bulan bersamaan dan simetris.
Sering kejang jika demam, durasi ± 5 menit, ciri kedua mata melirik
Sebelum MRS di keatas dan tangan kiri dihentakan tetapi kaki kiri (-), ditemukan temuan
Umur 10
subdural higroma dan brain atrophy pada pemeriksaan CT Scan.
RSAL Bulan
Pemeriksaan EEG didapatkan hasil normal., dengan saran evaluasi EEG
(RS Dr. Soetomo)
ulang 2 bulan lagi.
Umur 13 Didapatkan hasil EEG Abnormal, mengindikasikan encephalopathy difus
Bulan derajat ringan. Diberikan OAE (Phenytoin).
Hingga
Pasien terdiagnosis Cerebral Palsu dan di fisioterapi di RS Dr. Soetomo,
umur 4
tapi 1 tahun terakhir sudah tidak lagi karena alasan sulit ke Dr. Soetomo.
tahun
2 minggu
sebelum Masuk karena keluhan yang sama, dan di diagnosis bronkopneumonia,
MRS di RS Royal
MRS dan KRS tanggal 19/10/19.

(13/10/19)
3 Hari Pasien ke poli dengan keluhan batuk pilek dan demam, selama
menunggu pasien tiba-tiba kejang dengan durasi ± 4 menit, ciri mata
Poli Anak di RS sebelum
melirik ke atas, dan ekstremitas dihentak-hentakan. Tidak dapat MRS
Royal MRS
karena BPJS tidak dapat diklaim karena 2 minggu yang lalu MRS di RS
(26/10/19) Royal, dirujuk ke RSI
RSAL (28/10/19) Rujukan dari RSI karena kamar penuh, dan di diagnosis
bronkopneumoni. Demam 3 hari, batuk dan sesak kurang lebih 1 bulan,
batuk grok-grok tapi dahak sulit keluar. Pilek (-). Demam tinggi 39c.
BAB dan BAK normal.
Pemeriksaan fisik:
TD: 110/80 mm
N:130 x/m
RR: 40 x/m

50
S: 37,4c
SPo2: 97%
kepala/leher:
kepala dan leher kaku
Thorax:
Retraksi dada (+)
ves +/+, rh +/+, wh +/+
Ekstremitas:
Kaki dan tangan kaku
Batuk dan sesak masih ada, sudah berkurang dibanding kemarin. Dahak
(-). Mual (-) muntah (-). BAB dan BAK normal. Demam (-). Nafsu
makan baik.
Pemeriksaan fisik:
TD: 120/75 mmHg
N: 110 x/m
RR: 32 x/m
S: 36,7c
RSAL 29/10/19
SPo2: 97%
kepala/leher:
kepala dan leher kaku
Thorax:
Retraksi dada (-)
ves +/+, rh +/+, wh -/-
Ekstremitas:
Kaki dan tangan kaku
RSAL 30/10/19 Batuk dan sesak masih ada, sudah jauh berkurang dibanding kemarin.
Dahak (-). Mual (-) muntah (-). BAB dan BAK normal. Demam (-).
Nafsu makan baik.
Pemeriksaan fisik:
TD: 100/70 mmHg
N: 98 x/m
RR: 32 x/m
S: 36,75c
SPo2: 98%
kepala/leher:
kepala dan leher kaku
Thorax:

51
Retraksi dada (-)
ves +/+, rh +/+, wh -/-
Ekstremitas:
Kaki dan tangan kaku
Batuk dan sesak sudah tidak ada. Dahak (-). Mual (-) muntah (-). BAB
dan BAK normal. Demam (-). Nafsu makan baik.
Pemeriksaan fisik:
TD: 125/80 mmHg
N: 90 x/m
RR: 25 x/m
S: 36,5c
RSAL 31/10/19 SPo2: 97%
kepala/leher:
kepala dan leher kaku
Thorax:
Retraksi dada (-)
ves +/+, rh +/+, wh -/-
Ekstremitas:
Kaki dan tangan kaku
Batuk dan sesak sudah tidak ada. Dahak (-). Mual (-) muntah (-). BAB
dan BAK normal. Demam (-). Nafsu makan baik. Hari ini pasien KRS.
Pemeriksaan fisik:
TD: 110/70 mmHg
N: 95 x/m
RR: 20 x/m
S: 36,5c
RSAL 01/10/19 SPo2: 98%
kepala/leher:
kepala dan leher kaku
Thorax:
Retraksi dada (-)
ves +/+, rh -/-, wh -/-
Ekstremitas:
Kaki dan tangan kaku
Pasien sebelum MRS di RSAL memiliki riwayat sering kejang, dan mempunyai riwayat cerebral
palsy. 2 minggu lalu MRS di RS Royal dengan riwayat demam, batuk, dan sesak dan sudah

52
dinyatakan sembuh setelah MRS 1 minggu. 3 hari sebelum MRS pasien kembali mengeluhkan
demam, batuk, pilek, dan sesak.

Kurang Gizi

Gangguan pada pasien ini ialah bronchopneumonia, asthma, dan cerebral palsy. Proses terjadinya
gangguan ini terjadi sejak pasien lahir. Beberapa faktor yang menyebabkan cerebral palsy pada
pasien ini ialah prematuritas, lamanya kelahiran pada ketuban pecah dini, dan infeksi saat
kehamilan. Pasien lahir pada umur kehamilan 7 bulan (Prematur) dimana hal ini menyebabkan
prematuritas dari paru, hal ini menyebabkan asphyxia neonatorum pada pasien ini. Selain
diakibatkan prematuritas dari paru, lamanya kelahiran pada ketuban pecah dini dari bayi
menyebabkan risiko infeksi yang tinggi, infeksi ini juga dapat menjadi hal yang meningkatkan
keparahan dari asphyxia dari pasien ini, selain itu lamanya kelahiran juga meningkatkan durasi
dari lamanya asphyxia yang dialami bayi ini, sehingga asphyxia yang terjadi menyebabkan
kerusakan dari jaringan otak. Berdasarkan riwayat kehamilan didapatkan adanya gejala infeksi

53
sehingga hal ini diduga meningkatkan risiko terjadinya chorioamnionitis yang dapat berdampak
kerusakan jaringan otak, mekanisme dari kerusakan ini dapat secara langsung bakteri penyebab
infeksi menginvasi langsung jaringan otak dan menyebabkan terjadinya inflamasi, selama proses
inflamasi terjadi up-regulasi sistemik sitokin pro-inflamasi dan aktivasi mikroglia di otak
neonatal, mikroglia meningkatkan cidera dan mengekspresikan mediator inflamasi dan sitokin
infilamasi yang dapat melepaskan zat beracun. Sitokin dengan sifat proinflamasi (TNF-a, IL-1,
IL-6, dan IL-18) ini akan mengaktivkan sel T sitotoksik dan NK Cell yang meningkatkan
kerusakan sel dan jaringan yang berlebihan. Hal ini menyebabkan proliferiasi, difrensiasi, dan
kematian sel, semua menyebabkan terjadinya White Matter Damage dan cidera jangka panjang
pada neonates. Mekanisme lain dari kerusakan akibat sitokin ialah :
1. Efek langsung pada pembuluh darah cerebral yang menyebabkan hipoperfusi cerebral
dan iskemia
2. Aktivasi koagulator darah yang menghasilkan thrombosis kapiler dan nekrosis dari White
Matter.
3. Aktivasi microglia yang menyebabkan efek toksik langsung pada oligodendrosit dan
myelin melalui produksi microglia sitokin proinflamasi, menyebabkan kehilangan neuron
dan gangguan neuron. Aktivasi microglial juga menghasilkan radikal bebas yang
menyebabkan kematian oligodendrosit
4. Peningkatan permeabilitas sawar darah otak yang memungkinkan aliran langsung
mikroba dan sitokin ke jaringan cerebral.
Terganggunya jaringan otak inilah yang menyebabkan pasien ini mengalami Cerebral Palsy.
Cerebral palsy pada pasien ini menyebabkan gangguan dari aspek fisik. Aspek fisik yang timbul
pada pasien ini adalah kejang dan infeksi. Gangguan pada neurodevelopment menyebabkan
gangguan dari neurotransmitter pada pasien ini sehingga menyebabkan terjadinya kejang. Kejang
yang sering akan memperparah gangguan pada otak pasien, dikarenakan pada kondisi kejang
akan terjadi hypoxia pada jaringan otak, akibat tidak adekuatnya pernafasan saat terjadinya
kejang. Pada keadaan cerebral palsy pasien meningkatkan kemungkinan terjadinya pneumonia,
dikarenakan posisi pasien yang selalu tidur dan kemampuan motorik pasien yang terganggu,
dapat menyebabkan gangguan pengeluaran sekret. Selain itu pada posisi pasien yang selalu tidur
menyebabkan ekspansi dari paru dan mekanisme batuk menjadi sulit. Sekret yang terakumulasi
pada bagian bawah trunkus bronkial dapat menjadi media tumbuh kembang bagi patogen.
54
Ditambah dengan riwayat imunisasi pasien, pasien hanya imunisasi BCG sehingga imunitas
pasien terhadap suatu penyakit sangatlah kurang dibanding dengan anak-anak pada umumnya.
Infeksi pada pasien dapat disebabkan oleh virus atau bakteri. Infeksi terjadi oleh karena
adanya kontak di lingkungan ( kakak pasien usia 9 tahun mengalami batuk pilek 3 hari sebelum
keluhan pasien muncul) manifestasi klinis pasien yaitu demam, batuk, pilek, dan sesak, pada
pemeriksaan fisik didapatkan ronkhi kasar diseluruh lapang paru, infeksi juga ditunjang dengan
adanya leukositosis (12,56 103/uL). Keluhan memberat dengan adanya riwayat kontak dengan
alergen pasien yaitu coklat. Kontak ini menyebabkan asma pada pasien sehingga memperberat
keluhan sesak pasien ditandai dengan adanya wheezing di seluruh lapang paru pasien. Riwayat
infeksi berulang pasien yang terjadi sejak lahir juga dapat meningkatkan risiko terjadinya asma.
Infeksi yang mudah muncul pada pasien ini juga kemungkinan disebabkan oleh kondisi nutrisi
pasien yang tidak baik, yaitu underweight meningkatkan risiko terjadinya infeksi pada pasien ini.

DAFTAR PUSTAKA

55
1. Pedoman Pelayan Medis. Jilid 1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: 2010.
2. Supriyatno B. Infeksi Respiratori Akut pada Anak. September 2006. Diunduh dari : Sari
Pediatri, Vol.8, No.2. h.100-6
3. Guyton, Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Buku Kedokteran EGC. Jakarta : 1997. Hal
633.
4. Soeparman, Waspadji S. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Balai Penerbit FKUI. Jakarta:
1999. hal: 695-705.
5. Pedoman Diganosis dan Terapi Kesehatan Anak, UNPAD, Bandung: 2005
6. Said M. Pneumonia. Buku Ajar Respiratori Anak. Edisi II. Ikatan Dokter Anaka
Indonesia. Jakarta: 2008.h.350-64.
7. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia. Bandung: 2005.
8. Kliegman RM. Nelson Textbook of Pediatrics. 2016.
9. UKK Respirologi PP IDAI. Pedoman Nasional Asma Anak. 2016;2.
10. Global Initiative For Asthma. Pocket Guide For Asthma Management Updated 2019. 2019;
11. Jan MMS. Cerebral Palsy: Comperhensive Review and Update.Ann Saudi Med
2006;26(2):123-132.
12. Munkur N, C S. Cerebral Palsy-Definition, Classification, Etiology and Early
Diagnosis.Indian Journal Pediatric,Volume 72.
13. Hasan R, H A. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Infomedika.
14. J G. Basic Neurology: Pegamon Press.
15. K.C.K Kuban, A L. Review Article Cerebral Palsy. The New England Journal Medicine.
16. Krigger K W. Cerebral Palsy: An Overview. American Family Physician.Volume 73.
17. M BE. Pediatric Neurology.
18. I G. Paediatric Neurology. Division of Child Neurology, Department of Paediatric,
University Hospital, Uppsala, Swedden.

56

Anda mungkin juga menyukai