Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Mioma Uteri
Mioma uteri (uterine fibroids atau leiomyoma uteri) adalah tumor jinak yang
berada pada lapisan miometrium rahim yang ditemukan baik di dalam rahim maupun
di sekitarnya, yang dapat menyebar ke daerah sekitarnya (jarang terjadi). (Smith,
2017) Mioma uteri memiliki sifat konsistensi padat kenyal, berbatas jelas dan
memiliki pseudokapsul, dan bisa soliter atau multipel dengan ukuran mulai dari
mikroskopis hingga > 50 kg. (Paraton, 2008)

2.2 Anatomi Uterus


Ruang di dalam rahim dibagi menjadi kavitas uteri di dalam tubuh dan canalis
cervicis uteri di serviks uterus. Bagian bawah serviks memasuki vagina dan disebut
sebagai portio vaginalis cervicis. Bagian atas adalah portio supravaginalis cervicis.
Bagian depan juga menunjukkan struktur dinding rahim: lapisan mukosa internal
(tunica mucosa; endometrium), kemudian lapisan otot yang kuat (tunica muscularis;
myometrium) otot polos, dan lapisan peritoneum terluar (tunica serosa; perimetrium).
(Paulsen, 2013) Anatomi uterus dapat dilihat pada gambar 2.1.

Gambar 2.1: Anatomi Uterus (Paulsen, et al., 2013)

1
2.3 Histopatologi Mioma Uteri
Secara makroskopis, mioma biasanya multipel, berwarna pucat, keras dan
kenyal, dengan permukaan whorled, berbatas tegas dengan miometrium sekitarnya.
Dapat pula terlihat perubahan mukoid, hemorrhagik, atau nekrosis dan kalsifikasi.
Secara mikroskopis, leiomioma terdiri atas sel-sel spindel di dalam vesikel-vesikel
yang bersambungan membentuk lesi. Dapat terlihat aktivitas mitotik, tetapi biasanya
terlihat kurang dari 5 mitosis per 10 high power fields (HPF), dan tidak ada bentuk
atipikal. (Hoffman, 2016)

Gambar 2.2: Gambaran leiomioma akan bervariasi tergantung oleh derajat dan tipe degenerasinya. A.
Pada potongan fundus uteri, tipikal off-white, whorled leiomioma dapat dibedakan dari miometrium
yang mengelilinginya. B. Secara mikroskopis, leiomioma (L) tersusun dari sel-sel otot polos yang
halus, berbentuk spindle dengan nukleus yang memanjang dan berujung tumpul dan sitoplasma
eosinofilik yang mulai menghilang. Sel-sel tersusun dalam fasikel yang saling berpotongan pada sudut
yang tepat. Leionioma biasanya berbatas jelas, dan permukaan antara mioma dan miometrium sekitar
dapat terlihat secara makroskopis dan mikroskopis. Tumor-tumor ini biasanya lebih seluler daripada
miometrium sekitarnya. (Hoffman, 2016)

2.4 Epidemiologi Mioma Uteri


Tumor sering ditemukan pada wanita usia reproduksi, terutama usia 40-50 tahun,
dengan prevalensi hingga tiga puluh persen dari semua wanita. Tumor jarang
ditemukan sebelum menarke dan mengalami regresi setelah menopause. Tumor
bertambah besar pada kehamilan dan pemberian hormon estrogen. Mioma
menyebabkan sekitar 30% dari semua histerektomi. (Paraton, 2008)

2
2.5 Etiologi dan Patogenesis Mioma Uteri
Penyebab mioma uteri belum diketahui; diperkirakan timbul dari satu sel otot
polos tunggal (yang berasal dari pembuluh darah) menghasilkan monoklonal tumor.
Disebutkan juga tumor berasal dari “totipotential primitive cells” atau “immature
muscle cell nest” dalam miometrium, yang berproliferasi akibat rangsangan terus
menerus oleh hormon estrogen, sehingga terbentuk tumor yang terdiri dari jaringan
otot, jaringan ikat fibrous dan banyak pembuluh darah. Selain estrogen, progesteron
dan faktor pertumbuhan lokal seperti epidermal growth factor, insulin-like growth
factor dan platelet –derived growth factor dianggap merangsang pertumbuhan tumor.
Sitokin-sitokin tersebut ditemukan dalam konsentrasi yang lebih tinggi di dalam
mioma daripada di myometrium sekelilingnya. Diduga komponen genetik ikut
berperan. Telah diidentifikasi adanya mutasi pada 2 gen, yaitu HMGI(C) dan
HMGI(Y) yang muncul pada perkembangan mioma uteri. (Paraton, 2008)
Patogenesis mioma uteri dapat dilihat pada gambar 2.3.

Gambar 2.3: A. Perkembangan leiomioma. B. Leiomioma. Sel-sel otot polos bertambah panjang dan
memiliki sitoplasma eosinofilik dan nucleus yang panjang dan cigar-shaped. Nuclei berbentuk serupa
dan gambaran mitotik tidak ada atau sedikit. (A. Dimodifikasi dari Tal R, Segars JH. The role of
angiogenic factors in fibroid pathogenesis: potential implications for future therapy. Hum Reprod
Update. 2014; 20[2]: 194-216. B. Dari Anderson MC, Robboy SJ. Russell SJ, Russell P. Uterine

3
smooth muscle tumors. Dalam: Robboy SJ, Anderson MC, Russell P, eds. Pathology of the Female
Reproductive Tract. Edinburgh: Churchill Livingstone; 2002.)
2.6 Faktor Resiko Mioma Uteri
 Ras
Ras merupakan faktor risiko penting dalam perkembangan mioma uteri.
Sebuah studi di AS menemukan bahwa insiden mioma uteri adalah 60% pada usia 35
di antara wanita Afrika-Amerika, meningkat menjadi >80% pada usia 50, sementara
wanita Kaukasia menunjukkan tingkat 40% pada usia 35, meningkat menjadi 70%
pada usia 50. (Donnez, 2016)

 Usia
Wanita pada kelompok usia 41-50 dan 51-60 tahun dengan gejala mioma
uteri memiliki resiko 10 kali lebih tinggi untuk menderita mioma uteri dibandingkan
wanita berusia 21-30 tahun. Namun, pada usia postmenopause, yakni diatas 60 tahun,
resiko mioma uteri menurun. (Donnez, 2016)

 Menarche Awal
Menarche pada usia dini meningkatkan risiko mioma uteri dan juga
dianggap sebagai faktor risiko untuk penyakit yang dimediasi hormon lainnya, seperti
kanker endometrium dan payudara. Beberapa penelitian mengemukakan bahwa
peningkatan pertumbuhan mioma uteri merupakan respon dari stimulus estrogen.
Paparan estrogen yang semakin lama akan meningkatkan insidensi mioma uteri.
Menarche dini (< 10 tahun) ditemukan meningkatkan resiko relatif mioma uteri dan
menarche yang lambat (> 16 tahun) menurunkan resiko relatif mioma uteri. (Donnez,
2016)

 Paritas
Kehamilan telah ditemukan memiliki efek perlindungan pada perkembangan
fibroid rahim, tetapi mekanismenya masih belum jelas. Diduga bahwa ketika terjadi
remodeling uterus paska partus, lesi-lesi kecil akan mengalami apoptosis selektif.
(Donnez, 2016)

4
 Riwayat Keluarga
Wanita dengan garis keturunan tingkat pertama penderita mioma uteri
mempunyai resiko 2,5 kali lebih tinggi untuk menderita mioma uteri dibanding
dengan wanita tanpa garis keturunan penderita mioma uteri. Penderita mioma yang
mempunyai riwayat keluarga penderita mioma uteri mempunyai 2 kali lipat kekuatan
ekspresi dari VEGF-α (a myoma-related growth factor) dibandingkan dengan
penderita mioma yang tidak mempunyai riwayat keluarga penderita mioma uteri.
(Donnez, 2016)

 Kafein dan Alkohol


Terdapat asosiasi antara asupan alkohol dan kafein dan peningkatan risiko
pengembangan mioma uteri dalam sebuah penelitian mengenai kesehatan wanita asal
Afrika. (Donnez, 2016)

 Hormon Endogen
Mioma uteri sangat sedikit ditemukan pada spesimen yang diambil dari hasil
histerektomi wanita yang telah menopause, dimana hormon esterogen endogen pada
wanita - wanita menopause dijumpai pada kadar yang rendah atau sedikit. Menarche
pada usia awal (di bawah 10 tahun) meningkatkan resiko (RR 1,24) dan menarche
pada usia setelah 16 tahun menurunkan resiko (RR 0,68) untuk menderita mioma
uteri. (DeCherney, 2013)

 Faktor Genetik
Beberapa perubahan genetik spesifik berkaitan dengan pertumbuhan mioma
uteri. Mehine et al. (2013) melakukan genome sequencing dan gene expression
profiling pada 38 kasus mioma uteri dan miometriumnya. Kemunculan
chromothripsis pada mioma uteri menunjukkan bahwa chromothripsis juga berperan
dalam genesis dan perkembangannya. (Donnez, 2016)

5
 Faktor Lain
Status kesehatan umum juga dapat memprediksi mioma uteri, contohnya
obesitas dan hipertensi. Diet kaya daging merah tampaknya meningkatkan risiko
mioma uteri, sementara merokok mengurangi risiko, karena alasan yang tidak
diketahui. (Donnez, 2016)
Sebuah studi menemukan kemungkinan peningkatan risiko menderita mioma
uteri sebesar 21% untuk setiap kenaikan 10 kg berat badan dan dengan peningkatan
indeks massa tubuh. Temuan yang sama juga turut dilaporkan untuk wanita dengan
30% kelebihan lemak tubuh. Ini terjadi karena obesitas menyebabkan pemingkatan
konversi androgen adrenal kepada estrone dan menurunkan hormon sex-binding
globulin. Hasilnya menyebabkan peningkatan estrogen secara biologikal yang bisa
menerangkan mengapa terjadi peningkatan prevalensi mioma uteri dan
pertumbuhannya. Banyak faktor yang bisa menurunkan bioavalibiltas hormon
estrogen pada jaringan seperti: penurunan konversi androgen kepada estrone dengan
penghambatan enzim aromatase oleh nikotin. (DeCherney, 2013)

2.7 Klasifikasi Mioma Uteri


International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO)
telah menetapkan sistem klasifikasi penyebab pendarahan uterus
abnormal pada wanita usia reproduktif, berdasarkan data yang
diperoleh dari imaging. Sistem ini menggunakan sistem 8-poin
numerikal untuk menggambarkan lokasi fibroid relatif pada
endometrium (permukaan submukosal) dan permukaan serosal,
dengan angka rendah menandakan lokasi sentral. (Stewart, et al.,
2016) Klasifikasi ini dapat dilihat pada gambar 2.4.

6
Gambar 2.4: Sistem subklasifikasi fibroid. (Stewart, et al., 2016)

Sistem klasifikasi yang telah ditetapkan oleh FIGO diharapkan


dapat lebih mendeskripsikan mioma uteri, terutama pada clinical
trial, sehingga dapat ditentukan mioma uteri yang mana yang
menyebabkan terjadinya perdarahan menstruasi yang berlebihan.
(Stewart, et al., 2016) Sistem subklasifikasi fibroid menurut FIGO
dapat dilihat pada tabel 2.1.

Tabel 2.1: Sistem Subklasifikasi Fibroid


Sistem Subklasifikasi Fibroid
Ukuran dan lokasi fibroid bersifat heterogen. Sebuah sistem staging telah dikembangkan oleh
International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO) yang mengindikasikan lokasi
fibroid relative terhadap permukaan mukosa dan serosa (lihat gambar). Walaupun begitu, klasifikasi
ini tidak mengindikasikan ukuran fibroid dan meremehkan kompleksitas dari penyakit.
 Tipe 0: fibroid bertangkai, lokasinya pada submukosa dan berkembang di dalam kavum
uterus
 Tipe 1: fibroid submukosa, dengan <50% lokasinya intramural
 Tipe 2: fibroid submukosa, dengan ≥50% lokasinya intramural
 Tipe 3: bersentuhan dengan endometrium, dengan lokasinya 100% di intramural
 Tipe 4: fibroid intramural
 Tipe 5: fibroid subserosa, dengan ≥50% lokasinya intramural
 Tipe 6: fibroid subserosa, dengan <50% lokasinya intramural
 Tipe 7: fibroid subserosa bertangkai
 Tipe 8: lainnya (contohnya, cervical atau parasistic)

7
Selain klasifikasi FIGO, terdapat pula klasifikasi lain yang membagi mioma
menjadi 3 tipe berdasarkan lokasinya. Klasifikasi ini membagi mioma uteri menjadi
mioma submukosa, mioma intramural atau insterstisiel, dan mioma subserosa.
(Adriaansz, 2017)
Mioma submukosa menempati lapisan di bawah endometrium dan menonjol
ke dalam kavum uteri. Pengaruhnya pada vaskularisasi dan luas permukaan
endometrium menyebabkan terjadinya perdarahan ireguler. Mioma jenis ini dapat
bertangkai panjang sehingga dapat keluar melalui ostium serviks. Yang harus
diperhatikan dalam menangani mioma bertangkai adalah kemungkinan terjadinya
torsi dan nekrosis sehingga risiko infeksi sangatlah tinggi. (Adriaansz, 2017)
Mioma intramural adalah mioma yang berkembang di antara myometrium.
Mioma jenis ini memiliki pertumbuhan yang terpusat pada dinding uterus (Adriaansz,
2017).
Mioma subserosa adalah mioma yang tumbuh di bawah lapisan serosa uterus
dan dapat bertumbuh ke arah luar dan juga bertangkai. Pertumbuhan lebih lanjut dari
mioma jenis ini dapat membentuk mioma bertangkai yang masuk ke dalam kavum
peritoneal. Mioma jenis ini dapat menjadi lebih besar dibandingkan suplai darahnya
dan mengambil suplai darah sekunder dari organ lain, misalnya omentum, dan
menjadi parasitic myoma. (Lobo, et al., 2017). Kategori mioma uteri dapat dilihat
pada gambar 2.5.

8
Gambar 2.5: Leiomioma dapat dikategorikan seperti di gambar. (Hoffman, et al., 2016)

2.8 Dasar Diagnosis Mioma Uteri


a. Gejala Klinis
Gejala klinik hanya terjadi pada 35-50% penderita mioma. Hampir sebagian
besar penderita tidak mengetahui bahwa terdapat kelainan di dalam uterusnya,
terutama sekali pada penderita dengan obesitas. Keluhan penderita sangat tergantung
pula dari lokasi atau jenis mioma yang diderita. Berbagai keluhan penderita dapat
berupa (Adriaansz, 2017):
 Perdarahan Abnormal Uterus
Perdarahan menjadi manifestasi klinik utama pada mioma dan hal ini terjadi
pada 30% penderita. Bila terjadi secara kronis maka dapat terjadi anemia defisiensi
zat besi dan bila berlangsung lama dan dalam jumlah yang besar maka sulit untuk
dikoreksi dengan suplementasi zat besi. Perdarahan pada mioma submukosa
seringkali diakibatkan oleh hambatan pasokan darah endometrium, tekanan, dan
bendungan pembuluh darah di area tumor (terutama vena) atau ulserasi endometrium
di atas tumor. Tumor bertangkai seringkali menyebabkan thrombosis vena dan
nekrosis endometrium akibat tarikan dan infeksi (vagina dan kavum uteri terhubung
oleh tangkai yang keluar dari ostium serviks). Dismenorea dapat disebabkan oleh
efek tekanan, kompresi, termasuk hipoksia lokal miometrium (Adriaansz, 2017).
 Nyeri
Mioma tidak menyebabkan nyeri dalam pada uterus kecuali apabila
kemudian terjadi gangguan vaskuler. Nyeri lebih banyak terkait dengan proses
degenerasi akibat oklusi pembuluh darah, infeksi, torsi tangkai mioma atau kontraksi
uterus sebagai upaya untuk mengeluarkan mioma subserosa dari kavum uteri. Gejala
abdomen akut dapat terjadi bila torsi berlanjut dengan terjadinya infark atau
degenerasi merah yang mengiritasi selaput peritoneum (seperti peritonitis). Mioma
yang besar dapat menekan rectum sehingga menimbulkan sensasi untuk mengedan.

9
Nyeri pinggang dapat terjadi pada penderita mioma yang menekan persarafan yang
berjalan di atas permukaan tulang pelvis (Adriaansz, 2017).

 Efek Penekanan
Walaupun mioma dihubungkan dengan adanya desakan tekan, tidaklah
mudah untuk menghubungkan adanya penekanan organ dengan mioma. Mioma
intramural sering dikaitkan dengan penekanan terhadap organ sekitar. Parasitic
myoma dapat menyebabkan obstruksi saluran cerna, perlekatannya dengna omentum
menyebabkan strangulasi usus. Mioma serviks dapat menyebabkan sekret
serosanguinea vaginal, perdarahan, dyspareunia, dan infertilitas. (Adriaansz, 2017)
Mioma uteri dapat menyebabkan efek penekanan yang menyebabkan disfungsi
pencernaan dan kandung kemih, termasuk urgensi, peningkatan frekuensi urinasi
pada siang hari dan inkontinensia urin. Distensi abdomen atau distorsi dan penekanan
pelvis terhadap ureter (menyebabkan hidronefrosis) dan pembuluh darah pelvis
(terutama vena pelvis) dapat mengganggu kualitas hidup. (Donnez, 2016)

b. Pemeriksaan Fisik
Pada palpasi, dapat dirasakan uterus yang membesar, keras, dan ireguler.
Diagnosis diferensial yang memenuhi kriteria ini adalah kehamilan, adenomiosis, dan
keganasan ovarium. Untuk membedakan tumor ovarium berukuran besar dan mioma
uteri mungkin sulit jika hanya menggunakan pemeriksaan fisik, karena pembesaran
mioma ke lateral membuat pemeriksaan ovarium saat pemeriksaan pelvis menjadi
tidak mungkin. Mobilitas dari massa pelvis dan apakah massa bergerak sendiri
ataukah sebagai bagian dari uterus dapat membantu diagnosis. (Lobo, et al., 2016)

c. Pemeriksaan Penunjang
Pada wanita usia reproduktif, pembesaran uterus merupakan indikasi untuk
pemeriksaan β–human chorionic gonadotropin (hCG). Pemeriksaan USG dilakukan

10
untuk melihat anatomi pelvis, dan untuk membedakan adanya mioma uteri,
kehamilan maupun massa adneksal. (Stewart, 2015)
USG dapat dilakukan secara transvaginal (transvaginal scan - TVS) maupun
transabdominal (transabdominal scan – TAS); kedua scan memiliki keuntungan dan
limitasi, namun secara umum, TVS lebih sensitif dalam mendeteksi mioma uteri
berukuran kecil dan lebih berguna pada kasus-kasus uterus retrofleksi. Kelemahan
TVS adalah kedalaman scan yang dangkal, sehingga mioma berukuran besar atau
bertangkai tidak terdeteksi oleh probe berfrekuensi tinggi dengan panjang gelombang
yang pendek. (Woźniak, 2017)
Pemeriksaan USG merupakan pemeriksaan gold standard mioma uteri.
(Donnez, 2016) Gambaran mioma uteri pada USG bervariasi mulai hypoechoic
hingga hyperechoic bergantung pada rasio otot polos dan jaringan ikat dan adanya
degenerasi. Adanya kalsifikasi dan degenerasi kistik akan menunjukkan perubahan
pada USG. Kalsifikasi terlihat hyperechoic dan umumnya mengelilingi tumor atau
tersebar secara acak dalam massa. Degenerasi kistik maupun miksoid umumnya
mengisi leiomyoma dengan area hypoechoic atau anechoic multipel, berdinding
halus, bulat, dan ireguler. (Hoffman, 2016)
Untuk membedakan leiomioma dengan adenomiosis yang memiliki gejala
klinis yang sama (pendarahan menstruasi hebat, dysmenorrhea) dapat digunakan
USG untuk menegakkan diagnosis, dimana terdapat kista miometrial (area anechoic
bulat berukuran 1-7 mm), myometrial echotexture yang terdistorsi dan heterogen, dan
myometrial echotexture abnormal yang sulit didefinisikan. (Pontis, 2016). Namun,
leiomioma uteri maupun leiomiosarkoma sulit untuk dibedakan jika hanya
menggunakan modalitas USG; modalitas terbaik untuk membedakan leiomioma dan
leiomiosarkoma adalah MRI diffusion-weighted. (Gaetke-Udager, 2016) Hasil scan
mioma uteri menggunakan TVS dapat dilihat pada gambar 2.6.

11
Gambar 2.6: Sonogram transvaginal dari sebuah leiomioma intramural. (Hoffman, et al.,
2016)
Dalam beberapa kasus, MRI memberikan informasi tambahan pada pasien
dengan penemuan USG yang ambigu. Dengan spesifisitas sebesar 100%, akurasi
sebesar 97%, dan sensitivitas sebesar 86-92%, MRI dapat membantu penegakan
diagnosis leiomyoma. MRI membantu dalam pemeriksaan anatomi uterus dan
ovarium dan perencanaan miomektomi. Pada scan T1 dan T2, leiomyoma nampak
sebagai area dengan sinyal rendah atau intermediate dengan batas tegas. (Woźniak,
2017)

2.9 Tatalaksana Mioma Uteri


Saat mioma uteri pertama kali ditemukan, perlu dilakukan pemeriksaan pelvis
setiap 6 bulan untuk menilai kecepatan pertumbuhannya. Sebagian besar wanita tidak
akan memerlukan operasi, terutama wanita yang berada dalam masa perimeopause,
dimana kondisi biasanya membaik dengan kadar estrogen yang semakin menurun.
(Lobo, 2016)
Kasus dimana terjadi mioma uteri dan pendarahan abnormal harus diperiksa
secara menyeluruh untuk mencari masalah yang lain, misalnya hiperplasia
endometrial. Apabila gejala tidak membaik dengan terapi konservatif, terapi
pembedahan dapat dipertimbangkan. Pilihan antara miomektomi atau histerektomi
biasanya ditentukan oleh usia, paritas, dan rencana pasien untuk memiliki anak.
(Lobo, 2016)

12
a. Terapi Farmakologis
Mioma uteri dapat ditangani dengan mengurangi level estrogen dan
progesterone dalam tubuh. Kombinasi kontrasepsi oral (COC) dan progestin telah
digunakan untuk memicu atrofi endometrium dan menurunkan produksi
prostaglandin pada wanita dengan mioma uteri. Penelitian oleh Friedman dan Thomas
(1995) melaporkan bahwa wanita yang mengkonsumsi COC dalam dosis rendah
memiliki durasi menstruasi yang lebih pendek dan tidak mengalami pembesaran
uterus. (Hoffman, 2016)
Agonis Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) juga digunakan sebagai
terapi mioma uteri. Terapi ini telah digunakan untuk mengecilkan ukuran fibroid dan
mengembalikan kadar hemoglobin pada wanita yang memiliki gejala dengan cara
memicu keadaan hipoestrogenisme dan menopause sementara dengan amenorrhea.
Namun, terapi ini tidak dapat digunakan dalam jangka waktu panjang karena efek
samping, misalnya hot flushes dan kehilangan massa tulang. (Donnez, 2016)
Levonorgestrel-releasing intrauterine system (LNG-IUS) memperbaiki
leiomyoma yang terkait dengan pendarahan menstruasi yang berat. Alat ini juga
merupakan kontrasepsi reversible jangka panjang dengan cara menginduksi atrofi
endometrium. Levonorgestrel juga telah dibuktikan menghambat proliferasi dan
menginduksi apoptosis pada sel fibroid pada penelitian kultur sel, namun tidak ada
reduksi ukuran fibroid secara klinis yang terbukti dengan alat ini. Sayangnya, terdapat
resiko ekspulsi LNG-IUS pada wanita dengan fibroid (12-16% dalam 3 tahun),
meskipun saat ini tidak ada data yang tersedia mengenai konfigurasi fibroid maupun
uterus yang lebih memungkinkan terjadinya ekspulsi alat ini.
Terdapat 4 obat golongan Selective Progesterone Receptor Modulator
(SPRM) yang telah memasuki fase II clinical trial yaitu mifepristone, asoprisnil,
Ulipristal Acetate (UPA) dan telapristone acetate. Semuanya telah terbukti untuk
mengurangi ukuran leiomioma dan mengurangi perdarahan uterus secara dose-
dependent. Mekanisme kerja SPRM untuk mengurangi perdarahan menstruasi pada
wanita dengan fibroid masih belum diketahui, meskipun diduga sel NK uterus
meregulasi perdarahan endometrial dan disupresi oleh asoprisnil. Efek yang diinduksi

13
SPRM pada endometrium dideskripsikan sebagai Progesterone Receptor Modulator
(PRM)-Associated Endometrial Changes (PAECs) terdapat pada hampir 70% pada
akhir terapi telah terbukti benign dan reversibel karena menghilang 2 bulan setelah
akhir terapi. (Donnez, 2016). Obat-obatan yang dapat digunakan sebagai terapi
mioma uteri dapat dilihat pada tabel 2.2.

Tabel 2.2: Rangkuman Pilihan Manajemen Medis pada Pasien dengan Leiomioma Uterus
Golongan Cara Kerja Keuntungan Resiko Efek Samping
Obat
Spotting;
Menghambat Penurunan resiko
Tromboemboli; mastalgia; nyeri
ovulasi; pertumbuhan leiomioma
adenoma kepala;
COC menghambat sebesar 17%; mengurangi
hepatoseluler gangguan
sekresi hormon perdarahan dan
(langka) gastrointestinal
seks. meningkatkan hematokrit
Menghambat
ovulasi dan Hilangnya
Memperbaiki perdarahan
sintesis hormon massa tulang
hingga 70%; amenorrhea Perdarahan
seks; desidualisasi (akibat
dapat muncul hingga irreguler/spottin
Progestogens endometrium, penggunaan
30%; dapat menurunkan g, kista ovarium
menginduksi depot MPA
volume uterus hingga folikuler
keadaan dalam jangka
50%
“pseudopregnanc waktu panjang)
y”
Mengurangi intensitas
Atrofi perdarahan hingga 99%; Ekspulsi alat Kista ovarium;
LNG-IUS
endometrium mengurangi volume jerawat
uterus hingga 40%
Massa tulang
Hot flashes
Hipoestrogen Volume uterus menurun yang
(>90%); atropi
akibat inhibisi hingga 50%; angka menghilang
GnRH-a vagina; nyeri
sekresi kejadian amenorrhea akibat
kepala;
gonadotropin tinggi penggunaan
gangguan mood
jangka panjang
Menghambat Keamanan Perubahan
ovulasi; Memperbaiki perdarahan endometrium endometrium
menginhibisi hingga pada 98% pasien; pada jangka jinak setelah
SPRM
kerja progesteron mengurangi volume panjang belum penggunaan
pada jaringan fibroid hingga 53% diketahui jangka pendek
fibroid
Diambil dari: Moroni RM, Vieria CS, Ferriani RA, et al. Pharmacological treatment of uterine
fibroids. Ann Med Health Sci Res. 2014;4(Suppl3):S185-S192.

14
COC, combined oral contraceptive; GnRH-a, gonadotropin-releasing hormone analog; LNG-IUS,
levonorgestrel-releasing intrauterine system; MPA, medroxyprogesterone acetate; SPRM, selective
progesterone receptor modulators.

b. Terapi Non-Farmakologis
Miomektomi merupakan pilihan terapi bagi wanita dengan mioma uterus tipe
0 atau tipe 1 disertai perdarahan. (Stewart, 2016) Ketika miomektomi dilakukan
untuk mempertahankan fertilitas, perlu dilakukan perawatan yang baik untuk
menghindari adhesi yang dapat membahayakan fertilitas. Indikasi klasik untuk
miomektomi antara lain pendarahan abnormal persisten, nyeri atau rasa tertekan, atau
pembesaran dari mioma asimptomatik hingga lebih dari 8 cm pada wanita yang
belum memiliki anak. Kontraindikasi miomektomi antara lain kehamilan, penyakit
adneksa yang sudah advanced, keganasan, dan keadaan dimana jika mioma diangkat
akan mengurangi permukaan endometrium secara ekstrem sehingga uterus tidak
fungsional lagi. (Lobo, 2016)
Indikasi untuk histerektomi pada mioma sama dengan indikasi pada
miomektomi, dengan beberapa indikasi tambahan. Beberapa ginekologis melakukan
histerektomi pada mioma asimptomatik yang telah mencapai ukuran kandungan
seperti usia kehamilan 14-16 minggu. (Lobo, 2016)
Terapi lainnya dapat berupa intervensi radiologis, yaitu Uterine Artery
Embolization (UAE) dan Magnetic Resonance-guided Focused Ultrasound
(MRgFUS). UAE merupakan prosedur angiografi intervensi yang membawa
polyvinyl alcohol microsphere atau emboli partikel sintetik ke kedua arteri uterina.
Aliran darah uterus menjadi terhambat, sehingga terjadi iskemia dan nekrosis.
Microsphere ini diarahkan ke tumor sehingga menghindari miometrium di
sekelilingnya. Sedangkan MRgFUS menggunakan energi ultrasound untuk
memanaskan dan memicu nekrosis pada mioma. (Stewart, 2016)

15
Gambar 2.8: Pilihan terapi operasi untuk gejala terkait mioma dengan atau tanpa pendarahan
menstruasi berat. Berbagai pilihan terapi tersedia bagi para wanita dengan gejala sesuai dengan ukuran
fibroid. Bagi para wanita yang masih ingin hamil, miomektomi seringkali merupakan pilihan pertama
terapi (a). Fibroid dieksisi, dan uterus dibiarkan intak dan volume uterus dikurangi. Prosedur ini dapat
dilakukan terbuka (dengan insisi abdominal), laparaskopi atau dibantu oleh robot. Terdapat pula
uterine artery embolization (b), dimana suplai darah ke fibroid dihambat, pilihan terapi uterine-
sparing lainnya termasuk operasi ablasi radiofrekuensi dan magnetic resonance-guided focused
ultrasonography (c) dimana energi ultrasound yang terfokus mentarget fibroid. Kedua teknik ini
(uterine artery embolization dan focused ultrasonography) mengecilkan dan melembutkan fibroid
untuk mengurangi morbiditas. Histerektomi tetap merupakan pilihan bagi wanita yang gagal dengan
terapi primer atau memiliki penyakit lainnya (d) (Stewart, 2016)

2.10 Komplikasi Mioma Uteri


Bila terjadi perubahan pasokan darah selama pertumbuhannya, maka mioma
dapat mengalami perubahan sekunder atau degeneratif sebagai berikut
(Prawirohardjo, 2014).:
A. Degenerasi Jinak
 Atrofi: ditandai dengan pengecilan tumor yang umumnya terjadi setelah
persalinan atau menopause. (Prawirohardjo, 2014).
 Hialin: terjadi pada mioma yang telah matang atau “tua” di mana bagian yang
semula aktif tumbuh kemudian terhenti akibat kehilangan pasokan nutrisi dan

16
berubah warnanya menjadi kekuningan, melunak atau melebur menjadi cairan
gelatin sebagai tanda terjadinya degenerasi hialin. (Prawirohardjo, 2014).
 Kistik: setelah mengalami hialinisasi, hal tersebut berlanjut dengan cairnya
gelatin sehingga mioma konsistensinya menjadi kistik. Adanya kompresi atau
tekanan fisik pada bagian tersebut dapat menyebabkan keluarnya cairan kista
ke kavum uteri, kavun peritoneum, atau retroperitoneum. (Prawirohardjo,
2014).
 Kalsifikasi: disebut juga degenerasi kalkareus yang umumnya mengenai
mioma subserosa yang sangat rentan terhadap defisit sirkulasi yang dapat
menyebabkan pengendapan kalsium karbonat dan fosfat di dalam tumor.
 Septic: defisit sirkulasi dapat menyebabkan mioma mengalami nekrosis di
bagian tengah tumor yang berlanjut dengan infeksi yang ditandai dengan
nyeri, kaku dinding perut, dan demam akut. (Prawirohardjo, 2014).
 Kaneus: disebut juga degenerasi merah yang diakibatkan oleh thrombosis
yang diikuti dengan terjadinya bendungan vena dan perdarahan sehingga
menyebabkan perubahan warna mioma. Degenerasi jenis ini, seringkali terjadi
bersamaan dengan kehamilan karena kecepatan pasokan nutrisi bagi hipertrofi
miometrium lebih diprioritaskan sehingga mioma mengalami defisit pasokan
dan terjadi degenerasi aseptik dan infark. Degenerasi ini disertai rasa nyeri
tetapi akan menghilang sendiri. Terhadap kehamilannya sendiri, dapat terjadi
partus prematurus atau koagulasi diseminata intravaskuler. (Prawirohardjo,
2014).
 Miksomatosa: disebut juga degenerasi lemak yang terjadi setelah proses
degenarasi hialin dan kistik. Degenerasi ini sangat jarang dan umumnya
asimtomatik. (Prawirohardjo, 2014).

B. Degenerasi Ganas
 Transformasi kearah keganasan (menjadi miosarkoma) terjadi pada 0,1% -
0,5% penderita mioma uteri (Prawirohardjo, 2014).

17

Anda mungkin juga menyukai