Anda di halaman 1dari 15

BAHAN BACAAN

Al-Qur’an Sebagai Sumber dan Dalil Hukum


a.         Pengertian Al-Qur’an
Menurut sebagian besar ulama, kata Al-Qur’an berdasarkan segi bahasa merupakan
bentuk mashdar dari kata qara’a, yang bisa dimasukkan pada wajan fu’lan, yang berarti
bacaan atau apa yang tertulis padanya maqru’, seperti terdapat dalam surat Al-Qiyamah (75):
17-18: [5]

Artinya:“Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan


(membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka
ikutilah bacaannya itu.” (QS. Al-Qiyamah: 17-18)
Al-Qur’an menurut bahasa berarti “bacaan” dan menurut istilah Ushul Fiqih berarti
“kalam (perkataan) Allah yang diturunkan-Nya dengan perantaraan Malaikat Jibril kepada
Nabi Muhammad SAW. dengan bahasa Arab serta dianggap beribadah membacanya”.[6]
Al-Qur’an merupakan nama kitab suci yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad
SAW yang dalam kajian Ushul Fiqih disebut juga dengan al-Kitab, sebagaimana terdapat
dalam surat Al-Baqarah: 2: [7]
  
Artinya: “Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang
bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah : 2)
Al-Qur’an adalah perkataan Allah yang diturunkan oleh Ruhul Amin ke dalam hati
Rasulullah Muhammad bin Abdullah, dengan lafadz bahasa Arab berikut artinya agar supaya
menjadi hujjah bagi Rasulullah SAW bahwa dia adalah seorang utusan Allah SWT. Menjadi
undang-undang dasar bagi orang- orang yang mendapat petunjuk dengan petunjul Allah.
Dengan membaca Al-Qur’an itulah maka orang menghampirkan diri kepada Allah dan
menyembahnya.[8]
Dalam kajian ushul fiqih, Al-Qur’an juga disebut dengan beberapa nama  seperti :
1.        Al-Kitab, artinya tulisan atau buku. Arti ini mengingatkan pada kita kaum muslimin agar Al-
Qur’an dibukukan atau ditulis menjadi suatu buku.
2.        Al-Furqan, artinya pembeda. Hal ini mengingatkan pada kita bahwa agar dalam mencari
garis pemisah antara yang hak dan yang batil, yang baik dan buruk haruslah merujuk
padanya.
3.        Al-Zikr, artinya ingat. Artinya menunjukkan bahwa Al-Qur’an berisi peringatan agar
tuntutannya selalu diingat dalam melakukan setiap tindakan.
4.        Al-Huda, artinya petunjuk. Arti ini mengingatkan bahwa petunjuk tentang kebenaran
hanyalah petunjuk yang diberikannya atau yang mempunyai rujukan kepada Al-Qur’an.

Dari segi terminologi, Al-Qur’an adalah kalam Allah berbahasa Arab yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW, dengan perantara Malaikat Jibril serta diriwayatkan secara
mutawatir dan tertulis dengan mushaf. Para Ulama Ushul fiqih antara lain mengemukakan
bahwa:
1.        Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad SAW. apabila
bukan kalam Allah dan tidak diturunkan kepada Muhammad maka tidak dinamakan Al-
Qur’an melainkan Jabur, Taurat atau Injil. Ketiga kitab ini merupakan kalam Allah tapi tidak
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
2.        Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab.
3.        Al-Qur’an dinukilkan kepada beberapa generasi sesudahnya secara mutawatir (dituturkan
oleh orang banyak kepada orang banyak sampai sekarang).
4.        Membaca setiap kata dalam Al-Qur’an itu mendapat pahala dari Allah, baik bacaan itu
berasal dari hafalan sendiri maupun dibaca langsung dari mushaf Al-Qur’an.
5.        Ciri terakhir dari Al-Qur’an yang dianggap suatu kehati-hatian bagi para ulama untuk
membedakan Al-Qur’an dengan kitab-kitab lainnya adalah bahwa Al-Qur’an itu dimulai dari
surat al-fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas.[9]

b.         Pokok-Pokok Isi Al-Qur’an


Ada lima pokok-pokok isi Al-Qur’an yaitu sebagai berikut:
1.        Tauhid (meesakan Tuhan)
Termasuk didalamnya semua kepercayaan terhadap alam ghaib. Tauhid adalah tujuan yang
terpenting dari agama, karena semua manusia waktu diturunkan Al-Qur’an adalah
penyembah berhala, meskipun sebagiannya ada yang mengesakan Tuhan, tetapi jumlahnya
sedikit sekali.
2.        Ibadah, sebagai perbuatan yang menghidupkan tauhid dalam hati dan meresapkannya
kedalam jiwa.
3.        Janji dan ancaman
Al-Qur’an menjanjikan pahala bagi orang yang mau menerima isi Al-Qur’an dan mengancam
mereka yang mengingkarinya dengan siksa. Janjinya berlaku bagi orang perorangan maupun
bagi sesuatu bangsa keseluruhannya, baik janji itu mengenai kenikmatan dunia maupun
kenikmatan akhirat.
4.        Jalan-jalan mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Karena itu, Al-Qur’an berisi peraturan-
peraturan dan hukum-hukum tersebut ada yang mengatur perhubungan manusia dengan
Tuhan. Adapula yang mengatur perhubungan manusia sesame manusia.
5.        Riwayat dan ceritera
Yaitu sejarah orang-orang yang mau tunduk kepada agama Allah dan mau menjalankan
hukum-hukumnya, yaitu para nabi-nabi, rasul-rasul, dan orang-orang shaleh. Juga sejarah
mereka yang mengingkari agama Allah dan hukum-Nya. Maksud riwayat dan cerita tersebut,
ialah untuk menjadi tauladan bagi orang-orang yang hendak mencari kebahagiaan.[10]

c.         Dasar Umum dalam Memahami Makna Al-Qur’an


Ada 4 prinsip dasar yang umum dalam memahami makna Al-Qur’an, yaitu:
1.        Al-Qur’an merupakan keseluruhan syariat dan sendinya yang fundamental. Setiap orang
yang ingin mencapai hakikat agama dan dasar-dasar syariat, harus menempatkan Al-Qur’an
sebagai pusat tepat berputarnya dalil lain dan sunnah sebagai pembantu untuk memahaminya.
2.        Sebagian besar ayat-ayat hukum turun karena ada sebab yang menghendaki penjelasannya,
oleh karena itu, setiap orang yang ingin mengetahui isi Al-Qur’an secara tepat perlu
mengetahui sebab turunnya ayat.
3.        Setiap berita  kejadian masa lalu yang diungkapkan Al-Qur’an, jika terjadi penolakkan baik
sebelum  atau sesudahnya, maka penolakkannya tersebut menunjukkan secara pasti bahwa isi
berita itu sudah dibatalkan.
4.        Kebanyakan hukum-hukum yang diberitahukan oleh Al-Qur’an  bersifat kulli (pokok yang
berdaya cukup luas) tidak rinci (disebutkan setiap pristiwa, objektif) seperti terungkap dari
penelitian.[11]

d.         Kedudukan Al-Qur’an Sebagai Sumber dan Dalil Hukum


Kedudukan Al-Qur’an adalah sebagai Kitabullah yang ayat-ayat dan surat-suratnya
saling berhubungan dan berkaitan satu sama lain sehingga merupakan satu kesatuan yang
serasi, dan merupakan bacaan bagi kaum muslimin.[12] Selain itu juga sebagai sumber pokok
atau utama dalam pembinaan Islam yaitu sebagai sumber dari segala sumber hukum.
Ahli ushul fiqih mengatakan bahwa Al-Qur’an menduduki sumber dan dalil pertama
hukum syara’ yang berarti dalam menetapkan hukum, pertama harus mencari jawabannya
dalam Al-Qur’an setelah tidak menemukannya baru mencari dari sumber dan dalil yang
lainnya dibawahnya. Dalam kedudukannya sebagai sumber hukum yang pertama, ia
merupakan sumber dari segala sumber hukum oleh karena itu, hukum-hukum yang ditetapkan
melalui dalil dan sumber lain tidak boleh bertentangan dengan apa yang ditetapkan oleh Al-
Qur’an.[13]

e.         Cara Al-Qur’an Dalam Menetapkan Hukum


Al-Qur’an diturunkan untuk memperbaiki sikap hidup manusia. Karena itu Al-Qur’an
berisi perintah dan larangan, Al-Qur’an memerintahkan yang baik dan   melarang yang keji.
Didalam mengerjakan perintah dan larangan, Al-Qur’an selalu berpedoman pada tiga hal :
1.        Tidak memberatkan atau menyusahkan
Misalnya, mengqasar shalat (dari empat rakaat menjadi dua rakaat, dalam perjalanan), tidak
berpuasa bagi musafir, bertayamum sebagai ganti air berwudhu, memakan makanan yang
terlarang dalam keadaan darurat.
2.        Tidak memperbanyak beban/ tuntutan
Misalnya, zakat karena hanya diwajibkan bagi orang yang mampu saja, dan lain-lain.
3.        Berangsur-angsur dalam mensyari’atkan sesuatu
Misalnya, pengharaman minuman keras prosesnya sampai tiga kali, kemudian diputuskan
tidak boleh.[14]

f.          Kehujjahan Al-Qur’an


Kehujjahan Al-Qur’an menurut pandangan ulama imam mazhab antara lain sebagai
berikut:
1.    Pandangan Imam Abu Hanifah
Imam Hanafiah sependapat dengan jumhur ulama bahwa Al-Qur’an merupakan sumber
hukum Islam. Namun, menurut sebagian besar ulama, Imam Abu Hanifah berbeda pendapat
dengan jumhur ulama, mengenai Al-Qur’an itu mencakup lafazh dan maknanya atau
maknanya saja.
2.    Pandangan Imam Malik
Menurut Imam Malik hakikat Al-Qur’an adalah kalam Allah yang lafazh dan maknaya dari
Allah SWT. Ia bukan makhluk karena kalam Allah termasuk sifat Allah. Sesuatu yang
termasuk sifat Allah tidak dikatakan makhluk, bahkan dia memberikan predikat kafir
terhadap orang yang menyatakan Al-Qur’an itu makhluk. Dengan demikian Imam Malik
mengikuti ulama salaf (sahabat dan tabi’in) yang membatasi pembahasan Al-Qur’an .
3.    Pandangan Imam Asy-Syafi’i
Asy-Syafi’i menganggap bahwa Al-Qur’an tidak bisa dilepaskan dari As-Sunnah (Hadits),
karena kaitan antara keduanya sangat erat. Dan seakan-akan beliau menganggap keduanya
berada pada satu martabat, namun kedudukan As-Sunnah itu adalah setelah Al-Qur’an. 
4.        Pandangan Imam Ahmad Ibnu Hambal
Ahmad Ibnu Hambal berpendapat bahwa Al-Qur’an itu sebagai sumber pokok Islam,
kemudian disusun oleh As-Sunnah. Namun, seperti halnya Imam Asy-Syafi’i, Imam Ahmad
memandang bahwa As-Sunnah mempunyai kedudukan yang kuat di samping Al-Qur’an,
sehingga tidak jarang beliau menyebutkan bahwa sumber hukum itu adalah nash, tanpa
menyebutkan Al-Qur’an dahulu atau As-Sunnah dahulu, tetapi yang dimaksud nash tersebut
adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. [15]

Hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an menurut para ulama fiqih terdiri atas:
1.        Hukum-hukum I’tiqat, yaitu hukum yang mengandung kewajiban para mukallaf untuk
mempercayai Allah, Malaikat, Rasul, Kitab, dan Hari Kiamat.
2.        Hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak dalam mencapai keutamaan pribadi mukallaf.
3.        Hukum-hukum praktis yang berkaitan dengan hubungan antara manusia dengan Penciptanya
dan antara sesama manusia. Hukum-hukum praktis ini dibagi menjadi:
a)        Hukum yang berkaitan dengan ibadah.
b)        Hukum yang berkaitan dengan mu’amalah.
c)        Hukum yang berkaitan dengan masalah pidana.
d)       Hukum yang berkaitan dengan masalah peradilan.
e)        Hukum yang berkaitan dengan masalah ke tatanegaraan.
f)         Hukum yang berkaitan dengan hubungan antarnegara.
g)        Hukum yang berkaitan dengan masalah ekonomi. [16]
Para ulama ushul fiqih menetapkan bahwa Al-Qur’an sebagai sumber utama hukum
Islam telah menjelaskan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya dengan cara:
1.        Penjelasan rinci (juz’i) terhadap sebagian hukum-hukum yang dikandungnya, seperti yang
berkaitan dengan masalah ‘aqidah, hukum waris, hukum yang terkait dengan masalah pidana
hudud, dan kaffarat. Hukum ini menurut ahli ushul fiqih disebut sebagai hukum ta’abbudi.
2.        Penjelasan Al-Qur’an terhadap sebagian besar hukum itu bersifat kulli, umum, dan mutlak.
Rasulullah SAW melalui Sunnahnya, bertugas menjelaskan, mengkhususkan dan
membatasinya.
Kaum muslimin sepakat bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum syara’. Mereka
pun sepakat bahwa semua ayat Al-Qur’an dari segi wurud (kedatangan) dan tsubut
(penetapannya) adalah qath’i. hal ini karena semua ayatnya sampai kepada kita dengan jalan
mutawatir.[17] Akan tetapi, hukum-hukum yang dilandung Al-Qur’an adakalanya bersifat
qath’i dan adakalanya bersifat zhanni.[18]
Adapun ditinjau dari segi dilalah-nya, ayat-ayat Al-Qur’an itu dapat dibagi dalam dua
bagian: [19]
1.        Nash yang qath’i dilalah-nya
Yaitu nash yang tegas dan jelas maknanya, tidak bisa di-takwil, tidak mempunyai makna
yang lain, dan tidak tergantung pada hal-hal laindi luar nash itu sendiri.
2.        Nash yang zhanni dilalah-nya
Yaitu nash yang menunjukkan suatu makna yang dapat di-takwil, atau nash yang mempunyai
makna lebih dari satu, baik karena lafazhnya musytarak (homonim) ataupun karena susunsn
kata-katanya dapat dipahami dengan berbagai cara, separti dilalah isyarat-nya, iqtidha-nya,
dan sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai