Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH VASKULER DARAH

NAMA :

HERNANDY PRATAMA KRISNA AJI(1803051)


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang maha esa, yang telah melimpahkan
rahmat dan anugerahNya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah “trikuspid stenosis”
untuk memenuhi tugas mata kuliah kardiovaskuler,

Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan disana sini,
maka kami mohon saran dan kritik untuk kebaikan penulisan di masa yang akan datang

Kepada semua pihak yang telah membantu hingga terselesaikanya makalah ini, tidak lupa
kami mengucapkan banyak terimakasih

Penyusun
Daftar isi
COVER.......................................................................................................................................................1
KATA PENGANTAR.......................................................................................................................................2
BABI.............................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN...........................................................................................................................................4
BAB II...........................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN.............................................................................................................................................6
BAB III........................................................................................................................................................34
PENUTUP...................................................................................................................................................34
BABI
PENDAHULUAN

Menurut Undang-Undang RI. No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Kesehatan adalah
keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup secara
produktif secara sosial dan ekonomi.
Menurut WHO, kesehatan adalah kondisi dinamis meliputi kesehatan jasmani, rohani,
sosial, dan tidak hanya terbebas dari penyakit, cacat, dan kelemahan. Dikatakan sehat secara
fisik adalah orang tersebut tidak memiliki gangguan apapun secara klinis. Fungsi organ
tubuhnya berfungsi secara baik, dan dia memang tidak sakit. Sehat secara mental/psikis
adalah sehatnya pikiran, emosional, maupun spiritual dari seseorang.
Ada suatu kasus seseorang yang memeriksakan kondisi badannya serba tidak enak, akan
tetapi secara klinis/hasil pemeriksaan dokter menunjukan bahwa orang tersebut tidak sakit,
hal ini bisa disebabkan karena orang tersebut mengalami gangguan secara mental/psikis yang
mempengaruhi keadaan fisiknya. Contoh orang yang sehat secara mental adalah tidak autis,
tidak stress, tidak mengalami gangguan jiwa akut, tidak mempunyai masalah yang
berhubungan dengan kejiwaan, misalnya kleptomania, psikopat, dan lain-lain. Penderita
penyakit hati juga merupakan contoh dari orang yang tidak sehat mentalnya, karena tidak ada
seorang dokter bedah jantung sekalipun yang bisa menghilangkan penyakit ini dengan
peralatan bedahnya.
Sedangkan dikatakan sehat secara social adalah kemampuan seseorang untuk berinteraksi
dengan lingkungan di mana ia tinggal. Contoh orang yang tidak sehat sosial diantaranya
adalah seorang Wanita Tuna Susila (WTS). Kemudaian orang dengan katagori sehat secara
ekonomi adalah orang yang produktif, produktifitasnya mengantarkan ia untuk bekerja dan
dengan bekerja ia akan dapat menunjang kehidupan keluarganya

A. Latar Belakang Masalah


Stenosis trikuspid adalah kondisi di mana katup jantung tidak terbuka cukup lebar
(stenosis). Katup trikuspid adalah katup antara atrium kanan dan ventrikel kanan jantung.
Katup akan terbuka bila atrium berkontraksi untuk memompa darah ke ventrikel, menutup
ketika ventrikel berkontraksi untuk mencegah darah mengalir kembali ke atrium.
Katup menyempit berarti darah tidak dapat mengalir dengan mudah. Atrium bekerja lebih
keras dan menjadi lebih besar dan tidak berfungsi secara efektif mengalirkan darah ke
ventrikel kanan (gagal jantung).
Saat ini tidak ada penelitian mengenai kelompok yang sering menderita stenosis
trikuspid. Biasanya mereka yang memiliki demam rematik akan berisiko mengalami stenosis
trikuspid.
Stenosis trikuspidalis umumnya lebih sering dijumpai pada perempuan dari pada laki-
laki. Stenosis trikuspidalis tidak terjadi sebagai lesi tersendiri, biasanya masih berhubungan
dengan regurgitasi mitral. Stenosis trikuspidalis yang significant terdapat pada 5- 10 persen
pasien dengan stenosis mitral parah.
Gejala stenosis trikuspid biasanya diawali dulu oleh gejala stenosis mitral. Secara
karakteristik, pasien akan mengeluh dispnea relatif ringan untuk derajat hepatomegali, asites
dan edema yang ditunjukkan oleh pasien. Kelelahan sekunder terhadap curah jantung yang
rendah dan gangguan akibat edema refrekter, asites dan hepatomegali yang mencolok umum
terjadi pada pasien stenosis trikuspidalis dan regurgitasi.
Pada beberapa pasien, stenosis trikuspidalis akan dicurigai untuk pertama kalinya jika
gejala ventrikel kanan tetap berlangsung setelah vulvotomi mitral yang memadai. Stenosis
trikuspidalis yang parah, berhubungan dengan kongesti hati yang mencolok, sering
menyebabkan sirosis hati, ikterus, malnutrisi serius, anasarka dan asites. (IPD Harrison).

B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dirumuskan : apa itu stenosis trikuspid dan apa
hubunganya dengan kardio vaskuler serta bagaimana tindakan penanganannya.

C. Tujuan penulisan
1. Tujuan Umum
Sebagai tugas Mata Kuliah Kardiovaskuler
2. Tujuan Khusus
Untuk mengetahui lebih jauh tentang stenosis trikuspid dan hubunganya dengan kardio
vaskuler serta tindakan penangannya
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kajian Teori
1. Definisi
Penyakit kardiovaskular atau cardiovascular disease (CVD) adalah penyakit yang
berkaitan dengan jantung dan pembuluh darah.[1] Penyakit kardiovaskular yang umum
adalah: penyakit jantung iskemik (ischemic heart disease) (IHD), stroke, penyakit jantung
akibat tekanan darah tinggi (hypertensive heart disease), penyakit jantung rematik (rheumatic
heart disease) (RHD), pembesaran aorta (aortic aneurysm), cardiomyopathy, atrial
fibrillation, penyakit jantung bawaan (congenital heart disease), endocarditis, dan peripheral
artery disease (PAD).Mekanisme yang mendasari bervariasi tergantung dari penyakitnya.
Penyakit jantung iskemik, stroke, dan PAD melibatkan atherosclerosis. Hal ini disebabkan
oleh tekanan darah tinggi, merokok, diabetes, kurang bergerak (lack of exercise),
kegemukan, kolesterol tinggi, diet tak seimbang, minum alkohol secara berlebihan. Tekanan
darah tinggi menyebabkan 13% kematian akibat CVD, sedangkan tembakau 9%, diabetes
6%, kurang bergerak 6% dan kegemukan 5%. Yang lainnya seperti
RHD diakibatkan tidak diobatinya infeksi tenggorokan yang terkena bakteri
streptococcal. Diperkirakan 90% CVD dapat dicegah. [3] Pencegahan atherosclerosis
dilakukan dengan mengurangi faktor-faktor risiko melalui: makanan yang sehat, banyak
gerak, menghindari merokok dan membatasi minum alkohol. [1] Mengobati tekanan darah
tinggi dan diabetes juga memberikan manfaat. [1] Mengobati pasien dengan tenggorokan
yang terinfeksi streptococcus dengan antibiotik juga dapat mengurangi risiko RHD. [4] Efek
penggunaan aspirin pada orang yang sehat tidak memberikan manfaat yang jelas. [5][6]
USPSTF merekomendasikan penggunaanya untuk pencegahan pada wanita berusia kurang
dari 55 tahun dan pria berusia kurang dari 45 tahun; bagaimanapun, pada mereka yang lebih
lanjut usia juga direkomendasikan untuk beberapa individu tertentu. [7] Pengobatan pada
mereka yang menderita CVD memberikan hasil yang lebih baik.
Penyakit kardiovaskular adalah penyebab utama kematian di dunia. [1] Hal ini benar
untuk semua tempat di dunia, kecuali Afrika. [1] Terjadi 17,3 juta kematian (31.5%) pada
tahun 2013 meningkat dari 12,3 juta (25.8%) pada tahun 1990. [2] Pada umur tertentu,
tingkat kematian akibat CVD menjadi umum dan meningkat di negara-negara berkembang,
sedangkan tingkat tersebut menurun di kebanyakan negara-negara yang sudah maju sejak
tahun 1970. [8][9] IHD dan stroke mengambil porsi 80% dari kematian akibat CVD pada
laki-laki dan 75% pada wanita. [1] Banyak penyakit kardiovaskular terjadi pada orang yang
lebih tua. Di Amerika Serikat 11% masyarakat berusia antara 20 dan 40 menderita CVD,
sedangkan 37% berusia antara 40 dan 60, 71% berusia antara 60 dan 80, dan 85% dari
masyarakat berusia 80 tahun ke atas menderita CVD. [10] Rata-rata kematian akibat IHD di
negara-negara maju adalah sekitar 80 tahun, sedangkan di negara-negara berkembang adalah
68 tahun. [8] Penyakit ini muncul 7 sampai 10 tahun lebih awal pada pria dibandingkan
wanita.
2. Anatomi Vaskuler

1) Jantung
Jantung merupakan organ muskuler yang dapat berkontraksi secara ritmis, dan berfungsi
memompa darah dalam sistem sirkulasi. Secara struktural dinding jantung terdiri atas 3
lapisan (tunika) yaitu,
1. Endokardium terletak pada lapisan subendotel. Sebelah dalam dibatasi oleh endotel.
Endokardium tersusun atas jaringan penyambung jarang dan banyak mengandung vena,
syaraf (nervus), dan cabang-cabang sistem penghantar impuls.
2. Miokardium terdiri atas sel-sel otot jantung. Sel-sel otot jantung dibagi dalam 2
kelompok; sel-sel kontraktil dan sel-sel yang menimbulkan dan menghantarkan impuls
sehingga mengakibatkan denyut jantung.
3. Epikardium merupakan membran serosa jantung, membentuk batas visceral perikardium.
Sebelah luar diliputi oleh epitel selapis gepeng (mesotel). Jaringan adiposa yang
umumnya meliputi jantung terkumpul dalam lapisan ini.
Katup-katup jantung terdiri atas bagian sentral yang terdiri atas jaringan fibrosa padat
menyerupai aponeurosis yang pada kedua permukaannya dibatasi oleh lapisan endotel.
Persyarafan jantung tersusun atas sistem yang menimbulkan dan menghantarkan impuls pada
jantung. Sistem yang menimbulkan dan menghantarkan impuls dari jantung terdiri atas
beberapa struktur yang memungkinkan bagi atrium dan ventrikel untuk berdenyut secara
berurutan dan memungkinkan jantung berfungsi sebagai pompa yang efisien. Sistem ini
terdiri atas:
a. Simpul sinoatrial (dari Keith dan Flack) sebagai alat pacu (pace maker) jantung.
b. Simpul atrioventrikuler (dari Tawara).
c. Juga terdapat berkas atrioventrikuler (berkas His) yang berasal dari simpul
atrioventrikuler dan berjalan ke ventrikel, bercabang dan mengirimkan cabang cabang ke
kedua ventrikel. Otot jantung mempunyai kemampuan autostimulasi, tidak tergantung
dari impuls syaraf. Sel-sel otot jantung yang telah diisolasi dapat berdenyut dengan
iramanya sendiri. Pada otot jantung, sel-sel ini sangat erat berhubungan dan terjadi
pertukaran informasi dengan adanya gap junction pada discus interkalaris. Bagian
parasimpatis dan simpatis sistem autonom mempersyarafi jantung membentuk pleksus-
pleksus yang tersebar luas pada basis jantung. Pada daerah-daerah yang dekat dengan
simpul sinoatrial dan atrioventrikuler, terdapat sel-sel Handout Mikroskopi Anatomi
Sistem Sirkulasi 2 syaraf ganglion dan serabut-serabut syaraf. Syaraf-syaraf ini
mempengaruhi irama jantung, dimana perangsangan bagian parasimpatis (nervus vagus)
menimbulkan perlambatan denyut jantung, sedangkan perangsangan syaraf simpatis
mempercepat irama pace maker.

2) Pembuluh Darah
Pembuluh darah terdiri atas lapisan-lapisan sebagai berikut:
1. Tunika intima (tunika interna) terdiri atas selapis sel endotel yang membatasi permukaan
dalam pembuluh. Di bawah endotel adalah lapisan subendotel, terdiri atas jaringan
penyambung jarang halus yang kadang-kadang mengandung sel otot polos yang berperan
untuk kontraksi pembuluh darah.
2. Tunika media terdiri dari sel-sel otot polos yang tersusun melingkar (sirkuler). Pada
arteri, tunika media dipisahkan dari tunika intima oleh suatu membrane elastik interna.
Membran ini terdiri atas elastin, biasanya berlubang-lubang sehingga zat-zat dapat
berdifusi melalui lubang-lubang yang terdapat dalam membran dan memberi makan pada
sel-sel yang terletak jauh di dalam dinding pembuluh. Pada pembuluh besar, sering
ditemukan membrana elstika externa yang lebih tipis yang memisahkan tunika media dari
tunika adventitia yang terletak di luar.
3. Tunika adventitia terdiri atas jaringan penyambung dengan serabut-serabut elastin. Pada
pembuluh yang lebih besar, vasa vasorum (pembuluh dalam pembuluh) bercabang-
cabang luas dalam adventitia.
4. Vasa vasorum memberikan metabolit-metabolit untuk adventitia dan tunika media
pembuluh-pembuluh besar, karena lapisan-lapisannya terlalu tebal untuk diberi makanan
oleh difusi dari aliran darah.

3) Aorta
1. Tunica intima: endothelium - sel berbentuk poligonal selapis, subendothelium - serabut
elastis, kolagen, fibroblast, sel-sel otot polos. Serabut elastis membentuk membrana
elastica interna, tidak sejelas pada arteri ukuran medium, dan terlihat berlubang-lubang.
2. Tunica media: membrana fenestrata - dibentuk oleh serabut elastis, sel-sel otot polos
tampak pada jaringan ikat diantara membrana fenestrata.
3. Tunica adventitia: jaringan ikat longgar tipis vasa vasorum

4) Arteri
Berdasarkan ukurannya, arteri dapat diklasifikasikan menjadi :
1. arteri besar atau arteri elastis;
2. arteri ukuran sedang, arteri muskuler, dan
3. arteriola.

1. Arteri besar (arteri elastin) termasuk aorta dan cabang-cabang besarnya.


Arteri jenis ini mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
1.1. Intima, dibatasi oleh sel-sel endotel. Pada arteri besar membrana basalis
subendotel kadang-kadang tidak terlihat. Membrana elastika interna tidak selalu
ada.
1.2. Lapisan media terdiri atas serangkaian membran elastin yang tersusun
konsentris.
1.3. Tunika Handout Mikroskopi Anatomi Sistem Sirkulasi 3 adventitia tidak
menunjukkan membrana externa, relatif tidak berkembang dan mengandung
serabut-serabut elastin dan kolagen.
2. Arteri ukuran sedang dan kecil memiliki lapisan muskuler yang tebal. Sel-sel ini
bercampur dengan sejumlah serabut elastin serta kolagen dan proteoglikan.
3. Arteriola merupakan pembuluh arteri yang paling kecil (halus), bergaris tengah kurang
dari 0,5 mm dan relatif mempunyai lumen yang sempit. Memiliki tunika intima dengan
tanpa lapisan subendotel dan umumnya tidak mempunyai membrana elastik interna.
Lapisan media adalah lapisan sel-sel otot polos yang tersusun melingkar. Lapisan
adventitia tipis, tidak berkembang dengan baik dan tidak menunjukkan adanya membrana
elastik externa.

5) Histofisiologi Arteri
Arteri besar juga dinamakan pengangkut karena fungsi utamanya adalah mengangkut
darah. Fungsi arteri ukuran sedang sebagai arteri penyalur yaitu untuk menyediakan darah
pada berbagai organ. Perubahan arteriosklerosis pada umumnya mulai pada lapisan
subendotel, berjalan ke tunika media. Lesi lapisan intima dan lapisan tengah yang ditemukan
pada arteriosklerosis yang disertai dengan destruksi jaringan elastin dan akibatnya kehilangan
elastisitas adalah akibat gangguan sirkulasi yang berat.

6) Anastomosis Arteriovenosa
Hubungan langsung antara sirkulasi arteri dan vena. Anastomosis arteriovenosa ini
tersebar di seluruh tubuh dan umumnya terdapat pada pembuluhpembuluh kecil berfungsi
mengatur sirkulasi pada daerah tertentu, terutama pada jari, kuku, dan telinga. Sistem ini
mempunyai peranan pengaturan sirkulasi pada berbagai organ dan berperanan pada beberapa
fenomena fisiologi seperti menstruasi, perlindungan terhadap suhu yang rendah, dan ereksi.
Anastomosis arteriovenosa banyak dipersyarafi oleh sistem syaraf simpatis dan parasimpatis.
Selain mengatur aliran darah pada berbagai organ, anastomosis ini mempunyai fungsi
termoregulator yang khususnya terbukti pada kulit ekstremitas.

7) Vena
1. Tunica intima: endothelium - selnya pipih selapis, subendothelium – jaringan ikat tipis
langsung berhubungan dengan tunica adventitia.
2. Tunica media: tidak ada.
3. Tunica adventitia: jaringan ikat longgar dengan serabut colagen yang membentuk berkas-
berkas longitudinal, sel fibroblast tampak diantaranya. Sel-sel otot polos tampak pula.

Vena biasanya digolongkan menjadi:


1. Venula, garis tengah 0,2 – 1 mm, ditandai oleh tunika intima yang terdiri atas endotel,
tunika media tebal yang terdiri atas lapisan sel otot polos, dan lapisan adventitia
merupakan lapisan yang paling tebal, terdiri atas jaringan penyambung yang kaya akan
serabut-serabut kolagen.
2. Vena ukuran kecil atau sedang dan mempunyai garis tengah 1 – 9 mm. Tunika intima
biasanya mempunyai lapisan subendotel yang tipis, tetapi hal ini pada Handout
Mikroskopi Anatomi Sistem Sirkulasi 4 suatu saat mungkin tidak ada. Tunika media
terdiri atas berkas-berkas kecil otot polos yang bercampur dengan serabut-serabut kecil
kolagen dan jala-jala halus serabut elastin. Lapisan kolagen adventitia berkembang
dengan baik.
3. Vena besar mempunyai tunika intima yang berkembang dengan baik. Tunika media jauh
lebih kecil, dengan sedikit sel-sel otot polos dan banyak jaringan penyambung. Tunika
adventitia adalah lapisan yang paling tebal dan pada pembuluh yang paling besar dapat
mengandung berkas-berkas longitudinal otot polos. Di samping perbedaan lapisan ini,
vena ukuran-kecil atau sedang menunjukkan adanya katup-katup di dalamnya. Struktur
ini terdiri atas 2 lipatan semilunaris dari lapisan dalam pembuluh yang menonjol ke
dalam lumen. Mereka terdiri atas jaringan penyambung elastin dan dibatasi pada kedua
sisinya oleh endotel. Katup-katup khususnya banyak pada vena anggota badan (lengan
dan tungkai). Mereka mendorong darah vena ke arah jantung--- berkat kontraksi otot-otot
rangka yang terletak di sekitar vena.

2) Kapiler
Kapiler tersusun atas selapis sel endotel yang berasal dari mesenkim, melingkar dalam
bentuk tabung, mengelilingi ruang silindris, garis tengah rata-rata kapiler berkisar dari 7
sampai 9 μm. Kapiler dapat dikelompokkan dalam 3 jenis menurut struktur dinding sel
endotel.
1. Kapiler kontinu. Susunan sel endotel rapat.
2. Kapiler fenestrata atau perforata ditandai oleh adanya pori-pori diantara sel endotel.
Kapiler perforata biasanya ditemukan dalam jaringan-jaringan dimana terjadi pertukaran-
pertukaran zat dengan cepat antara jaringan dan darah, seperti yang terdapat pada ginjal,
usus, dan kelenjar endokrin.
3. Kapiler sinusoid, berkelok-kelok dan garis tengahnya sangat besar (30-40 μm), sirkulasi
darah lambat, tidak memiliki dinding yang dibatasi kontinu oleh sel– sel endotel, tetapi
terbuka pada ruang–ruang antara sel, dan adanya sel dengan dinding bulat selain sel
endotel yang biasa dengan aktivitas fogositosis. Kapiler sinusoid terutama ditemukan
pada hati dan organ-organ hemopoetik seperti sumsum tulang dan limpa. Struktur ini
diduga bahwa pada kapiler sinusoid pertukaran antar darah dan jaringan sangat
dipermudah, sehingga cairan darah dan makromolekul dapat berjalan dengan mudah
bolak-balik antara kedua ruangan tersebut. Kapiler-kapiler beranastomosis (berhubungan
satu dengan lainnya) membentuk jala-jala antar arteri-arteri dan vena-vena kecil. Arteriol
bercabang menjadi pembuluh-pembuluh kecil yang mempunyai lapisan otot polos yang
tidak kontinu, yang disebut metarteriol. Metarteriol bercabang menjadi kapiler-kapiler
yang membentuk jala-jala. Konstriksi metarteriol membantu mengatur, tetapi tidak
menghentikan sama sekali sirkulasi dalam kapiler, dan mempertahankan perbedaan
tekanan dalam dua sistem. Suatu cincin sel-sel otot polos yang disebut sfinkter, terdapat
pada tempat asal kapiler dari metarteriol. Sfinkter prekapiler ini dapat menghentikan
sama sekali aliran darah dalam kapiler. Seluruh jala-jala tidak tidak hanya tergantung
pada keadaan kontraksi metarteriol tetapi juga pada Handout Mikroskopi Anatomi Sistem
Sirkulasi 5 anastomosis arteriovenosa yang memungkinkan metarteriol langsung
mengosongkan darah kedala vena-vena kecil. Antar hubungan ini banyak sekali pada otot
rangka dan kulit tangan dan kaki. Bila pembuluh-pembuluh anastomis arteriovenosa
berkontraksi, semua darah harus berjalan melalui jala-jala kapiler. Bila ia relaksasi,
sebagian darah mengalir langsung ke vena bukan mengalir ke dalam kapiler. Sirkulasi
kapiler diatur oleh rangsang syaraf dan hormon. Tubuh manusia luas permukaan jala-jala
kapiler mendekati 6000 m². Garis tengah totalnya kira-kira 800 kali lebih besar daripada
garis tengah aorta. Suatu unit volume cairan dalam kapiler berhubungan dengan luas
permukaan yang lebih besar daripada volume yang sama dalam bagian sistem lain. Aliran
darah dalam aorta rata-rata 320 mm/detik; dalam kapiler sekitar 0,3 mm/detik. Sistem
kapiler dapat dimisalkan dengan suatu danau di mana sungai-sungai masuk dan keluar;
dindingnya yang tipis dan alirannya yang lambat, kapiler merupakan tempat yangcocok
untuk pertukaran air dan solut antara darah dan jaringan-jaringan.

3) Morfologi Dasar Permeabilitas Kapiler


Tempat pertukaran zat-zat antara darah dan jaringan dan sebaliknya. Permeabilitas
kapiler dalam berbagai organ berbeda bermakna. Misalnya, pada glomerulus ginjal, mereka
kira-kira 100 kali lebih permeabel daripada kapilerkapiler jaringan otot. Pada keadaan-
keadaan abnormal, seperti peradangan, penyuntikan bisa ular atau lebah, dan sebaginya,
permeabilitas kapiler sangat meningkat. Keadaan ini jelas merubah permeabilitas hubungan
antara sel-sel endotel. Dalam keadaan seperti ini, zat-zat koloid setebal elektron dapat
ditemukan berjalan dari lumen kapiler dan venula kecil masuk ke jaringan sekitarnya dengan
menembus hubungan sel-sel endotel. Leukosit dapat meninggalkan aliran darah dengan lewat
antara sel-sel endotel, dan masuk ruang jaringan dengan proses yang dinamakan diapedesis.

4) Sistem Vaskuler Limfe


Pembuluh limfe, merupakan saluran tipis yang dibatasi endotel berperan dalam
pengumpulan cairan dari ruang-ruang jaringan dan mengembalikannya ke darah. Cairan ini
dinamakan cairan limfe. Limfe hanya beredar dalam satu arah, yaitu ke arah jantung. Kapiler
limfe berasal dari berbagai jaringan sebagai pembuluh tipis dengan ujung buntu. Mereka
terdiri atas satu lapisan endotel. Pembuluh yang tipis ini bergabung dan berakhir sebagai 2
batang besar, yaitu ductus thorasicus dan ductus limphaticus dexter, yang mengosongkan
limfe ke dalam peralihan vena jugularis interna dengan vena jugularis interna dexter. Di
antara pembuluh-pembuluh limfe terdapat kelenjar-kelenjar limfe. Dengan pengecualian
sistem syaraf dan sumsum tulang, sistem limfe ditemukan pada hampir semua organ.
Pembuluh limfe mempunyai struktur yang mirip dengan vena kecuali mereka mempunyai
dinding yang lebih tipis dan tidak mempunyai batas yang nyata antara ketiga lapisan (intima,
media, dan adventitia). Seperti vena, mereka mempunyai banyak katup-katup interna. Akan
tetapi, katup-katup ini lebih banyak Handout Mikroskopi Anatomi Sistem Sirkulasi 6 pada
pembuluh limfe. Antara katup-katup pembuluh limfe melebar dan mempunyai bentuk
noduler. Seperti vena, sirkulasi cairan limfe dibantu oleh kerja gaya eksterna (misalnya
kontraksi otot-otot sekitarnya) pada dindingnya. Gaya-gaya ini bekerja secara tidak kontinu,
dan aliran limfe terutama terjadi sebagai akibat adanya banyak katup dalam pembuluh ini dan
irama kontraksi otot-otot polos yang terdapat dalam dindingnya. Duktus limfaticus ukuran
besar mempunyai struktur yang mirip dengan vena dengan penguatan otot polos pada lapisan
media. Pada lapisan ini, berkasberkas otot tersusun longitudinal dan sirkuler, dengan serabut-
serabut longitudinal lebih banyak. Tunika Adventitia relatif kurang berkembang.

2. Perubahan Patologi
Stenosis trikuspid adalah kelainan pada katup trikuspid yang ditandai dengan kekakuan
katup. Jantung memiliki empat buah katup, salah satunya adalah katup trikuspid. Katup
trikuspid merupakan katup yang membatasi serambi kanan dengan bilik kanan jantung.
Kondisi ini membuat katup trikuspid sulit membuka pada saat darah seharusnya dialirkan
dari serambi ke bilik kanan jantung. Kejadian stenosis trikuspid bisa terbilang cukup jarang.
Hanya sekitar 3 persen penduduk dunia mengalaminya.
Penyakit jantung rematik adalah salah satu penyebab TS paling umum dan hampir selalu
terjadi bersamaan dengan stenosis mitral . Vegetasi besar pada endokarditis infektif dapat
menyebabkan stenosis relatif . Sindrom karsinoid dapat menyebabkan TS terisolasi atau
dicampur dengan lesi regurgitan . Penyakit sistemik seperti systemic lupus erythematosus
(SLE), sindrom antibodi antifosfolipid (APLA) dan adanya gerakan dan fusi permanen dari
defibrillator cardioverter implan yang mengarah ke struktur sub-katup dapat menyebabkan
stenosis trikuspid . Tumor jinak seperti myxomas atrium dapat menyebabkan TS fungsional .
Trauma tumpul juga telah digambarkan sebagai faktor risiko. Tumor ginjal dan ovarium
dapat tumbuh ke dalam lubang trikuspid yang menyebabkan stenosis .

Penyebab lain yang kurang umum dari TS termasuk kelainan bawaan (anomali Ebstein)
[8] , kelainan metabolik atau enzimatik (penyakit Fabry, penyakit Whipple) [2] . Kadang-
kadang dijelaskan adalah leiomiomatosis intravena [9] , pintasan ventrikuloatrial [10]
menyebabkan TS. Valvulopati terkait dengan obat-obatan seperti fenfluramine / phentermine
dan methysergide ditandai oleh selebaran trikuspid fibrotik dan hipomobile yang menebal,
dengan berbagai derajat stenosis katup dan regurgitasi [11] .
Lingkar katup trikuspid normal adalah 12 hingga 14 cm, dan sebagian besar ahli
patologimenganggap lingkar kurang dari 10 hingga 11 cm (yaitu, diameter kurang dari 3 cm
atau luas katup kurang dari 7 cm ^ 2) sebagai indikasi TS [14] . Area normal dari katup
trikuspid adalah 4.0 cm2 dan area kurang dari 1.0 cm ^ 2 dianggap sebagai TS parah [15]

3. Patofisiologi
Penyakit trikuspid rematik ditandai dengan penebalan fibrosa difus pada selebaran dan
fusi 2 atau 3 komisura. Penebalan leaflet biasanya terjadi tanpa adanya deposit kalsifikasi,
dan komisura anteroseptal paling sering terlibat. Selebaran yang tidak berkembang sempurna,
korda yang pendek atau cacat, anulus kecil, atau jumlah atau ukuran otot papiler yang
abnormal dapat menyebabkan TS.
Katup terdiri dari lapisan luar sel endotel katup (VEC) yang mengelilingi tiga lapisan matriks
ekstraseluler masing-masing dengan fungsi khusus dan diselingi dengan sel katup interstitial
(VICs) [12] . Penyebab genetik atau didapat / lingkungan yang mengganggu organisasi
normal dan komposisi matriks ekstraseluler dan komunikasi antara VEC dan VIC mengubah
mekanisme katup dan mengganggu fungsi selebaran katup, yang berpuncak pada gagal
jantung [16] .
Hasil utama TS adalah peningkatan tekanan atrium kanan dan akibat kemacetan sisi kanan

4. Tanda-tanda & gejala


Tanda-tanda dan gejala dari stenosis trikuspid dapat tidak terlihat di fase awal. Ketika
katup menjadi lebih kecil, aliran darah akan menurun dan memicu gejala-gejala seperti :
Sakit pada dada yang menyebar ke lengan dan tenggorokan, batuk terkadang dengan darah,
merasa lelah, pingsan, napas pendek disebabkan oleh kegagalan jantung sebelah kiri.
Masalah pernapasan selama berolahraga dapat berkembang menjadi masalah pernapasan saat
beristirahat; bangun di malam hari karena tidak bisa bernapas, detak jantung cepat,
kemungkinan terdapat beberapa tanda dan gejala yang tidak disebutkan di atas. Jika Anda
gelisah terhadap suatu gejala, segera hubungi pemeriksaan umum fisioterapi kardiovaskuler.
Gejala sistem kardiovaskuler yang sering dikeluhkan pasien adalah nyeri dada (chest pain),
palpitasi, nafas pendek, orthopnea, dispnea paroksismal atau edema. Dapat juga muncul
gejala mirip dengan gejala sistem respirasi misalnya sesak nafas, wheezing, batuk dan
hemoptisis.
a. Pemeriksaan jantung
1) Beberapa istilah yang harus difahami misalnya :
a) Stroke Volume : volume darah yang diejeksikan dalam 1 kali kontraksi ventrikel
b) Heart Rate : frekuensi denyut jantung per menit
c) Cardiac Output : volume darah yang dipancarkan keluar dari ventrikel dalam 1
menit (cardiac output = stroke volume x heart rate)
d) Preload : volume darah yang meregangkan otot ventrikel sebelum kontraksi.
e) Afterload : menggambarkan resistensi vaskuler terhadap kontraksi ventrikel.
Penyebab resistensi terhadap kontraksi ventrikel kiri adalah peningkatan tonus
aorta, arteri besar, arteri kecil dan arteriole. Peningkatan preload dan afterload
patologis mengakibatkan perubahan fungsi ventrikel yang akan terdeteksi secara
klinis.
2) Sistem Pemeriksaan Umum Fisioterapi Kardiovaskuler
a) Pemeriksaan dilakukan setelah pasien beristirahat minimal 5 menit.
b) Pemeriksaan jantung dilakukan pada 3 posisi, yaitu :
c) Pasien dalam posisi berbaring terlentang dengan kepala sedikit ditinggikan
(membentuk sudut 30o). Dokter berdiri di sisi kanan pasien.
d) Pasien berbaring miring ke kiri (left lateral decubitus).
e) Pasien duduk, sedikit membungkuk ke depan.
b. Urutan pemeriksaan jantung adalah sebagai berikut.
1) Inspeksi
Inspeksi dada terutama untuk mencari adanya asimetri bentuk dada. Kelainan dada
akibat penyakit kardiovaskuler dapat berbentuk :
a) Kifosis : tulang belakang berdeviasi pada kurvatura lateral. Sering terjadi pada
kelainan jantung, misalnya ASD (Atrial Septal Defect) atau PDA (Patent Ductus
Arteriosus). Sering disertai dengan perubahan membusur ke belakang
(kifoskoliosis), yang mempersempit rongga paru dan merubah anatomi jantung.
b) Voussure cardiaque : penonjolan bagian depan hemitoraks kiri. Hampir selalu
terdapat pada kelainan jantung bawaan atau karena demam rematik, terutama
berkaitan dengan aktifitas jantung yang berlebihan pada masa pertumbuhan.
Inspeksi ini juga berguna untuk mencari iktus kordis (punctum maximum). Pada
sebagian besar orang normal (20-25%) dapat dilihat pulsus gerakan apeks menyentuh
dinding dada saat sistolik pada sela iga 5 di sebelah medial linea midklavikularis
sinistra.
3) . Palpasi
Iktus kordis dapat kita cari menggunakan palpasi (bila tidak terlihat pada inspeksi) dan
mengkonfirmasi karakteristik iktus kordis. Palpasi dilakukan dengan cara : meletakkan
permukaan palmar telapak tangan atau bagian 1/3 distal jari II, II dan IV atau dengan
meletakkan sisi medial tangan, terutama pada palpasi untuk meraba thrill. Identifikasi BJ1
dan BJ2 pada iktus kordis dilakukan dengan memberikan tekanan ringan pada iktus. Bila
iktus tidak teraba pada posisi telentang, mintalah
pasien untuk berbaring sedikit miring ke kiri (posisi left lateral decubitus) dan kembali
lakukan palpasi. Jika iktus tetap belum teraba, mintalah pasien untuk inspirasi dan ekspirasi
maksimal kemudian menahan nafas sebentar.

Pada saat memeriksa pasien wanita, mammae akan menghalangi pemeriksaan palpasi.
Sisihkan mammae ke arah atas atau lateral, mintalah bantuan tangan pasien bila perlu.Setelah
iktus ditemukan, karakteristik iktus dinilai dengan menggunakan ujung-ujung jari dan
kemudian dengan 1 ujung jari. Beberapa keadaan fisiologis tertentu, iktus dapat tidak teraba,
misalnya pada obesitas, otot dinding dada tebal, diameter anteroposterior kavum thorax lebar
atau bila iktus tersembunyi di belakang kosta. Pada keadaan normal hanya impuls dari apeks
yang dapat diraba. Pada keadaan hiperaktif denyutan apeks lebih mencolok. Apeks dan
ventrikel kiri biasanya bergeser ke lateral karena adanya pembesaran jantung atau dorongan
dari paru (misalnya pada pneumotorak sinistra). Pada kondisi patologis tertentu, impuls yang
paling nyata bukan berasal dari apeks, seperti misalnya pada hipertrofi ventrikel kanan,
dilatasi arteri pulmonalis dan aneurisma aorta.
Setelah iktus teraba, lakukan penilaian lokasi, diameter, amplitudo dan durasi impuls apeks
pada iktus.
1). Lokasi : dinilai aspek vertikal (biasanya pada sela iga 5 atau 4) dan aspek horisontal
(berapa cm dari linea midsternalis atau midklavikularis). Iktus bisa bergeser ke atas atau ke
kiri pada diafragma kiri letak tinggi. Iktus bergeser ke lateral pada gagal jantung kongestif,
kardiomiopati dan penyakit jantung iskemi.
Gambar 2.3. Lokasi Impuls Apeks (Iktus kordis)
2). Diameter : pada posisi supinasi, diameter impuls apeks kurang dari 2.5 cm dan tidak
melebihi 1 sela iga, sedikit lebih lebar pada posisi left lateral decubitus. Pelebaran iktus
menunjukkan adanya pelebaran ventrikel kiri.
3). Amplitudo : amplitudo iktus normal pada palpasi terasa lembut dan cepat. Peningkatan
amplitudo terjadi pada dewasa muda, terutama saat tereksitasi atau setelah aktifitas fisik
berat, tapi durasi impuls tidak memanjang. Peningkatan amplitudo impuls terjadi pada
hipertiroidisme, anemia berat, peningkatan tekanan ventrikel kiri (misal pada stenosis aorta)
atau peningkatan volume ventrikel kiri (misal pada regurgitasi mitral). Impuls hipokinetik
terjadi pada kardiomiopati.
3). Durasi : untuk menilai durasi impuls, amati gerakan stetoskop saat melakukan auskultasi
pada apeks atau dengarkan bunyi jantung dengan stetoskop sambil mempalpasi impuls apeks.
Normalnya durasi impuls
apeks adalah 2/3 durasi sistole atau sedikit kurang, tapi tidak berlanjut sampai terdengar BJ2.
Palpasi dapat ditemukan adanya gerakan jantung yang menyentuh dinding dada, terutama
jika terdapat peningkatan aktifitas ventrikel, pembesaran ventrikel atau ketidakteraturan
kontraksi ventrikel. Gerakan dari ventrikel kanan biasanya tak teraba, kecuali pada hipertrofi
ventrikel kanan, dimana ventrikel kanan akan menyentuh dinding dada (ventrikel kanan
mengangkat). Kadang-kadang gerakan jantung teraba sebagai gerakan kursi goyang
(ventricular heaving) yang akan mengangkat jari pemeriksa pada palpasi.
Gerakan jantung kadang teraba di bagian basis, yang biasanya disebabkan oleh gerakan aorta
(pada aneurisma aorta atau regurgitasi aorta), gerakan arteri pulmonalis (pada hipertensi
pulmonal) atau karena aliran tinggi dengan dilatasi (pada ASD) yang disebut tapping.
Thrill (getaran karena adanya bising jantung) sering dapat diraba. Bising jantung dengan
gradasi 3-4 biasanya dapat teraba sebagai thrill. Sensasi yang terasa adalah seperti meraba
leher kucing. Bila pada palpasi pertama belum ditemukan adanya thrill sedangkan pada
auskultasi terdengar bising jantung derajat 3-4, kembali lakukan palpasi pada lokasi
ditemukannya bising untuk mencari adanya thrill. Thrill sering menyertai bising jantung yang
keras dan kasar seperti yang terjadi pada stenosis aorta, Patent Ductus Arteriosus, Ventricular
Septal Defect, dan kadang stenosis mitral.
E. Perkusi
Perkusi berguna untuk menetapkan batas jantung, terutama pada pembesaran jantung.
Perkusi batas kiri redam jantung (LBCD - left border of cardiac dullness) dilakukan dari
lateral ke medial dimulai dari sela iga 5, 4 dan 3. LBCD terdapat kurang lebih 1-2 cm di
sebelah medial linea midklavikularis kiri dan bergeser 1 cm ke medial pada sela iga 4 dan 3.
Batas kanan redam jantung (RBCD - right border of cardiac
dullness) dilakukan dengan perkusi bagian lateral kanan dari sternum. Pada keadaan normal
RBCD akan berada di medial batas dalam sternum. Kepekakan RBCD diluar batas kanan
sternum mencerminkan adanya bagian jantung yang membesar atau bergeser ke kanan.
Penentuan adanya pembesaran jantung harus ditentukan dari RBCD maupun LBCD.
Kepekakan di daerah dibawah sternum (retrosternal dullness) biasanya mempunyai lebar
kurang lebih 6 cm pada orang dewasa. Jika lebih lebar, harus dipikirkan kemungkinan
adanya massa retrosternal. Pada wanita, kesulitan akan terjadi dengan mammae yang besar,
dalam hal ini perkusi dilakukan setelah menyingkirkan kelenjar mammae dari area perkusi
dengan bantuan tangan pasien.
c. Pemeriksaan penunjang
F. Elektrokardiogram (EKG/ECG - Electrocardiogram)
G. EKG dengan Olahraga (pemeriksaan dengan olahraga).
H. Ekokardiogram (USG jantung)
I. MRI (Magnetic Resonance Imaging) atau CT (Computerized Tomography).
J. Kateterisasi dan angiogram koroner.
2. Bunyi Jantung
Bunyi jantung dapat di dengarkan menggunakan pemeriksaan auskultasi untuk menemukan
bunyi-bunyi yang diakibatkan oleh adanya kelainan struktur jantung dan perubahan-
perubahan aliran darah yang ditimbulkan selama siklus jantung.
Bunyi jantung diakibatkan karena getaran dengan masa amat pendek. Bunyi yang timbul
akibat aktifitas jantung dapat dibagi dalam :
K. BJ1 : disebabkan karena getaran menutupnya katup atrioventrikuler terutama katup mitral,
getaran karena kontraksi otot miokard serta aliran cepat saat katup semiluner mulai terbuka.
Pada keadaan normal terdengar tunggal.
L. BJ2 : disebabkan karena getaran menutupnya katup semilunaris aorta maupun pul-
monalis. Pada keadaan normal terdengar pemisahan (splitting)
dari kedua komponen yang bervariasi dengan pernafasan pada anak-anak atau orang muda.
M. BJ3 : disebabkan karena getaran cepat dari aliran darah saat pengisian cepat (rapid filling
phase) dari ventrikel. Hanya terdengar pada anak-anak atau orang dewasa muda (fisiologis)
atau keadaan dimana komplians otot ventrikel menurun (hipertrofi/ dilatasi).
N. BJ4 : disebabkan kontraksi atrium yang mengalirkan darah ke ventrikel yang
kompliansnya menurun. Jika atrium tak berkontraksi dengan efisien misalnya fibrilasi atrium
maka bunyi jantung 4 tak terdengar.
Bunyi jantung sering dinamakan berdasarkan daerah katup dimana bunyi tersebut didengar.
M1 berarti bunyi jantung satu di daerah mitral, P2 berarti bunyi jantung kedua di daerah
pulmonal. Bunyi jantung 1 normal akan terdengar jelas di daerah apeks, sedang bunyi
jantung 2 dikatakan mengeras jika intensitasnya terdengar sama keras dengan bunyi jantung
1 di daerah apeks. Bunyi jantung 1 dapat terdengar terpisah (split) jika asinkroni penutupan
katup mitral dan trikuspid lebih mencolok, misalnya pada RBBB (Right Bundle Branch
Block) atau hipertensi pulmonal. Bunyi jantung 2 akan terdengar terpisah pada anak-anak
dan dewasa muda. Pada orang dewasa bunyi jantung 2 akan terdengar tunggal karena
komponen pulmonalnya tak terdengar disebabkan aerasi paru yang bertambah pada orang
tua. Jika bunyi jantung 2 terdengar terpisah pada orang dewasa ini menunjukkan adanya
hipertensi pulmonal atau RBBB. Bunyi jantung 2 yang terdengar tunggal pada anak-anak
mungkin merupakan tanda adanya stenosis pulmonal.
Bunyi tambahan, merupakan bunyi yang terdengar akibat adanya kelainan anatomis atau
aliran darah yang dalam keadaan normal tidak menimbulkan bunyi atau getaran. Bunyi
tambahan dapat berupa :
O. Klik ejeksi : disebabkan karena pembukaan katup semilunaris pada stenosis/ menyempit.
P. Ketukan perikardial : bunyi ekstrakardial yang terdengar akibat getaran/ gerakan
perikardium pada perikarditis/ efusi perikardium.
Q. Bising gesek perikardium : bunyi akibat gesekan perikardium dapat terdengar dengan
auskultasi dan disebut friction rub. Sering terdengar jika ada peradangan pada perikardium
(perikarditis).
R. Bising jantung : merupakan bunyi akibat getaran yang timbul dalam masa lebih lama. Jadi
perbedaan antara bunyi dan bising terutama berkaitan dengan lamanya bunyi /getaran
berlangsung. Untuk mengidentifikasi dan menilai bising jantung, beberapa hal harus
diperhatikan : di mana bising paling jelas terdengar, fase terjadinya bising (saat sistole atau
diastole) dan kualitas bising.
Cara askultasi :
1. Lakukan auskultasi di seluruh prekordium dengan posisi pasien telentang.
2. Pasien berbaring miring ke kiri (left lateral decubitus) sehingga ventrikel kiri lebih dekat
ke permukaan dinding dada.
a. Tempatkan bagian mangkuk dari stetoskop di daerah impuls apeks (iktus).
b. Posisi ini membuat bising-bising area katub mitral (misalnya pada stenosis mitral) dan
bunyi jantung akibat kelainan bagian kiri jantung (misalnya BJ3 dan BJ4) lebih jelas

terdengar.
Gambar 2.4. Teknik Auskultasi pada Posisi Left Lateral Decubitus
c. Pasien diminta untuk duduk dengan sedikit membungkuk ke depan.
1) Mintalah pasien untuk melakukan inspirasi dan ekspirasi maksimal kemudian sejenak
menahan nafas.
2) Bagian diafragma dari stetoskop diletakkan pada permukaan auskultasi dengan tekanan
ringan.
3) Lakukan auskultasi di sepanjang tepi sternum sisi kiri dan di apeks, dengan secara
periodik memberi kesempatan pasien untuk mengambil nafas.
4) Posisi ini membuat bising-bising yang berasal dari daerah aorta lebih jelas terdengar

Gambar 2.5.
Teknik Auskultasi dengan Posisi Duduk dengan Sedikit Membungkuk ke Depan
Penilaian Bising Jantung
Penilaian bising jantung dilakukan ketika terdengar, bentuk, lokasi di mana bising terdengar
paling keras, radiasi/ transmisi bising dari tempatnya paling keras terdengar, intensitas bising,
nada dan kualitas bising.
a. Kapan bising terdengar :
Penting untuk mengidentifikasi kapan bising terdengar selama fase sistolik dan diastolik
(hanya pada awal, di tengah, pada akhir atau selama sistolik dan diastolik).
1. Bising midsistolik : mulai terdengar setelah BJ1, menghilang sebelum BJ2 terdengar (ada
gap antara bising dan bunyi jantung). Bising midsistolik sering berkaitan dengan aliran darah
yang melalui katub-katub semilunaris.
2. Bising holosistolik (pansistolik) : mengisi seluruh fase sistolik, tidak ada gap antara bising
dan bunyi jantung. Biasanya berkaitan dengan regurgitasi darah melalui katub
atrioventrikuler pada MI atau VSD.
3. Bising late systolic : mulai terdengar pada pertengahan atau akhir sistolik. Biasanya terjadi
pada prolaps katub mitral. Sering didahului dengan klik sistolik.
4. Bising early diastolic : terdengar segera setelah BJ2, tanpa adanya gap yang jelas.
Menghilang sebelum terdengar BJ1. Biasanya terjadi pada regurgitasi karena inkompetensi
katub-katub semilunaris, misal Aortic Insufficiency atau Pulmonal Insufficiency
5. Bising mid diastolik : terdengar setelah BJ2 (ada gap dengan BJ2). Bising makin melemah
atau menyatu dengan bising late diastolic.
6. Bising late diastolic (presistolik) : mulai terdengar pada akhir fase diastolik, dan biasanya
berlanjut dengan BJ1. Bising mid diastolik dan bising late diastolic (presistolik)
mencerminkan turbulensi aliran darah yang melewati katub atrioventrikularis, misalnya
stenosis mitral.
7. Bising sistolik sering ditemukan pada stenosis aorta, stenosis pulmonal, Ventricle Septum
Defect (VSD), insufisiensi mitral (Mitral Insufficiency/ MI). Bising diastolik sering terjadi
pada insufisiensi aorta (Aortic Insufficiency/ AI).
8. Bising menerus atau continuous murmur : bising terdengar terus menerus, baik pada fase
sistolik maupun diastolik. Sering terdapat pada Patent Ductus Arteriosus (PDA).
b. Bentuk :
Bentuk atau konfigurasi bising adalah intensitas bising dari waktu ke waktu selama
terdengar.
1. Bising crescendo : intensitas makin keras (misalnya bising presistolik pada stenosis
mitral).
2. Bising decrescendo : intensitas makin berkurang (misalnya bising early diastolic pada
regurgitasi katub aorta).
3. Bising crescendo-decrescendo : mula-mula intensitas bising makin meningkat, kemudian
menurun (misalnya bising midsistolik pada stenosis aorta atau bising innocent).
4. Bising plateau : intensitas bising tetap (misalnya bising pansistolik pada regurgitasi
mitral).
c. Lokasi di mana bising terdengar paling keras :
Tempat di mana bising terdengar paling jelas berkaitan dengan asal bising.
d. Radiasi/ transmisi bising dari tempatnya terdengar paling keras :
Transmisi bising tidak saja menunjukkan asal bising tetapi juga intensitas bising dan arah
aliran darah.Lakukan auskultasi di beberapa area di sekeliling lokasi di mana bising paling
jelas terdengar dan tentukan sampai di mana bising masih dapat didengar.Misalnya bising
pada stenosis aorta bisa terdengar demikian jauh sampai ke leher (mengikuti aliran darah).
e. Intensitas bising :
Gradasi intensitas bising dibagi dalam 6 skala dan dinyatakan dalan bentuk pecahan
(misalnya grade 2/6) 16
1. Grade 1: sangat lembut, baru terdengar setelah pemeriksa sungguh-sungguh
berkonsentrasi, tidak terdengar pada semua posisi.
2. Grade 2 : lembut, tapi dapat segera terdengar begitu stetostop diletakkan pada area
auskultasi.
3. Grade 3 : cukup keras
4. Grade 4 : keras, teraba thrill
5. Grade 5 : sangat keras, disertai thrill, dapat terdengar dengan sebagian stetoskop diangkat
dari permukaan auskultasi.
6. Grade 6 : sangat keras, disertai thrill, dapat didengar dengan seluruh bagian stetoskop
sedikit diangkat dari permukaan auskultasi.
f. Nada :
Dikategorikan sebagai nada tinggi, sedang dan rendah.
g. Kualitas bising :
Kualitas bising dideskripsikan sebagai blowing, harsh, rumbling, dan musikal.
Karakteristik yang lain yang harus dinilai dari bunyi jantung dan bising adalah pengaruh
perubahan posisi tubuh, respirasi atau manuver pemeriksaan terhadap bunyi jantung dan
bising. Bising yang berasal dari sisi kanan jantung biasanya cenderung berubah bila ada
perubahan posisi pasien. Sehingga deskripsi lengkap pelaporan bising adalah sebagai
berikut : misalnya pada regurgitasi aorta : ”pada auskultasi terdengar bising decrescendo
dengan
39
kualitas bising seperti tiupan (blowing), terdengar paling keras pada sela iga ke-4 kiri,
dengan penjalaran ke arah apeks
5. Klasifikasi gangguan jantung berdasarkan resiko
Pada gangguan jantung koroner terdapat variasi tingkat atherosklerosis, derajat iskemik
Myokard, gangguan fungsi ventrikel jantung, frekuensi dan derajat gejala gangguan jantung
Seperti disritmia, kenaikan tekanan darah serta respon frekuensi denyut jantung terhadap latihan
Dan kelelahan (williams, 2001:415). Keadaan-keadaan tersebut perlu dievaluasi untuk
Memperkirakan resiko terjadinya infark lanjutan, cardiac arrest dan gagal jantung. Keputusan
Klinis tentang program latihan, jenis dan tipe latihan terutama didasarkan pada perhitungan
Resiko (prognosis) dan kapasitas fungsional pasien. Tujuan dari program latihan pasien dengan
Gangguan jantung koroner adalah untuk mengoptimalkan keamanan, manfaat serta kepuasan dan
Kepatuhan pasien dalam mengikuti program latihan. Dalam hal ini, kemananan pasien adalah
Fokus utama sehingga faktor yang menyangkut prognosis harus diutamakan. Tujuan untuk
Mengklasifikasikan pasien dalam program rehabilitasi adalah untuk menilai resiko terjadinya
Infark myokardial, cardiac arrest dan gagal jantung di kemudian hari. Penilaian resiko ini
Ditujukan untuk menilai tingkat kemungkinan bahwa latihan akan mencetuskan hal-hal yang
Tersebut (ades, 2001:892).
Resiko terjadinya manifestasi klinis yang baru dari gangguan jantung koroner biasanya
Disebabkan oleh peningkatan gangguan ventrikel kiri dan iskemi myokardial yang terjadi. Faktor
Klinis lain yang dapat dipertimbangkan adalah umur, jenis kelamin, status faktor resiko
(terutama Status merokok), tingkat atherosklerosis dan dysritmia. Selama pemeriksaan klinis,
nyeri dada
(jenis, frekuensi, duras dan penyebab) dapat memberikan informasi tentang kemungkinan
Terjadinya iskemi. Informasi tentang kerusakan myocardial dapat diperoleh dari riwayat
Myocardial infark, penggunaan digitalis dan diuretik, gagal jantung kronis, hipertrofi ventrikel
Kiri, kardiomegali, bising jantung, gallop ventrikel, gelombang q, segment st dan abnormalitas
Konduksi. Jika pasien memperlihatkan gejala adanya gangguan ventrikel kiri dan iskemi, tidak
Direkomendasikan untuk menjalankan program latihan fisik maupun exercise testing
(marchionni et al., 2003:2201).
Pada pasien dengan resko ringan sampai menengah, dapat dilakukan exercise testing
Yang dikontrol oleh gejala klinis dapat memberikan informasi tentang prognosis sekaligus juga
Memberikan informasi tentang kapasitas fungsional. Variabel yang dapat digunakan untuk
Menentukan prognosis antara lain adalah : intensitas latihan puncak, respon tekanan darah
Sistolik, puncak frekuensi denyut nadi, angina, perubahan gelombang st, disritmia ventrikular.
Pada umumnya, intensitas latihan yang dapat dilakukan tanpa menimbulkan tanda dan gejala
Klinis dapat dipergunakan sebagai intensitas awal latihan pada program latihan fisik (williams,
2001:415).
Uji tambahan yang dapat membantu penentuan prognosis adalah angiography, thallium
Scintigrafi sebelum dan sesudah latihan, echocardiography latihan dan istirahat dan kateterisasi
Jantung. Keseluruhan hasil dari pengujian tersebut dapat dipergunakan sebagai dasar
Penatalaksanaan medis termasuk jenis dan waktu pelaksanaan program rehabilitasi. Disamping
Penilain kapasitas fungsional pasien dan penentuan prognosis, exercise testing juga dilakukan
Untuk menilai besarnya resiko timbulnya gejala klinis selama latihan fisik. (williams, 2001:415)
Beberapa faktor resiko yang dikaitkan dengan resiko timbulnya gejala klinis tercantum pada
Tabel 1. Selanjutnya, tingkat resiko pasien berdasarkan keadaan klinis dan responnya terhadap
Exercise testing diklasifikasikan pada tabel 2

Tabel 1. Klasifikasi gangguan jantung berdasarkan tingkat resiko

Jenis Karakteristik
Resiko Rendah Paska bedah by pass atau infark myocardial
tanpa komplikasi
Kapasitas fungsional ≥ 8 METs pada exercise
test selama 3 minggu
Tidak adanya gejala klinis selama exercise
testing setara pada aktivitas
vocational sehari-hari
Tidak adanya iskemia, disfungsi ventrikular
kiri dan disaritmia kompleks
Resiko Sedang Kapasitas fungsional <8METs pada exercise
tset selama 3 minggu.
Shock atau PJK selama infark myocardial (<6
bulan)
Ketidakmampuan untuk memonitor denyut
jantung
Ketidakmampuan untuk melaksanakan
program latihan
Terjadinya iskemia yang dipicu oleh latihan
(ST<2mm)
Resiko Tinggi Fungsi ventrikel kiri yang sangat rendah (fraksi
ejeksi <30%)
Disritmia ventrikel pada saat istirahat
Hipotensi pada saat latihan (≥15 mm Hg)
Infark myokardial baru (<6 bulan) dengan
komplikasi disritmia ventrikel
Terjadinya iskemia yang dipicu oleh latihan
(ST>2mm)
Pernah mengalami serangan jantung.
(williams, 2001:415)
6. Program latihan fisik rehabilitatif pada penderita gangguan
Jantung
Program latihan fisik rehabilitatatif bagi penderita gangguan jantung bertujuan untuk
Mengoptimalkan kapasitas fisik tubuh, memberi penyuluhan pada pasien dan keluarga dalam
Mencegah perburukan dan membantu pasien untuk kembali dapat beraktivitas fisik seperti
Sebelum mengalami gangguan jantung.
A. Manfaat latihan fisik pada penderita gangguan jantung.
• mengurangi efek samping fisiologis dan psikologis tirah baring di rumah sakit.
• dapat dimanfaatkan untuk memonitor kondisi fisiologis penderita
• mempercepat proses pemulihan dan kemampuan untuk kembali apda level aktivitas
Sebelum serangan jantung (lavie et al., 1993:678).
B. Kontraindikasi latihan fisik
Selain memiliki manfaat yang vital, latihan fisik pada penderita gangguan jantung dapat
Pula mencetuskan serangan ulang. Untuk meminimalisasi resiko tersebut, latihan fisik di
Kontraindikasikan pada keadaaan yang tercantum pada tabel 3. Oleh karenanya sebelum
Penderita memulai program latihan fisik, penderita tersebut harus mendapatkan rekomendasi dari
Dokter.
Tabel 2. Kontraindikasi pasien yang dapat menjalankan program latihan.
No kontraindikasi
1. Angina tidak stabil
2. Tekanan darah sistolik istirahat > 200 mm
hg atau diastolik istirahat >100 mmhg
3. Hipotensi orthostatik sebesar ≥ 20 mmhg
4. Stenosis aorta sedang sampai berat
5. Gangguan sistemik akut atau demam
6. Disritmia ventrikel atau atrium tidak
terkontrol
7. Sinus takikardia (>120 denyut/menit)
8. Gangguan jantung kongestif tidak terkontrol
9. Blok atrio ventrikular
10. Myocarditis dan pericarditis aktif
11. Embolisme
12. Tromboplebitis
13. Perubahan gelombang st (>3mm)
14. Diabetes tidak terkontrol
15. Problem ortopedis yang menganggu
istirahat.
(oldridge, 1988:45)
7. Struktur program rehabilitasi
Secara tradisional program rehabilitasi dibagi menjadi :
• fase i : inpatient (di dalam rumah sakit)
• fase ii : out-patient (pulang dari rumah sakit sampai dengan 12 minggu
Merupakan program dengan pengawasan)
• fase iii : pemeliharaan
Ades (2001:892) menyatakan bahwa secara kontemporer, program latihan diarahkan
Berdasarkan kebutuhan individual. Pada individu dengan resiko rendah program latihan tanpa
Supervisi dapat dilakukan secepatnya, sedangkan pada penderita dengan resiko tinggi, program
Latihan termonitor dapat dilakukan dalam selang waktu yang lebih lama. Secara umum, program
Latihan dibagi menjadi program inpatient dan out-patient.
i. Program inpatient
Program latihan inpatient dapat dilakukan sejak 48 jam setelah gangguan jantung
Sepanjang tidak terdapat ada kontraindikasi. Latihan fisik yang dilakukan terbatas pada aktivitas
Sehari-hari misalnya gerakan tangan dan kaki dan pengubahan postur. Program latihan biasanya
Berupa terapi fisik ambnulatory yang diawasi. Pada fase ini perlu dilakukan monitoring ecg
Untuk menilai respon terhadap latihan. Latihan pada fase ini harus menuntut kesiapan tim yang
Dapat mengatasi keadaan gawat darurat apabila pada saat latihan terjadi serangan jantung.
Manfaat dari latihan fisik pada fase ini adalah sebagai bahan survailance tambahan, melatih
Pasien untuk dapat mejalankan aktivitas pada aktivitas sehari-hari, dan untuk menghindari efek
Fisiologis dan psikologis negatif pada bedrest. Tujuan dari latihan fsik fase pertama ini harus
Disesuaikan dengan kebutuhan pasien. Pasien dengan aktivitas rendah mungkin hanya
Memerlukan latihan fisik untuk menunjang kegiatan sehari-hari (adl: activity of daily life).
Pasien dengan kapasitas fisik yang lebih baik dapat menjalankan program letihan untuk
Pencegahan tertier dan mengikuti program jangka panjang untuk meningkatkan ketahanan
Kardiorespirasi, komposisi tubuh, fleksibilitas dan ketahanan otot (marchionni et al.,
2003:2201).
Pemantauan lebih lanjut perlu dilakukan pada pasien dengan tanda dan gejala :
Peningkatan denyut andi melebihi batas yang ditetapkan, peningkatan tekanan darah sebagai
Respon latihan, sesak napas, iskemia myocardial, disritmia, angina pectoris dan kelelahan berat.
Pada fase initial ( 1 sampai 3 hari paska infark post myocardial atau prosedur bedah) pada pasien
Di rumah sakit yang menjalankan program latihan, aktivitas harus dibatasi harus dibatasi dengan
Intensitas yang rendah (sekitar 2 sampai 3 mets). Pada umumnya aktivitas mengurangi resiko
Timbulnya trombosis. Program latihan meliputi aktivitas sehari-hari dan latihan pada kaki dan
Lengan untuk mempertahankan tonus otot, hipotensi orthostatik dan kapasitas sendi. Pasien
dapat
Memulai latihan dari berbaring menuju ke duduk dan kemudian berdiri. Latihan
ortostatik perlu
Dilakukan dalam program latihan. Latihan ortostatik meliputi berdiri dengan gerakan otot
Selama1 sampai 2 menit dengan monitor denyut nadi dan tekanan darah. Respon terhadap latihan
Ini diperlukan untuk menilai respon tubuh terhadap berbagai jenis vasodilatator dan beta bloker.
Pada hari ke 3 sampai 5 paska infark post cardial atau gangguan kardiovaskular lain, mulai dapat
Dilakukan latihan dengan berjalan, treadmill, atau ergometri (oldridge, 1988:45).
Beberapa contoh aktivitas ringan yang dapat dilakukan oleh penderita terdapat pada

Kelas Gerakan Contoh Aktivitas


Kelas I Duduk di tempat tidur dengan bantuan
Duduk di kursi 15-30 menit, 2-3 kali sehari
Kelas II Duduk di tempat tidur tanpa bantuan
Berjalan di dalam ruangan
Kelas III Dusuk dan berdiri secara manditi
Berjalan dengan jarak 15-30 meter dengan
bantuan 3 x sehari
Kelas IV Melakukan perawatan diri secara mandiri
Berjalan dengan jarak 50-70 meter dengan
bantuan 3-4 x sehari
Kelas V Berjalan dengan jarak 80-150 meter mandiri 3-
4 x sehari

ii. Perencanaan pemulangan


Pada perencanaan pemulangan pasien jantung beberapa hal harus diperhitungkan yakni :
Kondisi klinis, aktivitas fisik sehari-hari, aktivitas pada waktu luang, istirahat, bekerja, aktivitas
Seksual, gejala dan rujukan pada fase rehabilitasi dengan pengawasan. Pada saat pemulangan,
Pasien harus mendapatkan informasi tentang kerja dan karakteristik arteria koronaria jantung dan
Gangguan yang dialaminya sehingga dapat memahami gangguan jantung yang terjadi pada
Dirinya dan keadaan-keadaan yang dapat mempengaruhi terjadinya atherosklerosis. Pada saat
Pemulangan, sebaiknya hal hal perawatan diri mendasar seperti mandi, mengenakan baju makan
Dan minum sudah dapat dilakukan secara mandiri. Pada saat pemulangan pasien juga diberikan
Pengertian agar menghindari suhu dan kelembaban udara yang terlalu ekstrim. Jumlah waktu
Istirahat juga harus secara jelas disampaikan. Istirahat yang dianjurkan dapat meliputi tidur dan
Atau istirahat berbaring atau duduk tenang. Jenis pekerjaan yang tidak disarankan adalah yang
Meliputi mengangkat beban dan menahan nafas. Pasien yang merasakan gejala palpitasi,
Dyspnea, tidak bisa tidur, kelelahan berat harus berkonsultasi kepada dokter. Sebelum fase i
Berakhir, pasien harus sudah mendapatkan penjelasan tentang program fase selanjutnya (lavie et
Al., 1993:678).
iii. Program out-patient
Program out-patient dilakukan segera setelah kepulangan pasien dari rumah sakit. Tujuan
Utama dari program ini adalah untuk mengembalikan kemampuan fisik pasien pada keadaan
Sebelum sakit. Pasien yang pernah mengalami infark myocard dan atau operasi bypass arteri
Memiliki resiko yang lebih besar untuk mengalami dysritmia, dypnea dan angina. Pada pasien
Yang pernah menjalani operasi bypass sering terjadi rasa pusing dan diyrrhitmia supraventricular
Sedangkan pasien yang pernah mengalami infark myocard sering mengalami perubahan segmen
St pada ekg. Hal inilah yang mendorong perlunya pengawasan program latihan pada orang
Dengan riwayat gangguan jantung tersebut (jolliffe et al., 2001:87).
Seperti yang telah dikemukakan program rehabiliatasi sebaiknya diawali beberapa hari
Sebelum fase i berakhir. Biasanya fase ii dimulai pada minggu kedua atau ketiga setelah
Serangan myocardial infark. Program ini diharapkan dapat memberi dukungan dan dapat
Membimbing penderita gangguan jantung untuk mengatasi masalah-masalah kesehatannya.
Idealnya, program fase ii dijalankan di fasiloitas kesehatan yang memiliki fasilitas ekg untuk
Pengawasan latihan, peralatan dan staf yang dapat mengatasi kondisi darurat. Apabila fase
Rehabilitasi ini terpaksa dijalankan di rumah ataupun di tempat dengan sarana minimal,
Seyogyanya tetap dilakukan pemeriksaan periodik pada pusat pusat kesehatan. Pada prinsipnya,
Tujuan dari fase ini adalah untuk memberi latihan rehabilitasi fisik seseorang penderita gangguan
Jantung agar dapat kembali melakukan aktivitas sehari-hari seperti sedia kala. Program ini
Sebaiknya dikepalai oleh dokter yang dapat melakukan kontak secara teratur dengan pasien,
Dapat melayani panggilan rumah atau dapat melakukan pengawasan pada program latihan
(marchionni et al., 2003:2201).
Ades (2001:894) memberikan beberapa contoh kegiatan yang dapat dilakukan secara
mandiri terdapat pada gambar 2 sampai 10. Pada tiap latihan dilakukan pengulangan sebanyak 10
kali dan dilakukan dua kali sehari. Pada tiap latihan dilakukan pengaturan nafas yang baik karena
apabila dilakukan penahanan nafas dapat terjadi peningkatan tekanan darah dan meningkatkan
beban kerja jantung. Pada hari ke 4 dan ke 5 dapat ditambahkan beban sebesar 250 gram pada
tangan. Pada hari ke 6 beban dapat ditingkatkan menjadi 500 gram.
1. Latihan I (Latihan Siku)
Cara :
• Berdiri dengan siku menekuk dan dikatupkan pada dada
• Luruskan siku ke arah depan.
• Tekuk kembali siku.
• Ulangi sampai dengan 10 kali.

Gambar 1. Latihan Siku


2. Latihan Elevasi Lengan
Cara :
• Berdiri dengan siku menekuk di dada.
• Luruskan siku dan lengan ke arah atas
• Tekuk kembali ke posisi semula.
• Ulangi sampai dengan 10 kali

Gambar 2. Latihan lengan


3. Latihan Ekstensi lengan
Cara :
• Berdiri dengan siku menekuk ke arah dada.
• Lengan direntangkan ke arah disamping pinggang.
• Katupkan kembali lengan pada dada
• Ulangi sampai dengan 10 kali.

Gambar 3. Latihan Ektensi Lengan


4. Latihan Elevasi Lengan II
Cara :
• Berdiri dengan kaki membuka selebar bahu dan lengan disamping badan.
• Dengan tetap meluruskan siku angkat lengan keatas kepala.
• Turunkan lengan kembali ke samping badan.
• Ulangi sampai dengan 10 kali.

Gambar 4. Latihan Elevasi Lengan II


5. Latihan Lengan Gerak Melingkar
Cara :
• Berdiri dengan kaki membuka selebar bahu dan lengan disamping badan.
• Rentangkan tangan setinggi bahu.
• Gerakakan secara melingkar tangan dan lengan dengan arah depan dengan tetap
meluruskan siku.
• Ulangi sampai dengan 10 kali.
• Lakukan gerakan memutar kebelakang sampai dengan 10 kali

Gambar 5. Latihan Lengan Gerak Melingkar


6. Latihan Jalan Di Tempat (Mulai hari ke-5)
Cara:
• Berdiri dengan kaki membuka selebar bahu dengan lengan ditekuk ke depan
• Angkat satu kaki dengan menekuk lutut seperti saat berbaris.
• Ayunkan lengan untuk membantu menjaga keseimbangan
• Ulangi sampai dengan 10 kali.

Gambar 6. Latihan jalan di tempat


7. Latihan Menekuk Pinggang
Cara :
• Berdiri dengan kaki membuka selebar bahu
• Tekuk lengan sehingga tangan menyentuh pinggang kanan
• Pertahankan kaki dan punggung tetap lurus.
• Ulangi sampai dengan 10 kali.
• Tekuk lengan sehingga tangan menyentuh pinggang kiri.
• Ulangi sampai 10 kali

Gambar 7. Latihan Menekuk Pinggang


8. Latihan Memutar Pinggang
Cara:
• Berdiri dengan kaki membuka selebar bahu, tekuk lengan dan tempatkan tangan di
pinggang
• Putar tubuh ke kanan dan kemudian kembali.
• Putar tubuh ke kiri dan kemudian kembali
• Ulangi sampai dengan 10 kali.

Gambar 8. Latihan Memutar Pinggang


8. Latihan Menyentuh Lutut (Mulai hari ke 7)
Cara:
• Berdiri dengan kaki membuka selebar bahu, lengan diangkat diatas kepala.
• Tekuk punggung sampai tangan menyentuh lutut.
• Angkat kembali lengan keatas kepala
• Putar tubuh ke kiri dan kemudian kembali
• Ulangi sampai dengan 10 kali.

Gambar 8. Latihan Menyentuh Lutut


9. Latihan Menekuk Lutut (Mulai Minggu ke-3)
Cara:
• Berdiri dengan kaki membuka selebar bahu, tangan menyentuh pinggang.
• Tekuk punggung ke depan dengan lutut juga menekuk.
• Kembali luruskan punggung
• Ulangi sampai dengan 10 kali.

Gambar 10. Latihan Menekuk Lutut


III. Fase Pemeliharaan
Beberapa hal yang harus diperhatikan untuk melanjutkan ke fase pemeliharaan adalah
kapasitas fungsional pasien, status klinis serta tingkat pengetahuan pasien tentang gangguan
jantung yang dialaminya. Kapasitas fungsional minimal yang dimiliki oleh pasien adalah sekitar
5 METs yang memungkinkan seseorang dapat menjalankan aktivitas sehari-hari tanpa kesulitan
yang berarti. Secara klinis, pasien harus sudah memiliki respon hemodinamik dan kardiovaskular
yang stabil. Pasien juga diharapakn sudah memiliki pengetahuan dasar tentang gejala-gejala yang
dialami, pilihan terapi yang dapat dilakukan, karakteristik perjalanan alamiah penyakit serta
rentang aktivitas yang aman untuk dilakukan (Oldridge, 1988:45).
Program latihan pada fase pemeliharaan pada dasarnya sama dengan individu normal
dengan penekanan pada latihanb jenis aerobik. Pada pasien dengan kapasitas fungsional diatas 5
METS, pemrograman latihan dengan menggunakan frekuensi denyut jantung dan RPE (rating of
perceived exertion) dapat dilakukan. Frekuensi latihan sebaiknay berkisar 3 sampai 4 kali dalam
seminggu. Durasi latihan dapat dimuai dari 10 menit an kemudian dapat ditingkatkan secara
bertahap sampai dengan mencapai 60 menit. Pada saat terjadi peningkatan kapasitas fungsional
dan status klinis (Jolliffe et al., 2001:87).
Beberapa metode latihan yang dapat dijalankan pada penderita gangguan jantung adalah
latihan interval, sirkuit, sirkuit-interval dan kontinyu:
• Latihan interval didefinisikan sebagai latihan yang kemudian diikuti oleh periode istirahat.
Beberapa manfaat dari jenis latihan ini adalah (1) dapat dilakukannya latihan fisik dengan
intensitas tinggi pada fase aktif dan (2) secara keseluruhan intensitas latihan rata-rata
meningkat.
• Latihan sirkuit merupakan latihan dengan melakukan beberapa jenis aktivitas fisik tanpa
istirahat. Latihan sirkuit biasanya meliputi latihan beban dengan sasaran otot tangan dan kaki.
Manfaat dari latihan jenis ini adalah dapat melatih otot tangan dan kaki.
• Latihan sirkuit interval merupakan latihan tipe sirkuit dimana seseorang menjalankan
beberapa aktivitas akan tetapai diselingi oleh istirahat pada saat dilakukan peralihan aktivitas.
Manfaat dari latihan jenis ini meliputi manfaat yang didapat dari altihan sirkit dan interval.
• Latihan kontinyu menekankan penggunaan energi submaksimal yang diajaga terus samapai
dengan latihan berakhir. Manfaat dari latihan jenis ini adalah bahwa latihan ini lebih mudah
untuk dijalankan.
BAB III

PENUTUP

a) KESIMPULAN

Pengertian Stenosis Trikuspid


Stenosis trikuspid adalah kelainan pada katup trikuspid yang ditandai dengan kekakuan katup.
Jantung memiliki empat buah katup, salah satunya adalah katup trikuspid. Katup trikuspid
merupakan katup yang membatasi serambi kanan dengan bilik kanan jantung.
Kondisi ini membuat katup trikuspid sulit membuka pada saat darah seharusnya dialirkan dari
serambi ke bilik kanan jantung. Kejadian stenosis trikuspid bisa terbilang cukup jarang. Hanya
sekitar 3 persen penduduk dunia mengalaminya.
Penyebab Stenosis Trikuspid
Pada kondisi stenosis trikuspid, katup trikuspid berubah bentuk menjadi lebih tebal dan lebih
kaku. Hal ini menyebabkan katup tersebut sulit untuk membuka. Padahal secara normal, agar
fase diastolik (fase pengisian darah ke bilik jantung) berjalan baik, katup trikuspid harus bisa
juga terbuka dengan baik.
Rehabilitasi pada penderita gangguan jantung merupakan kegiatan multi tahap yang melibatkan
kegiatan fisik, diet dan perubahan perilaku yang pada intinya menurunkan resiko gangguan
jantung, ulangan. Pada dasarnya, program rehabilitasi pada penderita gangguanjantung bertujuan
untuk mengoptimalkan kapasitas fisik tubuh, memberi penyuluhan pada pasien dan keluarga
dalam mencegah perburukan dan membantu pasien untuk kembali dapatberaktivitas fisik seperti
sebelum mengalami gangguan jantung. Secara tradisional, aktivitas fisik yang dilaksanakan
meliputi tahap inpatient, outpatient dan pemeliharaan yang dilaksanakan dengan batas waktu
tertentu. Dewasa ini peralihan tahap latihan fisik, dilaksanakan berdasarkan respon individual
terhadap latihan dan tingkat resiko. Latihan pada tahap inpatient dapat dilakukan sejak 48 jam
pertama. Kegiatan out patient dapat dilakukan secara termonitor maupun secara mandiri di
rumah. Latihan pada fase pemeliharaan identik dengan latihan pada individu normal dengan
catatan dilakukan secara aerobik dengan pemeriksaan fisik berkala
b) Saran
Perlu banyak perbaikan

Anda mungkin juga menyukai