Anda di halaman 1dari 10

mekanisme teknik dan analisis akuntansi yang diterapkan pada

pengelolaan dana masyarakat di lembaga-lembaga tinggi negara dan


departemen-departemen dibawahnya, pemerintah daerah, BUMN, BUMD,
LSM dan yayasan sosial, maupun pada proyekproyek kerjasama sektor
publik dan swasta”.

Perkembangan akuntansi sektor publik di Indonesia – Penerapan


Akuntansi Sektor Publik di Indonesia Salah satu bentuk penerapan teknik
akuntansi sektor publik adalah di organisasi BUMN. Di tahun 1959
pemerintahan orde lama mulai melakukan kebijakan-kebijakan berupa
nasionalisasi perusahaan asing yang ditransformasi menjadi Badan Usaha
Milik Negara (BUMN).
Tetapi karena tidak dikelola oleh manajer profesional dan terlalu
banyaknya ‘politisasi’ atau campur tangan pemerintah, mengakibatkan
perusahaan tersebut hanya dijadikan ‘sapi perah’ oleh para birokrat.
Sehingga sejarah kehadirannya tidak memperlihatkan hasil yang baik dan
tidak menggembirakan.

Kondisi ini terus berlangsung pada masa orde baru. Lebih bertolak
belakang lagi pada saat dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 3
Tahun 1983 tentang fungsi dari BUMN. Dengan memperhatikan beberapa
fungsi tersebut, konsekuensi yang harus ditanggung oleh BUMN sebagai
perusahaan publik adalah menonjolkan keberadaannya sebagai agent of
development daripada sebagai business entity. Terlepas dari itu semua,
bahwa keberadaan praktik akuntansi sektor publik di Indonesia dengan
status hukum yang jelas telah ada sejak beberapa tahun bergulir dari
pemerintahan yang sah. Salah satunya adalah Perusahaan Umum
Telekomunikasi (1989).

 
Deregulasi Akuntansi Sektor Publik Di Era Pra Reformasi – Krisis ekonomi
dewasa ini telah membawa kita pada titik yang terburuk selama lebih dari 30 tahun.
Dewasa ini kita menghadapi permasalahan yang bertumpuk-tumpuk. Ekonomi kita
mengalami kontraksi yang besar dengan laju inflasi yang tinggi. Nilai tukar Rupiah jatuh,
suku bunga tinggi.

Pengaruh kemarau yang berkepanjangan pada tahun 1997,


berdampak negatif pada produksi bahan makanan, yang pada gilirannya
kita harus mengimpor beberapa jenis bahan makanan dalam jumlah yang
cukup besar. Kegiatan produksi tersendat-sendat dan ekspor hasil
industri manufaktur menghadapi berbagai hambatan, antara lain, oleh
karena kesulitan untuk mengimpor bahan baku dan suku cadang.

Sebabnya oleh karena hilangnya kepercayaan kepada perbankan


nasional. Bank-bank dan perusahaan-perusahaan kita menghadapi
masalah hutang yang berat baik di dalam maupun di luar negeri. Banyak
industri telah mengurangi kegiatannya, bahkan ada yang telah
menghentikannya. Oleh karena itu telah terjadi pemutusan hubungan
kerja yang pada gilirannya telah menyebabkan meningkatnya jumlah
pengangguran. Peningkatan jumlah pengangguran yang berlangsung
bersamaan dengan meningkatnya laju inflasi telah mengakibatkan jumlah
penduduk miskin mengalami peningkatan yang sangat besar.

Sementara itu kontraksi dalam kegiatan ekonomi dan anjloknya


harga migas di satu pihak dihadapkan dengan upaya untuk mengurangi
dampak negatif terhadap penduduk berpendapatan rendah di lain pihak
pada gilirannya telah menyebabkan meningkatnya defisit dalam APBN.
Tingkat kepercayaan (confidence) masyarakat yang masih rendah,
tercermin pada kurs Rupiah yang belum stabil, walaupun selama bulan
Agustus 1998 terlihat adanya kecenderungan makin menguatnya Rupiah,
berkonsekuensi terhadap peningkatan harga-harga serta terhambatnya
kegiatan produksi dan investasi di dalam negeri.
Sejalan dengan tuntutan reformasi dan demokratisasi di segala
bidang, kebijakan pemerintah di bidang hubungan keuangan pusat
daerah juga mengalami reformasi, dan secara bertahap akan terus
disempurnakan sesuai dengan perkembangan zaman. Arah reformasi
hubungan keuangan Pusat dan Daerah adalah untuk meningkatkan
kinerja pengelolaan keuangan negara dan daerah serta meningkatkan
akuntabilitas publik. Reformasi dimaksud meliputi pengaturan dana
perimbangan, pajak dan retribusi daerah, pinjaman daerah, serta
pengelolaan keuangan daerah.

Genderang reformasi telah ditabuh secara serentak oleh segenap


lapisan masyarakat sejak tahun 1997. Kejatuhan maskapai penerbangan
Orde Baru dari pucuk pimpinan Negara Kesatuan Republik Indonesia
memberikan harapan besar untuk masyarakat Indonesia segera
terbangunnya iklim berorganisasi yang sehat dengan berbasiskan “good
governance” dalam rangka memakmurkan dan mensejahterahkan serta
mencerdaskan Rakyat Indonesia. Dalam perjalanannya, reformasi dengan
berbasiskan good governance untuk membangun Indonesia Baru ternyata
banyak sekali kendala dan batasan-batasan yang kita miliki terutama
berada dalam aspek hukum baik penciptaan hukum maupun penegakkan
hukum itu sendiri.

Pada era reformasi, masyarakat di sebagian besar wilayah


Indonesia, baik di propinsi, kota maupun kabupaten mulai membahas
laporan pertanggungjawaban kepala daerah masing-masing dengan lebih
seksama. Beberapa kali terjadi pernyataan ketidakpuasan atas
kepemimpinan kepala daerah dalam melakukan manajemen pelayanan
publik maupun penggunaan anggaran belanja daerah.

Melihat pengalaman di negara-negara maju, ternyata dalam


pelaksanaannya, keingintahuan masyarakat tentang akuntabilitas
pemerintahan tidak dapat dipenuhi hanya oleh informasi keuangan saja.
Masyarakat ingin tahu lebih jauh apakah pemerintah yang dipilihnya telah
beroperasi dengan ekonomis, efisien dan efektif.

Sesuai dengan literatur good governance, perangkat hukum dan


penegakkan hukum adalah prasyarat terbangunnya suatu good
governance. Dengan segala hambatan dan keterbatasan yang kita miliki,
semangat untuk membangun Indonesia Baru dengan berbasiskan good
governance masih terus hidup hampir di segenap organisasi apakah itu
organisasi Pemerintah maupun organisasi non Pemerintah.

Dalam perspektif keuangan khususnya Institusi Pemerintah,


reformasi sudah mulai dibangun dengan dikeluarkannya beberapa
landasan hukum, pengenalan perangkat tehnologi untuk mempercepat
proses organisasi, dan pengenalan serta kewajiban untuk menerapkan
sistim organisasi dengan berbasiskan good governance kepada institusi
Pemerintah. Perubahan total dalam proses dan struktur serta “content-
isi” penganggaran pemerintah-APBN dan APBD serta Akuntansi
merupakan 2 (dua) produk utama untuk membangun sistim organisasi
yang berbasiskan good governance. Namun demikian, 2 (dua) produk
reformasi keuangan ini akan tidak optimal jika tidak di imbangi oleh
kesiapan sumber daya manusianya untuk menerima dan mengimplemen
tasikan produk reformasi keuangan tersebut.

Disamping kesiapan dan kompetensi serta didukung oleh budaya


organisasi yang kondusif, faktor kualitas pelaporan organisasi juga harus
mampu di bangun untuk melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap
sistim organisasi berbasiskan good governance. Dengan sistim pelaporan
yang efektif maka pengelolaan sumber daya organisasi khususnya
sumber daya ekonomi dapat dipertanggungjawabkan secara adil dan
terbuka.
Sebagaimana kita ketahui bahwa Pemerintah telah mengeluarkan
Undang-Undang No.22 thn 1999 tentang Pemerintahan Daerah dimana
dalam pasal 30 disebutkan bahwa “setiap daerah dipimpin oleh seorang
kepala daerah sebagai kepala eksekutif yang dibantu oleh seorang wakil
kepala daerah”. Selanjutnya dalam pasal 44 ayat 3 dinyatakan bahwa
“kepala daerah wajib menyampaikan laporan atas penyelenggaraan
Pemerintahan daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri
dengan tembusan kepada Gubernur bagi Kepala daerah Kabupaten dan
Kepala daerah Kota, sekurang kurangnya sekali dalam setahun, atau jika
dipandang perlu oleh Kepala Daerah atau apabila diminta oleh Presiden”.

Dari pernyataan Undang-Undang No.22 than 1999 dalam pasal 22


dan 44 diatas, secara tegas dapat dilihat bahwa Para Eksekutif Daerah
diharuskan untuk membuat sebuah laporan yang memuat bagaimana
mereka menyelenggarakan Pemerintahannya.

Dengan kata lain para Eksekutif Daerah harus membuat sebuah


laporan untuk mempertanggungjawabkan kinerjanya setiap tahun
dalamhal penyelenggaraan Pemerintahan. Selanjutnya Pemerintah
Negara Kesatuan Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah
No.105 tahun 2000 mengenai pertanggungjawaban keuangan daerah
sebagai tindak lanjut atas telah dikeluarkannya Undang-undang No.22
tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah.

Dalam pasal 37 Peraturan Pemerintah No.105 ini secara tegas


disebutkan bahwa Kepala daerah harus mempertanggungjawabkan
Keuangan Daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya
disingkat DPRD). Untuk memaparkan secara jelas sehingga tidak terjadi
kebingungan komunikasi antara Kepala Daerah dan DPRD maka laporan
keuangan yang dimaksud dalam pertanggungjawaban adalah terdiri dari
4 (empat) laporan yaitu: Laporan Perhitungan APBD, Nota Perhitungan
APBD, Laporan Aliran Kas, dan Neraca. Hal ini bisa dilihat dalam pasal 38
yang menyatakan bahwa “kepala daerah menyusun pertanggungjawaban
keuangan daerah yang terdiri dari laporan perhitungan APBD, nota
perhitungan APBD, laporan arus kas, dan neraca daerah”.

Selain 2 (dua) perangkat hukum diatas yang mengatur laporan


pertanggungjawaban pengelolaan keuangan daerah; Kepala Daerah juga
harus membuat suatu laporan untuk mempertanggungjawabkan
pengelolaan DAU – Dana Alokasi Umum dan DAK – Dana Alokasi Khusus
termasuk pinjaman daerah kepada Pemerintah Pusat (lihat PP No.106 thn
2000 pasal 7 dan 12; dan PP No.11 thn 2001 pasal 2). enyadari akan
keterbatasan sumber daya manusia yang ada di daerah maka Pemerintah
Pusat dalam hal ini Departemen Dalam Negeri telah mengeluarkan
Keputusan Pemerintah Dalam Negeri No.29 tahun 2002 tentang Pedoman
Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah
serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan
Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD.

Dengan segala keterbatasannya, KepMen No.29 thn 2002 ini


merupakan bentuk kepedulian Pemerintah Pusat betapa penting laporan
pertanggungjawaban keuangan Pemerintah Daerah segera di realisasikan
melalui pemberian pedoman bagaimana sistim dan prosedur Akuntansi
dan Keuangan Pemerintahan daerah bisa dibuat.

Seiring dengan telah dikeluarkannya berbagai perangkat hukum


diatas, sebenarnya Ikatan Akuntan Indonesia telah memberikan respon
yang elegan dengan membentuk kompartemen baru yaitu Kompartemen
Akuntansi Sektor Publik. Melalui wadah kompartemen akuntansi sektor
publik ini, perkembangan organisasi profesi sektor publik khususnya
akuntansi sektor publik mulai menunjukkan titik terang.

Meskipun sedikit terlambat akibat begitu dinamisnya lingkungan


maupun struktur organisasi profesi sektor publik, sebuah Draft
Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintah (selanjutnya disingkat PSAP)
telah dikeluarkan sebagaimana telah kita nantikan selama ini.

Negara Kesatuan Republik Indonesia telah melakukan sebuah


Reformasi Akuntansi sebagaimana dapat dilihat dalam gambar dibawah
ini, dimulai melalui Perangkat hukum yang jelas yang diikuti oleh sebuah
Standar Akuntansi Pemerintah sebagai acuan dasar terbentuknya sebuah
laporan keuangan yang memiliki prinsip-prinsip adil, terbuka, dan dapat
dipertanggungjawabkan kepada semua pihak.

Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia pada tahun 2001


memunculkan jenis akuntabilitas baru, sesuai dengan UU Nomor 22
Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999. Dalam hal ini terdapat tiga
jenis pertanggungjawaban keuangan daerah yaitu (1)
pertanggungjawaban pembiayaan pelaksanaan dekonsentrasi, (2)
pertanggungjawaban pembiayaan pelaksanaan pembantuan, dan (3)
pertanggungjawaban anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).

Sementara di tingkat pemerintah pusat, pertanggungjawaban


keuangan tetap dalam bentuk pertanggungjawaban anggaran pendapatan
dan belanja negara (APBN). Saat ini di Indonesia sedang dilakukan
persiapan penyusunan suatu standar akuntansi pemerintahan yang lebih
baik serta pembicaraan yang intensif mengenai peran akuntan publik
dalam memeriksa keuangan negara maupun keuangan daerah.

Namun tampak bahwa akuntabilitas pemerintahan di Indonesia


masih berfokus pada sisi pengelolaan keuangan negara atau daerah.

Pembaharuan manajemen keuangan daerah di era otonomi daerah


ini, ditandai dengan perubahan yang sangat mendasar, mulai dari sistem
pengganggarannya, perbendaharaan sampai kepada
pertanggungjawaban laporan keuangannya. Sebelum bergulirnya otonomi
daerah, pertanggungjawaban laporan keuangan daerah yang harus
disiapkan oleh Pemerintah Daerah hanya berupa Laporan Perhitungan
Anggaran dan Nota Perhitungan dan sistem yang digunakan untuk
menghasilkan laporan tersebut adalah MAKUDA (Manual Administrasi
Keuangan Daerah) yang diberlakukan sejak tahun 1981.

Dengan bergulirnya otonomi daerah, laporan pertanggungjawaban


keuangan yang harus dibuat oleh Kepala Daerah adalah berupa Laporan
Perhitungan Anggaran, Nota Perhitungan, Laporan Arus Kas dan Neraca
Daerah. Kewajiban untuk menyampaikan laporan keuangan daerah ini
diberlakukan sejak 1 Januari 2001, tetapi hingga saat ini pemerintah
daerah masih belum memiliki standar akuntansi pemerintahan yang
menjadi acuan di dalam membangun sistem akuntansi keuangan
daerahnya.

Kedua jenis laporan terakhir yaitu neraca daerah dan laporan arus
kas tidak mungkin dapat dibuat tanpa didasarkan pada suatu standar
akuntansi yang berterima umum di sektor pemerintahan. Standar
akuntansi pemerintahan inilah yang selalu menjadi pertanyaan bagi
pemerintah daerah, karena bagaimana mungkin suatu laporan neraca
daerah dapat disusun tanpa didasarkan suatu standar akuntansi.
Pertanyaan lain yang juga muncul adalah apakah standar akuntansi
pemerintahan ini harus mengacu sepenuhnya kepada praktek-praktek
akuntansi yang berlaku secara internasional ? Pemerintah Daerah masih
banyak yang ragu dalam menerapkan suatu sistem akuntansi keuangan
daerah karena ketiadaan standar, walaupun dalam penjelasan pasal 35
PP 105/2000 disebutkan bahwa sepanjang standar dimaksud belum ada,
dapat digunakan standar yang berlaku saat ini. Lebih lanjut, dalam pasal-
pasal lainnya disebutkan bahwa kewenangan untuk menyusun sistem dan
prosedur akuntansi sepenuhnya merupakan kewenangan daerah, yaitu :
Pasal 14 ayat (1) menetapkan bahwa keputusan tentang pokok-pokok
pengelolaan keuangan daerah diatur dengan Peraturan Daerah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 14 ayat (3) menetapkan bahwa sistem dan prosedur pengelolaan


keuangan daerah diatur dengan Keputusan Kepala Daerah sesuai
dengan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Dari ketentuan tersebut di atas, seharusnya penerapan sistem dan


prosedur akuntansi dalam rangka penyusunan laporan keuangan daerah
dapat menggunakan standar akuntansi yang ada atau berlaku selama ini,
tidak perlu harus menunggu standar akuntansi pemerintahan yang
disusun oleh Komite Standar Akuntansi Pemerintahan sesuai pasal 57
ayat (2) UU Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Kewajiban pemerintah daerah untuk menyusun neraca, laporan realisasi
anggaran, laporan arus kas dan nota perhitungan merupakan kewajiban
yang tidak bisa ditunda-tunda karena hal tersebut merupakan
pertanggungjawaban kepala daerah kepada DPRD.

Tidak dipenuhinya kewajiban tersebut tentunya akan membawa


konsekuensi penolakan oleh DPRD, yang akan menimbulkan dampak
politis terhadap pemecatan Kepala Daerah karena dianggap telah
melanggar ketentuan hokum yang ada.

Ketiadaan standar akuntansi pemerintahan , tidaklah berarti


laporan keuangan pemerintah daerah tidak dapat disusun. Ketentuan
yang ada mengharuskan kepala daerah menyampaikan
pertanggungjawabkannya kepada DPRD dalam bentuk neraca, laporan
arus kas, laporan perhitungan/realisasi anggaran dan nota perhitungan.
Sejak awal tahun 2002, pemerintah daerah sudah membuat neraca awal
daerah dengan mengacu kepada Pedoman SAKD hasil Tim Pokja SK
Menkeu 355/2001 dan Kepmendagri 29/2002 dan ketentuan-ketentuan
yang berlaku serta praktek-praktek internasional.

Anda mungkin juga menyukai