Anda di halaman 1dari 6

GHASAN ZUL HILMI UBAIDILAH ( 1903340)

PENDIDIKAN TEKNIK OTOMOTIF – B

CIKIJING, MAJALENGKA

TEORI BELAJAR

A. Laporan Hasil Baca


1. Teori belajar kognitif

Kognitif menurut bahasa merupakan kata yang berasal dari bahasa latin cogitare yang artinya
berpikir. Teori ini secara luas membahas pengenalan setiap perilaku metal yang berhubungan dengan
masalah pemahaman, memperhatikan, pertimbangan, pemecahan masalah, dan berpikir. Teori belajar ini
proses pembelajaran semuanya sama. Yaitu melalui usaha pelajar seperti mentadbir, menyimpan sebuah
informasi, lalu mencari kaitan antara informasi baru dengan informasi yang lama. Teori belajar kognitif
berkeyakinan bahwa individu yang belajar itu memiliki kemampuan potensial, sehingga tingkah laku
yang bersifat kompleks bukan hanya sebatas jumlah tingkah laku yang sederhana. Melainkan, dalam
pembelajaran yakni lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajar. Karena, proses belajar
tidak hanya sekedar melibatkan stimulus dan respon, melainkan juga melibatkan proses berpikir yang
sangat kompleks. Kemudian yang menjadi prioritas perhatian adalah tentang bagaimana proses ilmu
yang baru bisa berasimilasi dengan ilmu yang telah muncul sebelumnya dikuasai oleh setiap individu.

Menurut Jean Piaget (1975) salah seorang penganut aliran kognitif yang kuat, proses belajar
terdiri dari tiga tahapan, yakni asimilasi, akomodasi, dan equilibrasi (penyeimbangan). Proses asimilasi
adalah proses penyatuan (pengintegrasian) informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada
dalampikiran siswa. Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif kedalam situasi yang baru.
Equilibrasi adalah penyesuaian antara asimilasi dan akomodasi. Bagi seseorang yang sudah mengerti
penjumlahan, lalu gurunya memperkenalkan hal baru yaitu perkalian, maka disinilah proses integrasi
antara penjumlahan dengan perkalian, inilah yang disebut prose asimilasi. Jika seseorang diberi soal
perkalian, maka inilah yang disebut akomodasi, yang berarti mengaplikasikan prinsip perkalian tersebut
dalam situasi yang baru dan spesifik. Agar seseorang dapat terus mengembangkan dirinya, maka perlu
menjaga stabilitas mental dalam dirinya, ini adalah proses penyeimbangan. Proses ini disebut ekuilibrasi
proses penyeimbangan antara dunia luar dan dunia dalam. Tanpa proses ini, teori belajar kognitif tidak
akan berjalan lancar.
Piaget juga berpendapat bahwa, proses belajar harus disesuaikan dengan tahap perkembangan
kognitif yang dilalui siswa. Dalam hal ini, Piaget membaginya menjadi empat tahap, yaitu tahap sensori-
motor (ketika anak berumur 1,5 sampai 2 tahun), tahap Pra-operasional (2/3 sampai 7/8 tahun), tahap
operasional konkret (7/8 sampai 12/14 tahun), dan tahap operasional formal (14 tahun atau lebih). Proses
belajar yang dialami seorang anak pada tahap sensori-motor tentu lain dengan yang dialami seorang anak
yang sudah mencapai tahap kedua (pra-operasional) dan lain lagi yang dialami siswa lain yang telah
sampai ke-tahap yang lebih tinggi (operasional konkret dan operasional formal). Semakin tinggi tingkat
kognitif, seseorang semakin teratur cara berpikirnya. Dalam kaitan ini seorang guru sebaiknya memahami
tahap-tahap perkembangan anak didiknya, serta memberikan materi belajar dalam jumlah dan jenis yang
sesuai dengan tahap-tahap tersebut. Guru yang mengajar tetapi tidak menghiraukan tahapan-tahapan ini
cenderung menyulitkan para siswanya. Misalnya, mengadakan konsep abstrak tentang matematika kepada
sekelompok siswa kelas dua SD, tanpa adanya usaha untuk mengkonkretkan konsep tersebut, tidak hanya
akan percuma tetapi justru akan lebih membingungkan para siswa itu.

2. Teori belajar humanistik

Konsep teori belajar Humanistik yaitu proses memanusiakan manusia, dimana seorang individu
diharapkan dapat mengaktualisasikan diri artinya manusia dapat menggali kemampuannya sendiri untuk
diterapkan dalam lingkungan. Proses belajar Humanistik memusatkan perhatian kepada diri peserta didik
sehingga memfokuskan pada kebebasan individu. Teori ini menekankan kognitif dan afektif
memengaruhi proses. Kognitif adalah aspek penguasaan ilmu pengetahuan sedangkan afektif adalah
aspek sikap yang keduanya perlu dikembangkan dalam membangun individu. Belajar dianggap berhasil
jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Hal yang penting lagi pada proses
pembelajaran Humanisme harus adanya motivasi yang diberikan agar peserta didik dapat terus menjalani
pembelajaran dengan baik. Motivasi dapat berasal dari dalam yaitu berasal dari diri sendiri, maupun dari
guru sebagai fasilitator.

Meskipun teori ini sangat menekankan pentingnya isi dari proses belajar, kenyataan teori ini lebih
banyak berbicara tentang pendidikan dan proses belajar dalam bentuk yang paling ideal dari pada belajar
seperti apa adanya, seperti apa yang biasa kita amati dalam dunia keseharian. Wajar jika teori ini sangat
bersifat elektik. Proses belajar apapun dapat dia manfaatkan asal tujuan untuk memanusiakan manusia
atau mencapai aktualisasi diri dan sebagainya itu dapat tercapai.

Bloom dan Krathwohl menunjukkan apa yang mungkin dikuasai oleh siswa, tercakup dalam tiga
kawasan berikut.

a. Kognitif
Kognitif terdiri dari enam tingkatan, yaitu

 Pengetahuan (mengingat, menghafal);


 Pemahaman (menginterpretasikan);
 Aplikasi (menggunakan konsep untuk memecahkan suatu masalah);
 Analisis (menjabarkan suatu konsep);
 Sintesis (menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi suatu konsep utuh);
 Evaluasi (membandingkan nilai, ide, metode, dan sebagainya).
b. Psikomotor

Psikomotor terdiri dari lima tingkatan, yaitu

 Peniruan (menirukan gerak);


 Penggunaan (menggunakan konsep untuk melakukan gerak);
 Ketepatan (melakukan gerak dengan benar);
 Perangkaian (melakukan beberapa gerakan sekaligus dengan benar);
 Naturalisasi (melakukan gerak secara wajar).
c. Afektif
 Pengenalan (ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu);
 Merespon (aktif berpartisipasi);
 Penghargaan (menerima nilai-nilai, setia kepada nilai-nilai tertentu);
 Pengorganisasian (menghubung-hubungkan nilai-nilai yang dipercayai);
 Pengalaman (menjadikan nilai-nilai sebagai bagian dari pola hidup).

Teori Bloom ini banyak dijadikan pedoman untuk membuat soal ujian, bahkan orang-orang yang
sering mengkritik taksonomi tersebut. Kritikan atas klasifikasi kemampuan yang dikemukakan ternyata
diperbaiki oleh pakar pendidikan dengan mengadakan refisi pada aspek kognitif. Dalam klasifikasi
taksonomi pada aspek kognitif belum mengemukakan enam tingkatan yang meliputi pengetahuan,
pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi melalui pakar pendidikan yang terjadi dari piter
W. Airasian Kathleen A. Cruikshank, Richard E. Mayer, Paur E. Pitrich, James Raths, dan Merlin C.
Wittrock dengan editor Orin W. Andesen dan David R. Krathwolh dalam buku yang berjudul A
taksonomy for learning, teaching and Assesing yang diterbitkan pada tahun 2001 mengadakan revisi
aspek kemampuan kognitif tersebut dengan menilai dua dimensi, yakni dimensi pengetahuan dan dimensi
proses kognitif. Dalam dimensi pengetahuan, didalamnya memuat objek ilmu yang disusun dari
pengetahuan fakta, pengetahuan konsep, pengetahuan prosedural, dan pengetahuan metakognitif,
sedangkan dalam dimensi proses kognitif didalamnya memuat enam tingkatan yang meliputi mengingat,
mengerti, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta.

3. Teori belajar behavioristik

Dari asal katanya behaviour memiliki arti “tingkah laku”. Dengan kata lain, manusia belajar
dipengaruhi oleh kejadian di dalam lingkungannya yang akan memberikan pengalaman belajar. Belajar
sendiri memiliki pengertian sebagai proses tingkah laku yang terjadi karena adanya stimulasi dan respons
yang dapat diamati. Seseorang telah dianggap belajar apabila mampu menunjukkan perubahan tingkah
laku. Menurut teori behavioristik ini manipulasi lingkungan sangat penting agar dapat memperoleh
perubahan tingkah laku yang diharapkan.

Menurut Thorndike (1911), salah seorang pendiri aliran tingkah laku, belajar adalah proses
interaksi antara stimulus yang berupa pikiran, perasaan, atau gerakan dan respons yang berupa pikiran,
perasaan, dan gerakan. Jelasnya menurut Thorndike, perubahan tingkah laku boleh berwujud sesuatu yang
dapat diamati, atau yang tidak bisa diamati. Meskipun Thorndike tidak menjelaskan bagaimana caranya
mengukur berbagai tingkah laku yang non-konkret, tetapi teori Thorndike telah banyak memberikan
inspirasi kepada pakar lain yang datang sesudahnya. Teori Thorndike disebut sebagai aliran koneksionis.
Prosedur eksperimennya ialah membuat agar setiap binatang lepas dari kurungannya sampai ketempat
makanan. Dalam hal ini apabila binatang terkurung maka binatang itu sering melakukan bermacam-
macam kelakuan, seperti menggigit, menggosokkan badannya ke sisi-sisi kotak, dan cepat atau lambat
binatang itu tersandung pada palang sehingga kotak terbuka dan binatang itu akan lepas ke tempat
makanan.

4. Teori belajar kontruktivisme

Konstruktivisme merupakan salah satu aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa
pengetahuan merupakan hasil konstruksi atau bentukan. Pengetahuan selalu terbentuk akibat dari suatu
konstruksi pikiran dari kejadian yang terjadi akibat dari aktivitas seseorang. Untuk memperbaiki
pendidikan harus diketahui bagaimana manusia belajar dan bagaimana cara pembelajarannya.
Pengetahuan seseorang merupakan konstruksi (bentukan) dari dirinya. Pengetahuan bukanlah kumpulan
fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari melainkan sebagai konstruksi kognitif seseorang
terhadap objek, pengalaman maupun lingkungannya. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ada dan
tersedia, sementara orang lain tinggal menerimanya. Pengetahuan adalah sebagai suatu pembentukan
yang terus menerus oleh seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi karena adanya pemahaman-
pemahaman baru. Bila pendidik bermaksud menstranfer konsep, ide dan pengetahuan tentang sesuatu
kepada siswa, pentransferan itu akan diinterpretasikan dan dikonstruksi oleh mahasiswa melalui
pemahaman dan pengetahuan mereka sendiri. Ini cocok sekali untuk pengetahuan bisnis karena setiap
orang pada zaman sekarang tidak terlepas dari bisnis dalam hidupnya, entah itu sebagai produsen paling
tidak sebagai konsumen.

Menurut pandangan konstruktivistik belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan.


Pembentukan ini harus dilakukan individu yang belajar. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir,
menyusun konsep dan memberi makna tentang hal-hal yang dipelajari. Dosen memang dapat dan harus
mengambil prakarsa untuk menata lingkungan yang memberi peluang optimal bagi terjadinya belajar.v
Namun yang akhirnya paling menentukan terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar mahasiswa itu
sendiri. Dengan istilah lain dapat dikatakan bahwa pada hakikatnya kendali belajar sepenuhnya ada pada
mahasiswa. Dosen atau pendidik berperan membantu agar proses pengkonstruksian pengetahuan oleh
mahasiswa berjalan lancar. Pendidik tidak mentransferkan pengetahuan yang dimilikinya, melainkan
membantu mahasiswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Dosen dituntut untuk lebih memahami
jalan fikiran atau cara pandang mahasiswa dalam belajar. Dosen tidak mengklaim bahwa satu-satunya
cara yang tepat adalah yang sama dan sesuai dengan kemampuannya. Menurut prinsip pembelajaran
konstruktivistik, seorang pengajar atau dosen berperan sebagai mediator dan fasilitator yang membantu
agar proses belajar mahasiswa berjalan dengan baik yaitu;

a. Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan mahasiswa bertanggungjawab,


memberi kuliah atau ceramah bukanlah tugas utama seorang dosen
b. Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan
mahasiswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasannya dan
mengkomunikasikan ide ilmiah mereka, menyediakan sarana secara produktif menyediakan
kesempatan dan pengalaman yang paling mendukung proses belajar mahasiswa. Dosen perlu
menyemangati mahasiswa dan menyediakan pengalaman konflik
c. Memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran mahasiswa berjalan atau
tidak. Dosen mempertanyakan apakah pengetahuan mahasiswa dapat diberlakukan untuk
menghadapi persoalan baru yang berkaitan. Dosen membantu mengevaluasi hipotesis dan
kesimpulan mahasiswa.
B. Referensi

Sumadinata, Nana Syaodih. 2004. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Suryabrata, Sumadi. 2004.Psikologi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Usman, Moh. Uzer dan Setiwan Lilis. 1993.Upaya Optimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar. Bandung:
Remaja Rosdakarya.

Paulina Pannen, Dina Mustafa, Mestika Sekarwinahyu. 1991. Konstruktivistik Dalam Pembelajaran.
Jakarta: Proyek Pengembangan Universitas Terbuka Ditjen Dikti

Anda mungkin juga menyukai