Anda di halaman 1dari 11

NAMA : MUHAMMAD WAHYUDI

STAMBUK : A 311 17 015

KELAS :A

MK : PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

RESUME

MENGURAI KONFLIK DAN MEMBANGUN HARMONI DALAM


KEBERAGAMAN

Konflik merupakan suatu hal yang sangat sulit dihindari oleh setiap
masyarakat. Hal ini disebabkan masih sering terjadinya intoleran dalam menghadapi
setiap hal. Bahkan di Indonesia sendiri, konflik sudah menjadi hal biasa yang sering
terjadi dalam masyarakat, yang ditakutkan akan mengarah ke disintegrasi bangsa.

Menurut Juraid Abdul Latief (2015), dalam dua dekade terakhir realitas
harmoni Indonesia kerap terkoyak oleh serangkaian konflik berbau kekerasan
(violence conflicts) yang marak merebak di berbagai daerah. Berbagai konflik
komunal bukan hanya sangat mengganggu stabilitas nasional tetapi juga mengancam
integrasi bangsa.

Berbagai upaya penanganan konflik yang selama ini dilakukan elit masyarakat
maupun pemerintah terkesan hanya menyelesaikan atau mengakhiri konflik, belum
mengarah pada upaya transformasi konflik (conflict transformation) secara
berkesinambungan. Untuk itu diperlukan upaya alternatif yang berbeda dari cara-cara
penyelesaian konflik yang selama ini ada (Juraid Abdul Latief dan Riady Ibnu
Khaldun, 2015).
Konflik: Konsepsi dan Resolusi

Menurut Juraid Abdul Latief (2015), resolusi konflik merupakan suatu


terminologi ilmiah yang menekankan kebutuhan untuk melihat perdamaian sebagai
sebuah proses terbuka dan membagi proses penyelesaian konflik melalui beberapa
tahap sesuai status konflik. Ada empat tahapan dalam resolusi konflik yaitu:

- Tahap de-eskalasi konflik yang menekankan pada proses penghentian


kekerasan.
- Tahap negoisasi, langkah penyelesaian yang lebih berorientasi politik dengan
melibatkan kelompok-kelompok yang bertikai.
- Tahap problem solving approach yang lebih bernuansa sosial.
- Tahap peace building, yakni tahap yang bersifat kultural dan struktural.

Tahap-tahapan dalam resolusi konflik di atas, tidak akan terwujud jika tidak
ada kerja sama yang baik dari pihak-pihak yang terlibat konflik. Selain itu, peran para
penengah di dalam konflik diharapkan harus bijak dalam mengatasi dan mengambil
keputusan.

Konflik dalam Perspektif Teori dan Historis

Dalam hal teori, konflik memiliki pengertian yang beragam dari berbagai
persepktif, baik itu perspektif secara umum, sosiologi dan kulturlal, dan pandangan
terhadap konflik dalam perspektif-perspektif yang lainnya. Menurut Juraid Abdul
Latief (2015), berikut merupakan beberapa pandangan mengenai konflik dalam
berbagai perspektif.

1. Konflik Secara Umum

Konflik adalah suatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat
kreatif. Konflik terjadi ketika kepentingan maupun tujuan masyarakat tidak sejalan.
Berbagai perbedaan pendapat terjadi namun konflik dapat diselesaikan tanpa adanya
kekerasan dan bahkan sering menghasilkan situasi yang lebih baik bagi sebagian
besar atau semua pihak yang terlibat.

2. Konflik dalam Perspektif Sosiologi dan Kultural

Secara sosiologis, konflik sesungguhnya dipahami dalam dua wajah yang


berbeda yaitu :1) Konflik dapat dianggap sebagai sebuah patologi sosial akibat
kegagalan proses integrasi masyarakat atau komunitas; 2) Konflik dilihat dari segi
fungsionalnya yakni sebagai sebuah mekanisme untuk menyempurnakan proses
integrasi sosial.

3. Konflik Berdasarkan Sumber-Sumber Konflik

Bila diteropong lebih seksama sumber-sumber konflik di tingkat lokal


menyangkut beberapa aspek yaitu :

- Tekanan yang makin keras terhadap peran negara sebagai sebuah kekuatan
yang berdaulat atas wilayah dan warganya.
- Posisi negara yang makin terancam oleh mobilisasi kelompok-kelompok yang
tidak puas terhadap situasi dan kondisi tertentu.
- Konflik di tingkat lokal dapat juga dipicu oleh ambisi-ambisi pribadi para
pemimpin kelompok di dalam suatu negara dengan cara mengeksploitasi
suasana pluralitas demi kepentingan pribadi/kelompoknya melalui
penggalangan dukungan massa.

4. Konflik Primordial

Di luar bentuk eksploitasi pluralitas, konflik juga dapat terbangun dari akibat
pola primordial. Ketika masih berlangsung pegelompokan negara menjadi Blok Barat
dan Blok Timur atau Kapitalisme-liberal versus Marxisme-Leninisme, eksploitasi
pluralitas menjadi tidak relevan. Namun ketika Perang Dingin berakhir, maka benih-
benih primordialisme mulai muncul ke permukaan.
5. Resolusi (Negara dan Masyarakat Sipil) Multikultural

Dalam bagian solusi terkait masyarakat multikultural, banyak ahli


memberikan saran untuk mengatasi konflik sosial (yang melibatkan massa) baik
massa berbasis agama maupun berbasis ideologi non agama. Menurut Jack Rothman
dalam , Juraid Abdul Latief (2015), ada dua jalur resolusi konflik. Jika konflik
melibatkan massa (agama maupun non agama), harus dilakukan hal-hal:

- Tindakan koersif (paksaan), perlu ada pengaturan administratif, penyelesaian


hukum, tekanan politik dan ekonomi.
- Memberikan insentif seperti memberikan penghargaan kepada komunitas
yang mampu menjaga ketertiban dan keharmonisan masyarakat.
- Tindakan persuasif, terutama terhadap ketidakpuasan yang dihadapi
masyarakat dalam menghadapi realitas sosial, politik dan ekonomi
- Tindakan normatif, yakni melakukan proses pembangunan persepsi dan
keyakinan masyarakat akan sistem sosial yang akan dicapai.

Sementara untuk konflik kekerasan yang lebih bersifat vertical, perlu


dilakukan dengan jalan rekonsiliasi atau penyelesaian politik yang menguntungkan
masyarakat luas. Telah banyak pekerjaan dilakukan oleh Negara dan masyarakat sipil
dalam upaya menyelesaikan konflik sosial agama (SARA) yang terjadi di Indonesia,
sepanjang tahun 2000 sampai 2006 yang lalu, tetapi tetap saja konflik sosial (SARA)
terus terjadi, bahkan belakangan terus berkembang pada tataran yang lebih ruwet.

Multikulturalisme dalam Konflik

Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep


keanekaragaman secara suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri
masyarakat majemuk karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman
kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme juga mengulas
berbagai permasalahan yang mendukung ideologi, yaitu politik dan demokrasi,
keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya
komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta
mutu produktivitas (Juraid Abdul Latief, 2015).

Membangun Masa Depan Bangsa di Atas Fondasi Multikultural

Konflik horisontal dapat mengarah kepada disintegrasi nasional, separatisme


dan mengancam keutuhan NKRI. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 7 tahun
2005, pengelolaan keragaman budaya di Indonesia dapat dilakukan dengan :

- Pelaksanaan dialog antar budaya yang terbuka dan demokratis.


- Pengembangan multikultural dalam rangka meningkatkan toleransi dalam
masyarakat.
- Membangun kesadaran hidup multikultural menuju terciptanya keadaban.

Masyarakat multikultural merupakan masyarakat yang menghargai


keberagaman yang ada di lingkungannya. Untuk itu dibutuhkan dialog antara tiap-tiap
budaya, agar setiap pihak dapat memahami pihak yang lain, sehingga terciptanya
toleransi di tataran masyarakat. Kesadaran akan adanya keberagaman ini juga perlu
ditanamkan oleh masyarakat agar masa depan bangsa akan lebih baik kedepannya
tanpa ada terjadinya perpecahan maupun konflik-konflik yang tidak perlu.
RESUME

DI Bawah Bayangan Toleransi, Perdamaian dan Demokrasi: Menjejaki


Kembali Asal-usul Keganasan dan Radikalisme dalam beragama di Indonesia

Silsilah Radikalisme

Istilah radikalisme di Indonesia sering digunakan dalam menanggapi masalah


yang sering terjadi di bidang agama. Radikalisme sering disematkan terhadap
masalah yang sering muncul dalam agama Islam. Namun, pada kenyataannya,
radikalisme merupakan suatu masalah yang bisa muncul di dalam setiap agama,
bukan hanya dalam agama Islam saja.

Menurut Juraid Abdul Latief dan Riady Ibnu Khaldun (2017: 143), sebagai
soal fakta, radikalisme adalah masalah umum yang selalu muncul dalam agama
apapun, tidak hanya Islam. Hal ini erat terkait dengan fundamentalisme yang ditandai
dengan kecenderungan orang untuk mengakui dan mempraktekkan nilai-nilai agama
mereka.

Silsilah radikalisme agama disebabkan oleh beberapa alasan. Dalam kasus


Islam setidaknya ada dua kasus yang membawa pada ledakan kekerasan Islam
kontemporer. Alasan pertama adalah karena tekanan yang datang dari kekuatan
dominan yang paling politik, di mana beberapa kebebasan kelompok Islam untuk
mengekspresikan pendapat mereka ditindas. Sementara itu, yang kedua datang dari
kegagalan rezim otoriter yang mengakibatkan fundamentalisme dan radikalisme
sebagai alternatif jelas dalam upaya untuk memulihkan sistem (Juraid Abdul Latief
dan Riady Ibnu Khaldun, 2017: 143).
Faktor penyebab munculnya radikalisme dalam suatu agama disebabkan oleh
alasan yang berbeda-beda. Permasalahan-permasalahan ini bisa datang dari berbagai
hal, contohnya akibat dari permasalahan-permasalahan politik.

Memahami Menuju Kekerasan Doktrin

Setiap permasalahan yang terjadi, terkhususnya permasalahan dalam agama,


tidak bisa dilepaskan dari penyebab adanya doktrin dari satu atau berbagai pihak. Hal
inilah yang memicu terjadinya konflik yang menjurus ke arah kekerasan.

Sebelum mengungkapkan pemahaman, itu hanya tepat untuk mengakui


konsep sebenarnya dari Jihad (perang suci) dalam Islam. Hal ini penting karena
radikalisme sering dikaitkan dengan Jihad dalam nama Allah. Sebagai salah satu
keyakinan agama, Jihad dimaksudkan sebagai bentuk pertahanan agama untuk
merespon perubahan tantangan kali (Juraid Abdul Latief dan Riady Ibnu Khaldun,
2017: 144).

FAKTOR DARI RADIKALISME GERAKAN MUNCULNYA

Menurut Juraid Abdul Latief dan Riady Ibnu Khaldun (2017: 144-146),
Faktor-faktornya antara lain sebagai berikut:

- Faktor sosial-politik

Dalam "agama" kekerasan indikasi sebenarnya lebih tepat dilihat sebagai


kekerasan sosial-politik. Hal ini dapat dilihat secara historis bahwa konflik
disebabkan oleh unsur-unsur radikal dan kekerasan yang menentang kelompok lain
berasal dari isu-isu sosial-politik.
- Agama Sentimen Factor

Ini adalah sedikit jelas bahwa sentimen agama merupakan salah satu faktor
utama yang memicu gerakan radikal. Solidaritas di antara mereka dengan agama yang
sama juga memiliki porsi besar dalam menyebabkan indikasi tersebut.

- Faktor budaya

Alasan budaya juga berfungsi untuk alasan radikal gerakan munculnya.


Secara budaya, merupakan penyebab alami untuk Musa Asy'ari mengungkapkan
bahwa akan selalu ada upaya disosiasi dari perangkap budaya yang tidak diinginkan.

- Anti-Barat Factor ideologis

Barat di adalah subjek yang tidak pantas bagi umat Islam yang dianggap
sebagai berbahaya dan mengalihkan nilai implementasi Islam. Hal ini memberikan
inspirasi untuk menciptakan upaya mengurangi ide-ide Barat untuk mempertahankan
nilai-nilai dan praktik Islam.

- Faktor Politik Pemerintah

Menderita cacat sistem pemerintahan di negara-negara Islam untuk


mereformasi bentuk-bentuk frustrasi dan kemarahan rakyat adalah karena dominasi
dalam hal ideologi, militer, dan bahkan ekonomi dari negara-negara maju. Dalam
situasi ini, para elit pemerintah dari negara-negara Islam belum mampu menemukan
sumber gerakan-gerakan kekerasan. Ini akhirnya mengarah ke kegagalan dalam
menangani masalah sosial dari orang-orang mereka.

Gerakan radikal yang dilakukan oleh ekstrimis beberapa Muslim benar-benar


mencerminkan kombinasi faktor internal dan eksternal.
1. Faktor internal

Itu berasal dari sentimen agama berdasarkan interpretasi ajaran agama. Jika
gerakan radikal terinspirasi oleh kesalahpahaman dari nilai-nilai agama, maka perlu
untuk merekonstruksi belajar dasar sebagian doktrin agama. Sebagai contoh, proses
pembelajaran simbolik-normatif dapat secara bertahap berubah menjadi cara yang
lebih etis, substansial, dan universal pemahaman.

2. Faktor Eksternal

Pengembalian hak politik yang tertahan oleh pihak Barat, seperti penghentian
menyinggung manipulasi media, restitusi Muslim Muslim daerah teritorial, dan
ekonomi, budaya, dan militer lenyapnya monopoli adalah kondisi utama yang
diperlukan untuk menjaga radikal gerakan di teluk. Selain itu, kebijakan pemerintah
dari negara-negara Islam juga poin penting yang memiliki kontribusi untuk
membantu mengurangi tingkat gerakan radikal.

Solusi Untuk Kekerasan

Masyarakat kita sering disebut masyarakat majemuk. Masyarakat yang


memiliki keberagaman, namun di dalam keberagaman tersebut masih terlalu banyak
terjadi intoleransi. Maka dari itu, untuk dapat menjaga kerukunan, diperlukannya
toleransi atas keberagaman yang terjadi di dalam masyarakat ini. Sehingga
permasalahan-permasalahan tidak akan sering tercipta karena masyarakat sudah dapat
menghargai perbedaan yang ada.

Solusi yang ditawarkan untuk menghadapi fenomena radikalisme agama


adalah sebagai berikut: Pertama, menampilkan Islam sebagai agama nilai-nilai
universal, ajaran, pikiran, dan doktrin-doktrin yang menyediakan cara untuk
menciptakan perdamaian di dunia ini. Kedua, inspirasi upaya dalam meningkatkan
penolakan terhadap kekerasan dan sikap terorisme. Tindakan ini harus melibatkan
semua kelompok dalam setiap agama yang memiliki ide yang sama dengan kekerasan
sampah dan radikalisme. Ketiga, tumbuh karakter agama yang moderat dan
memahami dinamika kehidupan secara terbuka, serta belajar untuk menerima
pengalaman jamak dari "yang lain" (Juraid Abdul Latief dan Riady Ibnu Khaldun,
2017: 146)
REFERENSI

Juraid Abdul Latief, 2015. Mengurai Konflik dan Membangun Harmoni dalam
Keberagaman. https://ahmadsamantho.wordpress.com/2015/02/17/mengurai-
konflik-dan-membangun-harmoni-dalam-keberagaman-1/, diakses pada
tanggal 7 Maret 2020.

Juraid Abdul Latief dan Ryadi Ibnu Khaldun. 2017. UNDER THE SHADOW OF
TOLERANCE, PEACE, AND DEMOCRACY: TRACING BACK THE
ORIGINS OF RELIGIOUS VIOLENCE AND RADICALISM IN
INDONESIA. Asian Journal of Evironment, History and Heritage. 1 (1):
142-147.

Anda mungkin juga menyukai