Anda di halaman 1dari 6

Ad

YOUR SAY / NEWS

Lebih Jauh Tentang Pembatasan Gerak Sosial


Dinamika jarak sosial dalam kehidupan sehari-hari harus diperhatikan dan diarahkan. Keakraban
antar kelompok berbeda digencarkan, sehingga semua kelompok memahami dan menerima
hafidz
Sabtu, 21 Maret 2020 | 17:23 WIB

Ilustrasi social distancing. (Shutterstock)

Suara.com - Penyebaran virus corona telah melintasi banyak negara, sekitar 181
negara terpapar, sehingga dinyatakan sebagai pandemi global oleh Badan Kesehatan
Dunia (WHO). Berbagai upaya dilakukan untuk menanggulangi pandemi, antara lain
dengan pembatasan interaksi antar anggota masyarakat ( social distancing).

Berdasarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan,


pembatasan sosial berskala besar merupakan bagian dari respon kedaruratan dan
bertujuan mencegah meluasnya penyebaran penyakit.

Kegiatan pembatasan meliputi: peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan


kegiatan keagamaan, dan pembatasan kegiatan di tempat/fasilitas umum (Pasal 59).
Saat ini, sejumlah pemerintah daerah telah meliburkan sekolah dan kampus agar
siswa/mahasiswa bisa belajar di rumah (distance learning).

Lembaga keagamaan (MUI) juga mengeluarkan fatwa yang menganjurkan ibadah di


rumah dan tidak ke masjid sementara waktu.

Sebagai mitigasi darurat, anggota masyarakat yang berinteraksi dengan penderita


Covid-19 atau mengunjungi wilayah terinfeksi wabah, maka dilakukan karantina rumah
atau wilayah, serta dipantau kondisinya selama masa inkubasi virus. Bila kondisi sehat
(uji virus negatif), maka bisa tetap di rumah dan mengurangi aktivitas luar.

Jika hasil tesnya positif, maka akan dirawat di rumah sakit dan mungkin diisolasi di
ruang khusus. Bila kondisi pasien memburuk (na’udzu billah) dan akhirnya meninggal,
maka perawatan jenazah juga harus dilakukan secara khusus.

Pembatasan Sosial sebagai Tahap Awal

Dari proses itu kita paham bahwa pembatasan merupakan tahap dini untuk mencegah
penyebaran virus. Pada tiap tahap penanggulangan wabah terjadi pengetatan ruang
gerak individu hingga ke level ekstrem: diisolasi atau dimakamkan secara khusus.
Tentu saja hal itu berpengaruh kepada kondisi kejiwaan pasien atau keluarga
terdekatnya.

Karena itu, upaya apapun yang ditempuh untuk menanggulangi wabah – secara medis
atau nonmedis – harus mempertimbangkan konsekuensi psikologis dan sosial.

Implementasi pembatasan sosial harus berdasarkan pertimbangan epidemiologi,


besarnya ancaman, dukungan sumberdaya, teknis operasional, pertimbangan ekonomi,
sosial, budaya, dan keamanan; sehingga mungkin terjadi perbedaan kebijakan antara
pemerintah pusat dan daerah sesuai dengan kondisi wilayah.

Terlepas dari praktek penanggulangan pandemi, dalam ilmu sosial, istilah Jarak Sosial
(social distance) merupakan konsep penting. Ada beberapa pengertian tentang jarak
sosial, intinya merupakan ukuran kedekatan yang dirasakan individu atau kelompok
terhadap individu atau kelompok lain dalam jejaring sosial.

Jarak Sosial dalam Berbagai Dimensi

Jarak sosial dapat dilihat dalam beberapa dimensi. Pertama, dimensi afektif, seberapa
besar simpati yang dirasakan anggota suatu kelompok terhadap kelompok lain. Gejala
itu diukur Bogardus (1947) dalam skala berdasarkan konsepsi subyektif pelaku di
tengah pergaulan sosial.

Kedua, dimensi normatif, mengacu pada norma-norma yang diterima secara luas dan
secara sadar diposisikan tentang siapa yang harus dianggap sebagai "orang dalam"
(kita) dan siapa "orang luar/asing" (mereka). Jarak sosial normatif berbeda dari afektif,
karena dipahami sebagai aspek struktural non-subyektif dari hubungan sosial (Park:
1924).
Dimensi ketiga, interaktif, berfokus pada frekuensi dan intensitas hubungan antar
individu atau kelompok. Konsepsi ini mirip dengan teori jaringan (Garnovetter: 2005), di
mana frekuensi interaksi antara dua pihak digunakan sebagai ukuran "kekuatan" dari
ikatan sosial.

Dimensi keempat ditark dari perspektif Bourdieu (1990) tentang modal kultural dan
kebiasaan seseorang yang akan membentuk “kelas sosial” tersendiri. Dalam konteks
ini, gaya hidup seseorang akan membedakannya dengan orang lain.

Jarak Sosial dan Kualitas Hubungan Sesama

Kita merasakan pentingnya konsep jarak sosial untuk memahami kualitas hubungan
antara individu dan kelompok. Jarak sosial bisa menjadi kriteria apakah masyarakat
memiliki integrasi sosial yang kuat atau lemah. Bila jarak sosial antar kelompok bersifat
jauh, maka integrasi sosial akan lemah. Sebaliknya, jarak sosial yang dekat akan
membuat integrasi sosial lebih kuat.

Jarak sosial yang jauh ditandai prasangka (stereotip) yang berkembang antar
kelompok. Individu atau kelompok yang memiliki perasaan negatif terhadap
individu/kelompok yang berbeda akan membangun prasangka buruk berdasarkan
informasi parsial.

Jarak sosial yang dekat ditunjukkan dengan rasa simpati dan empati seseorang
terhadap orang dan kelompok lain. Perbedaan latar belakang sosial-ekonomi tidak
merenggangkan hubungan, bahkan semakin mendekatkan karena kesadaran akan
kemajemukan dan semangat egaliterian.

Stereotip negatif yang berlangsung lama dan meluas di tengah masyarakat akan


menimbulkan efek berbahaya, yaitu munculnya stigma sosial berupa penolakan
terhadap seseorang atau kelompok karena orang tersebut dipandang melawan norma
yang ada. Akibat lebih jauh adalah terjadi diskriminasi sosial.

Dinamika jarak sosial dalam kehidupan sehari-hari harus diperhatikan dan diarahkan.
Keakraban antar kelompok berbeda digencarkan, sehingga semua kelompok
memahami dan menerima perbedaan serta keunikan di antara mereka, selanjutnya
mampu membangun kesepakatan tentang nilai-nilai bersama.

Itulah manfaat dibangunnya taman kota dengan segala fasilitas bermain dan olahraga,
diterapkan car free day (CFD) di jalan-jalan utama, dan digalang aktivitas publik yang
melibatkan segenap warga dari latar belakang apapun.

Saat ini, tatkala pandemi global Covid-19 menerpa dunia hingga ke Indonesia,
kebijakan sebaliknya yang ditempuh: pembatasan interaksi, penutupan tempat-tempat
keramaian umum, serta meliburkan jadwal sekolah/kerja dan agenda publik lain.

Pada tahap awal mungkin pembatasan, apalagi liburan, akan disambut ‘gembira’.
Padahal sebenarnya hal itu dimaksudkan untuk menghindari penyebaran wabah
dengan belajar dan bekerja dari rumah.
Pada gilirannya, kebijakan pembatasan akan menimbulkan efek psikologi, terutama
setelah terlihat hasil yang mungkin berbeda: ada warga tetap sehat dan ada pula warga
yang akhirnya terpapar tanpa disadari dari mana sumbernya.

Tiap orang bisa merasakan konsekuensi berbeda dan membandingkan kondisinya


dengan orang lain yang lebih beruntung. Dari situlah terbentuk persepsi yang tidak
sama antar individu dan kelompok, lalu terbangun jarak sosial berdasarkan perasaan
dan empati terhadap individu atau kelompok lain.

Untuk itu, pemerintah tak hanya memberlakukan kebijakan pembatasan sosial,


melainkan juga harus memikirkan dan memberikan jaminan perawatan dan mungkin
kompensasi bagi warga miskin atau rentan.

Keefektifan Pembatasan Sosial

Pembatasan sosial dalam skala besar akan efektif bila diikuti dengan penyebaran sikap
dan emosi yang positif. Semua orang berpeluang terpapar wabah tanpa disadari atau
diinginkan, terlepas dari posisi sosial dan jabatan formal.

Seorang pelajar/mahasiswa, ibu rumah tangga atau pejabat tinggi negara bisa
menderita gejala serupa. Emosi positif akan mempercepat kesembuhan dan
menyehatkan masyarakat secara kolektif.

Ujian terberat ketika seseorang dinyatakan positif terpapar wabah dan mengalami
resiko kematian, sehingga jenazahnya akan diperlakukan khusus. Perlakuan khusus itu
menimbulkan persepsi yang beragam di tengah masyarakat, yang harus dihindari agar
tidak menjadi stigma sosial baru.

Masyarakat Indonesia (dahulu bernama Nusantara) telah mengalami beragam


bencana, bahkan yang paling dahsyat sepanjang sejarah manusia seperti meletusnya
Gunung Tambora (1815) dan Gunung Krakatau (1883). Wabah cacar terjadi di Bali,
Ambon dan Ternate (1871) menimbulkan korban sedikitnya 18.000 meninggal. Pada
tahun 1821 wabah kolera melanda Batavia dan menyebabkan korban ratusan orang
meninggal.

Di tengah bencana, warga membangun spirit solidaritas genuin semisal membagikan


masker gratis atau sanitizer untuk tempat ibadah dan fasilitas publik. Percakapan di
media sosial juga sangat banyak yang positif untuk menerapkan pola hidupan bersih
dan sehat (PHBS), tips mencegah tersebarnya wabah, dan aksi-aksi produktif atau
kreatif yang bisa dilakukan di rumah.

Bila warga Wuhan di China meneriakkan “Wuhan Jiayou” (Tetap Semangat Wuhan)
dari jendela apartemen, dan warga Italia bermain musik bersama dari balkon rumahnya,
maka warga Indonesia punya tradisi sendiri untuk menunjukkan solidaritas. Ada yang
melakukan doa berantai atau membuat pesan kepedulian dalam bentuk pantun, meme
dan kartun.
Virus corona baru mungkin memisahkan kita secara fisik sementara, namun
mempersatukan hati dan pikiran kita. Indonesia sehat, Indonesia kuat

Oleh: Sapto Waluyo (Center for Indonesian Reform)

    

TAG
 #social distancing
 #Apa itu Social Distancing
 #Pengertian Social Distancing
 #Social Distancing Artinya

BERITA TERKAIT

Polisi Tindak Tegas Warga yang Nekat Berkerumun di Tengah Wabah Corona

Kerja di Tengah Wabah Corona, Antara Dilema dan Cemas

Menumpuk karena Jam Dibatasi, Penumpang KRL: Risiko Tertular Corona Besar

Heboh Penumpang KRL Bersesakan saat Wabah Corona Disorot Jurnalis Asing

WHO Serukan Physical Standing Ketimbang Social Standing


TERPOPULER

Pendeta di Batam Meninggal Terkena Corona, Puluhan Jemaat Jalani Karantina

5 Sebab Virus Corona Bisa Bertahan di Indonesia Bahkan saat Dunia Pulih

Positif Virus Corona, Warga Blitar Ini Sudah Mengeluh Sakit Selama 9 Hari

Pendekar Wiro Sableng, Abi Cancer Meninggal Dunia

Pesawat CASA CN A-2909 Milik TNI AU Ditembak di Pegunungan Bintang Papua

© 2020 suara.com - All Rights Reserved.

Anda mungkin juga menyukai