YOUR SAY / NEWS
Suara.com - Penyebaran virus corona telah melintasi banyak negara, sekitar 181
negara terpapar, sehingga dinyatakan sebagai pandemi global oleh Badan Kesehatan
Dunia (WHO). Berbagai upaya dilakukan untuk menanggulangi pandemi, antara lain
dengan pembatasan interaksi antar anggota masyarakat ( social distancing).
Jika hasil tesnya positif, maka akan dirawat di rumah sakit dan mungkin diisolasi di
ruang khusus. Bila kondisi pasien memburuk (na’udzu billah) dan akhirnya meninggal,
maka perawatan jenazah juga harus dilakukan secara khusus.
Dari proses itu kita paham bahwa pembatasan merupakan tahap dini untuk mencegah
penyebaran virus. Pada tiap tahap penanggulangan wabah terjadi pengetatan ruang
gerak individu hingga ke level ekstrem: diisolasi atau dimakamkan secara khusus.
Tentu saja hal itu berpengaruh kepada kondisi kejiwaan pasien atau keluarga
terdekatnya.
Karena itu, upaya apapun yang ditempuh untuk menanggulangi wabah – secara medis
atau nonmedis – harus mempertimbangkan konsekuensi psikologis dan sosial.
Terlepas dari praktek penanggulangan pandemi, dalam ilmu sosial, istilah Jarak Sosial
(social distance) merupakan konsep penting. Ada beberapa pengertian tentang jarak
sosial, intinya merupakan ukuran kedekatan yang dirasakan individu atau kelompok
terhadap individu atau kelompok lain dalam jejaring sosial.
Jarak sosial dapat dilihat dalam beberapa dimensi. Pertama, dimensi afektif, seberapa
besar simpati yang dirasakan anggota suatu kelompok terhadap kelompok lain. Gejala
itu diukur Bogardus (1947) dalam skala berdasarkan konsepsi subyektif pelaku di
tengah pergaulan sosial.
Kedua, dimensi normatif, mengacu pada norma-norma yang diterima secara luas dan
secara sadar diposisikan tentang siapa yang harus dianggap sebagai "orang dalam"
(kita) dan siapa "orang luar/asing" (mereka). Jarak sosial normatif berbeda dari afektif,
karena dipahami sebagai aspek struktural non-subyektif dari hubungan sosial (Park:
1924).
Dimensi ketiga, interaktif, berfokus pada frekuensi dan intensitas hubungan antar
individu atau kelompok. Konsepsi ini mirip dengan teori jaringan (Garnovetter: 2005), di
mana frekuensi interaksi antara dua pihak digunakan sebagai ukuran "kekuatan" dari
ikatan sosial.
Dimensi keempat ditark dari perspektif Bourdieu (1990) tentang modal kultural dan
kebiasaan seseorang yang akan membentuk “kelas sosial” tersendiri. Dalam konteks
ini, gaya hidup seseorang akan membedakannya dengan orang lain.
Kita merasakan pentingnya konsep jarak sosial untuk memahami kualitas hubungan
antara individu dan kelompok. Jarak sosial bisa menjadi kriteria apakah masyarakat
memiliki integrasi sosial yang kuat atau lemah. Bila jarak sosial antar kelompok bersifat
jauh, maka integrasi sosial akan lemah. Sebaliknya, jarak sosial yang dekat akan
membuat integrasi sosial lebih kuat.
Jarak sosial yang jauh ditandai prasangka (stereotip) yang berkembang antar
kelompok. Individu atau kelompok yang memiliki perasaan negatif terhadap
individu/kelompok yang berbeda akan membangun prasangka buruk berdasarkan
informasi parsial.
Jarak sosial yang dekat ditunjukkan dengan rasa simpati dan empati seseorang
terhadap orang dan kelompok lain. Perbedaan latar belakang sosial-ekonomi tidak
merenggangkan hubungan, bahkan semakin mendekatkan karena kesadaran akan
kemajemukan dan semangat egaliterian.
Dinamika jarak sosial dalam kehidupan sehari-hari harus diperhatikan dan diarahkan.
Keakraban antar kelompok berbeda digencarkan, sehingga semua kelompok
memahami dan menerima perbedaan serta keunikan di antara mereka, selanjutnya
mampu membangun kesepakatan tentang nilai-nilai bersama.
Itulah manfaat dibangunnya taman kota dengan segala fasilitas bermain dan olahraga,
diterapkan car free day (CFD) di jalan-jalan utama, dan digalang aktivitas publik yang
melibatkan segenap warga dari latar belakang apapun.
Saat ini, tatkala pandemi global Covid-19 menerpa dunia hingga ke Indonesia,
kebijakan sebaliknya yang ditempuh: pembatasan interaksi, penutupan tempat-tempat
keramaian umum, serta meliburkan jadwal sekolah/kerja dan agenda publik lain.
Pada tahap awal mungkin pembatasan, apalagi liburan, akan disambut ‘gembira’.
Padahal sebenarnya hal itu dimaksudkan untuk menghindari penyebaran wabah
dengan belajar dan bekerja dari rumah.
Pada gilirannya, kebijakan pembatasan akan menimbulkan efek psikologi, terutama
setelah terlihat hasil yang mungkin berbeda: ada warga tetap sehat dan ada pula warga
yang akhirnya terpapar tanpa disadari dari mana sumbernya.
Pembatasan sosial dalam skala besar akan efektif bila diikuti dengan penyebaran sikap
dan emosi yang positif. Semua orang berpeluang terpapar wabah tanpa disadari atau
diinginkan, terlepas dari posisi sosial dan jabatan formal.
Seorang pelajar/mahasiswa, ibu rumah tangga atau pejabat tinggi negara bisa
menderita gejala serupa. Emosi positif akan mempercepat kesembuhan dan
menyehatkan masyarakat secara kolektif.
Ujian terberat ketika seseorang dinyatakan positif terpapar wabah dan mengalami
resiko kematian, sehingga jenazahnya akan diperlakukan khusus. Perlakuan khusus itu
menimbulkan persepsi yang beragam di tengah masyarakat, yang harus dihindari agar
tidak menjadi stigma sosial baru.
Bila warga Wuhan di China meneriakkan “Wuhan Jiayou” (Tetap Semangat Wuhan)
dari jendela apartemen, dan warga Italia bermain musik bersama dari balkon rumahnya,
maka warga Indonesia punya tradisi sendiri untuk menunjukkan solidaritas. Ada yang
melakukan doa berantai atau membuat pesan kepedulian dalam bentuk pantun, meme
dan kartun.
Virus corona baru mungkin memisahkan kita secara fisik sementara, namun
mempersatukan hati dan pikiran kita. Indonesia sehat, Indonesia kuat
TAG
#social distancing
#Apa itu Social Distancing
#Pengertian Social Distancing
#Social Distancing Artinya
BERITA TERKAIT
Polisi Tindak Tegas Warga yang Nekat Berkerumun di Tengah Wabah Corona
Menumpuk karena Jam Dibatasi, Penumpang KRL: Risiko Tertular Corona Besar
Heboh Penumpang KRL Bersesakan saat Wabah Corona Disorot Jurnalis Asing
5 Sebab Virus Corona Bisa Bertahan di Indonesia Bahkan saat Dunia Pulih
Positif Virus Corona, Warga Blitar Ini Sudah Mengeluh Sakit Selama 9 Hari