Anda di halaman 1dari 5

IZINKAN AKU MENGGANTIKANNYA

Oleh: Nur Laily

Ocehan Mama di pagi hari telah menjadi alarm pribadi bagi Ema.
Seketika Ema langsung terbangun dari kelana mimpinya. Aktifitas kucek-kucek
mata masih terasa nikmat, merenggangkan oto-otot, dan terduduk diam siap-siap
menutup telinga.

“Kamu itu anak gadis bangunnya jangan kesiangan dong Ma…, masak
harus nunggu mama marah-marah dulu baru kamu mau bangun sih?, tuh liat!
subuhnya hilang” seperti biasa Mama mengomel.

Dengan santainya Ema langsung memeluk Mama. “iya Mama sayang.. oh


iya, aku kan ada janji sama Edo. Aku mandi dulu ya ma”.

Kafe Latulip masih terlihat sepi ketika Ema menginjakkan kakinya, saat
pintunya terbuka, terdengar lantunan musik akustik dari band tahun 90-an. Ia
mengedarkan pandangan dan menemukan sosok Edo kekasihnya di pojok
ruangan.

“Hai, Do. Udah lama? Maaf ya aku tadi kesiangan, hehehe” cengir Ema
dengan ekspresi lucunya. Edo hanya mengangguk dan tersenyum. Sekilas ada raut
wajah sedih yang disembunyikan Edo. Ema melihat mata sembab yang berusaha
Edo tutupi. “Kamu kenapa, sayang? Ada masalah?”. “Oh.. eh, gapapa kok
Ma.Cuma urusan kerjaan aja”.

“Oh iya, kamu semalam bilang ada yang mau disampaikan, apa?”. Edo
bingung. Sejenak ia terdiam. Mencari jawaban atas pertanyaan Ema.

“Aku Cuma mau bilang.. Aku.. eh.. Anu..”, melihat tingkah Edo, Ema
tertawa geli, Edo terlihat tidak seperti biasanya. “Hahaha.. kamu kenapa sih, Do.
Aneh banget hari ini.. katanya ada yang penting…” desak Ema. “Aku cuma mau
bilang kalo aku kangen kamu” gugup sekali Edo mengatakannya. Wajah Ema
langsung bersemu merah, malu sekali ia mendengar jawaban Edo yang konyol.
Sepenting itukah rindunya?.

**

Edo bersimpuh lesu dengan derai air mata membasahi tanah kuburan yang
masih baru. Ia menangisi saudaranya yang telah terbujur kaku di liang kubur. Edo.
Ya.. Edo telah terbaring terbungkus kain putih dua hari yang lalu. Lalu siapa kini
yang sedang menangis sengau?. Dia Edi. Tak ada yang tau jika Edo memiliki
saudara kembar, karena sejak kecil Edi tinggal bersama neneknya di luar pulau. Ia
baru datang seminggu yang lalu setelah mendapat kabar bahwa Edo mengidap
kanker tulang.

Edi berbanding terbalik dengan Edo. Edo yang humoris dan romantis,
sedangkan Edi sangatlah pendiam. Pantas saja saat kemarin ia menemui kekasih
Edo, ia sangat gugup. Karena Edi selama ini tidak pernah dekat dengan seorang
wanita. Baru kali ini, itu pun untuk menjalankan amanah dari Edo.

***

“Do, besok kita jalan-jalan yuk.. udah lama kita gak jalan-jalan. Jemput
aku di rumah ya…” pesan WhatsApp masuk dari Ema.

“Iya”. Jawab Edi singkat.

Dirinya bukan Edo yang dapat bertutur romantis. Ia terlalu kaku, dan
bingung bagaimana menanggapi pesan Ema. Yasudah lah. Semoga Ema tidak
mencium keanehan ini. Batinnya.

Mama seperti biasa menonton drama korea favoritnya, hingga terdengar


ketukan pintu dari luar. Saat dibuka ternyata Edo alias Edi sudah berdiri
berhadapan dengan Mama. “Eh, Edo.. mau keluar ya sama Ema?” Tanya Mama.
“Iya Tante, Emanya ada kan?”. Aneh.. Edo biasa memanggil Mama Ema dengan
sebutan Mama, lalu ini Tante?. “Tumben kamu manggilnya Tante, biasanya kan
Mama” tanpa peduli dengan keanehan tersebut Mama melenggang pergi
memanggil Ema.

“Yuk, Do” ajak Ema tanpa berlama-lama.

“Do, aku boleh nanya gak?. Kamu kok gak kayak biasanya ya, sekarang
kamu lebih pendiem. Biasanya tiba-tiba ada aja tingkah konyolmu. Aku ngerasa
kayak bukan kamu, Do.” Ema merasa curiga. Sembari duduk di bangku taman,
Ema meneliti ekspresi Edo yang memang tak biasa.

Edi harus mengelak, ia tak boleh ketahuan. Ia mencari-cari jawaban. “aku


gapapa kok Ma. Serius”. “Kamu jujur sama aku, Do. Aku kenal banget sama
kamu. Kamu gak biasanya kayak gini” desak Ema.

Baiklah, demi kebaikan bersama. Edi pun jujur. “Aku bukan Edo, Ma.
Aku Edi Bagas Prakoso, saudara kembarnya Edo.”. Bukannya kaget, Ema malah
tertawa geli. Ia pikir Edo bercanda, namun setelah melihat raut wajah lelaki itu
serius sekali, ia pun diam. “Lalu kalau kamu Edi, Edo mana?”. “Dia telah
meninggal Ma”. “Kamu gak usah bercanda, Do.” “Aku serius Ma, kalau kamu
tidak percaya aku antar kamu ke makamnya”.

Bak petir menyambar tepat di ulu hatinya, Ema merasakan sesak.


Bendungan air mata segera mendesak keluar. Ia tak percaya dengan apa yang ada
di depannya sekarang. Sebuah makam dengan nisan bertuliskan nama kekasihnya
itu masih basah oleh siraman air kembang. Sungguh masih sulit untuk dipercaya
jika apa yang dikatakan Edi adalah benar. Edo pergi meninggalkannya tanpa
pamit.

Runtuh sudah kekuatan Ema untuk tetap tegar, ia berbalik arah dan lari
meninggalkan Edi yang terduduk lemas di tanah.
****

Untuk wanita terhebatku.

Ema Lilyana, waktuku tak lagi sebanyak waktumu untuk mensyukuri nikmat
Tuhan. Izinkan aku pergi. Maafkan aku yang tak dapat memenuhi janji tuk
menjagamu. Jika diberikan kesempatan lagi untuk hidup, aku ingin selalu
melindungimu. Nyatanya tak seperti itu. Jangan bersedih. Tetaplah menjadi Ema
yang selalu ceria. Jangan pudarkan senyummu, layaknya cintaku yang tak akan
pudar untukmu. Sebagai penggantiku, terimalah Edi sebagai malaikat
pelindungmu. Aku percaya, kau akan aman dengannya dan aku akan tenang
meregang nyawa. Ema, aku mencintaimu, selalu.

Hujan di pipi Ema tak kunjung reda. Atmosfer mendung menyelimuti


ruang kamar. Edi disampingnya dengan sabar menenangkan Ema. Ia tau, wanita
ini sedang berduka sekali, seperti dirinya beberapa hari yang lalu.

“Edo… kenapa kamu gak pamit dulu sama aku, Do.. kamu jahat Do”
raungan Ema semakin menjadi. Mama hanya bisa melihat pemandangan sendu
tersebut.

“Ma.. meskipun aku gak sebaik Edo. Izinkan aku menjagamu Ma. Izinkan
aku menggantikannya. Aku akan melindungimu seperti keinginan Edo.” Edi
mendekap erat Ema yang masih sesenggukan. “Di, aku masih belum bisa nerima
kamu. Aku masih mencintai Edo, dan aku masih terpukul atas kepergiannya.”.
“Tak apa. Aku tak memaksamu memberikan hatimu. Aku hanya ingin
menjagamu”

Ema membalas pelukan Edi dan kembali tenggelam dalam kesedihannya.


Kepergian Edo telah meluluhlantakkan semangat Ema. Namun Ema sadar, ia tak
sendiri. Masih ada Edi yang bersedia menjaganya. Ia harus kembali bangkit dan
menata masa depan.
Izinkan aku menggantikannya, walau kutahu ia tak dapat tergantikan. Lirih
Edi.

Anda mungkin juga menyukai