Anda di halaman 1dari 21

MATA KULIAH KEPERAWATAN KOMUNITAS

“ASUHAN KEPERAWATAN KOMUNITAS PENYAKIT MENTAL, KECACATAN,


POPULASI TERLANTAR”

NAMA : ANDI USWATUN KHASANA


NIM :1701006
PRODI :S1 KEPERAWATAN `17

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes) PANAKKUKANG MAKASSAR


PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN
TAHUN AKADEMIK 2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Populasi rentan atau populasi beresiko adalah kondisi yang mempengaruhi
kondisi seseorang atau populasi untuk menjadi sakit atau sehat (Kaakinen, Hanson,
Birenbaum dalam Stanhope & Lancaster, 2004). Pandera mengkategorikan faktor
resiko kesehatan antara lain genetik, usia, karakteristik biologi, kesehatan individu,
gaya hidup dan lingkungan. Jika seseorang dikatakan rawan apabila mereka
berhadapan dengan penyakit, bahaya, atau outcome negatif. Faktor pencetusnya
berupa genetik, biologi atau psikososial. Populasi rawan atau rentan merupakan
kelompok-kelompok sosial yang memiliki peningkatan risiko yang relatif atau rawan
untuk menerima pelayanan kesehatan. Kenyataan menunjukan bahwa Indonesia
memiliki banyak peraturan perundangundangan yang mengatur tentang Kelompok
Rentan, tetapi tingkat implementasinya sangat beragam. Sebagian undang-undang
sangat lemah pelaksanaannya, sehingga keberadaannya tidak memberi manfaat bagi
masyarakat. Disamping itu, terdapat peraturan perundang-undangan yang belum
sepenuhnya mengakomodasi berbagai hal yang berhubungan dengan kebutuhan bagi
perlindungan kelompok rentan. Keberadaan masyarakat kelompok rentan yang
merupakan mayoritas di negeri ini memerlukan tindakan aktif untuk melindungi hak-
hak dan kepentingan-kepentingan mereka melalui penegakan hukum dan tindakan
legislasi lainnya. Hak asasi orang-orang yang diposisikan sebagai masyarakat
kelompok rentan belum terpenuhi secara maksimal, sehingga membawa konsekuensi
bagi kehidupan diri dan keluarganya, serta secara tidak langsung juga mempunyai
dampak bagi masyarakat.
BAB II

PEMBAHASAN

A. KONSEP TEORI
a. Populasi Rentan
Pengertian Kelompok Rentan tidak dirumuskan secara eksplisit dalam peraturan
perundang-undangan, seperti tercantum dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang
No.39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa setiap orang yang termasuk
kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan
perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Dalam penjelasan pasal
tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kelompok masyarakat yang
rentan, antara lain, adalah orang lanjut usia, anakanak, fakir miskin, wanita hamil
dan penyandang cacat. Sedangkan menurut Human Rights Reference disebutkan,
bahwa yang tergolong ke dalam Kelompok Rentan adalah:
a) Refugees (pengungsi)
b) Internally Displaced Persons (IDPs) (orang orang yang terlantar)
c) National Minoritie (kelompok minoritas)
d) Migrant Workers (pekerja migran)
e) Indigenous Peoples (orang pribumi/penduduk asli dari tempat
pemukimannya)
f) Children (anak)
g) Women (wanita)

Menurut Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia, kelompok


rentan adalah semua orang yang menghadapi hambatan atau keterbatasan
dalam menikmati standar kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan berlaku
umum bagi suatu masyarakat yang berperadaban. Jadi kelompok rentan dapat
didefinisikan sebagai kelompok yang harus mendapatkan perlindungan dari
pemerintah karena kondisi sosial yang sedang mereka hadapi.
Menurut Undang-undang No.4 tahun 1997 yang dimaksud dengan
penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau
mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan
baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya. Dari sisi
pengelompokkannya, maka penyandang cacat dapat dikelompokkan menjadi 3
(tiga) hal : Penyandang cacat fisik, Penyandang cacat mental, Penyandang
cacat fisik dan mental.

b. Gangguan Mental (Mental Disorder)


1. Definisi Gangguan Mental (Mental Disorder)
Istilah gangguan mental (mental disorder) atau gangguan jiwa merupakan istilah
resmi yang digunakan dalam PPDGJ (Pedoman Penggolongan Diagnostik
Gangguan Jiwa). Definisi gangguan mental (mental disorder) dalam PPDGJ II
yang merujuk pada DSM-III adalah: “Gangguan mental (mental disorder) atau
gangguan jiwa adalah sindrom atau pola perilaku, atau psikologi seseorang,
yang secara klinik cukup bermakna, dan secara khas berkaitan dengan suatu
gejala penderitaan (distress) atau hendaya (impairment/disability) di adalm
satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia. Sebagai tambahan,
disimpulkan bahwa disfungsi itu adalah disfungsi dalam segi perilaku,
psikologik, atau biologik, dan gangguan itu tidak semata-mata terletak di
dalam hubungan orang dengan masyarakat”. (Maslim, tth:7). Dari penjelasan
di atas, kemudian dirumuskan bahwa di dalam konsep gangguan mental
(mental disorder) terdapat butir-butir sebagai berikut:

1. Adanya gejala klinis yang bermakna, berupa: Sindrom atau pola perilaku
Sindrom atau pola psikologik
2. Gejala klinis tersebut menimbulkan “penderitaan” (distress), antara lain
berupa: rasa nyeri, tidak nyaman, tidak tentram, terganggu, disfungsi organ
tubuh, dll.
3. Gejala klinis tersebut menimbulkan “disabilitas” (disability) dalam
aktivitas kehidupan sehari-hari yang biasa dan diperlukan untuk perawatan
diri dan kelangsungan hidup (mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri,
dll).
(Maslim, tth:7). Secara lebih luas gangguan mental (mental disorder) juga dapat
didefinisikan sebagai bentuk penyakit, gangguan, dan kekacauan fungsi mental atau
kesehatan mental, disebabkan oleh kegagalan mekanisme adaptasi dari fungsifungsi
kejiwaan/mental terhadap stimuli ekstern dan ketegangan-ketegangan; sehingga
muncul gangguan fungsional atau struktural dari satu bagian, satu orang, atau sistem
kejiwaan/mental (Kartono, 2000:80). Pendapat yang sejalan juga dikemukakan
Chaplin (1981) (dalam Kartono, 2000:80), yaitu: “Gangguan mental (mental disorder)
ialah sebarang bentuk ketidakmampuan menyesuaikan diri yang serius sifatnya
terhadap tuntutan dan kondisi lingkungan yang mengakibatkan ketidakmampuan
tertentu. Sumber gangguan/kekacauannya bisa bersifat psikogenis atau organis,
mencakup kasuskasus reaksi psikopatis dan reaksi-reaksi neurotis yang gawat”.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gangguan mental (mental disorder)


adalah ketidakmampuan seseorang atau tidak berfungsinya segala potensi baik secara
fisik maupun phsikis yang menyebabkan terjadinya gangguan dalam jiwanya.

1. Macam-Macam Gangguan Mental (Mental Disorder).


Dalam menjelaskan macam-macam gangguan mental (mental disorder), penulis merujuk
pada PPDGJ III (dalam Rusdi Maslim, tth:10), yang digolongkan sebagai berikut:
1. Gangguan mental organik dan simtomatik;Gangguan mental organik
adalah gangguan mental yang berkaitan dengan penyakit atau
gangguan sistematik atau otak yang dapat di diagnosis secara
tersendiri. Sedangkan gangguan simtomatik adalah gangguan yang
diakibatkan oleh pengaruh otak akibat sekunder dari penyakit atau
gangguan sistematik di luar otak (extracerebral). (Maslim, tth:22).
2. Gangguan mental dan perilaku akibat zat psikoaktif. Gangguan yang
disebabkan karena penggunaan satu atau lebih zat psikoaktif (dengan
atau tidak menggunakan resep dokter). (Maslim, tth:36).
3. Gangguan skizofrenia dan gangguan waham. Gangguan skizofrenia
adalah gangguan yang pada umumnya ditandai oleh penyimpangan
yang fundamental dan karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh
afek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul (blunted).” (Maslim,
tth:46). Sedangkan gangguan waham adalah gejala ganguan jiwa di
mana jalan pikirannya tidak benar dan penderita itu tidak mau di
koreksi bahwa hal itu tidak betul; suatu jalan pikiran yang tidak
beralasan. (Sudarsono, 1993:272).
4. Gangguan suasana perasaan (mood/afektif). Gangguan suasana
perasaan (mood/afektif) adalah perubahan suasana perasaan (mood)
atau afek, biasanya kearah depresi (dengan atau tanpa anxietas yang
menyertainya), atau kearah elasi (suasana perasaan yang meningkat).
(Maslim, tth:60).
5. Gangguan neurotik, somatoform dan gangguan stres. Gangguan
neurotik, somatoform dan gangguan stes merupakan satu kesatuan dari
gangguan jiwa yang disebabkan oleh faktor psikologis. (Maslim,
tth:72).
6. Sindrom perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan
faktor fisik. Gangguan mental yang biasanya ditandai dengan
mengurangi berat badan dengan segaja, dipacu dan atau dipertahankan
oleh penderita (Maslim, tth:90).
7. Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa Suatu kondisi klinis
yang bermakna dan pola perilaku yang cenderung menetap, dan
merupakan ekspresi dari pola hidup yang khas dari seseorang dan cara-
cara berhubungan dengan diri-sendiri maupun orang lain (Maslim,
tth:102).
8. Retardasi mental Retardasi mental adalah keadaan perkembangan jiwa
yang terhenti atau tidak lengkap, terutama ditandai oleh terjadinya
hendaya keterampilan selama masa perkembangan sehingga
berpengaruh pada tingkat keceradsan secara menyeluruh (Maslim,
tth:119)
9. Gangguan perkembangan psikologis. Gangguan yang disebabkan
kelambatan perkembangan fungsifungsi yang berhubungan erat dengan
kematangan biologis dari susunan saraf pusat, dan berlangsung secara
terus menerus tanpa adanya remisi dan kekambuhan yang khas. Yang
dimaksud “yang khas” ialah hendayanya berkurang secara progresif
dengan bertambahnya usia anak (walaupun defisit yang lebih ringan
sering menetap sampai masa dewasa) (Maslim, tth:122).
10. Gangguan perilaku dan emosional dengan onset masa kanak
kanak. Gangguan yang dicirikan dengan berkurangnya perhatian dan
aktivitas berlebihan. Berkurangnya perhatian ialah dihentikannya
terlalu dini tugas atau suatu kegiatan sebelum tuntas/selesai. Aktivitas
berlebihan (hiperaktifitas) ialah bentuk kegelisahan yang berlebihan,
khususnya dalam situasi yang menuntut keadaan yang relatif tenang
(Maslim, tth:136). Berkaitan dengan pemaparan di atas, Sutardjo A.
Wiramihardja (2004:15-16), mengungkapkan bahwa gangguan mental
(mental disorder) memiliki rentang yang lebar, dari yang ringan sampai
yang berat. Secara ringkas dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a) Gangguan emosional (emotional distubance) merupakan integrasi


kepribadian yang tidak adekuat (memenuhi syarat) dan distress
personal. Istilah ini lebih sering digunakan untuk perilaku
maladaptive pada anak-anak.
b) Psikopatologi (psychopathology), diartikan sama atau sebagai kata
lain dari perilaku abnormal, psikologi abnormal atau gangguan
mental.
c) Sakit mental (mental illenes), digunakan sebagai kata lain dari
gangguan mental, namun penggunaannya saat ini terbatas pada
gangguan yang berhubungan dengan patologi otak atau disorganisasi
kepribadian yang berat.
d) Gangguan mental (mental disorder) semula digunakan untuk nama
gangguan gangguan yang berhubungan dengan patologi otak, tetapi
saat ini jarang digunakan. Nama inipun sering digunakan sebagai
istilah yang umum untuk setiap gangguan dan kelainan.
e) Ganguan prilaku (behavior disorder), digunakan secara khusus untuk
gangguan yang berasal dari kegagalan belajar, baik gagal mempelajari
kompetensi yang dibutuhkan ataupun gagal dalam mempelajari pola
penanggulangan masalah yang maladaptif.
f) Gila (insanity), merupakan istilah hukum yang mengidentifikasikan
bahwa individu secara mental tidak mampu untuk mengelolah
masalahmasalahnya atau melihat konsekuensikonsekuensi dari
tindakannya. Istilah ini menunjuk pada gangguan mental yang serius
terutama penggunaan istilah yang bersangkutan dengan pantas
tidaknya seseorang yang melakukan tindak pidana di hukum atau
tidak.

2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Timbulnya Gangguan Mental (Mental


Disorder)
Untuk mendapatkan jawaban mengenai faktor faktor-faktor yang mempengaruhi
timbulnya gangguan mental (mental disorder), maka yang perlu ditelusuri pertama
kali adalah faktor dominan yang dapat mempengaruhi kepribadian seseorang.
Dalam hal ini, penulis merujuk pada pendapat Kartini Kartono (1982:81), yang
membagi faktor dominan yang mempengaruhi timbulnya gangguan mental
(mental disorder) ke dalam dua faktor, yaitu:
1) Faktor Organis (somatic), misalnya terdapat kerusakan pada otak dan
proses dementia.
2) Faktor-faktor psikis dan struktur kepribadiannya, reaksi neuritis dan reaksi
psikotis pribadi yang terbelah, pribadi psikopatis, dan lain-lain.
Kecemasan, kesedihan, kesakitan hati, depresi, dan rendah diri bisa
menyebabkan orang sakit secara psikis, yaitu yang mengakibatkan
ketidakseimbangan mental dan desintegrasi kepribadiannya. Maka sruktur
kepribadian dan pemasakan dari pengalaman-pengalaman dengan cara
yang keliru bisa membuat orang terganggu psikisnya. Terutama sekali
apabila beban psikis ternyata jauh lebih berat dan melampaui kesanggupan
memikul beban tersebut.
3) Faktor-faktor lingkungan (milieu) atau faktor-faktor sosial. Usaha
pembangunan dan modernisasi, arus urbanisasi dan industialisasi
menyebabkan problem yang dihadapi masyarakat modern menjadi sangat
kompleks. Sehingga usaha penyesuaian diri terhadap perubahan-perubahan
sosial dan arus moderenisasi menjadi sangat sulit. Banyak orang
mengalami frustasi, konflik bathin dan konflik terbuka dengan orang lain,
serta menderita macam-macam gangguan psikis.
3. Pencegahan Gangguan Mental
Tujuan utama pencegahan gangguan mental adalah membimbing mental yangsakit agar
menjadi sehat mental danmenjaga mental yang sehat agar tetap sehat. Namun
sebelumnya akan penulis paparkan terlebih dahulu tentang pengertian pencegahan
gangguan mental.

1) Pengertian Pencegahan Gangguan Mental


Dalam dunia kesehatan mental pencegahan didefinisikan sebagai upaya
mempengaruhi dengan cara yang positif dan bijaksana dari lingkungan
yang dapat menimbulkan kesulitan atau kerugian. (Prayitno, 1994:205).
Sementara AF. Jaelani (2000:87), berpendapat bahwa pencegahan
mempunyai pengertian sebagai metode yang digunakan manusia untuk
menghadapi diri sendiri dan orang lain guna meniadakan atau mengurangi
terjadinya gangguan kejiwaan. Dengan demikian pencegahan gangguan
mental didasarkan pada upaya individu terhadap diri dan orang lain untuk
menekan serendah mungkin agar tidak terjadi gangguan mental sesuai
dengan kemampuannya.
2) Upaya pencegahan
Banyak para ahli yang memberikan metode upaya pencegahan mulai dari faktor
yang mempengaruhi sampai akibat yang ditimbulkan. Pada dasarnya
upaya pencegahan ialah didasarkan pada prinsip-prinsip kesehatan mental.
Prinsipprinsip yang dimaksud adalah:
a) Gambaran dan sikap baik terhadap diri-sendiri Orang yang
memiliki kemampuan mnyesuaikan diri, baik dengan diri sendiri
maupun hubungan dengan orang lain, hubungan dengan alam
lingkungan, serta hubungan dengan Tuhan. Hal ini dapat diperoleh
dengan cara penerimaan diri, keyakinan diri dan kepercayaan
kepada diri-sendiri (Yahya, 1993:83).
b) Keterpaduan atau integrasi diri Berarti adanya keseimbangan
antara kekuatan-kekuatan jiwa dalam diri, kesatuan pandangan
(falsafah dalam hidup) dan kesanggupan mengatasi ketegangan
emosi (stres) (Yahya, 1993:84).
c) Pewujudan diri (aktualisasi diri) Merupakan sebuah proses
pematangan diri dapat berarti sebagai kemampuan mempengaruhi
potensi jiwa dan memiliki gambaran dan sikap yang baik terhadap
diri-sendiri serta meningkatkan motivasi dan semangat hidup. Oleh
karena itu, agar terhindar dari gangguan mental, maka sedapat
mungkin mengaktualisasikan diri dan memenuhi kebutuhan dengan
baik dan memuaskan (Kartono, 1986:231). Dengan demikian
upaya pencegahan dapat berhasil apabila manusia dapat berpotensi
untuk menjadikan dirinya sebagai yang terbaik dan tidak hanya
pasrah pada kemampuan dasar manusia seperti menggembangkan
bakat dan sebagainya.
d) Kemampuan menerima orang lain Melakukan aktivitas sosial dan
menyesuaikan diri dengan lingkunagn tempat tinggal. Lingkungan
di samping sebagai faktor penyebab timbulnya gangguan mental,
juga memiliki peran penting dalam usaha mencegah timbulnya
gangguan mental. Sebab bagi individu yang tidak mampu
menyesuaikan diri dengan lingkungannya, dapat menyebabkan
timbulnya kecemasan dan kesulitan dalam mengahadapi tuntutan
dan persoalan yang dapat terjadi setiap hari. (Syukur, 2000:13).
Dalam ungkapan kata lain disebtkan bahwa mereka yang tidak
mempunyai ikatan status di masyarakat dan mereka yang tidak
mempunyai fungsi atau peran dalam masyarakat lebih mudah
mengalami gangguan kejiwaan. (Hawari, 1999:11). Sebagai upaya
pencegahannya manusia sedapat mungkin menghindarinya, yaitu
dengan melakukan aktivitas sosial dalam masyarakat, dan lain
sebagainya.
e) Agama dan falsafah hidup. Dalam hal ini agama berfungsi sebagai
therapy bagi jiwa yang gelisah dan terganggu. Selain itu agama
juga berperan sebagai alat pencegah (preventif) terhadap
kemungkinan gangguan mental dan merupakan faktor pembinaan
(konstruktif) bagi kesehatan mental. (Daradjat, 1975:80). Dengan
keyakinan beragama, berarti seseorang telah hidup dekat dengan
Tuhan serta tekun menjalankan agama. Pada akhirnya akan
terwujud kesehatan mental secara utuh. Sedangkan falsafah hidup
merupakan wujud dari kumpulan prinsip atau nilai-nilai. Sehingga
setiap orang berusaha sesuai dengan ketentuannya. Dengan
demikian apabila seseorang memiliki falsafah hidup, maka akan
dapat menghadapi tantangannya dengan mudah (Fahmi, 1982:92).
f) Pengawasan diri
Agar dapat terhindar dari gangguan mental, maka sedapat mukin
melindungi diri dari dorongan dan keinginan atau berbuat maksiat
dengan mengawasi diri kita. Secara umum orang yang wajar adalah
orang yang mampu mengendalikan keinginannya dan mampu
menunda sebagian dari pemenuhan kebutuhannya, serta bersedia
meninggalkan kelezatankelezatan dengan segera, demi untuk
mencapai keuntungan (pahala) yang lebih lama sifatnya serta lebih
kekal. (Fahmi, 1982:114). Manfaat lain dari pengawasan diri
adalah menghindarkan seseorang dari perbuatan-perbuatan yang
bertentangan dengan norma dan adat yang berlaku. Berdasarkan
pada eksplorasi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
pencegahan gangguan mental dimaksudkan untuk mewujudkan
kesehatan mental yang didasarkan pada kemauan dan kemampuan
setiap pribadi untuk merubah dari masalah yang buruk agar
menjadi baik.

c. Penyandang Cacat / Disabilitas


a. Pengertian
Pengertian Penyandang Disabilitas Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia1 penyandang
diartikan dengan orang yang menyandang (menderita) sesuatu. Sedangkan
disabilitas merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal dari kata serapan bahasa
Inggris disability (jamak: disabilities) yang berarti cacat atau ketidakmampuan.
Menurut Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pelayanan
dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas, penyandang disabilitas adalah
setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang dapat
mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan
kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari: penyandang disabilitas fisik,
penyandang disabilitas mental serta penyandang disabilitas fisik dan mental.
Orang berkebutuhan khusus (disabilitas) adalah orang yang hidup dengan
karakteristik khusus dan memiliki perbedaan dengan orang pada umumnya.
Karena karakteristik yang berbeda inilah memerlukan pelayanan khusus agar dia
mendapatkan hak-haknya sebagai manusia yang hidup di muka bumi ini.Orang
berkebutuhan khusus memiliki defenisi yang sangat luas, mencakup orang-orang
yang memiliki cacat fisik, atau kemampuan IQ (Intelligence Quotient) rendah,
serta orang dengan permasalahan sangat kompleks, sehingga fungsi-fungsi
kognitifnya mengalami gangguan. Penyandang Cacat dalam pokok-pokok
konvensi point 1 (pertama) pembukaan memberikan pemahaman, yakni; Setiap
orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat menganggu
atau merupakan rintangan dan hamabatan baginya untuk melakukan secara
selayaknya, yang terdiri dari, penyandang cacat fisik; penyandang cacat mental;
penyandang cacat fisik dan mental. Menurut Peraturan Daerah Provinsi Lampung
Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pelayanan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang
Disabilitas, penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mempunyai kelainan
fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan
hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari:
penyandang disabilitas fisik, penyandang disabilitas mental serta penyandang
disabilitas fisik dan mental. Orang berkebutuhan khusus (disabilitas) adalah orang
yang hidup dengan karakteristik khusus dan memiliki perbedaan dengan orang
pada umumnya. Karena karakteristik yang berbeda inilah memerlukan pelayanan
khusus agar dia mendapatkan hak-haknya sebagai manusia yang hidup di muka
bumi ini.Orang berkebutuhan khusus memiliki defenisi yang sangat luas,
mencakup orang-orang yang memiliki cacat fisik, atau kemampuan IQ
(Intelligence Quotient) rendah, serta orang dengan permasalahan sangat kompleks,
sehingga fungsi-fungsi kognitifnya mengalami gangguan.
b. Jenis-jenis Disabilitas
Terdapat beberapa jenis orang dengan kebutuhan khusus/disabilitas. Ini berarti bahwa
setiap penyandang disabilitas memiliki defenisi masing-masing yang mana
kesemuanya memerlukan bantuan untuk tumbuh dan berkembang secara baik.
Jenis-jenis penyandang disabilitas 5 :
1. Disabilitas Mental.
Kelainan mental ini terdiri dari:
a. Mental Tinggi. Sering dikenal dengan orang berbakat intelektual, di
mana selain memiliki kemampuan intelektual di atas rata-rata dia juga
memiliki kreativitas dan tanggungjawab terhadap tugas.
b. Mental Rendah Kemampuan mental rendah atau kapasitas
intelektual/IQ (Intelligence Quotient) di bawah rata-rata dapat dibagi
menjadi 2 kelompok yaitu anak lamban belajar (slow learnes) yaitu
anak yang memiliki IQ (Intelligence Quotient) antara 70-90. Sedangkan
anak yang memiliki IQ (Intelligence Quotient) di bawah 70 dikenal
dengan anak berkebutuhan khusus.
c. Berkesulitan Belajar Spesifik Berkesulitan belajar berkaitan dengan
prestasi belajar (achievment) yang diperoleh
2. Disabilitas Fisik. Kelainan ini meliputi beberapa macam, yaitu7:
a. Kelainan Tubuh (Tuna Daksa) Tunadaksa adalah individu yang
memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuro-
muskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat
kecelakaan (kehilangan organ tubuh), polio dan lumpuh.
b. Kelainan Indera Penglihatan (Tuna Netra) Tunanetra adalah individu
yang memiliki hambatan dalam penglihatan. Tunanetra dapat
diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu: buta total (blind) dan low
vision.
c. Kelainan Pendengaran (Tunarungu) Tunarungu adalah individu yang
memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun tidak
permanen. Karena memiliki hambatan dalam pendengaran individu
tunarungu memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa
disebut tunawicara.
d. Kelainan Bicara (Tunawicara) Adalah seseorang yang mengalami
kesulitan dalam mengungkapkan pikiran melalui bahasa verbal,
sehingga sulit bahkan tidak dapat dimengerti oleh orang lain. Kelainan
bicara ini dapat dimengerti oleh orang lain. Kelainan bicara ini dapat
bersifat fungsional di mana kemungkinan disebabkan karena
ketunarunguan, dan organik yang memang disebabkan adanya
ketidaksempurnaan organ bicara maupun adanya gangguan pada organ
motorik yang berkaitan dengan bicara.
e. Tunaganda (disabilitas ganda).Penderita cacat lebih dari satu kecacatan
(yaitu cacat fisik dan mental)

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Suatu proses tindakan untuk mengenal komunitas dengan mengidentifikasi faktor positif dan
negatif yang berbenturan dengan masalah kesehatan
B. Factors contributing to vulnerability
Keterbatasan sumber-sumber fisik , lingkungan dan personal.
⮚ Sumber fisik terdiri dari kemiskinan, dukungan sosial.
⮚ Sumber lingkungan seperti lingkungan orang-orang berpenyakit menular atau
penyakit infeksi.
⮚ Sumber personal yaitu keterbatasab pendidikan, pengangguran dan tidak
memiliki tempat tinggal
C. Pengkajian komunitas terdiri dari
⮚ Pengkajian inti komunitas, terdiri dari sejarah wilayah, data demografi dan
etnik, satitistik vital, nilai, kepercayaan dan keyakianan dalma komunitas
⮚ subsystem yang terdiri dari lingkungan fisik, pelayanan kesehatan dan social,
ekonomi, transportasi dan keamanan, politik dan pemerintahan, komunikasi,
pendidikan dan rekreasi
⮚ persespsi dari masyarakat dan perawat (Anderson and Mcfarlane, 2011).
⮚ Metode pengumpulan data dalam pengkajian komunitas terdiri dari data
langsung dan data pelaporan.
⮚ Data langsung diperoleh dari wawancara dengan informan kunci, obsevasi
informan, windshield survey dan angket. Sedangkan pelaporan diperoleh dari
secondary analysis berupa hasil focus group discuss atau community meeting,
dokumen public, statistic kesehatan dan data kesehatan yang lain. Selain itu
bisa dari hasil survey berupa data dari sample.

ANALISA DATA

KASUS 1

Di RW 5 terdapat suatu populasi kelompok cacat dengan nama Himpunan


Penyandang Cacat. Menurut kepala Himpunan Penyandang Cacat, beberapa dari
komunitasnya tidak bisa memenuhi tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga untuk
mencari nafkah . Di RW 5 Tidak tersedia program untuk meningkatkan kesejahteraan
penyandang cacat, Sebanyak 23% penyandang cacat mengalami stress karena faktor
ekonomi, Tidak ada lapangan pekerjaan yang bersedia menanmpung penyandang
cacat. Apa yang akan Anda lakukan sebagai perawat komunitas?

a. Data Subyektif

Menurut kepala Himpunan Penyandang Cacat, beberapa dari komunitasnya tidak bisa
memenuhi tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga untuk mencari nafkah

b. Data Obyektif :
⮚ Tidak tersedia program untuk meningkatkan kesejahteraan penyandang
cacat
⮚ Sebanyak 23% penyandang cacat mengalami stress karena faktor ekonomi
⮚ Tidak ada lapangan pekerjaan yang bersedia menanmpung penyandang
cacat

Masalah keperawatan : Defisiensi kesehatan komunitas

Diagnosa Keperawatan Komunitas : Defisiensi kesehatan komunitas pada Himpunan


Penyandang Cacat RW 5 berhubungan dengan keterbatasan sumber daya ditandai
oleh (data obyektfi)

KASUS 2

Di sebuah gudang di Jl. Sukakaya No. 5 tinggallah 15 kepala keluarga. Mereka adalah
sekumpulan orang terlantar. Menurut Suryanto, salah seorang dari mereka, beberapa
orang yang tinggal bersamanya saat ini mengalami batuk yang cukup lama dan
mereka tidak paham bagaimana caranya periksa, Sebanyak 80% mengalami batuk
lebih dari 1 bulan, Sebanyak 90% tidak mengetahui tentang penyakit yang diderita
dan tidak pernah memeriksakannya, Sebanyak 56% memiliki berat badan tergolong
kurus, Sebanyak 57% tidak melakukan pengobatan terhadap batuknya, Sebanyak 60%
tidak bekerja. Apa yang akan Anda lakukan sebagai perawat komunitas?

a. Data Subyektif :
Menurut Suryanto, beberapa orang yang tinggal bersamanya saat ini mengalami batuk
yang cukup lama dan mereka tidak paham bagaimana caranya periksa
b. Data Obyektif :
⮚ Sebanyak 80% mengalami batuk lebih dari 1 bulan
⮚ Sebanyak 90% tidak mengetahui tentang penyakit yang diderita dan tidak
pernah memeriksakannya
⮚ Sebanyak 56% memiliki berat badan tergolong kurus
⮚ Sebanyak 57% tidak melakukan pengobatan terhadap batuknya
⮚ Sebanyak 60% tidak bekerja

Masalah keperawatan : Manajemen kesehatan tidak efektif

Diagnosa Keperawatan Komunitas : manajemen kesehatan tidak efektif pada


kelompok populasi terlantar di JL. Sukakaya No. 5 berhubungan dengan kurang
terpapar informasi ditandai oleh

KASUS 3

Di RSJ Subandi, terdapat 150 pasien gangguan jiwa. Menurut Kepala RSJ Subandi,
tempatnya tidak dilengkapi dengan ruang isolasi sehingga pasien amuk terkadang
melukai pasien lain. Tidak terdapat ruang isolasi. Sebanyak 15 pasien amuk berada
dalam satu ruang dengan pasien gangguan sensori persepsi. Apa yang Anda lakukan
sebagai perawat komunitas

a. Data subyektif
Menurut Kepala RSJ Subandi, tempatnya tidak dilengkapi dengan ruang isolasi sehingga
pasien amuk terkadang melukai pasien lain
b. Data obyektif
⮚ Tidak terdapat ruang isolasi
⮚ Sebanyak 15 pasien amuk berada dalam satu ruang dengan pasien
gangguan sensori persepsi

Masalah kesehatan : Pemeliharaan kesehatan tidak efektif

Diagnosa keperawatan : Pemeliharaan kesehatan tidak efektif pada populasi gangguan


mental di RSJ Subandi berhubungan dengan ketidakcukupan sumber daya ditandai
oleh (Data objektif)

PERENCANAAN

⮚ Perlu adanya keterlibatan masyarakat dalam merumuskan perencanaan


⮚ Perencanaan disusun bersama dengan masyarakat
⮚ Perencanaan yang disusun menyesuaikan dengan sumber daya yang terkait
⮚ Penanggung jawab program adalah dari perawat komunitas dan masyarakat
⮚ Perencanaan dimaksutkan untuk memberdayakan masyarakat

KASUS

seorang perempuan, usia 30 tahun,dengan dua orang anak pulang dari rumah sakit
setelah 20 hari dirawat di rumah sakit, perempuan tersebut dirawat karena marah-
marah, tertawa, berbicara sendiri, merusak alat rumah tangga dan curiga dengan
suaminya. Diagnosa medis skizofrenia. Suami perempuan tersebut bekerja sebagai
buruh di kota dan pulang seminggu sekali. Perempuan tersebut sudah 2 kali
dirawat di rumah sakit. Dirumah ia hanya tinggal dengan kedua anaknya, 1
minggu setelah pulang kader melaporkan keperawat puskesmas bahwa perempuan
tersebut mulai marah-marah, bicara dan tertawa sediri lagi dan tidak mau minum
obat

A. Pengkajian :
Satu minggu setelah pulang dari rumah sakit perempuan tersebut marah-marah, bicara
sendiri, tertawa sendiri, merusak alat rumah tangga, dan curiga dengan
suaminya. Selama satu minggu terakhir perempuan tersebut tidak minum obat.
B. Diagnosa keperawatan
Individu :
Dx : Halusinasi
Resiko perilaku kekerasan
Penatalaksanaan regimen terapeutik inefektif
Keluarga :
Kurang pengetahuan
Perencanaan :
Tujuan jangka panjang
Individu
1. Halusinasi berkurang atau hilang
2. Perilaku mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan dapat di cegah
3. Patuh dalam penatalaksanaan regimen terapeutik

Keluarga

Merawat pasien dengan halusinasi, resiko perilakukekerasan dan


penatalaksanaan regimen terapeutik inefektif

Tujuan jangka pendek:

Individu

1. Mengenal masalah dan mengontrol halusinasi dengan 4 cara : menghardik,


bercakapcakap, kegiatan terjaduan dan patuh minum obat
2. Mengontrol prilaku kekerasan dengan cara : fisik, sosial, spiritual,
deescalasi dan patuh obat
3. Memahami manfaat 6 benar obat dan dampak bila putus obat

Keluarga
1. Mengenal masalah halusinasi, resiko perilaku kekerasan dan
penatalaksanaan regimen terapeutik
2. Memutuskan cara merawat perempuan tersebut.
3. Memodivikasi lingkungan
4. Melakukan follow-up dan rujukan

Tindakan

Individu
1. Melatih mengontrol halusinasi dengan 4 cara : menghardik, bercakap-
cakap, kegiatan terjadual dan patuh minum obat.
2. Melatih mengontrol prilaku kekerasan dengan cara: fisik, sosial,
spiritual, deescalasi dan patuh obat.
3. Mendiskusikan tentang manfaat obat

Keluarga :

1. Melatih mengenal masalah


2. Melatih keluarga mengambil keputusan
3. Melatih keluarga cara memodivikasi lingkungan
4. Melatih keluarga cara merawat ODGJ dengan halusinasi, resiko
perilaku kekerasan dan ketidak efektifan penatalaksanaan regimen
terapeutik

Evaluasi :

Individu :

1. Halusinasi terkontrol atau hilang


2. Tidak menciderai diri, orang lain dan lingkungsn
3. Patuh minum obat
4. Keluarga
5. Pengetahuan keluarga meningkat
6. Mampu merawat perempuan tersebut

Pencegahan :

Primer : pendidikan kesehatan dan melatih cara manajemen setres untuk suami
dan anak-anak pasien tersebut

Sekunder : monitor kepatuhan minum obat dan memberikan perawatan

Tersier : meningkatkan kemampuan koping dan mengembangkan sistem


pendukung
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Populasi rentan atau populasi beresiko adalah kondisi yang mempengaruhi kondisi seseorang
atau populasi untuk menjadi sakit atau sehat (Kaakinen, Hanson, Birenbaum dalam
Stanhope & Lancaster, 2004). Pandera mengkategorikan faktor resiko kesehatan
antara lain genetik, usia, karakteristik biologi, kesehatan individu, gaya hidup dan
lingkungan. Jika seseorang dikatakan rawan apabila mereka berhadapan dengan
penyakit, bahaya, atau outcome negatif. Faktor pencetusnya berupa genetik, biologi
atau psikososial. Populasi rawan atau rentan merupakan kelompok-kelompok sosial
yang memiliki peningkatan risiko yang relatif atau rawan untuk menerima pelayanan
kesehatan. Kenyataan menunjukan bahwa Indonesia memiliki banyak peraturan
perundangundangan yang mengatur tentang Kelompok Rentan, tetapi tingkat
implementasinya sangat beragam.
B. Saran Dengan adanya makalah ini maka diharapkan untuk dapat mengaplikasikan
pada kehidupan dengan tujuan untuk mencapai kesejahteraan hidup.
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, E.T . 2006 . Buku Ajar Keperawatan Komunitas Teori dan Praktik , Jakarta : EGC

Mary A. Nies, Melaine McEwen.Keperawatan kesehatan komunitas dan


keluarga.2019.Elsevier.Singapore

Mubarak, Wahit Iqbal, dkk. (2009). Ilmu Keperawatan Komunitas; Konsep dan Aplikasi.
Jakarta : Salemba Medika

R, Fallen. Catatan Kuliah Keperawatan Komunitas. (2010). Yogyakarta: Nuha Medika

Vaughan, 2000, General Oftamology, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai