Anda di halaman 1dari 5

Latar belakang

Kegawatadaruratan dapat terjadi kapan saja dan umumnya mendadak serta tidak terencana, gawat adalah
kondisi yang mengancam nyawa dan darurat adalah perlunya tindakan segera untuk menangani ancama
nyawa korban (Jakarta Medical Service 119 Training Division, 2013). Henti jantung maupun hilang napas adalah
salah satu permasalahan yang mengancam jiwa dan bisa berakibat kematian bila terlalu lama dalam
pertolongannya.
Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian utama di dunia. Angka kematian akibat penyakit
kardiovaskular sebanyak 17,3 juta orang tiap tahunnya (World Heart Federation, 2015). Angka kejadian henti
jantung atau cardiac arrest berkisar 10 dari 100.000 orang normal yang berusia dibawah 35 tahun dan per
tahunnya mencapai sekitar 300.000350.000 kejadian (Indonesia Heart Association, 2015).
Kasus henti jantung dapat terjadi dimanapun, di masyarakat, di luar rumah sakit maupun di dalam rumah sakit.
Kemungkinan bertahan hidup pada penderita henti jantung di luar rumah sakit atau pre-hospital menurun 7-
10% tiap menit sejak dimulainya henti jantung (AHA, 2011). Di Amerika dan Kanada dari jumlah henti jantung
yang terjadi di luar rumah sakit hanya setengahnya dilakukan tindakan resusitasi atau bisa dikatakan 50-55%
yang dilakukan (AHA, 2010). Pertolongan pertama pada kejadian henti jantung sangat perlu dilakukan dan
harus cepat dilakukan karena kelangsungan hidup lebih tinggi bila korban mendapatkan Cardiopulmonary
Resusciation (CPR). Menghubungi Emergency Call dan CPR yang diberikan segera dapat meningkatkan jumlah
orang yang mendapatkan kesempatan hidup (Sudden Cardiac Arrest Foundation, 2015).
Pelayanan kesehatan kegawatdaruratan sehari-hari merupakan kewajiban yang harus dimiliki oleh semua
orang (Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu - SPGDT, 2009). Henti jantung dapat dilayani segera
dengan melakukan Basic life Support (BLS) dan dilakukan dengan segera ketika terdapat kasus henti jantung.
BLS adalah suatu tindakan pertolongan pada korban henti jantung maupun henti nafas dan merupakan
langkah yang sering disebut chain of survival, lima langkah yang menentukan keberhasilan dalam pertolongan
korban henti jantung (Tim Pusat Bantuan Kesehatan 118 – PERSI DIY, 2012).
Pertolongan dengan teknik BLS yang benar adalah sebuah kegiatan yang harus dilakukan demi terciptanya
penyelematan korban dengan tepat dan cepat. Penolong dalam memberikan BLS minimal harus memiliki
pengetahuan dalam pertolongan dan pernah berlatih serta memiliki penanganan medis dasar. Pengetahuan
masyarakat mengenai BLS masih rendah. Sebagaimana dalam penelitian Hutapea (2012) pada masyarakat
bahwa 50% masyarakat masih tergolong berpengetahuan kurang, 30,4% tergolong cukup dan 19,6% baik. Hal
ini juga sejalan dengan penelitian Rahmawaty (2015) mengenai pengetahuan basic life support hasilnya juga
masih kurang. Hasil penelitian gambaran pengetahuan bantuan hidup dasar didapatkan 48,8% responden
memiliki pengetahuan kurang, dan 40,2% responden memiliki pengetahuan cukup, sedangkan 11,0%
responden memiliki pengetahuan baik. Kurangnya pengetahuan masyarakat khususnya pada mahasiswa harus
ditingkatkan agar tercapainya hasil yang baik. Peningkatan jumlah penolong atau relawan khususnya untuk BLS
harus ditingkatkan dengan peningkatan pengetahuan dan ketrampilannya.
Pengertian
Henti jantung
Brunner and Suddart (2002) mendefinisikan henti jantung sebagai penghentian sirkulasi normal darah akibat
kegagalan jantung untuk berkontraksi secara efektif.
Henti jantung adalah penghentian tiba-tiba aktivitas pompa jantung efektif, mengakibatkan penghentian
sirkulasi (Muttaqin, 2009).
Cardiac  arrest adalah   hilangnya   fungsi   jantung   secara   tiba-tiba   dan mendadak, bisa terjadi pada 
seseorang  yang   memang didiagnosa dengan penyakit jantung ataupun tidak. Waktu kejadiannya tidak bisa 
diperkirakan,  terjadi  dengan sangat  cepat  begitu  gejala  dan  tanda  tampak (American  Heart 
Association,2010).
Henti jantung terjadi ketika jantung mendadak berhenti berdenyut, mengakibatkan penurunan sirkulasi efektif.
Semua kerja jantung dapat terhenti, atau dapat terjadi kedutan otot jantung yang tidak sinkron (fibrilasi
ventrikel). (Hackley, Baughman, 2009. Keperawatan Medikal- Bedah. Jakarta : EGC)
Henti napas
Henti napas adalah ganguan pertukaran gas antara udara dengan sirkulasi yang terjadi di pertukaran gas
intrapulmonal atau gangguan gerakan udara dan masuk keluar paru (Hood Alsagaff, 2004:185).
Henti napas merupakan keadaan ketidakmampuan tubuh untuk menjaga pertukaran gas seimbang dengan
kebutuhan tubuh sehingga mengakibatkan hipoksemia dan atau hiperkapnia. Dikatakan gagal napas apabila
PaCO2 > 45 mmHg atau PaO2 < 55mmHg (Boedi Swidarmoko, 2010:259).
Henti nafas adalah suatu keadaan yang ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran udara
pernafasan dari korban atau pasien. Henti nafas merupakan kasus yang harus dilakukan tindakan Bantuan
Hidup Dasar. Henti nafas terjadi dalam keadaan seperti tenggelam atau lemas, stroke, obstruksi jalan napas,
epiglotitis, overdosis obat-obatan, tersengat listrik, infark miokard, tersambar petir, koma akibat berbagai
macam kasus (Suharsono, T., & Ningsih, D. K., 2008).
Manifestasi Klinis
Henti napas
Gejala umum:
Lelah, berkeringat, sulit tidur dan makan, didapatkan juga gangguan status mental, sakit kepala, kejang. Gejala
kardiovaskular” takikardia dan vasodilatasi perifer. Gangguan pernapasan: takipnea, retraksi otot bantu
pernapasan, hipoventilasi, apnea, suara napas tambahan seperti stridor, mengi, ronki basah (Boedi
Swidarmoko, 2010:264).
Tanda dan gejala henti napas berupa tidak sadar (pada beberapa kasus terjadi kolaps yang tiba-tiba),
pernapasan tidak tampak atau pasien bernapas dengan terengah-engah secara intermitten, sianosis dari
mukosa buccal dan liang telinga, pucat secara umum, nadi karotis teraba (Muriel, 1995).
Henti jantung
Tanda - tanda cardiac arrest menurut Pusbankes118 (2010) yaitu:
Ÿ Ketiadaan respon; pasien tidak berespon terhadap rangsangan suara, tepukan di pundak ataupun cubitan.
Ÿ Ketiadaan pernafasan normal; tidak terdapat pernafasan normal ketika jalan pernafasan dibuka.
Ÿ Tidak teraba denyut nadi di arteri besar (karotis, femoralis, radialis).
Henti jantung di tandai oleh denyut nadi besar tak teraba (karotis femoralis radialis) disertai kebiruan (sianosis)
atau pucat sekali, pernapasan berhenti atau satu-satu (gasping, apneu) dilatasi pupil tak bereaksi terhadap
cahaya dan pasien tidak sadar (Alkatiri, 2007 : Latief, 2007)
Etiologi
Henti napas
Etiologi menurut Price (1995) yaitu:
1. Kelainan di luar paru-paru
2. Penekanan pusat pernapasan
Ÿ Takar lajak obat (sedative, narkotik)
Ÿ Trauma atau infark selebral
Ÿ Poliomyelitis bulbar
Ÿ Ensefalitis
1. Kelainan neuromuscular
Ÿ Trauma medulaspinalisservikalis
Ÿ Sindroma guilainbare
Ÿ Sklerosis amiotropik lateral
Ÿ Miastenia gravis
Ÿ Distrofi otot
1. Kelainan Pleura dan Dinding Dada
Ÿ Cedera dada (fraktur iga multiple)
Ÿ Pneumotoraks tension
Ÿ Efusi leura
Ÿ Kifoskoliosis (paru-paru abnormal)
Ÿ Obesitas: sindrom Pickwick
1. Kelainan Intrinsic Paru-Paru
2. Kelainan Obstruksi Difus
Ÿ Emfisema, Bronchitis Kronis (PPOM)
Ÿ Asma, Status asmatikus
Ÿ Fibrosis kistik
1. Kelainan Restriktif Difus
Ÿ Fibrosis interstisial akibat berbagai penyebab (seperti silica, debu batu barah)
Ÿ Sarkoidosis
Ÿ Scleroderma
Ÿ Edema paru-paru
Ÿ Kardiogenik
Ÿ Nonkardiogenik (ARDS)
Ÿ Atelektasis
Ÿ Pneumoni yang terkonsolidasi
1. Kelainan Vaskuler Paru-Paru Emboli paru-paru.
Henti jantung
Henti jantung terjadi ketika jantung mendadak berhenti berdenyut, mengakibatkan penurunan sirkulasi efektif.
Semua kerja jantung dapat terhenti, atau dapat terjadi kedutan otot jantung yang tidak sinkron (fibrilasi
ventrikel). (Hackley, Baughman, 2009. Keperawatan Medikal- Bedah. Jakarta : EGC)
Sebagian besar henti jantung di sebabkan oleh vibrasi ventrikel atau takikardi tanpa denyut (80-90%),
kemudian di susul oleh ventrikel asistol (+10%) dan terakhir oleh disosiasi elektromekanik (+5%). Dua jenis
henti jantung yang terkahir lebih sulit di tanggulangi karena akibat gangguan pacemaker jantung. Fibrilasi
ventrikel terjadi karena koordinasi akgivitas jantung menghilang.
Henti jantung di tandai oleh denyut nadi besar tak teraba (karotis femoralis radialis) disertai kebiruan (sianosis)
atau pucat sekali, pernapasan berhenti atau satu-satu (gasping, apneu) dilatasi pupil tak bereaksi terhadap
cahaya fan pasien tidak sadar (Alkatiri, 2007 : Latief, 2007)
Patofisiologi
Henti napas
Henti jantung
Patofisiologi cardiorespiratory arrest tergantung dari etiologi yang mendasarinyam. Namun, umumnya
mekanisme terjadinya kematian adalah sama. Sebagai akibat dari henti jantung, peredaran darah akan
berhenti. Berhentinya peredaran darah mencegah aliran oksigen untuk semua organ tubuh. Organ-organ
tubuh akan mulai berhenti berfungsi akibat tidak adanya suplai oksigen, termasuk otak. Hypoxia cerebral atau
ketidakadaan oksigen ke otak, menyebabkan korban kehilangan kesadaran dan berhenti bernapas normal.
Kerusakan otak mungkin terjadi jika cardiac arrest tidak di tangani dalam 5 menit dan selanjutnya akan terjadi
kematian dalam 10 menit (Sudden Cardiac Death) (Torpy, 2006)
Prosedur rjp
Pada penanganan korban cardiac arrest dikenal istilah rantai untuk bertahan hidup (chin of survival); cara
untuk menggambarkan penanganan ideal yang harus diberikan ketika ada kejadian cardiac arrest. Jika salah
satu dari rangkaian ini terputus, maka kesempatan korban untuk bertahan hidup menjadi berkurang,
sebaliknya jika rangkaian ini kuat maka korban mempunyai kesempatan besar untuk bisa bertahan hidup.
Menurut (Thygerson,2006), dia berpendapat bahwa chin of survival terdiri dari 4 rangkaian: early acces, early
CPR, early defibrillator,dan early advance care.
a. Early acces: kemampuan untuk mengenali/mengidentifikasi gejala dan tanda awal serta segera
memanggil pertolongan untuk mengaktifasi EMS.
b. Early CPR: CPR akan mensuplai sejumlah minimal darah ke jantung dan otak, sampai defibrilator dan
petugas yang terlatih tersedia/datang.
c. Early defibrillator: pada beberapa korban, pemberian defibrilasi segera ke jantung korban bisa
mengembalikan denyut jantung.
d. Early advance care: pemberian terapi IV, obat-obatan, dan ketersediaan peralatan bantuan
pernafasan.
Ketika jantung seseorang berhenti berdenyut, maka dia memerlukan tindakan CPR segera. CPR adalah suatu
tindakan untuk memberikan oksigen ke paru-paru dan mengalirkan darah ke jantung dan otak dengan cara
kompresi dada. Pemberian CPR hampir sama antara bayi (0-1 tahun), anak(1-8 tahun), dan dewasa (8
tahun/lebih), hanya dengan sedikit variasi (Thygerson,2006).
Sebelum pelaksanaan prosedur, nilai kondisi pasien secara berturut-turut: pastikan pasien tidak sadar,
pastikan tidak bernafas, pastikan nadi tidak berdenyut, dan interaksi yang konstan dengan pasien (Krisanty.
dkk,2009).
Prosedur CPR menurut (Nettina,2006;Thygerson,2006), adalah terdiri dari airway, breathing dan
circulation:
a) Menentukan ketiadaan respon/Kebersihan Jalan Nafas
(airway):
(1). Yakinkan lingkungan telah aman, periksa ketiadaan respon dengan menepuk atau menggoyangkan pasien
sambil bersuara keras “Apakah anda baik-baik saja?”
Rasionalisasi: hal ini akan mencegah timbulnya injury pada korban yang sebenarnya masih dalam keadaan
sadar.
(2). Apabila pasien tidak berespon, minta seseorang yang saat itu bersama kita untuk minta tolong (telp:118).
Apabila kita sendirian, korbannya dewasa dan di tempat itu tersedia telepon, panggil 118. Apabila kita sendiri,
dan korbannya bayi/anakanak, lakukan CPR untuk 5 siklus (2 menit), kemudian panggil 118.
(3). Posisikan pasien supine pada alas yang datar dan keras, ambil posisi sejajar dengan bahu pasien. Jika
pasien mempunyai trauma leher dan kepala, jangan gerakkan pasien, kecuali bila sangat perlu saja.
Rasionalisasi: posisi ini memungkinkan pemberi bantuan dapat memberikan bantuan nafas dan kompresi dada
tanpa berubah posisi.

(4). Buka jalan nafas


Ÿ Head-tilt/chin-lift maneuver:
Letakkan salah satu tangan di kening pasien, tekan kening ke arah belakang dengan menggunakan telapak
tangan untuk mendongakkan kepala pasien. Kemudian letakkan jari-jari dari tangan yang lainnya di dagu
korban pada bagian yang bertulang, dan angkat rahang ke depan sampai gigi mengatub. Rasionalisasi: tindakan
ini akan membebaskan jalan nafas dari sumbatan oleh lidah.
Ÿ Jaw-thrust maneuver:
Pegang sudut dari rahang bawah pasien pada masing-masing sisinya dengan kedua tangan, angkat mandibula
ke atas sehingga kepala mendongak. Rasionalisasi: teknik ini adalah metode yang paling aman untuk membuka
jalan nafas pada korban yang dicurigai mengalami trauma leher.
b). Pernafasan (Breathing)
Ÿ Dekatkan telinga ke mulut dan hidung pasien, sementara pandangan kita arahkan ke dada pasien,
perhatikan apakah ada pergerakan naik turun dada dan rasakan adanya udara yang berhembus selama
expirasi. (Lakukan 5-10 detik). Jika pasien bernafas, posisikan korban ke posisi recovery(posisi tengkurap,
kepala menoleh ke samping).
Rasionalisasi: untuk memastikan ada atau tidaknya pernafasan spontan.
Ÿ Jika ternyata tidak ada, berikan bantuan pernafasan mouth to mouth atau dengan menggunakan
amfubag. Selama memberikan bantuan pernafasan pastikan jalan nafas pasien terbuka dan tidak ada
udara yang terbuang keluar. Berikan bantuan pernafasan sebanyak dua kali (masing-masing selama 2-4
detik).
Rasionalisasi: pemberian bantuan pernafasan yang adekuat diindikasikan dengan dada terlihat
mengembang dan mengempis, terasa adanya udara yang keluar dari jalan nafas dan terdengar
adanya udara yang keluar saat expirasi.
c). Circulation
Pastikan ada atau tidaknya denyut nadi, sementara tetap mempertahankan terbukanya jalan nafas dengan
head tilt-chin lift yaitu satu tangan pada dahi pasien, tangan yang lain meraba denyut nadi pada arteri carotis
dan femoral selama 5 sampai 10 detik. Jika denyut nadi tidak teraba, mulai dengan kompresi dada.
(1). Berlutut sedekat mungkin dengan dada pasien. Letakkan bagian pangkal dari salah satu tangan pada
daerah tengah bawah dari sternum (2 jari ke arah cranial dari procecus xyphoideus). Jarijari bisa saling
menjalin atau dikeataskan menjauhi dada.
Rasionalisasi: tumpuan tangan penolong harus berada di sternum, sehingga tekanan yang diberikan akan
terpusat di sternum, yang mana akan mengurangi resiko patah tulang rusuk.
(2). Jaga kedua lengan lurus dengan siku dan terkunci, posisi pundak berada tegak lurus dengan kedua tangan,
dengan cepat dan bertenaga tekan bagian tengah bawah dari sternum pasien ke bawah, 1 - 1,5 inch (3,8 - 5
cm)
(3). Lepaskan tekanan ke dada dan biarkan dada kembali ke posisi normal. Lamanya pelepasan tekanan harus
sama dengan lamanya pemberian tekanan. Tangan jangan diangkat dari dada pasien atau berubah posisi.
Rasionalisasi : pelepasan tekanan ke dada akan memberikan kesempatan darah mengalir ke jantung.
(4). Lakukan CPR dengan dua kali nafas buatan dan 30 kali kompresi dada. Ulangi siklus ini sebanyak 5 kali(2
menit). Kemudian periksa nadi dan pernafasan pasien. Pemberian kompresi dada dihentikan jika:
a).telah tersedia AED (Automated External Defibrillator).
b). korban menunjukkan tanda kehidupan.
c). tugas diambil alih oleh tenaga terlatih.
d). penolong terlalu lelah untuk melanjutkan pemberian
kompresi. Rasionalisasi: bantuan nafas harus dikombinasi dengan kompresi dada. Periksa nadi di arteri carotis,
jika belum teraba lanjutkan pemberian bantuan nafas dan kompresi dada.
(5). Sementara melakukan resusitasi, secara simultan kita juga menyiapkan perlengkapan khusus resusitasi
untuk memberikan perawatan definitive.
Rasionalisasi : perawatan definitive yaitu termasuk di dalamnya pemberian defibrilasi, terapi obat-obatan,
cairan untuk mengembalikan keseimbangan asam-basa, monitoring dan perawatan oleh tenaga terlatih di ICU.

(6). Siapkan defibrillator atau AED (Automated External Defibrillator) segera.


CPR yang diberikan pada anak hanya menggunakan satu tangan, sedangkan untuk bayi hanya menggunakan
jari telunjuk dan tengah. Ventrikel bayi dan anak terletak lebih tinggi dalam rongga dada, jadi tekanan harus
dilakukan di bagian tengah tulang dada.

Anda mungkin juga menyukai