Anda di halaman 1dari 2

Kasus:

Pasien wanita, dewasa muda, belum menikah, dirawat di rumah sakit jiwa selama dua minggu.
Kondisi sudah stabil dan membaik, sehingga oleh dokter yang merawat sudah diizinkan pulang.
Oleh perawat dilakukan tindakan persiapan pulang (discharge planning) untuk menyiapkan
berbagai aktivitas dan keterampilan rutin harian yang harus dilakukan pasien setelah pulang dari
rumah sakit jiwa. Pasien sudah siap dan boleh pulang.
Hari pertama, pada awalnya pasien menjalankan aktivitas di rumah tidak ada kendala.
Bangun pagi, mandi, salat, membersihkan kamar, dan menyapu dalam rumah. Kegiatan
dilanjutkan menyapu halaman, tetapi dilarang oleh ibunya (ibunya malu takut ketahuan
tetangga). Anak terpaksa harus mengikuti larangan ibunya.
Sejenak kemudian, melihat ibunya membawa tas siap berbelanja ke pasar, anak mencoba
menawarkan untuk membawakan tas belanja. Namun, lagi-lagi ditolak, serta disuruh menunggu
saja di rumah.
Setelah ibu pulang, anak mencoba membantu masak, tetapi tidak boleh membantu memotong
sayur. Ibu takut jika sang anak (bekas pasien) membawa pisau dapat melukai orang di dapur.
Selain itu, anak mencoba membantu cuci piring, tetapi tidak boleh karena takut piringnya
dipecah, dan sebagainya. Kemudian anak bertanya, “Lha saya harus berbuat apa Bu? Saya sudah
dilatih perawat dan bisa melaksanakan kegiatan rutin harian.” Ibu menjawab, “Sudahlah nak,
kamu tunggu saja dalam kamar (duduk manis dalam kamar). Nanti jika sarapan sudah siap, akan
Ibu antar ke kamar.”
Saat makanan sudah siap, makanan diantar ke kamar, tetapi piring dipilihkan yang tidak dapat
pecah (piring plastik) supaya tidak dibanting, sendok dicarikan yang bukan dari logam, karena
jika dari logam dapat diasah di lantai menjadi pisau, gelas yang tidak bisa pecah. Anak makan
dengan sedikit berpikir, “Ibuku ini bagaimana? dibantu cuci piring tidak boleh, aku dikasih
makan dengan piring plastik.” Namun, semua terpaksa harus dilakukan. Jika membantah ibu,
bisa kena marah dan dianggap belum sembuh.
Sesaat kemudian, ibu dan bapak pamit bekerja. Anak sudah dipesan harus di dalam kamar
saja dan tidak boleh keluar. Anak bingung, “Lho, saya kan jadi gak bisa melaksanakan aktivitas
yang bermanfaat. “Gak masalah, yang penting tidak keluar rumah”, jawab ibu. Anak kembali
bertanya, “Jika ingin kencing atau buang air besar gimana?” “Panggil pembantu.” jawab ibu.
Saat benar-benar ingin buang air kecil dan buang air besar, anak mengetuk pintu dan
memanggil pembantu, “Mbak....pingin kencing”. Pembantu mendengar, tapi tidak berani
membuka karena takut.
Beberapa waktu kemudian, memanggil lagi dengan sedikit lebih keras, sehingga pembantu
tambah takut dan pergi ke rumah tetangga. Panggilan ketiga lebih keras lagi, sehingga tetangga
bertanya, “Siapa dari tadi mengetok pintu dan teriak-teriak itu?”. Pembantu menjawab, “Anak ibu
yang baru pulang dari rumah sakit jiwa.”
Saat ibu pulang disapa oleh tetangga, “Ibu.. maaf, kenapa putrinya belum sembuh sudah dibawa
pulang dari rumah sakit jiwa?” Ibu terkejut dan balik bertanya, “Putri yang mana?” “Putri
yang tadi teriak-teriak.” jawab tetangga. Sang ibu bergegas menuju rumah, dengan
menggerutu. Ibu menuju kamar anak dan membuka kunci pintu kamar. Setelah pintu
terbuka, tercium bau feses dan urin.
Spontan ibu marah, “Nak... apa kataku... kamu belum sembuh kan.. kenapa kamu tidak nurut
sama ibu?”, dan seterusnya. Apapun penjelasan anak tidak didengar

Berdasarkan gambaran kasus di atas, buatlah pilihan alternatif terapi untuk kasus diatas!

1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan terapi modalitas!


2. Jelaskan macam somatoterapi!
3. Terapi apa sajakah yang termasuk dalam kelompok psikoterapi?
4. Jelaskan dasar pemilihan terapi pada pasien gangguan jiwa!
5. Kapan terapi keluarga diperlukan?

Anda mungkin juga menyukai