Anda di halaman 1dari 39

PROPOSAS PENERAPAN TERAPI INDIVIDUAL PADA PASIEN

YANG MENGALAMI HALUSINASI DI RUANG PERAWATAN JIWA

RSUD SUMBAWA

DISUSUN OLEH

NAMA : RISKI FEBRIANSYAH

NIM : 042001S17017

YAYASAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN SAMAWA


FAKULTAS KESEHATAN UNIVERSITAS SAMAWA
TAHUN AJARAN 2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi yang mampu mengendalikan diri

dalam menghadapi stressor di lingkungan sekitar dengan selalu berpikir positif

dalam keselarasan tanpa adanya tekanan fisik dan psikologis, baik secara

internal maupun eksternal yang mengarah pada kestabilan emosional (Nasir &

Muhith, 2011).Kesehatan jiwa merupakan seseorang yang mempunyai

kemampuan untuk menyesuaikan diri pada lingkungan, serta berintegrasi dan

berinteraksi dengan baik, tepat, dan bahagia, (Yusuf dkk, 2015).Jadi dapat

disimpulkan kesehatan jiwa adalah suatu kondisi dimana individu mampu

mencapai kesejahteraan diri dan memiliki kemampuan beradaptasi pada

lingkungannya.Kondisi ini akanmemungkinkan individu untuk hidup

produktif, dan mampu melakukan hubungan sosialyang memuaskan.

Gangguan jiwa adalah suatu perubahan pada fungsi jiwa yang

menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa yang menimbulkan

penderitaan pada individu dan hambatan dalam melaksanakan peran sosial

(Depkes RI, 2012). Gangguan jiwa adalah sindrom atau pola perilaku yang

secara klinis bermakna yang berkaitan langsung dengan distress (penderitaan)

dan menimbulkan hendaya (disabilitas) langsung pada satu atau lebih

fungsikehidupan manusia (Keliat dkk, 2015). Disimpulkanbahwa seseorang

mengalami gangguan jiwa apabila ditemukan adanya gangguan pada fungsi

mental sehingga mengganggu dalam proses hidup di masyarakat.

1
2

Gangguan jiwa dibagi menjadi dua yaitu gangguan jiwa berat dan

gangguan mental emosional. Salah satu gangguan jiwa berat yaitu skizofrenia.

Skizofrenia adalah suatu penyakit yang memengaruhi otak dan menyebabkan

timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan, dan perilaku yang aneh dan

terganggu. Skizofrenia tidak dapat didefinisikan sebagai penyakit tersendiri,

melainkan diduga sebagai suatu sindrom atau proses penyakit yang mencakup

banyak jenis dengan berbagai gejala seperti jenis kanker. Selama puluhan

tahun, skizofrenia sering disalahartikan oleh masyarakat. Penyakit ini ditakuti

sebagai gangguan jiwa yang berbahaya dan tidak dapat terkontrol.Mereka yang

terdiagnosis penyakit ini digambarkan sebagai individu yang mengalami

masalah emosional atau psikologis tidak terkendali dan memperlihatkan

perilaku aneh dan amarah (Videbeck, 2009).

Menurut World Health Organization (2017), penderita gangguan jiwa di

dunia terdapat sekitar 21 juta terkena skizofrenia. Menurut laporan nasional

hasil Riset Kesehatan Dasar (2017), prevalensi gangguan jiwa berat, seperti

skizofrenia adalah 0,17% atau sekitar 400.000 jiwa lebih penduduk Indonesia.

Prevalensi psikosis di DI Yogyakarta mencapai 0,27% yakni sekitar 10.800

jiwa dan merupakan daerah kontributor tertinggi kasus gangguan jiwa berat di

Indonesia, termasuk DI Aceh. Pada tahun 2015 telah menunjukkan angka

sebesar 10.993 kasus gangguan jiwa.Di tahun 2016, jumlah itu menjadi 10.554

orang, belum termasuk Kabupaten Sleman (Dinas Kesehatan DIY, 2016).

Fenomena gangguan jiwa pada saat ini mengalami peningkatan yang

sangat signifikan, dan setiap tahun di berbagai belahan dunia jumlah penderita

gangguan jiwa bertambah.Hal tersebut tentunya membutuhkan upaya untuk

menangani fenomena gangguan jiwa. Kebijakan Pemerintah dalam menangani


penderita gangguan jiwa tercantum dalamUndang – Undang No 18 tahun 2014

tentang kesehatan jiwa disebutkan dalam Pasal 1 ayat (4) menyatakan bahwa

Pemerintah dan masyarakat menyelenggarakan upaya kesehatan jiwa secara

menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan untuk mewujudkan derajad

kesehatan jiwa yang optimal bagi setiap individu, keluarga, dan masyarakat

dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Salah satunya

melalui pendekatan kuratif. Pendekatan kuratif adalah upaya yang merupakan

kegiatan pemberian pelayanan kesehatan terhadap penderita gangguan jiwa

(Pasal 17 UU No 18 Tahun 2014). Kegiatan tersebut disebutkan di dalam Pasal

18 yaitu upaya kuratif kesehatan jiwa ditujukan untuk penyembuhan atau

pemulihan, pengurangan penderitaan, pengendalian disabilitas dan

pengendalian gejala penyakit pada penderita gangguan jiwa.

Skizofrenia merupakan salah satu gangguan jiwa berat. Salah satu gejala

yang paling sering muncul pada skizofrenia adalah munculnya halusinasi.

Halusinasi merupakan impresi atau pengalaman yang salah. Halusinasi

merupakan gangguan persepsi dimana pasien mempersepsikan sesuatu hal

yang tidak terjadi. Halusinasi menjadi sangat nyata bagi orang yang mengalami

halusinasi. Seseorang yang berhalusinasi mungkin tidak memiliki cara untuk

mengetahui apakah persepsi ini adalah nyata, dan biasanya pasien tidak

mengecek ulang pengalamannya. Ketidakmampuan untuk memandang realitas

secara akurat membuat hidup menjadi sulit. Oleh karena itu halusinasi dapat

dianggap sebagai masalah yang membutuhkan solusi (Stuart, 2016).Respons

yang ditimbulkan dari adanyahalusinasi adalah kehilangan kontrol diri,yang

mana dalam situasi ini pasien dapatmelakukan bunuh diri, membunuh orang

lain,bahkan merusak lingkungan (Handayani, Sriati & Widianti, 2014).


Pasien dengan diagnosis medis skizofrenia diperkirakan 90 %

mengalami halusinasi. Sebanyak 70% halusinasi yang dialami pasien

gangguan jiwa adalah halusinasi pendengaran, 20% mengalami halusinasi

penglihatan dan

10% adalah halusinasi penghidu, pengecapan dan perabaan (Wahyu & Ina,

2010). Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa jenis halusinasi yang paling

banyak diderita oleh pasien dengan skizofrenia adalah halusinasi

pendengaran.Penanganan skizofrenia dengan halusinasi pendengaran di rumah

sakit memerlukan kerjasama yang baik dari perawat, dokter dan psikiater.

Perawat dalam menangani pasien dengan halusinasi pendengaran dapat

melakukan asuhan keperawatan yang bersifat komprehensif dengan pendekatan

proses keperawatan meliputi: pengkajian keperawatan, diagnosis keperawatan,

intervensi keperawatan, implementasi keperawatan, evaluasi tindakan, dan

dokumentasi keperawatan (Yosep, 2010).

Untuk mengatasi halusinasi dan mengurangi frekuensi halusinasi yang

timbul pada pasien halusinasi ini ada dua jenis terapi yang dapat diberikan

yang pertama terapi medis berupa pengobatan misalnya Chlorpromazine yang

diberikan secara IM, Tranquilaizer misalnya Valium atau Stesolid yang

diberikan secara IV, untuk terapi oral obat yang diberikan pada psikosis

adalah Triflouperazine (Stelazine) dan haloperidol (Maramis, 2005). Yang

kedua terapi modalitas yaitu terapi utama dalam keperawatan jiwa. Terapi ini

di berikan dalam upaya mengubah perilaku pasien dari perilaku maladaptif

menjadi perilaku adaptif. Tindakan terapi modalitas yang meliputi, terapi

keluarga, terapi lingkungan, terapi kognitif, terapi kelompok, terapi

perilaku dan terapi individu (Keliat, 2006).


Terapi individu merupakan salah satu bentuk terapi yang dilakukan

secara individu oleh perawat kepada pasien secara tatap muka perawat–pasien

dengan cara yang terstruktur dan durasi waktu tertentu sesuai dengan tujuan

yang ingin dicapai (Akemat, 2004). Pendekatan terapi individu yang sering

digunakan adalah pendekatan strategi pelaksanaan komunikasi diantaranya

membina hubungan saling percaya perawat–pasien, membantu mengenal

halusinasi, dilakukan dengan berdiskusi tentang isi halusinasi (apa yang

didengar, dilihat), waktu terjadi halusinasi, frekuensi dan situasi penyebab

halusinasi serta respons pasien saat itu, melatih mengontrol halusinasi

menggunakan cara menghardik halusinasi, bercakap–cakap dengan orang lain

dan melakukan aktivitas terjadwal, mendapat dukungan dari keluarga,

menggunakan obat, kemampuan yang dilihat yaitu menjelaskan kembali

pentingnya penggunaan obat pada gangguan jiwa, menjelaskan kembali akibat

bila obat tidak digunakan sesuai program, menjelaskan kembali akibat bila

putus obat, menjelaskan kembali cara mendapatkan obat/berobat dan mampu

menjelaskan kembali cara menggunakan obat dengan prinsip 5 (lima) benar

(Keliat, 2006). Selain itu, dalam pendekatan strategi pelaksanaan komunikasi

ini lebih menekankan kepada teknik menggali perasaan secara dalam dan

komprehensif, diantaranya teknik katarsis, teknik sugesti, teknik reassurance,

teknik humor, teknik empati, teknik klarifikasi, dan teknik genuineness

(Stuart, 2009). Aspek yang terpenting tindakan keperawatan ini adalah

menjadikan individu mampu menilai dirinya sendiri tanpa merusak suasana

psikologisnya, melepaskan pikiran yang membebani serta memahami pikiran

dan perilaku salahnya (Videbeck, 2008).


Menurut Yustinus (2008), mengingat dampak yang ditimbulkan dari

halusinasi, maka masalah tersebut memerlukan penanganan lebih lanjut, yaitu

dengan memberikan terapi individu dengan pendekatan strategi pelaksanaan

komunikasi secara benar, komprehensif dan berkesinambungan, hal ini akan

membentuk perkembangan analisis hubungan (transference relationship) antar

individu sehingga membuat pasien melepaskan tegangan dan menghidupkan

kembali sejumlah kejadian yang mengandung emosi dalam diri pasien.

Pendekatan ini bersifat fleksibel, pasien tidak diharuskan berpastisipasi secara

kaku, tetapi pasien dapat berpartisipasi dengan cara mereka sendiri dan

dengan tingkat kemampuan berinteraksi yang berbeda (Yustinus, 2008).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rivo (2011) di Rumah Sakit

Provinsi Sumatera Utara, mengenai kemampuan pasien meningkatkan harga

diri rendah yang diberikan terapi individu dengan pendekatan

strategi pelaksanaan komunikasi dan terapi kelompok, didapatkan hasil terapi

individu dengan strategi pelaksanaan komunikasi lebih efektif meningkatkan

harga diri pasien dari terapi kelompok.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengambil kasus

dengan judul “Penerapan Terapi Individual Pada Pasien Yang Mengalami

Halusinasi Di Ruang Perawatan Jiwa RSUD Sumbawa” dengan pendekatan

strategi pelaksanaan komunikasi dan terapi kelompok keperawatan jiwa.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka dapat disimpulkan

rumusan masalah yaitu “Bagaimana Penerapan Terapi Individual Pada Pasien

Yang Mengalami Halusinasi Di Ruang Perawatan Jiwa RSUD Sumbawa?”.


1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Mendeskripsikan penerapan terapi individual pada pasien gangguan

sensori persepsi halusinasi pada pasien halusinasi di ruang perawatan jiwa

RSUD Sumbawa.

1.3.2 Tujuan khusus

a. Mengetahui respon pasien setelah penerapan terapi individual pada

pasien gangguan sensori persepsi halusinasi di ruang perawatan

RSUD Sumbawa.

b. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi hasil penerapan

terapi individual pada pasien gangguan sensori persepsi halusinasi di

ruang perawatan RSUD Sumbawa.

1.4 Manfaat

1.4.1 Bagi penulis

Dapat menambah wawasan, pengalaman dan pengetahuan tentang

Pengaruh Terapi Individual Pada Pasien Yang Mengalami Halusinasi.

1.4.2 Bagi perkembangan ilmu keperawatan

Sebagai bahan masukan yang digunakan untuk penerapan Terapi

Individual Pada Pasien Yang Mengalami Halusinasi sehingga dapat

meningkatkan mutu pelayanan keperawatan dan untuk menambah ilmu

pengetahuan baik bagi penulis maupun pembaca lain, serta sebagai sumber

informasi bagi pasien, keluarga, tenaga kesehatan jiwa dan pengambil

kebijakan lainnya.
1.4.3 Bagi Institusi Pendidikan Akademi Keperawatan Samawa

Sebagai informasi atau kajian untuk di jadikan acuan bagi penelitian-

penelitian yang sejenis pada masa yang akan datang.


BAB II TINJAUAN

PUSTAKA

2.1 Konsep dasar halusinasi

2.1.1 Pengertian

2.1.1.1 Skizofrenia

Skizofrenia adalah sekelompok reaksi psikotik yang

mempengaruhi berbagai area, fungsi individu, termasuk

berpikir dan berkomunikasi, menerima dan

menginterprestasikan realita, merasakan dan menunjukan

emosi dan berperilaku dengan sikap yang tidak dapat

diterima secara social (Farida, 2010).

Menurut Videback (2008), skizofrenia merupakan

penyakit yang mempengaruhi otak dan menyebabkan

timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan, dan perilaku

yang aneh dan terganggu. Gejala skizofrenia dibagi dalam

dua kategori utama yaitu skizofrenia positif atau gejala

nyata, yang mencakup waham, halusinasi, dan diagnosis,

bicara, dan perilaku yang tidak teratur, serta gejala

skizofrenia negatif atau gejala samar, seperti efek datar,

tidak memiliki kemauan, dan menarik diri dari masyarakat

atau

rasa tidak nyaman.

10
11

2.1.1.2 Halusinasi

Halusinasi merupakan suatu kondisi individu

menganggap jumlah serta pola stimulus yang datang (baik

dari dalam maupun dari luar) tidak sesuai dengan

kenyataan, disertai distorsi dan gangguan respons

terhadap stimulus tersebut baik respons yang berlebihan

maupun yang kurang memadai (Townsend, 2010).

Halusinasi adalah satu gejala gangguan jiwa pada

individu yang ditandai dengan perubahan sensori persepsi,

merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan,

pengecapan perabaan atau penghiduan. Pasien merasakan

stimulus yang sebenarnya tidak ada (Keliat, Akemat, 2010).

Halusinasi adalah persepsi atau tanggapan dari panca

indera tanpa adanya rangsangan (stimulus) eksternal (Stuart

& Laraia, 2005; Laraia, 2009). Halusinasi merupakan

gangguan persepsi dimana pasien mempersepsikan sesuatu

yang sebenarnya tidak terjadi.

Halusinasi adalah perubahan dalam jumlah / pola

stimulus yang datang disertai gangguan respon yang kurang,

berlebihan, atau distorsi terhadap stimulus tersebut (Nanda

1, 2012).
2.2.2 Etiologi

2.2.2.1 Faktor Predisposisi (Yosep, 2011)

A. Biologis

1. Genetik: Diturunkan melalui kromosom orangtua

(kromosom keberapa masih dalam penelitian). Diduga

kromosom no.6 dengan kontribusi genetik tambahan

nomor 4, 8, 15 dan 22. Pada anak yang kedua

orangtuanya tidak menderita, kemungkinan terkena

penyakit adalah satu persen. Sementara pada anak

yang salah satu orangtuanya menderita kemungkinan

terkena adalah 15%. Dan jika kedua orangtuanya

penderita maka resiko terkena adalah 35 persen.

Kembar indentik berisiko mengalami gangguan

sebesar 50%, sedangkan kembar fraterna berisiko

mengalami gangguan 15%.

2. Kelainan fisik: Lesi pada daerah frontal, temporal dan

limbik.Neurotransmitter dopamin berlebihan, tidak

seimbang dengan kadar serotonin

3. Riwayat janin pada saat prenatal dan perinatal

meliputi trauma, penurunan oksigen pada saat

melahirkan, prematur, preeklamsi, malnutrisi, stres,

ibu perokok, alkohol, pemakaian obat-obatan,

infeksi, hipertensi dan agen teratogenik. anak yang

dilahirkan dalam kondisi seperti ini pada saat dewasa

(25 tahun) mengalami pembesaran ventrikel otak

dan atrofi
kortek otak. Anak yang dilahirkan dalam lingkungan

yang dingin sehingga memungkinkan terjadinya

gangguan pernapasan.

4. Nutrisi: Adanya riwayat gangguan nutrisi ditandai

dengan penurunan BB, rambut rontok, anoreksia,

bulimia nervosa.

5. Keadaan kesehatan secara umum: misalnya kurang

gizi, kurang tidur, gangguan irama sirkadian,

kelemahan, infeksi, penurunan aktivitas, malas untuk

mencari bantuan pelayanan kesehatan

6. Sensitivitas biologi: riwayat peggunaan obat

halusinogen, riwayat terkena infeksi dan trauma serta

radiasi dan riwayat pengobatannya

7. Paparan terhadap racun : paparan virus influenza pada

trimester 3 kehamilan dan riwayat keracunan CO,

asbestos karena mengganggu fisiologi otak.

a. Psikologis

1) Intelegensi: riwayat kerusakan struktur di

lobus frontal dan kurangnya suplay oksigen

terganggu dan glukosa sehingga

mempengaruhi fungsi kognitif sejak kecil

misalnya: mental retardasi (IQ rendah).

a) Gangguan keterampilan verbal akibat

faktor komunikasi dalam keluarga, seperti

: Komunikasi peran ganda, tidak ada


komunikasi, komunikasi dengan emosi

berlebihan, komunikasi tertutup.

b) Adanya riwayat gangguan fungsi bicara,

akibatnya adanya riwayat Stroke, trauma

kepala.

c) Adanya riwayat gagap yang

mempengaruhi fungsi sosial pasien

2) Moral : Riwayat tinggal di lingkungan yang

dapat mempengaruhi moral individu,

misalnya lingkungan keluarga yang broken

home, konflik, Lapas.

3) Kepribadian: mudah kecewa, kecemasan

tinggi, mudah putus asa dan menutup diri

4) Pengalaman masa lalu :

a) Orang tua yang otoriter dan selalu

membandingkan

b) Konflik orang tua sehingga salah satu

orang tua terlalu menyayangi anaknya.

c) Anak yang dipelihara oleh ibu yang suka

cemas, terlalu melindungi, dingin dan tak

berperasaan.

d) Ayah yang mengambil jarak dengan

anaknya

e) Mengalami penolakan atau tindakan

kekerasan dalam rentang hidup klien baik


sebagai korban, pelaku maupun saksi.

f) Penilaian negatif yang terus menerus dari

orang tua.

5) Konsep diri : adanya riwayat ideal diri yang

tidak realistis, identitas diri tak jelas, harga

diri rendah, krisis peran dan gambaran diri

negative

6) Motivasi: riwayat kurangnya penghargaan

dan riwayat kegagalan

7) Pertahanan psikologi: ambang toleransi

terhadap stres rendah dan adanya riwayat

gangguan perkembangan

8) Self control: adanya riwayat tidak bisa

mengontrol stimulus yang datang, misalnya

suara, rabaan, penglihatan, penciuman,

pengecapan, gerakan

b. Sosial cultural

1) Usia : Riwayat tugas perkembangan yang

tidak selesai

2) Gender : Riwayat ketidakjelasan identitas dan

kegagalan peran gender

3) Pendidikan : Pendidikan yang rendah, riwayat

putus sekolah dan gagal sekolah

4) Pendapatan : Penghasilan rendah

5) Pekerjaan : Pekerjaan stresful, Pekerjaan


beresiko tinggi

6) Status sosial : Tuna wisma, Kehidupan

terisolasi

7) Latar belakang Budaya : Tuntutan sosial

budaya seperti paternalistik dan adanya

stigma masyarakat, adanya kepercayaan

terhadap hal- hal magis dan sihir serta adanya

pengalaman keagamaan

8) Agama dan keyakinan : Riwayat tidak bisa

menjalankan aktivitas keagamaan secara rutin

dan kesalahan persepsi terhadap ajaran agama

tertentu

9) Keikutsertaan dalam politik: riwayat

kegagalan dalam politik

10) Pengalaman sosial : Perubahan dalam

kehidupan, misalnya bencana, perang,

kerusuhan, perceraian dengan istri, tekanan

dalam pekerjaan dan kesulitan mendapatkan

pekerjaan

11) Peran sosial: Isolasi sosial khususnya untuk

usia lanjut, stigma yang negatif dari

masyarakat, diskriminasi, stereotype, praduga

negative.
2.2.2.2 Faktor Presipitasi

A. Nature

Enam bulan terakhir terjadi faktor faktor sebagai berikut :

1. Faktor biologis : kurang nutrisi, Ada gangguan

kesehatan secara umum (menderita penyakit jantung,

kanker, mengalami trauma kepala atau sakit panas

hingga kejang- kejang), sensitivitas biologi (terpapar

obat halusinogen atau racun, asbestosis, CO).

2. Faktor psikologis : mengalami hambatan atau

gangguan dalam ketrampilan komunikasi verbal, ada

kepribadian menutup diri, ada pengalaman masa lalu

tidak menyenangkan (misalnya: menjadi korban

aniaya fisik, saksi aniaya fisik maupun sebagai pelaku,

konsep diri yang negatif (harga diri rendah, gambaran

citra tubuh, keracuan identitas, ideal diri tidak

realistis, dan gangguan peran), kurangnya

penghargaan, pertahanan psikologisrendah (ambang

toleransi terhadap stres rendah), self control (ada

riwayat terpapar stimulus suara, rabaan, penglihatan,

penciuman dan pengecapan, gerakan yang berlebihan

dan klien tidak bisa mengontrolnya.

3. Faktor social budaya : usia, gender, pendidikan

rendah/putus atau gagal sekolah, pendapatan rendah,

pekerjaan tidak punya, status social jelek (tidak

terlibat dalam kegiatan di masyarakat, latar belakang

budaya,
tidak dapat menjalankan agama dan keyakinan,

keikutsertaan dalam politik tidak bisa dilakukan,

pengalaman sosial buruk, dan tidak dapat menjalankan

peran sosial.

B. Origin

1. Internal:Persepsi individu yang tidak baik tentang

dirinya, orang lain dan lingkungannya.

2. Eksternal :Kurangnya dukungan keluarga, masyarakat,

dan kurang dukungan kelompok/teman sebaya.

3. Timing: stres terjadi dalam waktu dekat, stress terjadi

secara berulang-ulang/ terus menerus.

4. Number: Sumber stres lebih dari satu dan stres

dirasakan sebagai masalah yang sangat berat.

2.1.2 Jenis halusinasi

Menurut yosep (2007: 79) jenis halusinasi dibagi menjadi 8 yaitu :

A. Halusinasi pendengaran (auditif, akustik), (Menurut yosep 2007:

79)

Paling sering dijumpai dapat berupa bunyi mendenging atau

suara bising yang tidak mempunyai arti, tetapi lebih sering

terdengar sebagai sebuah kata atau kalimat yang bermakna.

Biasanya suara tersebut ditujukan pada penderita sehingga tidak

jarang penderita bertengkar dan berdebat dengan suara tersebut.

Suara tersebut dapat dirasakan berasal dari jauh atau dekat

bahkan mungkin datang dari bagian tubuh sendiri. Suara bisa


menyenangkan, menyuruh berbuat baik, tetapi dapat pula berupa

ancaman, mengejek, memaki atau bahkan yang menakutkan dan

kadang-kadang mendesak / memerintah untuk bebuat seperti

membunuh dan merusak.

B. Halusinasi Penglihatan (visual, optik)

Lebih sering terjadi pada keadaan delirium (penyakit

organik). Biasanya sering muncul bersamaan dengan penurunan

kesadaran, menimbulkan rasa takut akibat gambaran-gambaran

yang mengerikan.

C. Halusinasi penciuman (olfaktorik)

Halusinasi ini berupa mencium sesuatu bau tetentu dirasakan

tidak enak, melambungkan rasa bersalah pada penderita. Bau

dilambangkan sebagai pengalaman yang dianggap penderita

sebgai suatu kombinasi moral.

D. Halusnasi pengecapan (gustatorik)

Walaupun jarang terjadi biasanya bersamaan dengan

halusinasi penciuman, penderita merasa mengecap sesuatu.

Halusinasi gastorik lebih jarang dari halusinasi gustatorik.

E. Halusinasi perabaan (taktil)

Merasa diraba, disentuh, ditiup atau seperti ada ulat yang

bergerak dibawah kulit. Terutama pada keadaan delirium toksis

dan skizofrenia.
F. Halusinasi seksual / halusinasi raba

Penderita merasa diraba dan diperkosa, sring pada

skizofrenia dengan waham kebesaran terutama mengenai organ-

organ.

G. Halusinasi kinestik

Penderita merasa badanya bergerak-gerak dalam suatu ruang

atau anggota badanya yang begerak-gerak, misalnya ’’phantom

phenomenon’’ atau tungkai yang diamputasi selalu bergerak-

gerak. Sering pada skizofrenia dalam keadaan toksik tertentu

akibat pemakaian obat.

H. Halusinasi visceral

Timbulnya perasaan tertentu didalam tubuhnya.

2.1.3 Tahap halusinasi

1. Fase I (Comforting)

Comforting disebut juga fase menyenangkan, pada

tahapan ini masuk dalam golongan nonpsikotik.

Menenangkan, ansietas tingkat sedang. Secara umum

menyenangkan.

Karakteristik : Merasa bersalah dan takut serta mencoba

memusatkan pada penenangan pikiran untuk mengurangi

ancietas. individu mengetahui bahwa pikiran dan sensori yang

dialaminya dapat dikendalikan dan bisa diatasi ( non psikotik).

Perilaku yang teramati :

A. Menyeringai / tertawa yang tidak sesuai

B. Menggerakan bibirnya tampa menimbulkan suara


C. Respon verbal yang lambat

D. Diam dan dipenuhi oleh sesuatu yang mengasikan

2. Fase II (Condeming)

Condeming merupakan pengalaman sensori menjijihkan

dan menakutkan termasuk dalam psikotik ringan bersifat

menyalahkan, ancietas tingkat berat dan Halusinasi menjijikan.

Karakteristik : pengalaman sensori bersifat menjijikan

dan menakutkan, orang yang berhalusinasi mulai merasa

kehilangan kendali mungkin berusaha untuk menjauhkan dirinya

dari sumber yang dipersepsikan , individu mungkin merasa malu

karena pengalaman sensorinya dan menarik diri dari orang lain (

non psikotik )Perilaku klien yang teramati:

A. Peningkatan SSO yang menunjukan ancietas.

misalanya peningkatan nadi, TD dan pernafasan

B. Penyempitan kemampuan kosentrasi

C. Dipenuhi dengan pengalaman sensori mungkin

kehilangan kemampuan untuk membedakan antara

halusinasi dan realita

3. Fase III (Controlling)

Controlling disebut juga ansietas berat, yaitu pengalaman

sensori menjadi berkuasa. Karakteristik : orang yang

berhalusinasi menyerah untuk melawan pengalaman halusinasi

dan membiarkan halusinasi menguasai dirinya. Isi halusinasi

dapat berupa permohonan, individu mungkin mengalami

kesepian jika pengalaman tersebut berakhir. (Psikotik ). Perilaku


klien yang teramati:

A. Lebih cendrung mengikuti petunjukyang diberikan oleh

halusinasinya dari pada menolak

B. Kesulitan berhubungan dengan orang lain

C. Rentang perhatian hanya beberapa menit atau detik, gejala

fisik dari ansietas berat seperti: berkeringat, tremor, ketidak

mampuan mengikuti petunjuk.

4. Fase IV (Conquering)

Conquering disebut juga fase panik yaitu klien lebur

dengan halusinasinya.

Karakteristik : pengalaman sensori mungkin menakutkan

jika individu tidak mengikuti perintah, halusinasi bisa

berlangsung dalam beberapa jam atau hari apabila tidak

diintervensi terapeutik ( psikotik ). Perilaku yang teramati :

A. Perilaku menyerang – teror seperti panik

B. Sangat potensial melakukan bunuh diri atau mebunuh orang

lain

C. Kegiatan fisik yang merefleksikan isi halusinasi seperti :

amuk, agitasi, menarik diri

D. Tidak mampu berespon terhadap petunjuk yang komplek

E. Tidak mampu berespon terhadap lebih dari satu orang.


2.1.4 Tanda dan gejala halusinasi

Menurut Videback (2004:310), halusinasi dibagi menjadi 6 tipe

(Yosep, 2011) :

A. halusinasi pendengaran

Data subyektif :

1. Mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu yang

berbahaya

2. Mendengar suara-suara atau kegaduhan

3. Mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap

Data objektif :

a. Mengarahkan telinga pada sumber suara

b. Bicara atau tertawa sendiri

c. Marah tanpa sebab

d. Menutup telinga

B. Halusinasi penglihatan

Data Subyektif :

1. Melihat orang sudah meninggal

2. Melihat makhluk baayangan hantu atau sesuatu yang

menakutkan

3. Melihat monster

Data objektif :

a. Tatapan mata pada tempat tertentu

b. Menuju kearah tertentu

c. Ketakutan pada objek yang dilihat.


C. Halusinasi penghidu

Data subyektif :

1. Mencium sesuatu seperti bau darah, bau mayat

2. Sering mencium bau sesuatu

3. Sering terjadi pada klien demensia Data objektif :

Ekspresi wajah seperti mencium bau sesuatu dengan gerakan

cuping hidung, mengarahkan hidung pada tempat tertentu.

D. Halusinasi peraba

Data subyektif :

1. Klien merasakan seperti ada sesuatu yang menggerayangi

tubuh seperti tangan, binatang kecil, makhluk halus

2. Merasakan sesuatu dipermukaan kulit, merasakan sangat

panas atau dingin, merasakan tersengat aliran listrik.

Data objektif :

a. Mengusap, menggaruk-garuk, meraba-raba permukaan kulit

b. Terlihat menggerak-gerakan badan seperti merasakan sesuatu

rabaan
E. Halusinasi pengecap

Data subyektif :

Klien merasakan sedang merasakan makanan tertentu, rasa

tertentu atau mengunyah sesuatu

Data objektif :

A. Seperti mengecap sesuatu

B. Gerakan mengunyah

C. Meludah atau muntah

F. Halusinasi kinestik Data subyektif :

Klien melaporkan bahwa fungsi tubuhnya tidak dapat

terdeteksi misalnya tidak adanya denyutan diotak, atau sensasi

pembentukan urine dalam tubuhnya, perasaan tubuh melayang

diatas bumi.

Data objektif :

Klien menutup tubuhnya sendiri dan terlihat merasakan

sesuatu yang aneh tentang tubuhnya.

2.1.5 Psikopatologi

Proses terjadinya halusinasi diawali dari atau dengan orang

yang menderita halusinasi akan menganggap sumber dari hasilnya

berasal dari lingkungan atau stimulus eksternal (Yosep, 2011). pada

fase awal masalah itu menimbulkan peningkatan kecemasan yang

terus dan sistem pendukung yang kurang akan menghambat atau

membuat persepsi untuk membedakan antara apa yang dipikirkan

dengan perasaan sendiri menurun. Meningkatnya pada fase

Comforting, klien
mengalami emosi yang berlanjut seperti cemas, kesepian, perasaan

berdosa dan sensorinya dapat dikontrol bila kecemasan dapat diatur.

Pada fase ini klien cenderung merasa nyaman dengan halusinasinya.

Pada fase Conderming klien mulai menarik diri. Pada fase controlling

klien dapat merasakan kesepian bila halusinasinya berhenti. Pada fase

Conquering klien lama kelamaan sensorinya terganggu, klien merasa

terancam dengan halusinasinya terutama bila tidak menuruti

perintahnya.

Gambar 2.1.5.1 Psikopatologis, Neurobologi

Faktor Predisposisi

Biologi Psikologi Sosial budaya

Stresor Presipitasi

Sifat Asal Waktu Jumlah

Penilaian Terhadap Stresor

Kognitif Afektif Fisiologis perilaku sosial

Sumber-sumber Koping

Kemampuan Personal Dukungan Sosial Aset Materi Keyakinan positif

Mekanisme Koping

Construtive Destructive

Rentang Respon

Respon adaptif Responmaladaptive


2.1.6 Mekanisme Koping

Mekanisme koping gangguan persepsi sensori : Halusinasi

pendengaran menurut stuart (2007), perilaku yang mewakili upaya

untuk melindungi klien dari pengalaman yang menakutkan

berhubungan dengan respon neurologismaladaptive yaitu :

A. Konstruktif

B. Destruktif

C. Regresi

Berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya

untuk mengatasi ansietas, yang menyisahkan sedikit energy untuk

aktifitas hidup sehari-hari.

D. Proyeksi

Sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi

1. Denial

2. Withdrawal

2.1.7 Penatalaksanaan Medis

Terapi farmakologi untuk pasien jiwa menurut kusumawati & hartono

(2010) adalah:

A. Anti psikotik

Jenis : Clorpromazin (CPZ), Haloperidol (HLP).

Mekanisme kerja : Menahan kerja reseptor dopamin

dalam otak sebagai penenang, penurunan aktifitas motoric,

mengurangi insomnia, sangat efektif untuk mengatasi : delusi,

halusinasi, ilusi, dan gangguan proses berfikir.


Efek samping :

1. Gejala ekstrapiramidal seperti berjalan menyeret kaki,

postur condong kedepan, banyak keluar air liur, wajah

seperti topeng, sakit kepala dan kejang.

2. Gastrointestinal seperti mulut kering, anoreksia, mual,

muntah, berat badan bertambah.

3. sering berkemih, retensi urine, hipertensi, anemia, dan

dermatitis.

B. Anti Ansietas

Jenis : Atarax, Diazepam (chlordiazepoxide)

Mekanisme kerja : Meradakan ansietas atau ketegangan yang

berhubungan dengan situasi tertentu.

Efek samping :

1. Pelambatan mental, mengantuk, vertigo, bingung,

tremor, letih, depresi, sakit kepala, ansietas, insomnia,

bicara tidak jelas.

2. Anoreksia, mual, muntah, diare, kontipasi, kemerahan,

dan gatal-gatal.

C. Anti Depresan

Jenis : Elavil, asendin, anafranil, norpamin, ainequan,

tofranil,ludiomil, pamelor, vivacetil, surmontil.

Mekanisme kerja : Mengurangi gejala depresi, penenang.

Efek samping :
1. Tremor, gerakantersentak-sentak, ataksia,

kejang, pusing, ansietas, lemas, dan insomnia.

2. pandangan kabur, mulut kering, nyeri epigastrik,

kram abdomen, diare, hepatitis, icterus

3. retensi urine, perubahan libido, disfungsi erelsi.

D. Anti Manik

Jenis : Lithoid, klonopin, lamictal

Mekanisme kerja : Menghambat pelepasan scrotonin dan

mengurangi sensitivitas reseptor dopamine

Efek samping : sakit kepala, tremor, gelisah, kehilangan

memori, suara tidak jelas, otot lemas, hilang koordinasi.

E. Anti Parkinson

Jenis : Levodova, trihexpenidyl (THP)

Mekanisme kerja : Meningkatkan reseptor dopamine untuk

mengatasi gejala parkinsonisme akibat penggunaan obat

antipsikotik, menurunkan ansietas, irritabilitas.


2.2 Rentang respon

Gambar 2.2 Rentang respon

Adaptif Maladaptif

• Pikiran logis • Kadang proses • Waham


• Persepsi akurat piker terganggu • Halusinasi
8. • Emosi • Ilusi • Kerusakan proses
konsistensi • Emosi berlebihan emosi
9. dengan • Perilaku yang tidak • Perilaku tidak
Pengalaman biasa terorganisasi
10 • Perilaku cocok • Menarik diri • Isolasi sosial
.
• Hubungan

11
.

(Yosep, 2011)
BAB III METODE

PENELITIAN

3.1 Rancangan penelitian

Rancangan penelitian adalah sesuatu yang sangat penting dalam

melakukan prosedur penelitian. Rancangan penelitian yang digunakan adalah

rancangan yang menggunakan pendekatan studi kasus yang dapat diartikan

sebagai prosedur pemecahan masalah berdasarkan fakta dan data. Studi kasus

adalah suatu penelitian (penyelidikan) intensif, mencakup semua informasi

relevan terhadap seseorang atau beberapa orang biasanya berkenan dengan satu

gejala psikologis. Penelitian ini di lakukan dengan menempuh langkah-langkah

pengumpulan data, klasifikasi, pengelolahan atau analisa data, membuat

kesimpulan dan laporan (Nursalam, 2009).

Penellitian kasus pada proposal karya tulis ilmiah ini dilakukan dengan

menggunakan kriteria pasien sebagai berikut :

A. Pasien yang mengalami halusinasi

B. Pasien yang mau diajak bekerja sama

C. Keluarga pasien mau menandatangani informed consent

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1 Lokasi Penelitian

Pengambilan data pada studi kasus ini dilakukan di ruang perawatan jiwa

RSUD Sumbawa.

3.2.2 Waktu Penelitian


Waktu pengambilan kasus untuk Karya Tulis Ilmiah dilaksanakan pada

tanggal …...

3.3 Prosedur dan Metode Pengumpulan Data Kasus

3.3.1 Prosedur pengumpulan data kasus

Adapun prosedur yang akan dilakukan oleh peneliti untuk mendapatkan

data pada studi kasus ini adalah sebagai berikut:

A. Peneliti meminta surat permohonan ijin penelitian dari Institusi

Akper Samawa.

B. Mengajukan permohonan ijin pada Badan Kesehatan Bangsa dan

Politik Dalam Negeri (BAKESBAPOLDAGRI).

C. Peneliti mendapat surat ijin penelitian dari BAKESBAPOLDAGRI

ke Kepala UPT Puskesmas Kecamatan Labuhan Badas.

D. Atas ijin dari Kepala UPT Puskesmas Kecamatan Labuhan Badas

peneliti menentukan salah satu klien dengan diagnosa Stroke Non

Hemoragik dan diberikan informed consent untuk dijadikan klien

kelolaan dengan menggunakan proses keperawatan keluarga.

E. Sebelum mengambil data, peneliti melihat buku register kemudian

disesuaikan dengan kriteria pasien yang telah ditetapkan peneliti.

Setelah menentukan pasien sesuai dengan kriteria, peneliti

melakukan pendekatan dengan calon klien untuk meminta

persetujuan sebagai klien dalam penelitan dengan menandatangani

formulir persetujuan (inform consent). Setelah menandatangani

inform consent, peneliti membuat kontrak pertemuan pertama

dengan klien dan keluarga.


3.3.2 Metode Pengumpulan Data

Adapun metode yang dilakukan pada studi kasus ini adalah :

A. Teknik Wawancara

Wawancara adalah merupakan pola komunikasi yang

dilakukan untuk tujuan spesifikasi dan difokuskan pada area

dengan isi yang spesifik (Potter & Perry, 2005).

Adapun teknik wawancara dapat dilakukan dengan dua cara,

yaitu :

1. Wawancara Langsung

Merupakan metode pengumpulan data dimana penulis

dapat mengadakan komunikasi secara lansung dengan

klien.Dalam hal ini perawat dapat menetapkan tujuan dan

mengontrol wawancara sehingga komunikasi menjadi

menarik serta secara bersamaan dapat memberikan

informasi yang akurat (Potter & Perry, 2005).

2. Wawancara Tidak Langsung

Merupakan teknik pengumpulan data dengan cara

melakukankomunikasi melalui perantara, dalam hal ini

adalah keluarga, orang terkait dan tim kesehatan atau

keperawatan (Potter & Perry, 2005).

B. Teknik Observasi

Teknik observasi adalah pengumpulan data yang dapat

dilakukan dengan pengamatan atau penilaian terhadap sesuatu


yang dihubungkan dengan klien. Data yang didapat dari

observasi : Keadaan umum klien, vital sign, dan lain- lain.

Metode observasi tersebut terdiri dari:

1. Observasi Langsung

Adalah observasi yang melakukan dengan

pengamatan dan pemeriksaan secara lansung terhadap klien.

2. Observasi Partisipatif

Adalah observasi yang dilakukan dimana observasi

ikut dalam kegiatan kelompok, misalnya : pemeriksaan yang

dilakukan oleh tim kesehatan lain seperti : ahli kesehatan

jiwa dan lain-lain.

C. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik adalah cara pengumpulan data melalui

inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.

1. Inspeksi adalah pengamatan secara saksama terhadap status

kesehatan klien seperti inspeksi kesimetrisan pergerakan

dinding dada, penggunaan otot bantu nafas, inspeksi adanya

lesi pada kulit, dan sebagainya.

2. Perkusi adalah pemeriksaan fisik dengan jalan mengetukkan

jari tengah kejari tangan lainnya untuk mengetahui normal

atau tidaknya suatu organ tubuh.

3. Palpasi adalah jenis pemeriksaan fisik dengan cara meraba

klien, seperti palpasi pada rongga abdomen untuk

mengetahui lokasi nyeri pada usus atau untuk mengetahui


adanya massa pada usus akibat konstipasi atau tumor usus,

dan sebagainya.

4. Auskultasi adalah cara pemeriksaan fisik dengan

menggunakan stetoskop. Misalnya untuk mengetahui

adanya mengi, ronchi, wheezing akibat penumpukan sputum

pada saluran napas atau auskultasi bunyi jantung atau

auskultasi dinding abdomen untuk mengetahui bising usus.

D. Teknik Dokumentasi

Dalam metode ini pengumpulan data dapat dilakukan

melalui catatan-catatan kesehatan yang lain yang meliputi

catatan keperawatan, catatan dokter, laboratorium dan laporan-

laporan tentang penyakit serta pemeriksaan diagnostik lainnya.

E. Studi Kepustakaan

Merupakan metode pengumpulan data dengan

mengumpulkan literatur-literatur dari berbagai sumber yang

dapat menunjang data yang diperoleh sebelumnya.

3.4 Etika Penelitian

Etika penelitian merupakan masalah yang sangat penting dalam penelitian.

Masalah etika yang harus diperhatikan antara lain adalah sebagai berikut:

3.4.1 Informed Consent (Pernyataan Persetujuan)

Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti

dan responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan


(Hidayat: 2009). Informed consent tersebut diberikan sebelum penelitian

dilakukan dengan memberikan lembar persetujuan untuk menjadi

responden. Tujuan Informed Consent adalah agar responden mengerti

maksud dan tujuan penelitian, mengetahui dampaknya. Jika responden

bersedia, maka mereka harus menandatangani lembar pesetujuan. Jika

responden tidak bersedia, maka peneliti harus menghormati hak pasien.

3.4.2 Anonimity (tanpa nama)

Masalah etika keperawatan merupakan masalah yang

memberikan jaminan dalam menggunakan subyek penelitian dengan cara

tidak memberikan atau mencantumkan nama responden pada lembar alat

ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau

hasil penelitian yang akan disajikan.

3.4.3 Confidentiality (Kerahasiaan)

Masalah ini merupakan masalah etika dengan memberikan

jaminan kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-

masalah lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin

kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang

dilaporkan pada hasil riset.

3.4.4 Balancing harm and benefits

Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan

(balancing harms and benefits), peneliti melaksanakan penelitian sesuai

dengan prosedur penelitian guna mendapatkan hasil yang bermanfaat

semaksimal mungkin bagi subyek penelitian dan dapat

digeneralisasikan di tingkat populasi (beneficence). Peneliti

meminimalisasi dampak yang merugikan bagi subyek, apabila


intervensi penelitian berpotensi mengakibatkan cedera atau stres

tambahan maka subyek dikeluarkan dari kegiatan penelitian untuk

mencegah terjadinya cedera, kesakitan, stres, maupun kematian subyek

penelitian. (Nursalam, 2009).


DAFTAR PUSTAKA

Yosep, I. (2011). Keperawatan Jiwa (Edisi Revisi). Bandung : Refika Medika

Direja, A. H. S. (2011). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta :


Nuha Merdeka.

Kusumawati, F. & Hartono, Y. (2010). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta :


Salemba Medika.

Yosep, I (2010). Keperawatan Jiwa. Bandung : PT. Refika Aditama Yosep,I


(2007). Keperawatan Jiwa. Bandung : PT. Refika Aditama

Suliswati, (2005). Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : EGC.

Rasmun, (2009). Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi Dengan


keluarga. Jakarta : CV Agung Seto.

Rawlins, Ruth Parmele. 1993. Clinical Manual of psychiatric Nursing. St. Louis
Missouri : Mosby year

Keliat, 2009. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta : EGC.

Stuart, & Laraia.(2001). Principle and practice of psychiatric nursing (6th ed).
St. Louis: Mosby Year Book

Yustinus. (2006). Kesehatan mental 3.Jakarta: Kanisius

Nanda, 2012. Diagnosa Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi 2012-2014.


Buku kedokteran : EGC

Asuhan Keperawatan Pada..., Elga Anis Amrulloh, Fakultas Ilmu


Kesehatan UMP, 2017

39

Anda mungkin juga menyukai