KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian Berbicara
Mengungkapkan pikiran, perasaan dan kehendak merupakan kebutuhan
manusia. Kegiatan mengungkapkan isi hati kepada orang lain dikenal dengan
sebutan komunikasi. Komunikasi dapat berlangsung secara lisan dan tulis. Secara
lisan, mencakup aktivitas menyimak dan berbicara, sedangkan secara tulis
mencakup kegiatan membaca dan menulis. Secara alami, aktivitas berbicara
berada pada urutan kedua setelah menyimak. Kemudian dilanjutkan dengan
aktivitas membaca, dan menulis.
Seseorang tidak pernah melewatkan aktivitas berbicara untuk menjalin
komunikasi. Berbicara adalah alat komunikasi yang sangat vital, karena dalam
kehidupan sehari-hari manusia dihadapkan dengan berbagai kegiatan yang
menuntut aktivitas berbicara.
Berbicara merupakan salah satu kegiatan dari empat kegiatan berbahasa.
Berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata
untuk mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan dan
perasaan (Tarigan, 1993 : 15). Sedangkan menurut Nuraeni mengatakan bahwa
“Berbicara adalah proses penyampaian informasi dari pembicara kepada
pendengar dengan tujuan terjadi perubahan pengetahuan, sikap, dan keterampilan
pendengar sebagai akibat dari informasi yang diterimanya.” (2002:12). Pendapat
yang sama disampaikan oleh Tarigan, dkk (1997 : 13) “Mereka berpendapat
bahwa berbicara adalah keterampilan menyampaikan pesan melalui bahasa lisan
kepada orang lain”. Keterampilan berbicara adalah keterampilan mengucapkan
bunyi-bunyi artikulasi atau mengucapkan kata-kata untuk mengekspresikan,
menyatakan, menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Pendengar menerima
informasi melalui rangkaian nada, tekanan, volume suara, tempo, irama dan
gramatika (Laksono, 2001:14). Berbicara adalah kegiatan mengkomunikasikan
gagasan, pikiran dan perasaan secara lisan sesuai dengan tujuan.
6
7
kegugupan. Agar memiliki keterampilan berbicara, terdapat dua faktor yang harus
dipenuhi oleh pembicara untuk menunjang keefektifan berbicara, yaitu faktor
kebahasaan dan non kebahasaan. Mukti dan Arsjad (1998:22) memerinci kedua
faktor tersebut sebagaimana dijelaskan di bawah ini.
1. Faktor Kebahasaan
Faktor kebahasaan adalah hal-hal yang berkaitan dengan bahasa sebagai
sarana alat ucap yang menghadirkan bunyi-bunyi bahasa (Laksono, 2001:12)
meliputi a) ketepatan ucapan; b) penempatan tekanan, nada, sendi, dan ritme yang
sesuai; c) pilihan kata atau diksi; dan d) ketepatan sarana pembicaraan.
Ketepatan ucapan cukup mempengaruhi proses komunikasi. Pengucapan
bunyi bahasa yang tidak tepat dapat menimbulkan kesalahpahaman dan pengertian
pendengar. Hal ini akan mengalihkan perhatian pendengar, karena siswa tidak
jelas mendengar. Siswa dinilai tepat ucapannya jika ucapan siswa bebas dari ciri
lafal daerah, vokal dan konsonan diucapkan jelas, tidak dipengaruhi pelafalan
bahasa barat, serta ketepatan pengucapan tiap suku kata.
Tekanan, nada, sendi dan ritme termasuk dalam wilayah informasi.
Intonasi yang tepat, dapat membantu efektifitas berbicara siswa. Intonasi ini
meliputi tempo, volume suara dan gaya bicara bervariasi.
Diksi berarti pilihan kata sesuai dengan makna, isi atau maksud yang
terkandung (Widyamartaya, 1980:41). Pilihan kata harus sesuai dengan pokok
pembicaraan, dengan siapa berbicara, dan dalam situasi apa. Karena sekolah
merupakan lingkungan yang formal, maka pilihan kata yang digunakan harus
memakai bahasa Indonesia.
Sasaran pembicaraan menyangkut pemakaian kalimat. Pembicara yang
menggunakan kalimat efektif akan memudahkan pendengar menangkap pesan
yang disampaikan. Kalimat efektif mempunyai ciri-ciri keutuhan, perpautan,
pemusatan perhatian, dan kehematan.
2. Faktor Nonkebahasaan
Faktor nonkebahasaan adalah hal-hal yang menyangkut perilaku atau
tingkah laku berbicara (Laksono, 2001:12) meliputi 1) sikap berbicara; 2)
pandangan mata; 3) kesediaan menghargai pendapat orang lain; 4) gerak-gerik
9
dan mimik yang tepat; 5) kenyaringan suara; 6) kelancaran; dan 7) penalaran dan
penguasaan topik.
Sikap dalam berbicara yang dimaksud adalah sikap wajar, tenang, dan
tidak kaku. Pembicara yang tidak tenang dan kaku akan memberi kesan pertama
yang tidak menarik. Sikap wajar akan menunjukkan otoritas dan integritas
pembicara.
Pandangan harus diarahkan kepada lawan bicara. Supaya pendengar dan
pembicara betul-betul terlibat dalam kegiatan berbicara, maka pandangan
pembicara cukup membantu. Pandangan yang hanya tertuju pada satu arah
menyebabkan pendengar merasa kurang diperhatikan. Banyak siswa waktu
berdiskusi berlatih mengungkapkan pendapat atau gagasannya tidak
memperhatikan siswa lainnya, tetapi melihat ke atas, ke samping, dan menunduk.
Akibatnya perhatian siswa lain berkurang.
Seorang pembicara hendaknya memiliki sikap terbuka. Sikap terbuka
berarti bersedia menerima kritik dan menghargai pendapat pihak lain. Namun,
tidak berarti pembicara begitu saja mengikuti pendapat orang lain dan mengubah
pendapatnya, tetapi ia juga harus mampu mempertahankan pendapatnya dan
menyakinkan orang lain.
Gerak-gerik dan mimik yang tepat dapat menunjang keefektifan berbicara.
Gerak tangan dan mimik cukup membantu pembicara menyampaikan gagasannya,
sehingga pendengar yakin terhadap gagasannya, tetapi gerak-gerik yang
berlebihan dapat mengganggu keefektifan berbicara.
Tingkat kenyaringan suara disesuaikan dengan situasi, tempat, dan jumlah
pendengar. Suara yang nyaring dapat terdengar semua pendengar. Suara nyaring
bukan berarti berteriak. Pembicara mengatur kenyaringan suara supaya dapat
didengar oleh semua pendengar dengan jelas.
Seringkali pembicara yang lancar berbicara akan memudahkan pendengar
menangkap isi pembicaraan. Seringkali terjadi pembicara berbicara putus-putus,
hal ini sangat mengganggu penangkapan pendengar terhadap informasi yang
disampaikan. Sebaliknya pembicara yang terlalu cepat berbicara juga akan
10
D. Pembelajaran Kooperatif
Lie (2002:28) mengatakan bahwa falsafah yang mendasari pembelajaran
kooperatif dalam pendidikan adalah falsafah homo homini socius. Falsafah ini
menekankan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Kerja sama merupakan
kebutuhan yang sangat penting artinya bagi kelangsungan hidup. Tanpa kerja
sama tidak akan adanya individu, keluarga, organisasi atau sekolah. Pembelajaran
kooperatif merupakan suatu model pembelajaran yang berorientasi pada belajar
bersama dan dalam suatu kelompok yang kecil (heterogen) untuk mendiskusikan
satu masalah secara bersama-sama dengan anggota kelompoknya, sehingga
masalah yang sulit dapat terpecahkan.
Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang secara sadar dan
sistematis mengembangkan interaksi yang silih asah, silih asih, dan silih asuh
antar sesama siswa sebagai latihan hidup di dalam masyarakat nyata.
Pembelajaran kooperatif atau disebut juga pembelajaran gotong-royong
merupakan sistem pengajaran yang memberi kesempatan kepada anak didik untuk
bekerja sama dengan siswa dalam menyelesaikan tugas-tugas yang berstruktur
(Lie, 2002:12). Di dalam pembelajaran kooperatif, siswa belajar bersama dalam
kelompok-kelompok kecil dan saling membantu satu sama lain. Kelas disusun
dalam kelompok yang terdiri dari 4 atau 5 siswa, dengan kemampuan yang
heterogen. Hal ini bermanfaat untuk melatih siswa menerima perbedaan pendapat
dan bekerja dengan teman yang berbeda latar belakangnya. Pada pembelajaran
kooperatif digunakan keterampilan khusus agar dapat bekerja sama dengan
12
2002:30) mengatakan bahwa untuk mencapai hasil yang maksimal, lima unsur
model pembelajaran gotong-royong harus diterapkan. Kelima unsur tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut:
a. Saling Ketergantungan Positif
Keberhasilan kelompok sangat tergantung pada usaha setiap
anggotanya. Setiap anggota kelompok saling bekerja sama untuk memecahkan
suatu permasalahan. Untuk menciptakan kelompok kerja yang aktif, pengajar
perlu membimbing setiap anggota kelompok untuk menyelesaikan tugasnya
sendiri agar dapat mencapai tujuan mereka.
Penilaian juga dilakukan dengan cara yang unik. Setiap siswa
mendapat nilainya sendiri dan nilai kelompok. Nilai kelompok dibentuk dari
sumbangan setiap anggota. Untuk menjaga keadilan, setiap anggota
menyumbangkan poin di atas nilai rata-rata mereka. Beberapa siswa kurang
mampu tidak akan merasa minder terhadap rekan-rekan mereka karena pada
akhirnya mereka juga memberikan sumbangan. Selain itu, mereka akan
terpacu untuk meningkatkan usaha mereka dan dengan demikian menaikkan
nilai mereka. Sebaliknya, siswa yang lebih pandai juga tidak akan merasa
dirugikan karena rekannya yang kurang mampu juga telah memberikan bagian
sumbangan mereka.
b. Tanggung Jawab Perseorangan
Unsur ini merupakan akibat langsung dari unsur yang pertama. Jika
tugas dan pola penilaian dibuat menurut prosedur model pembelajaran
kooperatif, setiap siswa akan merasa bertanggung jawab untuk melakukan
yang terbaik. Kunci keberhasilan metode kerja kelompok adalah persiapan
guru dalam penyusunan tugasnya.
c. Tatap Muka
Setiap kelompok harus diberikan kesempatan untuk bertemu muka dan
berdiskusi. Kegiatan interaksi ini akan memberikan para pembelajar untuk
membentuk sinergi yang menguntungkan semua anggota. Hasil pemikiran
beberapa kepala akan lebih kaya dari pada hasil pemikiran dari satu kepala
14
saja. Lebih jauh lagi, hasil kerjasama ini jauh lebih besar daripada jumlah hasil
masing-masing anggota.
Inti dan sinergi adalah menghargai perbedaan, memanfaatkan
kelebihan, dan mengisi kekurangan masing-masing. Setiap anggota kelompok
mempunyai latar belakang pengalaman, keluarga, dan sosial ekonomi yang
berbeda satu dengan yang lainnya. Perbedaan ini akan menjadi modal utama
dalam proses saling memperkaya antar anggota kelompok. Sinergi tidak bisa
didapatkan begitu saja dalam sekejap, tetapi merupakan proses kelompok yang
cukup panjang. Para anggota kelompok perlu diberi kesempatan untuk saling
mengenal dan menerima satu sama lain dalam kegiatan tatap muka dan
interaksi pribadi.
d. Komunikasi Antar Anggota
Unsur ini menghendaki agar pembelajar dibekali dengan berbagai
keterampilan berkomunikasi. Sebelum menugaskan siswa dalam kelompok,
pengajar perlu mengajarkan cara-cara berkomunikasi. Tidak setiap siswa
mempunyai keahlian mendengarkan dan berbicara. Keberhasilan suatu
kelompok juga bergantung pada kesediaan para anggotanya untuk saling
mendengarkan dan kemampuan mereka untuk mengutarakan pendapat
mereka.
Keterampilan berkomunikasi dalam kelompok ini juga merupakan
proses panjang. Pembelajar tidak bisa diharapkan langsung menjadi
komunikator yang andal dalam waktu sekejap. Namun, proses ini merupakan
proses yang sangat bermanfaat dan perlu ditempuh untuk memperkaya
pengalaman belajar dan pembinaan perkembangan mental dan emosional
siswa.
e. Evaluasi Proses Kelompok
Pengajar perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk
mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka agar
selanjutnya bisa bekerja sama dengan lebih efektif. Waktu evaluasi ini tidak
perlu diadakan setiap kali ada kerja kelompok, melainkan bisa diadakan selang
beberapa waktu setelah beberapa kali pembelajar terlibat dalam kegiatan
15