Anda di halaman 1dari 14

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Pengertian Berbicara
Mengungkapkan pikiran, perasaan dan kehendak merupakan kebutuhan
manusia. Kegiatan mengungkapkan isi hati kepada orang lain dikenal dengan
sebutan komunikasi. Komunikasi dapat berlangsung secara lisan dan tulis. Secara
lisan, mencakup aktivitas menyimak dan berbicara, sedangkan secara tulis
mencakup kegiatan membaca dan menulis. Secara alami, aktivitas berbicara
berada pada urutan kedua setelah menyimak. Kemudian dilanjutkan dengan
aktivitas membaca, dan menulis.
Seseorang tidak pernah melewatkan aktivitas berbicara untuk menjalin
komunikasi. Berbicara adalah alat komunikasi yang sangat vital, karena dalam
kehidupan sehari-hari manusia dihadapkan dengan berbagai kegiatan yang
menuntut aktivitas berbicara.
Berbicara merupakan salah satu kegiatan dari empat kegiatan berbahasa.
Berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata
untuk mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan dan
perasaan (Tarigan, 1993 : 15). Sedangkan menurut Nuraeni mengatakan bahwa
“Berbicara adalah proses penyampaian informasi dari pembicara kepada
pendengar dengan tujuan terjadi perubahan pengetahuan, sikap, dan keterampilan
pendengar sebagai akibat dari informasi yang diterimanya.” (2002:12). Pendapat
yang sama disampaikan oleh Tarigan, dkk (1997 : 13) “Mereka berpendapat
bahwa berbicara adalah keterampilan menyampaikan pesan melalui bahasa lisan
kepada orang lain”. Keterampilan berbicara adalah keterampilan mengucapkan
bunyi-bunyi artikulasi atau mengucapkan kata-kata untuk mengekspresikan,
menyatakan, menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Pendengar menerima
informasi melalui rangkaian nada, tekanan, volume suara, tempo, irama dan
gramatika (Laksono, 2001:14). Berbicara adalah kegiatan mengkomunikasikan
gagasan, pikiran dan perasaan secara lisan sesuai dengan tujuan.

6
7

Tujuan utama berbicara adalah berkomunikasi. Agar dapat menyampaikan


informasi dengan efektif, sebaiknya pembicara benar-benar memahami isi
pembicaraan. Pembicara harus dapat mengevaluasi efek komunikasinya terhadap
pendengar, dan memperhatikan pengucapan bunyi-bunyi bahasa. Ucapan adalah
seluruh kegiatan yang dilakukan pembicara dalam memproduksi bunyi bahasa,
meliputi artikulasi, yaitu bagaimana posisi alat bicara, seperti lidah, gigi, bibir,
dan langit-langit pada waktu kita membentuk bunyi vokal dan konsonan (Arsyad,
1998:17).
Lasswell (dalam Laksono, 2001:5) mengemukakan bahwa berbicara
sebagai kegiatan komunikasi memiliki lima komponen penting, yaitu 1)
komunikator, 2) pesan, 3) saluran, 4) komunikan, dan 5) efek yang muncul atau
diharapkan. Sehubungan dengan lima komponen tersebut. Ahmadi (dalam
Muti’ah, 1999:5) berpendapat bahwa keterampilan berbicara pada hakekatnya
adalah keterampilan memproduksi arus sistem bunyi artikulasi untuk
menyampaikan kehendak, kebutuhan, perasaan, dan keinginan kepada orang lain.
Jadi, keterampilan berbicara adalah keterampilan mengungkapkan pikiran
gagasan, dan kehendak dari komunikator kepada komunikan dengan
menggunakan bahasa lisan ditunjang dengan pilihan kata tepat, suara jelas,
memperlihatkan kelancaran, dan keberanian sehingga maksud komunikator dapat
dipahami oleh komunikan.
Dalam penelitian ini, kemampuan berbicara yang perlu ditingkatkan
adalah mampu mengungkapkan sesuatu yang dilihatnya dengan lancar.
Kemampuan berbicara siswa dapat dilihat di beberapa hal berikut ini yaitu:
a. Pilihan kata;
b. Volume suara;
c. Keberanian;
d. Kelancaran;
e. Penguasaan topik.
B. Faktor-Faktor Penunjang Keefektifan Berbicara
Berbicara dalam situasi formal tidak sama dengan berbicara dalam
kehidupan sehari-hari. Berbicara dalam situasi formal sering menimbulkan
8

kegugupan. Agar memiliki keterampilan berbicara, terdapat dua faktor yang harus
dipenuhi oleh pembicara untuk menunjang keefektifan berbicara, yaitu faktor
kebahasaan dan non kebahasaan. Mukti dan Arsjad (1998:22) memerinci kedua
faktor tersebut sebagaimana dijelaskan di bawah ini.
1. Faktor Kebahasaan
Faktor kebahasaan adalah hal-hal yang berkaitan dengan bahasa sebagai
sarana alat ucap yang menghadirkan bunyi-bunyi bahasa (Laksono, 2001:12)
meliputi a) ketepatan ucapan; b) penempatan tekanan, nada, sendi, dan ritme yang
sesuai; c) pilihan kata atau diksi; dan d) ketepatan sarana pembicaraan.
Ketepatan ucapan cukup mempengaruhi proses komunikasi. Pengucapan
bunyi bahasa yang tidak tepat dapat menimbulkan kesalahpahaman dan pengertian
pendengar. Hal ini akan mengalihkan perhatian pendengar, karena siswa tidak
jelas mendengar. Siswa dinilai tepat ucapannya jika ucapan siswa bebas dari ciri
lafal daerah, vokal dan konsonan diucapkan jelas, tidak dipengaruhi pelafalan
bahasa barat, serta ketepatan pengucapan tiap suku kata.
Tekanan, nada, sendi dan ritme termasuk dalam wilayah informasi.
Intonasi yang tepat, dapat membantu efektifitas berbicara siswa. Intonasi ini
meliputi tempo, volume suara dan gaya bicara bervariasi.
Diksi berarti pilihan kata sesuai dengan makna, isi atau maksud yang
terkandung (Widyamartaya, 1980:41). Pilihan kata harus sesuai dengan pokok
pembicaraan, dengan siapa berbicara, dan dalam situasi apa. Karena sekolah
merupakan lingkungan yang formal, maka pilihan kata yang digunakan harus
memakai bahasa Indonesia.
Sasaran pembicaraan menyangkut pemakaian kalimat. Pembicara yang
menggunakan kalimat efektif akan memudahkan pendengar menangkap pesan
yang disampaikan. Kalimat efektif mempunyai ciri-ciri keutuhan, perpautan,
pemusatan perhatian, dan kehematan.
2. Faktor Nonkebahasaan
Faktor nonkebahasaan adalah hal-hal yang menyangkut perilaku atau
tingkah laku berbicara (Laksono, 2001:12) meliputi 1) sikap berbicara; 2)
pandangan mata; 3) kesediaan menghargai pendapat orang lain; 4) gerak-gerik
9

dan mimik yang tepat; 5) kenyaringan suara; 6) kelancaran; dan 7) penalaran dan
penguasaan topik.
Sikap dalam berbicara yang dimaksud adalah sikap wajar, tenang, dan
tidak kaku. Pembicara yang tidak tenang dan kaku akan memberi kesan pertama
yang tidak menarik. Sikap wajar akan menunjukkan otoritas dan integritas
pembicara.
Pandangan harus diarahkan kepada lawan bicara. Supaya pendengar dan
pembicara betul-betul terlibat dalam kegiatan berbicara, maka pandangan
pembicara cukup membantu. Pandangan yang hanya tertuju pada satu arah
menyebabkan pendengar merasa kurang diperhatikan. Banyak siswa waktu
berdiskusi berlatih mengungkapkan pendapat atau gagasannya tidak
memperhatikan siswa lainnya, tetapi melihat ke atas, ke samping, dan menunduk.
Akibatnya perhatian siswa lain berkurang.
Seorang pembicara hendaknya memiliki sikap terbuka. Sikap terbuka
berarti bersedia menerima kritik dan menghargai pendapat pihak lain. Namun,
tidak berarti pembicara begitu saja mengikuti pendapat orang lain dan mengubah
pendapatnya, tetapi ia juga harus mampu mempertahankan pendapatnya dan
menyakinkan orang lain.
Gerak-gerik dan mimik yang tepat dapat menunjang keefektifan berbicara.
Gerak tangan dan mimik cukup membantu pembicara menyampaikan gagasannya,
sehingga pendengar yakin terhadap gagasannya, tetapi gerak-gerik yang
berlebihan dapat mengganggu keefektifan berbicara.
Tingkat kenyaringan suara disesuaikan dengan situasi, tempat, dan jumlah
pendengar. Suara yang nyaring dapat terdengar semua pendengar. Suara nyaring
bukan berarti berteriak. Pembicara mengatur kenyaringan suara supaya dapat
didengar oleh semua pendengar dengan jelas.
Seringkali pembicara yang lancar berbicara akan memudahkan pendengar
menangkap isi pembicaraan. Seringkali terjadi pembicara berbicara putus-putus,
hal ini sangat mengganggu penangkapan pendengar terhadap informasi yang
disampaikan. Sebaliknya pembicara yang terlalu cepat berbicara juga akan
10

menyulitkan pendengar menangkap pokok pembicaraan, akibatnya pembicaraan


tidak bernalar.
Penalaran yang dimaksud adalah gagasan demi gagasan harus
berhubungan dengan logis. Proses berfikir untuk sampai pada suatu kesimpulan
harus logis. Hubungan kalimat dengan kalimat harus berhubungan dengan pokok
pembicaraan.
Pembicara harus benar-benar menguasai topik yang dibicarakan.
Penguasaan topik yang baik dapat menumbuhkan keberanian, kelancaran, dan
percaya diri. Oleh karena itu, pembicara hendaknya menguasai topik
pembicaraan. Sehingga dapat menyampaikan gagasannya dengan menyakinkan.
Keyakinan itu akan terpancar dari wajah dan suaranya.

C. Teknik Pembelajaran Kemampuan Berbicara di SD


Tujuan pembelajaran bahasa Indonesia adalah untuk membimbing siswa
supaya mampu menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi. Tujuan
tersebut dapat dicapai dengan latihan-latihan untuk mengembangkan kemampuan
komunikatif dalam kegiatan belajar mengajar. Pada tahap komunikatif, guru tidak
banyak campur tangan dalam berbagai aktivitas siswa, dengan meyakinkan bahwa
siswa tidak menemui hambatan dalam berinteraksi dengan siswa lain.
Pembelajaran berbicara siswa diharapkan terampil berkomunikasi. Siswa
diharapkan terampil menyatakan pikiran, gagasan, dan perasaan. Mereka harus
dapat mengutarakan pertanyaan-pertanyaan. Pernyataan-pernyataan dan
menyampaikan dalam berbagai aktivitas berbicara. Beberapa teknik pembelajaran
berbicara yang dipandang tepat digunakan di SD adalah (1) debat dan diskusi, (2)
aktivitas drama, (3) mempertunjukkan atau menceritakan (Alwasilah, 2000:102).
1. Debat dan Diskusi
Debat dan diskusi termasuk aktivitas yang melatih keterampilan berbicara
paling mudah diselenggarakan. Siswa tidak dibatasi oleh topik-topik tertentu.
Semua topik yang bermanfaat untuk dipikirkan dan dijadikan dasar bagi
perbincangan dapat dijadikan bahan aktivitas melatih keterampilan berbicara.
Dengan memasukkan isu-isu provocative dan kejadian-kejadian yang masih
11

hangat ke dalam pembelajaran. Guru dapat menciptakan suasana mental


pembelajaran yang dikehendaki.
2. Aktivitas Drama
Bermain peran merupakan teknik yang sering dipakai dalam pembelajaran
bahasa. Selain menyenangkan, teknik ini juga menawarkan pelarian mental dari
suasana ruang kelas. Teknik ini dilakukan dengan kontrol ketat, seperti mengikuti
perkembangan logis suatu dialog dalam sebuah buku, bisa pula dilakukan secara
relatif bebas, dengan kebebasan yang luas dengan imajinasi dan kreativitas siswa.

D. Pembelajaran Kooperatif
Lie (2002:28) mengatakan bahwa falsafah yang mendasari pembelajaran
kooperatif dalam pendidikan adalah falsafah homo homini socius. Falsafah ini
menekankan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Kerja sama merupakan
kebutuhan yang sangat penting artinya bagi kelangsungan hidup. Tanpa kerja
sama tidak akan adanya individu, keluarga, organisasi atau sekolah. Pembelajaran
kooperatif merupakan suatu model pembelajaran yang berorientasi pada belajar
bersama dan dalam suatu kelompok yang kecil (heterogen) untuk mendiskusikan
satu masalah secara bersama-sama dengan anggota kelompoknya, sehingga
masalah yang sulit dapat terpecahkan.
Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang secara sadar dan
sistematis mengembangkan interaksi yang silih asah, silih asih, dan silih asuh
antar sesama siswa sebagai latihan hidup di dalam masyarakat nyata.
Pembelajaran kooperatif atau disebut juga pembelajaran gotong-royong
merupakan sistem pengajaran yang memberi kesempatan kepada anak didik untuk
bekerja sama dengan siswa dalam menyelesaikan tugas-tugas yang berstruktur
(Lie, 2002:12). Di dalam pembelajaran kooperatif, siswa belajar bersama dalam
kelompok-kelompok kecil dan saling membantu satu sama lain. Kelas disusun
dalam kelompok yang terdiri dari 4 atau 5 siswa, dengan kemampuan yang
heterogen. Hal ini bermanfaat untuk melatih siswa menerima perbedaan pendapat
dan bekerja dengan teman yang berbeda latar belakangnya. Pada pembelajaran
kooperatif digunakan keterampilan khusus agar dapat bekerja sama dengan
12

kelompoknya, seperti menjadi pendengar yang baik dan memberikan penjelasan


kepada teman sekelompoknya dengan baik.
1. Keuntungan dan Kelemahan Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif memiliki keunggulan dan kekurangan dalam
pembelajarannya. Ibrahim (2000:7) mengatakan bahwa keuntungan dan
kelemahan dari pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut:
Keuntungan pembelajaran kooperatif antara lain yaitu:
1. Daya kreatif siswa dapat berkembang;
2. Dapat mengerjakan tugas dengan cepat karena dikerjakan bersama-sama;
3. Menumbuhkan kemampuan bekerja sama;
4. Penerimaan terhadap perbedaan individu yang lebih luas;
5. Adanya saling ketergantungan positif karena tanggung jawab terhadap hasil
belajar seluruh anggota kelompok;
6. Materi yang dipelajari siswa melekat untuk periode waktu yang lebih lama;
7. Siswa dapat berpikir kritis.
Kelemahan dari pembelajaran kooperatif antara lain yaitu:
1. Membutuhkan banyak waktu, untuk mengatasinya maka dilakukan persiapan
yang sebaik-baiknya. Persiapan tersebut antara lain: pembagian kelompok dan
mengoptimalkan kegiatan kelompok, materi dan bahan-bahan yang diperlukan
dalam pembelajaran, serta penataan ruang kelas;
2. Guru tidak dapat memberikan bimbingan secara individual karena
pembelajaran kooperatif merupakan bekerjasama kelompok.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa melalui strategi
pembelajaran kooperatif siswa dapat lebih mudah memahami konsep-konsep dan
masalah yang sulit karena dalam pembelajaran kooperatif lebih menekankan pada
pembelajaran bersama dalam kelompok kecil sehingga siswa dapat saling bekerja
sama dan mendiskusikan masalah dengan anggota kelompoknya, dengan
demikian kesulitan-kesulitan siswa akan mudah terpecahkan.
2. Unsur dalam Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif adalah suatu sistem pembelajaran yang di
dalamnya terdapat elemen yang terkait. Roger dan David Johnson (dalam Lie,
13

2002:30) mengatakan bahwa untuk mencapai hasil yang maksimal, lima unsur
model pembelajaran gotong-royong harus diterapkan. Kelima unsur tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut:
a. Saling Ketergantungan Positif
Keberhasilan kelompok sangat tergantung pada usaha setiap
anggotanya. Setiap anggota kelompok saling bekerja sama untuk memecahkan
suatu permasalahan. Untuk menciptakan kelompok kerja yang aktif, pengajar
perlu membimbing setiap anggota kelompok untuk menyelesaikan tugasnya
sendiri agar dapat mencapai tujuan mereka.
Penilaian juga dilakukan dengan cara yang unik. Setiap siswa
mendapat nilainya sendiri dan nilai kelompok. Nilai kelompok dibentuk dari
sumbangan setiap anggota. Untuk menjaga keadilan, setiap anggota
menyumbangkan poin di atas nilai rata-rata mereka. Beberapa siswa kurang
mampu tidak akan merasa minder terhadap rekan-rekan mereka karena pada
akhirnya mereka juga memberikan sumbangan. Selain itu, mereka akan
terpacu untuk meningkatkan usaha mereka dan dengan demikian menaikkan
nilai mereka. Sebaliknya, siswa yang lebih pandai juga tidak akan merasa
dirugikan karena rekannya yang kurang mampu juga telah memberikan bagian
sumbangan mereka.
b. Tanggung Jawab Perseorangan
Unsur ini merupakan akibat langsung dari unsur yang pertama. Jika
tugas dan pola penilaian dibuat menurut prosedur model pembelajaran
kooperatif, setiap siswa akan merasa bertanggung jawab untuk melakukan
yang terbaik. Kunci keberhasilan metode kerja kelompok adalah persiapan
guru dalam penyusunan tugasnya.
c. Tatap Muka
Setiap kelompok harus diberikan kesempatan untuk bertemu muka dan
berdiskusi. Kegiatan interaksi ini akan memberikan para pembelajar untuk
membentuk sinergi yang menguntungkan semua anggota. Hasil pemikiran
beberapa kepala akan lebih kaya dari pada hasil pemikiran dari satu kepala
14

saja. Lebih jauh lagi, hasil kerjasama ini jauh lebih besar daripada jumlah hasil
masing-masing anggota.
Inti dan sinergi adalah menghargai perbedaan, memanfaatkan
kelebihan, dan mengisi kekurangan masing-masing. Setiap anggota kelompok
mempunyai latar belakang pengalaman, keluarga, dan sosial ekonomi yang
berbeda satu dengan yang lainnya. Perbedaan ini akan menjadi modal utama
dalam proses saling memperkaya antar anggota kelompok. Sinergi tidak bisa
didapatkan begitu saja dalam sekejap, tetapi merupakan proses kelompok yang
cukup panjang. Para anggota kelompok perlu diberi kesempatan untuk saling
mengenal dan menerima satu sama lain dalam kegiatan tatap muka dan
interaksi pribadi.
d. Komunikasi Antar Anggota
Unsur ini menghendaki agar pembelajar dibekali dengan berbagai
keterampilan berkomunikasi. Sebelum menugaskan siswa dalam kelompok,
pengajar perlu mengajarkan cara-cara berkomunikasi. Tidak setiap siswa
mempunyai keahlian mendengarkan dan berbicara. Keberhasilan suatu
kelompok juga bergantung pada kesediaan para anggotanya untuk saling
mendengarkan dan kemampuan mereka untuk mengutarakan pendapat
mereka.
Keterampilan berkomunikasi dalam kelompok ini juga merupakan
proses panjang. Pembelajar tidak bisa diharapkan langsung menjadi
komunikator yang andal dalam waktu sekejap. Namun, proses ini merupakan
proses yang sangat bermanfaat dan perlu ditempuh untuk memperkaya
pengalaman belajar dan pembinaan perkembangan mental dan emosional
siswa.
e. Evaluasi Proses Kelompok
Pengajar perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk
mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka agar
selanjutnya bisa bekerja sama dengan lebih efektif. Waktu evaluasi ini tidak
perlu diadakan setiap kali ada kerja kelompok, melainkan bisa diadakan selang
beberapa waktu setelah beberapa kali pembelajar terlibat dalam kegiatan
15

pembelajaran kooperatif. Format evaluasi bisa bermacam-macam, tergantung


pada tingkat pendidikan siswa.

E. Pembelajaran TTW (Think- Talk- Write)


Salah satu inovasi model pembelajaran adalah TTW (Think-Talk- Write)
yang bertujuan meningkatkan dan mengembangkan kreativitas siswa dalam
berpikir kritis, berkarya dan berkomunikasi secara aktif melalui diskusi kelompok,
presentasi, dan kunjungan anggota kelompok. Sedangkan menurut Erman
Suherman (2008:57) TTW (Think-Talk- Write) adalah Pembelajaran ini dimulai
dengan berpikir melalui bahan bacaan (menyimak, mengkritisi, dan alternative
solusi), hasil bacaannya dikomunikasikan dengan presentasi, diskusi, dan
kemudian buat laporan hasil presentasi. Sintaknya adalah: informasi, kelompok
(membaca-mencatat-menandai), presentasi, diskusi, melaporkan
Siberman (2004:27), mengatakan bahwa yang saya dengar, saya lupa,
yang saya dengar dan lihat, saya sedikit ingat. Yang saya dengar, lihat, dan
pertanyakan atau diskusikan dengan orang lain, saya mulai paham. Dari yang saya
dengar, lihat, bahas, dan terapkan, saya mendapatkan pengetahuan dan
keterampilan. Yang saya ajarkan kepada orang lain saya kuasai. (Active learning,
2004:15)
Pendapat di atas itulah yang menjadikan dasar dan inovasi pembelajaran
dengan model think, talk, and write, sehingga siswa benar-benar dapat menguasai
konsep dengan baik.
Hal senada diungkapkan oleh John Holt dalam Siberman (2004:32) bahwa
proses belajar akan meningkat jika siswa diminta untuk melakukan hal-hal berikut
ini.
1. Mengemukakan kembali informasi dengan kata-kata mereka sendiri.
2. Memberikan contoh.
3. Mengenalinya dalam bermacam bentuk dan situasi.
4. Melihat kaitan antara informasi itu dengan fakta atau gagasan lain.
5. Menggunakannya dengan beragam cara.
16

6. Memprediksi sejumlah konsekuensinya.


7. Menyebutkan lawan atau sebaliknya.
Think, talk, and write merupakan salah satu model pembelajaran
kooperatif yang memiliki empat langkah penting dalam pelaksanaannya. Empat
langkah penting itu adalah sebagai berikut:
1. Langkah 1 – berpikir (thinking). Siswa diberi kesempatan untuk memikirkan
materi atau menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh guru berupa
lembar kerja dan dilakukan secara individu.
2. Langkah 2 – berdiskusi (talking). Setelah diorganisasikan dalam kelompok,
siswa diarahkan untuk terlibat secara aktif dalam berdiskusi kelompok
mengenai lembar kerja yang telah disediakan, interaksi pada tahap ini
diharapkan siswa dapat saling berbagi jawaban dan pendapat dengan anggota
kelompok masing-masing.
3. Langkah 3 – menulis (writing). Pada tahap ini siswa diminta untuk menulis
dengan bahasa dan pemikiran sendiri hasil dari belajar dan diskusi kelompok
yang diperolehnya.
4. Hasil tulisan siswa dipamerkan untuk ditunjukkan dihadapan kawan-kawan
sekaligus memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengoreksi hasil kerja
kelompok lain.
Keterampilan dalam berpikir bagi siswa dapat dicapai dengan baik apabila
dihubungkan dengan topik-topik yang dikenal siswa. Karena itu, untuk dapat
mengajak siswa berpikir, guru harus mampu menghubungkan materi yang
disajikan dengan hal-hal yang sudah dikenal dan dekat dengan siswa. Tujuan
pembelajaran berpikir kritis adalah menciptakan suatu semangat berpikir kritis
yang mendorong siswa mempertanyakan apa yang mereka dengar dan mengkaji
pikiran mereka sendiri untuk memastikan tidak terjadi logika yang tidak konsisten
atau keliru.
17

Menurut Mansyur dalam Sutusiyah (2006). Komponen selanjutnya pada


model TTW (Think-Talk- Write) adalah diskusi. Diskusi adalah percakapan ilmiah
yang berisi pertukaran pendapat, pemunculan ide-ide, dan pengujian pendapat
yang dilakukan oleh beberapa orang yang tergabung dalam kelompok untuk
mencari kebenaran; keputusan; kesimpulan; dan pemecahan dari suatu masalah.
Banyak permasalahan yang terjadi di lingkungan siswa yang memerlukan
pembahasan lebih dari seseorang saja, terutama masalah-masalah yang
memerlukan kerja sama dalam sebuah kelompok. Dengan demikian, diskusi
menjadi jalan pemecahan yang memberi kemungkinan untuk mendapatkan
penyelesaian yang terbaik.
De Potter dalam Sutusiyah (2006), metode diskusi dalam proses belajar
dan mengajar berarti metode mengemukakan pendapat dalam sebuah kelompok
untuk mendapatkan kesimpulan dari keputusan bersama. Langkah-langkah
pembelajaran kooperatif tahap ini termasuk ke dalam fase 3 dan fase 4, yaitu guru
menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan
membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien serta
membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas.
Dalam pembelajaran kooperatif terjadi komunikasi antar siswa. Siswa
mengajukan pertanyaan yang berarti dia berhubungan dan mengemukakan hasil
temuan secara lisan. Dengan begitu, siswa belajar dan mengajar satu sama lain
dalam proses diskusi tersebut. Melalui diskusi ada beberapa kelebihan yang
didapati antara lain sebagai berikut:
1. Suasana kelas lebih hidup, karena siswa mengarahkan pemikirannya kepada
masalah yang sedang didiskusikan.
2. Siswa dilatih berpikir kritis untuk mempertimbangkan pendapat teman-
temannya, kemudian menentukan sikap, menerima, dan menolak.
3. Menaikkan prestasi kepribadian individual, seperti toleransi; sikap demokratis;
sikap kritis; berpikir sistematis; dan sebagainya.
18

Di samping kelebihan-kelebihan yang telah dikemukakan di atas, melalui


diskusi juga didapati adanya beberapa kekurangan, seperti:
1. diskusi umumnya dikuasai oleh siswa yang gemar berbicara;
2. bagi siswa yang tidak ikut aktif, ada kecenderungan untuk melepaskan diri
dari tanggung jawab dan;
3. banyak waktu yang terpakai, namun hasil yang diperoleh kadang-kadang tidak
seperti yang diharapkan.
Selama ini dalam teknik-teknik mengajar tradisional selalu mengabaikan
kebenaran bahwa menulis merupakan aktivitas penting dalam proses
pembelajaran yang melibatkan seluruh komponen otak. Menulis hanya dianggap
sebagai kegiatan menyalin kembali materi yang telah dibaca atau didengar
sehingga mudah membuat siswa merasa bosan. Hal ini tidak selamanya benar,
karena menulis justru bisa menjadi kegiatan yang menyenangkan bagi siswa jika
guru bisa menyajikannya dalam bentuk yang berbeda. Dalam penelitian ini, siswa
diminta untuk menuliskan hal-hal yang diperoleh saat proses belajar berlangsung,
baik itu permasalahan yang dihadapi, cara memecahkan permasalahan, maupun
temuan-temuan lain yang didapat selama proses pembelajaran berlangsung.
Kegiatan menulis yang disajikan dalam bentuk seperti ini diharapkan bukan lagi
menjadi kegiatan yang membosankan bagi siswa melainkan suatu kegiatan yang
dapat melahirkan pemikiran-pemikiran baru dari siswa.
Sebelum pelaksanaan strategi TTW (Think-Talk- Write), pertemuan
diawali terlebih dahulu dengan melakukan persiapan-persiapan, diantaranya: guru
membuat RPP (Rencana Persiapan Pembelajaran), menyiapkan lembar kerja
untuk siswa, menyiapkan instrumen-instrumen, dan menentukan kelompok-
kelompok siswa di mana setiap kelompok bersifat heterogen dalam hal jenis
kelamin; prestasi akademik, dan lain-lain.
Pada pelaksanaan strategi TWT (Think- Write-Talk), pertemuan diawali
dengan penyampaian materi secara garis besar dan kompetensi yang ingin dicapai
secara klasikal, selanjutnya guru menyampaikan materi secara singkat dan
permasalahan kepada siswa. Kemudian guru membagikan lembar kerja kepada
masing-masing siswa dan meminta siswa mengerjakan lembar kerja tersebut
19

secara individu. Selanjutnya, guru mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-


kelompok kecil yang heterogen. Dalam kelompok tersebut, siswa diminta untuk
mendiskusikan lembar kerja sesuai dengan hasil pemikiran masing-masing, saling
bertukar, dan berbagi jawaban. Setelah bekerja dalam kelompok, siswa kembali ke
bangku masing-masing dan diminta untuk menuliskan hasil belajar secara
individu dengan bahasa dan pemikiran siswa sendiri. Tahap selanjutnya guru
mengadakan pembahasan lembar kerja berupa tanya jawab singkat kepada seluruh
siswa. Di akhir pembelajaran, guru membimbing siswa untuk menyimpulkan
materi secara lisan dan menambahkan hal-hal yang belum diungkapkan oleh siswa
serta menyempurnakannya.
Keberhasilan proses belajar mengajar dipengaruhi oleh metode dan
strategi pembelajaran yang dirancang oleh seorang guru. Metode dan strategi
dalam proses pembelajaran sangat beragam yang mana masing-masing memiliki
kelebihan dan kekurangan. Metode dan strategi yang dipilih guru untuk mencapai
tujuan pembelajaran yang diinginkan

Anda mungkin juga menyukai