Anda di halaman 1dari 17

KEBIJAKAN KAMPUS MERDEKA

(Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan)

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim kembali


meluncurkan kebijakan Merdeka Belajar. Setelah sebelumnya telah ada kebijakan yang pertama yaitu
'Merdeka Belajar' (UN, UASBN, RPP, Zonasi) yang fokus utamanya ke SD, SMP, dan SMA. Kini berlanjut
ke episode kedua, terdapat empat penyesuaian kebijakan di lingkup pendidikan tinggi sehingga diberi
tajuk Kampus Merdeka.“Kebijakan Kampus Merdeka ini merupakan kelanjutan dari konsep Merdeka
Belajar. Pelaksanaannya paling memungkinkan untuk segera dilangsungkan, hanya mengubah peraturan
menteri, tidak sampai mengubah Peraturan Pemerintah ataupun Undang-Undang," kata Mendikbud.

Konsep ini disampaikan oleh Mendikbud sewaktu launching 'Kampus Merdeka' di Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada 24 Januari 2020 dan mendapat banyak respon
khususnya dari perwakilan pemangku kepentingan pendidikan tinggi yang hadir mulai dari rektor, dosen,
hingga mahasiswa. Menurut Mendikbud pendidikan tinggi memiliki potensi tercepat dalam membangun
Sumber Daya Manusia (SDM) unggul karena jangka waktu dari lulus perguruan tinggi sampai bekerja
membangun Indonesia itu adalah yang tercepat, potensi kalau kita bisa meningkatkan kualitas
perguruan tinggi kita terutama Strata 1 (S1) yang kebanyakan mahasiswa kita berada di tingkat S1.
Mendikbud menyampaikan bahwa inovasi hanya bisa terjadi jika ruang tidak dibatasi. Sehingga lahirlah
empat pokok kebijakan Kampus Merdeka, yaitu:

1. Pembukaan Program Studi (Prodi) Baru.

2. Sistem Akreditasi Perguruan Tinggi.

3. Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH).

4. Hak Belajar Tiga Semester di Luar Program Studi.

Mendikbud menerangkan bahwa paket kebijakan Kampus Merdeka ini menjadi langkah awal dari
rangkaian kebijakan untuk perguruan tinggi. "Ini tahap awal untuk melepaskan belenggu agar lebih
mudah bergerak. Kita masih belum menyentuh aspek kualitas. Akan ada beberapa matriks yang akan
digunakan untuk membantu perguruan tinggi mencapai targetnya,".

KEBIJAKAN POIN 1: PEMBUKAAN PRODI BARU

Pada Kebijakan poin pertama. Mendikbud menyampaikan bahwa untuk melahirkan inovasi perlu
untuk berkolaborasi, dia memberikan istilah 'pernikahan massal' antar Universitas dengan berbagai
macam pihak-pihak di luar Universitas untuk menciptakan prodi-prodi baru. Perguruan tinggi yang
mempunyai akreditasi A dan B langsung diberikan izin untuk membuka prodi baru asal mereka (baca:
Perguruan Tinggi/Universitas) punya kerjasama dengan pihak ketiga yaitu organisasi-organisasi kelas
dunia. Artinya untuk Universitas yang mempunyai akreditasi A dan B tidak perlu lagi melalui proses
perizinan prodi di kementerian, tidak usah lagi dicocokkan dengan rumpun ilmunya yang mana dan
ketetapannya yang mana, dan lain-lain. Asal mereka bisa membuktikan mereka melakukan kerjasama
dengan 4 opsi dan/atau, yakni : (1) Pelaku Industri Kelas Dunia (contoh: Exxon Mobil, Amazon,
J.P.Morgan, dll). (2) Organisasi Nirlaba Kelas Dunia (United Nations/PBB, International Monitary
Fund/IMF, USAID, dll). (3) BUMN atau BUMD (Bank BRI, Telkomsel, dll). (4) QS Top 100 World
Universities (Harvard, Yale, Oxford, MIT, Cambridge, dll). Ini adalah 4 opsi yang ada, untuk 3 opsi
pertama tadi, prodi tersebut harus membuktikan kepada pemerintah kerjasamanya nyata. Bagaimana
cara membuktikannya? Ada tiga kriteria. Kerjasama prodi dan mitra tadi harus meliputi 3 kriteria yang
terpenuhi: (1) ada kerjasama dalam penyusunan kurikulum, (2) ada program magangnya, (3) ada
perjanjian kerjasama dari sisi rekrutmen (perusahaan, NGO kelas dunia, maupun BUMN/BUMD). Jika
prodi ini bisa membuktikan ada kerjasama tiga kriteria tadi otomatis akan diberi izin untuk membuka
program studi. Mengapa kebijakan ini dikeluarkan? apa hasil yang kita inginkan? Mendikbud mengulangi
lagi bahwa kita ingin 'pernikahan massal' tadi. Hal yang mendasari kebijakan ini adalah untuk mengikuti
arus perubahan dan kebutuhan akan link and match dengan industri, sehingga perguruan tinggi harus
adaptif. Membuka program studi sesuai dengan perkembangan kemajuan yang terjadi dan kebutuhan
lapangan pekerjaan adalah salah satu caranya. Pemerintah mendorong kemudahan tersebut.
 Dasar Hukum Kebijakan Poin 1: Pembukaan Prodi Baru
1. Permendikbud No. 7 Tahun 2020 tentang Pendirian, Perubahan, Pembubaran Perguruan Tinggi
Negeri, dan Pendirian, Perubahan, Pencabutan Izin Perguruan Tinggi Swast
2. Permendikbud No. 5 Tahun 2020 tentang Akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi

Kebijakan poin 1 ini lebih lanjut dijelaskan dalam Permendikbud No.7 Tahun 2020. Persyaratan
pembukaan prodi dapat dilakukan apabila Perguruan Tinggi yang telah memiliki akreditasi dengan
peringkat Baik Sekali atau Unggul dapat membuka Program Studi baru melalui kerja sama. Kerja sama
yang dimaksud diprioritaskan bagi perusahaan multinasional, perusahaan teknologi global perusahaan
startup teknologi, organisasi nirlaba kelas dunia, institusi/organisasi multirateral, Perguruan Tinggi yang
termasuk dalam peringkat 100 (seratus) Perguruan Tinggi terbaik dunia, atau badan usaha milik
negara/badan usaha milik daerah. (Pasal 36)

Kemudian, kerja sama yang dimaksud tersebut meliputi: pengembangan Kurikulum; kesediaan
organisasi atau lembaga menerima Mahasiswa untuk magang atau praktik kerja industri; dan kesediaan
organisasi atau lembaga menerima lulusan dari Program Studi tersebut. (Pasal 37). Pengecualian bagi
kerja sama dengan Perguruan Tinggi yang termasuk dalam peringkat 100 Perguruan Tinggi terbaik dunia,
dimana kerja samanya hanya dalam bentuk pengembangan kurikulum.

Pembukaan Program Studi baru oleh Perguruan Tinggi yang memilki Akreditasi dengan peringkat Baik
Sekali dan Unggul melalui kerja sama tidak berlaku untuk Program Studi bidang kesehatan dan
kependidikan. (Pasal 38)

 Contoh dan rekomendasi mitra yang dapat bekerjasama dengan Perguruan Tinggi dalam pendirian
program studi baru:
i. Perusahaan multinasional: Perusahaan besar dunia yang masuk dalam daftar fortune 500. (Contoh:
Toyota, Nestle, Royal Dutch Shell, dan lain-lain)
ii. Perusahaan teknologi global: Perusahaan teknologi yang memiliki reputasi yang sangat baik.
(Contoh: Google, Apple, Amazon, Intel, Cisco System, dan lain-lain)
iii. Startup teknologi: Perusahaan startup yang telah mengumpulkan dana sebesar minimum USD $50
juta. (Contoh: Tokopedia, Travelokas, Goje, dan lain-lain)
iv. Organisasi multirateral: Semua organisasi multirateral dan nirlaba kelas dunia. (Contoh: PBB, Bank
Dunia, USAID, Gates Foundation, ADB, dan lain-lain)
v. BUMN dan BUMD: BUMN berskala besar di tingkat nasional (Contoh: PLN, BRI, Pertamina, dan lain-
lain). BUMD berskala besar di setiap provinsi (Contoh: MRT, Bank BJB, Trans Jakarta, dan lain-lain)

 Pendirian program studi (prodi) baru bagi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta
(PTS) dengan akreditasi A dan B
Situasi Saat Ini Arahan Kebijakan Baru
Hanya PTN Badan Hukum PTN dan PTS diberi otonomi untuk membuka
(BH) yang mendapat prodi baru jika:
kebebasan membuka prodi  Perguruan Tinggi tersebut memiliki
baru akreditasi A dan B
 Prodi dapat diajukan jika ada kerjasama
mitra perusahaan, organisasi nirlaba,
institusi multirateral, atau universitas
Top 100 ranking QS
 Prodi baru tersebut bukan di bidang
Kesehatan dan Pendidikan
Proses perizinan prodi baru Kerjasama dengan organisasi mencakup
untuk PTS dan PTN non-BH penyusunan kurikulum, praktik kerja, dan
memakan waktu lama penempatan kerja. Kementerian akan
bekerjasama dengan PT dan mitra prodi untuk
melakukan pengawasan
Prodi baru hanya Prodi baru tersebut otomatis akan
mendapatkan akreditasi mendapatkan akreditasi C – prodi baru yang
minimum (bukan C) tengah diajukan oleh PT berakreditasi A dan B
akan otomatis mendapatkan akreditasi C dari
BAN-PT
Tracer study wajib dilakukan setiap tahun
Sumber: Kemendikbud, 2020.
KEBIJAKAN POIN 2: SISTEM AKREDITASI PERGURUAN TINGGI

Selanjutnya kebijakan poin 2 adalah tentang Sistem Akreditasi Perguruan Tinggi. Akreditasi
merupakan proses penilaian yang dilakukan pemerintah untuk menilai dua hal, yang pertama yaitu
perguruan tingginya sendiri dan yang kedua adalah prodi di dalam perguruan tinggi tersebut. Apa
tantangan yang dihadapi saat ini? Pertama, Proses dan persyaratan akreditasi adalah suatu beban yang
cukup besar karena semua dilakukan secara manual dan menjadikan hal tersebut sebagai beban
administratif. Proses dan persyaratan akreditasi membebani dosen dan rektor, pada saat ancang-ancang
dua tahun sebelum waktu re-akreditasi, mahasiswa terkadang ada yang komplen karena dosennya
sangat sibuk mengurusi hal tersebut demi mempertahankan atau meningkatkan akreditasi prodi
misalnya. Persoalan-persoalan tersebut membuat dosen atau rektor keluar dari fokus utamanya yaitu
benar-benar meningkatkan kualitas pembelajaran di dalam universitasnya. Kedua, saat ini juga antrian
perguruan tinggi/prodi yang belum ter-akreditasi atau yang membutuhkan akreditasi/re-akreditasi
begitu panjang karena semua prodi dan semua perguruan tinggi diwajibkan akreditasi setiap lima tahun.
Cukup diskriminatif sifatnya, karena banyak sekali yang benar-benar membutuhkan akreditasi namun
tidak mendapatkan, sedangkan yang tidak mau atau tidak merasa perlu diakreditasi justru dipaksakan.
Ketiga, banyaknya prodi yang ingin standarnya lebih tinggi lagi sehingga ingin ter-akreditasi level
internasional, tapi masih harus menjalani proses akreditasi nasional juga dengan segala macam
prosesnya.

Lalu, kedepannya kemana arah akreditasi?

Akreditasi harus mengarah ke sifat sukarela, gotong royong, dan berkelas dunia. Sukarela artinya yang
mau dan membutuhkan akreditasi akan mengikuti tes, tapi jika merasa tidak butuh juga tidak masalah.
Gotong royong maksudnya mengutamakan peran masyarakat, industri, dan asosiasi profesi untuk
melaksanakan akreditasi tersebut dan bukan mengutamakan pemerintahan yang melakukan akreditasi
tersebut karena semakin lama semakin lebih spesifik semua disiplin-disiplin domain pengetahuan itu dan
tidak mungkin pemerintah mengetahui dan menguasai semua domain informasi tersebut. Harusnya
asosiasi yang bergotong royong melakukan ini, bahkan lembaga-lembaga akreditasi lainnya. Dan yang
terakhir, harus mengikuti best practice international standard, artinya semakin banyak akreditasi yang
diberikan dan diakui secara internasional semakin baik, dan akan didorong untuk sebanyak mungkin
akreditasi diakui di luar negeri, bukan hanya di dalam negeri karena sekarang standar sudah global dan
pengetahuan juga sudah global. Kita harus menjadi SDM yang unggul di panggung dunia, bukan hanya di
negara sendiri.

Mengapa perpanjangan dan perubahan akreditasi diperlukan? Undang-Undang No 12 tahun 2012


mengenai Pendidikan Tinggi mewajibkan perpanjangan akreditasi perguruan tinggi dan program studi
demi penjaminan mutu. Namun, dalam praktiknya, reakreditasi menjadi beban administrasi dosen dan
pengelola perguruan tinggi. Untuk mengurangi beban tersebut, masa berlaku akreditasi akan otomatis
diperpanjang tiap lima tahun selama tidak ada penurunan indikator mutu atau perubahan program
secara signifikan.

Sehingga lahirlah beberapa kebijakan di Kampus Merdeka ini. Bagi yang tidak membutuhkan re-
akreditasi dan merasa belum mau naik level ke akreditasi yang tinggi, akreditasi akan diperbaharui
secara otomatis sehingga tidak harus melalui proses ini, sementara saat ini kita sedang transisi ke best
practice international standard tadi. Kemudian karena sukarela, artinya bagi yang siap naik level
akreditasi dialah yang akan diprioritaskan oleh badan akreditasi yang diakui pemerintah, jadi sifatnya
adalah sukarela. Dan terakhir adalah bagi prodi yang mendapatkan akreditasi internasional (contoh:
ABET, FIBAA, AMC, dll) dan telah diakui dunia dimana daftarnya telah ada dan akan disebar oleh
pemerintah, maka kampus tersebut secara otomatis akan mendapatkan akreditasi nasional dari
pemerintah dan tidak harus melalui proses lagi di tingkat nasional. Sehingga dengan sistem ini, prodi-
prodi dan perguruan tinggi yang benar-benar membutuhkan akreditasi bisa 'lompat' di antrian akreditasi
untuk membantu, namun bukan berarti pemerintah tidak akan mengetatkan monitoring.

Untuk saat ini proses akreditasi menggunakan mekanisme yang berlaku, namun pemerintah dalam
proses mempermudah akreditasi secara umum dengan melibatkan industri, asosiasi profesi, dan
masyarakat. Program studi baru dapat langsung mengajukan perbaikan akreditasi setelah memperoleh
akreditasi C (saat didirikan), namun bila gagal mendapat kenaikan akreditasi, prodi baru tersebut harus
menunggu selama 2 tahun sebelum dapat mengajukan perbaikan akreditasi kembali.
Program studi yang telah memiliki akreditasi internasional tidak langsung dikategorikan sebagai
terakreditasi A. Hanya akreditasi internasional yang diakui oleh Kemendikbud yang akan langsung
dikategorikan sebagai akreditasi A. Daftar lembaga akreditasi internasional yang diakui Kemendikbud
tertuang di dalam Keputusan Menteri. Program studi yang memiliki akreditasi internasional tidak
memperoleh perpanjangan otomatis dari akreditasi tersebut. Akreditasi internasional hanya akan
berlaku sesuai rentang waktu yang berlaku. Jika rentang waktu habis, perguruan tinggi harus
mengajukan ulang atau melakukan proses akreditasi ke BAN-PT.

Untuk mengukur indikator mutu perguruan tinggi dan program studi, ada tidaknya penurunan mutu
diperoleh, antara lain dari pengaduan masyarakat dan hasil tracer study. Jika pemerintah mendapat
aduan dari masyarakat dengan bukti yang konkret, misalnya daftar pengangguran dari prodi tersebut
ternyata meningkat secara drastis dan jumlah pendaftar dan lulusan yang menurun tajam selama 5
tahun terakhir, pemerintah boleh melaksanakan re-akreditasi kapanpun pemerintah mau. Pemerintah
melakukan hal tersebut jika ada dugaan penurunan kualitas.

Dasar Hukum Kebijakan Poin 2: Sistem Akreditasi Perguruan Tinggi


Permendikbud No. 5 Tahun 2020 tentang Akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi

Kebijakan poin 2 ini lebih lanjut dijelaskan dalam Permendikbud No.5 Tahun 2020. Akreditasi adalah
kegiatan penilaian untuk menentukan kelayakan Program Studi dan Perguruan Tinggi. Akreditasi
Program Studi adalah kegiatan penilaian untuk menentukan kelayakan Program Studi. Akreditasi
Perguruan Tinggi adalah kegiatan penilaian untuk menentukan kelayakan Perguruan Tinggi. (Pasal 1)

Akreditasi merupakan sistem penjaminan mutu eksternal sebagai bagian dari sistem penjaminan mutu
pendidikan tinggi. Akreditasi bertujuan: menentukan kelayakan Program Studi dan Perguruan Tinggi
berdasarkan kriteria yang mengacu pada Standar Nasional Pendidikan Tinggi; dan menjamin mutu
Program Studi dan Perguruan Tinggi secara eksternal baik bidang akademik maupun non akademik
untuk melindungi kepentingan mahasiswa dan Masyarakat. (Pasal 2)

- Perpanjangan Akreditasi Secara Otomatis


Jangka waktu berlakunya akreditasi program studi atau perguruan tinggi yang dilakukan BAN-PT
selama 5 (lima) tahun. Apabila berakhir maka BAN-PT akan memperpanjang kembali jangka waktu
Akreditasi selama 5 (lima) tahun tanpa melalui permohonan perpanjangan akreditasi. Perpanjangan
akreditasi ini dapat dilakukan berdasarkan evaluasi oleh Kementerian dan/atau laporan masyarakat
tentang dugaan pelanggaran peraturan perundang-undangan dan/atau penurunan mutu dalam
penyelenggaraan pendidikan tinggi. (Pasal 6, Ayat 1-3)

- Peninjauan Kembali Peringkat Akreditasi


Kemudian dapat pula ditinjau kembali oleh BAN PT sebelum jangka waktu akreditasi berakhir
apabila terdapat penurunan mutu dalam hal: menurunnya jumlah peminat/pendaftar dan/atau
lulusan pada Program Studi yang ada selama 5 (lima) tahun bertutut-turut berdasarkan data PDDikti;
dan/atau terdapat laporan pengaduan Masyarakat atas dugaan pelanggaran penyelenggaraan
pendidikan tinggi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (Pasal 6, Ayat 4)

Situasi Saat Ini Arahan Kebijakan Baru


Semua perguruan tinggi dan Akreditasi yang sudah ditetapkan oleh BAN-PT tetap
prodi wajib melakukan proses berlaku selama 5 tahun dan akan diperbaharui
akreditasi setiap 5 tahun secara otomatis. Perguruan Tinggi yang terakreditasi
B atau C dapat mengajukan kenaikan akreditasi
kapanpun secara sukarela
Proses akreditasi dapat Peninjauan kembali akreditasi akan dilakukan BAN-
berjalan sampai dengan 170 PT jika ada indikasi penurunan mutu, misalnya:
hari (Perguruan Tinggi) dan  Adanya pengaduan masyarakat (disertai
250 hari (prodi) dengan bukti yang konkret)
 Jumlah pendaftar dan lulusan dari PT/prodi
tersebut menurun secara drastis lima tahun
berturut-turut
(Ketentuan lebih lanjut tentang penurunan
kualitas akan diatur melalui peraturan Dirjen
terkait)
Dosen menerima tambahan Akreditasi A akan diberikan bagi prodi yang berhasil
beban administrasi terkait mendapatkan akreditasi internasional
proses akreditasi Akreditasi internasional yang diakui akan ditetapkan
melalui Keputusan Menteri
Pengajuan re-akreditasi PT dan prodi dibatasi paling
cepat 2 tahun setelah mendapatkan akreditasi yang
terakhir kali. Tracer Study wajib dilakukan setiap
tahun
Sumber: Kemendikbud, 2020.

KEBIJAKAN POIN 3: PERGURUAN TINGGI BADAN HUKUM (PTN-BH)

Ada 3 jenis status Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia, status itu menentukan tingkat otonomi
perguruan tinggi tersebut, terkhusus bagi Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Dalam Pasal 65 Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi serta Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 4
Tahun 2014 terdapat pembagian sebagai berikut: (1) PTN dengan pola pengelolaan keuangan negara
pada umumnya, dikenal dengan PTN Satuan Kerja (Satker) atau PTN pola PNBP (Penerimaan Negara
Bukan Pajak); (2) PTN dengan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum atau PTN-BLU); (3) PTN
sebagai badan hukum atau PTN-BH. Yang paling tidak otonomi dan paling seperti bagian dari
kementerian saja namanya Satuan Kerja (satker), benar-benar seperti suatu departemen dalam
kementerian. Yang kedua adalah Perguruan Tinggi Badan Layanan Umum (BLU), dimana lebih ada
otonomi, lebih ada kemandirian, tapi tidak full seperti contohnya adalah swasta, karena itu masih
berstatus bagian dari pemerintahan. Yang ketiga, yang paling otonomi dan paling merdeka statusnya
adalah Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH). PTN BH ini berfungsi hampir seperti swasta
walaupun didanai oleh pemerintah, tapi mendapat berbagai macam hak yang sama seperti swasta.

Karena tuntutan masa kini adalah untuk semua perguruan tinggi bisa bergerak dengan cepat maka kita
ingin sebanyak mungkin perguruan tinggi bisa mencapai status PTN BH. Saat ini hanya ada 11 PTN BH di
Indonesia, dan sisanya adalah satker dan BLU. Beberapa contoh manfaat yang dinikmati oleh PTN BH
yang tidak dinikmati oleh PT satker dan PT BLU contohnya adalah satker tidak ada fleksibilitas bermitra
dengan industri dan melakukan commercial project sangat sulit. Kedua, semua pengaturan keuangannya
harus detail per lini dan tidak bisa melakukan perubahan secara cepat. Sulit sekali bagi satker untuk bisa
menghire misalnya dosen nonPNS. Satker dan BLU tidak diberikan kepemilikan terhadap aset-aset dia
sendiri sehingga tidak bisa dimanfaatkan, contohnya untuk mengambil pinjaman dan memanfaatkan
aset-aset yang mereka miliki. Ketiga adalah keluasan untuk mengembangkan fasilitas-fasilitas akademik
dan non akademik. Jadi berbagai macam hal kita menuntut kecepatan yang sangat tinggi tapi kita tidak
memperbolehkan dia (baca: PT satker dan PT BLU) mendapat status dimana dia bisa meningkatkan
kualitasnya sendiri, kata Mendikbud. Pada kebijakan ini Persyaratan untuk menjadi BH dipermudah bagi
PTN BLU & Satker. PTN BLU dan satker dapat mengajukan perguruan tingginya untuk menjadi Badan
Hukum tanpa ada akreditasi minimum. PTN dapat mengajukan permohonan menjadi BH kapanpun
apabila merasa sudah siap.Jadi kebijakan baru disini adalah persyaratan yang tadinya kuat dan kaku
akan secara drastis dipermudah syarat untuk menjadi PTN BH dengan cara memerdekakan PTN BLU dan
satker, persyaratan untuk menjadi Badan Hukum dipermudah, dan poin pentingnya tidak ada
pengurangan subsidi dari pemerintah dari sisi finansial.

 Dasar Hukum Kebijakan Poin 3: Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH)
1. Permendikbud No. 4 Tahun 2020 tentang Perubahan Perguruan Tinggi Negeri menjadi
Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum
2. Permendikbud Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penerimaan Mahasiswa Baru Program Sarjana
pada Perguruan Tinggi Negeri

Dalam kebijakan baru terkait PTN BH ini terdapat pada Permendikbud No. 4 Tahun 2020, khususnya
pada pasal 2 (terkait persyaratan) dan pasal 9 (terkait prosedur).

Ketentuan Permendikbud No.88 Tahun 2014 Pasal 2 mengalami perubahan pada Permendikbud No.4
Tahun 2020: Bermutu yang sebelumnya dinilai dari status terakreditasi dan peringkat terakreditasi
unggul, baik perguruan tinggi maupun 80% dari program studi yang diselenggarakan. Kini berubah
menjadi: “paling sedikit 60% (enam puluh persen) program studi dengan peringkat akreditasi unggul.”
(Pasal 2, Huruf a). Kemudian bermutu yang tadinya dinilai dari prestasi PTN yang turut serta di kegiatan-
kegiatan di dunia usaha dan industri. Kini berubah menjadi: “kerjasama dengan dunia usaha dunia
industri, organisasi/lembaga dan/atau masyarakat.” (Pasal 2, Huruf f)

Ketentuan (Permendikbud No.88 Tahun 2014 Pasal 9 mengalami perubahan pada Permendikbud No.4
Tahun 2020: Prakarsa untuk mengubah PTN menjadi PTN badan hokum berasal dari menteri. Kini
berubah menjadi “Prakarsa untuk mengubah PTN menjadi PTN badan hukum berasal dari Menteri atau
PTN yang bersangkutan apabila telah memenuhi persyaratan perubahan sebagaimana dimaksud”.

Jadi, ada kebijakan sebelumnya prakarsa untuk menjadi PTN BH yang berasal dari menteri, kemudian
disampaikan kepada PTN yang bersangkutan. Saat PTN tersebut menyetujui usul perubahan tersebut,
pemimpin PTN menyusun usul perubahan PTN menjadi PTN BH. Kemudian melengkapi dokumen
sebagaimana yang dimaksud. Pada kebijakan baru ini prakarsa bukan hanya berasal dari menteri,
melainkan bisa juga berasal dari PTN yang bersangkutan apabila telah memenuhi persyaratan. Kemudian
pemimpin PTN menyampaikan kepada menteri dengan melengkapi dokumen sebagaimana yang
dimaksud. Sehingga kebijakan ini lebih mempermudah dari status PTN menjadi PTN BH.

Situasi Saat Ini Arahan Kebijakan Baru


Perguruan Tinggi Negeri (PTN) harus Persyaratan untuk menjadi BH
mendapat akreditasi A sebelum dapat dipermudah bagi PTN BLU & Satker
menjadi PTN-BH
Mayoritas prodi PTN harus terakreditasi A
PTN BLU dan satker dapat mengajukan
sebelum menjadi PTN-BH perguruan tingginya untuk menjadi
Badan Hukum tanpa ada akreditasi
minimum
PTN BLU dan satker kurang memiliki PTN dapat mengajukan permohonan
fleksibilitas finansial dan kurikulum menjadi BH kapanpun apabila merasa
dibandingkan PTN BH sudah siap
Sumber: Kemendikbud, 2020

KEBIJAKAN POIN 4: HAK BELAJAR 3 SEMESTER DI LUAR PRODI

Terakhir, kebijakan yang keempat yaitu Hak Belajar Tiga Semester di Luar Program Studi.
Mendikbud menganalogikan kebijakan ini dengan seorang perenang (baca: mahasiswa) yang sedang
berenang di kolam kecil dan suatu hari harus berenang ke suatu pulau di laut terbuka. Pada saat ini,
perenang-perenang tersebut dilatih dengan satu gaya saja, gaya bebas misalnya. Satu gaya tersebut
adalah prodi asalnya dan dia juga hanya dilatih di kolam renang yang dilengkapi dengan alat-alat
keselamatan dan tidak ada pengaruh ombak dan cuaca, ini diibaratkan sebagai kampus. Lalu bagaimana
nanti ketika dia berenang di laut terbuka dia bisa survive? Kita ingin merubah program S1 tersebut agar
dia belajar berbagai macam ilmu dan gaya berenang, dan jangan hanya belajar di kolam renang saja
karena kondisi laut sangat bervariasi. Sehingga sekali-kali mahasiswa harus dilatih di laut yang bebas
dimana banyak sekali variasi dan kondisi, untuk melatih kemampuan adaptasi mereka. Inilah tujuan dari
kebijakan belajar tiga semester di luar prodi ini, untuk merubah kepada sistem yang bisa benar-benar
mempersiapkan mahasiswa untuk berenang di laut terbuka yaitu dunia yang nyata.

Mendikbud menambahkan bahwa profesi zaman sekarang menuntut ilmu lintas disiplin, “apa
profesi zaman sekarang yang hanya menggunakan satu rumpun ilmu? hampir tidak ada”. Semua profesi
di dunia yang nyata membutuhkan kombinasi dari beberapa disiplin ilmu, contoh : insinyur teknik tidak
hanya mempelajari ilmu teknik tapi juga desain dan seni, bahkan juga ilmu sosiologi jika menjadi seorang
arsitek. Realita yang dihadapi lulusan perguruan tinggi saat ini adalah mahasiswa menimba banyak ilmu
di perguruan tinggi. Namun belum tentu sesuai dengan kebutuhan industri, "Hanya sekitar 20% rata-rata
ilmu dari S1 dipakai oleh mahasiswa setelah lulus" - Alumni UI 2011. Karir lulusan perguruan tinggi
belum tentu linier dengan prodinya, "Hanya sekitar 25% lulusan yang bekerja sesuai prodinya" - Asosiasi
Profesi.
Lalu apa kebijakannya?

Hak mengambil mata kuliah di luar prodi dan di luar kampus. Mahasiswa diberikan hak untuk secara
sukarela mendapatkan pengalaman di luar kelas selama tiga semester. Dari total 8 jumlah semester
untuk lulus, 3 semester bisa diambil di luar prodi. Ini bukan pemaksaan, kalau mahasiswa ingin 100% di
dalam prodi itu, itu adalah hak mereka. Ini hanya opsi bagi mahasiswa, tapi menjadi kewajiban bagi
perguruan tinggi untuk memberikan opsi tersebut. Dua dari tiga semester itu harus diberikan jaminan
hak di luar kampus. Pengecualian untuk bidang kesehatan, dan untuk semua prodi lainnya ketentuan
tersebut berlaku.

Apa saja contoh kegiatan yang bisa dilakukan?

Selama ini, SKS terbatas pada definisi pembelajaran tatap muka di dalam kelas. Padahal, proses
pembelajaran mahasiswa tidak terbatas pada kegiatan di dalam kelas saja. Dalam skema yang baru,
mahasiswa diberikan hak untuk secara sukarela (bisa diambil ataupun tidak) melakukan kegiatan di luar
program studi, bahkan di luar perguruan tinggi yang dapat diperhitungkan dalam SKS. Harapannya,
mahasiswa dapat memiliki kebebasan menentukan rangkaian pembelajaran mereka, sehingga tercipta
budaya belajar yang mandiri, lintas disiplin, dan mendapatkan pengetahuan serta pengalaman yang
berharga untuk diterapkan.

Kementerian dan rektor dua-duanya berhak untuk menyetujui program-program di luar kampus. Contoh
kegiatan yang dapat diambil di luar prodi: magang/kerja praktik (KP), mengajar di sekolah, penelitian,
proyek desa, pertukaran pelajar, entrepreneurship, studi/proyek independen. Izin ini dua pihak yang
melakukannya, rektor dan juga kementerian. Kebijakan ini kembali menjadi hak prerogatif bagi rektor,
bagaimana nanti rektor yang akan mengaturnya. Penentuan lebih lanjut dikembalikan kepada masing-
masing perguruan tinggi terkait perhitungan SKS tersebut secara rinci (perhitungan SKS pertukaran
pelajar, perhitungan SKS wirausaha, dll).

Kita ingin menciptakan dunia baru, dimana yang namanya S1 itu adalah hasil dari gotong royong seluruh
aspek dari masyarakat. Bukan hanya perguruan tinggi yang bertanggungjawab atas pendidikan
mahasiswa kita, perusahaan harus berlomba-lomba melakukan join kurikulum, join rekrutmen dengan
universitas, perusahaan juga sekarang yang tadinya sulit untuk mereka tertarik dengan internship
sekarang sudah melek dan mereka ingin memasukkan anak-anak terbaik kedalam program-program
Management Training (MT) mereka dan lain-lain. Organisasi nirlaba kelas dunia yang punya misi-misi
sosial dan misi-misi SDG's bisa meluncurkan berbagai macam magang dan project-project di dalam
universitas. Perguruan tinggi kelas dunia pun harus berpartisipasi, harus ada perkawinan massal antara
QS Top 100 dengan universitas kita karena exchange program keluar negeri dan exchange program
diantara kampus-kampus di Indonesia itu harus terjadi untuk mencapai hak mahasiswa.

Pada akhir presentasinya, Mendikbud menampilakan sebuah video singkat dari kegiatan KKN
PPM UGM di Biak Numfor – Papua, dimana pada kegiatan yang berlangsung selama kurang lebih 2 bulan
itu memberi banyak dampak positif bagi masyarakat daerah tersebut. “Bayangkan hal tersebut dapat
terjadi hanya dalam waktu 2 bulan. Bagaimana nanti yang bisa dicapai dalam waktu 6 bulan atau dalam
waktu 1 tahun dari program ini dengan anak-anak terbaik dari seluruh Indonesia. Gotong royong,
membantu, belajar, dan berdampak sosial langsung, memecahkan permasalahan bukan teoritis tapi
permasalahan yang benar-benar ada dan juga berinteraksi dengan berbagai macam adat dan suku,
persepektif, dan sosio-ekonomi untuk memecahkan masalah yang riil. Inilah yang dinamakan
pendidikan, ini adalah pendidikan yang problem focus, pendidikan yang secara otomatis akan melakukan
penguatan karakter, ini adalah pendidikan yang akan mengekspos generasi pemimpin-pemimpin masa
depan kita kepada Indonesia itu sebenarnya menjadi apa.”

"Setiap kali saya menonton video itu saya terharu, karena saya bisa membayangkan alangkah
powerfullnya mahasiswa kita kalau kita kerahkan memecahkan masalah yang riil di luar sana, itu adalah
esensi dari kampus merdeka, dan itu adalah esensi dari merdeka belajar”, tutup Mendikbud.

 Dasar Hukum Kebijakan Poin 4: Hak Belajar Tiga Semester Di Luar Program Studi
Permendikbud No. 3 Tahun 2020 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi

Pada arahan kebijakan baru ini Perguruan Tinggi wajib memberikan hak bagi mahasiswa untuk secara
sukarela (dapat diambil atau tidak):
Fasilitasi oleh Perguruan Tinggi untuk pemenuhan masa dan beban belajar dalam proses Pembelajaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dengan cara sebagai berikut:

1 (satu) semester atau setara dengan 20 (dua puluh) satuan kredit semester merupakan pembelajaran di
luar program studi pada perguruan tinggi yang sama; dan Paling lama 2 (dua) semester atau setara
dengan 40 (empat puluh) satuan kredit semester merupakan: pembelajaran pada program studi yang
sama di perguruan tinggi yang berbeda; pembelajaran pada program studi yang berbeda di perguruan
tinggi yang berbeda; dan/atau pembelajaran di luar perguruan tinggi. (Permendikbud 3 Tahun 2020
Pasal 18). (pengecualian bagi prodi kesehatan)

Terdapat perubahan definisi SKS yaitu setiap SKS diartikan sebagai ‘jam kegiatan’, bukan ‘jam belajar’.
Definisi ‘kegiatan’ ini ada beberapa seperti: yaitu magang, proyek di desa, mengajar di sekolah,
pertukaran pelajar, penelitian riset, kegiatan wirausaha, studi atau proyek independen, atau proyek
kemanusiaan. Semua jenis kegiatan terpilih harus dibimbing seorang dosen (dosen ditentukan oleh PT).
Nantinya, daftar “kegiatan” yang dapat diambil oleh mahasiswa (dalam 3 semester diatas) dapat dipilih
dari program yang ditentukan pemerintah; program yang disetujui oleh rektor. (Kemendikbud)

Contoh Kegiatan Mahasiswa yang Dapat Dilakukan di Luar Kampus Asal:

No Kegiatan Penjelasan Catatan


1 Magang/Praktik Kerja Kegiatan magang di sebuah perusahaan, Wajib dibimbing oleh seorang
yayasan nirlaba, organisasi multirateral, dosen/pengajar
institusi pemerintah, maupun
perusahaan rintisan (startup)
2 Proyek di desa Proyek sosial untuk membantu Dapat dilakukan bersama
masyarakat di pedesaan atau daerah dengan aparatur desa (kepala
terpencil dalam membangun ekonomi desa), BUMDes, Koperasi, atau
rakyat, infrastruktur, dan lainnya. organisasi desa lainnya
3 Mengajar di sekolah Kegiatan mengajar di sekolah dasar, Program ini akan difasilitasi
menengah, maupun atas selama oleh Kemendikbud
beberapa buan. Sekolah dapat berada di
lokasi kota maupun terpencil
4 Pertukaran pelajar Mengambil kelas atau semester di Nilai dan sks yang diambil di
perguruan tinggi luar negeri maupun PT luar akan disetarakan oleh
dalam negeri, berdasarkan perjanjian PT masing-masing
kerjasama yang sudah diadakan
Pemerintah
5 Penelitian / riset Kegiatan riset akademik, baik sains Dapat dilakukan untuk
maupun sosial humaniora, yang lembaga riset seperti
dilakukan di bawah pengawasan dosen LIPI/BRIN
atau peneliti
6 Kegiatan Wirausaha Mahasiswa mengembangkan kegiatan Wajib dibimbing oleh seorang
kewirausahaan secara mandiri – dosen / pengajar
dibuktikan dengan penjelasan / proposal
kegiatan kewirausahaan dan bukti
transaksi konsumen atau slip gaji
pegawai
7 Studi/Proyek Mahasiswa dapat mengembangkan Wajib dibimbing oleh seorang
Indpenden sebuah proyek berdasarkan topik sosial dosen/pengajar
khusus dan dapat dikerjakan bersama-
sama dengan mahasiswa lain
8 Proyek Kemanusiaan Kegiatan sosial untuk sebuah yayasan Contoh organisasi formal yang
atau organisasi kemanusiaan yang dapat disetujui Rektor:
disetujui Perguruan Tinggi, baik di dalam Palang Merah Indonesia,
maupun luar negeri Mercy Corps, dan lain-lain.
Catatan:
 Semua kegiatan wajib dibimbing oleh seorang dosen/pengajar
 Kegiatan yang berada di luar Perguruan Tinggi asal (misalnya magang atau proyek di desa) dapat
diambil sebanyak dua semester atau setara dengan 40 SKS

Sumber: Kemendikbud, 2020.


Diskusi Sesi 1: Pembukaan Prodi Baru

Kegiatan kemudian dilanjutkan dengan sesi diskusi. Sesi diskusi pertama tentang kebijakan poin
pertama yaitu Keleluasaan Membuka Prodi Baru. Diskusi tersebut oleh Zamrun (Rektor Universitas Halu
Oleo-UHO), Indah (Dekan Fakultas Seni Rupa - Institut Kesenian Jakarta-IKJ), dan seorang mahasiswa
Universitas Gunadarma yang dipandu langsung oleh Mendikbud.

Rektor Halu Oleo berpendapat bahwa dengan kebijakan ini, berarti otonomi perguruan tinggi yang dulu
belum jelas arahnya itu sekarang mulai kelihatan, strateginya sudah kelihatan, perguruan tinggi diberi
kebebasan menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi lain, menjalin kerjasama dan komunikasi
dengan semua Non Governmental Organization (NGO) maupun Governmental Organization (GO)
sehingga keleluasaan di perguruan tinggi itu akan lebih besar. Saya kira sangat positif sekali, tinggal nanti
bagaimana kita wujudkan atau implementasikan dalam menyusun rencana kerja di universitas. Dengan
kebebasan itu lebih mudah membuat universitas untuk berkembang dan lebih maju.

Dekan Fakultas Seni Rupa IKS Jakarta, memberi komentar bahwa sebagai dekan yang membawahi prodi-
prodi di seni rupa yang mengalami perkembangan yang sangat pesat. Jadi semakin kesini sebenarnya
banyak prodi-prodi yang semakin dibutuhkan tapi tidak ada. Selama ini kita bergantung dari
nomenklatur yang ada, sehingga misal kita ingin membuat prodi tertentu misalnya ‘prodi A’ namun itu
tidak ada nomenklaturnya. Tantangannya yang ada adalah bagaimana menjalin kerjasama, tapi
akreditasinya masih dalam proses. Tapi saya sangat senang jika pembukaan prodi baru itu dimudahkan,
tentu ada syarat-syarat tertentu tapi tidak hanya seperti saat ini yang persyaratannya lebih kepada
dokumen-dokumen saja.

Perwakilan dari mahasiswa Gunadarma menyampaikan bahwa untuk tantangannya sendiri itu, rasa
kemauan dari kita mahasiswa itu kurang karena kami itu lebih memilih nilai dibandingkan pengalaman.
“Jika misal ditawari dengan perusahaan contohnya Traveloka untuk magang selama 6 bulan dan nanti
diterima kerja disitu apakah anda akan menolak?” tanya Mendikbud pada mahasiswa tersebut. “Jujur
walaupun tawarannya menarik tapi kalau misalnya saya merasa masih belum punya skill, saya akan tolak
dengan baik-baik karena saya belum punya skill begitu. Saya khawatir saat sudah masuk perusahaan
tersebut nanti saya dituntut untuk harus bisa mengetahui banyak hal sementara itu saya belum bisa
apa-apa. Tapi untuk kemauan belajar itu ada”, jawabnya.

Ya, yang belum kita tahu yaitu seberapa besar populasi mahasiswa yang akan mengambil kesempatan
ini. Ada jiwanya yang lebih akademis, ada yang jiwanya entrepreneur, itu harus kita lihat dahulu
permintaannya. Apakah semua prodi akan mencari pasangannya (baca: mitra)? itu tantangan besar bagi
kita. “Saya kira bagaimana mencari partnership itu kembali ke bagaimana pintar-pintarnya pimpinan
perguruan tinggi, sebenarnya dengan kebebasan itu kita bisa kemana saja mencari partner di seluruh
dunia ini banyak, saya kira mungkin tidak menjadi masalah mencari partner itu”, ujar Rektor UHO.

“Saya kurang tau jika persetujuan (agreement) jangka panjang itu akan seperti apa, karena kita belum
pernah melakukan, saat ini yang telah dilakukan hanya dalam jangka waktu 3-5 tahun atau parsial, atau
hanya satu kegiatan dengan nasional atau internasional, jadi kita mungkin bagaimana menemukan
negosiasi yang tepat atau cocok satu sama lain , itu mungkin yang paling menjadi tantangan, belum
tentu yang kita mau sesuai dengan yang mereka mau. Tapi harus dicoba dulu, kalau belum dicoba kita
tidak tahu”, ujar Dekan Fakultas Seni Rupa IKJ.

Terakhir, Mendikbud menanggapi bahwa pasti akan ada healthy tension antara pelaku industri dengan
akademiknya, tapi memang itu disengaja agar menjadi suatu perdebatan dan tantangan di dua pihak itu,
biar ada kompromi di tengah dan itulah keindahannya relevansi dari suatu kurikulum, tertantang untuk
relevan di dunia yang nyata, tutup Mendikbud.
Diskusi Sesi 2: Akreditasi Perguruan Tinggi

Diskusi kedua tentang Sistem Akreditasi Perguruan Tinggi. Diawal diskusi, Mendikbud
menyampaikan bahwa Akreditasi sekarang ini pindah kepada jalur yang lebih voluntary dan juga
mengarah pada standar internasional yang diterima setara dengan A, dan juga untuk
memprioritasi/mengutamakan prodi-prodi dan juga perguruan tinggi yang belum ter-akreditasi bisa
lompat di antrian. Jadi makanya itu autoapproved bagi yang re-akreditasi itu. Hibatul Ghazi, perwakilan
mahasiswa dari UGM memberi komentar: “saya sangat menyambut baik kebijakan tersebut karena saya
selama ini itu banyak dosen-dosen yang terlalu fokus pada akreditasi. Jadi dengan adanya perpanjangan
term dari akreditasi dan sistemnya yang voluntary ini. Jadi dosen-dosen itu akan semakin fokus lagi pada
pembelajaran. Proses akreditasi juga berdampak pada mahasiswa, contohnya dari seringnya dosen
terlambat atau bahkan tidak masuk kelas, ketika dikonfirmasi ke KTU ternyata salah satu penyebabnya
adalah karena proses akreditasi yang harus diurus oleh para dosen. Terkait dengan relevansi materi yang
diajarkan juga akan lebih relevan ketika misalnya nanti akan fokus pada pembelajaran, lanjut Hibatul
Ghazi. Menariknya, selama ini di kementerian beranggapan bahwa dampaknya hanya kepada misalnya
rektor atau para dekan saja, tapi kenyataannya karena begitu banyak tugas dan beban pengumpulan
data, itu benar-benar di push (didesak) dan didelegasi sampai ke bawah-bawah semua dosen malah
dikerjakan untuk mengikuti segala persyaratan ini. Jadi dari situlah saya (baca: Mendikbud) kaget
sewaktu saya mengumpulkan wakil mahasiswa dan mereka itu sangat senang dengan inisiatif akreditasi
ini, karena akreditasi itupun mereka benar-benar merasa imbasnya sampai kesitu. Karena semua yang
kita lakukan tanpa ada dampak kepada mahasiswa tak ada gunanya, kita tak akan kerjakan apapun kalau
tidak ada dampak positifnya kepada mahasiswanya, apapun yang dibuat dosenpun itu harus ujung-
ujungnya berdampak kepada mahasiswa, atau kita tidak user oriented, jadi saya sangat senang
mendengar dari pernyataan mahasiswa mengenai dampaknya.

Prastantyoko rektor Universitas Atmajaya Jakarta berpendapat: “Bagi saya soal akreditasi ini
menjadi sangat penting karena beban administratif berkurang signifikan sehingga kesempatan energi
dan waktu itu lebih banyak untuk meningkatkan mutu, itu imbasnya langsung kepada mahasiswa”.
Tantangannya selama ini ketika kita membahas akreditasi lebih kepada pemberian dari birokrasi
(kementerian. Jadi kalau memang institusi ini punya kemampuan ke level internasional, ya langsung saja
kesana: energi, sumberdaya, waktu dan sebagainya tidak sibuk lagi urusan administrasi yang akreditasi
nasional tapi langsung pada internasional.

Mendikbud kemudian bertanya tentang pemenuhan persyaratan apa yang paling menyulitkan buat
universitas?. Sebetulnya yang paling menyulitkan itu adalah bukti, bukti ini menjadi problem yang besar
sekali bagi universitas karena itu menyangkut kerapian administrasi yang memang masih perlu
ditingkatkan. Contohnya: Ya misalnya kalau kita berbicara soal kualitas mengajar, itu buktinya apa?
harus ada rencana, rancangan studinya, dan kemudian bukti hadir kuliah dan sebagainya itu harus ada
lampirannya sehingga secara administratif itu yang menjadi kesulitan, jawab Prastantyoko. Kemudian
persoalan lain yang dihadapi yaitu mempersiapkan borang akreditasi itu sendiri. Memang ini soal
kesempatan saja, memberikan kesempatan untuk menentukan akreditasi yang memang diperlukan yang
relevan dengan institusi tersebut. Kami sedang menyusun akreditasi institusi yang akan habis di 2021
dan setahun sebelumnya kami sudah harus mempersiapkan tim dan alokasi untuk itu, tutup rektor
Universitas Atmajaya Jakarta itu.

Surial Mofu, Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah 14 Papua dan Papua Barat
menyampaikan bahwa kondisi perguruan tinggi kita di Indonesia berjuang kejar akreditasi sampai lupa
meningkatkan kualitas. Padahal akreditasi seharusnya buat kualitas. Kadang-kadang ada perguruan
tinggi yang belum berakreditasi mau wisuda minta-minta permisi, sampai kita harus rancang aturan
untuk membolehkan wisuda tanpa akreditasi karena masih dalam proses. Kebergantungan terhadap hal-
hal begitu membuat waktu kita habis. Saya melihat ini satu langkah yang sangat maju yang akan
membuat perubahan besar dalam pendidikan tinggi kita di Indonesia. Oleh sebab itu, nanti perguruan
tinggi akan bosan juga dengan akreditasi C, dia akan berjuang untuk menaikkan kualitasnya dan
penjaminan mutu internal akan menjadi keharusan di dalam semua perguruan tinggi dan akhirnya
adalah kualitaslah yang akan terjadi. Tantangan persoalannya adalah dalam masa transisi ini. Kita butuh
kepastian, sehingga bisa kita sosialisasikan dengan baik kepada seluruh perguruan tinggi kita dan
memberikan rasa aman dan nyaman dalam mengurus akreditasi, mengurus akreditasi bukan menjadi
sesuatu yang sulit tapi menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja. Tantangan yang dihadapi di Papua yaitu
85% mahasiswa yang kuliah di PTS dan PTN orang tuanya berpenghasilan kurang dari 1 juta rupiah
perbulan, dari 89% itu 50% tidak tidak berpenghasilan, ini data penelitian saya tahun 2018. Oleh sebab
itu tahun 2019 lalu dari 60.000 mahasiswa yang terdaftar dalam Pangkalan Data Pendidikan Tinggi kita,
23.000 yang kuliah dan 37.000 yang tidak kuliah, itu tantangan. Perguruan tinggi tidak bisa bergantung
pada SPP/UKT mahasiswa karena kondisi penghasilan orang Papua itulah tantangan kami.

Mendikbud melanjutkan pertanyaan tentang definisi mutu terbaik seperti apa. Rektor Universitas
Atmajaya menyampaikan bahwa dari PTS justifikasi yang paling tinggi adalah lulusannya diterima dengan
baik di tempat kerja atau mampu berusaha sendiri. Jadi indikator employability itu salah satu ukuran
penting karena itu outcome. Selain mahasiswanya sendiri, dengan kualitas standar tertentu karena
swasta itu bebas mendefinisikan jumlah mahasiswa yang mau diterima, kalau terlalu banyak yang mau
diterima dengan kualitas dengan kesenjangan yang tinggi itu tentu saja outputnya tidak terjamin. Yang
kedua adalah proses, dan itu bergantung pada kapasitas dosen. Mengandaikan bahwa dosen mampu
dan punya kapasitas untuk merespon ini semua, soal kebebasan, soal potensi yang bisa dikembangkan
semaksimal mungkin itu adalah kapasitas yang dimiliki perguruan tinggi.

Hibatul Ghazi, perwakilan dari mahasiswa menyampaikan bahwa konsep mutu itu bagaimana
mahasiswa dan lulusannya nanti itu dapat bersosialisasi di masyarakat dengan baik misalnya mutu dari
sisi sosialnya, sisi empatinya bagaimana ia dapat merasakan masalah-masalah yang ada di masyarakat,
bagaimana dia dapat menyelesaikan masalah tersebut, itu juga adalah salah satu bagian dari mutu selain
dari employement dan entrepreneurship atau mungkin dari sisi akademisi, jadi tambahannya di sisi
sosial. Mendikbud menutup diskusi sesi kedua itu dengan mengatakan bahwa sebenarnya outcome
daripada produk utama adalah mahasiswanya, itu sebenarnya yang terpenting.

Diskusi Sesi 3: Perguruan Tinggi Badan Hukum (PTN-BH)

Diskusi sesi ketiga tentang Keleluasaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH) Menjalin
Kerjasama. Diawal diskusi Mendikbud menjelaskan tentang arah kebijakan ini adalah untuk
melonggarkan aturan kriteria untuk menjadi PTN BH, biar bagi yang satker dan BLU punya kesempatan
untuk bisa menjadi PTN BH kalau mereka mau. Ini bukan pemaksaan, kalau mereka telah siap dan
merasa ingin ditantang sebagai badan yang lebih otonom, mereka bisa melakukannya tanpa dirugikan.

Abdillah, Direktur Politeknik Negeri Jakarta (PNJ) menyampaikan bahwa untuk Politeknik Negeri se-
Indonesia hampir 43 Politeknik setuju menjadi PTN BH, karena kami merasakan bahwa sebuah politeknik
itu memang harus punya gerakan yang luar biasa seperti yang disampaikan bahwa kebijakan ini adalah
kebijakan yang ekstrem atau bahkan super ekstrem. Tapi ini bagus sehingga nanti Politeknik ini bisa
bergerak kerjasama dengan dunia industri, kemudian bisa bersifat komersial, dan yang penting tidak
merugikan bangsa. Saya khawatir istilah komersial berarti mementingkan kepentingan sendiri, jadi
artinya perguruan tinggi kita bisa beruntung, tidak rugi saja sehingga membebani negara. Dari sisi
kerjasama dengan industri dan institusi lain lebih luas. Kemudian berikutnya, mahasiswa juga bisa lebih
bebas, dari sisi keuangan, penting bahwa kami bertanggungjawab atas kebebasan yang diberikan. Dia
menambahkan tentang suka duka menjadi PT satker, secara umum semuanya harus mengikuti
peraturan dari kementerian keuangan, salah satunya apabila politeknik yang satker seperti PNJ ini
mendapatkan masukan atau pemasukan itu dalam 1x24 jam harus langsung disetor ke negara. Kalau
1x24 jam tidak menyetor ke negara, maka direkturnya dianggap korupsi. Satuan Biaya Umum, jadi
standar biaya untuk satker memang kelihatannya lebih kecil dibandingkan dengan yang BLU atau BH.
“Misalnya honor untuk dosen yang telah mengajar itu telah ada aturannya seperti apa, perjalanan dinas
seperti apa, pokoknya kira-kira yang kurang masuk akal lah begitu. Jadi akhirnya kita cari akal-akal
lainlah begitu, karena tidak masuk akal", ujarnya. Karena tadi sudah ada seperti itu, mau pindah ke BLU
atau ke PTN BH jadi susah. Jangankan ke PTN BH, ke BLU saja kami dipersyaratkan. Di PNJ ini tenaga
kependidikan mendapat tunjangan pekerja, itu dari rupiah murni bukan dari Penerimaan Negara Bukan
Pajak (PNBP). Kemudian salah satu persyaratannya adalah apabila ingin menjadi BLU, maka tunjangan
kinerja yang asalnya dari rupiah murni itu harus diambil PNBP, namun semua jurusan protes dan
khawatir karena semua jurusan juga harus berjalan, kalau ini tunjangan diberikan kepada tenaga
kependidikan, otomatis anggaran yang ada di jurusan itu berkurang. Biasanya jurusan-jurusan itu
gerakannya lincah dan tidak lincahnya itu bergantung dari banyaknya anggaran. Mendikbud
menanggapi, bahwa cukup ironis karena sebenarnya politeknik, dari semua jenis perguruan tinggi itu,
kebutuhan untuk bermitra dengan perusahaan itu harga mati, itu tidak dinego lagi karena memang
seluruh nafas kualitas pembelajarannya adalah kemitraan dengan private sector, tanpa itu struktur
sekarang tidak memungkinkan.
Pendapat selanjutnya datang dari Eko, Dosen Teknologi Pangan IPB. Dia melihat dari sudut pandang
sebagai dosen bukan sebagai administrator di perguruan tinggi bahwa apa yang dirasakan dengan PTN
BH ini ada beberapa kemandirian, kemerdekaan yang diberikan kepada perguruan tinggi dan ada
sesuatu yang agak disalahpahami oleh barangkali sebagian yang lain bahwa PTN BH itu seringkali
dipandang dari sudut finansial. Padahal, kemandirian itu, kemerdekaan itu mestinya lebih dari itu. Salah
satu yang saya rasakan betul adalah kemudahan bagi PTN BH sebelum kebijakan ini untuk membuka
prodi baru, itu statusnya hanya melaporkan ke kementerian tapi sekarang semua boleh seperti itu
selama akreditasi A dan B, itu seperti privilage yang tadinya hanya milik PTN BH tapi sekarang diberikan
juga kepada yang lain selama dia akreditasi A dan B. Itu yang barangkali harus kita pahami lebih dari
sekedar hanya kemerdekaan finansial tetapi juga kemerdekaan untuk menjalin kerjasama. Kalau
statusnya masih satker, bekerjasama dengan pihak lain saja masih tidak boleh karena statusnya itu. Itu
adalah privilege-privilage yang dimiliki oleh PTN BH dan itu sangat membantu bagi suatu perguruan
tinggi untuk berkembang, apalagi harapannya makin mandiri dan bisa kolaborasi dengan semua pihak
siapapun, tapi disaat yang sama saya melihatnya harus dibarengi dengan rasa tanggungjawab. Jangan
sampai merasa ‘merdeka’, jadi melakukan sesuatu yang semaunya sendiri tanpa berpikir panjang dan
analisis yang mendalam itu yang agak dikhawatirkan, artinya bagaimana bisa dibangun suatu sistem
sehingga yang ingin menjadi PTN BH bisa naik kelas dengan bagus. Resiko utamanya adalah
tanggungjawab, khususnya bagi yang belum siap menjadi PTN BH, misalnya terkait dengan kemudahan
bekerjasama dengan mitra. “Kebetulan saya pernah bertugas di kantor internasional, itu banyak sekali
kejadian-kejadian dimana perusahaan-perusahaan yang baru membuka kerjasama dengan mitra
terutama dengan mitra internasional itu seperti kaget, sehingga apapun sodoran kerjasama maka
ditandatangani. Artinya apa, sebenarnya kapasitasnya masih perlu ditingkatkan, kalau itu asal tanda
tangan konsekuensinya kita akan rugi besar, contoh akses terhadap biodiversitas; kehilangan intellectual
property right, ini yang perlu dibarengi, artinya kita menyambut baik tapi barengi dengan capacity
building untuk mereka”. Mendikbud menanggapi bahwa bisa saja karena mereka belum mengerjakan
deal-deal seperti itu dengan pihak ketiga, sehingga mereka tidak tahu negosiasi yang akhirnya
merugikan perguruan tinggi, ini yang harus diketahui bahwa itu adalah salah satu resiko yang terjadi.

Komentar selanjutnya dari Zhafira, mahasiswa vokasi IPB. Menurutnya, kita dari mahasiswa belum
terlalu banyak tahu tentang case kebijakan ini. Dengan status PTN BH itu memudahkan banyak sekali
dari segi mahasiswa, contohnya lebih mudah untuk mengajukan magang ke perusahaan-perusahaan
ternama, kita lebih fleksibel untuk bekerjasama, exchange program dan lain sebagainya. Untuk daerah-
daerah di Indonesia yang kita ketahui sebagai wilayah 3T atau wilayah bukan kota-kota besar, itu
sebenarnya banyak perguruan tinggi yang potensial, tapi mereka memang terkendala dari segi status
tersebut. Jadi kurang ada fleksibilitas dari kampus yang akhirnya juga berdampak pada mahasiswa-
mahasiswanya jadi kurang ruang gerak, dengan adanya kebijakan nomor 3 ini harapannya dapat menjadi
peluang terbaik dari banyak kampus untuk semakin kompetitif dan semuanya akhirnya makin mengejar
target-target maupun prestasi-prestasi yang lebih baik lagi karena ada kemudahan yang ditawarkan,
karena ujung-ujungnya akan berdampak pada produktivitas mahasiswa, terhadap fleksibiltas
mahasiswa, juga output dari kampus itu sendiri. Mendikbud kemudian menaggapi: “Saya baru sadar
bahwa sebenarnya PTN BH itu kemitraan dengan universitas-universitas luar itu sebenarnya berdampak
juga karena kalau dia tidak ada commercial deal dengan universitas luar, exchange pun akan rumit,
harus meminta berbagai macam instansi pemerintahan untuk izin melakukan itu, jadi bahkan kehidupan
mahasiswa itu sangat terdampak daripada status hukum PTN, itu satu poin yang sangat penting. Seperti
kalau semua kebijakan ini tidak ada dampak positif bagi mahasiswa, kita tidak akan mungkin lakukan, itu
kuncinya harus selalu nyaman kepada mahasiswa.”

Dalam diskusi itu, Zhafira yang juga terpilih sebagai mahasiswa berprestasi (mawapres) terbaik 1
tingkat nasional yang diadakan oleh Kemenristekditi waktu itu, berbagi pengalaman dalam proses
pemilihan mawapres nasional tersebut. Untuk universitas-universitas top di Indonesia atau yang
memang berstatus PTN BH itu dalam proses seleksinya lebih dilirik, lebih mudah dan sebagainya. Dan
untuk kampus-kampus, yang mungkin mahasiswa lain juga merasakan, mahasiswa yang dari daerah-
daerah yang mungkin tidak sebesar kota-kota besar di Indonesia proses seleksinya jauh lebih panjang.
“Saya memiliki beberapa teman-teman di daerah yang sangat amat potensial, sangat amat cerdas, tapi
terkendala dalam status universitas itu sendiri. Kampus PTN BH seperti kampus saya (baca: IPB) bisa
langsung melaju ke tahap nasional karena mungkin telah ada penilaian tersendiri dari kementerian, tapi
kampus-kampus lainnya harus bersaing di tingkat regional dulu, tahap 1, dan seterusnya, dan mungkin
ada kaitannya juga dengan PTN BH ini. Dengan adanya peluang seperti ini, harapannya kita sama-sama
semangat dan optimis, biar nanti outputnya dari segi mahasiswa, dari segi prestasi, dan apapun bisa
sama-sama melejit dan dengan kesempatan yang sama.” Dan kedepan harapannya, seluruh daerah dan
seluruh kampus di Indonesia bisa jadi kampus-kampus top yang melahirkan kualitas yang luar biasa.

Saran dari rektor PNJ bahwa kebijakan yang menurutnya spektakuler yang dibuat oleh Kemendikbud
ini rasanya bisa juga diterapkan ke kementerian lain, harapannya mereka juga bisa melakukan terobosan
keluar dari pakem yang reguler. Tapi tujuannya adalah untuk menjawab tantangan zaman, saya kira ini
perlu karena seperti politeknik ini juga bisa berhubungan dengan kementerian perindustrian,
perdagangan, dan sebagainya. Supaya hubungan antara perguruan tinggi dengan industri semakin erat,
artinya kepedulian mereka terhadap perguruan tinggi khususnya perguruan tinggi vokasi. Kemudian Eko,
dosen IPB menambahkan bahwa kemandirian yang diperlukan sebuah perguruan tinggi, komponen
utamanya yaitu dosen dan mahasiswanya. Dari sisi mahasiswa, khususnya yang sudah PTN BH itu,
banyak menjalin kerjasama internasional ingin mendatangkan mahasiswa dari luar negeri ke Indonesia.
Tetapi itu banyak terhambat di masalah keimigrasian, itu bukan hal yang mudah untuk mendapatkan izin
belajar dan penelitian bagi mereka yang akan datang ke Indonesia, sehingga kalau PTN BH bisa memiliki
kemandirian lebih dalam mendatangkan mereka, itu yang pertama. Kedua, untuk dosen kita paham
bahwa bukan hal mudah untuk naik pangkat, apalagi kalau sudah mau jadi profesor, kalau seandainya
PTN BH dianggap sebagai sebuah PTN yang sudah mandiri dan dewasa, mungkin perlu diberikan
keleluasaan lebih bagi agar bisa entah sampai pada level memberikan sendiri atau paling tidak diberikan
kekuasaan agak lebih atau kemandirian yang lebih tinggi karena selama ini banyak proses yang berulang
disetiap tahapan, jadi itu yang perlu disederhanakan.

Diskusi Sesi 4: Hak Belajar 3 Semester di Luar Prodi

Sesi diskusi terakhir yaitu diskusi ke-empat yang membahas tentang Hak Belajar di Luar Prodi. Sri
Reski, Mahasiswa Unpatti Ambon menyampaikan bahwa program ini sangat luar biasa karena terdapat
kesempatan untuk mempelajari prodi lain selain prodi asalnya, bagaimana dia dari mahasiswa prodi
administrasi juga bisa merasakan menjadi mahasiswa Teknik misalnya. “Untuk kami mahasiswa yang
berasal dari Timur, untuk program magang di perusahaan-perusahaan internasional itu merupakan
suatu masalah bagi kami karena akses untuk masuk di perusahaan-perusahaan internasional itu sangat
sulit, khususnya kami dari daerah kepulauan. Kemudian masalah keuangan juga menjadi persoalan,
bahwa pendapatan orang tua kurang lebih sama seperti yang dijelaskan di daerah Papua tadi,
penghasilan orang tua kami berada dibawah 1 juta dan itu menyulitkan kami untuk bisa magang di
perusahaan-perusahaan internasional misalnya. Salah satu solusi bagaimana biaya tersebut bisa diatasi
adalah dengan kerjasama antara universitas-universitas dengan perusahaan internasional, agar
bagaimana bisa mendapatkan timbal balik dari apa yang sudah diberikan kepada perusahaan itu. “Untuk
program magang ini sebenarnya bagus, hanya saja untuk bisa diterima di tempat atau perusahaan itu
tidak mudah, contohnya kami di Maluku, untuk mendaftar dan diterima magang di perusahaan di
Maluku saja sulit apalagi perusahaan yang kelasnya internasional. Juga aksesnya yang sulit dari Maluku
ke tempat magang yang berada di Jawa misalnya. Jadi ke-khawatirannya juga pada tahap diterima atau
tidaknya di perusahaan atau tempat magang yang dituju tersebut. Tapi jika diberikan kesempatan untuk
magang maka kami berminat dan bersemangat”. Mendikbud kemudian menanggapi, bahwa perbedaan
situasi misal di daerah Timur dan lain-lain dalam hal kondisi ekonomi, bahwa kalau misalnya exchange
ataupun magang, walaupun nantinya ditalangi oleh perusahaan, biaya hidup dan transportasi misalnya.
Biaya diantara untuk memastikan misalnya perjalanan ke tempat magang atau exchange dan lain-lain
harus dipikirkan juga, baik rektor dan kementerian ini adalah PR untuk memikirkan bagaimana caranya.

Albert Rumbarar, mahasiswa asal Manokwari memiliki pendapat yang berbeda terkait kebijakan
poin ke-4 ini. Bahwa menurutnya siapa yang menjamin atau bisa memberikan indikator tentang
kemajuan ilmu yang didapatkan di luar kampus itu tertata? Bagaimana mengklasifikasikan bahwa
setelah dari luar (kampus) dan kembali lalu kemudian secara akademisi layak untuk dinaikkan gradenya,
itu belum jelas dari presentasi tentang kebijakan ini. Pada dasarnya kebijakan ini baik, namun kita semua
tidak memiliki situasi yang sama, apalagi di Papua. Kami di Papua menginginkan hal seperti ini, tapi kami
tidak mungkin sampai pada hal seperti ini. Mengapa? Karena situasi ini hanya bisa terjadi ketika
Universitas berada dalam suatu ekosistem yang memang sudah siap untuk menjawab itu semua.
Sayangnya tidak semua perguruan tinggi bisa melaksanakan ke semua kebijakan tersebut. Misalnya
untuk kita mendatangkan tenaga kerja dosen atau fasilitas, pada akhirnya Universitas itu membutuhkan
biaya. Siapa yang bisa membantu itu? Sementara sumberdaya terbatas. Belum lagi aturan yang
membatasi. Bagaimana kementerian bisa menjamin bahwa semua sumberdaya di luar sana bisa
memberikan kontribusi dan membantu universitas untuk menjawab semua konsep ini. Bagaimana pihak
kementerian ini bisa menjamin atau memberi regulasi yang betul-betul dapat diterima dan diterapkan
oleh seluruh universitas, apalagi universitas yang ada di Papua, dan tentunya tidak bertentangan dengan
hierarki atau undang-undang yang lain. Apakah keputusan menteri ini bersifat edaran, atau suatu
keputusan yang menggugurkan keputusan yang lain, itu harus diberikan kejelasan karena dalam
menjalankan eksistensi dalam dunia pendidikan ini tidak hanya mengacu pada satu aturan, karena ada
keuangan, dan lain-lain. “Saya menanggapi ini hanya suatu yang abstrak, suatu motivasi tapi belum pada
suatu regulasi yang tertata. Kemudian masih banyak aspek yang perlu kita perhatikan agar kita berhasil
untuk mencapai itu semua.”

Mendikbud menanggapi dengan menekankan kembali bahwa ke-empat regulasi tersebut sama sekali
tidak ada yang bersifat paksaan. Jangan lupa bahwa konsep merdeka belajar itu sebenarnya
mengeliminasi hal-hal yang tadinya dipaksa sekarang menjadi sukarela (voluntary), hal-hal yang tadinya
tidak diperbolehkan jadi diperbolehkan, contoh hak belajar 3 SKS diluar prodi itu bersifat sukarela,
artinya bergantung kepada kemauan dan kemampuan mahasiswa. Kemauan dia untuk program tersebut
dan kemampuan dia untuk diterima. Kemauan dan kemampuan adalah aspek yang harus diperhatikan,
karena dalam prosesnya tidak cukup hanya keinginan saja tapi nantinya akan melalui tahap seleksi dan
sebagainya yang membutuhkan kemampuan dari mahasiswa yang bersangkutan. Baik itu kemampuan
untuk diterima ataupun kemampuan finansial. Tapi ini menjadi tantangan bagi pembuat kebijakan agar
aturan ini tidak hanya dinikmati oleh golongan tertentu saja tapi juga secara menyeluruh se-Indonesia.
Kita tidak bisa hanya membuat suatu aturan yang bisa dinikmati hanya satu kelompok, misal hanya dari
yang tingkat ekonominya memadai. Jadi ini suatu PR bagi kementerian, bagaimana memikirkan sampai
pada tahap tertentu. Misalnya program afirmasi, strategi seperti apa yang akan dibuat nantinya. Tapi
saya merasa bahwa semua biaya afirmasi pasti akan mengarahkan kepada apa yang menurut kami
adalah mutu dan kemendikbud menurut kami adalah pengalaman dengan kualitas baik di luar kampus
itu adalah salah satu contoh mutu yang luar biasa, bahkan mendapat pengalaman yang berbeda. Contoh
bagi anak-anak dari Universitas di Papua untuk satu semester belajar di Jakarta atau Jogja (Yogyakarta)
misalnya, walaupun misalnya dari sisi pembelajarannya mungkin dia tidak suka pembelajaran beberapa
semester di UGM misalnya, tapi pengalaman dia pindah ke Jogja dan mengalami itu selama 4-5 bulan,
itu menurut saya baik dari sisi pembelajaran dan penguatan exposure terhadap karakter dia dan bisa
beradaptasi menurut saya sangat penting, sama pentingnya Anak Jogja dan Jakarta pergi ke Papua untuk
6 bulan tinggal di rumah penduduk dan dia harus beradaptasi, mau dia itu anak semalas apapun dan dia
kesana berpikir hanya untuk liburan misalnya seburuk-buruk asumsi. Pada saat ia tiba di desa itu dan
melihat cara orang hidup di tempat yang begitu berbeda, dia melihat pola hidup yang sama sekali
berbeda dengan pengalaman dia. Tidak mungkin itu tidak merubah karakter dia. Jadi jangan lupa
bagaimana kita bisa menjamin pengalaman ini bisa tertata dengan baik, itu memang merupakan satu
tantangan karena di perusahaan mereka punya sistemnya sendiri. Tapi sudah pasti relevansi ke industri
cocok dan tidak bisa dipungkiri. Malah pertanyaannya adalah apa yang memastikan atau menjamin
bahwa penataan di Kampus itu relevan untuk hidup ke depan? Mungkin tertata dengan baik, tapi
apakah itu relevan? belum tentu. Tapi dengan adanya exchange program ini dengan pengalaman yang
real, jangan melihat hanya dengan penataan ilmu. Ilmu itu bukan hanya ilmu akademik, tapi juga ilmu
sosial, ilmu empati, ilmu empati dari yang yang beragama yang sangat berbeda dan dari suku yang
berbeda. Itu luar biasa transformasionalnya. Jadi dilihat dari berbagai macam sisi.

Pendapat terakhir dari Khoiri Ismawati, mahasiswa Universitas Kaltara. Ia menerima baik kebijakan
poin 4 ini, karena memberikan kesempatan untuk disiplin ilmu yang berbeda di luar program studi, kita
bisa magang, dan kita bisa pertukaran mahasiswa. Tapi permasalahannya hari ini adalah, khususnya bagi
mahasiswa Perguruan Tinggi Swasta (PTS), apakah untuk dana pertukaran mahasiswa ini lantas seperti
apa? dari kementerian juga bagaimana? padahal untuk kegiatan seperti ini saja kami masih kesulitan
dalam hal anggaran. Jika ada keberangkatan, pasti akan mengalami masalah dalam hal anggaran. Untuk
yang kedua terkait magang, otomatis kita akan bermitra dengan pihak ketiga. Lalu bagaimana dengan
pihak ketiga ini menerima mahasiswa yang berstatus dari PTS, mereka pasti mempertimbangkan dari
latar belakang kampus dan akreditasnya. “Di perguruan tinggi saya sendiri hanya bekerja sama dengan
beberapa lembaga seperti Bank Indonesia (BI) kantor perwakilan yang ada di Kalimantan Utara (Kaltara),
dan itu yang boleh magang hanyalah anak-anak yang lebih dipermudah magang disitu, anak-anak yang
memang alumni dari para penerima beasiswa Bank Indonesia seperti saya contohnya mahasiswa
penerima beasiswa itu yang tergabung dalam organisasi (GenBI), maka itu akan dipermudah untuk
magang di BI. Lantas bagaimana dengan teman-teman yang mereka juga berkeinginan magang di
tempat tersebut, tapi dari pihak BI sendiri mempunyai standarisasi. Kampus saya juga bekerjasama
dengan perusahaan batubara yang disitu hanya lebih ke anak-anak teknik sipil karena sesuai dengan
kebutuhan mereka hari ini. Lantas bagaimana dengan teman-teman di prodi lain terkait mitra tadi? itu
menjadi sebuah permasalahan yang harus dipikirkan bersama. Untuk masalah mitra suatu perguruan
tinggi dan masalah anggaran bagi yang PTS jika mereka mempunyai keinginan pertukaran mahasiswa.
Saya juga mendapat info dari diskusi dengan seorang rektor, bahwasanya jika mahasiswa dari PTN ini
melakukan program pertukaran mahasiswa itu akan mendapat anggaran dari kementerian, itu untuk
PTN, lantas bagaimana dengan PTS yang lagi-lagi bermasalah pada anggaran.”

Mendikbud menanggapi, agar tidak terjadi bias khususnya pada saat pasca lulus. Bias biasa terjadi
seperti pada saat perusahaan melihat hanya beberapa PTN (khususnya PTN BH) tertentu, bukan
akreditasi malah melihat ‘brand’, karena lebih mudah memfilter mengenai itu. Jadi kuncinya bagaimana
kita menciptakan suatu, bukan hanya kesetaraan, tapi juga kesetaraan kesempatan. Untuk yang
sebenarnya yang ‘jago-jago’ dari mungkin universitas lain yang belum punya reputasi sebesar PTN BH,
bagaimana mereka bisa diterima, itu adalah salah satu hal yang sudah kita pikirkan tapi belum siap kita
sebut bagaimana contohnya. Mendikbud memberi contoh misalnya software engineering, jika dia mau
dia pasti tidak akan melihat brand, dia akan memberikan problem solving test atau misalnya coding
test/quick coding test. Jadi banyak tes-tes agar bias itu tidak terlalu liat. Akan sangat baik jika setiap
industri bisa diberikan metode menggunakan standar apa, jadi tidak selalu bias terhadap brand
(kampusnya).

Bagian daripada paradigma utama yang ingin dibangun di Kemendikbud adalah dalam setiap
memformulasikan kebijakan, critical thinking (berpikir secara kritis) harus menjadi suatu prinsip dasar
dari semua aktivitas, sehingga mengundang bapak-ibu dosen dan mahasiswa untuk berbenturan secara
positif. Untuk benar-benar menganalisis dampak positif dan negatif daripada semua kebijakan yang
dikeluarkan. Ini untuk membuktikan dua hal, satu bahwa tidak mungkin ada suatu terobosan atau
inovasi yang progress tanpa resiko. Malah ketika kita tidak mengambil suatu resiko itu artinya bukan
namanya improvement (perkembangan), bukan namanya terobosan, itu adalah hukum alam mengambil
suatu hal pergerakan maju kedepan. Harus kita mengambil resiko tapi resiko itu harus kita analisa, kita
kalkulasi, dan kita lakukan mitigasi bersama. Inilah alasan kita mengadakan diskusi dan perdebatan itu,
bukan positifnya saja tapi juga apa negatifnya. Agar ini menjadi permasalahan kita bersama dan itulah
esensi dari pendidikan kualitas yang baik, kalau ada critical thinking, kalau ada perdebatan, kalau ada
partisipasi, tutup Mendikbud.
REFERENSI

 Undang-Undang /Peraturan Menteri


- Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Perguruan Tinggi
- Permendikbud No.88 Tahun 2014 Tentang Perubahan Perguruan Tinggi Negeri Menjadi
Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum
- Permendikbud Nomor 3 Tahun 2020 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi
- Permendikbud Nomor 4 Tahun 2020 tentang Perubahan Perguruan Tinggi Negeri menjadi
Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum
- Permendikbud Nomor 5 Tahun 2020 tentang Akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi
- Permendikbud Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penerimaan Mahasiswa Baru Program Sarjana
pada Perguruan Tinggi Negeri
- Permendikbud Nomor 7 Tahun 2020 tentang Pendirian, Perubahan, Pembubaran Perguruan
Tinggi Negeri, dan Pendirian, Perubahan, Pencabutan Izin Perguruan Tinggi Swasta

 Website
- Mendikbud Luncurkan Empat Kebijakan Merdeka Belajar: Kampus Merdeka. 24 Januari
2020. https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2020/01/mendikbud-luncurkan-empat-
kebijakan-merdeka-belajar-kampus-merdeka

Kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tentang Merdeka Belajar : Kampus


Merdeka. https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2020/01/kebijakan-merdeka-belajar--
kampus-merdeka

Prof. Nizam. Plt. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan http://lldikti3.ristekdikti.go.id/v6/wp-content/uploads/2020/02/Kampus-
Merdeka-oleh-Prof.-Dr.-Nizam-M.Sc_.pdf

Anda mungkin juga menyukai