Anda di halaman 1dari 50

1

"Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan"

-Pasal 31 UUD 1945

“…diperlukan Pendidikan Tinggi yang mampu mewujudkan dharma pendidikan, yaitu


menghasilkan intelektual, ilmuwan dan/atau profesional yang berbudaya, kreatif, toleran,
demokratis, dan berkarakter tangguh, serta berani membela kebenaran demi kepentingan
bangsa dan umat manusia.”

- UU No.12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi

“Tugas utama negara di dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi adalah menjamin


pendidikan tinggi sehingga kepentingan masyarakat tidak dirugikan, sedangkan tugas
utama negara dalam pengelolaan perguruan tinggi adalah menjamin agar otonomi
perguruan tinggi dapat diwujudkan.”

-Statuta Unhas

“Seorang terpelajar harus sudah adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”

-Pramoedya Ananta Toer

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................................ 1

KATA PENGANTAR................................................................................................................ 3

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................... 5

Latar Belakang ...................................................................................................................... 5

- Sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) .................................................................................. 6


- Dasar Hukum Kebijakan UKT ........................................................................................... 7
- Penetapan UKT ............................................................................................................... 8
- Formulasi UKT ................................................................................................................. 10
- Sekilas Sejarah UKT Unhas .............................................................................................. 11

BAB II GAMBARAN UMUM PERMASALAHAN ....................................................................... 13

1. SUDAH ADILKAH UKT KITA? ........................................................................................... 13


- Penentuan UKT Unhas .................................................................................................... 13
- Penentuan Kebijakan UKT: Belum Melibatkan Peran Mahasiswa .................................. 14
- UKT Jalur Mandiri: Dikenai UKT Tertinggi dan Dana Pengembangan Program (DPP) ..... 14

2. DANA PENGEMBANGAN PROGRAM (DPP): APA URGENSINYA? ..................................... 15


- Sekilas Tentang DPP ....................................................................................................... 15
- DPP: Butuh Transparansi................................................................................................. 16
- DPP Tahun 2020: Mengalami Kenaikan .......................................................................... 17
- DPP: Apa Urgensinya? .................................................................................................... 18
- Bentuk Dan Mekanisme Pendanaan PTN BH .................................................................. 18
- DPP: Sebuah Jalan Pintas? .............................................................................................. 19
- Pendanaan PTN-BH Selain Biaya Pendidikan .................................................................. 20
- PTN Dilarang Menarik Uang Pangkal Dari Mahasiswa Baru Dari Keluarga
Tidak Mampu ................................................................................................................. 21
- DPP: Apakah Sebuah Solusi? ........................................................................................... 22

3. OPSI PENGAJUAN PERMOHONAN KERINGANAN DAN PENYESUAIAN UKT .................... 23


- Pengajuan Permohonan Penyesuaian UKT ..................................................................... 23
- Keringanan UKT Bagi Mahasiswa (yang Sedang Menyelesaikan Tugas Akhir): 50% dari
UKT yang Terakhir Dibayarkan ........................................................................................ 24
- Kebijakan Keringanan UKT di Beberapa Kampus ............................................................ 25

4. KERINGANAN UKT BAGI MAHASISWA AKHIR YANG SEDANG MENYELESAIKAN


TUGAS AKHIR/SKRIPSI ..................................................................................................... 26

5. KEBIJAKAN UKT SELAMA MASA PANDEMI COVID19 ....................................................... 26

1
BAB III KAJIAN DAN ANALISIS .............................................................................................. 29

1. UKT JALUR MANDIRI: Mengapa Otomatis Dikenai UKT Tertinggi?.................................. 29


2. DPP JALUR MANDIRI: Jika Tidak Transparan Lebih Baik Ditiadakan ................................ 33
3. KEBIJAKAN: Pengajuan Penyesuaian Dan Keringanan UKT ............................................. 37
4. KEBIJAKAN: Keringanan UKT Bagi Mahasiswa Akhir ....................................................... 39
5. KEBIJAKAN: UKT Selama Masa Pandemi COVID19 .......................................................... 41

BAB IV REKOMENDASI ......................................................................................................... 44

REFERENSI ............................................................................................................................ 45

2
KATA PENGANTAR

Persoalan pendidikan seperti tidak ada habisnya dibahas dan masih menjadi isu
utama. Kebijakan-kebijakan pendidikan yang ada nyatanya masih belum mampu menjawab
persoalan-persoalan dalam upaya mewujudkan cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa.
Masih ada warga Negara yang belum bisa merasakan pendidikan atau harus terhenti karena
faktor biaya. Tidak hanya pada jenjang sekolah dasar dan menengah, tapi juga hingga
pendidikan tinggi di bangku kuliah termasuk di kampus Universitas Hasanuddin (Unhas).
Kebijakan terkait pendidikan di Unhas saat ini masih terdapat berbagai persoalan seperti
Uang Kuliah Tunggal (UKT), Uang Pangkal/Dana Pengembangan Program (DPP), kebijakan
pendidikan selama masa dan pasca pandemi COVID-19, serta persoalan-persoalan lain yang
mungkin belum muncul di permukaan dan belum sempat tersampaikan.

Memang usaha dan langkah yang ditempuh dalam perumusan dan penetapan
kebijakan terkait pendidikan khususnya terkait UKT di Unhas masih jarang bahkan belum
melibatkan partisipasi mahasiswa, itulah yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Meski
ada kebijakan baru yaitu penambahan jumlah golongan UKT, namun lagi-lagi belum
melibatkan aspirasi dan partisipasi mahasiswa secara aktif dalam penentuan kebijakannya.
Padahal ada banyak keluhan mahasiswa terkait problematika pendidikan yang ada di Kampus
Merah ini. Namun karena belum terstrukturnya penyampaian aspirasi, ditambah lagi tidak
adanya sebuah lembaga yang mampu menampung dan menyampaikan aspirasi mahasiswa
Unhas sehingga persoalan-persoalan tersebut belum tersampaikan kepada pihak rekorat
sebagai pembuat kebijakan.

Berbagai upaya telah ditempuh dan diusahakan melalui penyampaian aspirasi,


tulisan, diskusi, kajian, hingga aksi demonstrasi telah dilakukan sebagai bentuk keresahan
dan juga kepedulian atas permasalahan yang sedang terjadi. Namun permasalahan
pendidikan di Unhas masih saja terjadi. Pada momen-momen Hari Pendidikan Nasional
(Hardiknas) yang hampir tiap tahunnya diperingati dengan ‘aksi’ masih belum membuahkan
hasil. Mahasiswa silih berganti ber-orasi namun hasil kajian, rekomendasi dan tuntutan
kepada pihak rektorat masih kurang jelas tersampaikan. Aksi masih cenderung bersifat
seremonial. Setelah Hardiknas, semua kembali seperti biasa, tuntutan yang tidak dikawal
hingga tuntas perlahan menghilang dan tuntutan baru muncul kembali di aksi Hardiknas
tahun depannya, dan siklus itu mungkin saja terus berlanjut. Mekanisme yang tidak
terorganisir dan tuntutan yang tidak tersampaikan dengan baik seperti ini yang mungkin
membuat ‘aksi’ yang dilakukan selama ini belum membuahkan hasil. Secara eksistensi
mahasiswa tampil memperingati, namun secara substansi justru tidak tersampaikan dengan
optimal sehingga penyampaian aspirasi belum menemukan titik temu dan titik terang hingga
hari ini.

Aktifnya kembali lagi Lembaga Mahasiswa Tingkat Universitas atau Badan Eksekutif
Mahasiswa (BEM) Unhas saat ini diharapkan mampu menjadi wadah aspirasi bagi mahasiswa
Unhas, sehingga kajian tentang pendidikan ini penting untuk dibahas dengan melihat realita
dan kondisi yang terjadi. Dalam kajian ini membahas tentang beberapa hal atau kebijakan
yang dianggap sebagai persoalan bagi mahasiswa Unhas seperti kebijakan Uang Kuliah

3
Tunggal (UKT), Dana Pengembangan Program (DPP) Jalur Mandiri Unhas, Kebijakan Akademik
Selama Masa Pandemi COVID-19, Transparansi Biaya Pendidikan, dan sebagainya. Mungkin
ada banyak hal lain yang masih menjadi kerisauan bagi mahasiswa, namun untuk kali ini
pembahasan terkait pendidikan menjadi fokus utama dalam kajian ini, mengingat bahwa
persoalan pendidikan ini adalah persoalan yang sangat mendasar dan kompleks. Pihak
rektorat telah beritikad baik dengan mengeluarkan beberapa kebijakan khususnya menyikapi
keadaan selama pandemi COVID-19 ini dan membuka ruang diskusi dengan mahasiswa untuk
menyerap aspirasi. Namun, bukan berarti akan cukup hanya sampai disini, sebab masih
banyak permasalahan-permasalahan yang harus ‘sama-sama’ dicari solusinya.

Pada momen Hari Pendidikan di tengah pandemi hari ini mungkin tidak akan ada aksi
seperti biasanya, tidak ada ‘eksistensi’ mahasiswa turun ke jalan, tapi bukan berarti
Hardiknas ini kita lupakan ‘substansi’ nya. Olehnya ini melalui kajian ini, semoga bisa menjadi
titik temu antara aspirasi mahasiswa dengan kebijakan yang telah dan akan dibuat oleh pihak
rektorat Unhas nantinya. Semoga pada Hari Pendidikan ini bukan hanya menjadi hari yang
selalu kita ‘peringati’ satu hari dalam setahun, namun yang lebih penting dari itu adalah
bagaimana memaknai pendidikan ini dengan kita ‘perjuangkan’ setiap hari. Semoga hasil
kajian ini bisa menjadi bahan refleksi, bagi kita semua. Amin.

Terakhir, dalam penyampaian ini tulisan/kajian ini mungkin saja terdapat salah dan
hal yang kurang berkenan, maka dari itu kami memohon maaf. Semoga apa yang
diperjuangan semata-mata untuk hal-hal yang sudah semestinya untuk diperjuangkan.
Semoga saran dan rekomendasi yang kami berikan, suara mahasiswa yang kami sampaikan,
dan harapan banyak orang di luar sana yang ingin melanjutkan pendidikan dapat diindahkan.
Semoga ini menjadi bagian dari ‘pemaknaan’ yang setiap tahun pada tanggal 2 Mei kita
peringati sebagai Hari Pendidikan Nasional.

Selamat Hari Pendidikan Nasional,


Panjang Umur Perjuangan!
Wassalam.

Makassar, 2 Mei 2020

4
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Setiap mahasiswa yang akan berkuliah di suatu perguruan tinggi wajib untuk membayar
biaya pendidikan atau dalam dikenal dengan istilah Uang Kuliah Tunggal (UKT). UKT tersebut
berlaku bagi semua Perguruan Tinggi Negeri (PTN), baik itu PTN berstatus Badan Hukum
(PTN-BH) atau yang berstatus Badaan Layanan Umum (BLU). UKT tersebut dibayarkan setiap
semesternya hingga mahasiswa lulus dari perguruan tinggi. Bukan hanya penting bagi
mahasiswa yang sedang berkuliah, UKT ini juga menjadi sangat penting bagi calon mahasiswa
baru yang nantinya mau mendaftar dan melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, sebab
kita ketahui bahwa tingkat ekonomi tiap calon mahasiswa tentu berbeda-beda dan informasi
terkait biaya pendidikan (UKT) ini sangat penting bagi mereka sebagai bahan pertimbangan.

UKT muncul sebagai dampak dari disahkannya Undang-Undang Pendidikan Tinggi Nomor
12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi. Sebagaimana dalam Undang-Undang tersebut
pemerintah bertugas menetapkan Standar Satuan Biaya Operasional Perguruan Tinggi
(SSBOPTN). SSBOPTN sendiri merupakan satuan biaya maksimal setiap semester yang dapat
dibebankan kepada mahasiswa berdasar perhitungan biaya operasional program studi.
SSBOPTN ini kemudian dijadikan dasar bagi setiap perguruan tinggi untuk menentukan biaya
kuliah di lingkungannya masing-masing.

Kebijakan UKT ini sejatinya dikeluarkan oleh pemerintah dengan tujuan terselenggaranya
sistem biaya kuliah yang tertata dengan baik dan berkeadilan. Tertata dengan baik diartikan
pembayaran biaya kuliah dapat disatukan menjadi satu kesatuan yang bersifat tunggal.
Sehingga mahasiswa atau pihak lain yang membiayainya tidak perlu dirumitkan berbagai
tagihan biaya kuliah, misalkan biaya uang pangkal, uang SPP, uang praktikum, dan
sebagainya. Tata kelola biaya kuliah yang tidak baik, juga kerap menimbulkan terjadinya
praktik pungutan liar dari kampus kepada mahasiswa. Dengan demikian, pemerintah
menganggap perlu membuat sistem biaya kuliah yang mudah dikontrol. Kemudian
berkeadilan diartikan biaya kuliah tidak akan flat atau sama rata bagi semua kalangan
mahasiswa. Melainkan akan disesuaikan dengan kemampuan ekonomi orang tua mahasiswa,
atau pihak lain yang membiayai.

Kebijakan UKT juga tidak dapat dipisahkan dari kebijakan Bantuan Operasional Perguruan
Tinggi Negeri (BOPTN). BOPTN adalah besaran biaya bantuan yang diberikan pemerintah
kepada perguruan tinggi untuk menutup biaya operasional perguruan tinggi. BOPTN
diberikan dengan tujuan agar perguruan tinggi tidak menaikkan biaya kuliahnya terhadap
mahasiswa. Kebijakan UKT di tingkat nasional ini awalnya lahir dan digagas oleh Dirjen
Pendidikan Tinggi. Kebijakan ini diadopsi Dikti dari kebijakan Biaya Operasional Perkuliahan
Berkeadilan yang dianggap telah berjalan dengan baik di Universitas Indonesia (UI). Dirjen
Dikti yang sempat menjabat sebagai Plt Rektor UI (2011-2014), kemudian berusaha

5
mengadopsi sistem BOPB di Universitas Indonesia menjadi UKT untuk dituangkan dalam
Undang-Undang Pendidikan Tinggi yang dibahas sejak tahun 2011-2012. (Umar, 2016)

Sejak sistem UKT diterapkan di Unhas bagi mahasiswa baru S1 Reguler Tahun Akademik
2013/2014 hingga kini masih menyimpan berbagai permasalahan. Hal yang paling dasar
adalah proses penentuan kebijakan terkait UKT yang belum melibatkan peran mahasiswa
secara aktif dalam perumusannya. Akibatnya persoalan-persoalan mahasiswa terkait UKT
tidak tersampaikan dengan baik kepada pihak rektorat. Hal-hal lain seperti proses penentuan
UKT mahasiswa, belum adanya kebijakan terkait keringanan dan penyesuaian UKT,
penetapan UKT tertinggi (UKT-7) bagi mahasiswa jalur mandiri, dan juga uang pangkal atau
pungutan lain selain UKT (Dana Pengembangan Program/DPP) yang masih menimbulkan
berbagai tanda tanya. Persoalan-persoalan tersebut perlu menjadi perhatian dengan tetap
berdasarkan asas transparansi, akuntabilitas, dan berkeadilan, sesuai dengan sistem
perencanaan Unhas.

Selain persoalan UKT, hal lain yang juga menjadi perhatian adalah kebijakan Unhas
selama masa pandemi Corona Virus Diseased (COVID-19) yang berdampak pada proses
perkuliahan dan aktivitas akademik mahasiswa. Penggunaan fasilitas yang tidak maksimal
selama masa pandemi COVID19 membuat anggaran pembiayaan UKT yang telah dibayarkan
oleh mahasiswa sebelumnya tentu tidak maksimal pengalokasiannya. Meski pihak rektorat
telah mengeluarkan beberapa kebijakan selama masa pandemi COVID19 ini, namun
kebijakan tersebut dianggap masih belum optimal dalam mengakomodasi kebutuhan
mahasiswa. Sehingga pihak rektorat harus melihat permasalahan ini secara mendalam dan
lebih komprehensif.

Sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT)

Uang Kuliah Tunggal yang selanjutnya disingkat UKT adalah biaya yang ditanggung setiap
mahasiswa berdasarkan kemampuan ekonominya. (Permenristekdikti No. 39 Tahun 2017,
Pasal 1). Setelah kebijakan UKT ini diberlakukan pada tahun 2013, Sumbangan Pendanaan
Pendidikan (SPP) di Unhas berubah nama menjadi Uang Kuliah Tunggal (UKT). Selain nama,
nilai yang dibayarkan mahasiswa juga ikut berubah yang tergantung pada golongan yang
telah ditentukan Unhas. Sistem ini diterapkan bagi mahasiswa baru S1 reguler Tahun
Akademik 2013/2014. Selang setahun kemudian, pengelompokan UKT mengalami perubahan
secara menyeluruh. Terbitnya SK Rektor Unhas Nomor 20999/UN4/KU.19/2014 Tentang
Pengenaan Uang Kuliah Tunggal Bagi Mahasiswa Angkatan Tahun 2014 membuat
pengelompokan berdasar atas penghasilan orang tua.

Tujuannya untuk meringankan biaya kuliah mahasiswa. Pembagian kelompok untuk


menentukan besarnya biaya UKT yang akan dibebankan pada masing-masing mahasiswa,
pada umumnya PTN lain menetapkan dengan menyesuaikan terhadap penghasilan orang tua
mahasiswa. Dari konsepsi yang dibawanya UKT membawa sebuah cita-cita besar
kemerdekaan bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi upaya mencerdaskan bangsa. Di atas
kertas secara sepintas dapat disetujui bersama bahwa menghapuskan uang pangkal adalah

6
sebuah kebijakan yang menyejahterakan calon mahasiswa, tapi konsepsi dan teori yang
dijanjikan tidak sepenuhnya dapat berbuah indah seiring realita dan waktu yang terus
bergulir. Sejak diberlakukannya sistem UKT tersebut beberapa permasalahan-permasalahan
kemudian terjadi. Permasalahan tersebut diantaranya adalah transparansi pemanfaatan UKT,
tidak adanya pengajuan keringanan UKT, persoalan uang pangkal, dan lain lain.
Permasalahan ini bukan hanya dirasakan oleh mahasiswa Unhas saja tapi juga bagi
mahasiswa perguruan tinggi lain pun merasakannya.

Berbagai upaya dilakukan oleh mahasiswa dari berbagai kampus. Bahkan mahasiswa
Universitas Gadjah Mada (UGM) pada Hari Pendidikan Nasional 2016 melaksanakan
demonstrasi yang salah satu tuntutan utamanya terkait persoalan UKT. Mahasiswa di
Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED),
Universitas Diponegoro (UNDIP), Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Universitas Negeri
Lampung (UNILA), Universitas Sriwijaya (Unsri), dan Universitas Brawijaya (UB) pun telah
menyampaikan hasil sikap/rekomenasi dan hasil kajian hingga audiensi ke pihak rektorat
masing-masing terkait permasalahan yang dirasakan dalam pendidikan, khususnya tentang
UKT.

Dasar Hukum Kebijakan UKT

Kebijakan UKT adalah kebijakan yang dicetuskan oleh Dikti sejak tahun 2013.
Kebijakan UKT ini diberlakukan sebagaimana tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi (UU PT). Pada tanggal 23 Mei 2013, Dikti
mengeluarkan rilis kepada publik terkait rincian rumusan kebijakan UKT yang akan
diberlakukan bagi seluruh PTN se-Indonesia. Lebih lanjut, bagian ini akan menjelaskan secara
rinci mengenai formulasi kebijakan UKT yang dilakukan oleh Dikti. Sesuai dengan UU PT,
pemerintah memiliki tugas untuk menentukan standar satuan biaya operasional pendidikan
tinggi (SSBOPTN) dengan ketentuan sebagai berikut:

Pasal 88 (UU No. 12 Tahun 2012)

(1) Pemerintah menetapkan standar satuan biaya operasional Perguruan Tinggi


secara periodik dengan mempertimbangkan: a. Capaian Standar Nasional Pendidikan
Tinggi; b. Jenis program studi; c. Indeks kemahalan wilayah;

(2) Standar satuan biaya operasional Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) menjadi dasar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk PTN.

(3) Standar satuan biaya operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan
sebagai dasar oleh PTN untuk menetapkan biaya yang ditanggung oleh Mahasiswa.

(4) Biaya yang ditanggung oleh Mahasiswa sebagaimana maksud pada ayat (3) harus
disesuaikan dengan kemampuan ekonomi Mahasiswa, orang tua Mahasiswa, atau
pihak lain yang membiayainya.

7
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar satuan biaya operasional Pendidikan
Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan menteri.

Pasal 88 ayat 1 tersebut dijadikan dasar penyusunan BKT, kemudian ayat 3 dan 4
adalah dasar penyusunan UKT, dan ayat 5 adalah dasar penyusunan peraturan menteri. Agar
dapat lebih mudah dipahami, kemudian Dikti mengubah istilah SSBOPTN menjadi Biaya
Kuliah Tunggal (BKT). Secara sederhana nominal BKT yang dikurangi BOPTN (subsidi
pemerintah) akan menjadi UKT yang akan dibebankan kepada pihak mahasiswa.

Penetapan UKT

Biaya Kuliah Tunggal yang selanjutnya disingkat BKT adalah keseluruhan biaya
operasional yang terkait langsung dengan proses pembelajaran mahasiswa per semester
pada program studi di PTN. Uang Kuliah Tunggal yang selanjutnya disingkat UKT adalah biaya
yang ditanggung setiap mahasiswa berdasarkan kemampuan ekonominya (Pasal 1, UU No. 39
Tahun 2017). Kemudian pada Permenristekdikti No. 5 Tahun 2016 Tentang Tata Cara
Penetapan Standar Satuan Biaya Operasional Perguruan Tinggi Badan Hukum dijelaskan
bahwa Standar Satuan Biaya Operasional PTN BH yang selanjutnya disingkat SSBOPTNBH
merupakan besaran biaya operasional penyelenggaraan tridharma perguruan tinggi yang
sesuai dengan standar pelayanan PTN BH (pasal 1). SSBOPTNBH terdiri atas biaya:
pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (pasal 2).

SSBOPTNBH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a ditetapkan dengan


mempertimbangkan: capaian Standar Nasional Pendidikan Tinggi; jenis program studi; dan
indeks kemahalan wilayah (pasal 3). Penetapan SSBOPTNBH untuk pendidikan dihitung
berdasarkan: biaya langsung dan biaya tidak langsung, dalam penyelenggaraan pendidikan.
Biaya langsung merupakan biaya operasional yang terkait langsung dengan penyelenggaraan
kurikulum program studi. Biaya tidak langsung merupakan biaya operasional pengelolaan
institusi yang diperlukan dalam mendukung penyelenggaraan program studi. (Pasal 4)

Berbicara mengenai UKT tentunya diawali dengan membicarakan BKT yang menjadi
dasar dari UKT. Biaya Kuliah Tunggal (BKT) adalah keseluruhan biaya operasional yang terkait
langsung dengan proses pembelajaran mahasiswa per semester pada program studi di PTN
(Permenristekdikti No. 39 Tahun 2017). BKT dihitung berdasarkan biaya langsung (BL) dan
biaya tidak langsung (BTL). Biaya langsung adalah biaya yang terkait langsung dengan
penyelenggaraan kurikulum program studi. Sedangkan biaya tidak langsung adalah biaya
operasional pengelolaan institusi (institution overhead) yang digunakan untuk mendukung
penyelenggaraan program studi. Penghitungan BKT dihitung pertahun permahasiswa.
Kurikulum pada program S1 berkisar antara 144 sampai 148 SKS, kecuali beberapa prodi
seperti pendidikan dokter yang menggunakan sistem paket. (Umar, 2016)

Biaya Langsung dan Biaya Tidak langsung (Sumber: Tim Dikti. 2014. Rancangan SSBOPTN)

a. Biaya Langsung

8
Biaya langsung adalah biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi yang berkaitan langsung
dengan operasional atau penyelenggaraan kurikulum. Dikti menghitung biaya langsung
dihitung berdasarkan perencanaan dan pelaksanaan kurikulum program studi.

Dikti mengklasifikasikan biaya langsung menjadi empat jenis:

1. Kegiatan kelas seperti kuliah tetap tatap muka, tutorial, matrikulasi untuk program
afirmasi, stadium generale, PR, kuis, UTS dan UAS.

2. Kegiatan laboratorium, studio, bengkel, praktikum, tugas gambar, desain, kuliah lapangan,
praktik lapangan, KKN.

3. Kegiatan tugas akhir, proyek akhir, skripsi, skripsi, seminar, ujian komprehensif,
pendadaran, dan wisuda.

4. Bimbingan konseling, kemahasiswaan, orientasi mahasiswa baru, bimbingan akademik,


ekstra kurikuler, dan pengembangan diri.

Kelompok Wilayah Indeks Kemahalan


I Jawa, Bali, NTB 1.0
II Sumatera 1.05
III Kalimantan, Sulawesi, 1.15
NTT
IV Maluku, Papua 1.30
Tabel . Indeks Kemahalan Wilayah
(Sumber: Tim Dikti. 2014. Rancangan SSBPOTN)

Adapula indeks lain yang ikut mempengaruhi besaran BKT adalah indeks mutu perguruan
tinggi. Hal ini sebagai bentuk insentif bagi berbagai PTN yang dianggap Dikti telah melampaui
standar pelayanan akademik. Adapun besaran indeks mutu adalah sebagai berikut

Indeks Mutu Perguruan Tinggi


1,5 ITB
1,2 UI, UGM, IPB
UNHAS
Tabel . Indeks Kemahalan Wilayah

b. Biaya Tidak Langsung


Dikti mengkalkulasi biaya tidak langsung sebagai semua biaya yang harus dikeluarkan
perguruan tinggi sebagai penyelenggara program studi yang secara tidak langsung terkait
dengan penyelenggaraan kegiatan pendidikan. Lebih lanjut Dikti mengelompokkan biaya
tidak langsung menjadi empat hal, yaitu sebagai berikut:

9
1. Biaya administrasi umum
Biaya ini termasuk seperti gaji dan tunjangan tenaga kependidikan, tunjangan tambahan
untuk dosen yang menduduki jabatan struktural, bahan habis pakai, perjalanan dinas, dan
sebagainya.

2. Pengoperasian dan pemeliharaan sarana dan pra sarana


Hal ini meliputi pemeliharaan atau perbaikan gedung, jalan lingkungan kampus dan
peralatan, bahan bakar generator, angkutan atau transportasi kampus, air, biaya listrik,
telepon, internet, dan lainnya.

3. Pengembangan institusi
Penyusunan renstra dan RKAT, operasional Senat, pengembangan koleksi perpustakaan,
dan lainnya.

4. Biaya operasional lainnya


Biaya ini memiliki beberapa komponen seperti pelatihan dosen dan tenaga kependidikan,
perjalanan dinas, penjaminan mutu, pusat karir, dan bahan habis pakai.

Setelah mengklasifikasikan biaya tidak langsung menjadi empat hal, Dikti


memberikan beberapa pertimbangan untuk menentukan total biaya tidak langsung.
Sayangnya, kalkulasi ini tidak dilakukan secara riil dan empiris. Dikti secara ringkas
menetapkan biaya tidak langsung sebesar 50% dari biaya langsung. Hal ini diambil Dikti
sebagai “jalan tengah” dari rata-rata biaya tidak langsung di perguruan tinggi di luar negeri
yang berkisar antara 35%-60%. (Umar, 2016)

Formulasi UKT

BKT, UKT, dan BOPTN (Sumber: Tim Dikti. 2014. Rancangan SSBOPTN)

Jika dielaborasi secara menyeluruh, maka kita akan mendapati rumus keseluruhan mengenai
kebijakan UKT adalah sebagai berikut. Rumus BKT :

Biaya Kuliah Tunggal = (Biaya Langsung+Biaya Tidak langsung)-Alokasi Rutin

Rumus BKT PTN

Biaya Kuliah Tunggal PTN= BKT Dasar x indeks kemahalan wilayah x indeks
mutu PT x indeks jenis program studi.

Rumus UKT

Uang Kuliah Tunggal= BKT-BOPTN

10
Rumus BOPTN

BOPTN= ΣciXiSi-Y

ci adalah koefisien khusus yang akan menjadi dasar penghitungan BOPTN


Xi adalah total mahasiswa yang aktif dari semester 1-8 di setiap program studi
Si adalah biaya kuliah tunggal di setiap program studi
Y adalah alokasi rutin pemerintah
Sumber: Umar, 2016

Sebelum diimplementasikan UKT melalui proses formulasi yang cukup rumit. BKT
yang menjadi standar satuan UKT disusun dengan menghitung komponen biaya langsung dan
tidak langsung. Dikti mempertimbangkan keragaman program studi dalam menghitung biaya
langsung. Hal ini disadari beban operasional antar program studi sangatlah berbeda-beda.
Dikti juga memasukkan indeks kemahalan wilayah dan indeks mutu PTN untuk membuat BKT
lebih sesuai dengan konteks PTN masing-masing.

Sekilas Sejarah UKT Unhas

Sejak tahun 2013 Kemendikbud mengeluarkan peraturan yang tertuang dalam


Permendikbud Nomor 55 Tahun 2013 Tentang BKT dan UKT Pada PTN Di Lingkungan
Kemendikbud. Sebelum ditetapkan UKT maka PTN membebankan biaya pendidikan yang
bervariasi dan berbagai jenis pada masing-masing PTN dan hal ini dinilai oleh Mendikbud
sangat memberatkan bagi mahasiswa/orang tua mahasiswa. Jenis biaya yang dibayar oleh
mahasiswa saat sebelum UKT antara lain: Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP), Dana
Pengembangan Program (DPP), Dana Pembinaan Kemahasiswaan (DPK), Biaya Satuan Kredit
Semester (SKS), biaya penerimaan/sumbangan awal, biaya registrasi mahasiswa, biaya lain-
lain. Jenis biaya tersebut diganti dengan UKT. (Presentasi Struktur Organisasi, Sumber Daya,
Keuangan, dan Uang Kuliah Tunggal Unhas 2015)

Sistem ini diterapkan bagi mahasiswa baru S1 Reguler Tahun Akademik 2013/2014.
Tujuannya untuk meringankan biaya kuliah mahasiswa. Berdasarkan bundel Identitas Edisi
Akhir Juli 2013, pembagian kelompok untuk menentukan besarnya biaya UKT yang akan
dibebankan pada masing-masing mahasiswa, pada umumnya PTN lain menetapkan dengan
menyesuaikan terhadap penghasilan orang tua mahasiswa. Namun, Unhas memilih jalan lain.
Pengelompokan dilihat dari jalur masuk mahasiswa. Pengelompokkan UKT dibagi menjadi
lima kelompok. Kelompok satu dan dua untuk mahasiswa yang lulus jalur undangan dan
bebas tes. Kelompok tiga dan empat bagi mahasiswa yang diterima melalui Jalur Non Subsidi
(JNS), yakni mahasiswa yang juga adalah anak dosen atau tenaga kependidikan Unhas.
Sedangkan kelompok lima untuk mahasiswa asing, yang saat itu hanya terdapat pada
Fakultas Kedokteran.

Dengan sistem UKT ini maka berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Nomor 55 tahun 2013 pasal 5, berbunyi PTN tidak boleh memungut uang

11
pangkal dan pungutan lain. Hal ini menandakan, UKT telah meliputi biaya pendaftaran, uang
semester, biaya penerimaan mahasiswa baru, praktikum, kuliah kerja nyata, dan uang
wisuda. Setahun kemudian, pengelompokan UKT mengalami perubahan secara menyeluruh.
Terbitnya SK Rektor Unhas Nomor 20999/UN4/KU.19/2014 Tentang Pengenaan Uang Kuliah
Tunggal Bagi Mahasiswa Angkatan Tahun 2014 membuat pengelompokan berdasar atas
penghasilan orang tua. Dalam menetukan golongan UKT pada mahasiswa, dilakukan
verifikasi dan wawancara saat proses penerimaan mahasiswa baru. Berkas yang disiapkan
mahasiswa berupa slip gaji orang tua, serta slip pembayaran rekening listrik dan air. Kepala
Biro Keuangan Dr Mukmin SE MAK dalam bundel Edisi Akhir Juli 2014, menerangkan bahwa
UKT tetap berdasarkan slip gaji orang tua, meski orang tua si mahasiswa akan pensiun.
(Identitas Unhas)

Sistem UKT telah memasuki tahun keenam dalam penerapannya. Untuk tahun 2018,
pengelompokkan UKT dibagi menjadi tujuh golongan. Selain itu, diterapkan juga Dana
Pengembangan Pendidikan (DPP) bagi mahasiswa baru yang masuk melalui jalur Mandiri.
Jalur Mandiri ini terdiri atas Peningkatan Prestasi Seni dan Keolahragan, Jalur Non Subsidi,
Kelas Internasional, dan Prodi Mandarin. Besar pembayaran DPP tergantung pada masing-
masing jurusan. Nilainya pun tak sedikit, puluhan juta rupiah hingga ada yang ratusan juta.
Mahasiswa Jalur Non Subsidi (JNS) harus mempersiapkan uang yang besar untuk bisa kuliah
di Unhas. (Identitas Unhas)

12
BAB II

GAMBARAN UMUM PERMASALAHAN

1. SUDAH ADILKAH UKT KITA?

Penentuan UKT Unhas

Besaran setiap kelompok UKT memiliki tarif yang berbeda-beda. Dilansir dari PK
Identitas Unhas menyebutkan terdapat penetapan UKT bagi setiap kelompok. Berdasarkan
SK Rektor Unhas nomor 37451/UN.4.1/KU.21/2017, UKT kelompok satu diperuntukkan bagi
mahasiswa dengan latar belakang ekonomi yang kurang mampu, dibuktikan dengan
kepemilikan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) dari pemerintah. Kelompok dua diperuntukkan
bagi mahasiswa dengan latar belakang ekonomi yang kurang mampu, dengan kriteria
penghasilan orang tua/wali mahasiswa kurang dari 1,5 juta rupiah per bulan. Kelompok tiga
diperuntukkan bagi mahasiswa baru dengan penghasilan orang tua/wali mahasiswa lebih dari
1,5 juta rupiah per bulan. Sedangkan kelompok empat diperuntukkan bagi mahasiswa baru
penerima beasiswa bidikmisi. Kelompok lima diperuntukkan bagi mahasiswa baru dengan
penghasilan orang tua/wali mahasiswa lebih dari 3 juta rupiah sampai dengan 7,5 juta rupiah
per bulan. Kelompok enam, diperuntukkan bagi mahasiswa baru dengan penghasilan orang
tua/wali mahasiswa lebih dari 7,5 juta rupiah sampai dengan 15 juta rupiah per bulan.
Sedangkan untuk kelompok tujuh diperuntukkan bagi mahasiswa baru dengan penghasilan
orang tua/wali mahasiswa lebih dari 15 juta rupiah per bulan.

Namun penggolongan UKT bukan hanya ditentukan berdasarkan penghasilan orang


tua tersebut, sebab selanjutnya akan melalui tahap verifikasi lagi oleh pihak rektorat. Proses
verifikasi tersebut dimulai dari calon mahasiswa baru dimintai untuk melengkapi beberapa
berkas seperti diantaranya surat penghasilan orang tua, foto rumah, bukti pembayaran
listrik, dan beberapa berkas lainnya. Berkas tersebut nantinya menjadi pertimbangan oleh
panitia dalam menentukan besaran UKT yang ditanggung oleh mahasiswa. Jadi data antara
penghasilan orang tua disesuaikan lagi dengan berkas yang akan diverifikasi oleh panitia
penentu UKT. Bisa saja dalam kasus tertentu, misalnya data mahasiswa mengatakan
penghasilan orang tua 2 juta maka dia masukkan dalam UKT 3, tapi ternyata foto rumahnya
bertingkat, fasilitas dan mobilnya ada. Penentuan UKT bisa saja berubah dan bahkan bisa
ditetapkan UKT lebih tinggi. Setelah menentukan UKT calon mahasiswa baru, panitia juga
melakukan verifikasi faktual dengan mengunjungi langsung rumah-rumah calon mahasiswa
baru tersebut. Kunjungan ini dilakukan bagi mahasiswa yang menawar untuk diturunkan nilai
UKT-nya. Jika ada data yang meragukan dan tidak valid, maka akan dilakukan kunjungan
langsung oleh pihak rektorat. (Identitas Unhas)

13
Penentuan Kebijakan UKT: Belum Melibatkan Peran Mahasiswa

Penentuan kebijakan UKT di Unhas sejauh ini bisa dibilang hanya sepihak ditentukan
oleh pihak rektorat dan belum melibatkan peran mahasiswa dalam perumusan kebijakannya.
Akibatnya persoalan-persoalan mahasiswa terkait UKT tidak tersampaikan dengan baik
kepada pihak rektorat. Dalam proses penentuan kebijakan, perguruan tinggi memperhatikan
peran serta Majelis Wali Amanat (MWA) sebagai organ Unhas yang menetapkan,
memberikan pertimbangan pelaksanaan kebijakan umum, dan melaksanakan pengawasan.
Dalam Statuta Unhas pasal 20 disebutkan bahwa anggota MWA berjumlah 19 orang dan
salah satunya terdiri Unsur Mahasiswa (MWA UM) yang diwakili oleh ketua Senat Mahasiswa
Unhas atau sebutan lain sebagai wakil Mahasiswa. Namun dikarena dalam beberapa tahun
terakhir lembaga kemahasiswaan tingkat universitas tidak aktif/vakum dan juga belum
adanya organisasi yang menjadi wadah perwakilan mahasiswa sehingga tidak ada unsur
mahasiswa dalam organ MWA tersebut.

Sejak aktifnya kembali lembaga kemahasiswaan (BEM Unhas) tahun 2019, kini telah
ada wakil mahasiswa (MWA UM) sehingga melengkapi total 19 anggota MWA Unhas.
Hadirnya wakil mahasiswa dalam MWA sangat diharapkan untuk mampu menjadi
‘penyambung lidah’ mahasiswa dalam menyampaikan persoalan-persoalan yang sedang
dialami dan kemudian menyampaikan aspirasi tersebut ke pihak rektorat Unhas. Namun
MWA UM ini tentunya belum bisa berjalan dengan optimal karena baru terpilih di bulan
Agustus 2019, sedangkan sebelum-sebelumnya telah ada banyak kebijakan yang telah dibuat
oleh kampus namun belum melibatkan peran dan aspirasi dari mahasiswa (MWA UM),
termasuk persoalan pembiayaan pendidikan seperti UKT, DPP, dan sebagainya. Di beberapa
kampus telah melibatkan peran serta mahasiswa dalam penentuan kebijakan UKT ini, entah
itu dari perwakilan BEM, Forum Advokasi Mahasiswa, ataupun melalui perwakilan mahasiswa
melalui MWA UM, dan sebagainya.

Permasalahan-permasalahan terkait UKT yang dialami oleh mahasiswa Unhas adalah


tanggung jawab dari pihak rektorat, hanya saja selama ini ada banyak persoalan-persoalan
yang dihadapi mahasiswa seperti yang dijelaskan dalam poin-poin dalam kajian ini, namun
hal tersebut tidak kunjung diketahui oleh pihak rektorat karena memang tidak melibatkan
mahasiswa dalam penentuan kebijakannya.

UKT Jalur Mandiri: Dikenai UKT Tertinggi dan Dana Pengembangan Program (DPP)

Penerimaan Mahasiswa Jalur Non-Subsidi adalah salah satu jalur seleksi mandiri yang
diselenggarakan oleh Unhas untuk menjaring calon mahasiswa yang mempunyai prestasi
akademik di samping kemampuan finansial. Penilaian terhadap peserta jalur Non-Subsidi
dilakukan berdasarkan skor nilai UTBK/SBMPTN, nilai tes Psikologi dan tes wawancara.
Sebelum mendaftar, calon mahasiswa yang mendaftar pada jalur mandiri ini dikenai biaya
registrasi untuk mengikuti seleksi sebesar Rp. 750.000,-. (Website PMB Unhas)

Jika pada umumnya PTN menetapkan UKT berdasarkan kemampuan ekonomi


mahasiswa untuk berbagai jalur seleksi masuk termasuk jalur mandiri, hal tersebut tidak

14
berlaku bagi penetapan UKT jalur mandiri Unhas. Setelah calon mahasiswa dinyatakan lulus
melalui jalur mandiri akan dikenai biaya pendidikan kelompok UKT tertinggi (UKT-7) per
semester tanpa melalui proses penentuan dan verifikasi seperti mahasiswa yang lulus melalui
jalur seleksi nasional (SNMPTN dan SBMPTN). Tidak cukup sampai disitu, masih ada biaya lagi
yang harus dibayar setelah dinyatakan lulus yaitu Dana Pengembangan Program (DPP) yang
jumlahnya puluhan hingga ratusan juta rupiah.

Sedangkan dalam kebijakan terkait UKT Unhas melalui SK nomor


37451/UN.4.1/KU.21/2017, poin kedua tertulis “Pengenaan UKT bagi mahasiswa baru
angkatan 2018 dilakukan secara partisipatif, sehingga mahasiswa, orang tua mahasiswa (ayah
dan ibu) atau pihak lain yang membiayai memilih kelompok UKT sesuai kemampuan ekonomi
masing-masing yang dibuktikan dengan surat keterangan dari pihak yang berkompeten, dan
keterangan lain yang diperlukan serta menandatangani Surat Pernyataan di atas kertas
bermaterai”.

Pemerintah melalui Permenristekdikti No. 39 Tahun 2017 Tentang BKT dan UKT
menetapkan besaran biaya yang ditanggung setiap mahasiswa per semester berdasarkan
kemampuan ekonominya. Menristekdikti, Mohamad Nasir memberikan arahan kepada
Rektor/Pimpinan Perguruan Tinggi bahwa “Kalau ada anak miskin masuk melalui jalur
mandiri, tidak boleh ditarik uang pangkal dan bisa uang kuliah tunggal paling rendah atau
bisa mendapat beasiswa Bidikmisi”, ujar Nasir.

Ironisnya, pada akhir Maret 2019, Kemenristekdikti sempat merilis 10 PTN dengan
penerima beasiswa bidikmisi terbanyak, dan delapan dari 10 PTN tersebut bukan berasal dari
PTN-BH. Bidikmisi adalah beasiswa penuh untuk siswa miskin. Sekarang yang perlu disorot,
apa semua kampus dari PTN-BH menerima bidikmisi melalui jalur mandiri? Sebab saat kuota
SNMPTN dipangkas, otomatis persaingan bidikmisi melalui jalur SNMPTN semakin ketat.
Meskipun ada PTN yang menerima bidikmisi lewat jalur mandiri, tapi informasi tersebut
kebanyakan belum sampai ke calon mahasiswa. Beasiswa bidikmisi ini tidak berlaku bagi jalur
mandiri di Unhas. Jangankan untuk bisa mendapatkan bidikmisi, penetapan UKT jalur mandiri
saja bahkan langsung dikenai UKT tertinggi tanpa melalui proses verifikasi, belum lagi
ditambah biaya DPP yang sangat mahal.

2. DANA PENGEMBANGAN PROGRAM (DPP): APA URGENSINYA?

Sekilas Tentang DPP

Hakikatnya sistem UKT diharapkan mampu menjadi solusi bagi permasalahan


ekonomi dari para calon mahasiswa yang akan menempuh pendidikan di PTN, hal ini
diwujudkan dengan meniadakan uang pangkal yang selama ini menjadi momok besar bagi
para calon mahasiswa. Sistem pembiayaan UKT meleburkan uang pangkal yang perlu
dibayarkan oleh mahasiswa dengan seluruh biaya lain yang dibebankan pada mahasiswa
menjadi sebuah biaya tunggal sekali bayar di awal setiap semester sehingga diharapkan
orang tua calon mahasiswa dapat membayar biaya masuk kuliah dengan jauh lebih murah.

15
Sejak tahun 2018 lalu Unhas telah menerapkan Dana Pengembangan Program (DPP)
bagi calon mahasiswa baru khusus yang mendaftar pada jalur mandiri. DPP ini adalah biaya
yang nantinya dikenakan bagi mahasiswa yang telah dinyatakan lulus. Konsep DPP ini kurang
lebih sama seperti dengan konsep uang pangkal, hanya saja menggunakan istilah yang
berbeda. Ketetapan ini telah mulai berlaku untuk mahasiswa baru tahun 2018, kemudian
berlanjut ke tahun selanjutnya (2019) dan jika melihat informasi dari website PMB Unhas
2020 tertera kolom ‘Dana Pengembangan’, artinya ketetapan ini masih akan berlanjut hingga
tahun ini. Kebijakan ini seakan menjadi momok bagi calon mahasiswa baru. Bagaimana tidak,
DPP yang ditentukan Unhas ini memiliki besaran rupiah yang terbilang tinggi, puluhan hingga
ratusan juta rupiah. DPP yang ditetapkan Unhas berbeda-beda pada setiap program studi.
Dari data PMB Unhas 2020 merincikan DPP untuk kelompok sosial humaniora berada pada
kisaran 30-50 juta, kelompok eksakta 40-65 juta. Pendidikan Dokter Gigi dan Farmasi sebesar
150 juta, bahkan Prodi Pendidikan Dokter mencapai 250 juta.

DPP: Butuh Transparansi

Besaran DPP yang ditetapkan tersebut menuai banyak komentar dari para
mahasiswa. Jumlah ini dinilai terlalu besar dan memberatkan bagi mahasiswa baru
kedepannya. Penetapan DPP ini juga dianggap tiba-tiba. DPP ini belum secara jelas
disampaikan informasi dan transparansinya, pihak rektorat hanya mengeluarkan nominal
jumlah yang harus dibayar oleh calon mahasiswa baru yang tertera pada website PMB Unhas.
Berbagai spekulasi kemudian muncul di kalangan mahasiswa, apakah kebijakan ini karena
persoalan dana yang dialami oleh Unhas atau karena status PTN-BH sehingga dengan bebas
menetapkan DPP bagi mahasiswa baru meski itu bersifat memberatkan.

Hal tersebut juga ditanggapi langsung oleh calon mahasiswa baru (camaba)
khususnya yang mendaftar pada jalur mandiri. Dilansir dari media penerbitan kampus
Identitas Unhas menyebutkan bahwa DPP bagi mahasiswa baru membuat calon mahasiswa
yang sebelumnya ingin mendaftar harus mengurungkan niatnya dan memilih untuk
mendaftar di kampus lain lantaran tidak ingin membebani orang tuanya membayar DPP
senilai puluhan hingga ratusan juta rupiah. Selain mengurungkan niat untuk mendaftar di
Unhas, ada juga beberapa camaba yang memilih untuk menunda kuliahnya, kondisi ekonomi
orang tua yang tidak mendukung sehingga mereka harus rela menunggu tes SBMPTN tahun
depan lagi dengan alasan yang senada dengan sebelumnya, tak ingin membebani orang tua.
Itu adalah sebagian kecil persoalan dan contoh kasus yang sempat diwawancarai dan
diketahui, selain itu mungkin saja masih ada sebagian besar lagi yang belum sempat
diwawancarai dan tidak kita ketahui. Pihak Unhas melalui Kepala Humas, Ishaq Rahman
menyampaikan bahwa mengenai jumlahnya besar atau kecil, hal itu bersifat relatif. Lebih
lanjut dia menyampaikan bahwa anggaran DPP ini akan dialokasikan untuk pendidikan dan
pengajaran. Selanjutnya, untuk para Camaba yang memiliki kemampuan akademik baik
namun terkendala didana, ada peluang yang lebih luas untuk diterima melalui jalur SBMPTN,
mengingat daya tampung untuk jalur ini dinaikkan, yang sebelumnya 35% menjadi 45%.
Sedangkan untuk JNS yang sebelumnya 30% diturunkan menjadi 20%. “Jalur mandiri ini lebih

16
dititikberatkan untuk calon mahasiswa yang selain memiliki kemampuan akademik, juga
mempunyai kemampuan ekonomi yang memadai,” jelas Ishaq. (Identitas Unhas, 10/6/18)

Kemudian untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dan respon mahasiswa terkait


DPP, pihak Identitas waktu itu mencoba menghubungi Wakil Rektor II Bidang Perencanaan,
Keuangan dan Infrastruktur, Prof Sumbangan Baja. Namun, hingga saat itu, ia belum
memberi tanggapan selain mengarahkan pihak Identitas ke kepala Humas, Ishaq Rahman.
Saat diwawancarai terkait alasan diterapkannya DPP, Ishaq Rahman hanya menjelaskan jika
tahun ini (2018) Unhas menerima mahasiswa baru dengan kuota yang lebih tinggi. Jumlah
mahasiswa baru dari jalur SNMPTN dan SBMPTN sejumlah 5.661 orang, dan telah memenuhi
kuota. Sehingga DPP merupakan solusi atas banyaknya peminat Unhas. Jumlah mahasiswa
baru yang diterima Unhas tahun ini (2018), sebanyak 20% jalur mandiri (JNS) atau 1.415
orang. 35% jalur SNMPTN (2.477), dan 45% SBMPTN (3.184). Menurut Ishaq, dari data
tersebut berarti Unhas membuka peluang banyak untuk mahasiswa kurang mampu, karena
kuota SBMPTN ditambah. “Tapi karena peminat Unhas yang makin banyak dan kemampuan
Unhas hanya sampai di situ, sehingga ditawarkanlah solusi yaitu mampu secara akademik
dan finansial, makanya jalur JNS ini dibuka, ditambah dana pengembangan ini,” terang Ishaq.
Hingga berita ini diturunkan, transparansi DPP belum juga ada (Identitas, 14/8/18).

DPP Tahun 2020: Mengalami Kenaikan

Berdasarkan SK Rektor Nomor 12/UN4.1/2019, DPP setiap fakultas sebanyak sepuluh


kali lipat dari UKT tujuh seperti tahun lalu. Namun tahun ini, lima diantaranya mengalami
kenaikan yaitu, Fakultas Pendidikan Kedokteran 250 juta, Pendidikan Kedokteran Gigi 150
juta, Teknik Pertambangan 70 juta, Teknik Informatika 70 juta dan Farmasi 150 juta. Direktur
Komunikasi Unhas, Ir Suharman Hamzah PhD mengatakan, DPP setiap tahunnya memang
bisa saja berubah tergantung dari kebutuhan tiap program studi. “DPP tahun ini memang
beda dengan tahun lalu, tapi itu semua ada kajiannya,” ungkapnya. Kasubdit Humas dan
Informasi Unhas, Ishaq Rahman menambahkan, rujukan DPP adalah Biaya Kuliah Tunggal
(BKT) dengan beberapa variabel yang telah dipertimbangkan. BKT adalah biaya yang di
butuhkan mahasiswa selama mengikuti proses perkuliahan per semester. “Kita sering
menganggap bahwa mahasiswa dengan UKT tertinggi itu dieksploitasi oleh Unhas padahal
faktanya, UKT tujuh sekali pun itu masih di bawah dari BKT,” ungkap Ishaq. Lebih lanjut, Ishaq
mengatakan bahwa DPP diusulkan oleh masing-masing fakultas kemudian ditetapkan melalui
SK Rektor. (Identitas Unhas, 17/09/19).

Bukannya ditiadakan atau berkurang, jumlah biaya DPP ini justru mengalami
kenaikan dibanding DPP tahun sebelumnya. Cukup menarik apa yang disampaikan oleh pihak
rektorat bahwa penetapan dan kenaikan DPP ini yang bisa saja berubah tergantung dari
kebutuhan program studinya dan hal tersebut ‘ada kajiannya’. Namun hasil kajiannya itu
tentu dipertanyakan seperti apa? Jangankan kajian tentang kenaikan DPP, transparansi dari
penetapan DPP saja yang sering dipertanyakan dan dimintai keterangan hanya dijawab
seadanya tanpa ada transparansinya hingga hari ini. Lantas, apakah kita akan langsung
menerima?

17
DPP: Apa Urgensinya?

Dalam pengelolaannya Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri


lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan Tridharma (pasal 62, ayat 1 UU No. 12 Tahun
2012). Otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip: a.
akuntabilitas; b. transparansi; c. nirlaba; d. penjaminan mutu; dan e. efektivitas dan efisiensi
(Pasal 63). Prinsip akuntabilitas (huruf a) adalah kemampuan dan komitmen untuk
mempertanggungjawabkan semua kegiatan yang dijalankan Perguruan Tinggi kepada semua
pemangku kepentingan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Prinsip
transparansi (huruf b), yaitu keterbukaan dan kemampuan menyajikan informasi yang
relevan secara tepat dan akurat kepada pemangku kepentingan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi tersebut meliputi bidang akademik dan


bidang nonakademik. Otonomi pengelolaan di bidang akademik meliputi penetapan norma
dan kebijakan operasional serta pelaksanaan Tridharma. Otonomi pengelolaan di bidang
nonakademik meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan:
organisasi, keuangan, kemahasiswaan, ketenagaan, dan sarana prasarana (Pasal 64). Dari
penjelasan tersebut, kampus memiliki tanggungjawab atas transparansi. Namun prinsip-
prinsip tersebut belum berjalan dengan optimal, khususnya dalam hal keterbukaan informasi
terkait transparansi penetapan DPP ini yang masih belum ada, khususnya dalam hal
nominalnya yang sangat mahal.

Bentuk Dan Mekanisme Pendanaan PTN BH

Pada UU PT No. 12 Tahun 2012 Pasal 89 Ayat 3 disebutkan bahwa ketentuan


mengenai bentuk dan mekanisme pendanaan pada PTN BH diatur dengan Peraturan
Pemerintah. Maka hal tersebut kemudian diatur dalam PP No. 58 Tahun 2013, namun PP
tersebut tidak sesuai dengan pelaksanaan otonomi PTN BH yang memerlukan fleksibilitas dan
akuntabilitas pendanaan dalam pelaksanaannya sehingga terbit PP No. 26 Tahun 2015.
Dalam PP ini ditegaskan, bahwa pendanaan PTN BH dapat bersumber dari: Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Selain APBN (Pasal 2). Pendanaan yang
bersumber dari APBN, diberikan dalam bentuk: a. Bantuan Pendanaan PTN BH; dan/atau b.
Bentuk lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 3).

Untuk bantuan pendanaan PTN BH sebagaimana dimaksud (Pasal 3 Huruf a),


dialokasikan dalam APBN setiap tahun anggaran pada kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintah di bidang Pendidikan Tinggi, yang merupakan bagian dari 20% alokasi
anggaran pendidikan, yang merupakan penerimaan PTN BH dan dikelola secara otonom dan
bukan merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak/PNBP (Pasal 4).

Pada pasal 5 dan 6 dijelaskan bahwa bantuan pendanaan PTN-BH digunakan untuk:
a. Biaya operasional (penyelenggaraan pendidikan, penelitian, pengabdian masyarakat, dan

18
pengelolaan manajemen); b. Biaya dosen (bantuan biaya untuk dosen non PNS yang meliputi:
gaji dan tunjangan, tunjangan jabatan akademik, tunjangan profesi, tunjangan kehormatan,
uang makan, honorarium); c. Biaya tenaga kependidikan (bantuan biaya tenaga kependidikan
non PNS, meliputi: gaji dan tunjangan, uang makan, dan tunjangan kinerja); d. Biaya investasi
(gedung dan bangunan; jalan dan jembatan; irigasi dan jaringan; peralatan dan mesin; aset
tetap lainnya; aset tidak berwujud; dan/atau aset lainnya); dan e. Biaya pengembangan
(pengembangan program, keilmuan, pengembangan lainnya yang disebutkan dalam rencana
strategis PTN BH, pengembangan lainnya yang disebutkan dalam rencana strategis PTN BH).
Kemudian pada pasal 7 disebutkan Pendanaan PTN BH yang bersumber dari APBN yang
diberikan dalam bentuk lain (sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b) berupa pinjaman
yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

DPP: Sebuah Jalan Pintas?

Terkait alasan bahwa anggaran DPP ini nantinya akan dialokasikan untuk
penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran seperti yang disampaikan oleh pihak rektorat
justru kembali menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru. Apakah biaya penyelenggaraan
tersebut harus dititikberatkan dan dibebankan pada mahasiswa dalam bentuk pembayaran
yang diberikannya kepada kampus? Padahal dalam penyelenggaraan tersebut bukan hanya
dapat berasal dari biaya pendidikan yang dibayarkan oleh mahasiswa saja. Terlebih lagi
Unhas yang saat ini telah berstatus ‘PTN-BH’ sehingga memiliki kewenangan lebih untuk
mengatur pengelolaannya, termasuk dalam hal biaya pendidikan.

Pada bentuk dan mekanisme pendanaan PTN BH tersebut telah dijelaskan bahwa
beberapa peruntukan bantuan pendanaan dari APBN untuk PTN-BH, salah satunya adalah
untuk biaya penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran, seperti alasan penetapan DPP
yang disampaikan oleh pihak rektorat Unhas. Biaya penyelenggaraan pendidikan dan
pengajaran itu juga dapat berasal dari bantuan Pendanaan PTN BH yang bersumber dari
APBN yang telah dibahas lebih rinci pada bentuk dan mekanisme pendanaan PTN BH dalam
PP No. 26 Tahun 2015 Pasal 2 sampai pasal 6.

Disebutkan bahwa pendanaan PTN BH dapat bersumber dari: APBN yang diberikan
dalam bentuk bantuan Pendanaan PTN BH. Bantuan Pendanaan PTN BH dialokasikan dalam
APBN setiap tahun anggaran pada kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang Pendidikan Tinggi. Bantuan Pendanaan PTN BH digunakan untuk
mendanai: biaya operasional (penyelenggaraan pendidikan, penelitian, pengabdian kepada
masyarakat, dan pengelolaan manajemen), biaya dosen, biaya tenaga kependidikan, biaya
investasi, dan biaya pengembangan.

Kemudian terbit PP baru yaitu PP Nomor 8 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas PP
No. 26 Tahun 2015. Pada Pasal 11 disebutkan bahwa Pendanaan PTN BH yang bersumber
dari selain APBN bersumber dari: a. masyarakat; b. biaya pendidikan; c. pengelolaan dana
abadi; d. usaha PTN BH; e. kerja sama tridharma Perguruan Tinggi; f. pengelolaan kekayaan
PTN BH; g. anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan/atau h. pinjaman (Ayat 1). Usaha

19
PTN BH sebagaimana dimaksud pada huruf d (usaha PTN BH) merupakan layanan penunjang
tridharma Perguruan Tinggi. Layanan penunjang tridharma Perguruan Tinggi merupakan
implementasi kegiatan dari produk pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat untuk tujuan peningkatan mutu dan pelayanan PTN BH yang juga sekaligus untuk
memperoleh tambahan pendapatan PTN BH (Ayat 2). Sumber Pendanaan PTN BH
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut merupakan penerimaan PTN BH yang dikelola
secara otonom dan bukan merupakan penerimaan negara bukan pajak (Ayat 3).

Jadi selain biaya pendidikan yang dibayarkan oleh mahasiswa, ada banyak opsi yang
bisa dilakukan kampus, terlebih lagi yang saat ini Unhas yang kini bersatus PTN BH. Selain
dari biaya pendidikan, dapat juga bersumber dari: masyarakat, pengelolaan dana abadi;
usaha PTN BH, kerja sama tridharma Perguruan Tinggi, pengelolaan kekayaan PTN BH, APBD,
dan/atau pinjaman.

Lalu apakah sumber pendanaan yang berasal dari APBN itu tidak cukup atau sumber
pendanaan selain APBN ini tidak mampu dikelola Unhas dengan optimal sehingga jalan
pintasnya adalah dengan menambah biaya DPP bagi mahasiswa jalur mandiri dan juga
memberinya UKT tertinggi bagi mahasiswanya tanpa melalui proses verifikasi?

Pendanaan PTN-BH Selain Biaya Pendidikan

Dilansir dari laman Kemenristekdikti, saat ini ada 11 status PTN-BH, dari yang
sebelumnya berstatus Badan Layanan Umum (BLU). Kampus yang berstatus PTN-BH
mendapatkan keleluasaan dalam pengelolaan aspek akademik dan non-akademik, termasuk
dalam pendanaan. Contohnya, PTN yang sudah berstatus PTN-BH diperbolehkan mempunyai
dana abadi atau endowment. Dana abadi bisa menjadi investasi yang dikelola supaya
keuntungannya bisa digunakan untuk kepentingan kampus. PTN yang mempunyai
endowment bisa meningkatkan infrastruktur dan sarana prasarananya dengan mudah.
Otonomi dalam pengelolaan aset ini bisa saja menjadikan PTN lebih peka dalam melihat
aspek keuntungan. Harapan ke depannya mungkin secara perlahan negara bisa menurunkan
jumlah kucuran dana operasional ke PTN-BH. Karena jika PTN yang masih berstatus BLU atau
satuan kerja (satker) setiap tahunnya mendapat Bantuan Operasional Perguruan Tinggi
Negeri (BOPTN), maka PTN-BH juga mendapatkan Bantuan Pendanaan PTN-BH.

Dilansir dari Identitas Unhas, Dr Mursalim Nohong MSi, dosen Program Studi
Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), menyarankan bahwa Unhas sebaiknya
mendapatkan dana dari sumber lain walaupun terbilang cukup lambat. “Unhas lambat
memiliki bisnis center begitu juga hotel, makanya untuk menuju ke WCU (red World Class
University), Unhas tidak punya pilihan lain, selain menerapkan DPP ini,” katanya saat
diwawancarai Identitas Unhas. Tak hanya itu, Prof Dr Drg Andi Zulkifli M Kes, Dekan Fakultas
Kesehatan Masyarakat periode sebelumnya juga mengatakan kalau petinggi-petinggi Unhas
saat ini tidak gencar dalam mencari duit, sehingga cara pintasnya dengan mendayagunakan
mahasiswa. “Tentu sebenarnya itu tidak baik, karena ketika itu yang menjadi kekuatan, maka
nuansa akademik akan menjadi lemah,” katanya. Ia juga menyayangkan Unhas yang lambat

20
dalam mengembangkan bisnis dan memanfaatkan aset-aset Unhas. “Seperti misalnya Aula
dan GOR itu bisa didesain lebih bagus, lalu disewakan ke masyarakat yang mau gunakan
untuk acara pernikahan, atau misalnya Unhas memanfaatkan danau untuk buka ruang
rekreasi dengan menyewakan sampan-sampan,” tandasnya. (Identitas, 24/08/18)

PTN Dilarang Menarik Uang Pangkal Dari Mahasiswa Baru Dari Keluarga Tidak Mampu

Pemerintah melalui Permenristekdikti No. 39 Tahun 2017 Tentang BKT dan UKT
menetapkan besaran biaya yang ditanggung setiap mahasiswa per semester berdasarkan
kemampuan ekonominya. Menristekdikti menyampaikan bahwa PTN dilarang menarik uang
pangkal terhadap calon mahasiswa baru dari keluarga tidak mampu yang diterima melalui
jalur mandiri. Pemberlakuan UKT pun dikenakan pada golongan paling rendah. Penegasan
tersebut sekaligus menjawab adanya keluhan masyarakat terhadap tingginya pemberlakuan
uang pangkal yang dikenakan masing-masing PTN kepada orang tua yang anaknya diterima
melalui jalur seleksi mandiri. Kisaran uang pangkal yang diwajibkan beberapa PTN mencapai
kisaran puluhan hingga ratusan juta rupiah. “Kalau ada anak miskin masuk melalui jalur
mandiri, tidak boleh ditarik uang pangkal dan bisa uang kuliah tunggal paling rendah atau
bisa mendapat beasiswa Bidikmisi” ujar Menristekdikti.

Untuk memperkuat Permenristekdikti No. 39 Tahun 2017 tersebut, melalui Surat


Edaran Menristekdikti Nomor B/416/M/PR.03.04/2019 mengatur pungutan uang pangkal
atau pungutan lain selain UKT maksimum sebesar 30% dari mahasiswa baru program diploma
dan program sarjana bagi mahasiswa asing, kelas internasional, jalur kerja sama, dan yang
melalui seleksi jalur mandiri. Tapi besaran pungutan tetap memperhatikan kemampuan
ekonomi mahasiswa. Hal tersebut tertuang dalam surat bernomor B/416/M/P4.03.04/2019
Tentang Pungutan Uang Pangkal dan atau Pungutan Lain Selain UKT yang ditujukan kepada
rektor universitas/institut dan direktur politeknik/akademi. Dikutip dari salinan surat edaran
yang dikeluarkan Senin, 15 Juli 2019: “Dalam rangka pelaksanaan Peraturan Menteri Riset,
Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 39 Tahun 2017 tentang Biaya Kuliah Tunggal pada
Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
Pasal 8 ayat (2), saya instruksikan kepada Saudara agar uang pangkal dan/atau pungutan lain
selain UKT yang dikenakan kepada mahasiswa baru pada Program Diploma dan Program
Sarjana yang diterima melalui seleksi jalur mandiri harus dilaksanakan dengan ketentuan
sebagai berikut: (1) Tarif uang pangkal dan atau pungutan lain selain UKT tetap
memperhatikan kemampuan ekonomi mahasiswa, orangtua mahasiswa atau pihak lain yang
membiayai. (2) Bagi mahasiswa yang secara ekonomi tidak mampu, tidak dikenakan uang
pangkal dan atau pungutan lain selain UKT. (3) Tarif uang pangkal dan atau pungutan lain
selain UKT dikenakan berdasarkan prinsip kewajaran, proporsional, dan berkeadilan.”

21
DPP: Apakah Sebuah Solusi?

Opsi pungutan uang pangkal atau pungutan lain selain UKT yang disebutkan dalam
Permenristekdikti No. 39 tahun 2017 (Pasal 8) telah diberlakukan oleh Unhas melalui biaya
DPP. Namun dalam proses penentuan biaya tersebut menggunakan cara penetapan yang
berbeda, biaya DPP ditentukan berdasarkan fakultas/program studi. Hal ini bertentangan
dengan apa yang disampaikan oleh Menristekdikti agar uang pangkal tidak
dikenai/dibebankan bagi mahasiswa kurang mampu dan dikenakan berdasarkan prinsip
kewajaran, proporsional, dan berkeadilan. Seperti yang kita ketahui bahwa hanya seleksi
jalur mandiri ini yang menerapkan biaya DPP tersebut, sehingga mau tidak mau calon
mahasiswa yang mendaftar pada jalur ini harus bersiap untuk membayar ‘biaya lebih’ bernilai
puluhan hingga ratusan juta rupiah jika dinyatakan lulus nantinya.

Hal ini tentu akan berdampak bagi mahasiswa yang kurang mampu, mereka akan
berpikir ulang untuk mendaftar pada jalur seleksi jalur mandiri ini. Akhirnya dengan kata lain,
jalur mandiri ini hanya bagi mereka yang mampu secara ekonomi selain juga mampu secara
akademik tentunya. Hal ini kemudian menjadi dilema bagi anak kurang mampu yang belum
sempat lolos melalui jalur SNMPTN dan SBMPTN namun masih ingin berjuang lagi di jalur
mandiri. Namun disisi lain harus menerima kenyataan bahwa jalur masuk ini dihadapkan
pada biaya tambahan yang tidak sedikit jumlahnya, belum lagi biaya UKT tertinggi yang
secara otomatis ditetapkan bagi mahasiswa yang lulus jalur mandiri ini. Hal ini menjadi
persoalan bagi calon mahasiswa baru, semangat untuk menempuh pendidikan tinggi harus
terhenti karena alasan biaya.

Padahal dalam Undang Undang Dasar 1945 Pasal 31 Ayat (1) disebutkan dengan jelas
bahwa “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Sebagaimana pendidikan
tinggi adalah hak, maka pemerintah dan perguruan tinggi semestinya menjamin
terselenggaranya pendidikan tinggi yang terjangkau dan berkualitas. Hal ini sangat kontras
dengan realita di lapangan, dimana kebijakan yang ada justru bertentangan dengan hal
tersebut.

Apakah penerapan DPP ini menjadi solusi atas banyaknya peminat yang mendaftar
Unhas seperti yang disampaikan oleh pihak rektorat? Mungkin bisa saja menjadi solusi bagi
pihak kampus, namun disisi lain justru memberatkan bagi mahasiswa. Penetapan DPP ini juga
nantinya bisa berdampak pada proses seleksi yang akan cenderung bersifat ekslusif untuk
kalangan tertentu serta memberikan celah terjadinya benturan kepentingan antara ekonomi
dan pendidikan di Unhas. Lalu, sampai kapan penerapan DPP yang memberatkan bagi calon
mahasiswa jalur mandiri ini akan terus diterapkan? Hanya waktu dan ‘kita’ yang mampu
menjawabnya.

22
3. OPSI PENGAJUAN PERMOHONAN KERINGANAN DAN PENYESUAIAN UKT

Pengajuan Permohonan Penyesuaian UKT

Mahasiswa yang orang tuanya mengalami penurunan kemampuan ekonomi bisa


mendapat keringanan pembayaran UKT. Keringanan dalam pembayaran UKT itu telah diatur
dalam Peraturan Menristekdikti Nomor 39 Tahun 2017 tentang UKT. "Keringanan bisa terjadi
jika ada perubahan data yang terjadi pada kemampuan ekonomi orang tua mahasiswa dan
pihak lain yang membiayainya. Misal, orang tua yang membiayai kena PHK (Pemutusan
Hubungan Kerja), jadi tiba-tiba dia tidak bisa membiayai itu bisa ajukan keringanan UKT,"
kata Menristekdikti Mohamad Nasir (26/7/2019). Nasir menerangkan, jika sebelumnya
kampus telah menetapkan UKT dengan nilai tertentu tetapi kemudian di tengah masa kuliah
mahasiswa tidak mampu membayarnya, maka kewajiban itu bisa direvisi.

Implementasi dari apa yang disampaikan oleh Menristekdikti tersebut telah


diterapkan di beberapa kampus, salah satunya di UGM. Kebijakan UKT di UGM yaitu
Penyesuaian Kelompok UKT dan Keringanan Pembayaran UKT. Rektor UGM menetapkan
Surat Keputusan Rektor UGM Nomor 526/UN1.P/SK/HUKOR/2016 Tentang Penyesuaian
Kelompok Uang Kuliah Tunggal Pada Program Sarjana dan Diploma di Lingkungan UGM.
Dalam SK tersebut dijelaskan bahwa penyesuaian kelompok UKT merupakan upaya untuk
menentukan kelompok UKT yang mendasarkan pada kemampuan ekonomi keluarga berupa
penurunan atau kenaikan kelompok UKT. Penyesuaian kelompok UKT dapat dilakukan
apabila: terdapat kekeliruan mahasiswa dalam memasukkan biodata keluarga pada saat
registrasi sebagai mahasiswa baru atau terjadi perubahan kemampuan ekonomi orang
tua/wali mahasiswa yang mempengaruhi daya bayar UKT. Penyesuaian kelompok UKT
sebagai akibat dari perubahan kemampuan ekonomi orang tua/wali secara permanen
berlaku sampai mahasiswa yang bersangkutan menyelesaikan studinya. Penyesuaian
kelompok UKT sebagai akibat dari perubahan kemampuan ekonomi orang tua/wali secara
sementara maka berlaku hanya untuk semester yang bersangkutan. Pengajuan permohonan
penyesuaian kelompok UKT tersebut 1 bulan sebelum periode pembayaran (bagi mahasiswa
angkatan sebelum Tahun Akademik tersebut) atau pada saat periode pembayaran (bagi
mahasiswa angkatan Tahun Akademik tersebut). Penyesuaian kelompok UKT baik permanen
maupun sementara tersebut selanjutnya diajukan kepada Dekan Fakultas. Kemudian
penetapan penyesuaian kelompok UKT hanya dilakukan berdasarkan surat persetujuan
Dekan Fakultas. Mekanisme pengajuan Penyesuaian Kelompok UKT tersebut diatur dalam SK
Rektor tersebut.

Beberapa catatan dalam proses pengajuan tersebut yaitu: Permohonan Penyesuaian


Kelompok UKT ke Fakultas/Sekolah dapat didampingi oleh BEM/LEM/DEMA Fakultas/Sekolah
dengan syarat mengisi Form Informed Consent sesuai format yang disiapkan
Fakultas/Sekolah dan dilengkapi dengan Fotocopy KTM Mahasiswa Pendamping. Bukti
Pendukung adanya kekeliruan dalam memasukkan Biodata atau Bukti Pendukung terjadinya
perubahan Sumber Pembiayaan atau Bukti Pendukung terjadinya Musibah Keluarga dan/atau
syarat Lain yang ditentukan oleh masing-masing Fakultas/Sekolah.

23
Selain penyesuaian UKT tersebut, dalam rangka meringankan beban mahasiswa yang
tidak dapat melakukan pembayaran UKT pada periode pembayaran yang telah ditetapkan
tiap semester, dipandang perlu memberikan pedoman penundaan pembayaran UKT bagi
mahasiswa. Melalui Keputusan Rektor UGM Nomor 527/UN1.P/SK/Hukor/2016 Tentang
Penundaan Pembayaran Uang Kuliah Tunggal Pada Program Sarjana dan Diploma di
Lingkungan UGM. Penundaan Pembayaran UKT merupakan upaya untuk membantu
mahasiswa yang tidak dapat melakukan pembayaran UKT pada periode pembayaran yang
telah ditetapkan tiap semester. Penundaan Pembayaran UKT dapat dilakukan apabila
memenuhi salah satu kriteria berikut: (a) pada saat periode pembayaran mengalami
kehilangan salah satu anggota keluarga yaitu ibu kandung, ayah kandung, atau saudara
kandung, dibuktikan dengan surat kematian; (b) sedang menjalankan tugas negara atau tugas
Universitas Gadjah Mada, dibuktikan dengan surat keterangan tugas dari Rektor/Dekan
Fakultas/Direktur Sekolah; (c) musibah yang dialami oleh sumber pembiayaan, dibuktikan
dengan surat keterangan dari RT/RW dan Kelurahan; (d) bagi Penerima Beasiswa Kemitraan,
surat resmi dari mitra/pemberi beasiswa yang menyatakan bahwa pembayaran akan
dilakukan pada tanggal di luar yang telah ditetapkan; atau (e) keadaan memaksa (force
majeur), misalnya bencana alam.

Keringanan UKT Bagi Mahasiswa (yang Sedang Menyelesaikan Tugas Akhir): 50% dari UKT
yang Terakhir Dibayarkan

Pengajuan keringanan UKT awalnya disampaikan oleh mahasiswa melalui proses


audiensi dengan pihak rektorat UGM yakni biaya pendidikan yang dihitung berdasarkan sisa
SKS bagi mahasiswa akhir yang tinggal menyelesaikan tugas akhir/skripsi. Setelah diskusi dan
penyampaian aspirasi/kajian tersebut rektor UGM kemudian mengeluarkan kebijakan
melalui SK Rektor UGM Nomor 756/UN.1.P/SK/HUKOR/2017. SK ini berisi tentang keringanan
pembayaran UKT bagi mahasiswa program sarjana dan diploma di lingkungan UGM.
Keringanan Pembayaran UKT tersebut diberikan kepada mahasiswa yang diterima mulai
Tahun Akademik 2013/2014. Mahasiswa yang dapat menerima keringanan UKT tersebut
meliputi: mahasiswa program sarjana dan diploma yang aktif akademik pada semester 9
(sembilan) dan 10 (sepuluh), mahasiswa program sarjana program studi pendidikan dokter
yang aktif akademik pada semester 8 (delapan) dan 9 (sembilan). Keringanan pembayaran
UKT diberikan apabila mahasiswa memenuhi kriteria yaitu sedang menyelesaikan
skripsi/tugas akhir; dan/atau mengambil mata kuliah selain skripsi/tugas akhir dan
pendadaran/yudisium maksimal 6 (enam) SKS. Jika mahasiswa memenuhi kriteria tersebut
akan diberi keringanan pembayaran UKT tersebut sebesar 50% dari UKT yang terakhir yang
dibayarkan. Pengajuan permohonan keringanan pembayaran UKT tersebut diajukan kepada
Dekan Fakultas disertai surat pernyataan komitmen menyelesaikan studi paling lama hingga
akhir semester 10 (sepuluh) untuk mahasiswa program sarjana dan diploma IV, paling lama
hingga akhir semester 9 (sembilan) untuk program sarjana program studi pendidikan dokter.
Keringanan pembayaran UKT tersebut hanya dapat diberikan berdasarkan surat persetujuan
dari Dekan Fakultas. Mekanisme pengajuan Penyesuaian Kelompok UKT tersebut diatur
dalam SK Rektor tersebut.

24
Kebijakan Keringanan UKT di Beberapa Kampus

Institut Teknologi Bandung (ITB) memberikan kesempatan kepada mahasiswa yang


kesulitan untuk membayarkan UKT yang telah ditetapkan untuk mengajukan
keringanan/subsidi UKT disesuaikan dengan tingkat kemampuan ekonominya. Penetapan
penurunan UKT yang ditetapkan di ITB, melalui Lembaga Kemahasiswaan, memiliki beberapa
persyaratan yang hampir serupa dengan persyaratan Bidikmisi.

Kampus lain yang memberikan keringanan pembiayaan UKT adalah Institut Pertanian
Bogor (IPB). Kebijakan ini disampaikan melalui pengumuman tertanggal 9 Agustus 2018
untuk mencabut Peraturan Rektor Nomor 14/IT3/PP/2017 tentang pembiayaan UKT model
lama, dan mengeluarkan panduan teknis pembayaran biaya kuliah bagi mahasiswa semester
9. Mahasiswa semester 9 ke atas yang sedang dalam proses menyelesaikan tugas akhir
dikenakan kewajiban membayar UKT sebesar 60% dari pembayaran normalnya dengan
berbagai syarat tertentu.

Kemudian kampus-kampus lain seperti UNJ menetapkan kebijakan 60 % UKT untuk


mahasiswa semester 9 keatas, UNILA telah menetapkan keringanan 25 % bagi mahasiswa
yang telah dinyatakan lulus ujian seminar proposal dan 50 % bagi yang telah dinyatakan lulus
bagi mahasiswa yang telah dinyatakan lulus ujian seminar hasil, dan UB menggunakan sistem
verifikasi dari tiap Program Studi. Kebijakan tersebut ditetapkan setelah proses audiensi
mahasiswa dengan pihak rektorat.

Kebijakan kampus-kampus terkait keringanan UKT tersebut adalah beberapa contoh


upaya pihak rektorat dalam mengakomodasi antara kepentingan kampus dan juga
mahasiswa. Hal ini yang bisa dijadikan contoh bagi kampus-kampus lain, khususnya kampus
yang telah berstatus PTN-BH seperti Unhas. Sebab dari beberapa contoh kasus PTN diatas,
dua diantaranya juga berstatus PTN-BH (UGM dan IPB), dimana terdapat kewenangan lebih
yang diberikan dalam mengelola dan menetapkan setiap kebijakan, termasuk kebijakan yang
berkaitan dengan UKT.

Namun di Unhas sendiri, meski opsi keringanan UKT yang diatur dalam
Permenristekdikti No. 39 Tahun 2017 sudah ada sejak 3 tahun lalu, kebijakan keringanan UKT
belum juga ada hingga saat ini. Dalam tiga tahun terakhir tercatat hanya ada beberapa
kebijakan terkait UKT seperti penambahan kelompok UKT dari 5 kelompok menjadi 7
kelompok melalui SK nomor 37451/UN.4.1/KU.21/2017. Setahun setelahnya, penetapan
dana pengembangan program (DPP) diberlakukan bagi angkatan 2018 hingga saat ini.

25
4. KERINGANAN UKT BAGI MAHASISWA AKHIR YANG SEDANG MENYELESAIKAN TUGAS
AKHIR/SKRIPSI

BKT dihitung berdasarkan biaya langsung (BL) dan biaya tidak langsung (BTL). Biaya
langsung adalah biaya yang terkait langsung dengan penyelenggaraan kurikulum program
studi (kegiatan kelas seperti kuliah tetap tatap muka, kegiatan laboratorium, kegiatan tugas
akhir, bimbingan konseling, kemahasiswaan, orientasi mahasiswa baru, bimbingan akademik,
ekstra kurikuler, dan pengembangan diri). Sedangkan biaya tidak langsung adalah biaya
operasional pengelolaan institusi (institution overhead) yang digunakan untuk mendukung
penyelenggaraan program studi yang secara tidak langsung terkait dengan penyelenggaraan
kegiatan pendidikan (biaya administrasi umum, pengoperasian dan pemeliharaan sarana dan
pra sarana, pengembangan institusi, dan biaya operasional lainnya).

Total biaya yang akan dibayarkan oleh mahasiswa menjadi satu (BKT) lalu dikurangi
dengan bantuan pemerintah (BOPTN) sehingga jadilah UKT. Dengan asumsi BOPTN yang
tidak berubah, UKT pun juga mengikuti BKT yang berasaskan prinsip keaktifan. Umumnya,
kebutuhan mahasiswa yang disebutkan dalam biaya langsung dan tidak langsung tersebut
digunakan oleh mahasiswa aktif mulai dari semester 1-8. Bagi mahasiswa akhir (semester 9
keatas) tidak lagi memanfaatkan fasilitas kampus secara penuh, karena tidak lagi mengikuti
kelas dan fokus menyelesaikan tugas akhir/skripsi, dengan demikian penetapan UKT penuh
kurang cocok bagi mahasiswa semester 9 keatas dan perlu ada keringanan biaya pendidikan
dalam hal ini pembayaran UKT.

5. KEBIJAKAN UKT SELAMA MASA PANDEMI COVID19

Sebagai respon lanjutan terhadap situasi masa darurat COVID-19, Unhas


mengeluarkan beberapa kebijakan. Dalam Surat Edaran Rgektor Universitas Hasanuddin
Nomor 8695/UN4.1/KP.11.03/2020 Tentang Bantuan Penyelenggaraan Pembelajaran dan
Pelayanan di Rumah Sakit Bagi Mahasiswa Unhas Selama Masa Darurat Pandemi di
Lingkungan Universitas Hasanuddin. Surat Edaran tertanggal 13 April 2020 yang berisi 5 poin
itu yang terdiri atas: (1) Bantuan biaya akses internet, (2) Penyediaan Layanan Internet
murah bagi mahasiswa dan dosen, (3) Layanan paket data edukasi gratis untuk akses e-
learning kampus dan aplikasi e-learning lainnya, (4) Fasilitas bagi mahasiswa program profesi
dokter spesialis (PPDS), (5) Pembebasan pembayaraan UKT untuk semester selanjutnya bagi
mahasiswa yang akan ujian skripsi namun belum dapat melaksanakan ujian pada semester
akhir 2019/2020.

Akan tetapi poin 5 masih masih menimbulkan beberapa persoalan. Pertama, tahap
penyelesaian tugas akhir mahasiswa di masing-masing fakultas berbeda-beda. Seperti yang
dialami hampir sebagian fakultas medis diantaranya Fakultas Keperawatan, Fakultas
Kedokteran Gigi dan Fakultas Kesehatan Masyarakat. Dimana mereka hanya melalui 2 tahap
penyelesain ujian skripsi, yaitu seminar proposal dan seminar hasil. Sehingga, penafsirannya
terhadap batasan poin tersebut tentu juga akan berbeda-beda. Kedua, pembebasan UKT
semester berikutnya tidak diberlakukan secara menyeluruh kepada mahasiswa yang dalam

26
tahap penyelesaian tugas akhir/skripsi. Pada poin 5 tersebut disebutkan bahwa “Mahasiswa
yang akan ujian skripsi, ujian akhir profesi, ujian akhir spesialis, ujian tesis dan ujian disertasi
namun belum dapat melaksanakan ujian pada semester akhir 2019/2020, maka dilakukan
ujian pada semester Awal 2020/2021 dengan dibebaskan dari pembayaran UKT”. Itu artinya,
mahasiswa yang masih dalam tahapan sedang mengerjakan penelitian/tugas akhir/skripsi
tidak termasuk dalam pembebasan UKT semester yang dimaksud. Pernyataan ini pula
diperkuat Wakil Rektor 1 Bidang Akademik melalui komunikasi via Whatsapp bersama pihak
BEM Unhas.

Berdasarkan pemaparan Wakil Rektor I Bidang Akademik, bahwa keputusan ini


diambil bersama dengan bidang akademik di masing-masing fakultas, sehingga keputusan
dibuat atas dasar penilaian objektif. Bagi mahasiswa yang berada dalam kondisi ingin dan
sementara melakukan penelitian agar lebih difleksibelkan skripsinya dan bagi yang baru
memulai penelitian, agar pengambilan data penelitian yang tidak menyulitkan. Data yang
diambil sebaiknya data sekunder saja. Sementara untuk mahasiswa yang telah terlanjur
memiliki data dan mendekati tahap finalisasi agar lebih menyesuaikan dengan dosen
pembimbingnya untuk opsi terbaiknya seperti apa.

Hanya saja permasalahannya kemudian adalah proses pencarian data penelitian yang
tidak semudah yang dibayangkan. Tidak sedikit yang harus mencari dan memperoleh data
penelitian dari perusahaan atau tempat lainnya. Seperti di Fakultas Teknik misalnya,
kebanyakan mahasiswa harus memperoleh data penelitiannya di lapangan seperti survey di
jalan atau perusahaan, meski ada juga yang cukup di laboratorium saja. Sementara disisi lain
pemerintah pusat dan daerah telah mengeluarkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala
Besar (PSBB). Beberapa daerah telah mengajukan diri untuk penerapan PSBB tersebut
termasuk Kota Makassar, bahkan telah disetujui oleh Kemenkes melalui Surat Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/257/2020 tertanggal 16
April 2020.

Permasalahan lain, Surat Edaran Rektor Unhas baru dikeluarkan pertengahan April
(tertanggal 13 April 2020) pada saat perkuliahan telah memasuki pertengahan semester. Jika
diestimasikan, sisa masa perkuliahan normal kurang lebih 2 bulan lagi terhitung dari April-
Juni. Jadi, mahasiswa akhir yang baru memulai atau sedang merampungkan penelitiannya
‘terpaksa’ harus menerima kenyataan yang ada dan dituntut dengan batas waktu yang tersisa
agar tidak dikenai lagi biaya UKT pada semester selanjutnya.

Tentunya persoalan-persoalan tersebut tidak boleh dikesampingkan oleh pimpinan


Unhas. Meskipun Wakil Rektor I bidang Akademik dalam rapat online antara pihak rektorat
dengan perwakilan mahasiswa menegaskan bahwa akan memaksimalkan pelayanan
akademik untuk mahasiswa, bahkan perkataan itu didengarkan langsung serta digaransikan
di depan Rektor Unhas. Tapi nampaknya masih banyak ditemui kendala di lapangan. Tidak
hanya mahasiswa yang sedang perkuliahan online saja. Nasib mahasiswa tingkat akhir juga
patut mendapat perhatian. Meskipun dalam penyampaian Wakil Rektor I Bidang Akademik
dalam diskusi tersebut juga telah menghimbau dosen perkuliahan dan juga dosen
pembimbing agar lebih mempermudah mahasiswa dalam pelaksanaan dan pelayanan

27
akademik. Mungkin bukan persoalan ketika harapan sesuai dengan fakta yang terjadi di
lapangan. Tapi bagaimana jika tidak, apakah dari pihak rektorat bersedia memberi
kompensasi bagi mahasiswa yang sedang berjuang melakukan penelitian? Siap mengganti
kerugian yang dialami karena kurang kooperatifnya dosen yang bersangkutan? Selama belum
ada jaminan yang meyakinkan, wajar-wajar saja apabila gelombang protes terus-menerus
bermunculan. Oleh karena itu, dari pihak rektorat perlu ada ketegasan ke masing-masing
fakultas dan jurusan bagaimana menciptakan iklim perkuliahan yang adaptif dan tidak
menyulitkan mahasiswa. Tidak hanya mengharapkan struktur birokrasi bertindak, tapi harus
ada instruksi langsung yang bersifat mengikat dari pimpinan ke bawahannya.

28
BAB III

KAJIAN DAN ANALISIS

1. UKT JALUR MANDIRI: MENGAPA OTOMATIS DIKENAI UKT TERTINGGI?

Unhas yang menjadi salah satu PTN yang telah memberlakukan kebijakan UKT sejak
sistem ini diterapkan bagi mahasiswa baru S1 Reguler Tahun Akademik 2013/2014. Kebijakan
BKT dan UKT ini sebagai implikasi dari Undang Undang No. 12 Tahun 2012 Tentang
Pendidikan Tinggi (UU PT) pasal 88 yang kemudian diatur lebih lanjut dalam Permendikbud
No. 55 Tahun 2013 Tentang Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Tentang Biaya
Kuliah Tunggal Dan Uang Kuliah Tunggal Pada Perguruan Tinggi Negeri Di Lingkungan
Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan. Pada pasal 1 ayat 3 dijelaskan tentang definisi
UKT yaitu “Uang kuliah tunggal merupakan sebagian biaya kuliah tunggal yang ditanggung
setiap mahasiswa berdasarkan kemampuan ekonominya”. Uang kuliah tunggal sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) ditetapkan berdasarkan biaya kuliah tunggal dikurangi biaya yang
ditanggung oleh Pemerintah. Kemudian pada pasal selanjutnya (pasal 2) disebutkan “UKT
terdiri atas beberapa kelompok yang ditentukan berdasarkan kelompok kemampuan
ekonomi masyarakat”. Ini adalah penjelasan terkait kebijakan awal tentang BKT dan UKT.

Dasar kebijakan penyusunan BKT dan UKT telah dibahas sebelumnya pada Bab I
(Dasar Hukum Kebijakan UKT). Pada pasal 88 UU No. 12 Tahun 2012 dijelaskan bahwa
pemerintah menetapkan SSBOPTN (BKT) dengan berbagai pertimbangan seperti: capaian
standar nasional pendidikan tinggi, jenis program studi, dan indeks kemahalan wilayah).
Kemudian SSBOPTN (BKT) tadi menjadi dasar dalam APBN untuk PTN. Selanjutnya SSBOPTN
(BKT) ini digunakan sebagai dasar oleh PTN untuk menetapkan biaya yang ditanggung
mahasiswa (Dasar Perumusan UKT). Kemudian terakhir, biaya yang ditanggung oleh
Mahasiswa (UKT) harus disesuaikan dengan kemampuan ekonomi Mahasiswa, orang tua
Mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya.

Kemudian pada Permendikbud No. 97 Tahun 2014 Tentang Pedoman Teknis


Penetapan Tarif Biaya Pendidikan Pada Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum, pada pasal 1
poin 3 disebutkan: Tarif Biaya Pendidikan yang selanjutnya disebut Uang Kuliah Tunggal
(UKT) adalah biaya pendidikan yang ditanggung setiap mahasiwa berdasarkan kemampuan
ekonomi mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya.

Pembayaran biaya pendidikan ini juga disebutkan pada Pasal 76 ayat 3: Perguruan
Tinggi atau penyelenggara Perguruan Tinggi menerima pembayaran yang ikut ditanggung
oleh Mahasiswa untuk membiayai studinya sesuai dengan kemampuan mahasiswa, orang tua
mahasiswa, atau pihak yang membiayainya. Kemudian pada Pasal 85 ayat 2: Pendanaan
Pendidikan Tinggi dapat juga bersumber dari biaya Pendidikan yang ditanggung oleh
mahasiswa sesuai dengan kemampuan mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain
yang membiayainya.

29
Dalam kebijakan terakhir terkait BKT dan UKT yaitu Permenristekdikti No. 39 Tahun
2017 Tentang BKT dan UKT Pada Perguruan Tinggi Negeri Di Lingkungan Kemenristekdikti,
disebutkan bahwa BKT digunakan sebagai dasar penetapan biaya yang dibebankan kepada
masyarakat dan pemerintah dan UKT ditetapkan dengan memperhatikan BKT (pasal 2). BKT
adalah keseluruhan biaya operasional yang terkait langsung dengan proses pembelajaran
mahasiswa per semester pada program studi di PTN (pasal 1, ayat 4) dan UKT adalah biaya
yang ditanggung setiap mahasiswa berdasarkan kemampuan ekonominya (pasal 1, ayat 5).

Saat ini seperti yang kita ketahui bahwa Unhas telah berstatus PTN BH. PTN BH
menetapkan Tarif Biaya Pendidikan dengan mempertimbangkan kemampuan ekonomi:
mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayai mahasiswa. Tarif Biaya
Pendidikan sebagaimana dimaksud merupakan UKT bagi mahasiwa program Sarjana (S1) dan
program Diploma regular pada PTN BH. Dalam menetapkan UKT PTN BH wajib berkonsultasi
dengan Menteri melalui Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Pasal 2, Permendikbud No. 97
Tahun 2014)

Dalam PP Nomor 8 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah


Nomor 26 Tahun 2015 Tentang Bentuk Dan Mekanisme Pendanaan PTN BH, dijelaskan pada
Pasal 9 bahwa PTN BH menetapkan tarif biaya pendidikan berdasarkan pedoman teknis
penetapan tarif yang ditetapkan oleh Menteri (Ayat 1). Dalam menetapkan tarif biaya
pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PTN BH wajib berkonsultasi dengan
Menteri (Ayat 2). Tarif biaya pendidikan PTN BH yang harus dikonsultasikan dengan Menteri
adalah tarif biaya pendidikan jenjang diploma dan jenjang sarjana. Tarif biaya pendidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan
ekonomi: mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayai mahasiswa
(Ayat 3).

Jadi dari apa yang telah disebutkan dalam UU No. 12 Tahun 2012, Permendikbud No.
97 Tahun 2014, Permenristekdikti No. 39 Tahun 2017, dan PP No. 8 Tahun 2020 sudah jelas
bahwa penentuan UKT berdasarkan kemampuan ekonomi mahasiswa atau pihak yang
membiayainya dengan tetap memperhatikan BKT. Penjelasan terkait proses
penentuan/formulasi BKT dan UKT telah dijelaskan lebih rinci pada Dasar Hukum Kebijakan
UKT (Bab I) dan Penentuan UKT Unhas (Bab II).

Dalam aturan Permenristekdikti No. 39 Tahun 2017 tentang BKT dan UKT tidak
ditemukan penjelasan terkait penentuan UKT khusus bagi mahasiswa jalur mandiri, dalam
peraturan menteri tersebut hanya mengatur tentang pungutan tambahan (uang pangkal
dan/atau pungutan lain selain UKT), itupun dengan catatan dengan tetap memperhatikan
kemampuan ekonomi (pasal 8). Namun persoalan yang terjadi saat ini adalah proses
penentuan UKT khusus bagi mahasiswa yang lulus jalur mandiri. Berbeda dengan mahasiswa
yang lulus jalur seleksi nasional (SNMPTN dan SBMPTN), penetapan UKT jalur mandiri ini
langsung dikenai biaya UKT kelompok tertinggi (UKT-7) tanpa melalui tahap verifikasi dan
penentuan UKT berdasarkan kemampuan ekonominya seperti mahasiswa yang lulus melalui
jalur seleksi nasional. Padahal tidak semua mahasiswa yang lulus jalur mandiri ini memiliki
ekonomi yang mapan dan lebih baik daripada mahasiswa yang lulus melalui jalur seleksi

30
nasional (SNMPTN dan SBMTPN), dan begitupun sebaliknya. Boleh jadi ada mahasiswa yang
sebenarnya mampu secara ekonomi tapi justru masuk ke kelompok UKT yang lebih rendah
misalnya. Sedangkan mahasiswa jalur mandiri ini langsung otomatis dikenakan UKT tertinggi.

Pada ayat 3 Permenristekdikti No. 39 tahun 2017 disebutkan bahwa UKT terdiri atas
beberapa kelompok yang ditentukan berdasarkan kemampuan ekonomi: mahasiswa, orang
tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya. Di Unhas jenis UKT tersebut
dikelompokkan, mulai dari UKT-1 (paling rendah), UKT-2, UKT-3, UKT-4, UKT-5, UKT-6, sampai
UKT-7 (paling tinggi). Kemudian pengelompokkan tersebut selanjutnya diusulkan oleh PTN
kepada Menteri untuk ditetapkan. Artinya dalam proses pengelompokan tersebut, pihak
rektorat Unhas yang bertindak sebagai pengusul bertanggungjawab dalam
penentuan/pengelompokan UKT ini sehingga menjadi sangat penting untuk memperhatikan
kemampuan ekonomi dari mahasiswanya. Namun pada faktanya, dalam kasus penetapan
UKT jalur mandiri di Unhas ini ditetapkan bukan berdasarkan kemampuan ekonomi
mahasiswa, tapi justru berdasarkan jalur seleksi masuknya. Hal ini kemudian menjadi tanda
tanya bagaimana pihak rektorat dalam menentukan kebijakan tersebut, apa yang menjadi
alasan dan landasannya, juga bagaimana terkait transparansinya.

Penetapan tersebut dipertanyakan dasar penentuan kebijakannya, bahwa penetapan


UKT tertinggi bagi mahasiswa jalur mandiri tidak dijelaskan secara transparan ke publik
terkait alasannya, kemudian jika melihat peraturan menteri yang ada hal tersebut juga tidak
sesuai dengan aturan yang tercantum pada Permenristekdikti terkait UKT dimana
penentuannya harusnya berdasarkan kemampuan ekonomi mahasiswa yang ditetapkan
dengan memperhatikan BKT. Namun nyatanya penetapan UKT bagi jalur mandiri di Unhas
tidak ditentukan berdasarkan hal tersebut. Dari aspek transparansi bisa dilihat bahwa
penetapan UKT jalur mandiri ini tidak sesuai dengan apa yang disebutkan pada pasal 65 ayat
3 UU No. 12 Tahun 2012 bahwa PTN BH memiliki hak mengelola dana secara mandiri,
transparan, dan akuntabel. Bahkan disebutkan pula bahwa memiliki unit yang melaksanakan
fungsi akuntabilitas dan transparansi (poin c). Lalu bagaimana dengan implementasi
pengelolaan dan unit tersebut di Unhas?

Kemudian Peraturan MWA No. 46116 Tahun 2016 Tentang Sistem Perencanaan dan
Penganggaran PTN BH Unhas pada pasal 2 disebutkan bahwa sistem perencanaan Unhas
diselenggarakan berdasarkan asas-asas: transparansi; akuntabilitas; berkeadilan;
keberlanjutan; dan desentralisasi (ayat 1). Namun sampai saat ini transparansi ini masih
belum diketahui dan dijangkau oleh mahasiswa, hal ini membuat mahasiswa hanya bisa
‘bertanya-tanya’ dan ‘menerka-nerka’. Transparansi dari pihak rektorat dalam penetapan
UKT jalur mandiri ini tentunya sangat perlu diketahui oleh mahasiswa sebagai upaya untuk
menjangkau UKT yang berkeadilan.

Selain dengan asas transparansi dan berkeadilan, pihak rektorat juga perlu
memperhatikan asas ‘akuntabilitas’ atau bisa dimintai pertanggungjawaban. Seyogyanya
pihak rektorat mampu menjelaskan penetapan UKT jalur mandiri ini dengan jelas dan
terperinci sebagaimana penentuan kelompok UKT mahasiswa jalur seleksi lain (SNMPTN dan
SBMPTN) yang melalui proses verifikasi dengan memperhatikan kemampuan ekonomi calon

31
mahasiswa. Tidak adil rasanya mahasiswa langsung diberikan ketetapan biaya pendidikan
tanpa diberikan penjelasan, belum lagi mahasiswa jalur mandiri saat ini juga dibebankan
dengan biaya DPP yang sangat besar jumlahnya.

Pada setiap semester PTN menyampaikan laporan realisasi penerimaan UKT kepada
menteri melalui sistem monitoring dan evaluasi. Laporan tersebut nantinya digunakan oleh
Menteri sebagai dasar dalam melakukan pengawasan dan evaluasi tarif UKT
(Permenristekdikti No. 39 Tahun 2017, Pasal 9). Sehingga persoalan-persoalan UKT yang
terjadi sangat penting untuk diperhatikan oleh pihak rektorat agar proses evaluasi UKT
tersebut bisa berjalan optimal dan benar-benar mewakili aspirasi dari mahasiswa yang
notabene orang membayarkan UKT tersebut. Hal inilah yang perlu menjadi perhatian pihak
Unhas, agar terjalin sinergi dan keterbukaan sehingga tidak terjadi miss komunikasi antara
mahasiswa dan pihak rektorat, khususnya terkait biaya pendidikan. Keterlibatan mahasiswa
dalam penentuan sangat diperlukan agar persoalan-persoalan di lapangan dapat diketahui
dan aspirasi mahasiswa dapat diserap dan tersampaikan untuk menjadi bahan pertimbangan
oleh pihak rektorat sebagai pembuat kebijakan.

Olehnya itu pada perumusan kebijakan baru pada UKT jalur mandiri tersebut perlu
untuk memperhatikan asas berkeadilan dengan tetap melihat kemampuan ekonomi calon
mahasiswa, bukan justru melihat jalur seleksi masuknya semata. Unhas bisa mengambil
contoh pada beberapa PTN lain, bahkan yang juga berstatus PTN-BH seperti UI, UGM, dan
Unpad yang meskipun lulus melalui jalur mandiri namun dalam menetapkan UKT
berdasarkan kemampuan ekonomi mahasiswa. Unpad khususnya, yang menerapkan proses
seleksi jalur mandiri kurang lebih sama seperti Unhas (menggunakankan nilai
UTBK/SBMPTN). Namun dalam penentuan UKT tetap dikelompokkan sesuai jenis UKT yang
ditetapkan pemerintah. Rektor Unpad mengungkapkan bahwa pendaftaran SMUP (Jalur
Mandiri Unpad) terbuka bagi semua kalangan. Ini disebabkan, seleksi mandiri Unpad murni
sepenuhnya menggunakan seleksi akademik. Bagi mereka yang kurang mampu hingga
pemegang Kartu Indonesia Pintar terbuka untuk melanjutkan studi di Unpad melalui jalur
mandiri. Tidak hanya itu, bagi mereka yang perekonomiannya terdampak akibat Pandemi
COVID-19, Unpad juga memberikan fasilitasi untuk bisa mengikuti seleksi dan melanjutkan
studi. “Kami di dalam hal memutuskan diterimanya seseorang, kami tidak lihat status
ekonominya,” kata Rektor Unpad. Usai dinyatakan diterima, calon mahasiswa baru kemudian
melaksanakan registrasi. Pada saat registrasi ini, Unpad akan menerima data mengenai
kondisi finansial dari calon mahasiswa baru. Untuk keluarga yang terdampak COVID-19, data
terlebih dahulu akan dianalisis untuk menentukan apakah calon mahasiswa baru tersebut
berhak untuk difasilitasi oleh Unpad. “Tentu dari data itu kami akan sebijak mungkin untuk
melakukan penyesuaian UKT,” kata Rektor Unpad.

Meski kita menyadari bahwa kondisi setiap kampus tentu berbeda-beda dan kita
bersyukur bahwa Unhas merupakan salah satu PTN dengan biaya UKT yang relatif rendah
dibanding PTN khususnya PTN-BH lainnya. Namun bukan berarti dengan UKT yang relatif
rendah itu menjadi legitimasi dalam menetapkan UKT dengan sesuai kehendak seperti kasus
UKT jalur mandiri tadi. Sebab seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam
penentuan UKT ini hendaknya yang perlu diperhatikan adalah kemampuan ekonomi

32
mahasiswa atau pihak yang membiayainya. Kemudian dijelaskan pula bahwa Perencanaan
Unhas disusun secara sistematis, terarah, terpadu, menyeluruh, dengan memperhatikan
dinamika organisasi dan mampu merespon tuntutan perubahan lingkungan (Peraturan MWA
UNHAS No. 46116 Tahun 2016, pasal 2 ayat 2). Sehingga dengan melihat dinamika UKT yang
terjadi seperti yang telah dijelaskan, sudah saatnya pihak Unhas untuk merespon hal-hal
tersebut.

Pada 2013, Kementerian Pendidikan pernah merilis nama PTN mana saja yang
mendapatkan dana BOPTN tertinggi, dan di antara 10 peringkat kampus penerima BOPTN
tertinggi, 8 di antaranya kini berstatus sebagai PTN-BH. Sayangnya, Kemenristekdikti pun
belum pernah merilis jumlah nominal BPPTN-BH. Apakah kiranya PTN-BH masih menjadi
penerima bantuan operasional terbanyak dibandingkan dengan PTN yang masih berstatus
sebagai BLU/Satker? Bila memang iya, apa rasionalisasi yang bisa dijelaskan, bagaimana
mungkin status PTN-BH membuat pembiayaan jalur mandiri yang lebih mahal dibanding
kampus non PTN-BH?

Untuk itu semoga apa yang dibahas dalam kajian ini agar dipertimbangan lebih lanjut
oleh pihak rektorat Unhas dalam menentukan kebijakan-kebijakan terkait UKT selanjutnya,
bukan hanya terkait persoalan UKT jalur mandiri saja, tapi juga untuk semua persoalan-
persoalan UKT yang mungkin saja belum muncul di permukaan. Olehnya itu kami
menyampaikan agar kebijakan dan penetapan UKT ditentukan berdasarkan kemampuan
ekonomi mahasiswa, orang tua mahasiswa atau pihak lain yang membiayainya dengan
memperhatikan asas keadilan. Bahkan bagi mahasiswa miskin agar bisa diberi keringanan
saat mendaftar dan jika dinyatakan lulus nantinya bisa mendapat UKT yang rendah bahkan
mendapatkan beasiswa bidikmisi. Alangkah baiknya jika mekanisme jalur penerimaan ini
“ramah biaya” untuk calon mahasiswa terlebih lagi bagi mahasiswa yang kurang mampu.

2. DPP JALUR MANDIRI: JIKA TIDAK TRANSPARAN LEBIH BAIK DITIADAKAN

“Kalau ada anak miskin masuk melalui jalur mandiri, tidak boleh ditarik uang pangkal dan bisa
uang kuliah tunggal paling rendah atau bisa mendapat beasiswa Bidikmisi.”

– Menristekdikti, Mohamad Nasir

Persoalan lain yang dihadapi saat ini oleh calon mahasiswa dan mahasiswa baru yang
mendaftar jalur mandiri adalah biaya tambahan yang mesti dibayar jika dinyatakan lulus
seleksi nantinya yaitu Dana Pengembangan Program (DPP). Berdasarkan Permenristekdikti
No. 39 Tahun 2017 Tentang BKT dan UKT pada pasal 8 dijelaskan bahwa PTN dapat
memungut uang pangkal dan/atau pungutan lain selain UKT dari mahasiswa baru (program
sarjana dan diploma) bagi mahasiswa asing, mahasiswa kelas internasional, mahasiswa yang
melalui jalur kerja sama, dan/atau mahasiswa yang melalui seleksi jalur mandiri. Dalam
aturan tersebut berarti bukan masalah jika Unhas menetapkan DPP. Namun yang perlu
diperhatikan disini adalah pada ayat selanjutnya (ayat 2) dijelaskan bahwa uang pangkal
dan/atau pungutan lain selain UKT yang dikenakan kepada mahasiswa baru tetap
memperhatikan kemampuan ekonomi mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang

33
membiayainya. Jadi kalaupun Unhas menetapkan DPP semestinya tetap merujuk pada aturan
tersebut.

Namun sayangnya yang terjadi di Unhas tidaklah seperti demikian, penetapan DPP ini
seperti ‘pukul rata’ untuk semua mahasiswa jalur mandiri dan tidak memperhatikan
kemampuan ekonomi calon mahasiswa bersangkutan. Ketetapan DPP ini justru ditentukan
berdasarkan fakultas dan program studi, meski jumlah besaran tersebut masih dipertanyakan
transparansinya. Contoh misalnya di Fakultas Teknik DPP sebesar 55 juta dan 70 juta (khusus
untuk 2 prodi yaitu Teknik Pertambangan dan Teknik Informatika mengalami kenaikan),
Fakultas Kedokteran mencapai hingga 250 juta, dan seterusnya (Website PMB Unhas 2020).
Ketetapan biaya tersebut secara langsung mengharuskan calon mahasiswa, orang tua calon
mahasiswa, atau pihak yang membiayai calon mahasiswa untuk membayar uang yang tidak
sedikit jumlahnya itu. Sehingga beberapa calon mahasiswa baru harus berpikir dan berjuang
lagi untuk bisa memenuhi tuntutan biaya tersebut, sedangkan bagi calon mahasiswa yang
mungkin tidak mampu untuk memenuhi tuntunan tersebut terpaksa harus terhenti karena
terkendala faktor biaya.

Seperti diketahui, jalur mandiri menjadi satu-satunya jalur yang diatur secara bebas
oleh masing-masing PTN. Jalur mandiri diformulasikan secara serentak sejak 2013, di mana
setiap PTN diberi kuota maksimal 20 persen untuk menjaring mahasiswa dari jalur ini. Pada
2013 juga, kuota seleksi penerimaan mahasiswa baru masih didominasi oleh SNMPTN yang
saat itu menjadi seleksi penerimaan tanpa tes. Sisanya, 30 persen dialokasikan untuk
SBMPTN yang menjadi jalur penerimaan dengan tes tulis. Hampir setiap tahun, selalu ada
perubahan formulasi penerimaan mahasiswa baru. Khususnya terkait dengan pembagian
kuota antara SNMPTN, SBMPTN, dan Jalur Mandiri. Pada 2016, pembagiannya berubah
menjadi 40 persen untuk SNMPTN, 30 persen untuk SBMPTN, dan 30 persen untuk jalur
mandiri. Artinya jelas, persaingan lewat SNMPTN dan SBMPTN yang merupakan jalur "murah
meriah" menjadi lebih ketat.

Perubahan terakhir menyangkut kuota terjadi lagi pada 2018, di mana kuota untuk
SNMPTN minimal 20 persen, dan untuk SBMPTN minimal 40 persen. Jadi setiap PTN
diberikan keleluasaan untuk menentukan persentase SNMPTN dan SBMPTN dengan batas
yang telah ditentukan. Sedangkan untuk jalur mandiri tetap ditentukan dengan maksimal 30
persen. Unhas sendiri tiap tahunnya membuka jalur mandiri dan terus mengalami berbagai
perubahan kebijakan, baik itu dalam persentase total penerimaan mahasiswa ataupun
penetapan biaya yang nantinya dibebankan kepada mahasiswa.

Meski kampus memiliki kewenangan otonomi dalam menentukan kebijakan terkait


DPP ini yang ‘katanya’ akan dialokasikan untuk pendidikan dan pengajaran, namun hal ini
kembali menimbulkan pertanyaan karena apabila merujuk pada apa yang telah dijelaskan
sebelumnya pada Bab I (Sejarah UKT Unhas) bahwa jenis biaya yang dibayar oleh mahasiswa
saat sebelum UKT antara lain: Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP), Dana
Pengembangan Program (DPP), Dana Pembinaan Kemahasiswaan (DPK), Biaya Satuan Kredit
Semester (SKS), biaya penerimaan/sumbangan awal, biaya registrasi mahasiswa, biaya lain-
lain. Jenis biaya tersebut kemudian diganti dengan UKT.

34
Disitu disebutkan biaya yang dibayarkan sebelum sistem UKT salah satunya adalah
DPP, kemudian juga disebutkan biaya penerimaan/sumbangan awal. Lalu bukannya apa yang
telah dibayarkan dalam UKT tersebut telah mencakup semua apa yang telah disebutkan
sebelumnya termasuk juga DPP? Pada bagian akhirpun telah dijelaskan bahwa jenis-jenis
biaya tersebut (DPP dan semisalnya) diganti dan telah termasuk ke dalam pembiayaan yang
baru yaitu UKT.

Pada Bab II sebelumnya juga telah dibahas terkait bentuk dan mekanisme pendanaan
PTN BH (PP No. 26 Tahun 2015). Pada PP tersebut dijelaskan bahwa pendanaan PTN BH
dapat bersumber dari APBN yang nantinya diberikan dalam bentuk bantuan pendanaan PTN
BH, dimana bantuan tersebut digunakan untuk: Biaya operasional (penyelenggaraan
pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat); Biaya dosen (bantuan biaya untuk
dosen non PNS yang meliputi: gaji, tunjangan, dsb); Biaya tenaga kependidikan (bantuan
biaya tenaga kependidikan non PNS, meliputi: gaji dan tunjangan, uang makan, dan
tunjangan kinerja); Biaya investasi (pengadaan sarana dan prasarana); dan Biaya
pengembangan (pengembangan program dan keilmuan).

Pada PP tersebut telah disebutkan bahwa untuk penyelenggaraan pendidikan dan


pengajaran seperti apa yang disampaikan oleh pihak rektorat ini sebenarnya juga dapat
bersumber dari APBN (bagian dari 20% alokasi anggaran pendidikan) yang diberikan kepada
Unhas yang telah berstatus PTN-BH. Kemudian selain itu, sumber pendanaan PTN-BH dapat
bersumber dari selain APBN yang telah dijelaskan lebih rinci pada poin bentuk dan
mekanisme pendanaan PTN BH (Bab 2).

Namun DPP tersebut belakangan muncul kembali sejak ditetapkan tahun 2018 dan
masih berlanjut hingga saat ini dengan alasan yang telah diutarakan oleh pihak rektorat yang
masih menimbulkan kontroversi. Dengan penetapan DPP ini, biaya yang harus dibayarkan
oleh mahasiswa yang lulus jalur mandiri menjadi berlipatganda. Alih-alih meringankan,
sistem yang terjadi saat ini justru akan lebih parah daripada sistem sebelum UKT, karena
dalam penerapan DPP ini mahasiswa bisa dikatakan ‘rugi dua kali’, setelah otomatis langsung
dikenai UKT tertinggi ditambah lagi dengan biaya DPP yang sangat melangit. Padahal tujuan
pertama dan utama dari sistem UKT ini adalah agar meringankan biaya kuliah mahasiswa. Hal
inilah yang menjadi ‘momok’ bagi calon mahasiswa baru yang ingin mendaftar pada jalur
mandiri.

Alhasil, yang mendaftar pada jalur mandiri ini adalah hanya mereka yang tidak hanya
mampu secara akademik tapi juga ‘harus’ ditunjang dengan kemampuan ekonomi. Sebab jika
hanya mengandalkan kemampuan akademik saja, bisa saja calon mahasiswa tersebut lulus
tapi ujung-ujungnya terhambat pada biaya yang mahal dan tidak mampu dijangkau oleh
kalangan calon mahasiswa dengan ekonomi bawah. Misalnya karena pertimbangan biaya
DPP yang tinggi, maka mahasiswa akhirnya mengurungkan niatnya untuk mendaftar atau
menunda untuk tes SBMPTN lagi tahun depannya. Akhirnya jumlah pendaftar pada jalur
mandiri menjadi berkurang bahkan pada contoh kasus di salah satu prodi di Unhas justru
tidak memenuhi kuota pendaftarnya, artinya jumlah pendaftar lebih sedikit dari jumlah yang
akan diterima melalui jalur tersebut.

35
Sehingga dalam kasus tidak terpenuhinya kuota pendaftar itu, hanya yang mampu
secara ekonomi bisa memenuhi DPP inilah yang mendaftar. Akhirnya karena jumlah kuota
yang mendaftar justru kurang dari daya tampung prodi tersebut maka secara ‘otomatis’ yang
akan diterima adalah yang mendaftar saja meski tanpa proses seleksi seperti tahun-tahun
sebelum penetapan DPP ini ada. Padahal jika melihat sebelum adanya DPP ini, kuota
pendaftar terpenuhi bahkan melebihi dari daya tampung sehingga harus melalui proses
seleksi. Sehingga semua yang mendaftar memiliki kesempatan dan peluang yang sama untuk
lulus, sebab kelulusan ditentukan berdasarkan hasil seleksi dengan melihat skor atau nilai tes
UTBK (SBMPTN), dengan kata lain proses seleksi ini ditentukan oleh perjuangan calon
mahasiswa melalui usahanya bukan hanya ‘mengandalkan’ kemampuan finansialnya semata.

Penetapan DPP ini juga berpeluang menimbulkan konflik kepentingan dimana hanya
‘orang kaya’ yang bisa lulus melalui jalur mandiri ini. Disisi lain, hal ini akan memupus
harapan bagi calon mahasiswa yang mungkin sebenarnya mampu secara akademik namun
terbatas dalam hal ekonomi. Secara tidak langsung proses seleksi ini nantinya akan
cenderung bersifat ekslusif, karena nantinya yang mendaftar hanyalah orang yang siap
membayar lebih sedangkan karena bagi yang tidak sanggup untuk membayar lebih akan
tersisih bahkan sebelum mengikuti seleksi. Pola kebijakan dan proses seleksi seperti ini akan
menguntungkan bagi mereka yang ‘kaya’ dan merugikan bagi mereka yang ‘miskin’.
Kebijakan seperti ini sama saja mengorbankan nasib anak 'miskin' yang masih mau berjuang
lagi pada jalur seleksi yang terakhir. Padahal kemampuan akademik anak ‘miskin’ ini bisa saja
lebih baik dibanding anak 'kaya', namun hanya saja terkendala dalam hal biaya. Pola seperti
ini nantinya bisa saja akan lebih mengutamakan ‘kuantitas’ (orang yang memiliki kemampuan
finansial) daripada ‘kualitas’ (orang yang memiliki kemampuan akademik). Kenyataan seperti
inilah yang dikhawatirkan, terlebih bagi oleh para pegiat pendidikan dan bagi yang ‘sadar’
akan pentingnya arti pendidikan yang berkeadilan.

Jika sudah seperti ini, asas keterjangkauan Pendidikan Tinggi yang disebutkan dalam
No.12 Tahun 2012 pasal 3 hanya tinggal kata. Semoga ini menjadi renungan bahwa
pendidikan di Indonesia seharusnya tetap bersifat inklusif. Semua PTN, dengan status apakah
itu PTN BH, BLU, Satker, semuanya mendapatkan pendanaan dari negara, jadi sudah
keharusan menjaring calon mahasiswa sesuai kemampuan akademik, bukan kemampuan
materi orang tuanya.

Pada pasal 74 UU No. 12 Tahun 2012 telah disebutkan pada ayat 1 bahwa “PTN wajib
mencari dan menjaring calon Mahasiswa yang memiliki potensi akademik tinggi, tetapi
kurang mampu secara ekonomi dan calon Mahasiswa dari daerah terdepan, terluar, dan
tertinggal untuk diterima paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari seluruh Mahasiswa baru
yang diterima dan tersebar pada semua Program Studi”. Hal ini dipertegas lagi dalam Statuta
Unhas pada Pasal 10 ayat 2-3, disebutkan: Unhas wajib mencari dan menjaring calon
Mahasiswa yang memiliki potensi akademik tinggi tetapi kurang mampu secara ekonomi dan
calon Mahasiswa dari daerah terdepan, terluar, dan tertinggal untuk diterima paling sedikit
20% (dua puluh persen) dari seluruh Mahasiswa baru yang diterima dan tersebar pada semua
program sarjana. Sehingga disini peran kampus ‘wajib’ mencari dan menjaring calon
mahasiswa yang disebutkan pada UU No.12 Tahun 2012 dan Statuta Unhas tersebut.

36
Dalam hal pemenuhan hak mahasiswa telah disebutkan pada pasal 76 UU No. 12
Tahun 2012 pada pasal 1 bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Perguruan Tinggi
berkewajiban memenuhi hak mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi untuk dapat
menyelesaikan studinya sesuai dengan peraturan akademik. Salah satu contohnya yaitu
melalui program bidikmisi, namun hal tersebut bukan pada proses penerimaan
mahasiswanya melainkan pada saat mahasiswa yang bersangkutan dinyatakan telah lulus
seleksi masuk di perguruan tinggi. Pada Pasal 76 Ayat 2 Huruf b juga dijelaskan tentang
“bantuan biaya pendidikan” yaitu dukungan biaya Pendidikan yang diberikan kepada
Mahasiswa untuk mengikuti dan/atau menyelesaikan Pendidikan Tinggi berdasarkan
pertimbangan utama keterbatasan kemampuan ekonomi. Maka dari itu, mahasiswa
miskin/kurang mampu berhak mendapatkan beasiswa bidikmisi, termasuk juga mahasiswa
jalur mandiri.

Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah apakah penetapan DPP bagi mahasiswa
baru jalur mandiri ini adalah langkah yang efektif? Boleh jadi, hal tersebut menguntungkan
bagi pihak kampus namun disisi lain merugikan bagi mahasiswanya. Padahal sumber
pendapatan kampus bukan hanya berasal dari biaya pendidikan yang dibayarkan mahasiswa.
Ada banyak opsi lain yang bisa dioptimalkan oleh kampus sebagaimana yang telah dijelaskan
pada Bab II (bentuk dan mekanisme pendanaan PTN BH). Lalu bagaimana dengan otonomi
pengelolaan Perguruan Tinggi yang dilaksanakan berdasarkan prinsip transparansi, yaitu
keterbukaan dan kemampuan menyajikan informasi yang relevan secara tepat dan akurat
kepada pemangku kepentingan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan?
seperti yang dijelaskan pada Pasal 63 UU PT No. 12 Tahun 2012.

Apakah ketidakmampuan kampus dalam mengelola sehingga memilih jalan pintas


dengan membebankan biaya pendidikan demi mencapai ‘kepentingan’nya? Apakah biaya
pendidikan mahasiswa adalah satu-satunya cara untuk mengatasi ‘persoalan’ yang sedang
dialami kampus? Lalu dimana letak kemerdekaan belajar kedepannya? Bagaimana kampus
sebagai laboratorium pendidikan dan ilmu pengetahuan bisa merdeka? Semoga saja tidak
ada mahasiswa yang menjadikan biaya mahal pendidikan yang dahulu dia bayarkan ini
sebagai ‘pembenaran’ untuk melakukan tindakan ‘tidak terpuji’ suatu saat nanti, seperti yang
terjadi di ‘institusi-institusi lain’ di luar sana.

Lalu, apakah DPP ini memang sudah jelas urgensi dan transparansinya? Kemudian apakah
penetapannya telah sesuai dengan peraturan yang ada? Jika tidak jelas dan tidak sesuai,
maka kami mengusulkan agar lebih baik DPP ini ditiadakan saja.

3. KEBIJAKAN: PENGAJUAN PENYESUAIAN DAN KERINGANAN UKT

Sejauh ini penetapan UKT di Unhas hanya dilakukan pada saat proses registrasi ulang,
penetapan UKT tersebut berlaku mulai semester 1 (satu) hingga semester akhir mahasiswa
menyelesaikan studinya. Sejauh ini belum ada kebijakan terkait penyesuaian dan keringanan
UKT dalam situasi tertentu seperti permasalahan ekonomi yang mungkin dihadapi oleh
mahasiswa, misalnya orang tua yang kehilangan pekerjaan, meninggal dunia, dan sebagainya.

37
Padahal pemimpin PTN dapat memberikan keringanan UKT dan/atau melakukan
penetapan ulang pemberlakuan UKT terhadap mahasiswa apabila terdapat: ketidaksesuaian
kemampuan ekonomi mahasiswa yang diajukan oleh mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau
pihak lain yang membiayainya; dan/atau perubahan data kemampuan ekonomi mahasiswa,
orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya. Kemudian pemberian keringanan
UKT dan/atau penetapan ulang pemberlakuan UKT ditetapkan dengan keputusan Pemimpin
PTN. (Pasal 5 Permenristekdikti No.39 Tahun 2017). Namun, kebijakan terkait hal tersebut
belum diatur di Unhas hingga kini. Padahal dalam proses perkuliahan, tentu ada dinamika
yang dilalui oleh mahasiswa, dan terkadang ada hal yang terjadi diluar kehendak mahasiswa
seperti perubahan ekonomi mahasiswa saat masih melaksanakan proses perkuliahan
dikarenakan orang tua yang meninggal dunia, kehilangan pekerjaan (PHK), pensiun, dsb.
Sehingga hal tersebut otomatis berpengaruh terhadap kondisi mahasiswa yang
bersangkutan.

Tentu dalam kasus seperti itu tidak diharapkan oleh mahasiswa yang bersangkutan.
Namun dalam kondisi tersebut, mahasiswa harus menerima dengan lapang dada takdir dan
keniscayaan yang telah ditetapkan. Disini kemudian pemerintah memberikan kebijakan
melalui pasal 5 tadi dimana sistem ini memungkinkan mahasiswa untuk mengajukan
keringanan UKT, contoh misalnya sebelumnya di berada pada golongan UKT yang lebih besar,
namun karena mengalami persoalan ekonomi dikarenakan orang tua meninggal dunia,
kehilangan pekerjaan (PHK), pensiun, dan sebagainya.

Kebijakan ini telah diterapkan di UGM sejak tahun 2016 yang mulai berlaku bagi
mahasiswa angkatan 2013 ke bawah dan masih berlaku hingga sekarang. Sebelum keluarnya
kebijakan baru terkait Penyesuaian Kelompok UKT dan Keringanan Pembayaran UKT tersebut
awalnya kebijakan tersebut hanyalah kebijakan tidak tertulis, bahwa keringanan tersebut
hanya berlaku satu semester dan tidak bersifat permanen karena pihak rektorat UGM waktu
itu mengasumsikan bahwa orang tua mahasiswa akan dapat membangun kembali
perekonomian/pekerjaannya, sehingga tidak diperlukan penurunan UKT secara permanen.
Namun, disisi lain ada pula mahasiswa yang membutuhkan keringanan UKT yang permanen,
yaitu adalah orang tua mahasiswa yang baru meninggal, tidak bekerja lagi/telah pensiun, dsb.
Tentu pihak rektorat kemudian tidak serta merta bisa mengasumsikan bahwa orang tua
mahasiswa yang telah meninggal itu dapat hidup kembali atau orang tua yang telah pensiun
dengan umurnya yang tidak produktif, harus bekerja keras lagi. Sehingga keringanan UKT
yang permanen itu perlu dipertimbangkan dalam kasus seperti itu. Setelah itu mahasiswa
menyampaikan aspirasi tersebut pada Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2 Mei 2016
kepada pihak rektorat UGM, maka kemudian lahirlah kebijakan penyesuaian kelompok UKT
(SK Rektor UGM Nomor 526/UN1.P/SK/HUKOR/2016) dan keringanan pembayaran UKT (SK
Rektor UGM Nomor 908/UN.1P/SK/HUKOR/2016) seperti yang telah dijelaskan lebih rinci
pada Bab II. Kebijakan-kebijakan tersebut tentu sangat membantu persoalan UKT yang
dialami oleh mahasiswa, terlebih lagi kebijakan tersebut juga telah diatur dalam
Permenristekdikti sehingga memiliki dasar hukum yang kuat. Kebijakan-kebijakan patut
untuk dicontoh oleh kampus-kampus lain, termasuk Unhas.

38
Lalu, bagaimana dengan Unhas sendiri dalam menyikapi opsi keringanan UKT bagi
mahasiswa sebagaimana yang telah berlangsung di kampus-kampus lain seperti UGM dan UI.
Tentu dari ribuan atau puluhan ribu mahasiswa itu diantaranya ada yang mengalami
permasalahan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya tersebut. Hanya saja kondisi
pandemi COVID19 selama kajian ini dibuat sehingga sulit untuk melakukan survey secara
langsung dan berdiskusi dengan seluruh fakultas dan elemen mahasiswa yang ada di Unhas.
Sehingga data yang didapatkan belum bisa maksimal. Namun bukan berarti kasus
permasalahan itu tidak ada, tentu dari sekian ribu mahasiswa tersebut ada yang mengalami
permasalahan terkait perubahan ekonomi. Hal itu bisa kita saksikan sendiri ketika mendapat
kabar duka dari meninggalnya orang tua dari mahasiswa, kemudian dalam kondisi selama
pandemi COVID19 ini tentu ada orang tua dari mahasiswa yang terpaksa harus kehilangan
pekerjaannya, serta alasan-alasan lain yang mungkin belum tersampaikan namun
berpengaruh terhadap kondisi ekonomi mahasiswa yang bersangkutan. Sejauh ini mungkin
ada banyak keluhan dari mahasiswa yang belum sempat tersampaikan ke pihak rektorat,
entah itu karena mahasiswa tidak mengetahui bagaimana cara menyampaikan keresahannya
atau mungkin ada juga yang telah menyampaikan permasalahannya hanya saja mekanisme
yang ditempuh belum sesuai dan belum maksimal sehingga belum tersampaikan kepada
pihak rektorat selaku pembuat kebijakan. Disini peran dan kebijaksanaan dari pemangku
kepentingan Unhas sangat diharapkan oleh mahasiswa. Agar membuat kebijakan yang
memungkinkan mahasiswa untuk mengajukan keringanan UKT ketika mengalami
permasalahan ekonomi dengan tentunya telah memenuhi persyaratan yang telah dibuat
nantinya.

Olehnya itu, kami mengusulkan adanya aturan atau kebijakan yang dibuat oleh pihak Unhas
tentang penyesuaian UKT dan keringanan UKT sebagaimana dijelaskan dalam
Permenristekdikti No.39 Tahun 2017 pasal 5.

4. KEBIJAKAN KERINGANAN UKT BAGI MAHASISWA AKHIR

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada Bab II bahwa kebijakan terkait
keringanan UKT telah diterapkan di beberapa kampus. Metode atau bentuk kebijakan itu
beraneka macam seperti penetapan kebijakan 50 % UKT untuk mahasiswa semester 9 keatas
(UGM), kebijakan 60 % UKT untuk mahasiswa semester 9 keatas (IPB dan UNJ), keringanan 25
% bagi mahasiswa yang telah dinyatakan lulus ujian seminar proposal dan 50 % bagi yang
telah dinyatakan lulus bagi mahasiswa yang telah dinyatakan lulus ujian seminar hasil
(UNILA), dan sistem verifikasi dari tiap Program Studi (UB). Kebijakan-kebijakan tersebut
ditetapkan setelah proses audiensi dengan pihak rektorat.

Sebelumnya telah dijelaskan terkait Biaya Langsung (BL) dan Biaya Tidak Langsung
(BTL). Dengan mempertimbangkan faktor-faktor BL dan BTL tersebut, seharusnya terdapat
penyesuaian besaran nilai UKT yang diterima oleh mahasiswa tingkat akhir yang tinggal
hanya mengambil SKS Tugas Akhir/Skripsi saja. Ini berarti perhitungan terperinci terhadap
komponen-komponen tersebut dalam menetapkan UKT untuk mahasiswa termasuk untuk
mahasiswa tingkat akhir (baca: semester sembilan keatas) perlu dilakukan. Sebab mahasiswa

39
yang hanya mengambil SKS di tingkat akhir, baik hanya SKS Tugas Akhir (TA)/skripsi maupun
yang masih memiliki beberapa beban sks yang mungkin sudah sedikit jumlahnya seharusnya
mendapatkan keringanan dari biaya pembayaran yang ditetapkan. Karena secara umum
mahasiswa tingkat akhir tidak lagi menggunakan falitas-fasilitas kampus seperti gedung,
sarana kuliah, sarana praktikum, bahan habis pakai (BHP) kuliah, dan BHP praktikum, listrik,
PDAM, dst. Juga untuk biaya yang dibayarkan seharusnya sebanding dengan jumlah SKS yang
sedang diambil pada tingkat akhir. Penggunaan gedung perkuliahan juga tidak sesering
semester sebelumnya disebabkan tidak ada atau tinggal beberapa mata kuliah saja yang
diambil. Dari alasan-alasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa keaktifan mahasiswa
semester 9 keatas lebih rendah daripada mahasiswa biasa. Sehingga opsi keringanan UKT
bagi mahasiswa akhir sangat wajar diajukan.

Pengajuan keringanan tersebut jika berdasarkan prinsip atau formulasi BKT/UKT


maka semestinya UKT mahasiswa akhir dihitung dengan mempertimbangkan jumlah sisa SKS
yang diambilnya pada tingkat akhir, contoh secara umum jumlah SKS Tugas Akhir/Skripsi
yaitu 4-6 SKS. Jika berpatok pada hal tersebut maka jumlah biaya UKT yang dibayarkan
dihitung per SKS nya lalu dikalikan dengan jumlah SKS yang diprogramkan pada tingkat akhir
tersebut. Tentunya dengan tetap memperhatikan jumlah mahasiswa yang mendapat UKT
paling rendah sesuai apa yang ditetapkan dari Kemendikbud yaitu 5% dari satu angkatan.
Kondisi mahasiswa tingkat akhir ini sebenarnya kurang lebih dengan mahasiswa yang
mengambil Semester Pendek. Mahasiswa yang mengambil Semester Pendek tidak
melakukan praktikum dan tidak menggunakan gedung perkuliahan dengan terlalu sering.
Pada sistem pembayaran biaya perkuliahan untuk mahasiswa Semester Pendek (SP) yang
diterapkan biasanya menggunakan sistem biaya per SKS. Dengan kondisi tersebut, maka
sistem pengganti yang kami ajukan dapat menggunakan sistem biaya per SKS seperti yang
diberlakukan pada Semester Pendek untuk Tugas Akhir. Jadi mahasiswa akhir tidak lagi
membayar UKT secara penuh, melainkan ditentukan berdasarkan sisa SKS Tugas Akhir
(TA)/Skripsi yang akan diambil nantinya.

Kemudian sistem pengajuan keringanan lain (opsi lain) yang kami ajukan adalah
dengan diberi keringanan pembayaran UKT sebesar 50% (lima puluh perseratus) dari UKT
yang terakhir yang dibayarkan dengan kriteria dan persyaratan yang akan ditetapkan
nantinya seperti komitmen menyelesaikan masa studi maksimal dalam jangka
waktu/semester tertentu. Sebagai contoh, dengan mengambil salah satu kategori UKT yaitu
kelompok V misalnya yang dirata-ratakan yaitu Rp 4.000.000, maka UKT mahasiswa semester
9 keatas akan dikenai keringanan dengan membayar 50% atau setengah dari UKT yang
dibayarkan sebelumnya, maka UKT yang akan dibayarkan nantinya adalah Rp 2.000.000.

Selain itu, untuk menghindari isu-isu yang beredar di kampus, maka kami harapkan
perlu untuk lebih memberlakukan transparansi terhadap segala biaya operasional,
administrasi, dan biaya-biaya lain yang digunakan terutama pada semester 9 keatas serta
bagaimana alokasi dari penarikan UKT bagi mahasiswa semester 9 keatas yang tinggal hanya
mengambil SKS Tugas Akhir/Skripsi atau yang mengambil SKS Tugas Akhir/Skripsi dan SKS lain
selain SKS TA/Skripsi yang tinggal sedikit jumlahnya (contoh: satu mata kuliah yang diulang
sebanyak 2-4 SKS).

40
5. KEBIJAKAN UKT SELAMA MASA PANDEMI COVID19

Melihat kalender akademik Unhas, Kuliah Perdana Semester Akhir TA 2019/2020


dimulai sejak 3 Februari 2020 hingga 22 Mei 2020 yang merupakan Akhir Perkuliahan
Semester Akhir TA 2019/2020. Sedangkan pembatasan untuk beraktivitas di kampus telah
diberlakukan terhitung sejak 16 Maret 2020 dan masih berlangsung hingga awal bulan Mei
2020 ini. Jika kemungkinan terburuk pembatasan beraktivitas di kampus itu masih
berlangsung hingga tanggal 22 Mei 2020, artinya perkuliahan normal Semester TA 2019/2020
hanya berlangsung selama kurang lebih hanya satu setengah bulan, jangka waktu tersebut
bahkan kurang dari setengah dari jangka waktu perkuliahan yang semestinya. Sehingga
selama masa pandemi COVID19 ini, penggunaan fasilitas kampus yang termasuk biaya
langsung dan tidak langsung dalam BKT/UKT seperti yang telah dijelaskan pada Bab II (Poin 4)
itu penggunannya tidak sama dengan sewaktu hari-hari biasanya, karena tidak digunakan
secara full selama masa perkuliahan. Sehingga perlu ada kebijakan bagi mahasiswa seperti
terkait dengan UKT yang akan dibayarkan pada semester selanjutnya, juga khususnya bagi
mahasiswa tingkat akhir yang tinggal menyelesaikan tugas akhir/skripsinya.

Sebelumnya, penyampaian aspirasi telah disampaikan oleh mahasiswa melalui BEM


Unhas dan direspon baik oleh pihak rektorat melalui Surat Edaran Rektor Unhas Tentang
Bantuan Penyelenggaraan Pembelajaran dan Pelayanan di Rumah Sakit Bagi Mahasiswa
Unhas Selama Masa Darurat Pandemi yang memberikan beberapa kebijakan yang membantu
mahasiswa seperti bantuan biaya akses internet, penyediaan layanan internet murah bagi
mahasiswa dan dosen, layanan paket data edukasi gratis untuk akses e-learning kampus dan
aplikasi e-learning lainnya, hingga pembebasan pembayaraan UKT untuk semester
selanjutnya bagi mahasiswa yang akan ujian skripsi namun belum dapat melaksanakan ujian
pada semester akhir 2019/2020.

Namun pada poin terakhir (poin 5) dari kebijakan ini banyak dipertanyakan oleh
mahasiswa. Poin 5 berbunyi: “Mahasiswa yang akan ujian skripsi, ujian akhir profesi, ujian
akhir spesialis, ujian tesis dan ujian disertasi namun belum dapat melaksanakan ujian pada
semester akhir 2019/2020, maka dilakukan ujian pada semester Awal 2020/2021 dengan
dibebaskan dari pembayaran UKT”.

Jika melihat redaksi kalimat dari poin 5 tersebut mungkin ada yang beranggapan
bahwa hal tersebut berlaku secara umum bagi semua mahasiswa akhir yang sedang
mengerjakan tugas akhir/skripsi. Kata ‘ujian skripsi’ tersebut kemudian bisa menjadi multi
tafsir, sebab ujian skripsi di masing-masing fakultas berbeda-beda sebagaimana yang telah
dijelaskan sebelumnya pada Bab II Poin 5. Namun setelah dikonfirmasi ke pihak rektorat
dalam hal ini WR I Bidang Akademik, informasi yang didapatkan bahwa hal itu hanya berlaku
khusus bagi yang nantinya tinggal ‘ujian skripsi’ (seminar/ujian tutup). Sedangkan
seminar/ujian lain selain ujian skripsi seperti seminar proposal dan seminar hasil tidak
termasuk dalam kebijakan poin 5 tersebut.

41
Kebijakan yang awalnya ditanggapi antusias oleh mahasiswa tingkat akhir yang
sedang berjuang menyelesaikan tugas akhir/skripsi tersebut kemudian berubah setelah
mengetahui bahwa kebijakan tersebut hanya berlaku ‘khusus’ bagi ujian skripsi saja. Hal yang
wajar melihat proses yang dijalani selama mengerjakan tugas akhir/skripsi ini tidak mudah
dan tingkat kesulitannya berbeda-beda untuk setiap fakultas, khususnya dalam proses
pencarian dan pengolahan data penelitian dan sebagainya.

Meski dari pihak rektorat memberi kebijakan kepada mahasiswa untuk


diperbolehkan bahkan dianjurkan untuk mencari referensi melalui data sekunder. Namun,
yang menjadi persoalan adalah bagi mahasiswa tingkat akhir yang telah terlanjur mengambil
penelitian yang mengharuskan untuk aktif mengambil/mengolah data di lapangan,
sedangkan situasi selama COVID19 ini tidak memungkinkan bagi mahasiswa untuk bisa
beraktivitas seperti sebelumnya sehingga mau tidak mau, penelitian mahasiswa menjadi
terhambat. Meski kita ketahui juga bahwa kebijakan untuk bisa melaksanakan seminar hasil
via online juga telah ditempuh oleh pihak rektorat dalam rangka mempermudah proses
penelitian mahasiswa, namun hal tersebut tidak berdampak bagi mahasiswa yang terhambat
proses pengerjaan tugas akhir/skripsi sebagaimana dijelaskan sebelumnya.

Kemudian hal yang perlu diperhatikan juga oleh pihak rektorat adalah banyaknya
berkas administrasi yang wajib dipersiapkan oleh mahasiswa tingkat akhir seperti berkas
'map merah', SK, surat keterangan bebas perpustakaan, dan berkas kelengkapan untuk
mendaftar wisuda lainnya. Dimana proses pengurusan berkas ini tidak semuanya bisa
dilaksanakan melalui online tapi memerlukan pengurusan langsung di kampus dengan
mobilitas yang cukup tinggi namun hal ini akan jadi persoalan jika kemungkinan nantinya
pembatasan aktivitas di kampus ini masih diperpanjang hingga 5 Juni 2020 yang merupakan
Batas akhir pendaftaran online Wisuda Periode IV (wisuda bulan Juni).

Kemudian terkait kejelasan poin 5 ini pihak rektorat melalui Direktur Komunikasi
Unhas menginstruksikan untuk mengkoordinasikan hal ini dengan fakultas masing-masing,
mahasiswa silahkan menunggu arahan dari pihak fakultas terkait pembebasan UKT untuk
mahasiswa tahap akhir ini. Namun proses koordinasi antar mahasiswa dengan pihak fakultas
masing-masing ini juga sulit berjalan dengan optimal selama masa COVID19. Sehingga
kejelasan poin 5 ini masih dipertanyakan di kalangan mahasiswa.

Terhambatnya proses penelitian tugas akhir/skripsi tersebut tentunya bukan


kehendak dari mahasiswa tingkat akhir tersebut, tapi mahasiswa tentunya sedang
mengupayakan dengan maksimal demi tuntutan agar tidak lagi dikenai UKT apabila sampai
harus ‘menyeberang’ pada semester berikutnya. Hal ini bisa dibuktikan oleh mahasiswa-
mahasiswa yang telah berhasil menyelesaikan ujian skripsinya meski harus via online.
Namun, disisi lain tidak semua mahasiswa akhir bisa melakukan hal yang sama karena
persoalan-persoalan dan situasi sulit yang sedang dihadapi masa pandei COVID19 ini.

Kami tentu mengharapkan pihak rektorat Unhas agar bisa membuat kebijakan yang
langsung ditentukan oleh pihak Universitas dan berlaku secara menyeluruh bagi semua
fakultas, sehingga tidak ada lagi kesimpangsiuran informasi antar mahasiswa dan pihak
fakultas. Olehnya itu kami mengajukan kebijakan tersebut bukan hanya sekedar berlaku bagi

42
mahasiswa akhir yang tinggal ujian skripsi (seminar tutup) saja, melainkan berlaku bagi
semua mahasiswa yang telah melaksanakan seminar proposal penelitian tapi belum
melaksanakan seminar hasil dan ujian skripsi (seminar tutup), sebab mereka telah terhitung
sedang berjuang menyelesaikan tugas akhir/skripsi. Olehnya itu kebijakan dari pihak rektorat
sangat diharapkan melihat kondisi yang tentunya sama-sama kita pahami ini. Sehingga kami
merekomendasikan perlu adanya kebijakan untuk merealokasi anggaran UKT yang telah
dibayarkan sebelumnya untuk peniadaan pembayaran UKT semester selanjutnya bagi
seluruh mahasiswa aktif dan pembebasan UKT bagi mahasiswa tingkat akhir yang sedang
mengerjakan tugas akhir/skripsi.

43
BAB IV

REKOMENDASI

1. Kebijakan dan penetapan UKT ditentukan berdasarkan kemampuan ekonomi


mahasiswa, orang tua mahasiswa atau pihak lain yang membiayainya dengan
memperhatikan asas keadilan.
2. Penetapan UKT untuk jalur mandiri agar ditentukan berdasarkan kemampuan
ekonomi mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya.
3. Meniadakan uang pangkal dan/atau pungutan lain selain UKT (Dana Pengembangan
Program/DPP) untuk jalur mandiri jika tidak jelas urgensi dan transparansinya.
4. Uang pangkal dan/atau pungutan lain selain UKT (DPP) yang dikenakan kepada
mahasiswa baru jalur mandiri ditetapkan berdasarkan kemampuan ekonomi dengan
berdasarkan prinsip kewajaran, proporsional, dan berkeadilan.
5. Perlu ada kebijakan terkait penyesuaian UKT dan keringanan UKT bagi mahasiswa
yang mengalami persoalan ekonomi dan bagi mahasiswa tingkat akhir yang tinggal
menyelesaikan tugas akhir/skripsi.
6. Merealokasi anggaran UKT untuk keringanan pembayaran UKT selanjutnya bagi
seluruh mahasiswa aktif akibat dampak pandemi COVID-19.
7. Kebijakan UKT bagi mahasiswa akhir yang sedang mengerjakan tugas akhir/skripsi
agar dibebaskan pembayaran UKT untuk semester berikutnya akibat dampak
pandemi COVID-19.
8. Agar akses dan keterbukaan informasi terkait pendidikan lebih dioptimalkan.

44
REFERENSI

Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Menteri

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan


Tinggi

- Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 58 Tahun 2012 Tentang


Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Yang Diselenggarakan Oleh Pemerintah

- Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2013 Tentang Bentuk dan Mekanisme


Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum

- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2015 Tentang Bentuk


Dan Mekanisme Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum

- Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2020 Perubahan Atas Peraturan Pemerintah


Nomor 26 Tahun 2015 Tentang Bentuk Dan Mekanisme Pendanaan Perguruan Tinggi
Negeri Badan Hukum

- Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 55 Tahun 2013 Tentang Biaya
Kuliah Tunggal Dan Uang Kuliah Tunggal Pada Perguruan Tinggi Negeri Di Lingkungan
Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan

- Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 97 Tahun 2014 Tentang


Pedoman Teknis Penetapan Tarif Biaya Pendidikan Pada Perguruan Tinggi Negeri
Badan Hukum

- Peraturan Menteri Riset, Teknologi, Dan Pendidikan Tinggi Republik Nomor 5 Tahun
2016 Tentang Tata Cara Penetapan Standar Satuan Biaya Operasional Perguruan
Tinggi Negeri Badan Hukum

- Peraturan Menteri Riset, Teknologi, Dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor
39 Tahun 2017 Tentang Biaya Kuliah Tunggal dan Uang Kuliah Tunggal

- Surat Edaran Menteri Riset, Teknologi, Dan Pendidikan Tinggi Nomor


B/416/M/PR.03.04/2019 Tentang Pungutan Uang Pangkal dan atau Pungutan Lain
Selain UKT

Dokumen Unhas

- Peraturan MWA Nomor 46116 tahun 2016 Tentang Sistem Perencanaan dan
Penganggaran Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum Universitas Hasanuddin

45
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2015 Tentang Tentang
Statuta Universitas Hasanuddin

- Surat Edaran Rektor Universitas Hasanuddin Nomor 8695/UN4.1/KP.11.03/2020


Tentang Bantuan Penyelenggaraan Pembelajaran dan Pelayanan di Rumah Sakit Bagi
Mahasiswa Unhas Selama Masa Darurat Pandemi di Lingkungan Universitas
Hasanuddin

Dokumen

- Analisis Implementasi Kebijakan Uang Kuliah Tunggal (UKT) Di UGM Tahun 2013-
2015. Umar Abdul Aziz. 2016. Departemen Politik Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial
dan Politik Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

- Kajian Seputar Isu Perguruan Tinggi. Forum Advokasi UGM. 2014.


Academia.edu/UmarAziz

- Kajian Uang Kuliah Tunggal Mahasiswa Tingkat Akhir Institut Teknologi Bandung.
Kabinet Suarasa Keluarga Mahasiswa Institut Teknologi Bandung Tahun 2017

- Surat Keputusan Rektor UGM Nomor 526/UN1.P/SK/HUKOR/2016 Tentang


Penyesuaian Kelompok Uang Kuliah Tunggal Pada Program Sarjana dan Diploma di
Lingkungan UGM

- Surat Keputusan Rektor UGM Nomor 908/UN.1P/SK/HUKOR/2016 Tentang


Keringanan Pembayaran UKT Bagi Mahasiswa Program Sarjana dan Diploma
Angkatan 2013/2014 di Lingkungan UGM

- Surat Keputusan Rektor UGM Nomor 756/UN.1.P/SK/HUKOR/2017 Tentang


Keringanan Pembayaran UKT bagi Mahasiswa Program Sarjana dan Diploma di
Lingkungan UGM

Website

- Dana Pengembangan Pendidikan Butuh Transparansi.


https://identitasunhas.com/dana-pengembangan-pendidikan-butuh-transparansi/

- DPP 5 Fakultas Naik, Berikut Penjelasannya.


https://identitasunhas.com/dpp-5-fakultas-naik-berikut-penjelasannya/

- Ini Penjelasan Humas Unhas Soal Dana Pengembangan Pendidikan Bagi Mahasiswa
Baru 2018.

46
https://identitasunhas.com/ini-penjelasan-humas-unhas-soal-dana-pengembangan-
pendidikan-bagi-mahasiswa-baru-2018/

- Ironi Jalur Mandiri Masuk PTN. https://news.detik.com/kolom/d-4649600/ironi-jalur-


mandiri-masuk-ptn

- Kebijakan UKT UI 2019. https://blog.ruangguru.com/kebijakan-ukt-ui-2019

- Kebijakan Unhas Respon COVID-19: Subsidi Internet Uang Saku dan Bebas UKT.
https://unhas.ac.id/article/title/kebijakan-unhas-respon-COVID-19-subsidi-internet-
uang-saku-dan-bebas-ukt

- Mahasiswa Miskin tak Dikenai Uang Pangkal.


https://mediaindonesia.com/read/detail/249501-mahasiswa-miskin-tak-dikenai-
uang-pangkal

- Menristekdikti: Biaya UKT Berdasarkan Kemampuan Ekonomi Mahasiswa.


https://tirto.id/menristekdikti-biaya-ukt-berdasarkan-kemampuan-ekonomi-
mahasiswa-ee6o

- Menristekdikti: Uang Kuliah Ditentukan Kemampuan Ekonomi Mahasiswa.


https://edukasi.kompas.com/read/2019/07/29/14121381/menristekdikti-uang-
kuliah-ditentukan-kemampuan-ekonomi-mahasiswa?page=all

- Menyelaraskan Biaya Kuliah dengan Batas Studi Normatif.


https://identitasunhas.com/menyelaraskan-biaya-kuliah-dengan-batas-studi-
normatif/

- Pengumuman-SPP-Semester-9-Dan-Setelahnya_Final.
http://gizi.fema.ipb.ac.id/wp-content/uploads/2018/08/PENGUMUMAN-SPP-
SEMESTER-9-DAN-SETELAHNYA_FINAL.pdf
-
- PP No. 26 Tahun 2015: PTN Badan Hukum Boleh Pungut Uang Kuliah Mahasiswa.
https://setkab.go.id/pp-no-26-tahun-2015-ptn-badan-hukum-boleh-pungut-uang-
kuliah-mahasiswa/

- Presentasi Struktur Organisasi, Sumber Daya, Keuangan, dan Uang Kuliah Tunggal
Unhas (Disampaikan pada acara penerimaan mahasiswa baru). Prof. Dr. Muhammad
Ali, SE, MS Wakil Rektor II. https://slideplayer.info/slide/2684917/

- PTN Diminta Patuhi Rambu Penarikan Uang Pangkal.


https://www.medcom.id/pendidikan/news-pendidikan/wkB7DRlK-ptn-diminta-
patuhi-rambu-penarikan-uang-pangkal

- Rekam Jejak Uang Kuliah Tunggal di Kampus Merah.


https://identitasunhas.com/rekam-jejak-uang-kuliah-tunggal-di-kampus-merah/

47
- Seleksi Jalur Mandiri IPB Bebaskan Uang Pangkal Mahasiswa Baru Tak Mampu.
https://www.medcom.id/pendidikan/news-pendidikan/yNL7dZPK-ipb-bebaskan-
uang-pangkal-mahasiswa-baru-tak-mampu

- UKT Bisa Diturunkan sesuai Kemampuan Mahasiswa Bayar Biaya Kuliah.


https://tirto.id/ee6uhttps://tirto.id/ukt-bisa-diturunkan-sesuai-kemampuan-
mahasiswa-bayar-biaya-kuliah-ee6u

- Unpad Buka Seleksi Mandiri, Kelas Internasional, dan Jalur Prestasi untuk Program
Sarjana.http://www.unpad.ac.id/2020/04/unpad-buka-seleksi-mandiri-kelas-
internasional-dan-jalur-prestasi-untuk-program-sarjana/

48

Anda mungkin juga menyukai