Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan dan keselamatan kerja adalah upaya pencegahan dari
kecelakaan dan melindungi pekerja dari mesin, dan peralatan kerja yang
akan dapat menyebabkan traumatic injury (Kondarus, 2006). Kecelakaan
adalah suatu kejadian tak diduga dan tidak dikehendaki yang mengacaukan
proses suatu aktivitas yang telah diatur (Santoso, 2008). Menurut Estimasi
International Labour Organization (ILO), setiap tahun terjadi sebanyak 337
juta kecelakaan kerja diberbagai negara yang mengakibatkan sekitar 3 juta
orang pekerja kehilangan nyawa.
Di Indonesia angka kecelakaan kerja juga tinggi. Menurut data dari
Jamsostek, angka kecelakaan kerja tahun 2011 lalu mencapai 99,491 kasus.
Jumlah tersebut meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada
tahun 2007, tercatat 83.714 kasus, tahun 2008 sebanyak 94.736 kasus, tahun
2009 sebanyak 96.314 kasus, dan tahun 2010 sebanyak 98.711 kasus. Data
tersebut mencakup seluruh perusahaan yang menjadi anggota jamsostek
dengan jumlah peserta sekita 7 juta orang atau sekitar 10% dari seluruh
pekerja di Indonesia. Dengan demikian angka kecelakaan mencapai 930
kasus untuk setiap 100.000 pekerja setiap tahun (Ramli, 2013)
Menurut laporan International Labour Organization (ILO), kerugian
akibat kecelakaan kerja mencapai 4% dari Gros Domestic Product (GDP)
suatu Negara, artinya dalam skala industri kecelakaan dan penyakit akibat
kerja menimbulkan kerugian 4% dari biaya produksi berupa pemborosan
terselubung (hidden cost) yang dapat mengurangi produktivitas yang pada
akhirnya dapat mempengaruhi daya saing suatu Negara.
Kecelakaan kerja juga mengakibatkan dampak sosial yang besar, yaitu
menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat, khususnya mereka yang
menjadi korban kecelakaan dan keluarganya (Ramli, 2013). Kecelakaan
kerja secara umum disebabkan oleh 2 hal pokok yaitu perilaku kerja yang
tidak aman (unsafe act) dan kondisi kerja yang tidak aman (unsafe
conditions). Heinrich (1980) memperkirakan 85% kecelakaan adalah hasil
kontribusi perilaku kerja yang tidak aman (unsafe act). Berdasarkan hal
tersebut, maka dapat dikatakan bahwa perilaku manusia merupakan unsur
yang memegang peranan penting dalam mengakibatkan suatu kecelakaan.
Perilaku adalah segala aktivitas yang dikerjakan organisme, baik yang dapat
diamati secara langsung ataupun tidak langsung (Notoatmodjo, 2010).

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas dapat disimpulkan rumusan masalah
dalam laporan ini adalah tentang “Faktor Bahaya Lingkungan Kerja Fisik di
Perusahaan Kerupuk Kapal Mas”

1.3 Tujuan
1.3.1 Agar mahasiswa mampu mengidentifikasi resiko bahaya yang terdapat
pada perusahaan Krupuk Kapal Mas tersebut.
1.3.2 Untuk mengetahui cara mengatasi sumber-sumber bahaya yang ada di
tempat kerja tersebut.
1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi Mahasiswa
Dapat dijadikan bahan untuk belajar mengetahui cara kerja manusia
dengan menggunakan alat manual maupun mesin. Dan dapat dijadikan
sumber pengetahuan.
1.4.2 Bagi Industri
Dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi guna memperbaiki kualitas
pekerja maupun memperbaiki alat-alat yang tidak sesuai ergonomi
menjadi sesuai dengan ergonominya.
1.4.3 Bagi Pekerja
Sebagai informasi Kesehatan dan Keselamatan Kerja bagi
masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan dalam bekerja.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Kecelakaan


Sekarang ini masalah keselamatan kerja semakin menjadi perhatian
dan keinginan berbagai pihak yang terkait karena di anggap begitu penting
dan berharga. Kebutuhan keselamatan kerja ini adalah terletak pada
kenyataan bahwa angka kecelakaan dalam kegiatan produksi masih tinggi
dan mengkhawatirkan yang kemudian berakibat banyaknya orang yang
mengalami cedera. Kecelakaan kerja merupakan suatu kejadian yang tidak
di duga dan tidak dikehendaki, yang mengacaukan proses aktifitas yang
telah diatur, dan terdapat empat faktor bergerak dalam suatu bagian berantai
yakni: lingkungan, bahaya, peralatan dan manusia (Santoso, 2004:7).
Penelitian menunjukkan bahwa 85% penyebab kecelakaan kerja
bersumber dari faktor manusia (Suma’mur, 2009 : 406). Adalah menjadi
kenyataan bahwa pada beberapa pekerja cenderung untuk mengalami
kecelakaan.Biasanya orang seperti ini berkarakter ceroboh, tergesa-gesa,
mudah panik, suka menganggap sepele permasalahan, suka melamun,
temperamental, terlalu berani, angkuh, dan suka berbuat semaunya. Tipe
karyawan seperti inilah yang dikatakan sebagai accident prone atau
karyawan yang cenderung untuk mengalami celaka. Dalam peraturan
pemerintah No.33/1997, pasal 1ayat 2, menjelaskan bahwa kecelakaan kerja
adalah: kecelakaan yang menimpa tenaga kerja berhubungan dengan
hubungan kerja dan penyakit yang timbul karena hubungan kerja. Dari
definisi diatas dijelaskan bahwa pengertian kecelakaan tidak hanya terbatas
pada insiden-insiden yang menyagkut terjadinya luka-luka saja, tetapi juga,
meliputi kerugian fisik dan materil. Kecelakaan akan selalu disertai dengan
kerugian materil maupun penderitaan dari yang paling ringan sampai yang
paling berat dan bahkan ada yang meninggal, oleh karena itu sebelum
terjadinya kecelakaan, perlu dilakukantindakan-tindakan pencegahan.
Sedangkanuntuk melakukan tindakan pencegahan terjadinya kecelakaan
kerja, perusahaanmenerapkan kebijaksanaan dengan memperhatiakn sumber
daya yang ada yaitu manusia dan metode kerja yang digunakan di tempat
kerja.
2.1.1 Faktor-faktor penyebab terjadinya kecelakaan kerja
Kecelakaan sebagai suatu kejadian yang tidak direncanakan dan tidak
diharapkan bukanlah peristiwa kebetulan saja, tetapi ada sebab-sebabnya.
Sebab-sebab itu perlu diketahui dengan jelas agar usaha keselamatan dan
pencegahan dapat diambil, sehingga kecelakaan tidak terulang kembali dan
kerugian akibat kecelakaan dapat dihindari.Kecelakaan tidak terjadi begitu
saja, kecelakaan terjadi karena tindakan yang salah satu kondisi yang tidak
aman. Faktor-faktor penyebab kecelakaan kerja adalah sebagai berikut
(umar, 2001:67)
a. Mesin-mesin yang berbahaya, suara bising dan getaran
b. Bahan-bahan yang membahayakan paruparu, mata dan kulit
c. Luka-luka fisik dan stress
d. Terbatasnya tempat kerja
e. Terpeleset, tersandung, jatuh dan tertimpa barang
f. Luka-luka disebabkan oleh kendaraan
Peristiwa kecelakaan akan selalu disertai dengan merugikan materi
ataupun penderitaan terhadap karyawan dan keluarganya. Penyebab
kecelakaan kerja secara umum dapat dibagi :
a. Penyebab langsung
1) Perbuatan yang tidak aman (unsafeacts)
Didifinisikan sebagai segala tindakan manusia yang dapat
memungkinkan terjadinya kecelakaan pada diri sendiri maupun orang
lain. Contoh perbuatan yang tidak aman : metode kerja yang salah, tidak
menggunakan alat yang sudah disediakan, menggunakan alat yang sudah
rusak, tidak mengikuti prosedur keselamatan kerja.
2) Kondisi yang tidak aman (unsafe condition)
Didefinisikan sebagai salah satu kondisi lingkungan kerja yang dapat
memungkinkan terjadinya kecelakaan. Contoh kondisi yang tidak aman :
kondisi fisik, mekanik, peralatan, kondisi permukaan tempat berjalan dan
bekerja, kondisi penerangan, ventilasi, suara dan getaran, kondisi
penataan lokasi yang salah.
b. Penyebab tidak langsung :
1) Fungsi manajemen
2) Kondisi pekerjaan
Dari hasil analisa kebanyakan kecelakaan biasanya terjadi karena
mereka lalai ataupun kondisi kerja yang kurang aman, tidak hanya satu saja.
Keselamatan dapat dilaksanakan sedemikian mungkin, tetapi untuk tingkat
efektifitas maksimum, pekerja harus dilatih menggunakan peralatan
keselamatan. Cara penggolongan sebab-sebab kecelakaan ini diberbagai
Negara tidaklah sama, namun ada kesamaan umum. Menurut Heidjrachman
dan Suaad Husnan, sebab-sebab kecelakaan dikelompokkan atas :
a. Sebab Teknis
Menyangkut masalah kejelekan pabrik, perawatan mesin-mesin,
alat-alat serta kebisingan yang berlebihan.
b. Human (manusia)
Biasanya disebabkan oleh deficiencies para individu seperti : sikap
yang ceroboh, tidak hati-hati, tidak mampu menjalankan tugas dengan
baik, mengantuk, pecandu obat-obat bius/ alkohol.
2.1.2 Jenis – jenis Kecelakaan
Jenis – jenis kecelakaan kerja dalam buku Himpunan Peraturan
Perundang – undangan Ketenagakerjaan tentang Keselamatan dan
Kesehatan Kerja tahun 2003 dan ketentuan Migas, CPI mengklasifikasikan
kecelakaan sebagai berikut :
a. Nyaris celaka ( Near Accident )
Secara fisik seseorang pekerja belum mengalami kecelakaa, tetapi
akibat dari suatu keadaan atau tindakan yang mengarah pada terjadinya
kecelakaan.
b. Kecelakaan ringan (Minor Accident )
Kecelakaan yang cukup dibantu dengan pertolongan pertama pada
kecelakaan atau kecelakaan yang menimbulkan kehilangan kerja kurang
dari dua hari atau 2 x 24 jam.
c. Kecelakaan sedang (Middle Accident )
Kecelakaan yang berakibat timbulnya kehilangan hari kerja tetapi
tidak berakibat cacat atau sementara, dan perawatan di rumah sakit
dibawah 21 hari.
d. Kecelakaan berat (Serious Accident)
Kecelakaan yang berakibat timbulnya kehilangan hari kerja dan
berakibat cacat tubuh serta mendapat perawatan di rumah sakit lebih dari
21 hari (Dua Puluh Satu) Hari.
e. Kecelakaan fatal
Kecelakaan yang berakibat timbulnya korban meninggal. Selain
luka – luka dan kematian, kecelakaan kerja dapat pula mengakibatkan
kerugian karena terganggunya aktivitas kerja, kerusakan alat-alat
lingkungan dan menurunnya moral karyawan terutama bagi mereka yang
langsung memahami atau melihat kecelakaan tersebut.
2.2 Lingkungan Kerja
Lingkungan kerja adalah lingkungan yang mempengaruhi
pembentukan perilaku seseorang dalam bekerja. Lingkungan kerja tersebut
dapat dibagi dua yaitu lingkungan fisik seperti bangunan dan fasilitas yang
disediakan serta letak gedung dan prasarananya. Sedangkan lingkungan non
fisik adalah rasa aman dari bahaya, aman dari pemutusan kerja, loyalitas
baik kepada atasan maupun sesama rekan kerja dan adanya rasa kepuasan
kerja dikalangan karyawan (Wursanto, 2005:288). Lingkungan Kerja
merupakan aspek yang dapat dikendalikan controllable oleh perusahaan,
sedangkan cara bekerja yang sehat dan selamat merupakan aspek yang juga
controllable dilakukan oleh tenaga kerja (Suma’mur, 2009 : 13).
Lingkungan kerja adalah segala yang ada di lingkungan para pekerja
yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas. Seperti
temperature, kelembaban, ventilasi, penerangan dan kegaduhan, kebersihan
tempat kerja dan tidak memadainya alat-alat dan perlengkapan kerja
(Isyandi, 2004:134). Pekerja menginginkan kondisi disekitar pekerjaanya
baik, karena kondisi tersebut mengarah kepada kenikmatan dan kesenangan
secara fisik misalnya penerangan terlalu kecil dapat menyebabkan
ketidaknikmatan fisik, udara kotor atau miskinnya ventilasi dapat
membahayakan bagi kesehatan. Lingkungan fisik dimana individu bekerja
mempunyai pengaruh pada jam kerja maupun sikap mereka terhadap
pekerjaan itu sendiri.
Faktor-faktor yang terdapat pada lingkungan kerja oleh Karlinger
(1987) dalam (Isyandi, 2004:134):
a. Fasilitas, bahan baku, mesin dan alat-alat produksi
b. Keributan mesin
c. Ventilasi/sirkulasi udara
d. Ruang gerak dalam bekerja
e. Penerangan
f. Temperatur ruangan

2.2.1 Indikator Lingkungan


Lingkungan Kerja merupakan sesuatu yang ada disekitar pekerja dan
dapat mempengaruhi dirinya dalam menyelesaikan semua tugas yang
diberikan kepadanya, dengan indikator :
a. Perlengkapan kerja
b. Fasilitas kerja
c. Hubungan dengan atasan
d. Hubungan dengan karyawan (Nitisemito, 2003 : 109)

2.3 Faktor Manusia


Faktor manusia dalam kecelakaan kerja merupakan konsep klasik
dalam usaha keselamatan dan pemecahan kecelakaan kerja, karena walau
bagaimana pun baik penyebabnya maupun yang diderita semuanya
berpulang kepada manusia itu sendiri, tetapi konsep manusia dan kecelakaan
kerja bukan hanya menyangkut pada kesalahan awal, terkadang dalam
pelaksanaan pekerjaan faktor manusia mengoperasikan peralatan-peralatan
yang digunakan merupakan penyebab kecelakaan, karena yang disebabkan
manusia itu sendiri mempunyai keterbatasan dalam hubungannya dengan
peralatan-peralatan yang dipergunakan. Jadi, faktor manusia pada suatu
pekerjaan merupakan faktor yang mengacu pada setiap masalah yang
mempengaruhi pendekatan individu terhadap pekerjaan dan kemampuan
untuk melaksanakn tugas dan pekerjaan atau faktor manusia sebagai faktor-
faktor lingkungan, organisasi dan pekerjaan, karakteristik manusia dan
individu yang mempengaruhi perilaku ditempat kerja (john,2006:86).
Faktor manusia merupakan hal yang penting yang ada didalam
perusahaan.Karena manusia merupakan suatu asset perusahaan dalam
melakukan pekerjaannya. Apabila perusahaan melakukan rekrut karyawan
sesuai dengan aturannya baik dari segi kemampuan atau skill yang
dimilikinya, maka pihak perusahaan akan dapat mencapai tujuan dan
sasaran yang telah diterapkan perusahaan. Hal ini berhubungan dengan job
analisis.Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan deskripsi jabatan dan
spesifikasi jabatan. Disamping faktor manusia ada faktor lain yaitu
ketimpangan sistem manajemen seperti perencanaan, pengawasan,
pelaksanaan, pemantauan, dan pembinaan. Dengan demikian penyebab
kecelakaan tidak selalu tunggal tetapi bersifat multi causal sehingga
penanganannya harus secara terencana dan komprehensip.
Pengaruh faktor-faktor manusia pada pekerjaan dibagi menjadi empat
bagian yaitu:
a. Cakupan faktor-faktor manusia mencakup :
1) Sikap pekerja terhadap pekerjaannya
2) Hubungan antara para pekerja dengan kelompok kerjanya
3) Interaksi antara para pekerja dengan pekerjaannya atau lingkungan
pekerjaannya
4) Kemampuan kerja dan keahlian
5) Prilaku individu setiap orang
6) Cakupan pelatihan dan instruksi yang disediakan
7) Desain, kondisi pabrik dan perlengkapan
8) Aturan-aturan dan system kerja
b. Faktor-faktor positif
1) Lingkungan manajerial yang membiasakan budaya keselamatan dan
kesehatan kerja
2) Menyesuaikan kemampuan individu dengan pekerjaan atau mesin
3) Mengadakan pelatihan
4) Menyediakan perlengkapan pekerjaan
5) Mempunyai tujuan kinerja
6) Disiplin kerja yang seimbang dan adil
7) Memiliki informasi yang jelas
8) Memantau kinerja dan mengkomunikasikan hasilnya
9) Menerapkan sistem umpan balik
10) Memastikan aturan-aturan dan prosedur-prosedur yang disepakati
bersama telah dipatuhi
c. Faktor negatif
1) Minimnya pelatihan dan tugastugas
2) Bersikap menentang terhadap aturan-aturan dan pengamanan
3) Mengabaikan atau melewati pengamanan dan mengambil jalan
pintas untuk meningkatkan pendapatan
4) Mengabaikan apa yang sedang terjadi
5) Mengabaikan atau salah memahami apa yang harus dikerjakan
6) Gagal mengkomunikasikan atau mengintruksikan dengan benar
7) Desain, tata letak pabrik dan perlengkapan yang buruk sehingga
tidak memperhitungkan keterbatasan manusia baik secara mental
maupun fisik
8) Minimnya arahan yang jelas
d. Faktor-faktor individu
1) Sikap individu terhadap tugas dan pekerjaannya
2) Derajat motivasi pribadi terhadap pekerjaan
3) Apakah pelatihan yang diterima memuaskan kebutuhan individu
4) Persepsi terhadap peran individu dalam perusahaan
5) Kemampuan memenuhi tuntutan pekerjaan
6) Materi pelatihan yang mudah dipahami
7) Melihat kerja sebagai tantangan
Dalam hal sikap diatas akan berkurangnyaperhatian karyawan tersebut
terhadap keselamatan kerja dan karyawan tersebut bisa melakukan tindakan
kekacauan untuk menciptakan suasana yang tidak aman kelompok kerja
diperusahaan pada umumnya. Manusia mempunyai keterbatasan dalam
mengoperasikan peralatan-peralatan yang digunakan, seperti psikologi,
keterampilan, pengetahuan. Selain itu juga disebabkan oleh efisiensi para
individu seperti sikap ceroboh, tidak hati-hati, tidak mampu menjalankan
tugas dengan baik. Apabila perusahaan melakukan rekrut karyawan sesuai
dengan aturannya baik dari segi kemampuan atau skill yang dimilikinya,
maka pihak perusahaan akan dapat mencapai tujuan dan sasaran yang telah
diterapkan perusahaan. Hal ini berhubungan dengan job analisis. Kemudian
dilanjutkan dengan menggunakan deskripsi jabatan dan spesifikasi jabatan.
Dengan demikian manusia akan lebih mengetahui tentang pekerjaan yang
akan dilakukannya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Dimana hal
tersebut akan mengurangi tingkat kecelakaan kerja pada saat ia bekerja.
Sementara penelitian lain menunjukkan bahwa 80-85% kecelakaan
disebabkan oleh faktor manusia (Santoso,2004).
a. Ketidak seimbangan fisik atau kemampuan tenaga kerja, antara lain :
tidak sesuai berat badan, posisi tubuh yang menyebabkan mudah lemah,
cacat fisik dan cacat sementara.
b. Ketidak seimbangan kemampuan psikologi, antara lain: rasa takut atau
phobia gangguan emosional, gerakan lambat, tidak mampu memahami,
keterampilan kurang.
c. Kurang pengetahuan, antara lain: kurang pengalaman, kurang orientasi,
kurang latihan memahami pekerjaan.
d. Kurang keterampilan, antara lain: kurang mengadakan pelatihan praktik,
penampilan kurang, kurang kreatif, salah pengertian.
e. Stress mental, antara lain: emosi berlebihan, beban mental berlebihan,
pendiam dan tertutup, frustasi dan sakit mental.
f. Stress fisik, antara lain: badan sakit, beban tugas berlebihan, kurang
istirahat, terpapar bahan berbaya, terpapar panas yang tinggi, kekurangan
oksigen, gerakan terganggu.
g. Motivasi menurun (kurang termotivasi) antara lain: mau bekerja apabila
ada penguatan atau hadiah, frustasi berlebihan, tidak ada umpan balik,
tidak mendapat insentif produksi, tidak mendapat pujian dari hasil
kerjanya dan terlalu tertekan.

2.3.1 Indikator Faktor Manusia


Yang menjadi indikator Faktor manusia menurut John ( 2006 : 86)
adalah sebagai berikut :
a. Sikap pekerja terhadap pekerjaan
b. Kemampuan dan keahlian kerja
c. Sikap/perilaku karyawan yang baik
d. Kelalaian karyawan
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Kebisingan
Bahaya fisik kebisingan berdasarkan hasil observasi penelitian
ditemukan pada bagian mesin pengulenan adonan, mesin uap dan alat
pemotong. Kebisingan pertama berasal dari mesin produksi serta proses kerja
di area kerja produksi. Pada langkah kerja pertama, kebisingan berasal dari
mesin pengulenan adonan. Pada mesin pengulenan menimbulkan bunyi yang
cukup keras. Kebisingan kedua terjadi pada langah kerja yang ke empat pada
bagian mesin penguapan adonan dimana kebisingan berasal dari alat kerja
yang digunakan. Pada proses penguapan adonan, kebisingan berasal dari suara
uap yang ada di dalam mesin. Pada mesin penguapan adonan terdapat dua
mesin yang masing – masing berbeda tingkat kebisingannnya. Kebisingan
bertambah besar intensitasnya dengan tempat kerja yang merupakan area kerja
yang sama dengan kebisingan langkah kerja yang pertama. Sedangkan proses
memotong adonan krupuk dengan menggunakan mesin, kebisingan berasal
dari mesin itu sendiri. Berdasarkan hasil observasi penelitian, kebisingan
dapat diredam dengan teknik rekayasa engineering dimana mesin pengulenan
adonan dan penguapan adonan berada di dalam suatu ruangan dan saat proses
memotong terpisah dengan ruangan produksi adonan.
Hasil pemeriksaan bahaya kerja untuk parameter kebisingan di area
kerja Perusahaan Krupuk Kapal Mas, pada bagian pengulenan adonan yakni
69,8 – 76,5 dBA, kebisingan kedua berasal dari mesin penguap adonan yang
dimana pada mesin penguapan terdapat dua mesin untuk penguapan adonan
pada mesin yang pertama kebisingan yang dihasilkan sebesar 73,2 – 77,3
dBA, pada mesin kedua kebisingan nya yaitu 83.0 – 85,2 dBA, kemudian
kebisingan yang ketiga di hasilkan dari mesin pemotong yakni sebesar 41,3 –
62,2 dBA. Hasil pemeriksaan kebisingan tersebut menandakan bahwa pada
area kerja di perusahaan Krupuk Kapal Mas memiliki intensitas kebisingan
yang cukup tinggi.

3.1.1 Gambar mesin pengulenan adonan

3.1.2 Gambar mesin penguapan adonan


3.1.3 Gambar mesin pemotongan
Berdasarkan Permenakertrans nomor 13 tahun 2011 tentang Nilai
Ambang Batas Faktor Fisik di Tempat Kerja, disebutkan bahwa NAB
kebisingan untuk waktu pemajanan per hari selama delapan jam intensitas
kebisingan yang diperbolehkan yakni sebesar 85 dBA. Menurut Kholik dan
Krishna (2012), kebisingan pada area kerja yang melebihi NAB dapat
memberikan beberapa efek bagi pekerja. Tingkat kebisingan yang memapar
pekerja selama bekerja dapat memberikan pengaruh terhadap kinerja pekerja.
Hal serupa diungkapkan pula oleh Sudirman (2014) bahwa terdapat hubungan
tingkat kebisingan, umur, dan masa kerja dengan keluhan kesehatan non
pendengaran. Keluhan kesehatan non pendengaran tersebut meliputi gangguan
komunikasi dan timbulnya stres kerja. Pernyataan Sudirman didukung pula
oleh hasil penelitian dari Oesman (2014) yang menyatakan bahwa kondisi
tingkat kebisingan yang tinggi dapat berbahaya bagi pekerja dimana dapat
berakibat pada terjadinya kurang pendengaran atau hearing-loss.
Kristiyanto (2014) menyimpulkan pula dalam penelitiannya bahwa
intensitas kebisingan dapat menyebabkan terjadinya gangguan psikologis pada
pekerja. Hubungan antara intensitas kebisingan dengan kejadian gangguan
psikologis seperti gangguan konsentrasi, gangguan tidur, dan perasaan mudah
marah atau emosi ini dikategorikan korelasi kuat. Korelasi kuat tersebut
memiliki arti bahwa semakin tinggi intensitas kebisingan maka semakin tinggi
gangguan psikologis yang akan terjadi.
3.2 Penerangan

Penerangan pada area kerja menggunakan sumber pencahayaan yakni


sumber alami dari matahari serta buatan yang berasal dari lampu. Cahaya
matahari masuk melalui celah-celah jendela yang ada pada bagian atas
dinding area kerja, beberapa bagian atap yang dilapisi dengan plafon, serta
melalui pintu masuk area kerja. Pencahayaan secara alami digunakan pada
saat pagi hingga sore hari. Namun apabila kondisi cuaca mendung serta di
malam hari, maka pencahayaan buatan yang digunakan.

Jenis lampu yang digunakan pada area kerja Perusaahaan Krupuk


Kapal Mas yakni lampu bohlam. Lampu diletakkan pada bagian atap dan
menjuntai kebawah dengan keberadaan tongkat besi yang cukup panjang.
Lampu bohlam yang bertujuan untuk mengarahkan cahaya terpancar ke
bawah yakni area kerja pada saat lampu dinyalakan. Pihak perusahaan tidak
memiliki data pemeriksaan bahaya fisika terkait penerangan atau
pencahayaan. Berdasarkan Peraturan Menteri Perburuhan nomor 7 tahun 1964
tentang Syarat-Syarat Kesehatan, Kebersihan, dan Penerangan di Tempat
Kerja, disebutkan bahwa penerangan di tempat kerja sangat penting untuk
diperhatikan. Jarak antar gedung atau bangunan lainnya harus sedemikian
rupa sehingga tidak mengganggu masuknya cahaya siang ke tempat kerja.
Sumber cahaya yang dipergunakan untuk sistem penerangan tidak boleh
menyebabkan sinar yang menyilaukan atau bayangan-bayangan atau kontras
yang mengganggu pekerjaan. Hasil yang di dapatkan setelah di lakukan
pengukuran pada ruangan packing sebesar 30 lux.. Menurut Suma’mur
(2014), jika penerangan di tempat kerja buruk, maka akan menimbulkan
gangguan penglihatan pada pekerja serta mengganggu proses produksi.
Beberapa kejadian yang dapat terjadi akibat penerangan buruk antara lain
yakni:
a. Kelelahan mata dengan berkurangnya daya dan efisiensi kerja

b. Kelelahan mental atau psikis

c. Keluhan – keluhan pegal di daerah mata dan sakit kepala sekitar mata

d. Kerusakan mata

e. Meningkatnya peristiwa kecelakaan

3.3 Suhu

Bahaya fisik suhu tinggi tampak jelas pada langkah kerja di bagian
ruangan produksi adonan krupuk. Pada ruangan produksi dimana terdapat
mesin penguapan adonan serta di bagian samping bangunan terdapat mesin
pembakaran yang menghasilkan uap yang kemudian diarahkan kedalam mesin
uap sehingga di tempat produksi adonan krupuk sangat panas, dimana suhu
setelah di lakukan pengukuran selama 8 jam sebesar 33,6 oC Sedangkan hasil
pemeriksaan bahaya kerja untuk parameter kelembapan di area kerja yakni 63%
Hasil pemeriksaan suhu dan kelembapan tersebut menandakan bahwa pada area
kerja casting perusahaan memiliki nilai iklim kerja yang melebihi NAB.

Gambar hasil pengukuran suhu

Berdasarkan Kepmenaker RI nomor 51 tahun 1999 tentang Nilai


Ambang Batas Faktor Fisika di Tempat Kerja, disebutkan bahwa NAB iklim
kerja dengan waktu kerja 8 jam per hari dengan tingkat beban kerja berat,
maka NAB ISBB di tempat kerja tersebut yakni sebesar 25 oC. Menurut
Anggraini (2010), pemaparan tekanan panas yang melebihi NAB dapat
mempengaruhi produktivitas kerja. Penelitian Anggraini (2010) menyatakan
bahwa terdapat hubungan antara tekanan panas dengan produktivitas dimana
hubungan tersebut masuk kategori erat dengan sifat berbanding terbalik.
Semakin tinggi tekanan panas yang memapar pekerja, maka produktivitas
kerja akan menurun. Salah satu upaya yang dilakukan oleh perusahaan untuk
mengendalikan dampak bahaya kerja suhu tinggi yakni melalui pemberian
fasilitas air minum. Pemberian air minum berfungsi untuk menurunkan angka
kejadian dehidrasi pekerja. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Suwondo
(2008) bahwa terdapat hubungan antara konsumsi air minum dengan tekanan
darah arteri rata-rata pekerja yang terpapar oleh panas. Adapun konsumsi air
minum yang dianjurkan bagi pekerja yang terpapar panas yakni 250 ml per
jam atau disesuaikan dengan kebutuhan air minum untuk tenaga kerja di
lingkungan kerja yang panas. Batas minimal konsumsi air minum pekerja
yakni 1.9 liter per hari.
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

4.2 Saran
4.1.1 Bagi Perusahaan Krupuk Kapal Mas
a. Melakukan pengawasan kepada pekerja yang tidak menggunakan Alat
Pelindung Diri berupa sarung tangan, sepatu boot, dan celemek.
b. Menyarankan perusahaan untuk membuat komitmen dan kebijakan
secara tertulis untuk menerapkan SMK3 di tempat kerja yang
diberikan oleh semua pihak terutama dari pihak manajemen atau
pengurus dan tenaga kerja.
c. Melakukan perawatan dan perbaikan pada peralatan dan lokasi pabrik
untuk menjaga keselamatan karyawan dan memaksimalkan proses
produksi.
4.1.2 Bagi pekerja
a. Mengenakan alat pelindung diri untuk meminimalisir terjadinya
kecelakaan kerja.
b. Menjaga kebersihan diri pada saat bekerja atau setelah bekerja.
c. Bekerja dengan hati – hati dan lebih memperhatikan keselamatan diri.
DAFTAR PUSTAKA

Anggraini. 2010. Hubungan Tekanan Panas dengan Produktivitas Kerja pada


Siswa di Unit Produksi SMK Katolik ST. Mikael Surakarta Jawa
Tengah. Skripsi. SMK Katolik ST. Mikael Surakarta Jawa Tengah:
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia nomor 51 tahun 1999
tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Tempat Kerja.
Kholik dan Krishna. 2012. Analisis Tingkat Kebisingan Peralatan Produksi
terhadap Kinerja Karyawan. Jurnal. Pertamina RU V Balikpapan:
Jurusan Teknik Industri Universitas Muhammadiyah Malang.
Kristiyanto. 2014. Hubungan Intensitas Kebisingan dengan Gangguan
Psikologis Pekerja Departemen Laundry Bagian Washing PT. X
Semarang. Jurnal. PT. X Semarang: Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Diponegoro.
Oesman. 2014. Evaluasi Kondisi Lingkungan Kerja pada Bagian Proses
Pengecoran di Industri Kerajinan Cor Alumunium “ED” Jogjakarta.
Jurnal. Jogjakarta: Fakultas Teknik IST AKPRIND Yogyakarta.
Peraturan Menteri Perburuhan nomor 7 tahun 1964 tentang Syarat-Syarat
Kesehatan, Kebersihan, serta Penerangan dalam Tempat Kerja.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia nomor 13
tahun 2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor
Kimia di Tempat Kerja.
Sudirman. 2014. Keluhan Keshetaan Non Pendengaran Akibat Kebisingan pada
Pekerja Instalasi Gizi Rumah Sakit. Jurnal. Rumah Sakit di Kota
Makassar: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin.
Suma’mur. 2014. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Hiperkes) Edisi 2.
Jakarta: Sagung Seto.
Suwondo. 2008. Perbedaan Tekanan Darah pada Pekerja yang Terpapar
Panas di Industri Sale Pisang Suka Senang Kabupaten Ciamis.
Jurnal. Industri Sale Pisang Suka Senang Kabupaten Ciamis: Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro.

Anda mungkin juga menyukai