Anda di halaman 1dari 7

Menurut pakar hukum Indonesia, Prof. Dr.

Wirjono Prodjodikoro (1976),


hukum waris diartikan sebagai hukum yang mengatur tentang
kedudukan harta kekayaan seseorang setelah pewaris meninggal
dunia, dan cara-cara berpindahnya harta kekayaan itu kepada orang
lain atau ahli waris.
Meskipun pengertian hukum waris tidak tercantum dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata KUH Perdata, namun tata cara
pengaturan hukum waris tersebut diatur oleh KUH Perdata. Sedangkan
berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, hukum waris
adalah hukum yang mengatur pemindahan hak pemilikan atas harta
peninggalan pewaris, lalu menentukan siapa saja yang berhak menjadi
ahli waris dan berapa besar bagian masing-masing.
Unsur-Unsur Hukum Waris
Membicarakan hukum waris tidak terlepas dari beberapa unsur yang
terikat. Adapun unsur-unsur tersebut sebagai berikut:
1. Pewaris
Pewaris adalah orang yang meninggal dunia atau orang yang
memberikan warisan disebut pewaris. Biasanya pewaris melimpahkan
baik harta maupun kewajibannya atau hutang kepada orang lain atau
ahli waris.
2. Ahli waris
Ahli waris adalah orang yang menerima warisan disebut sebagai ahli
waris yang diberi hak secara hukum untuk menerima harta dan
kewajiban atau hutang yang ditinggalkan oleh pewaris.
3. Harta warisan
Warisan adalah segala sesuatu yang diberikan kepada ahli waris untuk
dimiliki pewaris, baik itu berupa hak atau harta seperti rumah, mobil,
dan emas maupun kewajiban berupa hutang.

Hukum Waris di Indonesia


Hukum Waris di Indonesia via amazonaws.com
 

Indonesia adalah negara multikultural. Berbagai aturan yang ada pun


tidak dapat mengotak-kotakan kultur yang ada. Sama berlakunya
untuk hukum waris. Di Indonesia, belum ada hukum waris yang berlaku
secara nasional. Adanya hukum waris di Indonesia adalah hukum
waris adat, hukum waris Islam, dan hukum waris perdata. Masing-
masing hukum waris itu memiliki aturan yang berbeda-beda. Adapun
berikut penjelasannya:
1. Hukum Waris Adat
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beragam suku
bangsa, agama, dan adat-istiadat yang berbeda satu dengan lainnya.
Hal itu mempengaruhi hukum yang berlaku di tiap golongan
masyarakat yang dikenal dengan sebutan hukum adat.
Menurut Ter Haar, seorang pakar hukum dalam bukunya yang berjudul
Beginselen en Stelsel van het Adatrecht (1950), hukum waris adat
adalah aturan-aturan hukum yang mengatur penerusan dan peralihan
dari abad ke abad baik harta kekayaan yang berwujud dan tidak
berwujud dari generasi pada generasi berikut.

Hukum adat itu sendiri bentuknya tak tertulis, hanya berupa norma
dan adat-istiadat yang harus dipatuhi masyarakat tertentu dalam suatu
daerah dan hanya berlaku di daerah tersebut dengan sanksi-sanksi
tertentu bagi yang melanggarnya.

Oleh karena itu, hukum waris adat banyak dipengaruhi oleh struktur
kemasyarakatan atau kekerabatan. Di Indonesia hukum waris
mengenal beberapa macam sistem pewarisan. Apa saja?

 Sistem keturunan: sistem ini dibedakan menjadi tiga macam


yaitu sistem patrilineal yaitu berdasarkan garis keturunan bapak,
sistem matrilineal berdasarkan garis keturunan ibu, dan sistem
bilateral yaitu sistem berdasarkan garis keturunan kedua orang tua.

 Sistem Individual: berdasarkan sistem ini, setiap ahli waris


mendapatkan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-
masing. Pada umumnya sistem ini diterapkan pada masyarakat yang
menganut sistem kemasyarakatan bilateral seperti Jawa dan Batak.

 Sistem Kolektif: ahli waris menerima harta warisan sebagai satu


kesatuan yang tidak terbagi-bagi penguasaan ataupun kepemilikannya
dan tiap ahli waris hanya mempunyai hak untuk menggunakan atau
mendapat hasil dari harta tersebut. Contohnya adalah barang pusaka
di suatu masyarakat tertentu.

 Sistem Mayorat: dalam sistem mayorat, harta warisan dialihkan


sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi dengan hak penguasaan
yang dilimpahkan kepada anak tertentu. Misalnya kepada anak tertua
yang bertugas sebagai pemimpin keluarga menggantikan kedudukan
ayah atau ibu sebagai kepala keluarga, seperti di masyarakat Bali dan
Lampung harta warisan dilimpahkan kepada anak tertua dan di
Sumatra Selatan kepada anak perempuan tertua.
Baca Juga: Rencanakan Warisan Anda Mulai
Sekarang
2. Hukum Waris Islam
Hukum waris Islam berlaku bagi masyarakat Indonesia yang beragama
Islam dan diatur dalam Pasal 171-214 Kompilasi Hukum Indonesia,
yaitu materi hukum Islam yang ditulis dalam 229 pasal. Dalam hukum
waris Islam menganut prinsip kewarisan individual bilateral, bukan
kolektif maupun mayorat. Dengan demikian pewaris bisa berasal dari
pihak bapak atau ibu.
Menurut hukum waris Islam ada tiga syarat agar pewarisan dinyatakan
ada sehingga dapat memberi hak kepada seseorang atau ahli waris
untuk menerima warisan:
 Orang yang mewariskan (pewaris) telah meninggal dunia dan
dapat di buktikan secara hukum ia telah meninggal. Sehingga jika ada
pembagian atau pemberian harta pada keluarga pada masa pewaris
masih hidup, itu tidak termasuk dalam kategori waris tetapi disebut
hibah.
 Orang yang mewarisi (ahli waris) masih hidup pada saat orang
yang mewariskan meninggal dunia.
 Orang yang mewariskan dan mewarisi memiliki hubungan
keturunan atau kekerabatan, baik pertalian garis lurus ke atas seperti
ayah atau kakek dan pertalian lurus ke bawah seperti anak, cucu, dan
paman.
3. Hukum Waris Perdata
Hukum waris perdata atau yang sering disebut hukum waris barat
berlaku untuk masyarakat nonmuslim, termasuk warga negara
Indonesia keturunan, baik Tionghoa maupun Eropa yang ketentuannya
diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHP).
Hukum waris perdata menganut sistem individual di mana setiap ahli
waris mendapatkan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya
masing-masing. Dalam hukum waris perdata ada dua cara untuk
mewariskan:
 Mewariskan berdasarkan undang-undang atau mewariskan tanpa
surat wasiat yang disebut sebagai Ab-instentato, sedangkan ahli
warisnya disebut Ab-instaat. Ada 4 golongan ahli waris berdasarkan
undang-undang: Golongan I terdiri dari suami istri dan anak-anak
beserta keturunannya; Golongan II terdiri dari orang tua dan saudara-
saudara beserta keturunannya; Golongan III terdiri dari kakek, nenek
serta seterusnya ke atas; dan Golongan IV terdiri dari keluarga dalam
garis menyamping yang lebih jauh, termasuk saudara-saudara ahli
waris golongan III beserta keturunannya.

 Mewariskan berdasarkan surat wasiat yaitu berupa pernyataan


seseorang tentang apa yang dikehendakinya setelah ia meninggal
dunia yang oleh si pembuatnya dapat diubah atau dicabut kembali
selama ia masih hidup sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata Pasal 992. Cara pembatalannya harus dengan wasiat baru
atau dilakukan dengan Notaris.
Syarat pembuatan surat wasiat ini berlaku bagi mereka yang sudah
berusia 18 tahun atau lebih dan sudah menikah meski belum berusia
18 tahun. Yang termasuk golongan ahli waris berdasarkan surat
wasiat adalah semua orang yang ditunjuk oleh pewaris melalui surat
wasiat untuk menjadi ahli warisnya.

Pembagian Warisan yang Adil


Dari deskripsi di atas, Anda perlu mengetahui kebutuhan yang dapat
mencakup keluarga besar Anda. Memang rumit, apalagi ketika
menghitungnya. Namun, Anda perlu kesabaran yang tinggi. Jika
kesulitan, konsultasikan dengan orang terdekat. Dapat juga Anda
menggunakan tenaga ahli untuk membantu. Hal ini tentunya akan
sangat membantu Anda untuk membuat perhitungan yang lebih baik.
Dengan demikian, tujuan kesetaraan dan pembagian secara adil dapat
terlaksana.
Perhatikan juga wasiat orang tertua. Jika merasa perlu menegakkan
keadilan dan kesetaraan jangan sungkan untuk bermusyawarah.
Dengan demikian akan muncul mufakat yang menjadi acuan bersama.
Adanya komunikasi membantu manusia untuk saling memahami.
Dengan demikian ikatan keluarga akan tetap terjaga dan harmonis.
Setidaknya Anda telah mencoba yang terbaik. Niat baik tentunya akan
memiliki hasil yang baik pula.

Masalah harta orang yang meninggal seringkali menjadi sengketa bagi keluarga yang
ditinggalkan. Untuk itu, para ahli waris mesti mengetahui ketentuan-ketentuan pembagian
warisan sesuai aturan hukum syariah yang ditetapkan. Dalam Islam, pembagian harta waris
merupakan kewajiban yang dibebankan kepada ahli waris sesuai bagiannya masing-masing.
Sebagaimana dilansir dari laman NU Online, terdapat beberapa syarat dan rukun harus
dipenuhi. Ketiadaan salah satu syarat dan rukun menjadikan harta warisan tidak boleh
dibagikan kepada ahli waris. Empat syarat yang harus dipenuhi sebagai berikut: 1. Matinya
Orang yang Mewariskan Kematian orang yang mewariskan harus bisa dibuktikan, baik dengan
pemeriksaan teliti, terdapat saksi, hingga diberitakan sudah meninggal dari pihak yang dapat
dipercaya. Bagi orang yang sedang sakit parah atau koma berkepanjangan, maka hartanya
belum bisa diwariskan. Bagaimanapun juga harta warisan menjadi sah jika pewaris sudah
benar-benar meninggal. Untuk kasus orang hilang yang kabarnya tidak bisa diketahui, kematian
dapat dinyatakan melalui putusan hakim sehingga harta warisan dapat dibagi kepada ahli
warisnya. 2. Hidupnya Orang yang Mewarisi Jika pewaris sudah dipastikan meninggal, maka
ahli waris yang akan menerima hartanya harus dalam keadaan hidup, kendati dalam keadaan
sekarat, meskipun tak lama kemudian menyusul meninggal. 3. Terdapat Hubungan Ahli Waris
dengan Si Mayit Syarat lain yang mesti dipenuhi adalah adanya hubungan antara ahli waris
dengan pewaris, baik melalui kekerabatan nasab, hubungan pernikahan, atau pemerdekaan
budak (wala'). Namun, kendati memiliki hubungan tertentu yang menjadikan ahli waris dapat
menerima pusaka, terdapat penghalang yang membatalkan warisan. Misalnya jika ahli waris
membunuh pewarisnya maka ia diharamkan memperoleh warisan sebagaimana sabda Nabi
Muhammad, "Pembunuh tidak berhak mendapat apa-apa. Jika tidak ada pewaris yang lain,
maka pewarisnya orang terdekat darinya, dan pembunuh tidak dapat mewarisi apa pun." (HR.
Abu Daud) 4. Satu Alasan yang Menetapkan Seseorang Bisa Mendapatkan Warisan Secara
Rinci Syarat terakhir ini ditetapkan oleh hakim untuk menunjukkan bahwa seseorang adalah ahli
waris yang berhak menerima warisan dari pewaris atau tidak. Pernyataan saksi saja tidak
cukup, kecuali terdapat alasan pewarisan yang masuk akal. Sedangkan rukun waris terdapat
tiga sebagaimana ditulis Muhammad Ajib dalam Fiqh Hibah dan Waris (2019: 44-45) sebagai
berikut: Orang yang mewariskan (al-muwarrist), yaitu orang yang meninggal dunia Orang yang
mewarisi (al-waarist), yaitu orang yang berhak memperoleh warisan dengan syarat-syarat yang
sudah disebutkan di atas. Pusaka yang diwarisi (al-maurust), yaitu harta peninggalan si mayit
yang mungkin diwariskan. Jika salah satu dari rukun atau syarat yang sudah dipaparkan di atas
tidak terpenuhi maka pewarisan menjadi batal. Hal ini dikarenakan warisan adalah hak
seseorang terhadap harta orang lain. Orang yang tidak memenuhi rukun dan syarat tidak
berhak memperoleh kepemilikan pusaka mayit yang sudah meninggal.
Baca selengkapnya di artikel "Syarat dan Rukun Waris dalam Islam yang Wajib
Dipenuhi", https://tirto.id/eywm

Anda mungkin juga menyukai