Anda di halaman 1dari 14

Terjadinya gelombang demokratisasi setelah Perang Dunia II telah

membuat berbagai negara menjadi anti terhadap pemerintahan


otoriter. Akan tetapi, di tengah pandemi Covid-19, uniknya bentuk
pemerintahan tersebut justru hadir untuk menanggulangi pandemi.
Lantas, haruskah Presiden Jokowi bersikap otoriter?

PinterPolitik.com

B eberapa waktu yang lalu, penulis buku Sapiens dan Homo Deus, Yuval Noah

Harari, dalam tulisan lainnya yang berjudul  The World After Coronavirus memetakan
kondisi yang mungkin terjadi setelah pandemi virus Corona (Covid-19) berakhir.
Menariknya, tidak seperti prediksi lainnya yang berfokus pada aspek ekonomi, Harari
justru menyebutkan bahwa pandemi Covid-19 dapat menjadi preseden atas kebangkitan
otoritarianisme.
Poin utama yang diungkapkan oleh Harari yang menjadi potensi kuat kebangkitan
otoritarianisme atau totalitarianisme adalah hadirnya surveillance state atau negara
pengawasan. Itu terjadi karena tingkat penularan Covid-19 yang tinggi membuat
pemerintah harus menjaga agar physical distancing tetap terjadi dengan menempatkan
berbagai CCTV.

Uniknya, dengan adanya pandemi Covid-19, Harari justru menyebutkan bahwa saat ini,
baik pemerintah maupun masyarakat telah mengecualikan hak privasi untuk
menghadirkan negara pengawasan.

Sebelumnya, Harari juga telah mengkritik Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu


karena menggunakan pandemi Covid-19 sebagai alasan untuk “membunuh” demokrasi di
Israel.
Netanyahu yang kalah dalam pemilihan justru memanfaatkan momen Covid-19 untuk
menutup parlemen Israel, memerintahkan masyarakat untuk tetap di rumah, dan
menetapkan keadaan darurat. Atas hal tersebut, Harari menyebut Netanyahu sebagai
seorang diktator karena menetapkan keadaan darurat padahal ia tidak memperoleh
mandat dari masyarakat karena kalah dalam pemilihan.

Atas kritik tersebut, anak Benjamin Netanyahu, yakni Yair Netanyahu kemudian
membandingkan Harari dengan Albert Einstein dan menyimpulkan bahwa penulis
buku Sapiens tersebut tidak mengerti politik kendati ia adalah seorang yang cerdas.

Jika Harari memberikan pandangan negatif terkait bangkitnya – atau setidaknya potensi
kebangkitan – pemerintah otoriter dalam menangani pandemi Covid-19, berbagai pihak
justru menempatkan diri berseberangan dan menyebutkan otoritarianisme memang
bentuk pemerintah yang dibutuhkan untuk memerangi virus yang pertama kali
diidentifikasi di Wuhan, Tiongkok, tersebut.

Shaun Walker dalam tulisannya di The Guardian misalnya – dengan mengutip ilmuwan


politik asal Bulgaria, Ivan Krastev – menyebutkan bahwa, dengan adanya pandemi Covid-
19, masyarakat di berbagai belahan dunia telah memiliki toleransi atau penerimaan atas
pemerintah yang berlaku otoriter dalam upayanya memerangi Covid-19.

Uniknya, beberapa waktu yang lalu, Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto
memberikan pernyataan bahwa alasan tidak diterapkannya lockdown (karantina wilayah)
di Indonesia adalah karena pemerintah tidak ingin berlaku otoriter.

Padahal, berbagai elemen masyarakat, seperti Kepala Daerah maupun Ikatan Dokter
Indonesia (IDI) telah menyerukan pemerintah untuk menerapkan lockdown guna
mencegah penularan Covid-19. Dengan kata lain, seperti pernyataan Walker, masyarakat
seyogianya telah memiliki toleransi atau penerimaan apabila nantinya pemerintah berlaku
otoriter untuk memerangi virus tersebut.

Lantas, apakah Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus menerapkan pemerintah otoriter
untuk memerangi pandemi Covid-19 di Indonesia?
Covid-19 dan Kebangkitan Otoritarianisme

Florian Bieber dalam tulisannya Authoritarianism in the Time of the Coronavirus, sama


halnya dengan Harari juga menyebutkan bahwa pandemi Covid-19 memang telah
menjadi preseden atas kebangkitan pemerintah otoriter di berbagai negara.

Bagaimana tidak? Untuk mencegah penularan Covid-19 yang begitu cepat, langkah-
langkah represif besar seperti lockdown, pengerahan kepolisian dan militer, pemberian
denda, hingga melakukan monitoring ketat telah dilakukan oleh berbagai negara – bahkan
negara demokratis sekalipun.  Suka atau tidak, intervensi penuh semacam itu, tentu saja
merupakan pengejawantahan dari otoritarianisme.

Konteks kebangkitan otoritarianisme tersebut dengan lugas dijelaskan oleh ilmuwan


politik asal Bulgaria, Ivan Krastev, yang menyebutkan bahwa ketika masyarakat
merasakan adanya ancaman bahaya di mana-mana – yang dalam konteks ini adalah
Covid-19 – maka masyarakat akan merasa bahwa hanya pemerintah yang dapat
menolongnya.

Dengan demikian, keinginan untuk ditolong tersebut telah terkonfigurasi menjadi rasa
penerimaan atas berbagai bentuk kebijakan otoriter, yang jika pada masa normal mestilah
mendapatkan penolakan atau pertentangan.

Senada dengan Krastev, Harari juga menyebutkan bahwa pandemi Covid-19 akan
menjadi titik balik meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Profesor
sejarah di University of Washington, Margaret O’Mara, bahkan menyebutkan dengan
pandemi Covid-19  yang telah membuat pemerintah jauh lebih terlihat oleh masyarakat
daripada biasanya, itu menjadi indikasi atas dibutuhkannya kehadiran big government atau
pemerintah besar untuk mengatasi krisis atas pandemi tersebut.

Di luar perdebatan mengenai kebangkitan otoritarianisme tersebut, Rachel Kleinfeld


dalam tulisannya Do Authoritarian or Democratic Countries Handle Pandemics
Better?,  memberikan penekanan yang cukup menarik. Pungkasnya, perihal penanganan
Covid-19, sebenarnya bukanlah menjadi perdebatan apakah putusan yang diambil adalah
otoriter atau demokratis karena perdebatan yang seharusnya dilakukan adalah seberapa
efektif putusan tersebut mengatasi pandemi.
Dengan kata lain, Kleinfeld hendak mengatakan, dalam situasi krisis seperti pandemi
Covid-19, sudah seharusnya kebijakan-kebijakan merujuk pada sains medis. Oleh
karenanya, tidak perlu lagi ditemukan perdebatan terkait apakah
penerapan lockdown ataupun hadirnya surveillance state misalnya merupakan bentuk
pemerintah otoriter atau tidak.

Mengacu pada Kleinfeld, dengan adanya dorongan dari IDI selaku kelompok sains medis
untuk menerapkan lockdown atau setidaknya pengawasan diperketat, menjadi
pertanyaan tersendiri mengapa Menhan Prabowo justru mengangkat argumentasi tidak
ingin menjadi otoriter sebagai dasar untuk menolak penerapan lockdown.

Dengan demikian, dalam rangka memerangi pandemi Covid-19, pemerintah sebenarnya


memiliki alasan yang kuat untuk berlaku otoriter. Apalagi, terdapat pula produk hukum
seperti Undang-Undang (UU) Darurat Bencana ataupun UU tentang Kekarantinaan
Kesehatan yang memang memayungi langkah otoriter seperti pembatasan hak sipil guna
menanggulangi pandemi tersebut.

Otoriter yang Keliru?

Suka atau tidak, dengan melihat berbagai langkah yang telah dilakukan oleh pemerintah
Jokowi, sebelum diterapkannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), sebenarnya
berbagai putusan otoriter untuk menanggulangi pandemi Covid-19 telah dilakukan.

Itu misalnya terlihat dengan dikerahkannya aparat kepolisian untuk membubarkan


berbagai kerumunan agar physical distancing tetap terjadi.

Selain itu, atas dalih untuk mencegah penularan Covid-19 di lingkungan lembaga
pemasyarakatan (lapas), melalui Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), pemerintah
juga telah memutuskan untuk membebas 30 ribu narapidana.

Apalagi, terdapat pula wacana dari Menkumham Yasonna Laoly untuk merevisi Peraturan


Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak
Warga Binaan Pemasyarakatan, yang mana itu akan membuat narapidana korupsi
berkesempatan untuk dibebaskan.
Kendati Presiden Jokowi telah menegaskan revisi tersebut tidak pernah disebutkan dalam
rapat, namun dengan wacana tersebut sempat bergulir, tentu itu menjadi indikasi bahwa
revisi PP No. 99/2012 memang telah menjadi opsi pembahasan oleh kalangan tertentu.

Kemudian, Presiden Jokowi juga telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti


Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 terkait anggaran penanggulangan Covid-
19 dan dampak sosial dan ekonominya. Menariknya, dalam Perppu tersebut, tepatnya
pada Pasal 27 terdapat ketentuan yang membuat Komite Stabilitas Sistem Keuangan
(KSSK) tidak dapat dituntut secara hukum kendati kebijakan yang diambilnya
mengakibatkan kerugian bagi negara nantinya.

Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI, Marwan Cik Asan dengan
lugas menyebutkan bahwa ketentuan tersebut telah membuat KSSK yang terdiri dari
Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Otoritas Jasa Keuangan, dan Ketua
Lembaga Penjamin Simpanan telah menjadi kebal hukum karena tidak dapat dituntut
secara pidana ataupun perdata.

Home  In-Depth
 In-Depth

Jokowi Harus Otoriter Tangani Corona?


By

 R53

 -

Sunday, April 12, 2020 11:44


Presiden Joko Widodo (Foto: Jambi Independent)

7 minute read

Terjadinya gelombang demokratisasi setelah Perang Dunia II telah


membuat berbagai negara menjadi anti terhadap pemerintahan
otoriter. Akan tetapi, di tengah pandemi Covid-19, uniknya bentuk
pemerintahan tersebut justru hadir untuk menanggulangi pandemi.
Lantas, haruskah Presiden Jokowi bersikap otoriter?

PinterPolitik.com

B eberapa waktu yang lalu, penulis buku Sapiens dan Homo Deus, Yuval Noah

Harari, dalam tulisan lainnya yang berjudul  The World After Coronavirus memetakan
kondisi yang mungkin terjadi setelah pandemi virus Corona (Covid-19) berakhir.
Menariknya, tidak seperti prediksi lainnya yang berfokus pada aspek ekonomi, Harari
justru menyebutkan bahwa pandemi Covid-19 dapat menjadi preseden atas kebangkitan
otoritarianisme.
Poin utama yang diungkapkan oleh Harari yang menjadi potensi kuat kebangkitan
otoritarianisme atau totalitarianisme adalah hadirnya surveillance state atau negara
pengawasan. Itu terjadi karena tingkat penularan Covid-19 yang tinggi membuat
pemerintah harus menjaga agar physical distancing tetap terjadi dengan menempatkan
berbagai CCTV.

Uniknya, dengan adanya pandemi Covid-19, Harari justru menyebutkan bahwa saat ini,
baik pemerintah maupun masyarakat telah mengecualikan hak privasi untuk
menghadirkan negara pengawasan.

Sebelumnya, Harari juga telah mengkritik Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu


karena menggunakan pandemi Covid-19 sebagai alasan untuk “membunuh” demokrasi di
Israel.

Netanyahu yang kalah dalam pemilihan justru memanfaatkan momen Covid-19 untuk
menutup parlemen Israel, memerintahkan masyarakat untuk tetap di rumah, dan
menetapkan keadaan darurat. Atas hal tersebut, Harari menyebut Netanyahu sebagai
seorang diktator karena menetapkan keadaan darurat padahal ia tidak memperoleh
mandat dari masyarakat karena kalah dalam pemilihan.

Atas kritik tersebut, anak Benjamin Netanyahu, yakni Yair Netanyahu kemudian
membandingkan Harari dengan Albert Einstein dan menyimpulkan bahwa penulis
buku Sapiens tersebut tidak mengerti politik kendati ia adalah seorang yang cerdas.

Jika Harari memberikan pandangan negatif terkait bangkitnya – atau setidaknya potensi
kebangkitan – pemerintah otoriter dalam menangani pandemi Covid-19, berbagai pihak
justru menempatkan diri berseberangan dan menyebutkan otoritarianisme memang
bentuk pemerintah yang dibutuhkan untuk memerangi virus yang pertama kali
diidentifikasi di Wuhan, Tiongkok, tersebut.

Shaun Walker dalam tulisannya di The Guardian misalnya – dengan mengutip ilmuwan


politik asal Bulgaria, Ivan Krastev – menyebutkan bahwa, dengan adanya pandemi Covid-
19, masyarakat di berbagai belahan dunia telah memiliki toleransi atau penerimaan atas
pemerintah yang berlaku otoriter dalam upayanya memerangi Covid-19.

Uniknya, beberapa waktu yang lalu, Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto
memberikan pernyataan bahwa alasan tidak diterapkannya lockdown (karantina wilayah)
di Indonesia adalah karena pemerintah tidak ingin berlaku otoriter.

Padahal, berbagai elemen masyarakat, seperti Kepala Daerah maupun Ikatan Dokter
Indonesia (IDI) telah menyerukan pemerintah untuk menerapkan lockdown guna
mencegah penularan Covid-19. Dengan kata lain, seperti pernyataan Walker, masyarakat
seyogianya telah memiliki toleransi atau penerimaan apabila nantinya pemerintah berlaku
otoriter untuk memerangi virus tersebut.

Lantas, apakah Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus menerapkan pemerintah otoriter
untuk memerangi pandemi Covid-19 di Indonesia?

Covid-19 dan Kebangkitan Otoritarianisme

Florian Bieber dalam tulisannya Authoritarianism in the Time of the Coronavirus, sama


halnya dengan Harari juga menyebutkan bahwa pandemi Covid-19 memang telah
menjadi preseden atas kebangkitan pemerintah otoriter di berbagai negara.

Bagaimana tidak? Untuk mencegah penularan Covid-19 yang begitu cepat, langkah-
langkah represif besar seperti lockdown, pengerahan kepolisian dan militer, pemberian
denda, hingga melakukan monitoring ketat telah dilakukan oleh berbagai negara – bahkan
negara demokratis sekalipun.  Suka atau tidak, intervensi penuh semacam itu, tentu saja
merupakan pengejawantahan dari otoritarianisme.

Konteks kebangkitan otoritarianisme tersebut dengan lugas dijelaskan oleh ilmuwan


politik asal Bulgaria, Ivan Krastev, yang menyebutkan bahwa ketika masyarakat
merasakan adanya ancaman bahaya di mana-mana – yang dalam konteks ini adalah
Covid-19 – maka masyarakat akan merasa bahwa hanya pemerintah yang dapat
menolongnya.
Dengan demikian, keinginan untuk ditolong tersebut telah terkonfigurasi menjadi rasa
penerimaan atas berbagai bentuk kebijakan otoriter, yang jika pada masa normal mestilah
mendapatkan penolakan atau pertentangan.

Senada dengan Krastev, Harari juga menyebutkan bahwa pandemi Covid-19 akan
menjadi titik balik meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Profesor
sejarah di University of Washington, Margaret O’Mara, bahkan menyebutkan dengan
pandemi Covid-19  yang telah membuat pemerintah jauh lebih terlihat oleh masyarakat
daripada biasanya, itu menjadi indikasi atas dibutuhkannya kehadiran big government atau
pemerintah besar untuk mengatasi krisis atas pandemi tersebut.

Di luar perdebatan mengenai kebangkitan otoritarianisme tersebut, Rachel Kleinfeld


dalam tulisannya Do Authoritarian or Democratic Countries Handle Pandemics
Better?,  memberikan penekanan yang cukup menarik. Pungkasnya, perihal penanganan
Covid-19, sebenarnya bukanlah menjadi perdebatan apakah putusan yang diambil adalah
otoriter atau demokratis karena perdebatan yang seharusnya dilakukan adalah seberapa
efektif putusan tersebut mengatasi pandemi.

Dengan kata lain, Kleinfeld hendak mengatakan, dalam situasi krisis seperti pandemi
Covid-19, sudah seharusnya kebijakan-kebijakan merujuk pada sains medis. Oleh
karenanya, tidak perlu lagi ditemukan perdebatan terkait apakah
penerapan lockdown ataupun hadirnya surveillance state misalnya merupakan bentuk
pemerintah otoriter atau tidak.

Mengacu pada Kleinfeld, dengan adanya dorongan dari IDI selaku kelompok sains medis
untuk menerapkan lockdown atau setidaknya pengawasan diperketat, menjadi
pertanyaan tersendiri mengapa Menhan Prabowo justru mengangkat argumentasi tidak
ingin menjadi otoriter sebagai dasar untuk menolak penerapan lockdown.

Dengan demikian, dalam rangka memerangi pandemi Covid-19, pemerintah sebenarnya


memiliki alasan yang kuat untuk berlaku otoriter. Apalagi, terdapat pula produk hukum
seperti Undang-Undang (UU) Darurat Bencana ataupun UU tentang Kekarantinaan
Kesehatan yang memang memayungi langkah otoriter seperti pembatasan hak sipil guna
menanggulangi pandemi tersebut.
Otoriter yang Keliru?

Suka atau tidak, dengan melihat berbagai langkah yang telah dilakukan oleh pemerintah
Jokowi, sebelum diterapkannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), sebenarnya
berbagai putusan otoriter untuk menanggulangi pandemi Covid-19 telah dilakukan.

Itu misalnya terlihat dengan dikerahkannya aparat kepolisian untuk membubarkan


berbagai kerumunan agar physical distancing tetap terjadi.

Selain itu, atas dalih untuk mencegah penularan Covid-19 di lingkungan lembaga
pemasyarakatan (lapas), melalui Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), pemerintah
juga telah memutuskan untuk membebas 30 ribu narapidana.

Apalagi, terdapat pula wacana dari Menkumham Yasonna Laoly untuk merevisi Peraturan


Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak
Warga Binaan Pemasyarakatan, yang mana itu akan membuat narapidana korupsi
berkesempatan untuk dibebaskan.

Kendati Presiden Jokowi telah menegaskan revisi tersebut tidak pernah disebutkan dalam
rapat, namun dengan wacana tersebut sempat bergulir, tentu itu menjadi indikasi bahwa
revisi PP No. 99/2012 memang telah menjadi opsi pembahasan oleh kalangan tertentu.

Kemudian, Presiden Jokowi juga telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti


Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 terkait anggaran penanggulangan Covid-
19 dan dampak sosial dan ekonominya. Menariknya, dalam Perppu tersebut, tepatnya
pada Pasal 27 terdapat ketentuan yang membuat Komite Stabilitas Sistem Keuangan
(KSSK) tidak dapat dituntut secara hukum kendati kebijakan yang diambilnya
mengakibatkan kerugian bagi negara nantinya.

Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI, Marwan Cik Asan dengan
lugas menyebutkan bahwa ketentuan tersebut telah membuat KSSK yang terdiri dari
Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Otoritas Jasa Keuangan, dan Ketua
Lembaga Penjamin Simpanan telah menjadi kebal hukum karena tidak dapat dituntut
secara pidana ataupun perdata.
Tidak ketinggalan, tentu terkait surat telegram bernomor ST/1100/IV/HUK.7.1/2020
yang dikeluarkan oleh Kapolri tentang penanganan perkara dan pedoman pelaksanaan
tugas selama masa pencegahan penyebaran Covid-19.

Menariknya, dalam telegram tersebut justru memiliki poin bahwa penghinaan kepada
penguasa/presiden dan pejabat pemerintah termasuk dalam bentuk pelanggaran, yang
mana pelakunya dapat dijerat pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Atas surat telegram tersebut, Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bahkan
sampai memberikan penyesalan. Menurutnya, dengan situasi pandemi Covid-19 yang
telah meningkatkan ketegangan di tengah masyarakat, surat tersebut justru dapat
meningkatkan eskalasi ketegangan, sehingga sudah seharusnya dievaluasi.

Kendati berbagai putusan otoriter tersebut ditujukan sebagai langkah penanganan Covid-
19, sebenarnya menjadi pertanyaan tersendiri karena tiga di antaranya justru terkesan
keliru.

Pertama, terkait adanya wacana revisi PP No. 99/2012, suka atau tidak, itu tentu
menimbulkan kesan bahwa pandemi Covid-19 telah dijadikan sebagai momen untuk
membebaskan narapidana korupsi.

Kedua, terkait Perppu No. 1/2020, sebagaimana yang juga disorot oleh banyak pihak,
Perppu tersebut justru tidak berfokus pada penanganan Covid-19, melainkan pada
bagaimana menjaga perekonomian. Selain itu, dengan adanya ketentuan KSSK tidak
dapat dituntut, suka atau tidak, itu tentu dapat menjadi celah bagi pihak-pihak tertentu
untuk melakukan penyalahgunaan anggaran.

Ketiga, terkait surat telegram Kapolri, alih-alih memperkuat pengawasan atas physical


distancing – seperti dalam seruan IDI – pemerintah justru mengeluarkan kebijakan untuk
menjerat penghina pejabat pemerintahan.

Terang saja, atas ketiga hal tersebut, pemerintah yang saat ini memiliki alasan kuat untuk
membuat kebijakan otoriter justru seolah telah berlaku tidak tepat sasaran. Di luar itu,
seperti yang diharapkan oleh berbagai pihak, tentu kita berharap bahwa pemerintahan
Jokowi dapat menjadi “bahtera Nabi Nuh” yang akan menyelamatkan kita dari pandemi
Covid-19. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)

Merdeka.com - Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sulawesi Utara, Sehan


Salim Landjar mengamuk hingga mengumpat kata kasar kepada menteri. Dia kesal
aturan yang berbelit pencairan Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk warga dari
pemerintah pusat. Sementara warganya sudah kelaparan.

Direktur Eksekutif Parameter Indonesia Adi Prayitno menilai wajar jika Bupati
Sehan marah pada pemerintah pusat. Sebab tidak sinkronya kebijakan antara satu
Menteri dengan Menteri lainnya.

"Sangat wajar bupati Boltim marah-marah efek kebijakan menteri yang tak sinkron.
Ini kan miris," kata dia, kepada Merdeka.com, Senin (27/4).

Menurut Adi, di tengah pandemi Covid-19 seperti sekarang, pemerintah harusnya


menjalankan kebijakan satu pintu. Agar tidak terjadi tumpang tindih kebijakan.
Sehingga implementasi di tingkat daerah tidak menyulitkan.

"Karena yang repot kepala daerah yang menerjemahkan kebijakan pusat,"


ungkapnya.

Koordinasi antar Kementerian di level pusat sangat dibutuhkan. Dengan demikian


tidak menimbulkan kebingungan dalam proses eksekusi di tingkat daerah.

"Jangan mengeluarkan kebijakan yang sepenuhnya belum matang dan potensial


bertabrakan dengan kebijakan menteri lain. Kan kasihan di bawah di-pingpong
kebijakan yang kerap berubah. Padahal sudah banyak yang menunggu bantuan,"
ucapnya.
1 dari 1 halaman

Pembelaan Para Menteri

Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) Abdul


Halim Iskandar mengklaim sudah menyelesaikan permasalahan yang dialami
Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sulawesi Utara, Sehan Salim Landjar.
Dia menjelaskan, pihaknya sudah menanyakan apa yang jadi kendala di
daerahnya.

"Urusan dengan Pak Bupati sudah selesai sejak awal, sejak viral itu, kita sudah
melakukan komunikasi dan minta kejelasan apa yang menjadi permasalahan," kata
Abdul Halim saat telekonference bersama awak media, Senin (27/4).

Menteri Sosial Juliari Peter Batubara menyesalkan sikap Sehan Salim Landjar yang
mengkritisi mekanisme pencairan bantuan langsung tunai (BLT). Ia meminta Sehan
Landjar tak membuat keributan di tengah pandemi virus corona atau Covid-19.

"Sekarang itu nggak usah ribut-ribut. Semua bekerja, siapa sih yang mau keadaan
seperti ini," kata Juliari kepada merdeka.com, Minggu (26/4).

Politikus PDI Perjuangan ini menegaskan, menyalurkan bantuan kepada ratusan


juta rakyat Indonesia tidak mudah. Pemerintah pusat, kata dia, tentu saja
membutuhkan data penerima BLT yang jelas. Karena itu, penyaluran BLT harus
melalui mekanisme yang tepat.

"Semuanya juga harus mengerti bahwa menyalurkan bantuan ke ratusan juta orang
itu tidak mudah. Dia kan hanya berpikir soal Boltim, kita di Pusat harus berpikir
secara nasional," ujarnya. (mdk/noe)
Baca juga:
Kritik Bupati Boltim Diminta Jadi Koreksi Pemerintah Terkait Distribusi Bansos
Pemerintah Bebaskan Perangkat Desa Tentukan Penerima BLT Dana Desa
BLT Dana Desa Telah Tersalurkan Rp70 Miliar Untuk 8.157 Desa di 76 Kabupaten
Mendes Sudah Kontak Bupati Boltim yang Marah-marah Karena BLT
Pendataan Penerima Bantuan Tidak Jelas, Warga Segel Kantor Kelurahan
Sukahati Bogor
Direktur Kartu Prakerja: Kalau Mau BLT, Sudah Disediakan Program Lain Berupa
PKH

Banyak orang

Anda mungkin juga menyukai