Anda di halaman 1dari 5

PRESIDEN Joko Widodo, Senin (2/3), mengumumkan dua warga Kota Depok, Jawa Barat,

terindikasi terinfeksi Novel Coronavirus atau Covid-19. Ini adalah kasus pertama Corona di
Indonesia, setelah negara-negara lain terjangkit virus yang diketahui pertama kali menjangkit di
Wuhan, Hubei, Tiongkok, ini.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyebut ada 115 warga di Ibu Kota yang dipantau
terkait virus Corona. Ada pula 32 pasien yang tengah diawasi terkait virus Corona.

Terungkap kemudian, Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso, Jakarta Utara,
merawat “hanya” sembilan orang pasien virus Corona, dua di antaranya ibu dan putrinya yang
warga Depok itu yang dikabarkan kian membaik.

Walikota Depok Mohammad Idris Abdul Shomad menyatakan lebih dari 50 orang terindikasi
virus Corona setelah berinteraksi dengan dua pasien terindikasi Corona yang sempat dirawat di
sebuah rumah sakit di Depok, yakni ibu dan putrinya itu.

Sontak, publik pun panik. Masyarakat berbondong-bondong memburu masker wajah yang
ternyata sudah langka di pasaran, dan kalau pun ada harganya sudah selangit. Polisi sudah
menangkap sejumlah tersangka penimbun masker.

Warga juga terjangkit “panic buying” atau membeli dalam kondisi panik. Mereka berbondong-
bondong menyerbu pusat-pusat perbelanjaan untuk memborong bahan-bahan makanan, terutama
mie instan.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD
kemudian menyentil pemerintah daerah yang terkesan mencari panggung terkait virus Corona.
Meski tak menyebut spesifik pemda mana yang mencari kesempatan tampil di muka publik
terkait virus Corona itu, tetapi publik bisa mengasosiasikan yang ia maksud adalah Anies
Baswedan dan M Idris.

Mungkinkah Idris mencari panggung? Dia politisi, Bung. Bagi politisi, semua isu bisa
dikapitalisasi menjadi modal politik. Tak terkecuali isu virus Corona, meskipun untuk itu berarti
ia menari-nari di atas luka pasien Corona. Betapa tidak?

Akibat pengumuman oleh Idris tentang dua warganya terindikasi terinfeksi Corona dengan
sekalian menyebut alamat lengkap mereka, yang kemudian memicu terungkapnya identitas
pribadi mereka, kini kedua korban itu menjadi sasaran tembak, baik dari yang menyatakan
simpati maupun yang justru mencaci-maki atau bahkan mem-bully. Akankah dua pasien itu, atau
mungkin pihak lain, memperkarakan Idris secara hukum, karena pengungkapan alamat lengkap
pasien jelas melanggar privasi yang dilindungi undang-undang, misalnya UU No 44 Tahun 2009
tentang Rumah Sakit, khususnya Pasal 32.

Dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kota Depok Tahun 2015, Idris diusung oleh Partai
Keadilan Sejahtera (PKS), partai yang selama ini menjadi oposisi pemerintahan Presiden Jokowi.
Sebelumnya Idris menjabat Wakil Walikota Depok, wakil dari Walikota Depok Nurmahmudi
Ismail yang pernah menjabat Presiden PKS. Maka spekulasi liar pun berkembang bahwa Idris
benar-benar sedang mencari panggung politik dengan mendramatisasi isu Corona, sebagai modal
politik bila hendak maju lagi dalam pilkada untuk periode kedua jabatannya.

Anies Baswedan yang didukung PKS dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 pun diasumsikan publik
setali tiga uang dengan Idris. Bahkan Anies dituding sedang mencuri poin setelah popularitas dan
elektabilitasnya tergerus akibat isu banjir di Ibu Kota. Anies disebut sedang memulihkan citranya
melalui dramatisasi isu Corona.
Maklum, selama ini Anies terkesan “WTS” alias “waton sulaya” atau asal berbeda dengan Jikowi
dan pemerintah pusat.

Terkait normalisasi sungai, warisan kebijakan Jokowi semasa menjabat Gubernur DKI Jakarta,
misalnya, Anies mengubahnya dengan istilah naturalisasi sungai. Padahal antara normalisasi dan
naturalisasi tak ada perbedaan secara prinsip, bahkan cenderung serupa meski tak persis sama.

Ketika Monumen Nasional (Monas) di kawasan Medan Merdeka, Jakarta Pusat, sebagai cagar
budaya tidak dianjurkan oleh pemerintah pusat untuk digunakan sebagai ajang balap mobil listrik
Formula E, Anies tetap ngotot. Bahkan 195 batang pohon di Monas yang menjadi paru-paru kota
ditebang dengan alasan yang tidak jelas demi perhelatan internasional itu.

Sikap Anies yang keras kepala terhadap Jokowi ini tak bisa dilepaskan dari kasus pemecatannya
dari jabatan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada Kabinet Kerja. Pun tak terlepas dari
Pilkada DKI Jakarta 2017 saat ia berhadapan dengan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang
didukung Jokowi.

Kini Anies dipersepsikan publik akan maju sebagai calon presiden pada Pemilihan Presiden
(Pilpres) 2024, tentu bila ia berhasil terpilih kembali pada Pilkada DKI Jakarta 2022. Anies
menyadari pilpres mendatang belum bisa lepas dari siklus giliran kekuatan politik yang
berseberangan. Bila dua pemilu dan pilpres terakhir (2014 dan 2019) dimenangkan oleh PDI
Perjuangan yang dikonotasikan “urakan”, dan capres yang spontan tindakannya dan celpas-ceplos
gaya bicaranya, maka pemilu dan pilpres mendatang diprediksi akan dimenangkan oleh partai
politik dan capres yang “santun” atau antitesis dari capres sebelumnya. Hal ini sudah dibuktikan
oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Pilpres 2004 dan 2009.

Sebab itu, kini Anies mencoba menjadi antitesis dari Presiden Jokowi, dengan tampil santun dan
serba terencana. Tak ada aksi spontan yang dilakukan Anies.

Tidak itu saja, Anies juga melengkapi “senjata”-nya dengan “senjata” yang pernah digunakan
SBY, yakni “victim playing”, seolah-olah menjadi korban supaya mendapat simpati rakyat.

Lihatlah, meskipun bamyak dihujat rakyat terkait penanganan banjir yang tidak becus, dan juga
langkahmya menebangi 195 pohon di Monas, Anies tetap bergeming.

Anies juga berkaca dari keberhasilannya mengkapitalisasi isu SARA (suku, agama, ras dan
antargololongan) menjadi modal politiknya pada Pilkada DKI Jakarta 2017. SARA adalah isu
yang sangat sensitif sebagaimana isu Corona. Mungkin karena belajar dari Pemilu 2019 di mana
isu SARA sudah tidak begitu laku jual, kini Anies diduga mencari isu sensitif lain untuk
dikapitalisasi menjadi modal politik, yakni isu Corona.

Hasil survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan, isu SARA menjadi
besar karena dikapitalisasi dan dimanipulasi elite politik. Padahal, isu SARA sebenarnya tidak
signifikan terjadi di tingkat grass roots (akar rumput).

Bila isu Corona ini dipolitisi dan didramatisasi, niscaya kondisi ekonomi, sosial dan politik di
negeri ini akan bertambah runyam. Bahkan bisa jadi akan berimbas ke stabilitas keamanan. Bila
ini terjadi, maka rakyat yang akan menjadi korban.

Sebelum didramatisasi saja, isu Corona sudah membuat kurs atau nilai tukar rupiah terjun bebas.
Ekspor dan impor barang juga terhambat, dan ini akan mempengaruhi neraca perdagangan yang
pada akhirnya akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional. Pergerakan manusia dari dan
keluar negeri juga dibatasi. Bahkan Arab Saudi melarang sementara banyak negara yang akan
mengirimkan warganya untuk ibadah umrah, termasuk Indonesia.
Pendek kata, bila masih menyayangi rakyat, maka siapa pun jangan mempolitisasi isu Corona,
termasuk pemerintah. Apalagi Corona juga tidak berpolitik. Ketika Ustaz Abdul Somad
menyatakan Corona adalah bala tentara kiriman Allah untuk menghancurkan Tiongkok yang
menzalimi umat muslim Uighur, hal tersebut masih penuh tanda tanya karena faktanya negara-
negara muslim juga diserang Corona seperti Iran, dan juga Indonesia yang mayoritas
penduduknya muslim.

Kolom Esai 

Efek Wabah Korona


 04/03/2020  smn  0 Comments

TAMPAKNYA Indonesia mulai kebingungan untuk mengantisipasi menjangkitnya virus


korona (Covid-19), bahkan Presiden Jokowi (2/3/2020) turun tangan hanya sekadar
menginformasikan bahwa virus korona sudah mewabah di Indonesia.
Ini menunjukkan bahwa virus korona bukanlah virus yang sembarangan. Efek yang dijangkitkan
virus korona tidak hanya menyerang keimunan manusia, tetapi diprediksi akan menjangkit pada
bidang lain, tidak terkecuali ekonomi. Apa dampak yang ditimbulkan oleh virus korona pada
perekonomian Indonesia?
Mengambinghitamkan virus korona sebagai penyebab melemahnya ekonomi Indonesia tentu
bukanlah sikap yang bijaksana, karena banyak faktor lain yang bisa mengangkat ekonomi
Indonesia.

Menkeu Sri Mulyani juga sudah menyatakan bahwa virus korona diramal menjadi penyebab
utama melambatnya perekonomian Indonesia. Menteri Keuangan Sri Mulyani bahkan menyebut
penyebaran virus korona akan memberikan dampak ekonomi yang lebih besar dibandingkan
dengan ketegangan perdagangan global. Dalam suatu ketidakpastian selalu ada hal baik di
belakangnya, itu semua tergantung pada bagaimana kita merespons hal tersebut.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor dan impor Indonesia-Tiongkok (China)
menurun pada Januari 2020. Jumlah ekspor ke China turun sebesar 12,07% menjadi US$ 2,24
miliar pada Januari 2020. Adapun nilai impornya terkontraksi sebesar 2,71% menjadi US$ 4
miliar.

Kepala BPS Suhariyanto menyebut dampak virus korona terhadap kegiatan ekspor-impor mulai
terlihat seusai Imlek. Hal ini terjadi karena kekhawatiran yang begitu besar akan terbawanya
virus korona melalui barang-barang impor dari negara sumber vuirus korona yaituTiongkok.

Antisipasi Pemerintah
Pemerintah secepatnya mengantisipasi dengan menyiapkan skema guna menyiasati penangguhan
sementara perdagangan Indonesia-Tiongkok dalam kondisi ini. Moratorium dengan Tiongkok
dikhawatirkan akan berdampak pada perekonomian nasional. Apalagi China merupakan negara
importir nomor satu untuk Indonesia. Jika tidak diantisipasi, imbas ekspor-impor akan
berpengaruh secara domino dari hulu hingga hilir. Jika itu terjadi yang paling dirugikan adalah
petani.

Pasalnya, sampai kapan wabah virus korona akan berakhir, namun antisipasi dampak negatif
harus dipersiapkan. Pelarangan keluar dan masukanya warga negara lain berimbaslangsung
terhadap perekonomian Indonesia.

Pelarangan umrah dari pemerintah Arab Saudi saja membuat kebingungan karena bayang-bayang
kerugian di depan mata. Belum lagi banyaknya pembatalan penerbangan dari dan ke Indonesia
yang telah merontokkan sendi ekonomi parawisata.

Industri pariwisata merupakan sektor yang paling terdampak penyebaran virus korona. Efek
domino akan menjalar pada sektor-sektor penunjang pariwisata, seperti hotel, restoran,
transportasi dan pengusaha retail. Anjloknya okupansi atau tingkat hunian hotel hingga angka
40% membawa dampak yang cukup besar bagi kelangsungan bisnis hotel. Melemahnya
pariwisata juga diprediksi berdampak pada industri retail. Meski tidak terlalu berdampak pada
ketersediaan stok, efek tersebut terasa sangat signifikan darisegi transaksi.

Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey mengatakan, industri retail
berpotensi kehilangan omzet sebesar US$ 48 juta atau sekitar Rp 652 miliar dalam dua bulan
terakhir.

Hasil perhitungan Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2E LIPI)
menunjukkan sektor perdagangan Indonesia dipredik-
si akanmengalamisejumlah kontraksi. Lebih dari 495 jenis komoditas atau 13% komoditas
dengan tujuan ekspor Tiongkok akan terimbas. Selain itu, 299 jenis barang impor dari China
diperkirakan menyusut atau bahkan menghilang dari pasar Indonesia.

Harus ada solusi untuk menyikapi efek virus korona. Penguatan pasar dalam negeri dengan
memakai produk dalam negeri sekarang ini merupakan saat yang tepat. Jika terpaksa impor harus
difokuskan bahan baku yang tidak ada diIndonesia. Ketika barang-barang impor terbatas karena
terkendala virus korona, maka pemerintah harus memanfaatkan momentum virus Korona ini
untuk membangkitkan kembali rasa cinta Tanah Air dengan mencintai produk- produk dalam
negeri. Apalagi dalam era revolusi industri 4.0 ini banjirnya barang impor mengancam
keberlangsungan produk sejenis dalam negeri.

Pemberdayaan produk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dapat mengatasi kodisi
merana yang diderita akibat virus korona. Hampir semua kebutuhan harian masyarakat bisa
disediakan oleh UMKM, namun selalu saja masyarakat memilih produk impor yang belum tentu
lebih baik dari produk UMKM. Virus korona membawa berkah bagi UMKM karena produk-
produknya akan terserap oleh masyarakat. Jangan sampai Indonesia
merana karena korona.(34)

Anda mungkin juga menyukai