KECACINGAN
DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK. 9
HENDRA
RISNA TAMOLO
1. Pengertian
Kecacingan merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasite berupa
cacing. Cacing umumnya tidak menyebabkan penyakit berat sehingga sering kali
diabaikan walaupun sesungguhnya memberikan gangguan kesehatan. Tetapi dalam
keadaan infeksi atau keadaan yang luar biasa, kecacingan cenderung memberikan analisa
keliru kearah penyakit lain dan tidak jarang berakibat fatal (Margono, 2008).
Definisi infeksi kecacingan menurut WHO (2011) adalah sebagai infestasi satu
atau lebih cacing parasite usus yang terdiri dari golongan nematoda usus. Diantara
nematoda usus ada sejumlah spesies yang penularannya melalui tanah atau biasa disebut
dengan cacing jenis STH yaitu Ascaris lumbricoides, Necator americanus, Trichuris dan
Ancylostoma duodenale (Margono et al., 2006). Kecacingan ini umumnya ditemukan di
daerah tropis dan subtropics dan beriklim basah dimana hygiene dan sanitasinya buruk.
Penyakit ini merupakan penyakit infeksi paling umum menyerang kelompok masyarakat
ekonomi lemah dan ditemukan pada berbagai golongan usia (WHO, 2011).
2. Etiologi
Ada berbagai cara cacing menginfeksi manusia hingga akhirnya menyebabkan
seseorang mengalami cacingan, seperti :
Menyentuh objek yang memilki telur cacing (terutama jika anda tidak mencuci tangan
setelahnya
Menyentuh tanah, mengonsumsi makanan atau cairan yang mengandung telur cacing
Berjalan di atas tanah yang mengandung cacing tanpa menggunakan alas kaki
Makan-makanan mentah atau kurang matang yang mengandung cacing
3. Epidemologi
Di daerah tropis, infeksi caciing ini mengenai hamper seluruh lapisan masyarakat
dan anak lebih sering terinfeksi. Pencemaran tanah oleh telur cacing lebih sering
disebabkan oleh tinja anak. Perbedaan insiden dan intensitas infeksi pada anak dan orang
dewasa kemungkinan disebabkan oleh karena berbeda dalam kebiasaan, aktivitas dan
perkembangan imunitas yang didapat. Penelitian Kenya menunjukan bahwa infeksi
Ascaris lumbricoides mempengaruhi pertumbuhan pada anak. Prevalensi tertinggi ascaris
di daerah tropis pada usia 3-8 tahun (Soedarmo et al, 2012).
Tingginya angka kejadian Ascariasis ini terutama disebabkan oleh karena
banyaknya telur disertai dengan daya tahan larva cacing pada keadaan tanah kondusif.
Parasit ini lebih banyak ditemukan pada tanah liat dengan kelembaban tinggi dan suhu
25°- 30°C sehingga sangat baik untuk menunjang perkembangan telur cacing
A.lumbricoides tersebut (Sutanto dkk, 2008).
Telur A. lumbricoides mudah mati pada suhu diatas 40° C sedangkan dalam suhu
dingin tidak mempengaruhinya (Rampengan, 2005). Telur cacing tersebut tahan terhadap
desinfektan dan rendaman yang bersifat sementara pada berbagai bahan kimiawi keras
(Brown dkk, 1994).
Infeksi A. lumbricoides dapat terjadi pada semua usia, namun cacing ini terutama
menyerang anak usia 5-9 tahun dengan frekuensi kejadian sama antara laki-laki dan
perempuan (Natadisastra, 2012). Bayi yang menderita Ascariasis kemungkinan terinfeksi
telur Ascariasis dari tangan ibunya yang telah tercemar oleh larva infektif . Prevalensi A.
lumbricoides ditemukan tinggi di beberapa pulau di Indonesia yaitu di pulau Sumatera
(78%), Kalimantan (79%), Sulawesi (88%), Nusa Tenggara Barat (92%), dan Jawa Barat
(90%) (Sutanto, 2008).
4. Patofisiologi
Gangguan yang ditimbulkan dapat disebabkan oleh larva yang masuk ke paru-
paru sehingga dapat menyebabkan perdarahan pada dinding alveolus yang disebut
Sindroma loeffler. Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa biasanya ringan.
Kadang-kadang penderita mengalami gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan
berkurang, diare dan konstipasi (Depkes, 2006).
5. Manifestasi klinis
Gejala klinik tergantung dari beberapa hal, antara lain beratnya infeksi, keadaan
umum penderita, daya tahan, dan kerentanan penderita terhadap infeksi cacing. Pada
infeksi biasa, penderita mengandung 10-20 ekor cacing, sering tidak ada gejala yang
dirasakan oleh hospes, baru diketahui setelah pemeriksaan tinja rutin atau karena cacing
dewasa keluar bersama tinja. Gejala klinik pada ascaris, dapat ditimbulkan oleh cacing
dewasa ataupun oleh stadium larva. Cacing dewasa, tinggal di antara lipatan mukosa
usus halus, dapat menimbulkan iritasi sehingga tidak enak di perut berupa mual serta
sakit perut yang tidak jelas (Natadisastra, 2009).
Pada fase migrasi, larva dapat mencetus timbulnya reaksi pada jaringan yang
dilaluinya. Di paru, antigen larva menimbulkan respons inflamasi berupa infiltrat
yang tampak pada foto toraks dan akan menghilang dalam waktu tiga minggu.
Terdapat gejala pneumonia atau radang paru seperti mengi, dispnea, batuk kering,
demam dan pada infeksi berat dapat timbul dahak yang disertai darah. Pneumonia
yang disertai eosinofilia dan peningkatan IgE disebut sindrom Loeffler.Larva yang
mati di hati dapat menimbulkan granuloma eosinofilia.
b. Fase intestinal
Cacing dewasa yang hidup di saluran intestinal jarang menimbulkan gejala klinis.
Jika terdapat gejala klinis biasanya tidak khas yaitu mual, nafsu makan berkurang,
diare atau konstipasi, lesu, tidak bergairah, dan kurang konsentrasi. Cacing Ascaris
dapat menyebabkan intoleransi laktosa, malabsorsi vitamin A dan mikronutrisi. Pada
anak infeksi kronis dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan akibat dari penurunan
nafsu makan, terganggunya proses pencernaan dan malabsorbsi.
Efek yang serius terjadi bila cacing menggumpal dalam usus sehingga terjadi
obstruksi usus (ileus).Selain itu cacing dewasa dapat masuk ke lumen usus buntu dan
dapat menimbulkan apendisitis (radang usus buntu) akut atau gangren.Jika cacing
dewasa masuk dan menyumbat saluran empedu dapat terjadi kolik, kolesistitis (radang
kantong empedu), kolangitis (radang saluran empedu), pangkreatitis dan abses
hati.Selain ke bermigrasi ke organ, cacing dewasa juga dapat bermigrasi keluar
melalui anus, mulut atau hidung. Migrasi cacing dewasa dapat terjadi karena
rangsangan seperti demam tinggi atau obat-obatan.
6. Komplikasi
Obstruksi usus akut akibat jumlah cacing yang banyak gejala : muntah, distensi
abdomen, kejang perut
Cacing bisa keluar bersama muntahan dan feses
Kolesistitis
Pankreatitis
Malnutrisi energi protein
7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan askariasis menurut Kemenkes RI Nomor 5 tahun 2014 adalah sebagai
berikut.
A. Memberikan pengetahuan kepada masyarakat akan pentingnya kebersihan diri dan
lingkungan, antara lain kebiasaan mencuci tangan dengan sabun, menutup makanan,
masing-masing keluarga memiliki jamban keluarga, tidak menggunakan tinja sebagai
pupuk, menjaga kondisi rumah dan lingkungan agar tetap bersih dan tidak lembab.
B. Farmakologis
1) Pirantel pamoat, 10 mg/kgBB, dosis tunggal
2) Mebendazol, 500 mg, dosis tunggal
3) Albendazol, 400 mg, dosis tunggal dan tidak boleh diberikan pada ibu hamil.
2. Diagnose keperawatan
A. Defisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan sekunder terhadap diare.
B. Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot polos sekunder akibat migrasi
parasit di lambung (agen cedera biologis)
C. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia dan muntah
D. Hipertermi berhubungan dengan penurunan sirkulasi sekunder terhadap dehidrasi
E. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan inflamasi antara dermal –
epidermal sekunder akibat cacing gelang.
3. Rencana keperawatan
No Diagnose keperawatan Tujuan & kriteria hasil Intervensi keperawatan
(NOC) (NIC)
1 Defisit volume cairan Setelah dilakukan 1. Monitor intake dan out
berhubungan dengan tindakan keperawatan put cairan.
kehilangan sekunder diharapkan masalah 2. Observasi tanda-tanda
terhadap diare. deficit volume cairan dehidrasi (hipertermi,
dapat teratasi dengan turgor kulit turun,
Kriteria hasil membran mukosa
1. tidak ditemukannya kering).
tanda-tanda 3. Berikan oral rehidrasi
dehidrasi solution sedikit demi
2. klien mampu sedikit membantu
memperlihatkan hidrasi yang adekuat.
tanda-tanda rehidrasi 4. Observsasi tanda-tanda
dan pemeliharaan dehidrasi.
hidrasi yang adekuat. 5. Observasi pemberian
cairan intra vena.