Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gangguan Fungsi Hati


2.1.1 Etiologi dan Patogenesis
Hati merupakan organ intestinal paling besar dalam tubuh manusia. Beratnya rata-rata
1,2–1,8 kg atau kira-kira 2,5% berat badan orang dewasa. Di dalamnya terjadi pengaturan
metabolisme tubuh dengan fungsi yang sangat kompleks dan juga proses-proses penting
lainnya bagi kehidupan, seperti penyimpanan energi, pembentukan protein dan asam
empedu, pengaturan metabolisme kolesterol dan detoksifikasi racun atau obat yang masuk
dalam tubuh. Gangguan fungsi hati seringkali dihubungkan dengan beberapa penyakit hati
tertentu. Beberapa pendapat membedakan penyakit hati menjadi penyakit hati akut atau
kronis. Dikatakan akut apabila kelainan-kelainan yang terjadi berlangsung sampai dengan 6
bulan, sedangkan penyakit hati kronis berarti gangguan yang terjadi sudah berlangsung lebih
dari 6 bulan. Ada satu bentuk penyakit hati akut yang fatal, yakni kegagalan hati fulminan,
yang berarti perkembangan mulai dari timbulnya penyakit hati hingga kegagalan hati yang
berakibat kematian (fatal) terjadi dalam kurang dari 4 minggu (Depkes RI, 2007).
Beberapa penyebab penyakit hati antara lain:
1. Infeksi virus hepatitis, dapat ditularkan melalui selaput mukosa, hubungan seksual atau
darah (parenteral).
2. Zat-zat toksik, seperti alkohol atau obat-obat tertentu.
3. Genetik atau keturunan, seperti hemochromatosis.
4. Gangguan imunologis, seperti hepatitis autoimun, yang ditimbulkan karena adanya
perlawanan sistem pertahanan tubuh terhadap jaringan tubuhnya sendiri. Pada hepatitis
autoimun, terjadi perlawanan terhadap sel-sel hati yang berakibat timbulnya peradangan
kronis.
5. Kanker, seperti Hepatocellular Carcinoma, dapat disebabkan oleh senyawa karsinogenik
antara lain aflatoksin, polivinil klorida (bahan pembuat plastik), virus, dan lain-lain.
Hepatitis B dan C maupun sirosis hati juga dapat berkembang menjadi kanker hati.
Depkes RI, 2007).
2.1.2 Klasifikasi Penyakit Hati
1. Hepatitis
Istilah "hepatitis" dipakai untuk semua jenis peradangan pada hati. Penyebabnya
dapat berbagai macam, mulai dari virus sampai dengan obatobatan, termasuk obat
tradisional. Virus hepatitis terdiri dari beberapa jenis : hepatitis A, B, C, D, E, F dan G.
Hepatitis A, B dan C adalah yang paling banyak ditemukan. Manifestasi penyakit
hepatitis akibat virus bisa akut (hepatitis A), kronik (hepatitis B dan C) ataupun kemudian
menjadi kanker hati (hepatitis B dan C). Tabel 1 memperlihatkan perbandingan virus
hepatitis A, B, C, D, dan E (Depkes RI, 2007).

Tabel 1. Perbandingan Virus Hepatitis (Depkes RI, 2007)

2. Sirosis
Setelah terjadi peradangan dan bengkak, hati mencoba memperbaiki dengan
membentuk bekas luka atau parut kecil. Parut ini disebut "fibrosis" yang membuat hati
lebih sulit melakukan fungsinya. Sewaktu kerusakan berjalan, semakin banyak parut
terbentuk dan mulai menyatu, dalam tahap selanjutnya disebut "sirosis". Pada sirosis,
area hati yang rusak dapat menjadi permanen dan menjadi sikatriks. Darah tidak dapat
mengalir dengan baik pada jaringan hati yang rusak dan hati mulai menciut, serta menjadi
keras. Sirosis hati dapat terjadi karena virus Hepatitis B dan C yang berkelanjutan,
alkohol, perlemakan hati atau penyakit lain yang menyebabkan sumbatan saluran empedu
(Depkes RI, 2007).
Sirosis tidak dapat disembuhkan, pengobatan dilakukan untuk mengobati
komplikasi yang terjadi seperti muntah dan keluar darah pada feses, mata kuning serta
koma hepatikum. Pemeriksaan yang dilakukan untuk mendeteksi adanya sirosis hati
adalah pemeriksaan enzim SGOT-SGPT, waktu protrombin dan protein (Albumin–
Globulin) Elektroforesis (rasio Albumin-Globulin terbalik) (Depkes RI, 2007).
3. Kanker Hati
Kanker hati yang banyak terjadi adalah Hepatocellular carcinoma (HCC). HCC
merupakan komplikasi akhir yang serius dari hepatitis kronis, terutama sirosis yang
terjadi karena virus hepatitis B, C dan hemochromatosis. Pemeriksaan yang dilakukan
untuk mendeteksi terjadinya kanker hati adalah AFP dan PIVKA II.
4. Perlemakan Hati
Perlemakan hati terjadi bila penimbunan lemak melebihi 5% dari berat hati atau
mengenai lebih dari separuh jaringan sel hati. Perlemakan hati ini sering berpotensi
menjadi penyebab kerusakan hati dan sirosis hati. Kelainan ini dapat timbul karena
mengkonsumsi alkohol berlebih, disebut ASH (Alcoholic Steatohepatitis), maupun
bukan karena alkohol, disebut NASH (Non Alcoholic Steatohepatitis). Pemeriksaan yang
dilakukan pada kasus perlemakan hati adalah terhadap enzim SGOT, SGPT dan Alkali
Fosfatase.
5. Kolestasis dan Jaundice
Kolestasis merupakan keadaan akibat kegagalan produksi dan/atau pengeluaran
empedu. Lamanya menderita kolestasis dapat menyebabkan gagalnya penyerapan lemak
dan vitamin A, D, E, K oleh usus, juga adanya penumpukan asam empedu, bilirubin dan
kolesterol di hati.
Adanya kelebihan bilirubin dalam sirkulasi darah dan penumpukan pigmen
empedu pada kulit, membran mukosa dan bola mata (pada lapisan sklera) disebut
jaundice. Pada keadaan ini kulit penderita terlihat kuning, warna urin menjadi lebih
gelap, sedangkan feses lebih terang. Biasanya gejala tersebut timbul bila kadar bilirubin
total dalam darah melebihi 3 mg/dl. Pemeriksaan yang dilakukan untuk kolestasis dan
jaundice yaitu terhadap Alkali Fosfatase, Gamma GT, Bilirubin Total dan Bilirubin
Direk.
6. Hemochromatosis
Hemochromatosis merupakan kelainan metabolisme besi yang ditandai dengan
adanya pengendapan besi secara berlebihan di dalam jaringan. Penyakit ini bersifat
genetik atau keturunan. Pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi terjadinya
hemochromatosis adalah pemeriksaan terhadap Transferin dan Ferritin.
7. Abses Hati
Abses hati dapat disebabkan oleh infeksi bakteri atau amuba. Kondisi ini
disebabkan karena bakteri berkembang biak dengan cepat, menimbulkan gejala demam
dan menggigil. Abses yang diakibatkan karena amubiasis prosesnya berkembang lebih
lambat. Abses hati, khususnya yang disebabkan karena bakteri, sering kali berakibat fatal.

2.1.3 Tanda-Tanda dan Gejala Klinis


Adapun gejala yang menandai adanya penyakit hati adalah sebagai berikut:
a) Kulit atau sklera mata berwarna kuning (ikterus).
b) Badan terasa lelah atau lemah.
c) Gejala-gejala menyerupai flu, misalnya demam, rasa nyeri pada seluruh tubuh. d)
Kehilangan nafsu makan, atau tidak dapat makan atau minum.
d) Mual dan muntah.
e) Gangguan daya pengecapan dan penghiduan.
f) Nyeri abdomen, yang dapat disertai dengan perdarahan usus.
g) Tungkai dan abdomen membengkak.
h) Di bawah permukaan kulit tampak pembuluh-pembuluh darah kecil, merah dan
membentuk formasi laba-laba (spider naevy), telapak tangan memerah (palmar
erythema), terdapat flapping tremor, dan kulit mudah memar. Tanda-tanda tersebut
adalah tanda mungkin adanya sirosis hati.
i) Darah keluar melalui muntah dan rektum (hematemesis-melena).
j) Gangguan mental, biasanya pada stadium lanjut (encephalopathy hepatic).
k) Demam yang persisten, menggigil dan berat badan menurun. Ketiga gejala ini
mungkin menandakan adanya abses hati (Depkes RI, 2007).
2.1.4 Parameter-Parameter Fungsi Hati
1. Bilirubin
Dalam uji laboratorium, bilirubin diperiksa sebagai bilirubin total dan bilirubin
direk. Bilirubin indirek diperhitungkan dari selisih antara bilirubin total dan bilirubin
direk dengan persamaan; bilirubin indirek = total bilirubin - bilirubin direk. Faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi temuan laboratorium diantaranya seperti: makan yang
mengandung tinggi lemak. Wortel dan ubi jalar dapat meningkatkan kadar bilirubin,
hemolisis pada sampel darah dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan, sampel darah yang
terpapar sinar matahari atau terang lampu, kandungan pigmen empedunya akan menurun,
dan obat-obatan tertentu dapat meningkatkan atau menurunkan kadar bilirubin. Bilirubin
dibentuk oleh aktivitas biliverdin reductase pada biliverdin. Bilirubin ketika dioksidasi,
maka akan kembali menjadi biliverdin lagi. Siklus ini menunjukkan kemampuan aktivitas
antioksidan dari bilirubin (Thapa & Walia, 2007).
Di dalam darah, bilirubin memiliki dua bentuk yaitu bilirubin direk yang larut
dalam air dan bilirubin indirek tidak larut dalam air tapi larut lemak. Nilai normal
bilirubin berbeda pada setiap literatur (Thapa & Walia, 2007).
Nilai Normal
μmol/L mg/dL
Total bilirubin 5.1–17.0 0.3–1.0

Tabel 2. Nilai normal bilirubin

2. Waktu Prothrombin (Prothrombin time)


Prothrombin time digunakan untuk menetapkan kemampuan membeku darah pada
pengukuran dosis warfarin, gangguan fungsi hati, dan dosis vitamin K di dalam tubuh.
Range kadar prothrombin time biasanya sekitar 12–18 detik dan range normal untuk INR
adalah 0.8–1.2 (Thapa & Walia, 2007).
Nilai normal
Laki-laki Wanita
Prothrombin Time
9.6-11.8 detik 9.5.11.3 Detik
(PT)
Tabel 3. Nilai rujukan untuk prothrombin time (PT)
3. Serum Albumin
Serum albumin, sering disebut sebagai albumin. Albumin banyak terdapat pada
protein plasma manusia. Albumin penting untuk mengatur tekanan osmotik yang mana
berperan dalam distribusi cairan tubuh antara bagian intravascular dengan jaringan tubuh.
Albumin juga berperan dalam membawa protein dan asam lemak. Albumin merupakan
penanda spesifik terhadap fungsi hati, tetapi tidak terlalu berguna dalam kondisi akut
(Limdi & Hyde, 2003).
Nilai normal
Dewasa Anak-anak
Albumin (Alb)
3.8-5.0 g/dL 3.1.5.0 g/dL
Tabel 4. Nilai rujukan untuk albumin
4. Asites
Asites merupakan akumulasi cairan lymph pada ruang peritoneal. Asites
merupakan salah satu gejala yang tampak pada umumnya dari sirosis. Lebih dari 1,5%
pasien sirosis menyebabkan terjadinya asites dalam setiap diagnosa sirosis. Mekanisme
perkembangan asites secara pasti belum diketahui (Dipiro, 2015).
Asites memiliki tiga tingkatan:
 Tingkat 1: ringan, asites hanya dapat dideteksi dengan pemeriksaan ultrasound.
 Tingkat 2: sedang, terlihat sedikit pembengkakkan abdomen yang simetris.
 Tingkat 3: berat, tampak pembengkakkan abdomen yang besar (Moore et al, 2003).
5. Ensefalopati Hepatik
Ensefalopati hepatik dikarenakan akumulasi zat-zat beracun pada aliran darah yang
normalnya dikeluarkan melalui hati. Ensefalopati sering timbul sebagai gejala dan tanda
gangguan hati jaundice (timbulnya warna kuning pada kulit dan mata), asites
(terakumulasinya cairan pada bagian abdominal), dan peripheral edema (bengkak pada
kaki dikarenakan penumpukan cairan pada kulit) (Moore et al, 2003).
Tingkat keparahan ensefalopati hepatik menurut kriteria West Haven:
 Tingkat 1 (Ringan): terlalu senang ataupun gelisah; kurangnya konsentrasi
 Tingkat 2 (Lesu): minimal disorientasi terhadap waktu dan tempat.
 Tingkat 3 (Pingsan): tapi tetap responsif dengan stimulasi verbal, kebingungan.
 Tingkat 4 (Koma): tidak responsif (Moore et al, 2003).
6. Enzim-enzim Transferase
Perbandingan antara AST dan ALT dapat menjadi tambahan petunjuk pada
beberapa gejala penyakit: ALT>AST terjadi pada gangguan fungsi hati kronis,
AST>ALT terjadi pada sirosis hati. Perbandingan AST : ALT yang besar juga sangat
berguna, jika >2 mengindikasikan gangguan fungsi hati dikarenakan alkohol, dan bila
perbandingannya <1.0 mengisyaratkan gangguan fungsi hati non-alkohol (Limdi &
Hyde, 2003).
Nilai normal
AST (Aspartat Laki-laki Wanita
8-26 U/L 8-20 U/L
aminotransferase)
Tabel 5. Nilai rujukan untuk SGOT/AST

Kondisi yang meningkatkan kadar SGOT/AST:


 Peningkatan tinggi (> 5 kali nilai normal): kerusakan hepatoseluler akut, infark
miokard, kolaps sirkulasi, pankreatitis akut, mononukleosis infeksiosa
 Peningkatan sedang (3-5 kali nilai normal): obstruksi saluran empedu, aritmia jantung,
gagal jantung kongestif, tumor hati (metastasis atau primer), distrophia muscularis
 Peningkatan ringan (sampai 3 kali normal): perikarditis, sirosis, infark paru, delirium
tremeus, cerebrovascular accident (CVA) (Thapa & Walia, 2007).
Nilai normal
ALT (Alanin Laki-laki Wanita
7-46 U/mL 5-35 U/mL
aminotransferase)
Tabel 6. Nilai rujukan untuk SGPT/ALT

Kondisi yang meningkatkan kadar SGPT/SGOT adalah:


 Peningkatan SGOT/SGPT > 20 kali normal: hepatitis viral akut, nekrosis hati
(toksisitas obat atau kimia)
 Peningkatan 3-10 kali normal: infeksi mononuklear, hepatitis kronis aktif, sumbatan
empedu ekstra hepatik, sindrom Reye, dan infark miokard (SGOT>SGPT)
 Peningkatan 1-3 kali normal: pankreatitis, perlemakan hati, sirosis Laennec, sirosis
biliaris (Thapa & Walia, 2007).

7. Gamma-Glutamyl Transferase (GGT)


GGT mempunyai hubungan dengan saluran empedu. Peningkatan secara khas
terjadi pada kondisi cholestasis dengan peningkatan juga terjadi pada ALP, tetapi bila
jumlah ALP normal, maka mengindikasikan terjadinya induksi enzim metabolit hati
(Limdi & Hyde, 2003).
Nilai normal
Gamma-glutamyl Laki-laki Wanita
10-39 U/mL 6.29U/mL
transferase (GGT)

Tabel 7. Nilai normal GTT

8. Alkaline Phosphatase (ALP)


Peningkatan jumlah dari ALP di dalam darah biasanya disebabkan oleh kerusakan
fungsi hati atau kerusakan tulang. Jumlah enzim ini dapat meningkat tajam seperti pada
kasus tersumbatnya saluran empedu. Peningkatan jumlah yang kecil pada darah dapat
terjadi pada kondisi pasien kanker dan sirrosis yang menggunakan obat yang merusak
hati serta pada penderita hepatitis. Kondisi lain yang dapat menyebabkan peningkatan
jumlah ALP adalah gangguan pada tulang seperti rheumatoid arthritis dan penyembuhan
patah tulang. Anak-anak dan remaja juga memiliki jumlah ALP yang tinggi, hal tersebut
dikarenakan tulang masih dalam tahap pertumbuhan (Limdi & Hyde, 2003).
Nilai normal
Alkaline phosphatase Laki-laki Wanita
98-251 U/L 81-196 U/L
(ALP)

Tabel 8. Nilai normal ALP

2.2 Gagal Ginjal


2.2.1 Patogenesis
a. Gagal ginjal akut
Penyebab gagal ginjal akut diklasifikasikan kedalam 3 hal, yaitu pre-renal, renal dan
postrenal :
 Penyebab pre-renal
Penyebabnya dapat berupa hipertropi prostat, pernah melakukan terapi radiasi
didaerah pelvik.
 Penyebab renal
Penyebab kelainan pada kelompok ini banyak terjadi pada kasus bedah akut, traktus
gastrintestinal, drain dan kehilangan incensible.
 Penyebab post-renal
Penyebab kelainan karena terjadi perubahan pada glomerulus, pembuluh darah atau
peradangan (Indra, 2013).
b. Gagal ginjal kronis
Penyebab utama penyakit ginjal kronik adalah diabetes mellitus tipe1 dan tipe 2 serta
hipertensi (Purwanto, 2013).

2.2.2 Patofisiologi
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan
tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron
yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi
walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan
ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut
menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotik disertai
poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri
timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien
menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi
ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin
clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu. (Barbara C Long, 1996, 368).
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya
diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi
setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka gejala akan semakin
berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis. (Brunner & Suddarth, 2001 : 1448).
Klasifikasi gagal ginjal kronik dibagi menjadi 5 stadium :
a. Stadium 1, bila kadar gula tidak terkontrol, maka glukosa akan dikeluarkan lewat
ginjal secara berlebihan. Keadaan ini membuat ginjal hipertrofi dan hiperfiltrasi.
Pasien akan mengalami poliuria. Perubahan ini diyakini dapat menyebabkan
glomerulusklerosis fokal, terdiri dari penebalan difus matriks mesangeal dengan
bahan eosinofilik disertai penebalan membran basalin kapiler.
b. Stadium 2, insufisiensi ginjal, dimana lebihb dari 75 % jaringan telah rusak, Blood
Urea Nitrogen ( BUN ) meningkat, dan kreatinin serum meningkat.
c. Stadium 3, glomerulus dan tubulus sudah mengalami beberapa kerusakan. Tanda khas
stadium ini adalah mikroalbuminuria yang menetap, dan terjadi hipertensi.
d. Stadium 4, ditandai dengan proteinuria dan penurunan GFR. Retinopati dan hipertensi
hampir selalu ditemui.
e. Stadium 5, adalah stadium akhir, ditandai dengan peningkatan BUN dan kreatinin
plasma disebabkan oleh penurunan GFR yang cepat.

2.2.3 Klasifikasi Gagal Ginjal


a. Gagal Ginjal akut merupakan penurunan mendadak dari fungsi ginjal (laju filtrasi
glomerulus/LFG) yang bersifat sementara, ditandai dengan peningkatan kadar kreatinin
serum dan hasil metabolisme nitrogen serum lainnya, serta adanya ketidakmampuan
ginjal untuk mengatur homeostasis cairan dan elektrolit (Amelia et al, 2014).
b. Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang bersifat progresif dan
lambat, dan biasanya berlangsung selama satu tahun. Ginjal kehilangan kemampuan
untuk mempertahankan volume dan komposisi cairan tubuh dalam keadaan asupan
makanan normal (Pranandari & Supadmi, 2015).

2.2.4 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinik antara lain (Long, 1996 : 369) :
a. Gejala dini : lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan
berkurang, mudah tersinggung, depresi
b. Gejala yang lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah, nafas dangkal atau sesak
nafas baik waktu ada kegiatan atau tidak, udem yang disertai lekukan, pruritis
mungkin tidak ada tapi mungkin juga sangat parah.
Manifestasi klinik menurut (Smeltzer, 2001 : 1449) antara lain :
Hipertensi, (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivitas sisyem renin - angiotensin –
aldosteron), gagal jantung kongestif dan udem pulmoner (akibat cairan berlebihan) dan
perikarditis (akibat iriotasi pada lapisan perikardial oleh toksik, pruritis, anoreksia, mual,
muntah, dan cegukan, kedutan otot, kejang, perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu
berkonsentrasi).

Manifestasi klinik menurut Suyono (2001) adalah sebagai berikut:


a. Kardiovaskuler : Hipertensi, gagal jantung kongestif, udema pulmoner, perikarditis
pitting edema (kaki, tangan, sacrum), edema periorbital friction
rub pericardial, pembesaran vena leher
b. Integumen : Warna kulit abu-abu mengkilat, kulit kering bersisik, pruritus,
ekimosis, kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar
c. Pulmoner : Krekels, sputum kental dan liat, nafas dangkal, pernafasan
kussmaul
d. Gastrointestinal : Nafas berbau ammonia, ulserasi dan perdarahan mulut, anoreksia,
mual, muntah, konstipasi dan diare, perdarahan saluran cerna
e. Neurologi : Kelemahan dan keletihan, konfusi/ perubahan tingkat kesadaran,
disorientasi, kejang, kelemahan pada tungkai, rasa panas pada
telapak kaki, perubahan perilaku
f. Muskuloskeletal: Kram otot, kekuatan otot hilang,kelemahan pada tungkai Fraktur
tulang, Foot drop
g. Reproduktif : Amenore, Atrofi testekuler
2.2.5 Diagnosis gagal ginjal
a. Urinalisis
Observasi makroskopik da mikroskopik urin dan sedimennya danga menentukan pH urin,
berat spesifik, kandungan protein, gula merupaka pemeriksaan sederhana yang tersedia,
tidak mahal dan merupakan tes laboratorium yang informatif.
b. Appearance
Penampakan makroskopik urin mungkin menunjukkan adanya perdarahan, infeksi
saluran genitourinarius. Pemeriksaa makroskopik sedimen urin dapat menunjukkan
adanya sel, bakteri, yang dapat membantu menegakkan diagnosis pasien dengan penyakit
ginjal.
c. Nilai pH
pH urin merupakan ukuran kemampuan ginjal mengasamkan urin. Ginjal bersama paru
memiliki peranan menjaga keseimbangan asam basa asam basa yang mampu
mengekskresi 60 mEq ion hidrogen yang diliasilkan setiap bari dari metabolisme nonnal.
Tiga mekanisme ginjal mencegah asidemia; reabsopsi bikarbonat. pengasaman sistem
bufer sel tubular urin dan produksi amonia di sel tubular dan mengeksresinya sebagai ion
amonium. Ketidakmampuan untuk mengeksresi urin yang asam pada asidosis sistemik
menunjukkan adanya insufisiensi ginjal.
d. Konsentrasi
Berat jenis urin merupakan indeks kemampuan konsentrasi urin, terutama fungsi tubular
renal. Berat jenis 1.030 – 1050 mOsm/Kgl merupakan nilai yang baik untuk fungsi
tubular. Jika nilai osmolalitas sama dengan osmolalitas plasma ( 1.010 -11029 mOsm/kg)
indikasi adanya penyakit ginjal.
e. Protein
Pasien normal mengeluarkan 150 mg protein per hari. Bertambah jika melakukan latihan
atau berdiri beberapa jam. Proteinuria masif ( > 750 mg/hr) selalu abnormal dan biasanya
menunjukkan kerusakan glomerulus. Proteiunuria juga dapat disebabkan ; 1. kegagalan
reabsorpsi tabular 2. Peningkatan konsentrasi protein normal plasma 3. Adanya protein
plasma abnormal, yang sering dikeluarkan melalui urin.
f. Glukosa
Glukosa biasanya difiltrasi bebas oleh glomerulus dan selanjutnya di reabsorpsi di
tubulus proksimal. Glikosuria menunjukkan kemampuan tubulus renal mengreabsorpsi
glukosa tidak normal
g. Hitung darah lengkap
Anemia biasanya ada pada pasien dengan penyakit ginjal karena abnormalitas produksi
eritrpoetin (erythropoetinstimuiating factor). Mekanisme pasti pembentukan eritropoetin
belum diketahui.
h. Konsentrasi dan klirens kreatinin dan urea
Pengukuran konsentrasi kliresns kreatinin dan urea merupakan informasi yang berbarga
untuk menilai fungsi ginjal. Kreatinin difiltrasi secara bebas di glomemlus dan tidak
diabsorpsi dan atau disekresi. Jadi, pengukuran serum kreatinin menunjukkan fungsi
glomerulus. Konsentrasi dan klirens serum kreatinin merupakan indikator yang lebih baik
untuk mengetahui fingsi ginjal dan GFR secara umum, karena konsentrasi dan klirens
urea nitrogen dipengaruhi juga oleh perubahan hidrasi, laju aliran urin, dan asupan diet
protein (Indra, 2013).

2.3 Pasien Hamil


2.3.1 Definisi

Kehamilan adalah suatu kondisi dimana dalam rahim seorang wanita terdapat janin yang
sedang berkembang selama kurang lebih sembilan bulan. Selama masa kehamilan, ibu dan janin
adalah unit fungsi yang tak terpisahkan. Kesehatan ibu merupakan suatu faktor yang penting bagi
perkembangan janin dan kesehatan ibu sendiri (Depkes RI. 2006).

Sebagian besar manusia, dalam proses kehamilan berlangsung sekitar 40 minggu (280 hari)
dan tidak lebih dah 43 minggu (300 hari). Kehamilan yang berlangsung antara 20 - 38 minggu
disebut kehamilan preterm, sedangkan bila lebih dah 42 minggu disebut kehamilan postterm.
Menurut usianya, kehamilan ini dibagi menjadi 3 yaitu kehamilan trimester pertama 0-14
minggu, kehamilan trimester kedua 14 - 28 minggu dan kehamilan trimester ketiga 28 - 42
minggu. Selama masa kehamilan, seorang ibu seringkali mengalami gangguan fisiologis.
Beberapa gangguan fisiologis yang dialami antara lain yaitu (Depkes RI. 2006):

□ Mual dan muntah

□ Liur melimpah

□ Tekanan pada dada

□ Lemah dan pusing

□ Sariawan

□ Gangguan buang air besar

□ Varises

□ Wasir atau ambeien

□ Kejang kaki

□ Keputihan
Banyak ibu hamil dengan gangguan kesehatan menggunakan obat dan suplemen pada
periode organogenesis sedang berlangsung sehingga risiko terjadi cacat janin lebih besar. Karena
banyak obat yang dapat melintasi plasenta, maka penggunaan obat pada wanita hamil perlu
berhati-hati. Dalam plasenta obat mengalami proses biotransformasi dan dapat terbentuk
senyawa antara yang reaktif, yang bersifat teratogenik/dismorfogenik. Obat-obat teratogenik atau
obat-obat yang dapat menyebabkan terbentuknya senyawa teratogenik dapat merusak janin
dalam pertumbuhan (Depkes RI. 2006).

Obat-obat yang bersifat teratogenik adalah asam lemah, misalnya talidonild, asam valproat,
isotretinoin, waifarin. Hal ini diduga karena asam lemah akan mengubah pH sel embrio. Dan dari
basil penelitian pada hewan menunjukkan bahwa pH cairan sel embrio lebih tinggi dari pH
plasma ibu, sehingga obat yang bersifat asam akan tinggi kadarnya di sel embrio (Depkes RI.
2006).

2.3.2 Masalah Yang Sering Terjadi Pada Kehamilan


 Toksoplasmosis
Penyakit ini merupakan penyakit protozoa sistemik yang disebabkan oleh Toxoplasma
gondii. Pola transmisinya ialah transplasenta pada wanita hamil. Bila infeksi ini mengenai
ibu hamil trimester pertama akan menyebabkan 20 % janin terinfeksi toksoplasma atau
kematian janin, sedangkan bila ibu terinfeksi pada trimester ke tiga 65 % janin akan
terinfeksi. Infeksi ini dapat berlangsung selama kahamilan. Pencegahan dapat dilakukan
antara lain dengan cara : memasak daging sampai matang , menggunakan sarung tangan baik
saat memberi makan maupun membersihkan kotoran hewan ternak, dan menjaga agar
tempat bermain anak tidak tercemar kotoran hewan ternak.
 Sifilis
Penyakit ini disebabkan infeksi Treponema pallidum. Penyakit ini dapat ditularkan
melalui plasenta sepanjang masa kehamilan. Biasanya respon janin yang hebat akan terjadi
setelah pertengahan kedua kehamilan dengan manifestasi klinik hepatosplenomegali, ikterus,
petekie, meningoensefalitis, khorioretinitis, dan lesi tulang. Infeksi penyakit ini juga dapat
menyebabkan bayi lahir dengan berat badan yang rendah, atau bahkan kematian janin.
Pencegahan antara lain dengan cara : promosi kesehatan tentang penyakit menular seksual,
mengontrol prostitusi bekerjasama dengan lembaga sosial, memperbanyak pelayanan
diagnosis dini dan pengobatannya, untuk penderita yang dirawat dilakukan isolasi terutama
terhadap sekresi dan ekresi penderita.
 HIV/AIDS
Penyakit ini terjadi karena infeksi retrovirus. Pada janin penularan terjadi secara
transplasenta, tetapi dapat juga akibat pemaparan darah dan sekret serviks selama persalinan.
Kebanyakan bayi terinfeksi HIV belum menunjukan gejala pada saat lahir. Pencegahan
antara lain dengan cara : menghindari kontak seksual dengan banyak pasangan terutama
hubungan seks anal, skrining donor darah lebih ketat dan pengolahan darah dan produknya
dengan lebih hati – hati.
 Rubella (German measles)
Penyakit ini disebabkan oleh virus Rubella yang termasuk famili Tgaviridae dan genus
Rubivirus. Pada wanita hamil penularan ke janin secara intrauterin. Masa inkubasinya rata –
rata 16 – 18 hari. Penyakit ini agak berbeda dari toksoplasmosis karena rubella hanya
mengancam janin bila didapat saat kehamilan pertengahan pertama, makin awal (trimester
pertama) Ibu hamil terinfeksi rubella makin serius akibatnya pada bayi yaitu kematian janin
intrauterin, abortus spontan, atau malformasi kongenital pada sebagian besar organ tubuh
( kelainan bawaan )
 Herpes simpleks ( Herpervirus hominis)
Penyakit ini disebabkan infeksi herpes simplex virus (HSV). Pada bayi infeksi ini didapat
secara perinatal akibat persalinan lama sehingga virus ini mempunyai kesempatan naik
melalui mukosa yang robek untuk menginfeksi janin. Gejala pada bayi biasanya mulai
timbul pada minggu pertama kehidupan tetapi kadang-kadang baru pada minggu ke dua atau
ketiga. Pencegahan antara lain dengan cara: menjaga kebersihan perseorangan dan
pendidikan kesehatan terutama kontak dengan bahan infeksius, menggunakan kondom
dalam aktifitas seksual, dan penggunaan sarung tangan dalam menangani lesi infeksius
(Depkes RI. 2006).

2.3.3 Kategori Risiko Kehamilan FDA Sebelum 2015

Pada 1979, FDA menetapkan lima kategori risiko kehamilan:


 A: Obat yang sudah pernah diujikan pada manusia hamil dan terbukti tidak ada risiko
terhadap janin dalam rahim. Obat golongan ini aman untuk dikonsumsi oleh ibu hamil
(Vitamin, asam folat, levothyroxine, liothyronine)
 B : Obat yang sudah diujikan pada binatang dan terbukti ada atau tidak ada efek terhadap
janin dalam rahim akan tetapi belum pernah terbukti pada manusia. Obat golongan ini
bila diperlukan dapat diberikan pada ibu hamil (Penicillin, metformin,
hydrochlorothiazide, cyclobenzaprine, amoxicillin)

 C : Obat yang pernah diujikan pada binatang atau manusia akan tetapi dengan hasil yang
kurang memadai. Meskipun sudah di ujikan pada binatang terbukti ada efek terhadap
janin akan tetapi pada manusia belum ada bukti yang kuat . obat golongan ini boleh
diberikan pada ibu hamil apabila keuntungannya lebih besar dibanding efeknya terhadap
janin (Kloramfenicol, Rifampisin, Gabapentin, Amlodipin)

 D : Obat yang sudah dibuktikan mempunyai risiko terhadap janin manusia. Obat
golongan ini tidak dianjurkan untuk dikonsumsi ibu hamil. Terpaksa diberikan apabila
dipertimbangkan untuk menyelamatkan jiwa ibu (Streptomisin, Tetrasiklin, Kanamisin
Losartan)

 X : Obat yang sudah jelas terbukti ada risiko pada janin manusia dan kerugian dari obat


ini jauh lebih besar dari pada manfaatnya bila diberikan pada ibu hamil, sehingga tidak
dibenarkan untuk diberikan pada ibu hamil atau yang tersangka hamil (Simvastatin,
Methotrexate, Atorvastatin, Finasteride)

2.3.4 Farmakokinetika Pada Kehamilan

Selama kehamilan terjadi perubahan-perubahan fisiologi yang mempengaruhi


farmakokinetika obat. Perubahan tersebut meliputi peningkatan cairan tubuh misalnya
penambahan volume darah sampai 50% dan curah jantung sampai dengan 30%. Pada akhir
semester pertama aliran darah ginjal meningkat 50% dan pada akhir kehamilan aliran darah ke
rahim mencapai puncaknya hingga 600-700 ml/menit. Peningkatan cairan tubuh tersebut
terdistribusi 60 % di plasenta, janin dan cairan amniotik, 40% di jaringan si ibu

Gerakan saluran cerna menurun pada kehamilan tetapi tidak menimbulkan efek yang bermakna
pada absorpsi obat. Aliran darah ke hepar relatif tidak berubah. Walau demikian kenaikan kadar
estrogen dan progesteron akan dapat secara kompetitif menginduksi metabolisme obat lain,
misalnya fenitoin atau menginhibisi metabolisme obat lain misalnya teofilin.

Peningkatan aliran darah ke ginjal dapat mempengaruhi bersihan (clearance) ginjal obat yang
eliminasi nya terutama lewat ginjal, contohnya penicilin. (Depkes RI. 2006).

Perpindahan obat lewat plasenta.

Perpindahan obat lewat plasenta umumnya berlangsung secara difusi sederhana sehingga
konsentrasi obat di darah ibu serta aliran darah plasenta akan sangat menentukan perpindahan
obat lewat plasenta. Perpindahan obat lewat plasenta dipengaruhi oleh hal-hal dibawah ini.

 Kelarutan dalam lemak


Obat yang larut dalam lemak akan berdifusi dengan mudah melewati plasenta masuk ke
sirkulasi janin. Contohnya, thiopental, obat yang umum digunakan pada saat melahirkan
dapat menyebabkan apnea (henti nafas) pada bayi yang baru dilahirkan.
 Derajat ionisasi
Obat yang tidak terionisasi akan mudah melewati plasenta. Sebaliknya obat yang
terionisasi akan sulit melewati membran Contohnya suksinil kholin dan tubokurarin yang
juga digunakan pada seksio sesarea, adalah obat-obat yang derajat ionisasinya tinggi, akan
sulit melewati plasenta sehingga kadarnya di di janin rendah. Contoh lain yang
memperlihatkan pengaruh kelarutan dalam lemak dan derajat ionisasi adalah salisilat, zat
ini hampir semua terion pada pH tubuh akan melewati akan tetapi dapat cepat melewati
plasenta. Hal ini disebabkan oleh tingginya kelarutan dalam lemak dari sebagian kecil
salisilat yang tidak terion. Permeabilitas membran plasenta terhadap senyawa polar
tersebut tidak absolut. Bila perbedaan konsentrasi ibu-janin tinggi, senyawa polar tetap
akan melewati plasenta dalam jumlah besar.
 Ukuran molekul
Obat dengan berat molekul sampai dengan 500 Dalton akan mudah melewati pori
membran bergantung pada kelarutan dalam lemak dan derajat ionisasi. Obat-obat dengan
berat molekul 500-1000 Dalton akan lebih sulit melewati plasenta dan obat-obat dengan
berat molekul >1000 Dalton akan sangat sulit menembus plasenta. Sebagai contoh adalah
heparin, mempunyai berat molekul yang sangat besar ditambah lagi adalah molekul polar,
tidak dapt menembus plasenta sehingga merupakan obat antikoagulan pilihan yang aman
pada kehamilan.
 Ikatan protein
Hanya obat yang tidak terikat dengan protein (obat bebas) yang dapat melewati
membran. Derajat keterikatan obat dengan protein, terutama albumin, akan mempengaruhi
kecepatan melewati plasenta. Akan tetapi bila obat sangat larut dalam lemak maka ikatan
protein tidak terlalu mempengaruhi, misalnya beberapa anastesi gas. Obat-obat yang
kelarutannya dalam lemak tinggi kecepatan melewati plasenta lebih tergantung pada aliran
darah plasenta. Bila obat sangat tidak larut di lemak dan terionisasi maka perpindahaan nya
lewat plasenta lambat dan dihambat oleh besarnya ikatan dengan protein. Perbedaan ikatan
protein di ibu dan di janin juga penting, misalnya sulfonamid, barbiturat dan fenitoin,
ikatan protein lebih tinggi di ibu dari ikatan protein di janin. Sebagai contoh adalah kokain
yang merupakan basa lemah, kelarutan dalam lemak tinggi, berat molekul rendah (305
Dalton) dan ikatan protein plasma rendah (8-10%) sehingga kokain cepat terdistribusi dari
darah ibu ke janin.

Metabolisme obat di plasenta dan di janin.

Dua mekanisme yang ikut melindungi janin dari obat disirkulasi ibu adalah:

1. Plasenta yang berperan sebagai penghalang semipermiabel juga sebagai tempat


metabolisme beberapa obat yang melewatinya. Semua jalur utama metabolisme obat ada
di plasenta dan juga terdapat beberapa reaksi oksidasi aromatik yang berbeda misalnya
oksidasi etanol dan fenobarbital. Sebaliknya, kapasitas metabolisme plasenta ini akan
menyebabkan terbentuknya atau meningkatkan jumlah metabolit yang toksik, misalnya
etanol dan benzopiren. Dari hasil penelitian prednisolon, deksametason, azidotimidin
yang struktur molekulnya analog dengan zat-zat endogen di tubuh mengalami
metabolisme yang bermakna di plasenta.
2. Obat-obat yang melewati plasenta akan memasuki sirkulasi janin lewat vena umbilikal.
Sekitar 40-60% darah yang masuk tersebut akan masuk hati janin, sisanya akan langsung
masuk ke sirkulasi umum janin. Obat yang masuk ke hati janin, mungkin sebagian akan
dimetabolisme sebelum masuk ke sirkulasi umum janin, walaupun dapat dikatakan
metabolisme obat di janin tidak berpengaruh banyak pada metabolisme obat maternal.

2.3.5 Farmakodinamika pada kehamilan

Mekanisme kerja obat ibu hamil.

Efek obat pada jaringan reproduksi, uterus dan kelenjar susu, pada kehamilan kadang
dipengaruhi oleh hormon-hormon sesuai dengan fase kehamilan. Efek obat pada jaringan tidak
berubah karena kehamilan tidak berubah, walau teijadi perubahan misalnya curah jantung, aliran
darah ke ginjal. Perubahan tersebut kadang menyebabkan wanita hamil membutuhkan obat yang
tidak dibutuhkan pada saat tidak hamil. Contohnya glikosida jantung dan diuietik yang
dibutuhkan pada kehamilan karena peningkatan beban jantung pada kehamilan. Atau insulin
yang dibutuhkan untuk mengontrol glukosa darah pada diabetes yang diinduksi oleh kehamilan.

Mekanisme kerja obat pada janin


Beberapa penelitian untuk mengetahui kerja obat di janin berkembang dengan pesat, yang
berkaitan dengan pemberian obat pada wanita hamil yang ditujukan untuk pengobatan janin
walaupun mekanismenya masih belum diketahui jelas. Contohnya kortikosteroid diberikan untuk
merangsang matangnya paru janin bila ada prediksi kelahiran prematur. Contoh lain adalah
fenobarbital yang dapat menginduksi enzim hati untuk metabolisme bilirubin sehingga insidens
jaundice (bayi kuning) akan berkurang. Selain itu fenobarbital juga dapat menurunkan risiko
perdarahan intrakranial bayi kurang umur. Anti aritmia juga diberikan pada ibu hamil untuk
mengobati janinnya yang menderita aritmia jantung. (Depkes RI. 2006).

Mekanisme kerja obat teratogenik


Penggunaan obat pada saat perkembangan janin dapat mempengaruhi struktur janin pada
saat terpapar. Thalidomid adalah contoh obat yang besar pengaruhnya pada perkembangan
anggota badan (tangan, kaki) segera sesudah terjadi pemaparan. Pemaparan ini akan berefek
pada saat waktu kritis pertumbuhan anggota badan yaitu selama minggu ke empat sampai
minggu ke tujuh kehamilan. Mekanisme berbagai obat yang menghasilkan efek teratogenik
belum diketahui dan mungkin disebabkan oleh multi faktor

 Obat dapat bekerja langsung pada jaringan ibu dan juga secara tidak langsung
mempengaruhi jaringan janin.
 Obat mungkin juga menganggu aliran oksigen atau nutrisi lewat plasenta sehingga
mempengaruhi jaringan janin.
 Obat juga dapat bekerja langsung pada proses perkembangan jaringan janin, misalnya
vitamin A (retinol) yang memperlihatkan perubahan pada jaringan normal. Dervat vitamin
A (isotretinoin, etretinat) adalah teratogenik yang potensial.
 Kekurangan substansi yang esensial diperlukan juga akan berperan pada abnormalitas.
Misalnya pemberian asam folat selama kehamilan dapat menurunkan insiden kerusakan
pada selubung saraf, yang menyebabkan timbulnya spina bifida.

Paparan berulang zat teratogenik dapat menimbulkan efek kumulatif. Misalnya konsumsi
alkohol yang tinggi dan kronik pada kehamilan, terutama pada kehamilan trimester pertama dan
kedua akan menimbulkan fetal alcohol syndrome yang berpengaruh pada sistem saraf pusat,
pertumbuhan dan perkembangan muka (Depkes RI. 2006).

2.4 Pasien Menyusui


Menurut FDA, berdasarkan pada semua aspek farmakokinetik obat yang diketahui penting
bagi ibu menyusui dan bayinya, keamanan pengobatan pada ibu menyusui dapat dikategorikan
dalam 5 kelompok, yaitu : L1 (sangat aman), L2 (aman), L3 (cukup aman), L4 (kemungkinan
berbahaya), dan L5 (kontraindikasi). Efikasi, kemanjuran (benefit) dan risiko adalah
pertimbangan utama menggunakan obat khususnya untuk kategori L1 dan L2. Sedangkan untuk
obat yang masuk kategori L3 dan L4 dianjurkan untuk benar-benar melalui pertimbangan dokter
dengan mempertimbangkan manfaat, keselamatan jiwa yang lebih besar dibandingkan risikonya.
Untuk obat dengan kategori L5 tidak boleh digunakan pada masa menyusui. Ibu menyusui
dianjurkan konsultasi dahulu kepada dokter maupun apoteker karena setiap tubuh akan
memberikan respon yang berbeda selama menyusui sekalipun obat-obatan over the counter
(OTC).

2.4.1 Farmakokinetika dan Farmakodinamik Pada Menyusui


A. Farmakokinetika
Hampir semua obat yang diminum perempuan menyusui terdeteksi didalam ASI,
untungnya konsentrasi obat di ASI umumnya rendah. Konsentrasi obat dalam darah ibu
adalah faktor utama yang berperan pada proses transfer obat ke ASI selain dari faktor-faktor
fisiko-kimia obat. Volume darah/cairan tubuh dan curah jantung yang meningkat pada
kehamilan akan kembali normal setelah 1 bulan melahirkan. Karena itu pemberian obat
secara kronik mungkin memerlukan penyesuaian dosis. Obat yang larut dalam lemak, yang
non-polar dan yang tidak terion akan mudah melewati membran sel alveoli dan kapiler susu.
Obat yang ukurannya kecil (<200 dalton) akan mudah melewati pori membran epitel susu.
Obat yang terikat dengan protein plasma tidak dapat melewati membran, hanya obat yang
tidak terikat yang dapat melewatinya. Plasma relatif sedikit lebih basa dari ASI. Karena itu
obat yang bersifat basa lemah di plasma akan lebih banyak dalam bentuk tidak terionisasi
dan mudah menembus membran alveoli dan kapiler susu. Sesampainya di ASI obat yang
bersifat basa tersebut akan mudah terion sehingga tidak mudah untuk melewati membran
kembali ke plasma. Fenomena tersebut dikenal sebagai ion trapping. Rasio M : P adalah
perbandingan antara konsentrasi obat di ASI dan di plasma ibu. Rasio M : P yang > 1
menunjukkan bahwa obat banyak berpindah ke ASI, sebaliknya rasio M : P < 1
menunjukkan bahwa obat sedikit berpindah ke ASI. Pada umumnya kadar puncak obat di
ASI adalah sekitar 1-3 jam sesudah ibu meminum obat. Hal ini mungkin dapat membantu
mempertimbangkan untuk tidak memberikan ASI pada kadar puncak. Bila ibu menyusui
tetap harus meminum obat yang potensial toksik terhadap bayinya maka untuk sementara
ASI tidak diberikan tetapi tetap harus di pompa. ASI dapat diberikan kembali setelah dapat
dikatakan tubuh bersih dari obat dan ini dapat diperhitungkan setelah 5 kali waktu paruh
obat.
Rasio benefit dan risiko penggunaan obat pada ibu menyusui dapat dinilai dengan
mempertimbangkan :

1. Farmakologi obat : reaksi yang tidak dikehendaki

2. Adanya metabolit aktif

3. Multi obat : adisi efek samping

4. Dosis dan lamanya terapi

5. Umur bayi

6. Pengalaman/bukti klinik

7. Data farmakoepidemiologi

Farmakokinetika bayi
Absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi pada bayi berbeda nyata dengan orang
dewasa. Kecepatan absorpsi lewat saluran cerna lebih rendah, misalnya absorpsi
fenobarbital, fenitoin, asetaminofen dan distribusi obat juga akan berbeda karena rendahnya
protein plasma, volume cairan tubuh yang lebih besar dari orang dewasa. Metabolisme obat
juga rendah karena aktivitas enzim yang rendah . Ekskresi lewat renal pada awal kehidupan
masih rendah dan akan meningkat dalam beberapa bulan.
Selain banyaknya obat yang diminum oleh bayi melalui ASI, juga kinetika obat pada
bayi menentukan akibat yang ditimbulkan oleh obat. Yang perlu diperhatikan adalah bila
efek yang tidak diinginkan tidak bergantung dari banyaknya obat yang diminum, misalnya
reaksi alergi, maka sedikit atau banyaknya ASI yang diminum bayi menjadi tidak penting,
tetapi apakah si bayi meminum atau tidak meminum ASI menjadi lebih penting.
B. Farmakodinamika
Mekanisme kerja obat pada ibu menyusui dapat dikatakan tidak berbeda. Sedangkan
farmakodinamik obat pada bayi masih sangat terbatas dipelajari. Kemungkinan sensitivitas
reseptor pada bayi lebih rendah, sebagai contoh, dari hasil penelitian bahwa sensitivitas d-
tubokurarin meningkat pada bayi.
2.4.2 Kriteria ibu hamil/menyusui yang mendapat prioritas untuk dilakukan telaah ulang
rejimen obat :
1. Mendapat 5 macam obat atau lebih, atau 12 dosis atau lebih dalam sehari
2. Mendapat obat dengan rejimen yang kompleks, dan atau obat yang berisiko tinggi untuk
mengalami efek samping yang serius
3. Menderita tiga penyakit atau lebih
4. Mengalami gangguan kognitif, atau tinggal sendiri
5. Tidak patuh dalam mengikuti rejimen pengobatan
6. Akan pulang dari perawatan di rumah sakit
7. Berobat pada banyak dokter
8. Mengalami efek samping yang serius, alergi

Anda mungkin juga menyukai