Bab Ii CND
Bab Ii CND
TINJAUAN PUSTAKA
2. Sirosis
Setelah terjadi peradangan dan bengkak, hati mencoba memperbaiki dengan
membentuk bekas luka atau parut kecil. Parut ini disebut "fibrosis" yang membuat hati
lebih sulit melakukan fungsinya. Sewaktu kerusakan berjalan, semakin banyak parut
terbentuk dan mulai menyatu, dalam tahap selanjutnya disebut "sirosis". Pada sirosis,
area hati yang rusak dapat menjadi permanen dan menjadi sikatriks. Darah tidak dapat
mengalir dengan baik pada jaringan hati yang rusak dan hati mulai menciut, serta menjadi
keras. Sirosis hati dapat terjadi karena virus Hepatitis B dan C yang berkelanjutan,
alkohol, perlemakan hati atau penyakit lain yang menyebabkan sumbatan saluran empedu
(Depkes RI, 2007).
Sirosis tidak dapat disembuhkan, pengobatan dilakukan untuk mengobati
komplikasi yang terjadi seperti muntah dan keluar darah pada feses, mata kuning serta
koma hepatikum. Pemeriksaan yang dilakukan untuk mendeteksi adanya sirosis hati
adalah pemeriksaan enzim SGOT-SGPT, waktu protrombin dan protein (Albumin–
Globulin) Elektroforesis (rasio Albumin-Globulin terbalik) (Depkes RI, 2007).
3. Kanker Hati
Kanker hati yang banyak terjadi adalah Hepatocellular carcinoma (HCC). HCC
merupakan komplikasi akhir yang serius dari hepatitis kronis, terutama sirosis yang
terjadi karena virus hepatitis B, C dan hemochromatosis. Pemeriksaan yang dilakukan
untuk mendeteksi terjadinya kanker hati adalah AFP dan PIVKA II.
4. Perlemakan Hati
Perlemakan hati terjadi bila penimbunan lemak melebihi 5% dari berat hati atau
mengenai lebih dari separuh jaringan sel hati. Perlemakan hati ini sering berpotensi
menjadi penyebab kerusakan hati dan sirosis hati. Kelainan ini dapat timbul karena
mengkonsumsi alkohol berlebih, disebut ASH (Alcoholic Steatohepatitis), maupun
bukan karena alkohol, disebut NASH (Non Alcoholic Steatohepatitis). Pemeriksaan yang
dilakukan pada kasus perlemakan hati adalah terhadap enzim SGOT, SGPT dan Alkali
Fosfatase.
5. Kolestasis dan Jaundice
Kolestasis merupakan keadaan akibat kegagalan produksi dan/atau pengeluaran
empedu. Lamanya menderita kolestasis dapat menyebabkan gagalnya penyerapan lemak
dan vitamin A, D, E, K oleh usus, juga adanya penumpukan asam empedu, bilirubin dan
kolesterol di hati.
Adanya kelebihan bilirubin dalam sirkulasi darah dan penumpukan pigmen
empedu pada kulit, membran mukosa dan bola mata (pada lapisan sklera) disebut
jaundice. Pada keadaan ini kulit penderita terlihat kuning, warna urin menjadi lebih
gelap, sedangkan feses lebih terang. Biasanya gejala tersebut timbul bila kadar bilirubin
total dalam darah melebihi 3 mg/dl. Pemeriksaan yang dilakukan untuk kolestasis dan
jaundice yaitu terhadap Alkali Fosfatase, Gamma GT, Bilirubin Total dan Bilirubin
Direk.
6. Hemochromatosis
Hemochromatosis merupakan kelainan metabolisme besi yang ditandai dengan
adanya pengendapan besi secara berlebihan di dalam jaringan. Penyakit ini bersifat
genetik atau keturunan. Pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi terjadinya
hemochromatosis adalah pemeriksaan terhadap Transferin dan Ferritin.
7. Abses Hati
Abses hati dapat disebabkan oleh infeksi bakteri atau amuba. Kondisi ini
disebabkan karena bakteri berkembang biak dengan cepat, menimbulkan gejala demam
dan menggigil. Abses yang diakibatkan karena amubiasis prosesnya berkembang lebih
lambat. Abses hati, khususnya yang disebabkan karena bakteri, sering kali berakibat fatal.
2.2.2 Patofisiologi
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan
tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron
yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi
walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan
ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut
menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotik disertai
poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri
timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien
menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi
ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin
clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu. (Barbara C Long, 1996, 368).
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya
diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi
setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka gejala akan semakin
berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis. (Brunner & Suddarth, 2001 : 1448).
Klasifikasi gagal ginjal kronik dibagi menjadi 5 stadium :
a. Stadium 1, bila kadar gula tidak terkontrol, maka glukosa akan dikeluarkan lewat
ginjal secara berlebihan. Keadaan ini membuat ginjal hipertrofi dan hiperfiltrasi.
Pasien akan mengalami poliuria. Perubahan ini diyakini dapat menyebabkan
glomerulusklerosis fokal, terdiri dari penebalan difus matriks mesangeal dengan
bahan eosinofilik disertai penebalan membran basalin kapiler.
b. Stadium 2, insufisiensi ginjal, dimana lebihb dari 75 % jaringan telah rusak, Blood
Urea Nitrogen ( BUN ) meningkat, dan kreatinin serum meningkat.
c. Stadium 3, glomerulus dan tubulus sudah mengalami beberapa kerusakan. Tanda khas
stadium ini adalah mikroalbuminuria yang menetap, dan terjadi hipertensi.
d. Stadium 4, ditandai dengan proteinuria dan penurunan GFR. Retinopati dan hipertensi
hampir selalu ditemui.
e. Stadium 5, adalah stadium akhir, ditandai dengan peningkatan BUN dan kreatinin
plasma disebabkan oleh penurunan GFR yang cepat.
Kehamilan adalah suatu kondisi dimana dalam rahim seorang wanita terdapat janin yang
sedang berkembang selama kurang lebih sembilan bulan. Selama masa kehamilan, ibu dan janin
adalah unit fungsi yang tak terpisahkan. Kesehatan ibu merupakan suatu faktor yang penting bagi
perkembangan janin dan kesehatan ibu sendiri (Depkes RI. 2006).
Sebagian besar manusia, dalam proses kehamilan berlangsung sekitar 40 minggu (280 hari)
dan tidak lebih dah 43 minggu (300 hari). Kehamilan yang berlangsung antara 20 - 38 minggu
disebut kehamilan preterm, sedangkan bila lebih dah 42 minggu disebut kehamilan postterm.
Menurut usianya, kehamilan ini dibagi menjadi 3 yaitu kehamilan trimester pertama 0-14
minggu, kehamilan trimester kedua 14 - 28 minggu dan kehamilan trimester ketiga 28 - 42
minggu. Selama masa kehamilan, seorang ibu seringkali mengalami gangguan fisiologis.
Beberapa gangguan fisiologis yang dialami antara lain yaitu (Depkes RI. 2006):
□ Liur melimpah
□ Sariawan
□ Varises
□ Kejang kaki
□ Keputihan
Banyak ibu hamil dengan gangguan kesehatan menggunakan obat dan suplemen pada
periode organogenesis sedang berlangsung sehingga risiko terjadi cacat janin lebih besar. Karena
banyak obat yang dapat melintasi plasenta, maka penggunaan obat pada wanita hamil perlu
berhati-hati. Dalam plasenta obat mengalami proses biotransformasi dan dapat terbentuk
senyawa antara yang reaktif, yang bersifat teratogenik/dismorfogenik. Obat-obat teratogenik atau
obat-obat yang dapat menyebabkan terbentuknya senyawa teratogenik dapat merusak janin
dalam pertumbuhan (Depkes RI. 2006).
Obat-obat yang bersifat teratogenik adalah asam lemah, misalnya talidonild, asam valproat,
isotretinoin, waifarin. Hal ini diduga karena asam lemah akan mengubah pH sel embrio. Dan dari
basil penelitian pada hewan menunjukkan bahwa pH cairan sel embrio lebih tinggi dari pH
plasma ibu, sehingga obat yang bersifat asam akan tinggi kadarnya di sel embrio (Depkes RI.
2006).
C : Obat yang pernah diujikan pada binatang atau manusia akan tetapi dengan hasil yang
kurang memadai. Meskipun sudah di ujikan pada binatang terbukti ada efek terhadap
janin akan tetapi pada manusia belum ada bukti yang kuat . obat golongan ini boleh
diberikan pada ibu hamil apabila keuntungannya lebih besar dibanding efeknya terhadap
janin (Kloramfenicol, Rifampisin, Gabapentin, Amlodipin)
D : Obat yang sudah dibuktikan mempunyai risiko terhadap janin manusia. Obat
golongan ini tidak dianjurkan untuk dikonsumsi ibu hamil. Terpaksa diberikan apabila
dipertimbangkan untuk menyelamatkan jiwa ibu (Streptomisin, Tetrasiklin, Kanamisin
Losartan)
Gerakan saluran cerna menurun pada kehamilan tetapi tidak menimbulkan efek yang bermakna
pada absorpsi obat. Aliran darah ke hepar relatif tidak berubah. Walau demikian kenaikan kadar
estrogen dan progesteron akan dapat secara kompetitif menginduksi metabolisme obat lain,
misalnya fenitoin atau menginhibisi metabolisme obat lain misalnya teofilin.
Peningkatan aliran darah ke ginjal dapat mempengaruhi bersihan (clearance) ginjal obat yang
eliminasi nya terutama lewat ginjal, contohnya penicilin. (Depkes RI. 2006).
Perpindahan obat lewat plasenta umumnya berlangsung secara difusi sederhana sehingga
konsentrasi obat di darah ibu serta aliran darah plasenta akan sangat menentukan perpindahan
obat lewat plasenta. Perpindahan obat lewat plasenta dipengaruhi oleh hal-hal dibawah ini.
Dua mekanisme yang ikut melindungi janin dari obat disirkulasi ibu adalah:
Efek obat pada jaringan reproduksi, uterus dan kelenjar susu, pada kehamilan kadang
dipengaruhi oleh hormon-hormon sesuai dengan fase kehamilan. Efek obat pada jaringan tidak
berubah karena kehamilan tidak berubah, walau teijadi perubahan misalnya curah jantung, aliran
darah ke ginjal. Perubahan tersebut kadang menyebabkan wanita hamil membutuhkan obat yang
tidak dibutuhkan pada saat tidak hamil. Contohnya glikosida jantung dan diuietik yang
dibutuhkan pada kehamilan karena peningkatan beban jantung pada kehamilan. Atau insulin
yang dibutuhkan untuk mengontrol glukosa darah pada diabetes yang diinduksi oleh kehamilan.
Obat dapat bekerja langsung pada jaringan ibu dan juga secara tidak langsung
mempengaruhi jaringan janin.
Obat mungkin juga menganggu aliran oksigen atau nutrisi lewat plasenta sehingga
mempengaruhi jaringan janin.
Obat juga dapat bekerja langsung pada proses perkembangan jaringan janin, misalnya
vitamin A (retinol) yang memperlihatkan perubahan pada jaringan normal. Dervat vitamin
A (isotretinoin, etretinat) adalah teratogenik yang potensial.
Kekurangan substansi yang esensial diperlukan juga akan berperan pada abnormalitas.
Misalnya pemberian asam folat selama kehamilan dapat menurunkan insiden kerusakan
pada selubung saraf, yang menyebabkan timbulnya spina bifida.
Paparan berulang zat teratogenik dapat menimbulkan efek kumulatif. Misalnya konsumsi
alkohol yang tinggi dan kronik pada kehamilan, terutama pada kehamilan trimester pertama dan
kedua akan menimbulkan fetal alcohol syndrome yang berpengaruh pada sistem saraf pusat,
pertumbuhan dan perkembangan muka (Depkes RI. 2006).
5. Umur bayi
6. Pengalaman/bukti klinik
7. Data farmakoepidemiologi
Farmakokinetika bayi
Absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi pada bayi berbeda nyata dengan orang
dewasa. Kecepatan absorpsi lewat saluran cerna lebih rendah, misalnya absorpsi
fenobarbital, fenitoin, asetaminofen dan distribusi obat juga akan berbeda karena rendahnya
protein plasma, volume cairan tubuh yang lebih besar dari orang dewasa. Metabolisme obat
juga rendah karena aktivitas enzim yang rendah . Ekskresi lewat renal pada awal kehidupan
masih rendah dan akan meningkat dalam beberapa bulan.
Selain banyaknya obat yang diminum oleh bayi melalui ASI, juga kinetika obat pada
bayi menentukan akibat yang ditimbulkan oleh obat. Yang perlu diperhatikan adalah bila
efek yang tidak diinginkan tidak bergantung dari banyaknya obat yang diminum, misalnya
reaksi alergi, maka sedikit atau banyaknya ASI yang diminum bayi menjadi tidak penting,
tetapi apakah si bayi meminum atau tidak meminum ASI menjadi lebih penting.
B. Farmakodinamika
Mekanisme kerja obat pada ibu menyusui dapat dikatakan tidak berbeda. Sedangkan
farmakodinamik obat pada bayi masih sangat terbatas dipelajari. Kemungkinan sensitivitas
reseptor pada bayi lebih rendah, sebagai contoh, dari hasil penelitian bahwa sensitivitas d-
tubokurarin meningkat pada bayi.
2.4.2 Kriteria ibu hamil/menyusui yang mendapat prioritas untuk dilakukan telaah ulang
rejimen obat :
1. Mendapat 5 macam obat atau lebih, atau 12 dosis atau lebih dalam sehari
2. Mendapat obat dengan rejimen yang kompleks, dan atau obat yang berisiko tinggi untuk
mengalami efek samping yang serius
3. Menderita tiga penyakit atau lebih
4. Mengalami gangguan kognitif, atau tinggal sendiri
5. Tidak patuh dalam mengikuti rejimen pengobatan
6. Akan pulang dari perawatan di rumah sakit
7. Berobat pada banyak dokter
8. Mengalami efek samping yang serius, alergi