Anda di halaman 1dari 8

Jual beli sebagaimana diatur dalam buku ke III Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata (“KUH Perdata”) pada Pasal 1457 didefinisikan sebagai berikut:

Suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang,
dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 1474 KUH Perdata, dalam transaksi jual beli, penjual pada dasarnya
memiliki dua kewajiban utama yaitu:

Menyerahkan barang; dan

Menanggungnya.

Terkait dengan penanggunan yang harus dilakukan oleh penjual, R. Subekti dalam buku Aneka Perjanjian
(hal. 19) menyatakan bahwa penjual diwajibkan menanggung terhadap cacat-cacat tersembunyi
(“verborgen gebreken”) pada barang yang dijualnya yang membuat barang tersebut tak dapat dipakai
untuk keperluan yang dimaksudkan atau yang mengurangi pemakaian itu, sehingga, seandainya si
pembeli mengetahui cacat-cacat tersebut, ia sama sekali tidak akan membeli barang itu atau tidak akan
membelinya selain dengan harga yang kurang. Secara spesifik, Pasal 1491 KUH Perdata mengatur
tentang kewajiban penjual terhadap pembeli adalah untuk menjamin dua hal, yaitu:

penguasaan barang yang dijual itu secara aman dan tenteram;

tiadanya cacat yang tersembunyi pada barang tersebut, atau yang sedemikian rupa sehingga
menimbulkan alasan untuk pembatalan pembelian;

Tidak ada suatu pengertian yang secara eksplisit mendefinisikan tentang cacat tersembunyi, namun
sebagaimana diatur dalam Pasal 1504 dan 1506 KUH Perdata berikut:

Penjual harus menanggung barang itu terhadap cacat tersembunyi, yang sedemikian rupa sehingga
barang itu tidak dapat digunakan untuk tujuan yang dimaksud, atau yang demikian mengurangi
pemakaian, sehingga seandainya pembeli mengetahui cacat itu, ia sama sekali tidak akan membelinya
atau tidak akan membelinya selain dengan harga yang kurang.

 
Ia harus menjamin barang terhadap cacat yang tersembunyi, meskipun ia sendiri tidak mengetahui
adanya cacat itu, kecuali jika dalam hal demikian ia telah meminta diperjanjikan bahwa ia tidak wajib
menanggung sesuatu apa pun.

Jika ditinjau dari pengertian di atas, perlakuan penjual yang menjual barang (MacBook
beserta charger tidak orisinal) merupakan perbuatan yang dikategorikan sebagai cacat tersembunyi,
karena jika seandainya pembeli mengetahui kondisi tersebut, pembeli tidak akan membeli barang
tersebut atau setidak-tidaknya akan membeli dengan harga yang kurang.

Dalam hal-hal terdapat cacat tersembunyi, pembeli dapat memilih beberapa opsi sebagaimana diatur
dalam Pasal 1507 KUH Perdata antara lain:

mengembalikan barangnya sambil menuntut kembali uang harga pembelian; atau

akan tetap memiliki barang itu sambil menuntut kembali sebagian dari uang harga pembelian
sebagaimana ditentukan oleh Hakim setelah mendengar ahli tentang itu.

Adapun dari sisi penjual dalam kaitanya dengan cacat tersembunyi, terdapat 2 (dua) kewajiban yang
harus dilakukan:

Jika penjual telah mengetahui cacat-cacat barang, maka penjual wajib mengembalikan uang harga
pembelian yang telah diterimanya dan mengganti segala biaya, kerugian dan bunga;[1]

Jika penjual tidak mengetahui adanya cacat-cacat barang, maka penjual wajib mengembalikan uang
harga barang pembelian dan mengganti biaya untuk menyelenggarakan pembelian dan penyerahan,
sekedar itu dibayar oleh pembeli.[2]

Jika ditinjau dari segi perlindungan konsumen, Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (“UUPK”) menyatakan bahwa hak konsumen adalah:

hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai
dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan
konsumen secara patut;

hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa
yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Dalam hal penjual menjual barang dengan spesifikasi yang tidak semestinya (charger tidak sesuai dengan
spesifikasi MacBook) berarti penjual tidak memberikan konsumen hak atas informasi yang benar, jelas,
dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.

Terkait dengan langkah yang harus diambil untuk kasus seperti ini, konsumen yang merasa
dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa
antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
Selain itu, penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan
berdasarkan pilihan sukarela para pihak.[3]

Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum
yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45 UUPK.[4]

Penyelesaian di luar pengadilan melalui mekanisme mediasi, arbitrase, atau konsiliasi yang mana tujuan
utamanya adalah untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau
mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang
kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.[5]

Demikian jawaban kami semoga bermanfaat.

Dasar hukum:

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;


Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

[1] Pasal 1508 KUH Perdata

[2] Pasal 1509 KUH Perdata

[3] Pasal 45 ayat (1) dan (2) UUPK

[4] Pasal 48 UUPK

[5] Pasal 47 UUPK

Disahkannya UUPK pada tanggal 20 April 1999, masalah perlindungan konsumen menjadi sandaran
hukum untuk memenuhi hak dan kewajiban kedua belah pihak. Dengan ini kemudian melahirkan bentuk
pertanggungjawaban pelaku usaha terhadap konsumen yang meliputi : 1.      Contractual Liability
Contractual Liability atau pertanggung jawaban kontaktual adalah tanggung jawab perdata atas dasar
perjanjian atau kontrak dari pelaku usaha baik barang maupun jasa atas kerugian yang dialami
konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkan atau memanfaatkan jasa yang diberikan.
Artinya dalam kontraktul ini terdapat suatu perjanjian  atau kontrak langsung antara pelaku usaha
dengan konsumen. Pada perjanjian atau kontrak antara pelaku usaha dengan konsumen hampir selalu
menggunakan perjanjian standar baku yang diberikan oleh pelaku usaha. Berhubung isi kontrak baku
telah ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha, maka umummnya isi kontrak baku tersebut akan
lebih banyak memuat hak-hak pelaku usaha dan kewajiban-kewajiban konsumen, dari pada hak-hak
konsumen dalam kewajiban-kewajiban pelaku usaha. Ketentuan semacam ini dalam kontrak baku
disebut exoneration clause yang pada umumnya sangat memberatkan atau bahkan cendrung
memberatkan konsumen. Kondisi yang tidak seimbang dalam kontarak itulah yang oleh Undang-undang
perlindungan konsumen, tepatnya pada pasal 18 UUPK No.8 Tahun 1999. Larangan pencantuman Clausa
Baku dalam perjanjian Standar adalah dimaksudkan untuk memberikan kedudukan konsumen setara
dengan pelaku usaha yang berdasarkan prinsip-prinsip kebebasan berkontrak. Dalam pasal 18 Undang-
undang Perlindungan Konsumen mengatur bahwa dalam penawaran barang atau jasa yang ditujukan
untuk perdagangan, pelaku usaha dilarang untuk atau membuat klausa Baku pada setiap dokumen atau
perjanjian apabila klausa tersebut  : 1)      Isinya : a.       Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku
usaha (barang atau jasa) . b.      Menyatakan bahwa pelaku usaha (barang) berhak menolak penyerahan
kembali barang yang dibeli oleh konsumen. c.       Menyatakan bahwa pelaku usaha (barang atau jasa)
berhak menolak kembali uang yang dibayarkan atau barang/jasa yang dibeli konsumen, d.     
Menyatakan bahwa pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha (barang) baik secara langsung
maupun tidak langsung untuk melakukan sedala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang
dibeli oleh konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa. e.       Memberi hak kepada pelaku usaha (jasa)
untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual
beli jasa. f.       Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru,
tambahan, lanjutan dan atau perubahan lanjutanyang dibuat secara sepihak oleh pelaku usah (jasa)
dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya g.      Menyatakan bahwa konsumen memberi
kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap
barang yang dibeli konsumen secara ansuran. 2)      Letak dan Bentuknya: a.       sulit terlihat; b.      tidak
dapat dibaca secara jelas; c.       pengungkapan sulit dimengerti. Pelaku usaha yang mencantumkan
klausa baku dengan isi, letak, atau bentuknya seperti yang tertera di atas dalam dokumen atau
perjanjian standar dapat dikenakan sanksi sebagai berikut: 1)      Sanksi perdata a.       Perjanjian standar
yang dibuatnya jika digugat di depan pengadilan oleh konsumen akan menyebabkan hakim membuat
putusan diclatoir bahwa perjanjian standar itu batal demi hukum b.      Pelaku usaha yang pada saat ini
telah mencantumkan klausa baku dalam dokumen atau perjanjian standar yang digunakannya wajib
merevisi standar yang digunakan tersebut agar sesuai dengan UUPK 2)      Sanksi pidana Di pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun/denda paling banyak Rp 2.000.000.000.00 (dua miliar rupiah) Selain
berlakunya ketentuan-ketentuan dari UUPK seperti yang dirumuskan diatas, karena perjanjian standar
pada dasarnya adalah berlaku bagi perjanjian standar tersebut. Ketentuan-ketentuan dalam buku ke III
KUHperdata yang penting antara lain a.       ketentuan tentang keabsahan tentang perjanjian
sebagaimana  diatur dalam pasal 1320 KUHperdata b.      ketentuan-ketentuan akibat wanprestasi
sebagaimana diatur dalam pasal 1234 KUHperdata. 2.      Product liability Product liability adalah
tanggungjawab perdata secara lansung dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen akibat
mengkonsumsi barang yang dihasilkan inti sari dari product liability adalah tanggung jawab berdasarkan
perbuatan melawan hukum (toritious liability) yang telah diratifikasi menjadi strict liability. Product
liability akan digunakan oleh konsumen untuk memperoleh ganti rugi secara lansung dari produsen
sekali  pun konsumen tidak memiliki kontaktual dengan pelaku usaha tersebut. Product liability diatur
dalam pasal 19 UUPK yang menyatakan bahwa pelaku usaha bertanggungjawab memberikan ganti rugi
atas: kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang yang
dihasilkan atau yang diperdagangkan. Kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang yang dihasilkan atau diperdagangkan dapat terajadi karena pelaku usaha
melanggar larangan-larangan sebagaimana dicantumkan dalam pasal 8 sampai 17 UUPK antara lain:
1)      pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa: a.      
Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan
perundang-undangan; b.      Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih, atau netto, dan jumlah dalam
hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut; c.       Tidak sesuai
dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya; d.     
Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan, atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam
label, etiket, atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut; e.       Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan,
komposisi, proses pengolahan, gaya mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam
label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut; f.       Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa
atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang-barang tertentu; g.      Tidak
mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyaytaan “halal” yang dicantumkan
dalam tabel; h.      Tidak memasang label atau membuat perjelasan barang yang memuat nama barang,
ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan,
nama dan alamat pelaku usaha, serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus
dipasang/dibuat; i.        Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam
bahasa indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undagan yang berlaku. 2)      pelaku usaha
dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar,
dan/atau seolah-olah: a.       barang trsebut memenui dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus,
standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tetentu, sejarah atau guna tertentu; b.     
barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau buruk; c.       barang dan/atau jasa tersebut telah
mendapatkan dan/atau memilki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-
ciri kerja atau aksesoris tertentu; d.      Barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang
mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi; e.       Barang dan/atau jasa tersebut tersedia; f.      
Barang tersebut tidak mengandung cacat yang tersembunyi; g.      Barang tersebut merupakan
kelengkapan dari barang tertentu; h.      Barang tersebut berasal dari daerah tertentu; i.        Secara
lannsung atau tidak lansung mrendahkan barang dan/atau jasa lain; j.        Menggunakan kata-kata yang
berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung resiko, atau efek sampingan tanpa
keterangan yang lengkap; k.      Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti. 3)     
pelaku usaha dalam menawarkan barang/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang
menawarkan mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau
menyesatkan mengenai: a.       harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa; b.      keguanaan suatu
barang dan/atau jasa; c.       kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatau barang
dan/atau jasa; d.      tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan; e.       bahaya
penggunaan barang dan/atau jasa. 4)      pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui
secara obral atau lelang dilarang mengelabui/menyesatkan konsumen dengan: a.       menyatakan
barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu tertentu; b.      menyatakan
barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat yang tersembunyi; c.       tidak
berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainakan dengan maksud untuk menjual barang lain;
d.      tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup dengan maksud
menjual barang yang lain; e.       tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah
cukup dengan maksud menjual jasa yang lain; f.       menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa
sebelum melakukan obral. 5)      pelaku usaha dilang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan
suatu barang dan/atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa
lain secara Cuma-Cuma dengan maksud tidak memberikannya atau tidak memberikan tidak
sebagaimana yang dijanjikan. 6)      Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang
ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang untuk: a.      
tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan; b.      mengumumkan hasilnya
tidak melalui media masa; c.       memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan; d.     
mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan 7)      Pelaku usaha dalam
menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang
dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen. 8)      Pelaku usaha dalam
menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesan dilarang untuk: a.         tidak menepati pesanan
dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan; b.         tidak menepati janji
atas suatu pelayanan dan/atau prestasi. 9)      Pelaku usaha periklanan dilarang memprosuksi iklan yang:
a.         mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, keguanaan, dan harga barang
dan/atau tarif jasa serta ketetapan waktu penerimaan barang dan/atau jasa; b.         mengelabui jaminan
atau garansi terhadap barang dan/atau jasa; c.         memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak
tepat mengenai barang dan/atau jasa; d.        tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian
barang dan/atau jasa; e.         mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa izin yang
berwewenang atau persetujuan yang bersangkutan; f.          melanggar etika dan/atau ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai periklanan. Pelaku usaha yang memproduksi barang dan
kemudian ternyata barang tersebut menimbulkan kerusakan, pencemaran, dan/atau pada kerugian
pada badan jiwa dan barang milik konsumen maka pelaku usaha dapat dikenakan sanksi 1)      sanksi
perdata a.       pengembalian uang atau b.      penggantian barang yang sejenis atau yang setara
nilainyaatau c.       perawatan kesehatan atau d.      pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berhubung intisari dari product liability atau torictius
liability maka ke 4 (empat) unsur didalam torictius liability yaitu: a.       unsur perbuatan b.      unsur
kesalahan c.       unsur kerugian b.      hubungan klausal antara perbuatan melawan hukum dengan
kerugian pembuktian unsur kesalahan tidak merupakan beban konsumen tetapi justru merupakan
beban pihak produsen  untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah (pembuktian terbalik). Hal ini diatur
dalam pasal 28 UUPK yang menyatakan bahwa pembuktian terhadap ada atau tidaknay unsur kesalahan
dalam gugatan ganti rugi dalam pasal 19 UUPK yang merupakan beban untuk tanggungjawab pelaku
usaha 2)      sanksi pidana a.       terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat
tetap tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku yaitu seperti ketentuan-
ketentuan didalam KUHP b.      hal baru yang merupakan handmark provision adalah pembuktian
terbalik dalam kasus pidana dapat diatur oleh pasal 22 UUPK yang menyatakan bahwa pembuktian
terhadap ada tidaknya kesalahan dalam kasus pidana seperti seperti yang dimasud dalam pasal 19 UUPK
merupakan beban dan tenggungjawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk
melakukan pembuktian. Tanggungjawab pelaku usaha telah diatur dalam pasal 19 samapai 28 UUPK,
berdasarkan Undang-undang tersebut bukan hanya pelaku usaha yang bertanggungjawab terhadap
barang dan/atau jasa yang dihasilkan tetapi termasuk importir. Hal ini diatur dalam pasal 21 ayat 1
(satu) UUPK yang menyatakan bahwa importir bertanggungjawab sebagai pembuat barang yang di
impor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar
negeri. Tanggungjawab importir juga diatur dalam pasal 38 jonto pasal 42 UU No.7 Tahun 1996 tentang
pangan yang menyatakan bahwa “setiap orang yang memasukkan pangan ke wilayah Indonesia untuk
diedarkan bertanggungjawab atas keamanan, mutu dan gizi pangan, demikian pula menurut “Directur
yang dipandang bertanggungjawab atas kerugian yang di timbulkan oleh produk cacaty adalah: a.      
produsen yang menghasilkan produk akhir, bahan dasar atau suku cadang;  b.      pihak yang
membutuhkan nama merek atau tanda lain pada produk dengan menampakkan pihaknya sebagai
produsen; c.       pihak yang melakukan importasi produk ke wilayah Republik Indonesia d.      pihak
menyalurkan barang yang tidak jelas identitas produsennya, baik produk asal dalam negeri maupun
importirnya tidak jelas identitasnya; Tanggung jawab pelaku usaha secara langsung juga dapat dilihat
dalam pasal 41 UU No.7 Tahun 1996 tentang pangan dinyatakan bahwa: a.       badan usaha yang
memproduksi pangan olahan untuk diedarkan dan atau orang perseorangan dalam badan usaha yang
diberikan tanggung  jawab terhadap jalannya usaha tersebut bertenggung jawab atas keamanan pangan
yang diproduksinya terhadap kesehatan orang lain yang mengonsumsi pangan tersebut. b.      Orang
perorangan yang kesehatannya terganggu atau ahli waris dari orang  yang meninggal sebagai akibat
langsung karena mengonsumsi pangan olahan yang diedarkan berhak mengajukan gugatan ganti rugi
terhadap badan usaha dan atau orang perorangan badan usaha, sebagai dimaksud pada poin a di atas.
c.       Dalam hal terbukti bahwa pangan olahan yang diedarkan dan dikonsumsi tersebut mengandung
bahan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kesehatan manusia atau bahan lain yang
dilarang, maka badan usaha dan/atau perorangan dalam badan usaha sebagai mana dimaksud pada
poin a, wajib menganti segala kerugian secara nyata ditimbulkan. d.      Selain ketentuan sebagai mana
dimaksud pada poin c dalam hal badan usaha dan/atau orang perorangan dalam badan usaha dapat
membuktikan bahwa hal tersebut bukan diakibatkan kesalahannya, maka badan usaha dan atau orang
perorangan dalam badan usaha tidak wajib menganti kerugian. e.       Besarnya ganti rugi sebagaimana
dimaksud pada poin c setinggi-tingginya sebesar Rp.500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah) untuk setiap
orang yang dirugukan kesehatannya atau kematian yang ditimbulkan.   3.      Criminal Liability Bahwa
tanggungjawab pelaku usaha didasarkan pada professional liability yaitu criminal liability
(tanggungjawab pidana) dari pelaku usaha  atas tanggungankeselamatannya keselamatan dan
keamanan masyarakat konsumen Adapun sanksi pidana dalam contractual liability product liability
maupun profesional liability seperti yang dijelaskan di atas terdapat sanksi pidana tambahan terhadap
pelaku usaha barang dan/atau jasa yang dihasilkannya merugikan konsumen yaitu berupa: a.      
perampasan barang tertentu b.      pengumuman keputusan hakim c.       pembayaran ganti rugi d.     
perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen e.      
kewajiban penarikan barang dari peredaran f.       pencabutan izin usaha pemerintah dalam
melaksanakan fungsinya pengawasan berwenang mengambil tindakan administratif dapat berupa a.      
peringatan tertulis b.      larangan mengadakan untuk sementara untuk dan/atau pemerintah untuk
menarik produk pangan dari peredaran terhadap risiko tercemarnya pangan c.       pemusnahan pangan
jika terdapat bukti membahayakan kesehatan jiwa manusia d.      penghentian produk untuk sementara
waktu e.       pengenaan denda paling tinggi Rp 50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah f.       pencabutan
izin produksi atau izin usaha.

Mine coins - make money: http://bit.ly/money_crypto

Anda mungkin juga menyukai