Anda di halaman 1dari 12

tugas makalah

MIKROBIOLOGI II

PERAN MIKROORGANISME DI BIDANG INDUSTRI

pemanfaatan mikroorganisme di bidang industri farmasi dan obat-obatan (antibiotic


sepalosporin C)

dosen pengampuh :

Di susun oleh : Zulkarnain Abd, Rahman

03101711016

IV/A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS KHAIRUN

2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan saya kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya saya
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam
semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang
kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya,
baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas akhir dari mata kuliah mikrobiologi II 
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Antibiotik merupakan bahan obat yang memegang peranan penting dalam
mengatasi penyakit infeksi. Departemen Kesehatan RI (2013) menyatakan bahwa dari
seluruh anggaran yang dialokasikan untuk obat-obatan yang digunakan di Indonesia,
23,3% diperlukan untuk pengadaan antibiotik. Setiap tahun, pemenuhan bahan baku
antibiotika untuk kebutuhan dalam negeri masih diimpor dengan nilai lebih dari Rp 15
milyar. Selanjutnya data menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik di Indonesia masih
didominasi oleh golongan penisilin dan turunannya (Kementerian Kesehatan 2016).
Seiring pemakaian antibiotik penisilin, beberapa bakteri gram positif menjadi resisten
karena dapat menghasilkan enzim penisilinase yang mampu menghidrolisis cincin β-
laktam pada penisilin. Untuk mensiasati kelemahan pada antibiotik penisilin tersebut
maka sebagai alternatif dapat digunakan penggunaan antibiotik yang tahan terhadap
degradasi enzim penisilinase. Salah satu antibiotik dari golongan β-laktam yang tahan
terhadap degradrasi enzim penisilinase adalah sefalosporin.
Sefalosporin merupakan antibiotik golongan β-laktam yang paling banyak
digunakan di dunia dan beroperasi klinis aktif terhadap bakteri gram positif dan gram
negatif. Sefalosporin c merupakan sefalosporin alami dihasilkan oleh kapang yang
acremonium cephalosporium. Sefalosporin c mempunyai aktivitas antibakteri moderat
dengan nilai konsentrasi hambat minimum 25-100 mg / ml untuk review bakteri gram
positif dan 12-25 mg / ml untuk review bakteri gram negatif. Sefalosporin c dapat diubah
menjadi asam 7-aminosefalosporanat (7-aca) sebagai senyawa antara untuk review
pembuatan turunan sefalosporin dengan metode enzimatik beroperasi doa atau satu tahap.

B. TUJUAN
a. Mampu mejelaskan definisi dari antibiotic Sefalosporin
b. Mampu menjelaskan tahapan produksi antibiotic Sefalosporin
c. Mampu menjelaskan pengemaplikasian antibiotic Sefalosporin

C. RUMUSAN MASALAH
a. Bagaimana dapat mejelaskan definisi dari antibiotic Sefalosporin
b. Bagaimana dapat menjelaskan tahapan produksi antibiotic Sefalosporin
d. Bagaimana dapat menjelaskan pengemaplikasian antibiotic Sefalosporin
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Dari Antibiotik Sefalosporin


Penemuan antibiotik β-laktam merupakan terobosan yang luar biasa dalam
pembuatan obat. Penisilin yang ditemukan oleh Alexander Fleming pada tahun 1928
terbukti efektif dalam melawan bakteri gram positif. Berbagai penelitian lebih lanjut
terhadap penisilin menjadi populer pada masa itu. Meksipun demikian, penisilin
umumnya memiliki keterbatasan dalam melawan bakteri gram negatif. Dan seiring
dengan penggunaannya, beberapa bakteri gram positif menjadi resistan terhadap
penisilin dengan menghasilkan enzim penisilinase yang menghidrolisis cincin β-
laktam pada penisilin.
Pada tahun 1945, Giuseppe Brotzu, seorang profesor Hygiene dari University
of Cagliari, Italia, berhasil mengisolasi strain Cephalosporium acremonium, sejenis
mold, dari air laut dekat saluran pembuangan limbah di Cagliari, Sardinia. Percobaan
yang dilakukannya membuktikan bahwa fungi ini menghasilkan senyawa yang efektif
dalam melawan Salmonella tylhi (sejenis bakteri gram negatif). Pada tahun 1948,
Brotzu mempublikasikan penemuannya, akan tetapi kurang menarik perhatian. Atas
usul British Medical Research Council, Brotzu kemudian mengirimkan kultur C.
acremonium, yang kemudian diklasifikasi ulang sebagai Acremonium chrysogenium
pada tahun 1971 oleh Gams, kepada Howard Florey di Oxford.
Sefalosporin C merupakan antibiotik golongan β-laktam Yang dihasilkan Oleh
kapang Cephalosporium acremonium Dan ditemukan Oleh Giuseppe Brotzu Pada
Tahun 1945 (Jobanputra & Vasait 2015, Pollegioni et al. 2013). Sefalosporin C
mempunyai Aktivitas antibakteri moderat Dengan konsentrasi hambat minimum
antara 25-100 mg / ml untuk review bakteri gram positif dan 12-25 mg / ml untuk
review Bakteri gram negatif (Pollegioni et al. 2013).
Sefalosporin C adalah sefalosporin yang paling awal ditemukan. Sefalosporin
C sebagai antibiotik yang potensial merupakan produk antibiotik yang banyak
dihasilkan setelah penisilin. Berbagai senyawa turunan sefalosporin diperoleh dengan
cara mengubah-ubah gugus sampingnya yang disebut sebagai sefalosporin
semisintetik. Antibiotik tersebut mempunyai spektrum anti bakteri yang luas dan lebih
resisten terhadap β-laktamase dibandingkan dengan penisilin. Salah satu keunggulan
generasi terbaru sefalosporin yaitu memiliki efektivitas dengan penggunaan dosis
yang minimal. Sebaliknya, antibiotik yang banyak digunakan saat ini tidak memiliki
efektivitas sekuat sefalosporin dan turunannya. Tambahan lagi pasien yang alergi
terhadap penisilin biasanya tahan terhadap antibiotik sefalosporin maupun turunannya
(Muniz et al. 2007).

Kelebihan yang dimiliki oleh sefalosporin sebagai antibiotik mendorong


penelitian lebih lanjut, bagaimana sefalosporin dapat dihasilkan secara maksimum.
Gohar et al. (2013). melaporkan optimasi nutrisi fermentasi untuk produksi
sefaloporin C dari Acremonium chyrogenum. Peneliti lain yang melaporkan optimasi
parameter untuk imobilisasi A. chrysogenum dalam produksi sefalosporin C (Rani et
al. 2015). Lotfy (2007) menyatakan komposisi media kultivasi yang paling
berpengaruh dalam produksi sefalosproin diantaranya adalah sumber karbon dan
nitrogen. Hal inilah yang menjadi dasar penelitian ini. Langkah pertama adalah
menguji sumber karbon dan nitrogen yang dijadikan kandidat untuk dilakukan seleksi.
Pengujian tersebut dilakukan untuk mendapatkan sumber karbon dan nitrogen terbaik
sebagai media kultivasi. Berdasarkan pengujian hasil seleksi didapatkan bahan yang
paling baik. Bahan tersebut kemudian dikombinasikan dengan inducer berupa DL-
methionin.

a. Struktur kimia dan sifat-sifat Sefalosporin C

Senyawa sefalosporin memiliki gugus inti 7-aminocephalosporanic acid (7-


ACA), yang mengandung gugus β-laktam (sebuah cincin dengan 2 atom C, 1
gugus karbonil, dan 1 atom N) dan cincin dihidrothiazin. Secara keseluruhan nama
ilmiah sefalosporin adalah asam 3-asetoksimetil-7-asilamino-3-cephem-4-
karboksilat.

Berbagai senyawa lainnya dapat


diperoleh dengan mengganti R1 dan R2 pada struktur gugus inti sefalosporin
tersebut, sehingga dapat menghasilkan sifat sifat senyawa yang berbeda-beda.
Beberapa contoh senyawa
turunan sefalosporin
yaitu

Berikut beberapa struktur yang berkaitan dengan sefalosporin yang terjadi


secara alami, bukan hasil sintesis.

B. Tahapan Produksi Antibiotik Sefalosporin C

Sefalosporin C dapat dihasilkan dari mikroorganisme Acremonium


chrysogenum sebagai produk metabolit sekunder. Mikroorganisme lain seperti
Cephalosporium polualeurum, Emerricellopsis glabra, Emericellopsis microspora,
juga dapat menghasilkan sefalosporin C, tetapi dengan jumlah yang sedikit sehingga
tidak menguntungkan bagi industri yang menggunakan mikroorganisme tersebut.
Ketika tidak ada stres nutrien dalam kultur, organisme ini tumbuh biasa dengan
miselia yang bercabang-cabang, dan hanya sedikit bahkan tidak ada sefalosporin C
yang dihasilkan. Ketika kandungan glukosa terbatas, barulah akan dibentuk
arthrospora yang menghasilkan sefalosporin C.

a. Bahan baku produksi sefalosporin C.

Medium untuk fermentasi harus mengandung karbon dan nitrogen untuk


pertumbuhan, tetapi juga harus merangsang diferensiasi kultur yang diperlukan untuk
produksi antibiotik. Sumber karbon harus disuplai secara terpisah dalam bentuk
karbohidrat sederhana dan kompleks, untuk kontrol pertumbuhan dan kadar glukosa
yang lebih mudah. Monosakarida, terutama glukosa, sangat menunjang pertumbuhan
kultur, tetapi menurunkan sintesis antibiotik. Gula sederhana ini bisa ditambahkan
secara batch pada medium ataupun fed dengan laju tinggi pada awal fermentasi.
Penggunaan galaktosa dan sukrosa menunjang pertumbuhan yang lebih lambat
dibanding glukosa, tetapi produktivitas spesifik yang lebih tinggi. Selama fermentasi
berlangsung, feed gula dikurangi, dan karbon dengan jumlah besar disuplai dalam
bentuk kacang kedelai ataupun minyak kacang. Ini untuk membatasi kadar glukosa
dan mendukung pembentukan arthrospora untuk produksi sefalosporin C. Sumber
nitrogen dapat dibedakan atas nitrogen organik dan nitrogen anorganik. Nitrogen
organik dapat disuplai dari berbagai kombinasi hasil samping pertanian, seperti
kacang kedelai dan ampas biji kapas. Nitrogen anorganik bersifat sebagai suplemen
saja, dan bisa bersumber dari amonium sulfat, gas amonia, maupun amonium
hidroksida. DL-Metionin digunakan untuk merangsang pembentukan arthrospora
pada masa kekurangan glukosa, sehingga dapat dihasilkan sefalosporin C. Metionin
diketahui sebagai inhibitor kompetitif bagi enzim invertase yang digunakan untuk
metabolisme sukrosa.

b. Proses produksi sefalosporin C

Sefalosporin C dihasilkan secara industri dengan fermentasi menggunakan A.


chrysogenum. pH diatur antara 6 hingga 7 dalam rentang temperatur 24 sampai 28
oC. Fermentasi dilakukan dalam tangki bioreaktor yang diaerasi dan berpengaduk
dengan kultur submerged. Fermentasi skala produksi dilakukan secara fed-batch
dengan suplai karbon dimasukkan baik sebagai karbohidrat sederhana maupun
kompleks pada awal proses, yaitu ketika fasa pertumbuhan dalam fermentasi. Selama
fermentasi berlangsung, suplai gula dikurangi dan digantikan dengan sumber karbon
dan energi lain seperti lipid. Pengubahan energi dari lipid, contohnya minyak kacang
tergolong rendah efisiensi sehingga pertumbuhan menjadi lambat, dan miselium
vegetatif banyak yang berubah menjadi arthtospora multiselular. Tahap arthrospora
akan mengakibatkan ketersediaan oksigen yang tinggi bagi mikroorganisme dan
berakhir pada produksi sefalosporin yang cepat. Penambahan DL-Metionin dilakukan
ketika awal fasa pertumbuhan dalam fermentasi, untuk membantu meningkatkan
perubahan miselium menjadi arthrospora. Pembentukan arthrospora juga berkorelasi
dengan oksigen terlarut. Semakin besar jumlah oksigen terlarut, maka
pembentukannya semakin cepat. Akan tetapi jumlah maksimalnya tetap terbatas
karena pengaruhnya terhadap kerja enzim tertentu. Salah satu yang menjadi
permasalahan dalam fermentasi sefalosporin adalah ketidakstabilan molekul
sefalosporin C selama proses. Ini menjadi penyebab utama perolehan produk
sefalosporin dalam siklus industri panjang yang semakin berkurang dibanding
produksi penisilin dalam siklus panjang. Sefalosporin dapat terdegradasi menjadi
senyawa X (asam 2-(D-4- amino-4-karboksibutil)-thiazole-4-karboksilat), yang bisa
berakibat pada kehilangan hingga 40% produk sefalosporin yang dihasilkan. Pada pH
lebih kecil dari 2, sefalosporin C dapat terdegrasi menjadi sefalosporin C laktone.

c. Perolehan produk

Setelah fermentasi selesai, miselia dan komponen medium yang tidak larut
biasanya dibuang secara filtrasi atau sentrifugasi. Dalam hasil fermentasi, selain
sefalosporin C juga terdapat sejumlah kecil penisilin N, deasetoksisefalosporin C, dan
deasetilsefalosporin C. Pengambilan sefalosporin C dapat dilakukan dengan cara
ekstraksi. Pada kondisi netral dan sedikit asam, dapat terjadi konversi sefalosporin C
menjadi senyawa X. Pada pH lebih kecil dari 2, akan terbentuk sefalosporin C
laktone. Untuk meminimalisir terjadinya degradasi ini, pengambilan sefalosporin C
harus dilakukan secepat mungkin, dan menghindari kondisi pH ekstrim dan suhu
tinggi. Proses pemisahan produk sefalosporin C lebih kompleks dibanding penisilin
karena sifatnya yang amfoter menjadi hambatan dalam ekstraksi dengan pelarut
organik. Antibiotik ini dapat dipisahkan dengan kombinasi penukar ion dan
presipitasi. Penggunaan resin makrosporous seperti XAD-2 dan XAD-4 akan
menghasilkan isolasi yang lebih murni dan menghilangkan pengotor lebih banyak.

Proses pemurnian dan recovery produk sefalosporin C dimulai dengan


pendinginan temperatur menjadi 3-5 oC diikuti dengan penghilangan padatan miselial
secara filtrasi ataupun sentrifugasi. Hasil proses tersebut adalah sefalosporin C dengan
beberapa macam prekursor dalam jumlah kecil, seperti penisilin N, DAOC,
deasetilsefalosporin C, dan hingga senyawa X. Ada dua strategi utama untuk
memurnikan sefalosporin C. Pertama, menggunakan karbon aktif atau resin non-ionik.
Karena selektivitas yang tinggi dari resin, sefalosporin C lebih disukai untuk
teradsorpsi dibanding senyawa lainnya. Kebanyakan penisilin N hilang pada langkah
asidifikasi hingga pH 2,0. Kemudian dilanjutkan dengan tambahan penukar anion dan
kation untuk mendapatkan sefalosporin dengan kualitas tinggi. Sejumlah besr fraksi
sefalosporin C kemudian diubah menjadi 7-ACA untuk kemudian diubah lagi menjadi
sefalosporin semisintetik atau turunan. Strategi pemurnian kedua yaitu dengan
substitusi gugus amin pada C-7 rantai samping alpha-aminoadipyl. Dua senyawa
turunan hasil subtitusi, N-2,4- diklorobenzoil sefalosporin C dan
tetrabromokarboksibenzoyl sefalosporin C, dapat dikristalkan dari larutan asam.
Garam kemudian terbentuk antara turunan Nsubtitusi dan basa organik seperti
disikloheksilamin atau dimetilbenzilamin, menghasilkan garam sefalosporin yang
dapat diekstraksi. Sefalosporin yang sudah terekstrak kemudian diubah menjadi 7-
ACA untuk proses lainnya. Proses pengubahan sefalosporin C menjadi 7-ACA
menggunakan enzim efisien agar biaya dapat dikurangi. Tahap inisiasi adalah reaksi
gugus alphaaminoadipyl dengan asam D-amino oksidase untuk menghasilkan
glutaryl-7-ACA. Reaksi ini berlangsung dengan melalui intermediat keto-7-ACA
yang mengalami dekarboksilasi oksidatif dengan kehadiran hidrogen peroksida.
Glutaryl asilase kemudian digunakan untuk menghilangkan gugus samping glutaryl
untuk menghasilkan 7-ACA. Sekitar sepertiga dari sefalosporin komersial adalah
turunan dari 7- ADCA. Karena biaya yang lebih rendah, 7-ADCA umumnya
diperoleh dari penisilin G dengan cara ekspansi cincin sebuah ester sulfoksida
penisilin untuk menghasilkan ester sefalosporin. Gugus ester kemudian dihilangkan
diikuti penghilangan gugus fenilasetil untuk menghasilkan 7-ADCA. Sementara dua
pertiga dari sefalosporin komersial merupakan turunan 7-ACA yang dihasilkan dari
sefalosporin C baik secara kimiawi maupun enzimatik

C. Pengaplikasian Antibiotik Sefalosporin C

Seperti halnya antibiotik β-laktam lainnya, sefalosporin dapat digunakan dalam


melawan infeksi oleh bakteri dengan mengikat dan menjadi inhibitor enzim
pembentuk dinding peptidoglikan bakteri. Dibandingkan dengan penisilin yang juga
merupakan antibiotik β-laktam, sefalosporin memiliki sifat resistan terhadap enzim β-
laktamase yang dihasilkan oleh bakteri untuk memutus ikatan pada cincin βlaktam.
Sefalosporin digunakan untuk mengobati berbagai jenis infeksi oleh bakteri, seperti
infeksi saluran pernapasan (pneumonia, bronkitis, tonsillitis), infeksi kulit, dan infeksi
saluran urin. Pemberian sefalosporin kadang-kadang bersamaan dengan antibiotik
lain. Sefalosporin juga umum digunakan dalam pembedahan atau surgery, untuk
mencegah infeksi selama pembedahan. Berbagai jenis sefalosporin yang dihasilkan
juga memberikan berbagai fungsi berbeda dari masing-masing sefalosporin.
Sefalosporin generasi pertama seperti sefalotin dan sefalexin merupakan yang paling
aktif dalam melawan staphylococci dan nonenterococcal streptococci, dan merupakan
antibiotik alternatif dari penisilin untuk pasien dengan endocarditis, osteomyelitis,
septic arthritis, dan cellulitis. Dikatakan sebagai antibiotik alternatif karena adanya
pasien yang kemungkinan alergi terhadap penisilin ataupun karena adanya infeksi
campuran oleh bakteri gram positif dan gram negatif. Meskipun obat-obat ini sudah
terbukti dapat mengatasi infeksi seperti bacteriemias, infeksi saluran kencing, dan
pneumonia, yang disebabkan bakteri gram negatif, penggunaan sefalosporin ini
sebagai agen tunggal tidak disarankan, karena aktivitas melawan bakteri gram negatif
masih lemah dan tidak dapat diprediksi. Sefalosporin generasi pertama telah
digunakan secara luas dalam pencegahan cardiovascular, orthopedic, biliary, pelvis,
dan intra-abdominal surgery. Sefazolin, yang memiliki waktu paruh lebih lama
dibanding sefalosporin generais pertama lainnya, merupakan pilihan utama untuk
pencegahan dakam pembedahan. Sefuroxime efektif dalam melawan Haemophilus
influenzae penyebab penyakit sejenis pneumonia yang kebal terhadap ampisilin.
Sefoxitin digunakan untuk mengobati infeksi campuran aerobik-anaerobik termasuk
infeksi pelvis, intraabdominal, dan nosocomial aspiration pneumonia. Sefonicid,
karena waktu paruhnya yang panjang juga banyak digunakan dalam berbagai jenis
infeksi seperti saluran kencinga dan jaringan kulit. Sementara itu, sefalosporin
generasi ketiga dapat digunakan untuk melawan bakteri gram positif. Biasanya
pengobatan infeksi tidak menggunakan sefalosporin generasi ketiga, melainkan obat
lainnya. Pengecualian berlaku bagi pengobatan meningitis. Sefotaxime, seftriaxone,
dan seftazidime terbukti efektif dalam mengobati meningitis, terutama bagi anak-anak
di mana Haemophilus influenzae, Streptococcus pneumoniae, dan Neisseria
meningitidis merupakan penyebab utamanya. Seftriaxone sekarang merupakan agen
pilihan untuk mengobati berbagai infeksi yang disebabkan strain kebal penisilin.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Sefalosporin merupakan salah satu antibiotik yang memiliki cincin β-laktam


dalam strukturnya sehingga tergolong antibiotik β-laktam bersama-sama dengan
penisilin, monobaktam, dan karbapenem. Sefalosporin tergabung dalam cephem,
subgrup antibiotik β-laktam bersama dengan sefasimin. Seperti halnya semua
senyawa metabolit sekunder, antibiotik sefalosporin dihasilkan dalam industri
bioproses yang melibatkan mikroorganisme. Sefalosporin C merupakan contoh
sefalosporin yang paling awal ditemukan. Fungsinya sebagai antibiotik yang cukup
potensial menjadikannya produk antibiotik yang banyak dihasilkan setelah penisilin.
Dengan mengubah-ubah gugus sampingnya, diperoleh berbagai senyawa turunan
sefalosporin atau disebut sefalosporin semisintetik dengan sifat-sifat yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI (2013) Pelayanan Informasi Obat Nasional. Dirjen YanFar dan
Alkes. Depke

Gohar UF, Mukhtar H, Ul-Haq I (2013) Studies on the nutritional parameters for
cephalosporin biosynthesis from Acremonium chrysogenum by submerged
fermentation. Pak J Bot 45:1057-1062

Jobanputra AH, Vasait RD (2015) Cephalosporin C asilase dari Pseudomonas spesies:


produksi dan peningkatan aktivitas dengan optimasi parameter proses. Biocatal Agric
Biotechnol 4: 465-470. Doi: 10,1016 / j.bcab.2015.06.009 Kim Y, Yoon KH, Khang
Y, Turley S, Hol

Lotfy WA (2007) Production of cephalosporin C by Acremonium chrysogenum grown on


beet molasses: Optimization of process parameters through statistical experimental
designs. Res J Microbiol 2:1-12. doi: 10.3923/jm.2007.1.12

Muniz CC, Zelaya TEC, Esquivel GR, Fernandez FJ (2007) Penicillin and cephalosporin
production: A Historical perspective. Rev Latinoam Microbiol 49:88-98

Pollegioni L, Rosini E, Molla G (2013) Sefalosporin C asilase: mimpi dan (/ atau) realitas.
Appl Microbiol Biotechnol 97: 2341-2355. doi: 10,1007 / s00253-013-4741-0

Rani AS, Goutham HRVN, Spurthi BS (2015) Optimization of various parameters used in
immobilizing Acremonium chrysogenum 1391 for cephalosporin production. Int J Sci
Tech 3:42-46

Anda mungkin juga menyukai