Anda di halaman 1dari 22

PKK KMB 1

LAPORAN PENDAHULUAN
THYPOID ABDOMINALIS

Disusun Oleh:

Nama : Alna Khamida

NIM : P1337420318030

2 REGULER A

POLTEKKES KEMENKES SEMARANG

PRODI D III KEPERAWATAN PEKALONGAN

2020
LAPORAN PENDAHULUAN

TYPOID ABDOMINALIS

A. DEFINISI
Thypoid Abdominalis ialah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran
cerna dengan gejala demam lebih dari 7 hari, gangguan pada saluran cerna dan gangguan
kesadaran (Wijayaningsih, 2013).
Thypoid Abdominalis ialah penyakit sistemik akut yang di sebabkan oleh infeksi
bakteri negatif, genus salmonella yaitu salmonella typhi yang masuk ke dalam makanan,
minuman atau bahan-bahan lain yang dicemari bakteri tersebut (Yudi, 2008).
Thypoid Abdominalis adalah penyakit infeksi bakteri pada usus halus dan
terkadang pada aliran darah, yang di sebabkan oleh kuman salmonella typhi atau
salmonella paratyphi A, B dan C, yang terkadang juga dapat menyebabkan
gastroenteritis (keracunan makanan) dan septikemia (tidak menyerang usus).
(Ardiansyah, 2012).
Demam typhoid atau Typhoid Fever ialah suatu sindrom sistemik terutama
disebabkan oleh Salmonella typhi. Demam merupakan jenis terbanyak dari salmonelosis.
Jenis lain dari demam enterik adalah demam paratifoid yang disebabkan oleh S.
paratyphi A, S. schottmuelleri (semula S. paratyphi B), dan S. hirschfeldii (semula S.
paratyphi C). Thypoid Abdominalis memperlihatkan gejala lebih berat dibandingkan
demam enterik yang lain (Widagdo, 2011).
Beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa penyakit Thypoid Abdominalis
adalah suatu penyakit infeksi akut yang menyerang manusia khususnya pada saluran
pencernaan yaitu pada usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella typhi yang
masuk melalui makanan atau minuman yang tercemar dan ditandai dengan demam
berkepanjangan lebih dari satu minggu, gangguan pada saluran pencernaan, dan lebih di
perburuk dengan gangguan penurunan kesadaran.
B. ETIOLOGI
Penyebab utama dari penyakit Thypoid Abdominalis adalah salmonella enteric
yang dapat hidup di lingkungan yang kering tetapi peka terhadap klorinisasi dan
plepasteurisasi. Salmonella paratypi adalah kuman penyebab penyakit demam paratifoid.
Sedangkan yang dinamakan salmonella schotmulleri dahulu disebabkan sebagai
penyebab demam paratifoid C (Ranuh 2013).
Menurut Widagdo (2011) Etiologi dari demam tifoid adalah Salmonella typhi,
termasuk genus Salmonella yang tergolong dalam family Enterobacteriaceae.
Salmonella bersifat bergerak, berbentuk spora, tidak berkapsul, gram (-). Tahan terhadap
berbagai bahan kimia, tahan beberapa hari/minggu pada suhu kamar, bahan limbah,
bahan makanan kering, bahan farmasi, dan tinja. Salmonella mati pada suhu 54,4º C
dalam 1 jam atau 60º C dalam 15 menit. Salmonella mempunyai antigen O (somatik)
adalah komponen dinding sel dari lipopolisakarida yang stabil pada panas dan antigen H
(flagelum) adalah protein yang labil terhadap panas. Pada S. typhi, juga pada S. Dublin
dan S. hirschfeldii terdapat antigen Vi yaitu polisakarida kapsul.
C. ANATOMI FISIOLOGI

Gambar 2.1 Anatomi Fisiologi Sistem Pencernaan

1. Organ Pencernaan Utama


a. Mulut
Mulut adalah rongga lonjong pada permulaan saluran pencernaan.
Terdiri atas dua bagian, bagian luar yang sempit atau vestibula yaitu ruang
diantara gusi serta gigi dengan bibir dan pipi, dan bagian dalam yaitu rongga
mulut yang di batasi di sisi - sisinya oleh tulang maxilaris dan Semua gigi,
dan di sebuah belakang bersambung dengan awal faring. Atap mulut di
bentuk oleh palatum, dan lidah terletak di lantainya dan terikat pada tulang
hioid. Selaput lendir mulut di tutupi oleh epitelium yang berlapis-lapis.
Dibawahnya terletak kelenjar – kelenjar halus yang mengeluarkan lendir.
Selaput ini sangat kaya akan pembuluh darah dan juga memuat banyak ujung
akhir saraf sensoris (Pearce Evelyn,2009).
b. Faring dan Esofagus
Faring atau tekak terletak di belakang hidung, mulut dan laring
(tenggorokan). Faring berupa saluran berbentuk kerucut dari bahan membran
berotot (maskulo membranosa) dengan bagian terlebar di sebelah atas dan
berjalan dari dasar tengkorak sampai di ketinggian vertebra servikal ke
enam, yaitu ketinggian tulang rawan krikoid tempat faring bersambung
dengan esofagus. Esofagus adalah sebuah tabung berotot yang panjangnya
dua puluh sampai dua puluh lima sentimeter, di atas di mulai dari faring
sampai pintu trakea dan di depan tulang punggung. Setelah melalui torax
menembus diafragma untuk masuk ke dalam abdomen dan menyambung
dengan lambung. Esofagus berdinding empat lapis. Di sebelah luar terdiri
atas lapisan jaringan ikat yang renggang, sebuah lapisan otot yang terdiri atas
dua lapis serabut otot, yang satu berjalan longitudinal dan yang lain sirkuler,
sebuah lapisan submukosa dan di paling dalam terdapat selaput lendir
mukosa (Pearce Evelyn, 2009).
c. Lambung
Merupakan bagian saluran pencernaan yang terdiri dari bagian atas
disebut fundus, bagian utama dan bagian bawah yang horizontal yakni
antrum pilorik. Lambung berhubungan langsung dengan esofagus melalui
orifisium atau kardia dan dengan duodenum melalui orifisium pilorik,
lambung ini terletak di bawah diafragma dan di depan pankreas, limfa
menempel pada sebelah kiri fundus. Lambung memiliki dua fungsi. Pertama
fungsi motorik, yakni sebagai reservoir yaitu menampung makanan sampai
dicerna sedikit - demi sedikit dan sebagai pencampur yakni memecah
makanan menjadi partikel-partikel kecil dan campur dengan asam lambung.
Kedua fungsi sekresi dan pencernaan yakni untuk mensekresi pepsin dan
HCl yang akan memecah protein menjadi pepton, sedang amylase memecah
amilum menjadi maltose, lipase memecah lemak menjadi asam lemak dan
gloserol, untuk membentuk sekresi gastrin, mensekresi faktor intrinsik yang
memungkinkan mengabsorpsi vitamin B12 usus halus yaitu di ilieum dan
mensekresi mukus yang bersifat protektif. Pada lambung makanan berada 2-
6 jam kemudian mencampur makanan dengan getah lambung (cairan asam
bening tak berwarna) yang mengandung 0.4 % HCl yang mengasamkan
semua makanan yang bekerja sebagai antiseptik dan desinfektan. Dalam
getah lambung terdapat beberapa enzim diantaranya pepsin yang dihasilkan
oleh pepsinogen yang berfungsi mengubah makanan menjadi bahan yang
lebih mudah larut dan renin yang berfungsi untuk membekukan susu atau
membentuk kasein dari karsinogen yang dapat larut.
d. Usus Halus
Usus halus adalah tabung yang kira-kira sekitar dua setengah meter
panjang dalam keadaan hidup. Angka yang biasa di berikan enam meter
adalah penemuan setelah mati bila otot telah kehilangan tonusnya. Usus
halus memanjang dari lambung sampai katup ileokolika tembang
bersambung dengan usus besar. Usus halus terletak di daerah umbilicus dan
di kelilingi oleh usus besar. Usus halus terdiri dari 3 bagian yaitu :
1) Duadenum adalah bagian pertama usus halus yang 25 cm
panjangnya, berbentuk sepatu kuda, dan kepalanya mengelilingi
kepala prankeas. Satu lubang yaitu di sebut ampula
hepatoprankeatika atau ampula pateri, sepuluh sentimeter dari
vilorus.
2) Jeyunum menempati dua per lima sebelah atas dari usus halus
yang selebihnya.
3) Ileum menempati tiga per lima akhir. Fungsi usus halus adalah
mencerna dan mengabsorsi khime dari lambung. Isinya yang
cair (khime) di jalankan oleh serangkaiaan gerakan peristaltik
yang cepat. Setiap gerakan lamanya satu second dan antara dua
gerakan ada istirahat beberapa second.

Terdapat juga dua jenis gerakan lain seperti berikut :

1) Gerakan segmental ialah gerakan yang memisahkan


beberapa segmen usus yang satu dengan yang lain karena
diikat oleh gerakan konstriksi serabut sikuler. Hal ini
memungkinkan isi yang cair ini sementara bersentuhan
dengan dinding.
2) Gerakan penduluan atau ayunan menyebabkan isi usus
bercampuran dua cairan pencerna masuk duodenum melalui
saluran-saluran mereka yaitu empedu melalui hati dan getah
prankeas.
e. Usus besar
Usus besar atau kolon yang kira-kira satu setengah meter panjangnya
adalah sambungan dari usus halus dan mulai di katup ilekolik atau ileosekal
yaitu tempat sisa makanan lewat. Kolon sebagai kantung yang mekar dan
terdapat apendix vermiformis atau umbay cacing. Apendik juga terdiri atas
empat lapisan dinding yang sama seperti usus lainya hanya lapisan
submukosanya berisi sejumlah besar jaringan limfe yang di anggap mempunyai
fungsi serupa dengan tonsil. Sebagian terletak di bawah sekum dan sebagian di
belakang sekum atau di sebut retrosekum. Sekum terletak di daerah iliaka
kanan dan menempel pada otot iliopoas. Dari sini kolon naik melalui daerah
sebelah kanan lumbal dan di sebut kolon asendens. Di bawah hati berbelok
pada tempat yang di sebut flexura hepatika, lalu berjalan melalui peti daerah
epigastrik dan umbilikal sebagai kolon transversus. Di bawah limpa membelok
sebagai kolon desendens. Di daerah kanan iliaka terdapat belokan yang di sebut
flexura sigmoid dan di bentuk kolon sigmodieus atau kolon pelvis, dan
kemudian masuk pelvis dan menjadi rektum. Rektum ialah yang sepuluh
sentimeter terbawah dari usus besar, di mulai pada kolon sigmoideus dan
berakhir pada saluran yang kira-kira tiga sentimeter panjangnya. Saluran ini
berakhir ke dalam anus yang di jaga oleh otot internal dan external.
2. Organ aksesoris
Organ aksesoris terdiri dari hati, kantung empedu, dan prankeas. Ke tiga organ ini
membantu terlaksananya sistem pencernaan makanan secara kimia.
a. Hati
Merupakan kelenjar terbesar di dalam tubuh yang terletak di bagian
teratas dalam rongga abdomen di sebelah kanan di bawah diafragma. Hati
terbagi dalam dua belahan utama kanan dan kiri. Permukaan atas berbentuk
cembung dan terletak di bawah diafragma. Permukaan bawah tidak rata dan
memperlihatkan lekukan (fisura tranversus). Permukaannya di lintasi oleh
berbagai pembuluh darah yang masuk keluar hati. Visura longitudinal
memisahkan belahan kanan dan kiri di permukaan bawah
b. Kantung Empedu
Merupakan sebuah kantung berbentuk terong dan merupakan membran berotot.
Letaknya di dalam sebuah lekukan disebelah permukaan bawah hati sampai di
pinggiran depannya. Panjangnya delapan kantung empedu terbagi dalam
sebuah fundus, badan, leher dan terdiri dari atas tiga pembungkus yakni :
1) Sebelah luar pembungkus serosa peritoneal
2) Sebelah tengah jaringan berotot tidak bergaris.
3) Sebelah dalam membran mukosa.
c. Prankeas
Merupakan kelenjar majemuk bertandan, struknya sangat mirip dengan
kelenjar ludah. Panjangnya kira-kira lima belas sentimeter mulai dari
duodenum sampai limpa. Prankeas terdiri atas tiga bagian: yaitu bagian kepala
prankeas yang terletak di sebelah kanan rongga abdomen dan di dalam lekukan
rongga abdomen, badan prankeas yang letaknya di belakang lambung dan di
depan vertebra lumbalis pertama dan ekor prankreas yang merupakannbagian
yang runcing di sebelah kiri dan menyentuh limpan (Pearce Evelyn, 2009).
D. MANIFESTASI KLINIK
Menurut Wibisono et al (2014) menifestasi klinik tifoid yaitu:
1. Nyeri kepala, lemah, lesu, nyeri otot pada minggu pertama,
2. Demam yang tidak terlalu tinggi dan berlangsung selama 3 minggu, minggu pertama
peningkatan suhu tubuh berflukutasi. Biasanya suhu tubuh meningkat pada malam hari
dan menurun pagi hari. Pada minggu kedua suhu tubuh terus meningkat, dan minggu
ketiga suhu berangsurangsur turun dan kembali normal.
3. Gangguan pada saluran cerna: halitosis (bau nafas yang menusuk), bibir kering dan
pecah-pecah lidah di tutupi selaput putih kotor (coated tongue), metorismus, mual,
tidak nafsu makan, hepatomegali, splenomegali yang disertai nyeri perabaan.
4. Gangguan kesadaran: penurunan kesadaran (apatis, somnolen).
E. PATOFISIOLOGI
Bakteri salmonella typhi masuk ke dalam tubuh melalui makanan dan air yang
tercemar. Sebagian kuman dihancurkan oleh asam lambung, dan sebagian masuk ke usus
halus, mencapai plague peyeri di ileum terminalis yang hipertrofi. Salmonella typhi
memiliki fimbria khusus yang dapat menempel ke lapisan plague peyeri, sehingga
bakteri dapat di fagositosis. Setelah menempel, bakteri memproduksi protein yang
mengganggu brush bonder usus dan memaksa sel usus untuk membentuk kerutan
membran yang akan melapisi bakteri dalam vesikel. Bakteri dalam vesikel akan
menyebrang melewati sitoplasma sel usus dan di presentasikan ke makrofag (Wibisono
et al, 2014).
Kuman memiliki berbagai mekanisme sehingga dapat terhindar dari serangan
system imun seperti polisakarida kapsul Vi. Penggunaan makrofag sebagai kendaraan
dan gen Salmonella patogencity Island 2 (SPI2) (Wibisono et al, 2014).
Setelah sampai kelenjar getah bening mensenterika, kuman kemudian masuk ke aliran
darah melalui duktus torasikus sehingga terjadi bakteremia pertama yang asimtomatik.
Salmonella typhi juga bersarang dalam sistem retikuloendotelial terutama hati dan limpa,
dimana kuman meninggalkan sel fagosit berkemang biak dan masuk sirkulasi darah lagi
sehingga terjadi bakteremia kedua dengan gejala sistemik. Salmonella typhi
menghasilkan endotoksin yang berperan dalam inflamasi lokal jaringan tempat kuman
berkembang biak merangsang pelepasan zat pirogendan leukosit jaringan sehingga
muncul demam dan gejala sistemik lain. Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat
erosi pembuluh darah sekitar plague peyeri. Apabila proses patologis semakin
berkembang, perorasi dapat terjadi (Wibisono et al,
2014).
F. PATHWAYS
Salmonella thyposa masuk saluran pencernaan lambung

Hati Di serap oleh usus


halus
Hepatomegali
Masuk peredaran darah

Nyeri ulu hati


kelenjar limfoid

Nyeri
reaksi inflamasi

gangguan pencernaan reaksi inflamasi parasimpatik

Anoreksia Mual muntah sel usus vili naik

Kelemahan Ketidakseimbangan
nutrisi pelepasan zat piragen

Intoleransiaktivitas
diare Meningkatkan set.point suhu

dihipotalamus

Output cairan berlebih


Demam
Devisitvolume cairan

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG Hipertermi

Menurut Suriadi & Yuliani (2006) pemeriksaan penunjang Thypoid Abdominalis adalah :
1. Pemeriksaan darah tepi
Leokopenia, limfositosis, aneosinofilia, anemia, trombositopenia.
2. Pemeriksaan sum-sum tulang Menunjukkan gambaran hiperaktif sumsum tulang.
3. Biakan empedu
Terdapat basil salmonella typosa pada urin dan tinja. Jika pada
pemeriksaan selama dua kali berturut-turut tidak didapatkan basil salmonella
typosa pada urin dan tinja, maka pasien dinyatakan betul-betul sembuh.
4. Pemeriksaan widal
Didapatkan titer terhadap antigen 0 adalah 1/200 atau lebih, sedangkan
titer terhadap antigen H walaupun tinggi akan akan dapat tetap tinggi setelah
dilakukan imunisasi atau bila penderita telah lama sembuh.
H. KOMPLIKASI
Menurut Widagdo (2011) Komplikasi dari Thypoid Abdominalis dapat digolongkan
dalam intra dan ekstra intestinal. Komplikasi intestinal diantaranya ialah :
1. Perdarahan
Dapat terjadi pada 1-10 % kasus, terjadi setelah minggu pertama dengan
ditandai antara lain oleh suhu yang turun disertai dengan peningkatan denyut
nadi.
2. Perforasi usus
Terjadi pada 0,5-3 % kasus, setelah minggu pertama didahului oleh
perdarahan berukuran sampai beberapa cm di bagian distal ileum ditandai dengan
nyeri abdomen yang kuat, muntah, dan gejala peritonitis.
Komplikasi ekstraintestinal diantaranya ialah :
a. Sepsis
Ditemukan adanya kuman usus yang bersifat aerobic
b. Hepatitis dan kholesistitis
Ditandai dengan gangguan uji fungsi hati, pada pemeriksaan amylase serum
menunjukkan peningkatan sebagai petunjuk adanya komplikasi pancreatitis
c. Pneumonia atau bronchitis
Sering ditemukan yaitu kira-kira sebanyak 10 %, umumnya disebabkan karena
adanya superinfeksi selain oleh salmonella
d. Miokarditis toksik
Ditandai oleh adanya aritmia, blok sinoatrial, dan perubahan segmen ST dan
gelombang T, pada miokard dijumpai infiltrasi lemak dan nekrosis
e. Trombosis dan flebitis
Jarang terjadi, komplikasi neurologis jarang menimbulkan gejala residual yaitu
termasuk tekanan intrakranial meningkat, thrombosis serebrum, ataksia
serebelum akut, tuna wicara, tuna rungu, mielitis tranversal, dan psikosis
f. Komplikasi lain
Pernah dilaporkan ialah nekrosis sumsum tulang, nefritis, sindrom nefrotik,
meningitis, parotitis, orkitis, limfadenitis, osteomilitis, dan artritis.
I. PENATALAKSANAAN
Menurut Ngastiyah (2005) & Ranuh (2013) pasien yang di rawat dengan diagnosis
observasi Thypoid Abdominalis harus dianggap dan diperlakukan langsung sebagai
pasien Thypoid Abdominalis dan di berikan pengobatan sebagai berikut:
1. Isolasi pasien, desinfeksi pakaian dan ekskreta
2. Perawatan yang baik untuk menghindari komplikasi, mengingat sakit yang lama,
lemah, anoreksia, dan lain-lain
3. Istirahat selama demam sampai 2 minggu setelah suhu normal kembali (istirahat
total), kemudian boleh duduk, jika tidak panas lagi boleh berdiri kemudian
berjalan diruangan
4. Diet makanan harus mengandung cukup cairan, kalori dan tinggi protein. Bahan
makanan tidak boleh mengandung banyak serat, tidak merangsang dan tidak
menimbulkan gas.dianjurkan minum susu 2 gelas sehari. Apabila kesadaran
pasien menurun di berikan makanan cair, melalui sonde lambung. Jika kesadaran
dan nafsu makan anak baik dapat juga di berikan makanan lunak.
5. Pemberian antibiotik
Dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran bakteri. Obat antibiotik
yang sering di gunakan adalah :
a. Chloramphenicol dengan dosis 50 mg/kg/24 jam per oralatau dengan dosis 75
mg/kg/24 jam melalui IV dibagi dalam 4 dosis. Cloramhenicol dapat
menyembuhkan lebih cepat tetapi relapse terjadi lebih cepat pula dan obat
tersebut dapat memberikan efek samping yang serius
b. Ampicillin dengan dosis 200 mg/kg/24 jam melalui IV di bagi dalam 6 dosis.
Kemampuan obat ini menurunkan demam lebih rendah dibandingkan dengan
chloramphenicol
c. Amoxicillin dengan dosis 100mg/kg/24 jam per os dalam3 dosis
d. Trimethroprim-sulfamethoxazol masing-masing dengan dosis 50 mg
SMX/kg/24 jam per os dalam 2 dosis,merupakan pengobatan klinik yang
efisien
e. Kotrimoksazol dengan dosis 2x 2 tablet (satu tablet mengandung 400mg
sulfamethoxazole dan 800 mg trimetroprim.Efektifitas obat ini hampir sama
dengan cloromphenicol

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
Pengkajian adalah tahap awal dan dasar dalam proses keperawatan. Fase proses
keperawatan ini cukup dua langkah: Pengumpulan data dari sumber primer (klien) dan
sumber sekunder (keluarga, tenaga kesehatan), dan analisis data sebagai dasar untuk
diagnosa keperawatan (Rohmah, 2009).
1. Pengumpulan data
Pengumpulan data adalah kegiatan untuk menghimpun informasi tentang status
kesehatan klien (Rohmah,2009).
a. Identitas klien Meliputi : nama, umur , jenis kelamin, suku/bangsa, agama,
pendidikan, tanggal masuk rumah sakit, tanggal pengkajian, diagnosa medis,
status dan alamat.
b. Riwayat kesehatan
1) Keluhan utaman Pada penyakit Thypoid Abdominalis harus dikaji
gejalandan tanda meningkatnya suhu tubuh yang intermiten dan nyeri
perut serta penurunan kesadaran. Gejala tersebut sebagai data penunjang
untuk menegakan diagnose infeksi kuman salmonella pada tubuh.
2) Riwayat kesehatan sekarang
Meliputi pengembangan dari pengaruh utama yang terdiri dari :
a) Provokative /palliative yaitu faktor penyebab keluhan pada
Thypoid Abdominalis kuman salmonella masuk ke dalam tubuh
melalui makanan atau minuman yang tercemar kemudian setelah
masa inkubasi akan muncul gejala dan biasanya gejala dirasakan
semakin berat apabila kondisi tubuh dalam keadaan lemah.
b) Qualitative /quantity bagaimana gejala dirasakan? Apakah
menyebar atau lokal, berapa kali gejala dirasakan?
c) Region Dibagian mana gejala dirasakan , apakah gejala dirasakan
menyebar kebagian lain? Adanya nyeri perut biasanya akan terasa
pada daerah perut bagian atas.
d) Skala Seberapa parah gejala dirasakan, apakah masih dalam batas
normal atau terasa nyeri hebat?
e) Time Kapan gejala timbul , seberapa sering gejala timbul ?
3) Riwayat Kesehatan Dahulu
Jenis penyakit apakah yang dideritanya? apakah pernah dirawat di RS?
Apakah mempunyai riwayat alergi? Apakah pernah sebelumnya penyakit
sekarang di derita di masa lalu.
4) Riwayat kesehatan keluarga
Apakah ada anggota keluarga yang sama penyakitnya dengan pasien?
Apakah keluarga mempunyai herediter seperti diabetes melitus? di dalam
riwayat kesehatan keluarga perlu dikaji secara spesifik karena Thypoid
Abdominalis merupakan penyakit menular yang hanya memerlukan
vektor yang sangat mudah yaitu air (Priharjo, 2006).
5) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan dengan melakukan inspeksi, auskultasi,
palpasi, dan perkusi. Adapun pengkajian fisik tersebut di lakukan secara
sistematis mulai dari kepala sampai ujung kaki.
a. Sistem pernafasan
Tanda : respirator rate normal kecuali bila terjadi infeksi sekunder
yaitu bronkopneumonia, penggunaan obat bantu pernafasan
kemungkinan terjadi karena tirah baring yang lama, mukosa mulut
kering.
b. Sistem Kardiovaskuler
Tanda : takikardi, respon terhadap demam, proses inflamasi dan
nyeri.
c. Sistem pencernaan
Tanda : pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap, bibir kering
dan pecah-pecah lidah ditutupi selaput putih kotor, ujung dan
tepinya kemerahan, pada abdomen mungkin ditemukan keadaan
perut kembung. Hati dan limpa di sertai nyeri pada perabaan.
Gejala : lidah kotor biasanya didapat konstipasi bahkan dapat
terjadi diare.
d. Sistem persyarafan
Tanda : kesadaran penderita menurun walaupun tidak seberapa
dalam, yaitu apatis sampai samnolen , jarang terjadi sopor , coma,
gelisah.
e. Sistem penglihatan
Komplikasi Thypoid Abdominalis tidak mengenai system
penglihatan . Apabila ada merupakan manifestasi dari gejala
penyerta.
f. Sistem Genitourinaria
Pada biakan urine di dapatkan bakterimia, pada genetalia,
eksternal tidak di dapatkan kelainan. Produksi urine normal, warna
jernih dan tidak di dapatkan hematuria. Frekuensi menurun,
kandung kemih kosong.
g. Sistem musculoskeletal
Gejala : merasa lemah, kekuatan otot normal.
h. Sistem integument
Kulit hangat , warna kulit normal . Suhu tubuh meningkat, turgor
kulit buruk.
6) Pola kebiasaan sehari-hari
a. Pola nutrisi dan metabolism
Adanya mual dan muntah, penurunan napsu makan selama sakit,
lidah kotor, dan rasa pahit waktu makan sehingga dapat
mempengaruhi status nutrisi berubah.
b. Pola aktivitas dan latihan
Pasien akan terganggu aktivitasnya akibat adanya kelemahan fisik
serta pasien akan mengalami keterbatasan gerak akibat
penyakitnya.
c. Pola tidur dan aktivitas
Kebiasaan tidur pasien akan terganggu dikarenakan suhu badan
yang meningkat, sehingga pasien merasa gelisah, pada waktu
tidur.
d. Pola Eliminasi
Kebiasaan dalam BAK akan terjadi retensi bila dehidrasi karena
panas yang meninggi, konsumsi cairan yang tidak sesuai dengan
kebutuhan.
e. Pola reproduksi dan seksual
Pola reproduksi dan seksual pada pasien yang telah atau sudah
menikah akan terjadi perubahan.
f. Pola persepsi dan pengetahuan
Bagaimanakah persepsi terhadap status kesehatan saat ini dan
sampai sejauh mana pasien memahami penyakit dan
perawatannya.
g. Pola konsep diri
Adakah gangguan konsep diri.
h. Pola Penaggulangan Stres
Kaji apakah yang biasa dilakukan pasien dalam menghadapi setiap
stressor.
i. Pola hubungan interpersonal
Adanya kondisi kesehatan mempengaruhi terhadap hubungan
interpersonal dan mengalami hambatan dalam menjalankan
perannya selama sakit.
j. Pola tata nilai dan kepercayaan
Adakah gangguan dalam pelaksanaan ibadah sehari-hari.
2. Analisa Data
Analisa data merupakan tahap penting yang kita lakukan setelah data klien terkumpul
sehingga berguna untuk menegakkan masalah atau kebutuhan klien (Prihardjo, 2006).
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang muncul, yaitu :
1. Hipertermi berhubungan dengan infeksi Salmonella Typhii
2. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan anoreksia
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan peningkatan kebutuhan metabolik.
4. Gangguan keseimbangan cairan (kurang dari kebutuhan) berhubungan dengan
pengeluaran cairan yang berlebihan (mual/muntah).
5. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi pencernaan.
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
 Diagnosa Keperawatan 1 : Hipertermi b.d proses infeksi salmonella thypi.
Tujuan : Suhu tubuh normal

Intervensi Rasional
1. Observasi TTV tiap 4 jam 1. tanda-tanda vital merupakan
sekali. acuan untuk mengetahui
2. Observasi suhu tubuh klien keadaan umum pasien.
3. Beri kompres dengan air 2. mengetahui perubahan suhu
hangat pada daerah axila, lipat tubuh.
paha, temporal bila terjadi 3. melancarkan aliran darah dalam
panas pembuluh darah.
4. Anjurkan keluarga untuk 4. menjaga kebersihan badan, agar
memakaikan pakaian yang tipis klien merasa nyaman, pakaian
dan dapat menyerap keringat tipis akan membantu
seperti katun mengurangi penguapan tubuh
5. Berikan penjelasan kepada 5. klien dan keluarga mengetahui
klien dan keluarga tentang sebab dari peningkatan suhu
peningkatan suhu tubuh. dan membantu mengurangi
6. Anjurkan pasien untuk banyak kecemasan yang timbul.
minum, minum. 6. peningkatan suhu tubuh
7. Kolaborasi dengan dokter mengakibatkan penguapan
dalam pemberian obat tubuh meningkat sehingga perlu
antipiuretik diimbangi dengan asupan cairan
yang banyak (2,5 liter / 24
jam).
7. menurunkan panas dengan obat.

 Diagnosa Keperawatan 2. : Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari


kebutuhan berhubungan dengan anoreksia
Tujuan : Nutrisi kebutuhan tubuh terpenuhi.
Kriteria hasil :
- Nafsu makan meningkat
- Pasien mampu menghabiskan makanan sesuai dengan porsi yang
diberikan

Intervensi Rasional
1. Kaji pola nutrisi klien 1. mengetahui pola makan,
2. Kaji makan yang di sukai dan kebiasaan makan, keteraturan
tidak disukai waktu makan.
3. Timbang berat badan tiap 2. meningkatkan status makanan
hari yang disukai dan menghindari
4. Anjurkan klien makan sedikit pemberian makan yang tidak
tapi sering. disukai.
5. Jelaskan pada klien dan 3. mengetahui adanya penurunan
keluarga tentang manfaat atau kenaikan berat badan.
makanan/nutrisi. 4. mengurangi kerja usus,
6. Kolaborasi dengan ahli gizi menghindari kebosanan
untuk pemberian diet makan.
7. Kolaborasi dengan dokter 5. Untuk meningkatkan
untuk pemberian antasida dan pengetahuan klien tentang
nutrisi parenteral. nutrisi sehingga motivasi
untuk makan meningkat.
6. mengetahui makanan apa saja
yang dianjurkan dan makanan
yang tidak boleh dikonsumsi.
7. antasida mengurangi rasa mual
dan muntah. Nutrisi parenteral
dibutuhkan terutama jika
kebutuhan nutrisi per oral
sangat kurang.

 Diagnosa keperawatan 3 : Intoleransi aktivitas berhubungan dengan peningkatan


kebutuhan metabolik.
Tujuan : Pasien bisa melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS) optimal.

Intervensi Rasional
1. Kaji kemampuan pasien dalam 1. untuk mengetahui sejauh mana
beraktivitas (makan, minum). kelemahan yang terjadi.
2. Beri motivasi pada pasien dan 2. pasien dan keluarga mengetahui
keluarga untuk melakukan pentingnya mobilisasi bagi
mobilisasi sebatas kemampuan pasien yang bedrest.
(mis : Miring kanan, miring kiri). 3. untuk menghindari kekakuan
3. Berikan latihan mobilisasi secara sendi dan mencegah adanya
bertahap sesudah demam hilang. dekubitus.
 Diagnosa Keperawatan 4 : Gangguan keseimbangan cairan (kurang dari
kebutuhan) berhubungan dengan pengeluaran cairan yang berlebihan
(mual/muntah).
Tujuan : Kebutuhan cairan dan elektrolit terpenuhi.
Kriteria hasil : Turgor kulit meningkat, Wajah tidak nampak pucat

Intervensi Rasional
1. Observasi pemasukan dan 1. untuk mengetahui
pengeluaran cairan. keseimbangan cairan, 2,5 liter /
2. Berikan penjelasan tentang 24 jam.
pentingnya kebutuhan cairan 2. untuk mempermudah
pada pasien dan keluarga. pemberian cairan (minum) pada
3. Anjurkan pasien untuk banyak pasien.
minum. 3. untuk pemenuhan kebutuhan
4. Kolaborasi dengan dokter untuk cairan.
terapi cairan (oral / parenteral). 4. untuk pemenuhan kebutuhan
cairan yang tidak terpenuhi
(secara parenteral).

 Diagnosa Keperawatan 5 : Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi


pencernaan.
Tujuan : Nyeri tidak dirasakan.
Kriteria hasil : Individu akan menyampaikan kepuasan setelah tindakan pereda
nyeri diberikan.
Intervensi :

Intervensi Rasional
1. Catat keluhan nyeri, termasuk 1. membantu diagnosa keluhan nyeri.
lokasi, lamanya, intensitas (skala 0
– 10). 2. membantu menegakkan diagnosa
2. Kaji faktor yang meningkatkan dan kebutuhan terapi.
atau menurunkan nyeri. 3. Membantu meredakan nyeri
3. Kolaborasi dalam pemberian obat
yang diresepkan (analgesik)
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, 2007. Diagnosa Keperawatan. Aplikasi pada Praktek


Klinis. Edisi IX. Alih Bahasa: Kusrini Semarwati Kadar.
Editor: Eka Anisa Mardella, Meining Issuryanti. Jakarta:
EGC.

Doenges, Maryllin. 2003. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3.


Alih Bahasa: Yasmin Asih. Jakarta: EGC.

Ngastiyah. 2005. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi I. Jakarta: EGC.

Widodo Joko. 2009. Buku Ajar Penyakit Dalam. Jakarta : Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia.

Zulkoni Akhsin. 2011. Parasitologi. Yogyakarta : Nuha Medika.

Suyono, Slamet. 2003. Buku Ajar Penyakit Dalam. Edisi ke 3. Jakarta:


Balai Penerbit FKUI.

Purba, dkk, (2017). Program Pengendalian Demam Tifoid di


Indonesia: tantangan dan peluang.

Jurnal Penelitian Media Litbangkes, Vol. 26 No. 2, Juni 2016, 99 –


108.

Nelwan, 2012. Tata Laksana Terkini Demam Tifoid. Jurnal penelitian


CDK-192/vol. 39 no. 4 Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI/RSCM-Jakarta.

Purba, dkk, (2017). Program Pengendalian Demam Tifoid di Indonesia:


tantangan dan peluang. Jurnal Penelitian Media Litbangkes, Vol.
26 No. 2, Juni 2016, 99 – 108.

Anda mungkin juga menyukai