Anda di halaman 1dari 7

BHINEKA TUNGGAL IKA DI DALAM BINGKAI NEGARA

KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

EKA WICAKSANA R
022001801018
a. Latarbelakang
            Indonesia adalah Negara dengan masyarakat majemuk yang sejak dulu menyadari
bahwa dengan kemajemukannya dipersatukan dalam Landasan Ideologi Pancasila dimana 
memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika yaitu  “berbeda-beda tetapi tetap satu”, yang berarti
bahwa meskipun berbeda agama, suku, ras dan golongan namun merupakan satu kesatuan
dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pancasila merupakan Landasan Idiil
bangsa Indonesia, falsafat dan pandangan hidup bangsa. Oleh karenanya harus menjadi
landasan pijak dalam kehidupan bernegara tanpa tendensi ataupun pemahaman dan pemikiran
sempit yang mengarahkan kita pada ego suku dan agama yang berimbas pada disintegrasi
bangsa. Selain itu Indonesia juga merupakan Negara hukum, dimana hukum menjadi
panglima setiap gerak langkah kita dalam Negara ini. Dan Negara merupakan penjamin hak
agar masyarakat merasa terlindungi untuk melaksanakan haknya dalam bingkai
kemajemukan atau pluralisme.  Pluralisme sendiri ada sejak Negara ini belum disebut
Indonesia, dan atas perjuangan bangsa Indonesia kemerdekaan yang di capai oleh bangsa ini,
diletakan dasar oleh founding fathers kita dengan melandaskan pada Pancasila, dimana
mereka sadar bahwa pluralisme telah ada dan menjadi bagian dari bangsa dan dengan adanya
pluralisme ini ada kesadaran untuk menjadi satu. 
Pluralisme sendiri memiliki beberapa perspektif: sosial, budaya maupun politik. Dalam
perspektif sosial, pluralisme menangkal dominasi dan hegemoni kelompok atau aliran
keagamaan, serta menegasikan pemusatan kekuatan sosial pada satu kelompok atau aliran.
Sedangkan perspektif pluralisme budaya mencegah hilangnya satu aliran karena dilenyapkan
oleh aliran keagamaan arus utama yang hegemonis, dan di sisi lain menangkal arogansi aliran
keagamaan arus utama yang seringkali tergoda atau secara historis-empiris melakukan
pelecehan dan penindasan aliran atau agama lain. Sementara pluralisme politik dapat menjadi
dasar bagi jaminan kebebasan untuk berkeyakinan dan berekspresi tanpa rasa takut akan
ancaman kekerasan, karena adanya lembaga pengelola konflik kepentingan antaraliran
keagamaan.(Eli Susanti :2011).
 
b. Permasalahan
Dalam sejarah panjang perjalanan bangsa Indonesia, agama lokal atau kepercayaan asli
masyarakat setempat, budaya dan masyarakat adat yang telah berakar sejak ribuan tahun yang
lalu berkali-kali mengalami ancaman terkait dengan eksistensi kebendaannya baik dalam
pelaksanaan ritual budayanya maupun dalam hal perampasan hak-hak ulayatnya, serta
menganut keyakinannya. Sehingga permasalahannya adalah “ Bagaimana Implementasi
Bhineka Tunggal Ika dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia”
 
 
B. BAHAN DAN METODE
Untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini, sesuai dengan
substansi permasalahan hukum yang dikaji maka penelitian ini dirancang sebagai suatu
penelitian yang bersifat ”Normatif”, yakni suatu penelitian yang terutama mengkaji
ketentuan-ketentuan hukum positif maupun asas-asas hukum umum (Philipus M. Hadjon :
1997 : 20). Selain itu penelitian hukum normative ini, juga digunakan untuk
mengindentifikasikan konsep atau gagasan dan asas-asas hukum dalam menelaah dan
mengkaji secara mendalam mengenai prinsip keadilan dalam penguasaan dan pengeloaan
pesisir dan laut masyarakat adat sebagaimana diamanatkan dalam tujuan Negara hukum
Indonesia.
Agar dapat memperoleh kebenaran ilmiah yang di harapkan, maka dalam penelitian ini
dipergunakan beberapa pendekatan, yaitu conceptual approach (pendekatan konseptual)
dan statute approach (pendekatan perundang-undangan) dan Historical
Approach (pendekatan historis).
Pendekatan konseptual terkait dengan konsep atau pengertian hukum. Pendekatan perundang-
undangan adalah kajian terhadap berbagai peraturan perundang-undangan terkait dengan
pokok masalah penelitian.
 
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Pluralisme Budaya dan Agama di Indonesia
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang terkenal dengan kemajemukannya terdiri dari
berbagai suku bangsa dan hidup bersama dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) dibungkus semangat Bhineka Tunggal Ika. Dalam kemajemukan tersebut dikaitkan
dengan modernisasi dan kemajuan jaman, maka menimbulkan dua sisi mata uang yang
berbeda dalam hal mengikuti alur modernisasi dan kemajuan jaman. Disatu sisi terjadi
perubahan sosial yang oleh sebagian masyarakat di Indonesia dapat dimanfaatkan sehingga
membawa kemajuan dan disisi lain menimbulkan ketertinggalan dan keterpencilan pada
kelompok masyarakat lain yang disebabkan oleh faktor keterikatan kultur/adat, agama
maupun lokasi, mereka inilah yang di sebut masyarakat hukum adat, yang hidup terpencil,
dengan budaya dan agama yang mereka anut. Namun akibat perkembangan, masyarakat adat
menjadi tersingkir karena dianggap primitive dan tertinggal dan butuh sentuhan lain agar
mereka menjadi tidak tertinggal. Padahal Negara kita adalah Negara hukum dimana
konstitusi memberikan jaminan agar setiap warga masyarakat di lindungi berserta haknya.
Pengakuan yang sama juga diberikan kepada masyarakat hukum adat dimana hak mereka
juga di lindungi oleh konstitusi. Jadi kewajiban negaralah untuk memberikan pengakuan dan 
perlindungan bagi Masyarakat Hukum Adat untuk tetap hidup dalam ketertinggalan dan
keterbelakangan, sepanjang hal tersebut merupakan adat-istiadat yang dipegang teguh.
Ancaman lain adalah adanya kecenderungan negara untuk tidak mengakui bahwa telah
menghilangkan budaya-budaya atau aliran-aliran kepercayaan lokal, yang dapat dilihat
dengan diakuinya 6 agama-agama yang notabene bukan berasal dari masyarakat Indonesia.
Hal lain yang menjadi anacaman serius bagi keberadaan masyarakat adat adalah kepentingan
global yang didorong oleh korporasi-korporasi raksasa melalui sebuah skenario liberalisasi
untuk menguasai sumberdaya alam Indonesia yang mana sangat meminggirkan hak ulayat
masyarakat adat yang notabene adalah adalah pemilik sah sumber daya alam tersebut jauh
sebelum Indonesia dicetuskan pada tanggal 17 Agustus 1945 (http://bissu-
anbti.blogspot.com/2008/08/komunitas-bissu-di-tengah-kemajemukan.html).
Berbicara mengenai Masyarakat tidak akan terlepas dari Budaya yang dipengaruhi agama
yang mereka anut atau juga sebaliknya agama yang mempengaruhi budaya yang mereka
miliki. Sepanjang perjalanan sejarah peradaban kita Indonesia, kehidupan budaya berbanding
terbalik kehidupan agama masyarakatnya. Misalnya saja kehidupan kerajaan Sriwijaya dan
Majapahit dipengaruhi oleh agama Hindu, sehingga budaya yang berkembangpun budaya
Hindu, begitupun kehidupan kerajaan Islam di Indonesia.  
 
b. Bhineka Tunggal Ika dan Pluralisme dalam Perspektif hukum dan Perundang-
undangan Di Indonesia
Adanya kemajemukan sistem budaya telah diakui sebagaimana tercermin dalam semboyan
"Bhinneka Tunggal Ika". Kata Bhineka Tunggal Ika diadopsi sebagai salah satu upaya untuk
memayungi keanekaragaman yang ada serta strategi untuk mempersatukan berbagai
kelompok etnik yang ada dalam suatu ikatan yang berorientasi ke masa depan. Paham
“berbeda-beda namun tetap satu” dalam kenyataannya hanya indah untuk didengar dan
diucapkan, namun amat sulit untuk diwujudkan, sebab secara konseptual paham tersebut
sudah membawa suatu kontradiksi. Idealnya ketunggal-ikaan tidak boleh mematikan
kebhinekaan. (Budiman, 1999, 5-9 dalam  Magdalia Alfian : 2010).
Yang menjadi persoalan adalah bagaiman konsep tersebut dapat diterjemahkan dalam praktek
kehidupan berbangsa dan bernegara yang nyata, terutama dalam pengejawantahan pengertian
“ketunggal-ikaan” yang tidak mematikan “kebhinekaan” serta mencegah terjadinya satu
unsur kebhinekaan yang mendominasi kehidupan bangsa dan negara.
Pada awal Indonesia merdeka melalui konstitusi (UUD 1945) dinyatakan bahwa Republik
Indonesia adalah negara terdiri dari kumpulan-kumpulan komunitas masyarakat hukum adat,
seperti nagari, dusun, marga dan lain-lain. Ini berarti NKRI pada awal kemerdekaannya
mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dengan konsep pengakuan murni. Tetapi pada
perkembangannya konsep pengakuan murni berubah menjadi pengakuan bersyarat-berlapis
yang tercermin dalam produk-produk hukum yang terkait dengan Masyarakat Hukum Adat
dan hak-hak serta wilayahnya yang bersifat tradisional, ini terlihat bahwa rasio pemikiran
yang berkembang di Indonesia adalah kepentingan negara diatas segala-galanya. Dan yang
menjadi titik krisis adalah UUD 1945 Hasil Amandemen Kedua, pada pasal 18B menganut
konsep pengakuan berlapis-bersyarat, yang menurut saya adalah pengakuan setengah hati
yang  berakibat bahwa Masyarakat Hukum Adat telah kehilangan pelindung (protector)
dalam norma dasar negara dan produk hukum yang salah menafsirkan konsep pengakuan
dalam UUD 1945 sebelum Amandemen menjadi memiliki dasar pembenaran untuk terus
berlaku, dan yang memprihatinkan adalah rasio berfikir bangsa indonesia yang menempatkan
posisi Masyarakat Hukum Adat pada posisi yang di ’terpencilkan“. Padahal kita ketahui
bahwa kebijakan yang dikembangkan oleh pemerintah Orde Baru tersebut bertujuan untuk
memberikan landasan juridis yang hanya bersifat formalitas bagi setiap tindakan sewenang-
wenang pemerintah dengan jalan penyeragaman  dengan Undang-undang nomor 5 Tahun
1979. Hal ini mengakibatkan hilangnya struktur dan tatanan adat sehingga dengan mudah
sumberdaya alam masyarakat adat eksploitasi hak-hak sosio-kultural Masyarakat Hukum
Adat. Yang dilakukan pemerintah saat itu adalah dengan tujuan merampas hak-hak dan lahan
Masyarakat Hukum Adat dengan dalih untuk kepentingan negara padahal didalamnya
terdapat tendensi kepentingan ekonomi individual atau kelompok penguasa saat itu. Yang
secara keseluruhan tindakan-tindakan tersebut merupakan tindakan yang merupakan
pelecehan terhadap HAM Masyarakat Hukum Adat.
            Seharusnya pada era reformasi dimana penegakan hukum merupakan syarat mutlak
bagi sebuah negara demokrasi seperti Indonesia, Penyelenggaraan pembangunan tidak lagi
harus dilakukan dengan mempergunakan pendekatan kebutuhan, namun harus
mempergunakan pendekatan hak asasi manusia. Tujuan dibentuknya negara ini adalah untuk
mencapai Indonesia Merdeka, sehingga rakyatnya menjadi adil dan makmur. Namun sudah
lebih dari 60 tahun negara ini merdeka justru rakyat tidak merasa merdeka dan bebas untuk
menjalankan segala haknya meskipun kewajibannya di tuntut untuk dilaksanakan. Negara ini
sudah melewati fase dimana kebutuhan akan sebuah bangunan pasar menjadi hal yang urgen
atausekolah merupakan sebuah hal yang urgen, karena sudah banyak alternatif yang dibangun
selama kurun waktu kemerdekaan. Namun yang penting disini adalah bagaimana masyarakat
menjadi sejahtera bukan cuma sejahtera dalam bidang ekonomi di satu sisi namun sejahtera
di semua sisi. Baik itu ekonomi, politik, bahkan keamanan. Yang diartikan sini juga bukan
keamanan fisik saja tetapi juga kemanan bathin. Proses peneyeragaman adat budaya pada
masa orde baru telah menyebabkan banyak persoalan sehingga  hukum tidak lagi
memberikan perlindungan lewat peraturan perundang-undangannya, namun sebaliknya
melahirkan konflik. Banyak masyarakat adat yang tergusur akibat kebijakan pemerintah
dengan dalih kepentingan negara. Bagi masyarakat adat yang merasa memiliki hak, dan
mengangap tidak adil tentu akan bereaksi, sehingga menimbulkan konflik. Kasus kerusuhan
di Papua, di Paperu Maluku merupakan sedikit dari bukti konflik akibat kebijakan pemerintah
lewat peraturan perundang-undangannya. Belum lagi terhadap agama yang dianut oleh
masyarakat adat tesebut. Agama Kaharingan di Kalimantan misalnya merasa terusik dengan
kejadian yang menimpa masyarakat Ahmadiah yang dianggap sesat, akan sangat dilematis
apabila hal ini juga menyebar luas bagi agama-agama suku lainnya yang ada di negara ini
dengan justifikasi bahwa hanya 6 agama yang dianut oleh negara kita Indonesia. Padahal
pasal 29 UUD 1945  jelas memberikan jaminan bagi setiap warga negara untuk beribadah
menurut agama dan keyakinannya. Itu berarti bahwa tidak ada seorangpun boleh merampas
hak orang lain, atau menentukan bahwa apa yang diyakini orang lain adalah salah, karena
yang berhak menilai itu adalah Tuhan sendiri.
Terlepas dari pemikiran tersebut pemerintah diharapkan tegas untuk menegakan hukum
dengan tidak ada standar ganda dalam pelaksanaannya. Dan dalam membuat kebijakan
berupa perundang-undangan  pemerintah harus sudah mengintrodusir nilai-nilai HAM yang
menjunjung tinggi pembebasan terhadap pluralisme, kekhasan dan keunikan yang dimiliki
oleh Masyarakat Hukum Adat atau pun masyarakat lain dengan budaya dan kekhasannya..
 
c. Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia
            Sebelum Pancasila dirumuskan dan disahkan sebagai Dasar Filsafat Negara nilai-
nilainya  telah ada pada bangsa Indonesia yang merupakan pandangan hidup yaitu berupa
nilai-nilai adat istiadat  serta nilai-nilai kausa materialis Pancasila. Dengan demikian anatara
Pancasila dengan bangsa Indonesia tidak dapat dipisahkan sehingga Pancasila adalah Jati Diri
bangsa Indonesia. Setelah bangsa Indonesia mendirikan Negara maka oleh pembentuk
Negara,  Pancasila disahkan menjadi dasar Negara Republik Indonesia. Sebagai suatu bangsa
dan Negara, Indonesia memiliki cita-cita yang dianggap paling sesuai dan benar sehingga
segala cita-cita, gagasab-gagasan, ide-ide tertuang dalam Pancasila. Maka dalam pengertian
inilah Pancasila berkedudukan sebagai Ideologi Bangsa dan Negara Indonesia dan sekaligus
sebagai Asas Persatuan dan Kesatuan bangsa dan Negara Indonesia. Dengan demikian
Pancasila sebagai dasar filsafat Negara, secara objektif diangkat dari pandangan hidup yang
sekaligus juga sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia yang telah ada dalam sejarah bangsa
sendiri.  Pandangan hidup dan filsafat hidup ini sendiri merupakan kristalisasi nilai-nilai yang
diyakini kebenarannya oleh bangsa Indonesia yang menimbulkan tekad bagi dirinya untuk
mewujudkannya dalam sikap tingkah laku dan perbuatannya. Pandangan hidup dan filsafat
hidup itu merupakan motor penggerak bagi tindakan dan perbuatan dalam mencapai
tujuannya. Nilai-nilai Pancasila ini telah tercermin dalam khasanah adat istiadat, serta
kehidupan keagamaannya.  Ketika pendiri Negara Indonesia menyiapkan berdirinya Negara
Indonesia merdeka, mereka sadar sepenuhnya untuk menjawab suatu pertanyaan yang
fundamental, “ diatas dasar apakah negara Indonesia didirikan”. Dengan jawaban yang
mengandung makna hidup bagi bangsa Indonesia sendiri yang merupakan perwujudan dan
pengejawantahan nilai-nilai yang dimiliki, diyakini, dihayati kebenarannya oleh masyarakat
sepanjang masa dalam sejarah perkembangan dan pertumbuhan bangsa sejak lahir.
            Nilai-nilai ini sebagai buah hasil pikiran-pikiran dan gagasan-gagasan dasar bangsa
Indonesia tentang kehidupan yang dianggap baik. Mereka menciptakan tata nilai yang
mendukung tata kehidupan social dan tata kehidupan kerohanian bangsa yang memberikan
corak, watak dan cirri masyarakat dan bangsa Indonesia yang membedakannya dengan
masyarakat atau bangsa lain.
            Bangsa Indonesia sejak dahulu kala merupakan bangsa religius dalam pengertian
bangsa yang percaya terhadap Tuhan penciptanya. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai
kepercayaan dan agama-agama yang ada di Indonesia antara kira-kira Tahun 2000 SM
zaman Neoliticum dan Megaliticum. Antara lain berupa “Menhir” yaitu sejenis tiang atau
tugu dari batu, kubur batu, punden berundak-undak yang ditemukan di Pasemah pegunungan
antara wilayah Palembang dan Jambi, di daerah Besuki Jawa Timur, Cepu, Cirebon, Bali dan
Sulawesi. Menhir adalah tiang batu yang didirikan sebagai ungpan manusia atas dhat yang
tertinggi, hyang Tunggal artinya yang Maha Esa yaitu Tuhan. (Kaelan : 2002 : 46 – 48).
Cita-cita kesatuan tercermin dalam berbagai ungkapan dalam bahasa-bahasa daerah di
seluruh nusantara sebagai budaya bangsa, seperti pengertian-pengertian atau ungkapan-
ungkapan ”tanah air” sebagai ekspresi pengertian persatuan antara tanah dan air, kesatuan
wilayah yang terdiri atas pulau-pulau, lautan dan udara : “tanah tumpah darah”yang
mengungkapkan persatuan antara manusia dan alam sekitarnya antara bumi dan orang
disekitarnya : Bhineka tunggal Ika” yang mengungkapkan cita-cita kemanusiaan dan
persatuan sekaligus, yang juga bersumber dari sejarah bangsa Indonesia dengan adanya
kerajaan yang dapat digolongkan bersifat nasional yaitu Sriwijaya dan Majapahit.
            Berpangkal tolak dari struktur sosial dan struktur kerohanian asli bangsa Indonesia,
serta diilhami ole ide-ide besar dunia, maka pendiri Negara kita yang terhimpun dalam Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan terutama dalam
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), memurnikan dan memadatkan nilai-nilai
yang dimiliki, diyakini, dan di hayati kebenarannya oleh bangsa Indonesia menjadi Pancasila
yang rumusannya tertuang dalam UUD 1945, sebagai ideologi Negara, pandangan hidup
bangsa, Dasar Negara, dan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia.
            Sebagai ideologi bangsa, nilai-nilai dan cita-cita bangsa yang terkandung dalam
Pancasila tidak dipaksakan dari luar, melainkan digali dan diambil dari kekayaan rohani
moral dan budaya masyarakat Indonesia sendiri, dan bukan keyakinan ideologis sekelompok
orang, melainkan hasil musyawarah dan konsensus dari masyarakat. Oleh karena itu
Pancasila merupakan ideologi terbuka, karena digali dan ditemukan dalam masyarakat itu
sendiri dan tidak diciptakan oleh Negara. Dan Pancasila adalah milik seluruh rakyat
Indonesia, karena masyarakat Indonesia menemukan kepribadiannya di dalam Pancasila itu
sendiri sebagai ideologinya.
            Jadi dalam pelaksanaan ketatanageraan kita Indonesia semua unsur harus
melaksanakan dan melandaskan segala pergerakannya diatas Pancasila tanpa terkecuali.
Toleransi atas umat beragama adalah amanat dari Pancasila. Kebebasan dalam berbudaya
adalah amanat dari Pancasila. Karena kemajemukan dalam Bingaki Negara Kesatuan
Republik Indonesia adalah kristalisasi dari nilai-nilai Pancasila dengan semboyannya
Bhineka Tunggal Ika yang artinya berbeda tetapi tetap satu. Dan itu harus di tegakan dalam
Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
 
D. Penutup
            Sejarah perjalan Panjang Bangsa Indonesia sehingga menjadi Negara Kesatuan
Republik Indonesia, bukan sejarah yang mudah. Penuh Pengorbanan darah dan air mata.
Kemerdekaan yang sekarang di raih oleh bangsa ini, haruslah berdasarkan landasan yang
paling fundamental oleh Negara Ini. Penolakan terhadap pluralisme atau keberagaman bangsa
dalam bentuk penindasan dan pelakuan sewenang-wenang terhadap adat dan budaya
masyarakat adat serta agama dan kepercayaan warga Negara  adalah perbuatan yang tidak
dapat ditolerir oleh siapapun juga. Perlakuan Negara dengan berbagai perangkat hukumnya
dengan tidak tegas berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 pun merupakan masalah. Untuk itu
ditegakannya kembali Pancasila secara murni dan konsekwen seperti sejarah awal lahirnya
Pancasila harus di tegakan. Agar Negara ini tidak seperti uni soviet ataupun sejarah Negara-
negara Balkan.

Anda mungkin juga menyukai