Anda di halaman 1dari 32

Jurnal PenyakitKASUS

LAPORAN Dalam Udayana


Udayana Journal of Internal Medicine Print ISSN: 2580-2925
Volume 1, No 2: 2017 Online ISSN: 2580-2933

HIPOPITUYTARISME DAN HIPERPITUYTARISME

KELAS 4A

KELOMPOK 4
1. Belinda ( C20180 )
2. Cika ( C2018025 )
3. Dela Nuvita Sari ( C2018029 )
4. Dian Okviana ( C2018033 )
5. Dwi Rahmawati ( C2018040 )

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


STIKES ‘AISYIYAH SURAKARTA
TAHUN AJARAN 2020

Open Access: www.jpdunud.org 57


Jurnal PenyakitKASUS
LAPORAN Dalam Udayana
Udayana Journal of Internal Medicine Print ISSN: 2580-2925
Volume 1, No 2: 2017 Online ISSN: 2580-2933

Seorang penderita hipopituitarisme akibat


kraniofaringioma

Ida Bagus Aditya Nugraha1, Made Arie Dwi Winarka1, A.A. Gd. Budhiarta2
1
Program Studi Kraniofaringioma merupakan tumor intrakranial tersering pada anak-
Pendidikan Dokter anak dan merupakan tumor tersering pada region hipotalamus dan
Spesialis Penyakit hipopituitari. Berikut ini akan dilaporkan satu kasus hipopituitarisme
Dalam, Fakultas yang terjadi pada seorang penderita perempuan usia 15 tahun dengan
Kedokteran kraniofaringioma yang juga telah dilakukan tindakan
Universitas Udayana/ pembedahan.Diagnosis kraniofaringioma ditegakkan berdasarkan
RSUP Sanglah, manifestasi klinis yaitu adanya gangguan pertumbuhan baik dari tinggi
Denpasar, Bali, badan, pertubuhan tulang, rambut pada pubis, ketiak, atau
Indonesia ekstremitas, pasien tampak lemas, nafsu makan berkurang sedikit, dan
2
Departemen/KSM saat kontrol pasien belum haid. Dari pemeriksaan MRI kepala +
Penyakit Dalam, kontras menunjukan adanya massa di intersella sampai supra sella.
Fakultas Kedokteran Diagnosa hipopituitari didapatkan dari beberapa pemeriksaan
Universitas hormonal yang terjadi. Penatalaksanaan yang telah dilakukan yaitu
Udayana/RSUP terapi pengganti hormonal GH, glukokortikoid, tiroksin, dan estradiol.
Sanglah, Denpasar, Monitoring dilakukan tiap 3 bulan awal yang kemudian nantinya dapat
Bali Indonesia diulang tiap 6 bulan. Kata Kunci : hipopituarisme, kraniofaringioma,
kasus jarang, Growth Hormone

Hypopituitarism is a disorder in endocrinology that’s include decrease


of partial or toal anterior pituitary hormone or posterior pituitary
hormone or both. Craniofaringioma is an intracranial tumour that
Tanggal diterima : 22 Juni
usually in children, located at hypothalamic and pituiray region. We
2017
Tanggal Disetujui : 1 reported a case report of hypopituarism in 15 years old female that
Oktober 2017 Tanggal caused by craniofaringioma and has been surgical. Diagnosis of
Diterbitkan : 15 Oktober craniofaringioma is confimed by the clinical manifestation are the
2017 disturbance of growth and development, in the height, bone, genital
structure of hair, armpit hair, and extremity, decrease of apetite,
weak, and no menstrual cycle until now. From the head MRI and
Pendahuluan contrast there are mass in interstellar unti supracelar. Hypopituary
Hipopituitarisme diagnosed is confimed from hormonal examination. The theraphy is
merupakan suatu the Growth Hormone substitusional theraphy, glucocorticoid, thyroxin,
kelainan di bidang and estradiol. First we monitor every 3 months, and can repeat every
endokrinologi yang 6 months.
ditandai dengan
Keywords : hypopituarism, craniofaringioma, rare case , Growth
kurangnya sekresi
Hormone
baik secara total
atau sebagian dari
hormone pituitari
anterior atau
posterior atau Beberapa studi melaporkan angka
keduanya. prevalensi kejadian kelainan ini berkisar
45/100.000 dan insidennya terjadi

Open Access: www.jpdunud.org 58


Jurnal PenyakitKASUS
LAPORAN Dalam Udayana
Udayana Journal of Internal Medicine Print ISSN: 2580-2925
Volume 1, No 2: 2017 Online ISSN: 2580-2933
Hipopituitarisme merupakan suatu kelainan di Oleh karena jarangnya kasus
bidang endokrinologi yang ditandai dengan hipopituitarisme ini disertai kompleknya
kurangnya sekresi baik secara total atau pemeriksaan penunjang dan juga rencana
sebagian dari hormone pituitari anterior atau terapi yang digunakan, maka berikut ini akan
posterior atau keduanya. Terdapat beberapa dilaporkan satu kasus hipopituitarisme yang
etilogi yang dapat menyebabkan kondisi terjadi pada seorang penderita
hipopituitarisme, dimana kondisi keganasan kraniofaringioma yang juga telah dilakukan
seperti adenoma pituitary atau terapinya tindakan pembedahan. Ilustrasi Kasus
sendiri (paska bedah dan/atau radioterapi)
merupakan penyebab yang paling sering Seorang perempuan usia 15 tahun kontrol ke
ditemukan. Kraniofaringioma sendiri poli endokrin RSUP Sanglah dengan keluhan
merupakan tumor paraselar dan selar yang pertumbuhan terhambat yang dialami sejak ±
menjadi tumor intrakranial tersering pada 3 tahun lalu. Keluhan ini ditandai dengan tidak
anak-anak dan merupakan tumor tersering bertambahnya tinggi pasien dan juga belum
pada region hipotalamus dan hipopituitari. mengalami menstruasi hingga saat ini. Keluhan
Tumor ini merupakan tumor jinak yang ini juga disertai adanya gangguan penglihatan
pertumbuhannya lambat dan paling sering berupa kabur dan posisi bola mata kiri yang
terdapat pada sella tursika (lokasi hipofisis) agak tertarik kearah kiri sehingga membuat
dan sangat jarang pada nasofaring.1 pasien tidak nyaman. Pasien juga kadang
sering merasa lemas dan kadang tidak
4/100.000/tahun, dimana rata-rata 50% antusias/bertenaga dalam aktifitas. Nafsu
pasien memiliki defisiensi 3 hingga 5 hormon makan sedikit berkurang sehingga berat badan
pituitari. Oleh karena itu, hipopituitarisme ini tidak pernah bertambah. Buang air kecil
merupakan suatu kondisi medis yang sangat dikatakan tidak ada kelainan. Tidak ada
kompleks yang juga dikaitkan dengan tingginya riwayat sakit kepala ataupun muntah proyektil
angka hebat sebelumnya. Pasien sebelumnya kontrol
di rumah sakit daerah dengan pengobatan
mortalitas.1
thyrax 100 mcg/hari selama 6 bulan dan telah
Beberapa faktor dapat mempengaruhi dilakukan beberapa pemeriksaan hingga
manifestasi klinis dari hipopituitarisme ini didiagnosa adenoma hipofisis. Kemudian
yaitu etiologi dari hipopituiarisme itu sendiri, pasien kontrol ke RSUP sanglah dan dilakukan
usia penderita, dan kecepatan serta derajat beberapa pemeriksaan, di antaranya MRI
kekurangan hormone pituitary yang terjadi. kepala dengan hasil massa hiperintens yang
Suatu kondisi kekurangan hormone parsial berbatas tegas dengan parenkim di sekitarnya
biasanya memberikan progresifitas yang di intersella sampai supra sella dengan ukuran
lambat sehingga sering tidak terdeteksi hingga 31 mm x 35 mm aksial, dan korona 30 mm x 49
bertahun-tahun, dan kemudian suatu waktu mm (Gambar 1).
dapat terjadi kehilangan hormon secara total
dengan tiba-tiba sehingga memerlukan kondisi
emergensi yang membutuhkan penanganan
segera. Manifestasi klinis hipopituitarisme
sangat beragam, bergantung pada jenis
hormone yang kurang tersekresi. Untuk itu
penanganan hipopituitarisme ini juga sangat
kompleks, meliputi terapi pengganti hormone
tertentu bergantung pada jenis hormone yang
kurang. 1,2 Gambar 1. MRI Kepala dengan kontras

Open Access: www.jpdunud.org 59


Jurnal PenyakitKASUS
LAPORAN Dalam Udayana
Udayana Journal of Internal Medicine Print ISSN: 2580-2925
Volume 1, No 2: 2017 Online ISSN: 2580-2933
Pasien kemudian dilakukan tindakan operasi Secara keseluruhan dapat disimpulkan
dan biopsi jaringan massa dan didapatkan adanya penurunan beberapa hormon yang
jaringan menyerupai adamantimoma tanpa disekresikan oleh pituitari sehingga
ada sel-sel ganas, hingga disimpulkan suatu direncanakan pemberian terapi pengganti
kraniofaringioma. hormon. Sebelum diberikan terapi, perlu
dilakukan foto usia tulang (bone age) untuk
Setelah dilakukan tindakan operasi, pasien
melihat masih terbukanya atau menutup
kemudian disarankan untuk kontrol ke poli
epifisis dari tulang panjang. Pada foto radiologi
endokrin untuk menilai fungsi hormonal paska
tulang panjang didapatkan lempengan
operasi. Pada pemeriksaan fisik dijumpai
pertumbuhan epifisial masih terbuka,
penderita dengan kesadaran compos mentis,
trabekulasi normal, celah dan permukaan
tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 90 x/menit
sendi tampak normal, tak tampak
kuat angkat, pernapasan 20x/menit, suhu
pembengkakan jaringan lunak disekitarnya,
aksila 36,5oC. Status gizi cukup (berat badan 36
dan disimpulkan bahwa foto tulang panjang
kg dengan tinggi badan 136,5 cm, Indeks
tersebut sesuai untuk usia anak perempuan 9
Massa Tubuh: 19,46 kg/m2). Tinggi badan
tahun 6 bulan. Pasien juga dikonsulkan ke
kesan tidak sesuai dengan usia. Pada mata kiri
bagian obstetri ginekologi (obgin) untuk
tampak occuli sinistra retraksi, pertumbuhan
dievaluasi terkait hormon seksual.
rambut ketiak, pubis, kaki, dan tangan
terhambat. (Gambar Dari hasil evaluasi bagian obgin menyatakan
bahwa pasien dengan keterlambatan pubertas
2).
dengan riwayat operasi kraniofaringioma dan
pituitari dengan USG blast tersisi penuh,
uterus dengan ukuran 4,22 x 1,78, disimpulkan
dengan amenorea primer (Gambar 3).

Gambar 2. Foto klinis pasien

Beberapa hormone diperiksa untuk memantau


kinerja fungsi pituitari, yaitu Insulin Growth
Factor-1 (IGF-1) 42 ng/ ml (normal: 226-903
ng/ml), hormone kortisol 1,48 µg/dl (normal :
4,30 – 22,4 µg/dl) , prolactin 3,00 ng/ml Gambar 3. Ultrasonografi (USG)
(normal 4,90-19,10 ng/ml) , Thyroid
Stimulating Hormone (TSH) 0,06 µIU/ml Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
(normal: 0,25-5,00 µIU/ml), Free Tyroxine (FT4) pemeriksaan penunjang dan hasil konsultasi
1,25 ng/dl (normal 0,93-1,70 ng/dl), dari bagian lain maka pasien didiagnosa
Luteinizing Hormone (LH) <0,01 mIU/ml dengan hipopituitarisme et causa
(normal 0,7-2,0 mIU/ml), Follicle Stimulating kraniofaringioma + post op hipofisektomi
Hormone (FSH) 0,14 mIU/ml (normal 0,38-3,6 disertai amenorea primer. Pada bulan Januari
mIU/ml). 2016, pasien ini mulai diterapi dengan hormon
pengganti levotiroksin 100 mcg io @ 24 jam,

Open Access: www.jpdunud.org 60


Jurnal PenyakitKASUS
LAPORAN Dalam Udayana
Udayana Journal of Internal Medicine Print ISSN: 2580-2925
Volume 1, No 2: 2017 Online ISSN: 2580-2933
growth hormone (ginetrophin) 0,3 ml sc @ defisiensi hormonhormon yang
24jam, cycloprogniova (estradiol) 2 mg io @24 dihasilkannya. Dari beberapa penyebab
jam, dan prednison 2,5 mg io @ 24 jam. Pasien hipopituitarisme, adenoma pituitari atau
ini kemudian di monitoring kembali tinggi terapi dari adenoma itu sendiri (pembedahan
badan, berat badan dan juga kadar dan atau radioterapi) merupakan penyebab
hormonalnya (Tabel tersering hingga saat ini. Makroadenoma
dengan ukuran > 1 cm dapat mengkompresi
1).
dan merusak secara langsung daerah di
Diskusi seikitar pituitari sehingga menyebabkan
hiposekresi. Mekanisme lain disebutkan
Kelenjar Hipofisis atau nama lainnya adalah bahwa adanya massa pada pituitari dapat
kelenjar pituitari merupakan kelenjar yang mengganggu sistem portal vaskular pituitari,
berukuran sebesar kelereng, namun meningkatkan tekanan intrasellar, sehingga
mempunyai makna fisiologis yang sangat terjadi nekrosis dan dalam jangka waktu lama
penting bagi kelangsungan dan homeostasis akan mengganggu suplai sirkulasi portal dari
tubuh manusia. Selain itu hipofisis, terutama pituitary. 1,3 Kraniofaringioma merupakan satu
bagian anterior, memiliki kemampuan dalam dari beberapa jenis massa penyebab tersering
mengatur kelenjar-kelenjar endokrin lainnya. hipopituitari. Kejadian hipopituitari paska
Hal inilah yang menyebabkan kelenjar ini pembedahan dipengaruhi oleh ukuran tumor,
diberi nama Master of Gland. Kelenjar hipofisis tingkat invasi tumor ke jaringan sekitar,
Tabel 1. Perkembangan kondisi pasien paska terapi hormonal
Pemeriksaan Januari 2016 Maret 2016 Mei 2016 Normal
TB (cm) 136,5 140 141
BB (kg) 36 38,5 41 , 5
IGF-1(ng/ml) 42 121 165 (226-903)
TSH (µIU/ml) 0,06 0,112 (0,25-5,00)
FT4 (ng/dl) 1,25 1,06 (0,93-1,70)
Kortisol (µg/dl) 1,48 <0,5 (4 ,30 – 22, 4)
Keterangan : TB= Tinggi Badan, BB= Berat Badan, IGF-1= Insulin Like Growth Factor 1, TSH= Thyroid Stimulating
Hormone, FT4= Free Thryroxine.
persentase bagian pituitari yang masih sehat,
merupakan struktur kompleks pada dasar
dan juga dipengaruhi oleh kemampuan tekhnik
otak, terletak dalam sela tursika, di rongga
dokter bedah saraf. Dilaporkan sekitar 40-65%
dinding tulang sphenoid. kelenjar hipofisis
pasien yang telah menjalani operasi akan
manusia dewasa terdiri dari lobus posterior
mengalami perbaikan parsial kelenjar pituitari,
atau neurohipofisis sebagai lanjutan dari
akan tetapi kejadian perburukan paska operasi
hipotalamus, dan lobus anterior atau
juga pernah dilaporkan.4 Pasien disarankan
adenohipofisis yang berhubungan dengan
untuk melakukan monitoring pemeriksaan
hipotalamus melalui tangkai hipofisis. Pada
endokrin pre dan paska operasi.
manusia lobus Intermedia terdapat menyatu
dengan lobus anterior.1 Manifestasi klinis pasien hipopituitari
dipengaruhi oleh patologi penyebab, derajat
Hipopituitarisme adalah suatu gambaran
keparahan, dan kecepatan onset hipopituitari.
penyakit akibat insufisiensi kelenjar hipofisis,
Pada kondisi space occupying lesions (sol),
terutama bagian anterior. Gangguan ini
maka gejala yang dominan tampak adalah
menyebabkan munculnya masalah dan
sakit kepala, gangguan penglihatan, dan yang
manifestasi klinis yang berkaitan dengan

Open Access: www.jpdunud.org 61


Jurnal PenyakitKASUS
LAPORAN Dalam Udayana
Udayana Journal of Internal Medicine Print ISSN: 2580-2925
Volume 1, No 2: 2017 Online ISSN: 2580-2933
sangat jarang ialah adanya perubahan terhadap GH. Tes ini dilakukan dengan
kepribadian, epilepsi, hingga keluarnya cairan cara injeksi insulin intravena 0,05-0,15
serebrospinal dari rinorea. Manifestasi sendiri unit/kgbb (pasien sebelumnya puasa
bergantung pada jenis hormon mana yang semalaman), kemudian diukur kadar glukosa
mengalami defisiensi 1,5,6,7 dan GH pada 0,30,60,90,120 menit paska
injeksi. Defisiensi GH bermakna apabila kadar
Kraniofaringioma tipe adamantinomatous
puncak GH ≤ 3 µg/l (9 mU/l) dengan patokan
adalah jenis yang umum terjadi pada anak
nilai normal 5µg/l. TTI dikontraindikasi pada
anak. Terjadi perubahan pada sel epitel
penyakit jantung iskemik, abnromal
neoplastik berasal dari stomodeum yang
elektrokardiografi, aritmia, dan
terjebak pada duktus kraniofarimgeal saat
perkembangan pituitari yang dikenal sebagai epilepsy.9
teori embriogenetik. Pada kraniofaringioma
Tes lain yang dapat digunakan apabila terdapat
tipe ini sering terjadi defisiensi hormon
kontraindikasi dilakukan TTI adalah kombinasi
pituitari akibat pendesakan tumr, prosedur
Growth Hormone Releasing Hormone (GHRH) +
pemebdahan dan radioterapi. pada awal
arginin, dan juga tes stimulasi glukagon.
diagnosis kita perlu mewaspadai terjadinya
Beberapa kadar nilai potong yang tervalidasi
suatu disfungsi hormon pituitari sebesar 85%.
untuk GHRH + arginin, dengan BMI <25 kg/m 2
Defisiensi hormon pertumbuhan yang biasa
adalah < 11 μg/L, BMI 25-30 kg/m 2 adalah < 8
terjadi adalah FSH dan LH.12
μg/L, BMI >30 kg/m2 adalah < 4 μg/L.
Pada kasus, pasien dengan defisiensi GH Keterbatasan sebagian besar pemeriksaan
ditandai dengan kurangnya semangat dalam adalah kurangnya data relatif yang tervalidasi
aktifitas, terhambatnya pertumbuhan tulang berdasarkan usia, jenis kelamin dan BMI.
dan otot, adanya defisiensi ACTH ditandai Pemeriksaan ini harus dilakukan pada unit
dengan lemas, nafsu makan berkurang sedikit endokrin berpengalaman yang mana tes
sehingga berat badan tidak bertambah, tidak tersebut sering dikerjakan.9 Pemeriksaan lain
tumbuhnya rambut pada ketiak, pubis atau yang dapat dilakukan untuk mendiagnosa
pada ekstremitas, defisiensi gonadotropin defisiensi GH yaitu pemeriksaan kadar IGF-1,
ditandai dengan adanya amenorea, dan namun ada beberapa kondisi yang dapat
adanya defisiensi TSH yang ditandai dengan membuat kadar IGF-1 rendah yaitu kondisi
lemas dan penurunan kadar hormon TSH. malnutrisi, penyakit hati, diabetes melitus, dan
hipotiroidisme.2
Untuk mendiagnosa hipopituitarisme
diperlukan pemeriksaan fisik yang baik, Tes yang dapat dilakukan yaitu tes stimulasi
didukung pemeriksaan biokimia, dan mencari ACTH dengan menggunakan injeksi synacten
tahu penyebabnya. Pada pemeriksaan fisik (agen kortikotropik) 250 µg intramuskular.
dapat dilakukan pemeriksaan luas pandang Pemeriksaan kadar kortisol dilakukan setelah
dengan metode Goldmann. Pemeriksaan 30 menit injeksi (paling baik pukul 9 pagi saat
penunjang dilakukan untuk mengetahui kadar basal). Secara fisiologi, setelah dilakukan
hormon dari pituitari anterior, seperti TSH, injeksi stimulasi ACTH, tubuh akan berespoon
tiroksin, FSH,LH, prolaktin, IGF-1 dan kortisol dan meningkatkan kadar kortisol darah. Pada
jam 9 kasus defisiensi ACTH, tubuh tidak akan
berespon dan kadar kortisol darah ≤ 2µg/dl. 2,10
pagi. 8,9,10
Untuk pemeriksaan defisiensi GH dilakukan Defisiensi TSH ditandai dengan rendahnya
pemeriksaan tes toleransi insulin (TTI) sebagai kadar serum basal FT4 diikuti dengan kadar
standar baku untuk penentuan defisiensi GH. TSH yang normal atau rendah.1
TTI diindikasikan untuk pasien dewasa yang
diduga kuat mengalami defisiensi berat

Open Access: www.jpdunud.org 62


Jurnal PenyakitKASUS
LAPORAN Dalam Udayana
Udayana Journal of Internal Medicine Print ISSN: 2580-2925
Volume 1, No 2: 2017 Online ISSN: 2580-2933
Pada beberapa kasus, untuk mendiagnosa Selain itu perlu dilakukan juga evaluasi
defisiensi hipogonadisme cukup dengan test neurobehavioral, dimana dilakukan terhadap
hormon basal dan evaluasi klinis. Pada aktivitas fisik, pengontrolannafsu makan,
perempuan, diagnosa ditegakkan bila kadar obesitas yang mana berkaitan dengan
estradiol rendah dan LH serta FSH yang juga kerusakan hipotalamus. Tujuan utama
rendah disertai adanya oligomenorea atau dilakukan metode pembedahan pada
amenorea.7 kraniofaringioma adalah untuk mengontrol
pertumbuhan tumor, pemeliharaan atau
Diagnosis defisiensi hormon pituitari posterior
memperbaiki fungsi penglihatan, dan
dapat dengan mudah dilakukan melalui tanda
memelihara pituitari/ hipotalamus.
dan gejala klinis serta dilakukannya tes
Pendekatan pembedahan frontolateral
deprivasi air. Secara klinis, adanya volume
merupakan prosedur yang paling umum
urine >3 l/hari atau 40 ml/kgbb/hari dapat
dilakukan dalam sebuah serial kasus, yaitu
dicurigai suatu defisiensi ADH. Tes deprivasi air
pada 14 pasien (56%).12
dapat dilakukan dengan cara restriksi cairan
selama 8 jam (pengawasan ketat status Pada kasus telah dilakukan tindakan
dehidrasi), apabila dalam 2 jam terjadi pembedahan seperti yang dijelaskan pada
penurunan berat badan >3% berat awal, maka referensi dan telah dilakukan evaluasi
tes harus dihentikan. Setelah 8 jam, diberikan endokrin untuk melihat adanya kelainan pada
injeksi intramuskular desmopressin 2 µg, hormon pituitari. Setelah dilakukan evaluasi
kemudian 1 jam kemudian osmolalitas darah, laboratorium dilanjutkan dengan memberikan
urin, dan volume urin dihitung kembali. terapi pada hipopituitari terdiri dari terapi
Apabila terjadi peningkatan osmolalitas urine langsung penyebab dasar dan juga terapi
dari 300 mOsmol/kg menjadi >750 mOsmol/kg pengganti hormonal. Tumor pituitari dapat
maka dapat dikatakan suatu defisiensi ADH diterapi dengan obat-obatan, pembedahan,
atau kadang dikaitkan dengan diabetes radioterapi, atau kombinasi. Tujuan dari terapi
insipidus kranial.2,10 pengganti hormonal adalah mencapai kadar
hormonal yang normal, mengembalikan
Pada kasus, diagnosa ditegakkan berdasarkan
kondisi fisiologis, dan mencegah tanda dan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan juga
gejala dari hipopituitarisme dan meminimalisir
beberapa tes laboratorium kimia.Namun
efek samping dari pengobatan.2,11,12
karena keterbatasan biaya serta tingginya
resiko yang terjadi bila tes stimulasi dilakukan Untuk terapi GH dapat mulai diberikan dosis
maka beberapa tes diagnosis tidak dilakukan. awal 0,2-0,3 mg injeksi subkutan dan dapat di
titrasi naik tiap 4-6 minggu bergantung pada
Terapi pada hipopituitari terdiri dari terapi
kadar IGF-1 dan respon klinis. Pemantauan
langsung penyebab dasar dan juga terapi
komposisi tubuh dan kualitas hidup pasien
pengganti hormonal. Tumor pituitari dapat
dilakukan tiap 3 bulan, lalu bertahap tiap 6
diterapi dengan obat-obatan, pembedahan,
bulan. Hal yang perlu dimonitoring meliputi
radioterapi, atau kombinasi. Tujuan dari terapi
berat badan, tekanan darah, IGF1, gula puasa,
pengganti hormonal adalah mencapai kadar
HbA1c, profil lemak, rasio pinggang dan
hormonal yang normal, mengembalikan
panggul, dan tiap 2 tahun dilakukan evaluasi
kondisi fisiologis, dan mencegah tanda dan
terhadap densitas tulang. Efek samping yang
gejala dari hipopituitarisme dan meminimalisir
perlu diperhatikan setelah terapi meliputi sakit
efek samping dari pengobatan.2,11
kepala, atralgia, mialgia, retensi cairan, dan
Pembedahan merupakan terapi utama pada lain-lain. GH tidak boleh diberikan selama
kraniofaringioma. Berbagai studi preoperatif hamil dan juga masa menyusui. Tidak ada data
perlu dilakukan seperti pemeriksaan radiologi, bukti yang jelas mengenai penigkatan angka
evaluasi endokrin, evaluasi neuro-oftalmologi. kejadian kembali tumbuh dan berkembangnya

Open Access: www.jpdunud.org 63


Jurnal PenyakitKASUS
LAPORAN Dalam Udayana
Udayana Journal of Internal Medicine Print ISSN: 2580-2925
Volume 1, No 2: 2017 Online ISSN: 2580-2933
tumor pituitari/prepituitari pada pasien Diagnosis ditegakkan berdasarkan
defisiensi GH yang sedang menjalani terapi manifestasi klinis yaitu adanya gangguan
hormon pengganti. Untuk itu disarankan untuk pertumbuhan baik dari tinggi badan,
melakukan pemeriksaan radiologi sebelum pertubuhan tulang, rambut pada pubis, ketiak,
dimulainya pemberian terapi GH.1,2 atau ekstremitas, pasien tampak lemas, nafsu
makan berkurang sedikit, dan saat kontrol
Pada defisiensi ACTH maka terapi pengganti
pasien belum haid. Dari pemeriksaan MRI
glukokortikoid sangat diperlukan. Pada
kepala + kontras menunjukan adanya massa di
beberapa penelitian, hidrokortison lebih dipilih
intersella sampai supra sella. Diagnosa
dikarenakan lebih fisiologis sebagai pengganti
hipopituitari didapatkan dari beberapa
glukokortikoid seta efek sampingnya yang
pemeriksaan hormonal yang terjadi.
minimal dan dosis yang direkomendasikan
Penatalaksanaan yang telah dilakukan yaitu
yaitu dosis awal 10 mg, lalu saat makan siang 5
terapi pengganti hormonal GH, glukokortikoid,
mg, dan saat pagi hari 5 mg. Apabila terjadi
tiroksin, dan estradiol. Monitoring dilakukan
perubahan yang tidak signifikan, maka terapi
tiap 3 bulan awal yang kemudian nantinya
dapat diberhentikan. Apabila terjadi perbaikan
dapat diulang tiap 6 bulan. Oleh karena adanya
klinis, maka dosis dapat dinaikan 12,5 hingga
keterbatasan biaya dalam pemeriksaan, maka
15 mg. Pemantaun juga perlu dilakukan
beberapa tes stimulasi tidak dilakukan begitu
terhadap kadar kortisol urin 24 jam.1,2
juga pada proses pemantauannya.
Pada defisiensi TSH, terapi utama adalah
tiroksin, dimulai dengan dosis 100 µg( usia Daftar Pustaka
muda tanpa penyakit kardiak) atau 25µg (usia 1. Prabhakar VKB, Shalet SM. Aetiology,
tua dengan penyakit jantung koroner). Tujuan Diagnosis, and Managament of
terapi tiroksin adalah adanya perbaikan klinis Hypopituitarism an Adult Life. Postgrad
disertai kadar FT4 yang normal. Pemberian Med J. 2006;82:259-66.
obat ini dalam jangka waktu yang lama dapat
2. Seong YK. Diagnosis and Treatment of
meningkatkan kejadian atrial fibrilasi dan
Hypopituitarism. Endocrinol Metab.
menurunkan densitas mineral tulang. 1,2
2015;30:443-55.
Kondisi defisiensi goandotropin pada wanita 3. Zoicas F, Schofl C. Craniopharyngioma in
dapat diberikan terapi pengganti estrogen Adults. Frontiers in Endocrionology.
(estradiol) dengan dosis 2-4 mg/hari. Apabila 2012;3(46):1-8.
tidak tercapai perbaikan klinis selama 4. Roijen, L van, Beckers A, Stevenaert A,
pubertas, maka dosis estrogen dapat Busschbach, Jan J van, Eijk, W van, Rutten
dinaikkan. Untuk wanita dengan uterus yang FFH. The Burden of Hypopituitarism in
masih intak, terapi medroksiprogesteron (10 Adults After Pituitary Surgery.
mg) dapat diberikan setelah 12-14 hari/ bulan Endocrinology and Metabolism.
terapi estrogen sangat dianjurkan. Terapi terus 1997;4(Suppl.B):139-42.
dilanjutkan hingga kondisi menopause untuk
5. Muller HL. Craniopharyngioma. Endocrine
mencegah terjadinya osteoporosis dan dapat
Reviews. 2014;35(3):513-43.
berefek sebagai anti aterosklerotik lipoprotein.
Setelah kondisi menopause, dosis estrogen 6. Halac I, Zimmerman D. Endocrine
harus diturunkan secara bertahap lalu Manifestations of Craniopharyngioma.
dihentikan.1,2,7 Childs Nerv Syst.2005;21:640-48.
7. Feldman EC, Nelson RW. Canine and
Ringkasan Feline
Telah dilaporkan kasus hipopituitari akibat Endocrinology and reproduction,3rd ed.
paska terapi pembedahan kraniofaringioma. Philadelphia. WB Saunders.2003;305.

Open Access: www.jpdunud.org 64


Jurnal PenyakitKASUS
LAPORAN Dalam Udayana
Udayana Journal of Internal Medicine Print ISSN: 2580-2925
Volume 1, No 2: 2017 Online ISSN: 2580-2933
8. Filipsson H. Aspects of Diagnosis and
Treatment of hypopituitarism in Adult
Life. Thesis, University of Gothenburg,
Swedan.

9. Cook DM, Yuen KCJ, Biller BMK, Kemp SF,


Vance ML. American Association of
Clinical Endocrinologist Medical
Guidelines for Clinical Practice for Growth
Hormone Use in Growth Hormone-
Deficient Adults and Tranition Patients-
2009 Update. Endocrine Practice. 2009;15(
Suppl 2):1-29.
10. Jostel A, Lisset C, Shalet SM.
Hypopituitarism. In: Endocrinology. New
York. WB Saunders.pp 1-15.
11. Gan J. Is it Hypopituitarism?. Australian
Pituitary Foundation LTD. 2011; pp:1-15.
12. Hidayat I, Susilo RI, Jasa ZK. Prosedur
Operasi Kombinasi Frontolateral dan
Pterional pada Kraniofaringioma di RSU
dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. JNI
2016;5(2): 130– 37.

This work is licensed under a


Creative Commons Attribution 4.0
International License.

Open Access: www.jpdunud.org 65


LAPORAN KASUS
Jurnal Penyakit Dalam Udayana
Udayana Journal of Internal Medicine Print ISSN: 2580-2925
Volume 1, No 2: 2017 Online ISSN: 2580-2933

Seorang penderita hipopituitarisme akibat kraniofaringioma

PEMBAHASAN :

Hipopituitary merupakan gangguan pada sistem endokrin yang ditandai dengan


buruknya sekresi dari hormon pituitari baik anterior maupun posterior. Penyebab yang
paling sering ditemukan adalah karena adenoma pituitary atau juga karena setelah
operasi. Sedangkan kraniofaringioma marupakan tumor yang terdapat di dekat kelenjar
pituitay, yang di bagian dasar tengkorak. Namun lebih banyak menyerang pada anak-
anak walaupun sering menyerang anak-anak namun tergolong tumor yang jinak dan
pertumbuhannya lambat. Faktor penyebab kraniofaringioma sendiri adalah karena
hipopituitary, usia, serta cepat lambatnya kekurangan pituitary. Namun biasanya
terdeteksi dalam waktu yang lama karena progresifitasnya lambat. Jadi biasanya seperti
kanker yang sudah stadium lanjut begitu juga dengan masalah ini terdeteksi dalam
waktu lama sehingga secara tiba-tiba kehiangan hormonnya baik secara total maupun
sebagian. Sehingga ketika hormon mulai hilang maka perlu penanganan yang cepat.
Oleh karena itu sangat diperlukan adanya pemeriksaan sebelum menemtukan apakah
harus dioperasi atau tidak
Walaupum telah dioperasi penderita harus tetap memeriksakan diri ke poli
endokrin untuk menilai fungsi endokrin apakan sudah lebih baik atau belum. Namun
biasaanya saat pemeriksaan fisik hasilnya normal hanya saja biasanya tinggi badannya
yang tidak sesuai atau tidak normal.
Secara umum kelejar pituitary hanyalah sebesar kelereng namun memiliki fungsi
yang sangat penting jadi tidak salah apa bila biasa disebut dengan master of glands.
Kelenjar pituitary dibagi menjadi 2 yaitu : anterior (bagian depan) dan juga posterior
(bagian blakang). Sedangkan hipopitutary merupakan masalah pada kelenjar pituitary
akibat tidak normalnya kelenjar pituitary dalam sekresi di endokrin. Kejadian
hiperpituitary akibat setelah dilakukannya operasi biasanya dipengaruhi oleh adanya
tumor dan ukuran dari tumor itu sendiri. Selain dari ukukuran juga dipengaruhi oleh

Open Access: www.jpdunud.org 66


LAPORAN KASUS
Jurnal Penyakit Dalam Udayana
Udayana Journal of Internal Medicine Print ISSN: 2580-2925
Volume 1, No 2: 2017 Online ISSN: 2580-2933

tingka penyebaran ke sel – sel yang lain. Sekitar 40-65% kejadian pembedahan
dilaporkan hasilnya terjadi perbaikan paersial dari kelenjar pituitary namun ada juga
beberapa kasus yang meyatakan bahwa keadaannya setelan dioperasi menjadi semakin
memburuk. Jadi sangat di anjurkan dan disarankan setelah dilakukannya operasi atau
pembedahan harus dilanjutkan dengan monitoring atau pemantauan agar dapat
membandingkan perbedaan sebelum dan sesudah operasi.
Gelaja yang ditimbulkan biasanya berbeda beda tergantung dari penyebabnya itu,
derajat keparahan serta kecepatannya. Contohnya pada kondisi space occupying lesions
gejala yang paling sering tampak adalah sakit kepala, gangguan penglihatan misal
penglihatan matanya menjadi kabur. Dan gejala yang paling sering atau jarang ditemui
adalah adanya perubahan kepribadiannya hingga epilepsi. Jadi gejala yang ditimbulkan
biasanya tergantung dari jenis hormon yang terganggu tersebut. Jenis kraniofaringioma
yang paling sering terjadi pada anak adalah jenis adamantinomatous yang biasanya dan
sering terjadi akibat adanya defisiendi hormon pituitary akibat pendesakan oleh tumor,
prosedur pembedahan dan radioterapi. Pada kasus di pasien dengan defisiensi GH
(hormon pertumbuhan) biasayan ditandai dengan hilangnya atau tidak semangatnya
anak dalam menjalankan aktivitas, mudahnya anak menjadi lelah, terhambatnya
pertumbuhan dari tulang dan otot, menurunya nafsu makan. Contoh lain dengan
adanya defisiensi hormoh ACTH (Adrenokortikotropik Hormon/ hormon simulator) yang
ditandai dengan anak yang mudah lemas, nafsu makan berkurang bahkan menjadi
hilang sehingga berat badan tidak bertambah, tidak tumbuhnya rambut pada ketiak,
pubis (genetalia/organ reproduksi) dan juga pada ekstremitas. Defisiensi Gonadotropin
merupakan hormon yang berperan pada aktivitas sel pada ovarium dan ovum atau yang
bekerja pada kerja sistem reproduksi. Biasanya ditandai dengan adanya amenorea. Dan
defisiensi TSH (Thyroid-Stimulating Hormon) atau hormon yang berfungsi untuk
memelihara pertumbuhan dan memlihara perkembangan kelenjar tyroid. Biasanya
ditandai dengan mudah nya lemas, kurang atau hilangnya semangat dan penurunan
hormon TSH. Untuk menegakkan diagnosis hipopituitary perlu dilakukkan pemeriksaan
fisik yang baik, didukung dengan pemeriksaan biokimia dan cari tahu apa penyebabnya.

Open Access: www.jpdunud.org 67


LAPORAN KASUS
Jurnal Penyakit Dalam Udayana
Udayana Journal of Internal Medicine Print ISSN: 2580-2925
Volume 1, No 2: 2017 Online ISSN: 2580-2933

Contoh pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosa hipopituitary


adalah pemeriksaan luas pandang dengan metode Goldmann.
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mengetahui kadar hormon dari pituitari
anterior, seperti TSH, tiroksin, FSH,LH, prolaktin, IGF-1 dan kortisol jam 9

pagi.

Untuk pemeriksaan defisiensi GH dilakukan pemeriksaan tes toleransi insulin (TTI)


sebagai standar baku untuk penentuan defisiensi GH. TTI diindikasikan untuk pasien
dewasa yang diduga kuat mengalami defisiensi berat terhadap GH. Tes ini dilakukan
dengan cara injeksi insulin intravena 0,05-0,15 unit/kgbb (pasien sebelumnya puasa
semalaman), kemudian diukur kadar glukosa dan GH pada 0,30,60,90,120 menit paska
injeksi. Defisiensi GH bermakna apabila kadar puncak GH ≤ 3 µg/l (9 mU/l) dengan
patokan nilai normal 5µg/l. TTI dikontraindikasi pada penyakit jantung iskemik,
abnromal elektrokardiografi, aritmia, dan

epilepsy.

Tes lain yang dapat digunakan apabila terdapat kontraindikasi dilakukan TTI adalah
kombinasi Growth Hormone Releasing Hormone (GHRH) + arginin, dan juga tes stimulasi
glukagon. Beberapa kadar nilai potong yang tervalidasi untuk GHRH + arginin, dengan BMI
<25 kg/m2 adalah < 11 μg/L, BMI 25-30 kg/m2 adalah < 8 μg/L, BMI >30 kg/m2 adalah < 4
μg/L. Keterbatasan sebagian besar pemeriksaan adalah kurangnya data relatif yang
tervalidasi berdasarkan usia, jenis kelamin dan BMI. Pemeriksaan ini harus dilakukan pada
unit endokrin berpengalaman yang mana tes tersebut sering dikerjakan. Pemeriksaan lain
yang dapat dilakukan untuk mendiagnosa defisiensi GH yaitu pemeriksaan kadar IGF-1,
namun ada beberapa kondisi yang dapat membuat kadar IGF-1 rendah yaitu kondisi
malnutrisi, penyakit hati, diabetes melitus, dan hipotiroidisme. Tes yang dapat dilakukan
yaitu tes stimulasi ACTH dengan menggunakan injeksi synacten (agen kortikotropik) 250 µg
intramuskular. Pemeriksaan kadar kortisol dilakukan setelah 30 menit injeksi (paling baik
pukul 9 pagi saat basal). Secara fisiologi, setelah dilakukan injeksi stimulasi ACTH, tubuh akan

Open Access: www.jpdunud.org 68


LAPORAN KASUS
Jurnal Penyakit Dalam Udayana
Udayana Journal of Internal Medicine Print ISSN: 2580-2925
Volume 1, No 2: 2017 Online ISSN: 2580-2933

berespoon dan meningkatkan kadar kortisol darah. Pada kasus defisiensi ACTH, tubuh tidak
akan berespon dan kadar kortisol darah ≤ 2µg/dl.

Defisiensi TSH ditandai dengan rendahnya kadar serum basal FT4 diikuti dengan kadar TSH
yang normal atau rendah.

Pada beberapa kasus, untuk mendiagnosa defisiensi hipogonadisme cukup dengan test
hormon basal dan evaluasi klinis. Pada perempuan, diagnosa ditegakkan bila kadar estradiol
rendah dan LH serta FSH yang juga rendah disertai adanya oligomenorea atau amenorea.
Diagnosis defisiensi hormon pituitari posterior dapat dengan mudah dilakukan melalui tanda
dan gejala klinis serta dilakukannya tes deprivasi air. Secara klinis, adanya volume urine >3
l/hari atau 40 ml/kgbb/hari dapat dicurigai suatu defisiensi ADH. Tes deprivasi air dapat
dilakukan dengan cara restriksi cairan selama 8 jam (pengawasan ketat status dehidrasi),
apabila dalam 2 jam terjadi penurunan berat badan >3% berat awal, maka tes harus
dihentikan. Setelah 8 jam, diberikan injeksi intramuskular desmopressin 2 µg, kemudian 1
jam kemudian osmolalitas darah, urin, dan volume urin dihitung kembali. Apabila terjadi
peningkatan osmolalitas urine dari 300 mOsmol/kg menjadi >750 mOsmol/kg maka dapat
dikatakan suatu defisiensi ADH atau kadang dikaitkan dengan diabetes insipidus kranial.

Sebelum ditegakkannya suatu diagnosa maka perlu dilakukan adnya anamnesa/ anamnesis/
wawacara dengan pasien, pemeriksaan fisik kepada pasien, dam pemeriksaan kimia di
laboratoium. Namun biasanya ketebatasan biaya serta tingginya resiko yang terjadi bila tes
ini dilakukan maka beberaa tes diagnosis tidak dilakukan atau tidak dilaksanakan.

Open Access: www.jpdunud.org 69


LAPORAN KASUS
Jurnal Penyakit Dalam Udayana
Udayana Journal of Internal Medicine Print ISSN: 2580-2925
Volume 1, No 2: 2017 Online ISSN: 2580-2933

PENATALAKSANAAN ANESTESIA PADA PASIEN CRETIN DENGAN


HIPOPITUITARISME SEKUNDER AKIBAT KRANIOFARINGIOMA

ANESTHESIA MANAGEMENT IN CRETIN PATIENT WITH HYPOPITUTARISM


SECONDARY OF CRANIOPHARYNGIOMA

Theresia Monica Rahardjo, Iwan Fuadi, Tatang Bisri

Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif

Fakultas Kedokteran, Universitas Padjadjaran, Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung

Abstract
Craniopharyngioma is a sellar and parasellar tumor, which accounts to 6-10% of childhood
brain tumors. Common symptoms are signs of increase intracranial pressure, like headache,
vomiting and visual dysfunction. A significant endocrine dysfunction is an usual feature of
craniopharyngioma due to the proximity of the tumor to hypothalamus and pituitary gland.
Short statue found in 50-86% patient with subnormal growth rates and delayed puberty.
A male, 20 yrs cretin patient with hypopituitarism secondary of craniopharyngioma had a
craniotomy tumor removal and placement of omaya shunt. He had a history of headache
since 13 yrs ago accompanied by visual disturbance, started from his left eye, now he is
totally blind. He also suffered from growth failure and delayed puberty, has a physic of a boy
regardless his age as 20 yrs old adult, with height 140 cm and weight 40 kg. He has an
elevated TSHs but normal T3 and fT4, a decreased LH and FSH, a normal prolactin, a
normal but low growth hormon and a decreased cortisol. Anesthetic technique used was
general anesthesia. Induction was done with fentanyl, pentotal, lidocaine and vecuronium
with a mixture of N2O/O2 and isoflurane. Anesthesia was maintained with isoflurane and a
mixture of O2/air. Patient was in controlled breathing with an incremental dose of
vecuronium to maintaine the relaxation. Mannitol and furosemide were given to reduce
intracranial pressure. The procedure took about 5 hours. After 5 days ICU stayed, the patient
was referred back to his room at Kemuning.

Open Access: www.jpdunud.org 70


LAPORAN KASUS
Jurnal Penyakit Dalam Udayana
Udayana Journal of Internal Medicine Print ISSN: 2580-2925
Volume 1, No 2: 2017 Online ISSN: 2580-2933

The problems in this patient are a raised of intracranial pressure, an endocrine dysfunction
and a possibility of airway difficulty related to his short statue. Corticosteroid as hormone
replacement therapy was given before the operation. Based on his short statue, induction
dose of anesthetic agents were adjusted and smaller laryngoscope blade and endotracheal
tube were used for intubation. Avoidance of nitrous oxide, low concentration of volatile agent
and dominant used of intravenous anesthetic agent were applied during the operation. Post
operative monitoring was done in ICU with specific concern of hormone complications like
diabetes insipidus and hyponatremia beside post operative pain control.
Patient with pituitary disease, in this case craniopharyngioma, accompanied by endocrine
dysfunction and abnormal growth, need a very careful treatment from preoperative,
intraoperative to postoperative period. A good management and cooperation between
anesthesiologist, surgeon and endocrinologist can reduce the morbidity and mortality in this
kind of disease.

Key word : cretin, hypopituitarism, craniopharyngioma

JNI 2102;1(3):197-202

Abstrak

Kraniofaringioma adalah tumor sela dan parasela, yang merupakan 6-10% tumor otak pada
anak-anak. Gejala umum merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial, seperti sakit
kepala, muntah dan gangguan penglihatan. Disfungsi endokrin yang nyata merupakan
gambaran umum kraniofaringioma akibat lokasi tumor terhadap kelenjar hipotalamus dan
pituitari. Fisik pendek ditemukan pada 50-86% pasien dengan laju pertumbuhan subnormal
dan pubertas yang terlambat.

Seorang laki-laki, umur 20 tahun, pasien kretin dengan hipopituitarisme sekunder menjalani
craniotomy tumor removal dan penempatan omaya shunt. Dia memiliki riwayat sakit kepala
sejak 13 tahun yang lalu disertai dengan gangguan penglihatan yang dimulai dari mata kiri
dan saat ini dia buta. Dia juga menderita kegagalan pertumbuhan dan pubertas yang
terhambat, memiliki fisik seorang anak laki-laki, dengan tinggi badan 140 cm dan berat badan
40 kg. Dia memiliki TSHs yang meningkat dengan T3 dan fT4 yang normal, LH dan FSH

Open Access: www.jpdunud.org 71


LAPORAN KASUS
Jurnal Penyakit Dalam Udayana
Udayana Journal of Internal Medicine Print ISSN: 2580-2925
Volume 1, No 2: 2017 Online ISSN: 2580-2933

yang menurun, prolaktin yang normal, hormon pertumbuhan yang normal rendah dan kortisol
yang menurun. Teknik anestesia yang digunakan adalah anestesia umum. Induksi dengan
fentanyl, pentotal, lidocaine dan vecuronium dengan kombinasi N 2O/O2 dan isoflurane.
Rumatan anestesi dengan isoflurane dan kombinasi O2/udara. Pernapasan pasien dikontrol
dengan dosis inkremental vecuronium untuk mempertahankan relaksasi. Mannitol dan
furosemide diberikan untuk menurunkan tekanan intrakranial. Operasi berlangsung selama 5
jam. Setelah 5 hari di ICU, pasien dapat kembali keruangannya di Kemuning.

Masalah pasien ini adalah peningkatan tekanan intrakranial, disfungsi endokrin dan
kemungkinan kesulitan jalan napas akibat bentuk tubuh yang kecil. Kortikosteroid sebagai
terapi penggantian hormonal diberikan sebelum operasi. Dosis obat anestesi disesuaikan
dengan berat badan. Intubasi menggunakan laryngoscope blade dan endotracheal tube dengan
ukuran lebih kecil. Selama operasi dihindari pemakaian nitrous oxide, digunakan konsentrasi
rendah anestesi inhalasi dan penggunaan dominan anestesi intravena. Pemantauan post
operatif dilakukan di ICU dengan memperhatikan kemungkinan komplikasi hormonal seperti
diabetes insipidus dan hiponatremia selain pengelolaan nyeri post operatif.

Pasien dengan penyakit pituitari, dalam kasus ini kraniofaringioma, disertai dengan disfungsi
endokrin dan pertumbuhan abnormal, membutuhkan penatalaksanaan preoperatif,
intraoperatif dan postoperatif yang sangat teliti. Kerjasama yang baik antara bagian anestesi,
bedah dan endokrinologi dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas pada penyakit ini.

Kata kunci: cretin, hypopituitarism, craniopharyngioma

JNI 2102;1(3):197-202

Open Access: www.jpdunud.org 72


LAPORAN KASUS
Jurnal Penyakit Dalam Udayana
Udayana Journal of Internal Medicine Print ISSN: 2580-2925
Volume 1, No 2: 2017 Online ISSN: 2580-2933

I. Pendahuluan
Kraniofaringioma merupakan tumor selar dan paraselar dan merupakan 6-10% dari tumor
pada anak-anak. Tumor ini merupakan tumor ke tiga tersering dari tumor intrakranial pada
anak-anak dan paling sering dijumpai di daerah hipotalamus dan pituitari pasien pediatrik.
Kraniofaringioma berasal dari sisa-sisa epitel skuamosa embrionik kantung Rathke’s yang
meluas ke daerah hipotalamus dan tumor ini sering ditemukan di daerah sela tursika serta
jarang ditemukan di daerah nasofaring.1

Gambar 1.
Tumor kraniofaringioma yang telah mendesak dan
menggantikan seluruh kelenjar pituitari yang normal. Dikutip dari: O’Connor M.6

Kraniofaringioma merupakan tumor jinak dengan pertumbuhan yang lambat dan terjadi
terutama pada dekade pertama kehidupan dengan puncak pada usia di antara 5 sampai 15
tahun. Sekitar 25% dari tumor ini terdapat pada dekade ke tiga. Gejala dan tanda klinis
kraniofaringioma tidak jauh berbeda dari tumor supraselar yang lain. Gejala umum adalah
peningkatan tekanan intrakranial seperti sakit kepala, muntah dan gangguan penglihatan.
Gejala gangguan endokrin terdapat pada 80-90% pasien. Defek lapang pandang disebabkan
dari kompresi kiasma optikus atau komponen lain dari aparatus optikus seperti saraf optikus
dan dapat menyebabkan atrofi optik. Edema papila saraf optikus, yang disebabkan
peningkatan tekanan intrakranial, juga berperan dalam gangguan

penglihatan.1-3

Disfungsi endokrin yang nyata merupakan gambaran umum kraniofaringioma disebabkan


letak tumor yang berdekatan dengan kelenjar hipotalamus dan pituitari. Ukuran tubuh yang
pendek abnormal ditemukan pada 50-86% pasien disertai dengan laju pertumbuhan
subnormal dan pubertas yang terlambat.1-3

Open Access: www.jpdunud.org 73


LAPORAN KASUS
Jurnal Penyakit Dalam Udayana
Udayana Journal of Internal Medicine Print ISSN: 2580-2925
Volume 1, No 2: 2017 Online ISSN: 2580-2933
Pasien kretin dengan hipopituitarisme sekunder terhadap kraniofaringioma, merupakan
tantangan bagi ahli anestesi disebabkan peran penting kelenjar pituitari dalam sistem
endokrin, selain tubuh pendek dan kemungkinan masalah jalan napas. Tantangan dimulai
selama penilaian preoperatif dan berlanjut selama pembedahan sampai periode pasca operasi.
Keberhasilan penatalaksanaan anestesi dan pembedahan pasien dengan penyakit kelenjar
pituitari, dalam hal ini kraniofaringioma, membutuhkan pendekatan multi disiplin dan sangat
tergantung pada kualitas penatalaksanaan perioperatif.

Gambar 2.
Tanda dan gejala hipopituitarisme. Dikutip dari: Buja ML.7

II. Laporan Kasus


Seorang laki-laki berusia 20 tahun dengan diagnosis SOL at regio suprasellar ec suspect
craniopharyngioma dan direncanakan untuk menjalani pengangkatan tumor kraniotomi dan
penempatan shunt omaya dikonsulkan ke Bagian Anestesi pada tanggal 26 Maret 2010.
Pasien ini memiliki riwayat sakit kepala sejak 13 tahun yang lalu disertai dengan gangguan
penglihatan yang dimulai dari mata kiri kemudian berlanjut ke mata kanan dan dia sudah buta
pada saat datang ke rumah sakit. Dia juga mengalami kegagalan pertumbuhan dan pubertas
yang terlambat. Dia memiliki kondisi fisik seperti anak laki-laki pada saat berusia 20 tahun
dengan tinggi badan 140 cm dan berat badan 40 kg.

Open Access: www.jpdunud.org 74


LAPORAN KASUS
Jurnal Penyakit Dalam Udayana
Udayana Journal of Internal Medicine Print ISSN: 2580-2925
Volume 1, No 2: 2017 Online ISSN: 2580-2933
Pemeriksaan fisik
Tekanan darah 100/70 mmHg, nadi 100 kali/menit, respirasi 18 kali/menit dan suhu normal.

Pemeriksaan laboratorium (23 Maret 2010) memberikan hasil yang normal dan subnormal.
Hb 11,5 g%, Ht 33%, lekosit 6.900, trombosit 251.000. Parameter koagulasi dalam batas
normal. Tidak ditemukan ketidakseimbangan elektrolit yang berat, Na 144 meq, K 4,6 meq,
Ca 4,52 meq, Mg 2,80 meq, hipokalsemia dikoreksi dengan kalsium glukonas 1 gr IV. Fungsi
hati dan ginjal normal dengan SGOT 38, SGPT 29, ureum 17 dan kreatinin 0,71. Tidak
ditemukan hiperglikemia dengan GDS 97. Profil endokrin (12 Maret 2010) menunjukkan
peningkatan TSHs 4,8 ul/ml tetapi T3 dan fT4 normal yaitu 1,2 nmol/L dan 1,6 ng/dl.
Penurunan LH 0,19 mIU/ml dan FSH 0,8 mIU/ml. Nilai prolaktin dan hormon pertumbuhan
normal yaitu 2,3 ng/ml dan 0,051 ng/ml, tetapi terjadi penurunan kortisol 3,62 ug/dl.
Pemeriksaan radiologi (8 Maret 2010) memberikan hasil yang normal. Tes fungsi paru (8
Maret 2010) menunjukkan adanya restriksi berat, tetapi hal ini berhubungan dengan tinggi
dan berat badan dibandingkan usia pasien. EKG (8 Maret 2010) menunjukkan sinus
takikardia dengan denyut jantung 101 kali/menit.

Gambar 3. Hasil CT Scan Pasien.

Open Access: www.jpdunud.org 75


LAPORAN KASUS
Jurnal Penyakit Dalam Udayana
Udayana Journal of Internal Medicine Print ISSN: 2580-2925
Volume 1, No 2: 2017 Online ISSN: 2580-2933

Gambar 4. Profil hormonal pasien.

Pengelolaan Anestesi:
Pemasangan jalur intravena dilakukan sebelum induksi. Teknik anestesi yang digunakan
adalah anestesi umum. Induksi dilakukan dengan fentanil, pentotal, lidokain dan vekuronium
dengan campuran N2O/O2 dan isofluran. Rumatan anestesi dengan isofluran dan campuran
O2/udara.

Pernapasan pasien dikontrol selama operasi dengan pemberian dosis inkremental vecuronium
untuk mempertahankan relaksasi. Manitol dan furosemid diberikan untuk menurunkan
tekanan dan volume intrakranial. Operasi berlangsung selama 5 jam. Setelah operasi selesai,
pasien langsung dipindahkan ke ICU, dan setelah 5 hari berada di ICU pasien dikembalikan
ke ruangannya di Kemuning.

Gambar 5. Profil hemodinamik pasien selama operasi.

Open Access: www.jpdunud.org 76


LAPORAN KASUS
Jurnal Penyakit Dalam Udayana
Udayana Journal of Internal Medicine Print ISSN: 2580-2925
Volume 1, No 2: 2017 Online ISSN: 2580-2933

Gambar 6. Kondisi pasien post operatif di ICU.

III Pembahasan
Hal utama yang harus diperhatikan pada pasien kretin yang disebabkan hipopituitarisme
sekunder terhadap kraniofaringioma ini, adalah gangguan endokrin akibat lokasi tumor yang
mendesak kelenjar pituitari, selain dari tubuh yang pendek dan potensi masalah jalan napas
selama laringoskopi dan intubasi.

Penatalaksanaan Preoperatif
Selain penilaian dan pemeriksaan yang umumnya dilakukan terhadap pasien saraf yang akann
menjalani pembedahan dengan anestesi umum, penilaian dan pemeriksaan pasien yang akan
menjalani operasi kraniofaringioma harus meliputi pemeriksaan tanda dan gejala peningkatan
tekanan intrakranial, profil endokrin, efek hiposekresi hormon dan fungsi penglihatan. 1,2
Terapi penggantian hormon preoperatif harus dilakukan selama periode preoperatif dan
dilanjutkan selama periode operatif. Defisiensi ACTH dilaporkan terjadi pada 25–71% anak-
anak dengan kraniofaringioma dan dapat menyebabkan hipotensi dan kematian selama stres
seperti pada saat operasi. Defisiensi ACTH dapat terjadi selama pembedahan pada pasien
yang tidak menunjukkan tanda-tanda defisiensi preoperatif, sehingga semua pasien dengan
kraniofaringioma harus diberikan stress doses glukokortikoid sebelum pembedahan. Pasien
yang telah menerima deksametason untuk kepentingan pembedahan tidak membutuhkan
dosis steroid tambahan karena dosis deksametason umumnya jelas lebih besar dari dosis
fisiologis yang dibutuhkan.1,2,3

Pada pasien anak-anak dengan defisiensi ACTH, dosis penggantian hidrokortison tergantung
usia. Pada anak-anak kecil, dosis penggantian sekitar 6 mg/m2 luas permukaan tubuh
sedangkan untuk anak-anak yang lebih besar dan remaja sekitar 9 mg/m 2. Dosis pemeliharaan

Open Access: www.jpdunud.org 77


LAPORAN KASUS
Jurnal Penyakit Dalam Udayana
Udayana Journal of Internal Medicine Print ISSN: 2580-2925
Volume 1, No 2: 2017 Online ISSN: 2580-2933
hidrokortison harus disesuaikan seiring pertumbuhan dan peningkatan berat badan anak.
Dosis yang berlebihan atau kurang, walaupun sedikit, dapat menyebabkan efek samping.
Dosis yang berlebihan dapat menyebabkan tanda dan gejala Cushing syndrome dan
menyebabkan hambatan pertumbuhan sedangkan dosis yang kurang dapat menyebabkan
insufisiensi adrenal. Hidrokortison diberikan 3 kali/hari dan lebih disukai pada anak-anak
karena efek restriksi pertumbuhan lebih ringan dan merupakan preparat glukortikoid dengan
durasi

kerja lama.1,2,3

Pasien ini mengalami penurunan kortisol dan telah diberikan deksametason 8 mg/hari, yang
bertujuan selain untuk menguragi edema di sekitar tumor, juga untuk mengisi kekurangan
kortisol yang ada. Tidak diperlukan dosis tambahan steroid karena dosis deksametason
tersebut sudah mencukupi dan melebihi dosis fisiologis yang diperlukan.

Penatalaksanaan Intraoperatif
Walaupun semua teknik anestesi dapat digunakan untuk prosedur operasi intrakranial,
keberadaan peningkatan tekanan intrakranial membutuhkan perhatian khusus. Pada kondisi
ini, penggunaan anestesi intravena dan menghindari penggunaan N2O telah
direkomendasikan. Penggunaan obatobatan dengan durasi kerja pendek lebih dianjurkan
karena mempermudah dan mempercepat pemulihan pada akhir pembedahan obat seperti
propofol dan sevofluran jelas masuk ke dalam kategori tersebut. Selama pembedahan,
ventilasi dengan target normokapnia atau sedikit hipokapnia harus dipertahankan. Opioid
dengan durasi kerja pendek diberikan secara titrasi untuk mempertahankan stabilitas
hemodinamik. Pemberian opioid dengan durasi kerja panjang seperti morfin intravena atau
kodein intramuskuler 20-30 menit sebelum pembedahan berakhir dianjurkan supaya pasien
tidak bangun dalam kesakitan.1-5
Pada pasien ini, induksi dilakukan dengan fentanil, pentotal, lidokain dan vekuronium dengan
campuran N2O/O2 dan isofluran. Rumatan anestesi dengan isoflurane dan campuran O2/udara.
Pasien dikontrol pernapasannya dengan pemberian inkremental vekuronium untuk
mempertahankan relaksasi. Manitol dan furosemid diberikan untuk mengurangi tekanan dan
volume intrakranial.

Open Access: www.jpdunud.org 78


LAPORAN KASUS
Jurnal Penyakit Dalam Udayana
Udayana Journal of Internal Medicine Print ISSN: 2580-2925
Volume 1, No 2: 2017 Online ISSN: 2580-2933
Antibiotika profilaksis
Pemberian antibiotika masih menjadi perdebatan sampai saat ini. Walaupun sebagian ahli
bedah tidak menggunakan profilaksis dan menyebutkan tidak ada masalah, hampir semua
unit di UK mempertahankan pemberian antibiotika. Antibiotika yang umumnya
diberikan adalah cefixime (cefuroxime 1.5 gr) saat induksi anestesi dan setiap 3 jam selama
operasi. Tidak ada pemberian lebih lanjut pada periode post operatif untuk meminimalkan
perkembangan organisme resisten.2,4

Komplikasi operatif
Pasien ini dioperasi dengan pendekatan transkranial karena ukuran tumor yang besar.
Pembedahan tumor pituitari transkranial memiliki resiko serupa dengan prosedur intrakranial
yang lain. Kerusakan lobus frontal akibat iskemia karena traksi lama dapat diminimalkan
dengan hati-hati memasang retraktor dan pelepasan berkala dari retraktor. Trauma terhadap
arteri karotis atau kiasma optikus dapat terjadi. Insidensi kejang post operasi lebih tinggi pada
pembedahan subfrontal dibandingkan pendekatan lain. Beberapa ahli merekomendasikan
penggunaan terapi antikonvulsan tetapi hal ini belum meyakinkan. Anosmia dapat juga
terjadi karena kerusakan pada traktus olfaktorius.2,4

Pemulihan dari anestesia


Pemulihan yang mulus dan cepat dari anestesia setelah pembedahan otak memberikan
kesempatan untuk penilaian neurologis lebih awal dan stabilisasi respirasi
dan kardiovaskuler lebih baik. Hal ini dapat dicapai dengan penggunaan obatobatan anestesi
dengan durasi kerja yang cepat. Ekstubasi harus dilakukan dengan tanpa atau sesedikit
mungkin menyebabkan gejolak hemodinamik, selain harus memperhitungkan
syarat-syarat ekstubasi pada pasien dengan operasi otak. Sebelum dilakukan ekstubasi segera
post operatif harus memperhatikan beberapa hal yang penting seperti kesadaran pra bedah
adekuat, operasi otak terbatas, tidak ada laserasi otak yang luas, bukan operasi fossa posterior
yang luas yang mengenai saraf IX dan XII, bukan reseksi AVM yang besar, suhu normal,
oksigenasi normal dan kardiovaskuler stabil. Ekstubasi pada pasien ini dilakukan setelah
semua kriteria di atas telah terpenuhi.2,3,4

Open Access: www.jpdunud.org 79


LAPORAN KASUS
Jurnal Penyakit Dalam Udayana
Udayana Journal of Internal Medicine Print ISSN: 2580-2925
Volume 1, No 2: 2017 Online ISSN: 2580-2933
Penatalaksanaan post operatif
Penatalaksanaan post operatif meliputi penataklaksanaan jalan napas yang
baik, analgesia post operatif yang memadai, pemberian cairan dan hormon yang sesuai dan
pemantauan ketat untuk komplikasi post operatif.2,4

Pasien ini dikirim langsung ke ICU setelah operasi selesai untuk pemantauan ketat
kondisi hemodinamik dan pencegahan komplikasi penyakitnya. Setelah 5 hari di ICU,
pasien dikembalikan ke ruangannya di Kemuning.

Analgesia post operatif


Kraniotomi merupakan prosedur bedah yang lebih menyakitkan dibandingkan teknik
transsphenoidal dan analgesia yang kuat diperlukan. Opioid telah menjadi analgesia post
operatif utama pada pasien dengan operasi otak selama bertahun-tahun karena efek analgesia
yang kuat.2,3,4
Pasien ini mendapatkan morfin sebagai analgesia post operatif selama di ICU dan dosis
perlahanlahan diturunkan sesuai dengan kondisi pasien. Saat pasien sudah mampu menerima
nutrisi peroral, pemberian morfin intravena diturunkan dan digantikan dengan
analgesia peroral.

Terapi penggantian hormon Keamanan menjadi hal pokok sehingga semua pasien
diasumsikan membutuhkan penggantian kortisol post operatif dalam jangka pendek.
Penggantian harus diturunkan perlahan-lahan menjadi dosis pemeliharaan dalam
beberapa hari. Regimen standar yang direkomendasikan adalah hidrokortison 50 mg 2
kali/hari pada hari pertama post operasi, 25 mg 2 kali/hari pada hari ke dua, dan menjadi 20
mg saat pagi dan 10 mg saat sore pada hari ke tiga. Pasien umumnya pulang dengan dosis ini.
Dosis sore diberikan antara pukul 17.00 dan 18.00. pasien dengan mikroadenoma yang
mensekresi prolaktin dapat lepas dari hydrocortisone dengan aman dalam
beberapa hari pertama bila ≥ 20% kelenjar pituitari disisakan. Pada penyakit Cushing’s,
kortikotrof normal sangat disupresi dan penggantian dibutuhkan sampai beberapa minggu
atau bulan. Penggantian hormon yang dilakukan pada periode preoperatif harus dilanjutkan
pada periode post operatif, sampai evaluasi oleh ahli endokrin dilakukan.1-5

Pasien ini telah mendapatkan deksametason 8 mg/hari dan pemberian obat ini dilanjutkan
sampai periode post operatif di ICU. Pemberian deksametason disertai
dengan pemantauan kadar glukosa darah berkala karena adanya resiko hiperglikemia pada
pemberian obat tersebut.

Open Access: www.jpdunud.org 80


LAPORAN KASUS
Jurnal Penyakit Dalam Udayana
Udayana Journal of Internal Medicine Print ISSN: 2580-2925
Volume 1, No 2: 2017 Online ISSN: 2580-2933

Komplikasi hormon post operatif Diabetes Insipidus


Umumnya terjadi dalam 24 jam pertama dan timbul bila > 80% saraf yang mensintesis
vasopresin rusak atau menjadi tidak berfungsi untuk sementara waktu. Hal ini
harus diduga bila pasien menghasilkan urine > 1 liter dalam 12 jam dengan konsentrasi
Na+ plasma > 143 mmol/l. Keluaran dan berat jenis urine harus diperiksa secara rutin setelah
operasi pituitari. Bila hal ini terjadi, pemeriksaaan osmolaritas plasma dan urine yang teratur
harus dilakukan. Diagnosis diabetes insipidus harus ditegakkan secara biokimiawi sebelum
terpai dilakukan. Kombinasi dari peningkatan osmolaritas plasma (>295 mosmol/kg), urine
hipotoni (< 300 mosmol/kg) dan keluaran urine yang banyak (> 2 ml/kg/h) merupakan
kriteria untuk menetapkan diagnosis. Diabetes insipidus dapat diterapi dengan desmopressin
acetate (DDAVP). Walaupun demikian, bila pasien sadar dan memiliki mekanisme haus
normal, lebih aman untuk memberikan cairan seperti biasa dibandingkan pemberian cairan
intravena yang berlebihan dan DDAVP. Penggunaan DDAVP yang berlebihan dapat
menimbulkan hiponatremia yang akan menyebabkan kejang dan koma. Hampir semua kasus
borderline diabetes insipidus membaik secara spontan dalam beberapa hari seiring dengan
kembali normalnya fungsi lobus posterior. Pemberian DDAVP dibutuhkan pada pasien koma,
pasien tanpa respon haus dan pasien dengan keluaran urine yang sangat banyak. Dosis
DDAVP IM/IV yang direkomendasikan adalah 0.1 µg diulang bilamana perlu. Pada fase
akut, dosis 0.04 µg IV memberikan respon adekuat dengan durasi yang lebih singkat.
Pemantauan konsentrasi sodium dan osmolaritas plasma harus dilakukan sampai tercapai
keseimbangan elektrolit dan cairan.1-5

Hiponatremia
Penyebab tersering hiponatremia setelah operasi pituitari adalah penggunaan DDAVP yang
berlebihan. Hiponatremia juga dapat disebabkan, walaupun jarang, oleh SIADH karena
pelepasan ADH non spesifik dari terminal neurosekretori pituitari posterior yang
berdegenerasi. Hal ini menyebabkan retensi air dan kehilangan Na + urine sekunder.
Umumnya bersifat sementara dan berlangsung sekitar 7 sampai 10 hari post operatif. Kondisi
ini diatasi dengan restriksi cairan dan dipantau dengan pemeriksaan elektrolit berkala. Selain
itu, hiponatremia setelah pembedahan intrakranial dapat disebabkan kecenderungan untuk
diuresis sehingga terjadi kontrksi nyata volume sirkulasi dan ekstraseluler. Fenomena ini

Open Access: www.jpdunud.org 81


LAPORAN KASUS
Jurnal Penyakit Dalam Udayana
Udayana Journal of Internal Medicine Print ISSN: 2580-2925
Volume 1, No 2: 2017 Online ISSN: 2580-2933
dikenal sebagai cerebral salt wasting syndrome (CSW) dan dapat sulit dibedakan dari
SIADH.1-5
Walaupun demikian, sangat penting untuk membedakan ke 2 kondisi tersebut karena terapi
keduanya berbeda bahkan berlawanan. Pada SIADH, masalah disebabkan karena ekspansi
volume ekstraseluler akibat retensi air sehingga terapi terbaik adalah membatasi asupan air
sekitar

500–1000 ml/hari tergantung konsentrasi Na+ plasma. Pada CSW, restriksi cairan tidak dapat
mengkoreksi hiponatremia tetapi akan berbahaya karena akan lebih menurunkan volume
intravaskuler. Larutan hipertonik digunakan untuk mengkoreksi hiponatremia pada CSW.
Koreksi konsentrasi Na+ yang rendah harus dilakukan dalam 24-48 jam, dengan kecepatan
peningkatan konsentrasi Na+ plasma < 1 mmol/jam. Koreksi yang terlalu cepat dapat
menyebabkan mielinolisis pontin sentral.1-5

IV. Simpulan
Pasien dengan penyakit pituitari, dalam kasus ini dengan kraniofaringioma yang disertai
dengan disfungsi endokrin dan pertumbuhan abnormal, membutuhkan penatalaksanaan yang
baik mulai dari periode pre operatif, selama operasi sampai periode post operatif.
Peningkatan tekanan intrakranial, disfungsi endokrin dan kemungkinan kesulitan jalan napas
yang berhubungan dengan tubuh yang pendek dan kecil merupakan potensi masalah pada
pasien ini. Penatalaksanaan dan kerja sama yang baik di antara ahli anestesi, ahli bedah dan
ahli endokrin sangat dibutuhkan dan dapat menurunkan mortalitas dan morbiditas
pasienpasien dengan penyakit dan kondisi seperti ini.

Daftar Pustaka

1. Halac I, Zimmerman D. Endocrine manifestations of craniopharyngioma. Childs Nerv


Syst. 2005;21:640-8.

2. Nemergut EC, Dumont AS, Barry UT, Laws ER. Perioperative management of patients
undergoing transphenoidal pituitary surgery. Anesth Analg. 2005;101:1170-81.

3. Smith M, Hirsch NP. Pituitary disease and anaesthesia. Br J Anaesth. 2000;85:3-14.

4. Jane JA, Laws ER. Surgical management of pituitary adenomas. Singapore Med J.
2002;43(6):318-23.

Open Access: www.jpdunud.org 82


LAPORAN KASUS
Jurnal Penyakit Dalam Udayana
Udayana Journal of Internal Medicine Print ISSN: 2580-2925
Volume 1, No 2: 2017 Online ISSN: 2580-2933
5. Okafor UV, Onwuekwe IO, Ezegwui HU. Management of pituitary adenoma with mass
effect in pregnancy: a case report. Cases Journal. 2009;2:1-3.

6. O’Connor M. Acquired Hypopituitarism [document on the internet]. Medpedia News &


Analysis - Medpedia [diunduh 18 Agustus 2012]. Tersedia dari: http://www.medpedia.
com/news_analysis/173-Cushings-Cancer/entri es/51875-Acquired-Hypopituitarism.

7. Buja ML, Krueger GRF. Endocrine System. Dalam: Netter’s Illustrated Human
Pathology. Edisi pertama. Philadelphia: Saunders Elsevier Inc; 2004. 419.

Open Access: www.jpdunud.org 83


LAPORAN KASUS
Jurnal Penyakit Dalam Udayana
Udayana Journal of Internal Medicine Print ISSN: 2580-2925
Volume 1, No 2: 2017 Online ISSN: 2580-2933
PEMBAHASAN

Kraniofaringioma adalah tumor sela dan parasela, 6-10% tumor otak pada anak-anak. Gejala
umumnya seperti peningkatan tekanan intrakranial, sakit kepala, muntah dan gangguan
penggelihatan. Disfungsi endokrin merupakan gambaran umum Kraniofaringioma akibat
lokasi tumor terhadap kelenjar hipotalamus dan pituitari. 50-86% pasien yang memiliki
penyakit tersebut biasanya ditemukan tinggi badannya kurang, sehingga laju pertumbuhannya
tidak normal dan pubertasnya menjadi terlambat. Seorang pasien laki-laki, umur 20 tahun,
mengalami cretin dengan hipopituitarisme sekunder menjalani craniotomy tumor removal
dan penempatan omaya shurt. Seorang laki-laki ini memiliki riwayat sakit kepala sejak 13
tahun yang lalu serta gangguan penggelihatan yang dimulai dari mata kiri dan saat ini ia buta.
Sehingga dia juga mengalami kegagalan pertumbuhan dan pubertas yang terlambat, memiliki
fisik dengan tinggi badan 140 cm dan berat badan 40 kg. Dia memiliki TSHs yang meningkat
dengan T3 dan fT4 yang normal, LH dan FSH yang menurun, prolaktin yang normal, hormon
pertumbuhan yang normal rendah dan kortisol yang menurun. Sehingga teknik anestesia yang
digunakan yaitu anestesia umum.Stimulasi untuk merangsang digunakan dengan fentanyl,
pentotal dan vecurinium dengan kombinasi N2O/O2 dan Isoflurane. Salah satu upaya
pengurangan anestesia dengan isoflurane dan kombinasi N2O/udara. Dan pernapasan
dikontrol dengan dosis inkremental vecuronium untuk mempertahankan relaksasi. Mannitol
dan furosemide diberikan untuk menurunkan tekanan intrakranial.Operasi berlangsung
selama 5 jam. Setelah 5 hari di ICU, pasien kembali keruangan dikemuning. Masalah pada
pasien ini adalah peningkatan tekanan intrakranial, difungsi endokrin dan kemungkinan
kesulitan jalan nafas akibat tubuh yang kecil dikarena pertembuhannya yang kurang baik.
Kortikosteroid merupakan terapi pengganti hotmonal yang biasanya diberikan sebelum
operasi dilakukan. Cara pemberian dosis obat anestesi yaitu dengan menyesuaikan berat
badan pasien tersebut. Tindakan intubasi menggunakan laryngoscope blade dan
endoktracheal tube dengan ukuran yang lebih kecil. Selama operasi berjalan hindari
pemakaian nitrous oxide, digunakan konsentrasi rendah anestesia inhalasi dan penggunaan
dominan anestesia intravena. Pemantauan post opetarif dilakukan di ICU dengan
memperhatikan kemungkinan adanya komplikasi hormonal seperti diabetes insipidus dan
hiponatremia selain pengelolaan nyeri post operatif. Kraniofaringioma merupakan tumor
jinak dengan pertumbuhan yang sangat lambat dan terutama terjadi pada tahun pertama
kehidupan dengan puncak usia diantara 5 sampai 15 tahun. Sekitar 15% tumor ini terdapat
pada tahun ketiga. Keberhasilan penatalaksanaan anestesia dan pembedahan pasien dengan
penyakit pituitari, dalam hal kraniofaringioma, membutuhkan pendekatan multi disiplin dan
sangat tergantung pada kualitas penatalaksanaan perioperatif.

A. Penatalaksanaan Preoperatif

Pemeriksaan pasien yang akan menjalani operasi kraniofaringioma harus melakukan


pemeriksaan meliputi pemeriksaan tanda dan gejala peningkatan tekanan intrakranial, profil
endokrin, efek hiposekresi hormon dan fungsi pengelihataan. 25-71% defisiensi ACTH
dilapotkan terjadi pada anak-anak dengan kraniofaringioma dan dapat menyebabkan
hipotensi dan kematian sealama stres seperti pada saat operasi dan juga ACTH dapat terjadi
selama pembedahan pada pasien yang tidak menu jukkan tanda-tanda defisiensi preoperatif,
sehingga semua pasien dengan kraniofaringioma harus diberikan stress dosis glukokortikoid

Open Access: www.jpdunud.org 84


LAPORAN KASUS
Jurnal Penyakit Dalam Udayana
Udayana Journal of Internal Medicine Print ISSN: 2580-2925
Volume 1, No 2: 2017 Online ISSN: 2580-2933
sebelum pembedahaan dimulai. Dan pasien yang sudah menerima deksametason tidak perlu
lagi membutuhkan dosis steroid tambahan karena dosis deksamentason dosisnya lebih besar
dari dosis fisiplogis yang dibutuhkan . Pada pasien anak-anak dengan defisiensi ACTH, dosis
penggantian hidrokortison tergantung pada usianya. Dosis pemeliharaan hidrokortison harus
disesuaikan seiring pertumbuhan dan peningkatan berat badam anak.Dosis yang berlebihan
dapat menyebabkan tanda dan gejala Cushing syndrome dan menyebabkan hambatan
pertumbuhan sedangkan dosis yang kurang dapat menyebabkan insufisiensi adrenal.
Hidrokokotison diberikan 3x sehari dan lebih disukai anak-anak karena efek restriksi
pertumbuhan yang lebih ringan.

B. Penatalaksanaan Intraoperatif

Penggunaan obot-obatan dengan durasi kerja pendek lebih dianjurkan karena


mempermudahkan dan mempercepat pemulihan pada akhir pembedahaan obat seperti
propofol dan sevofliran. Selama pembedahaan, ventilasi dengan terget normokapia harus
dipertahankan. Opioid dengan durasi kerja pendek diberikan secara titrasi untuk
mempertahankan stabilitas hemodinamik.Pemberian opioid dengan durasi kerja panjang
seperti morfoin intravena atau kodein intramuskuler 20-30 menit sebelum pembedahaan
berakhir dianjurkan supaya pasien tidak bangun dalam keadaan kesakitan.

C. Komplikasi operatif

Operasi dengan pendekatan transkranial karena ukuran tumor yang besar. Pembedahan tumor
pituitari transkranial memilki resiko serupa dengan prosedur intranskranal yang lain.
Kerusakan lobus frontal akibat iskemia karena traksi lama dapat diminimalkan dengan hati-
hati memasang retraktor dan pelepasan berkala dari retraktor. Insiden kejang post operasi
lebih tinggi pada pembedahan subfrontal dibandingkan pendekatan lain. Opioid telah menjadi
analgesia post operatif terutama pada pasien dengan operasi otak selama bertahun-tahun
karena efeknya yang sangat kuat.

D. Hiponatremia

Penyebab seringnya hiponatremia setelah operasi pituitari adalah penggunaan DDAVP yang
berlebihan . Hiponatremia juga dapat disebabkan oleh SIADH karena pelepasan ADH non
apesifik dari terminal neurosekretori pituitari poterior yang berdegenerasi meskipun itu
jarang. Hal ini menyebabkab retensi air dan kehilangan Na+ urine sekunder. Sekitar 7 hari
sampai 10 hari post operatif umumnya bersifat sementara saja.

Open Access: www.jpdunud.org 85


LAPORAN KASUS
Jurnal Penyakit Dalam Udayana
Udayana Journal of Internal Medicine Print ISSN: 2580-2925
Volume 1, No 2: 2017 Online ISSN: 2580-2933

Jurnal Penyakit Dalam Udayana


Vol 1 No 2 (2017): Vol. 1 No. 2 (2017) June-December 2017

Seorang penderita hipopituitarisme akibat kraniofaringioma


Nugraha, Ida Bagus Aditya
(Unknown)
Winarka, Made Arie Dwi
(Unknown)
Budiartha, Anak Agung Gede
(Unknown)

Article Info

Publish Date
13 Nov 2018

Abstract

Hipopituitarisme
merupakan suatu kelainan di bidang endokrinologi yang ditandai
dengan
kurangnya sekresi baik secara total atau sebagian dari hormone
pituitari
anterior atau posterior atau keduanya. Kraniofaringioma merupakan
tumor
intrakranial tersering pada anak-anak dan merupakan tumor tersering
pada region hipotalamus dan hipopituitari. Berikut ini akan dilaporkan
satu kasus hipopituitarisme yang terjadi pada seorang penderita
perempuan usia 15 tahun dengan kraniofaringioma yang juga telah
dilakukan tindakan pembedahan.Diagnosis kraniofaringioma
ditegakkan

Open Access: www.jpdunud.org 86


LAPORAN KASUS
Jurnal Penyakit Dalam Udayana
Udayana Journal of Internal Medicine Print ISSN: 2580-2925
Volume 1, No 2: 2017 Online ISSN: 2580-2933

berdasarkan manifestasi klinis yaitu adanya gangguan pertumbuhan


baik
dari tinggi badan, pertubuhan tulang, rambut pada pubis, ketiak, atau
ekstremitas, pasien tampak lemas, nafsu makan berkurang sedikit, dan
saat kontrol pasien belum haid. Dari pemeriksaan MRI kepala +
kontras
menunjukan adanya massa di intersella sampai supra sella. Diagnosa
hipopituitari didapatkan dari beberapa pemeriksaan hormonal yang
terjadi. Penatalaksanaan yang telah dilakukan yaitu terapi pengganti
hormonal GH, glukokortikoid, tiroksin, dan estradiol. Monitoring
dilakukan tiap 3 bulan awal yang kemudian nantinya dapat diulang
tiap 6
bulan.

Copyrights © 2017

Pembahasan
Hipooituitarisme merupakan bidang endokrinologi yang ditandai
dengan kurangnya sekresi baik secara total maupun sebagian dari
hormone pituitari anterior atau posterior atau keduanya.
Kraniofaringioma merupakan tumor intrakranial tersering pada anak-
anak dan merupakan tumor tersering pada region hipotalamus dan
hipopituitari.
Berikut ini akan dilaporkan satu kasus hipopituitarisme yang terjadi
pada seorang penderita perempuan usia 15 tahun dengan
kraniofaringioma yang juga telah dilakukan tindakan
pembedahan.Diagnosis kraniofaringioma ditegakkan berdasarkan
manifestasi klinis yaitu adanya gangguan pertumbuhan baik dari
tinggi badan, pertubuhan tulang, rambut pada pubis, ketiak, atau
ekstremitas, pasien tampak lemas, nafsu makan berkurang sedikit, dan
saat kontrol pasien belum haid.

Open Access: www.jpdunud.org 87


LAPORAN KASUS
Jurnal Penyakit Dalam Udayana
Udayana Journal of Internal Medicine Print ISSN: 2580-2925
Volume 1, No 2: 2017 Online ISSN: 2580-2933

Dari pemeriksaan MRI kepala + kontras menunjukan adanya massa di


intersella sampai supra sella.
Diagnosa hipopituitari didapatkan dari beberapa pemeriksaan
hormonal yang terjadi. Penatalaksanaan yang telah dilakukan yaitu
terapi pengganti hormonal GH, glukokortikoid, tiroksin, dan estradiol.
Monitoring dilakukan tiap 3 bulan awal yang kemudian nantinya
dapat diulang tiap 6 bulan.

Open Access: www.jpdunud.org 88

Anda mungkin juga menyukai