Anda di halaman 1dari 31

RESUME

PRAKTIK IBADAH

Disusun oleh :

Taufik Hidayat (1177040080)

JURUSAN KIMIA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

TAHUN AKADEMIK 2017/2018


HUKUM-HUKUM HAJI DAN UMRAH
HAJI
Syarat Haji 7 Perkara :
1. Islam
2. Baligh
3. Aqil
4. Merdeka
5. Waktu
6. Mengatahui cara-cara Ibadah Haji/ Umrah
7. Mengetahui amalan Ibadah Haji/Umrah

Rukun Haji 6 Perkara :


1. Ikhram ( Berniat mulai mengerjakan haji atau umrah)
2. Wuquf
3. Thowaf Ifadlah
4. Sa’i
5. Cukur
6. Tertib dalam kebanyakan rukunnya

Wajib Haji 6 Perkara :


1. Ikhram dari miqat
2. Bermalam di Muzdalifah
3. Bermalam di Mina
4. Melontar Jumrah Aqobah
5. Melontar tiga jumrah
6. Menjauhkan yang haram atas yang muhram

UMRAH
Syarat Umrah 7 perkara :
1. Islam
2. Baligh
3. Aqil
4. Merdeka
5. Waktu
6. Mengatahui cara-cara Ibadah Umrah
7. Mengetahui amalan Ibadah Umrah

Rukum Umrah 5 perkara :


1. Ikhram
2. thowaf
3. Sa’i
4. Cukur
5. Tertib

Wajib Umrah 2 perkara :


1. Ikhram dari Miqat
2. Menjauhkan yang haram dari muhram

Perbedaan antara wajib haji dan rukun haji


dalam beribadah haji :
a) Barang yang wajib dapat dibayar dengan DAM
bila ditinggalkan
b) Rukun haji tidak dapat dibayar dengan DAM
Bila ditinggalkan

Amalan Sunnah bagi orang yang hendak Ikhram:


1. Membersihkan diri sebelum ihram dengan membuang kotoran badan dan kuku, kumis,
bulu-bulu ketiak, dan bulu ari-ari
2. Mandi sunnat ihram dengan niat
3. Memakai wangi-wangian sebelum berihram
4. Memakai 2 helai kain putih untuk selendang dan kain bagi laki-laki
5. Sembahyang sunnat ihram dengan niat
6. Membaca talbiyah selama ihram

Lafadz niat mandi ihram :

‫ْت ْال ُغ ْس َل لِال حْ َر ِام هلِل تَ َعالَي‬


ُ ‫نَ َوي‬

Lafadz niat sembahyang sunnat Ikhram :

‫صلِي ُسنَّةَ ْا الحْ َر ِام َر ْك َعتَ ْي ِن هلِل تَ َعالَي‬


َ ُ‫ا‬

Lafadz niat ihram haji :

‫ت بِ ِه هلِل تَ َعالَي‬ َ ‫ْت ْا‬


ُ ‫لح َّج َواَحْ َر ْم‬ ُ ‫نَ َوي‬

Lafadz niat ikhram umrah :

ُ ‫ْت ْال ُع ْم َرةَ َواَحْ َر ْم‬


‫ت بِهَا هلل تَ َعالَي‬ ُ ‫نَ َوي‬

TALBIYAH :
Disunnahkan bagi orang yang ikhram, baik ihram haji ataupun umrah memperbanyak
bacaan talbiyah selama ia ihram, kecuali pada masa towaf, sa’i dan melontar karena masing-
masing ada do’a khusus. Maka habislah talbiyah diwaktu masuk thowaf atau dengan tahallul
awwal. Membaca thowaf dengan mengangkat suara bagi laki-laki sedangkan wanita tidak.
Setelah talbiyah diulang tiga kali diiringi dengan membaca sholawat atas nabi Muhammad
saw. ( yang afdlol sholawa Ibrahimiyah) kemudian berdo’a.

Adapun lafadz talbiyah tersebut :

َ َ‫ك ل‬
.‫ك‬ َ ‫ك َو ْال ُم ْل‬
َ ‫ك الَ َش ِر ْي‬ َ ‫إن ْا‬
َ َ‫لح ْم َد َوالنِّ ْع َمةَ ل‬ َّ َ‫ك لَبَّ ْيك‬
َ َ‫ك ل‬ َ ‫ لَبَّ ْي‬, َ‫ك اللّهُ َّم لَبَّ ْيك‬
َ ‫ك الَ َش ِر ْي‬ َ ‫لَبَّ ْي‬

Kemudian dibaca sholawat Ibrohimiyah yaitu :

‫صلَ ْيةَ َعلَى َسيِّ ِدنَا إِب َْرا ِه ْي َم َو َعلَى َسيِّ ِدنَا‬ َ ‫صلِّ عَل َى َسيِّ ِدنَا ُم َح ّم ٍد َوعَل َى اَ ِل َسيِّ ِدنَا ُم َح ّم ٍد َك َما‬ َ ‫اللّهُ َّم‬
‫ار ْك َعلَى َسيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد َو َعلَى اَ ِل َسيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد َك َما َبا َر ْكتَ َعلَى َسيِّ ِدنَا اِب َْرا ِه ْي َم‬ ِ َ‫وب‬. َ ‫اِب َْرا ِه ْي َم‬
َ َّ‫َو َعلَى اَ ِل َسيِّ ِدنَا اَ ْب َرا ِه ْي َم فىِاْل َعالَ ِم ْينَ اِن‬
‫ك َِح ْمي ٌد َم ِج ْي ٌد‬

Kemudian membaca do’a

ِ ّ‫ك والن‬
. ‫ار‬ ْ ‫ك‬
َ ‫وال َجنَّةَ َواَ ُعوْ ُذبِكَ ِم ْن َسخَ ِط‬ َ ‫ض‬ َ ُ‫اللّهُ َّم اِنّ ِى اَسْأ ل‬
َ ‫ك ِر‬
Disunnatkan membaca talbiyah itu dalam keadaan berdiri, duduk, menungging,
berjalan, berbaring dalam keadaan junub dan haid, dan ketika ada perubahan hal tempat/masa
dan sebagainya.
Do’a ketika melihat sesuatu yang mengagumkan
atau yang dibenci.

‫ْش َعيْشُ ْاالَ ِخ َر ِة‬


َ ‫ك اِ َّن ْال ِعي‬
َ ‫لَبَّ ْي‬

Aku datang memenuhi panggilanmu ya Allah, sesungguhnya hidup yang tenang dan bahagia
yang kekal dan abadi, ialah hidup di akhirat.

PENGERTIAN WUKUF
Wukuf itu hadir ditanah arafah. Waktunya dari tergelincir matahari, hari kesmbilan
bulan haji hingga fajar menyingsing malam kesepuluh bulan haji. Yang wajib padanya yaitu :
1).Hadir seorang muhrim di tanah arafah sekalipun tidak lama, siang ataupun malam tetapi
afdlolnya dari tergelincir matahari hingga maghrib.
2).Orang itu ahli ibadah disaat itu dan tidak sah bagi orang mabuk atau gila.

Sunat-sunat wukuf antara lain :


1). Banyak-banyaklah berdo’a
2). Banyak-banyaklah berdzikir dan bertahlil
3). Banyak-banyak baca talbiyah dengan suara yang agak keras
4). Banyak-banyak membaca Al-Qur’an
5). Banyak-banyak membaca sholawat atas Nabi
6). Bersuci
7). Menghadap Qiblat
8). Hadir hati serta dikosongkan dari segala perkara yang membikin bimbang
9). Mohon ampun kepada Allah
10).Bertobat serta mengingatkan segala kesalahan kita dan banyak lagi segala amalan sunnat.

PENGERTIAN THOWAF
Thowaf ialah mengelilingi Ka’bah 7 X putaran dengan syarat tertentu.
Syarat thowaf ada 9 macam, baik Thowaf rukun haji ataupun Thowaf Umrah dan Thowaf
Wada’ ataupun Thowaf Qudum, Thowaf sunnat dan Thowaf Nazar :
1). Suci dari dua hadats (kecil dan besar) dan najis dibadan, pakaian dan tempat thowafnya.
2) Dimulai dari Hajarul Aswad, dan disitulah mengakhirinya.
3). Menutup aurat
4). Meluruskan fihak kiri badan ke Hajaral Aswad dipermukaan atau diakhir thowaf.
5). Mengirikan Ka’bah dalam perjalanannya.
6).Mengeluarkanbadan dan pakaian (dinding Ka’bah yang dibawah).
7). Thowaf itu 7 X putaran dengan yakin.
8). Tidak Qosad lain dalam perjalanannya kecuali Thowaf.
9). Keadaan Thowaf itu dalam Masjid haram.
AMALAN YANG SUNNAT DALAM THOWAF :
1). Istilam Hajaral Aswad yaitu dengan tangan kanan
2). Mengecup Hajaral Aswad(mencium dengan mulut)
3). Istilam rukun yamani
4). Berjalan kaki dengan tidak bersandal/bersepatu
5). Rahal,yaitu menyegerakan jalan serta dikerapkan langkah pada putaran pertama,kedua dan
ketiga dan menggerakkan kedua pundak.
6). Idtika’ yaitu memutarkan selendang diletakkan tengah selendang itu dibawah pundak
kanannya dan dua ujungnya itu diatas pundak kirinya.
7). Membaca do’a.

Keterangan :
1). Rahal dan Idtika itu hanya bagi laki-laki juga jika hendak Sa’I sesudah Thowaf,kalau tidak
maka tidak disunatkan keduanya.
2). Tidak wajib niat pada Thowaf rukun/ Thowaf wajib dan waf Qudum.
3). Wajib niat pada Thowaf sunat dan Thowaf Qudum bagi yang tidak ihram dan Thowaf
nazar.
4). Sholat Thowaf afdholnya dilakukan dibelakang maqom Ibrahim,jika tempat itu tidak sesak
oleh manusia,dan jika sesak boleh lebih jauh dari tiga zara’,bahkan boleh dilakukan didalam
masjidil Haram,walaupun bukan dibelakang maqom Ibrahim.
5). Istilam dan kecup itu disunatkan kalau tempat itu mengizinkan kalau tidak cukup dengan
isyarat saja dengan tangan kanan,lalu diciumnya,karena berdesak-desak serta menyakiti
manusia hukumnya haram.
6). Kalau kita menyegerakan jalan dalam Thowaf itu karena takut batal,maka Thowaf itu
dianggap batal(tidak jadi) maka harus diulangi lagi dari tempat berubah niat tadi,adapun
Thowaf yang dilakukanya itu tetap dihitung dan jika terdorong oleh manusia beberapa
langkah,maka tidak menjadi apa-apa.
7). Jika batal dalam pertengahan Thowaf/sholat jamaah segera didirikan,padahal Thowaf kita
belum selesai,maka Thowaf itu boleh ditunda dahulu,kemudian nanti dilanjutkan kembali dari
tempat penundaan tersebut,dan yang sudah dilakukannya itu tetap dihitung.

PENGERTIAN SA’I
Sa’i artinya berjalan dari Safa ke Marwah dengan memakai syarat tertentu.
Syarat-syarat Sa’i, baik Sa’i haji atau Umrah ada 5 perkara :
1). Dimulai dari Sofa
2). Disudahi di Marwah
3). Sa’I umrah jatuhnya setelah Thowaf umrah dan Sa’i haji setelah Thowaf qudum atau
Thowaf Ifadhah(rukun haji)
4). Thowaf yang dilakukan setelah Sa’i itu sah.
5). Tujuh kali dengan yaqin.

Sunnat-sunnat dalam Sa’i :


1). Bersuci
2). Menutup aurat
3). Naik ketangga Sofa dan Marwa hingga melihat Baitullah dan pintu Sofa.
4). Membaca do’a dan dzikir ,wirid dari Nabi
5). Muwalat antara 7 putarannya dan antara Thowaf dan Sa’i
6). Mengancik diantara dua pilar hijau bagi laki-laki saja.jika ia kuasa padanya,dan tidak
menyakiti manusia lainnya.

Keterangan :
1). Jika dapat keraguan dalam hitungan,maka diambil lebih kurang,seperti lima kalikah atau
enam,maka diambil lima(5) dan sebagainya.
2). Waktu Sa’I Umrah itu sesudah Thowaf rukun Umrah.Waktu Sa’I haji sesudah Thowaf
qudum atau Thowaf Ifadhah.
PENGERTIAN CUKUR
Yang dimaksud dengan cukur yaitu wajib mengeluarkan tiga helai rambut kepala
dengan dicukur/digunting/dicabut/dibakar.
Pekerjaan yang sunnat dalam cukur
1). Menghadap kiblat
2). Takbir 3 x pada permulaan
3). Takbir setelah selesai daripadanya
4). Berdo’a dan dzikir,setelah selesai padanya.

Catatan
1). Disunnatkan bagi orang botak,yang tidak mempunyai rambut,menjalankan pisau cukur
diatas kulit kepala.
2). Afdhalnya bagi laki-laki mencukur semua rambut kepalanya jika Ihram haji.
3). Bagi yang membuat haji tammatuk itu,disunnatkan baginya menggunting pada Umrahnya
dan cukur pada hajinya.
4). Disunnatkan bagi wanita menggunting rambut kepalanya sekedar ujung jari.

PENGERTIAN TERTIB :
Wajib mendahulukan Ihram atas sekalian rukun dan wajib mendahulukan Wukuf atas
cukur dan Thowaf. Adapun Sa’i maka boleh didahuluinya wukuf ,jika dikerjakan setelah
Thowaf Qudum,kalau tidak maka wajib tertib yakni wajib didahulukan wukuf atasnya.
Jelasnya : Wajib dikerjakan Sa’i itu setelah wukuf dan Thowaf Ifadhah.
Dan tidak wajib tertibantara cukur dan Thowaf rukun,bahkan disunnatkan cukur setelah
melontarkan jumratul aqobah,maka baru Thowaf rukun haji.

PENGERTIAN MIQAT
Yang dikehendaki dengan miqat yaitu waktu dan tempat yang sah ihram haji dan
umrah padanya.Miqat itu terbagi 2(dua) :
1). Miqat Zamani
2). Miqat Makani
Miqad Zamani bagi haji
Masa dan waktu yang sah ihram haji padanya baik haji Ifrad maupun haji Qiran yaitu
dari satu syawal hingga fajar malam sepuluh bulan haji,adapun selain dari waktu tersebut
maka tidak sah berihram haji padanya.
Pengertian Miqad Makani
Yang dikehendaki dengan Miqad Makani yaitu tempat mulai niat ihram,baik ihram
haji maupun umrah.
Catatan :
1). Bagi ahli Makkah dan orang yang ada di Makkah apabila ia hendak ihramhaji itu dari
makkah dan afdhalnya dari sejak keluar dari rumahnya atau di masjidil Haram atau di Hijir
Ismail.Jika ia hendak ihram umrah,maka wajib atasnya keluar keperbatasan tanah halal seperti
JA’RONAH,TA’NIM dan HUDAIBAH diantara tiga tempat tersebut maka yang lebih afdhal
yaitu JA’ROAH kemudian TA’NIM kemudian HUDAIBAH.
2). Bagi orang adanya berdekatan dengan Makkah apabila ia hendak berihram haji umrah
maka dari tempat kediamanya.
3). Miqat orang yang datang dari luar MAKKAH seperti Indonesia,Madinah,Mesir,dan lain-
lainnya dengan maksud beribadah Haji/Umrah,maka mulai Ihram/atau niatnya dari miqat
yang telah ditentukan.seperti orang dari Indonesia yaitu kurang 20 Marhalah dari kota
Makkah (YA LAM LAM).

PENGERTIAN MELONTAR
Arti melontar yaitu menampuk atu menyabit dengan beberapa syarat tertentu.
Syarat melontar ada 8 (delapan)
1). Dengan tangan
2). Dengan memakai batu kerikil
3). Dengan kelakuan orang melontar
4). Meng Qasad akan diadakan tempat melontar
5). Yakin sampai lontaran itu ditempat melontar
6). 7 x dengan yakin pada tiap-tiap jumrah
7). Tertib antara 3 jumrah dimulai dari jumratul Ula,Jumratul Wustho,dan terkhir Jumratul
Aqobah.
8). Melontar setelah masuk waktu.
Pekerjaan yang sunnat dalam melontar.
1). Dengan tangan kanan
2). Keadaan batu itu sekedar besarnya seperti kacang (ful)
3). Mengucapakan takbir setiap batu lontaran
4). Menghadap kiblat,pada ketika melontar dihari Tasyrik.
5). Mengangkat tangan hingga kelihatan ketiak bagi laki-laki dan bagi wanita tidak.
6). Muwallat (sunnat berturut-turut).
Waktu melontar Jumratul Aqobah
Yaitu pada hari kesepuluh bulan haji yaitu dari setengah malam,malam kesepuluh bulan haji
hingga terbenam matahari pada hari sepuluhnya terbit sekedar segalah.
Waktu melontar tiga jumrah pada hari Tasyrik.Waktunya yaitu dari tergelincirnya matahari
pada tiap-tiap hari pada hari tasyrik dan berakhir disaat terbenam matahari pada tiap-tiap hari
pada hari tasyrik,inilah yang dinamai waktu ikhtiar dan berke dinamai Waktu juaz.
Maka barang siapa meluputkan akan dia oleh lontarkan pada hari kesebelas dari hari tasyrik
maka boleh ia melakukanya pada hari tasyrik yang berikutnya,tetapi wajib tertib yaitu :
1). Wajib mendahulukan lontaran hari kesebelas dengan semppurna.
2). Sesudah itu baru melontar pada hari yang hadir itu,hari kedua belas.

Catatan :
1). Lontaran yang tertinggal (luput) itu boleh dilakukan siang atau malam hari Tasyrik yang
berikutnya.
2). Barang siapa yang meninggalkan melontar jumrotul Aqobah, maka boleh dilakukanya
pada hari Tasyrik maka jadilah lontaran itu tunai(ad’an) bukan Qodo’an karena hari raya dan
hari Tasyrik itu ,yaitu waktu ada’an bagi melontar dan tidak dikenai membayar DAM.Jika
tidak dikerjakan akan yang ditinggalkannya itu,didalam hari-hari tasyrik niscaya wajib kena
(membayar DAM).

Waktu cukur dan Thowaf Ifadhah


Waktunya dari tengah malam hari dari tanggal sepuluh haji, hingga akhir umrah.
Waktu menyembelih qurban dan hadiah.Bermula waktunya dariterbit matahari dari tanggal10
bulan haji sekedar segalah hingga akhir dari hari Tasyrik.
PENGERTIAN WAJIB BERMALAM DI MUZDALIFAH
Para jamaah haji setelah Wukuf di Arafah itu diwajibkan bermalam di
“Muzdalifah”dari tengah malam dimalam kesepuluh bula haji sekalipun tidak lama.

Pekerjaan yang sunnat-sunnat


1). Disunnatkan bagi laki-laki yang kuat bermalam di Muzdalifah sampai dengan subuh.
2). Disunnatkan sholat subuh diawal waktu dan lebih afdhol berjamaah(bersama-sama).
3). Disunnatkan bagi wanita dan orang-orang yang lemah berjalan lebih dahulu ke Mina
setelah lewat tengah malam di tanggal 10 bulan haji untuk melontar jumrotul Aqobah.
4). Para jamaah haji berhenti di Masjidil Haram hingga kuning matahari.
5). Para jamaah haji membanyakkan do’a Istigfar Talbiyah dan do’a.

َ ‫َربَّنا َ اَتِنا َ فِى ال ُّد ْنيَا َح َسنَ ِة َوفِىاْالَ ِخ َر ِة َح َسنَ ِة َوقِنَا َع َذ‬
ِ َّ‫اب الن‬
‫ار‬
6). Dan sunnat bagi laki-laki memungut batu,sekedar 7(tujuh) buah untuk melontar
jumrotul Aqobah di Mina pada tanggal 10 bulan haji atau malamnya dan waktu melontar
jumrotul Aqobah yaitu dari pertengahan malam,malam kesepuluh hingga masuk matahari
siangnya.

Keterangan :
Apabila sampai para jamaah haji yang datang dari muzdalifah pada pagi hari, di hari
kesepuluh bulan haji setelah terbit matahari sekedar segalah maka disunnatkan bagi mereka
memulai melontar jumratul ‘aqobah sebelum mengerjakan yang lain-lainnya. Kemudian
barulah menyembelih qurban atau hadiah mereka. Kemudian bercukur rambut kepala/
mengguntingnya, setelah itu baru menurunkan barang-barang mereka di tempat kediaman
mereka di Mina.

PENGERTIAN TAHALLUL
Segala larangan atas orang yan berihram baik ihram haji atau umrah bisa menjadi halal
( tidak terlarang) apabila ia sudah bertahallul.

Untuk haji ada 2 (dua) tahallul


1). Tahallul awwal ( pertama)
Berhasil bertahallul awwal bagi haji, apabila telah melaksanakan dua pekerjaan dari tiga
perkara, yaitu :
- Melontar jumrah Aqobah dan Cukur
atau
- Melontar jumrah Aqobah dan Thowaf Ifadloh
atau
- Thowaf Ifadloh dan Cukur

Tidak wajib tertib antara cukur dan thowaf Ifadloh. Dengan bertahallul awwal , maka menjadi
halal segala larangan ihram kecuali aqad nikah dan jimak, dan pendahuluannya seperti
memandang dengan syahwat dan sebagainya.

2). Tahallul tsani ( kedua)


Berhasil bertahallul tsani bagi haji, apabila sudah mengerjakan satu perkara yan
tertinggal tadi dengan tahallul tsani itu menjadi halal semua larangan tiada kecuali

PENGURUSAN JENAZAH
Berkaitan dengan masalah pengurusan jenazah, ada 4 kewajiban terhadap jenazah
yang mesti dilakukan oleh orang yang hidup. Empat hal ini dihukumi fardhu kifayah, artinya
harus ada sebagian kaum muslimin yang melakukan hal ini terhadap mayit. Jika tidak,
semuanya terkena dosa.
Empat hal yang mesti dilakukan terhadap mayit oleh yang hidup adalah:
1- Memandikan
2- Mengafani
3- Menyolatkan
4- Menguburkan
Empat hal di atas hanya berlaku pada mayit muslim. Adapun mayit kafir, tidak dishalatkan
baik kafir harbi maupun dzimmi. Boleh memandikan orang kafir, namun cuma dalam dua
keadaan. Dan wajib mengafani kafir dzimmi dan menguburkannya, tetapi hal ini tidak berlaku
bagi kafir harbi dan orang yang murtad. Adapun orang yang mati dalam keadaan ihram
(sedang berumrah atau berhaji), jika dikafani, maka kepalanya tidak ditutup.
Berikut kami sebutkan point-point penting yang mesti dilakukan yang terdapat pada empat hal
di atas. Sebagai rujukan utama kami adalah fikih ulama Syafi’i dari penjelasan Al Qodhi Abu
Syuja’ dalam Matan Al Ghoyah wat Taqrib, ditambah beberapa dari penjelasan lainnya.
Memandikan Mayit
Ada dua mayit yang tidak dimandikan: (1) orang yang mati dalam medan perang (mati
syahid), (2) janin yang belum mengeluarkan suara tangisan, ini menurut madzhab Imam
Syafi’i. Sedangkan menurut madzhab Imam Ahmad, yang tidak perlu dimandikan adalah
janin yang keguguran di bawah 4 bulan.
Mayit disiram dengan bilangan ganjil, yaitu boleh tiga, lima kali siraman atau lebih dari itu.
Namun jika mayit disiram dengan sekali siraman saja ke seluruh badannya, maka itu sudah
dikatakan sah.
Pada siraman pertama diperintahkan diberi daun sider (bidara) dan saat ini boleh diganti
dengan air sabun. Sedangkan pada siraman terakhir diberi kapur barus.
Mengafani Mayit
Mengafani mayit dilakukan dengan tiga helai kain berwarna putih, tidak ada pakaian
dan tidak imamah (penutup kepala).
Menyolatkan Mayit
Shalat jenazah terdapat tujuh rukun:
1- Berniat (di dalam hati).
2- Berdiri bagi yang mampu.
3- Melakukan empat kali takbir (tidak ada ruku’ dan sujud).
4- Setelah takbir pertama, membaca Al Fatihah.
5- Setelah takbir kedua, membaca shalawat (minimalnya adalah allahumma sholli ‘ala
Muhammad).
6- Setelah takbir ketiga, membaca doa untuk mayit. Inilah maksud inti dari shalat jenazah.
7- Salam setelah takbir keempat.
Tujuh rukun di atas disebutkan oleh Muhammad Al Khotib dalam kitab Al Iqna’.
Di antara yang bisa dibaca pada do’a setelah takbir ketiga:

ِ ‫ َوا ْغ ِس ْلهُ بِ ْال َما ِء َوالثَّ ْل‬،ُ‫ َو َو ِّس ْع َم ْد َخلَه‬،ُ‫ َوأَ ْك ِر ْم نُ ُزلَه‬،ُ‫ف َع ْنه‬
‫ج‬ ُ ‫اَللَّهُ َّم ا ْغفِرْ لَهُ َوارْ َح ْمهُ َوعَافِ ِه َوا ْع‬
ِ ‫ َوأَ ْب ِد ْلهُ دَارًا خَ ْيرًا ِم ْن د‬،‫َس‬
،‫َار ِه‬ ِ ‫ض ِمنَ ال َّدن‬ َ َ‫ب ْاألَ ْبي‬ َ ْ‫ َونَقِّ ِه ِمنَ ْال َخطَايَا َك َما نَقَّيْتَ الثَّو‬،‫َو ْالبَ َر ِد‬
ِ ‫ب ْالقَب ِْر َو َع َذا‬
‫ب‬ ِ ‫ َوأَ ِع ْذهُ ِم ْن َع َذا‬،َ‫ َوأَ ْد ِخ ْلهُ ْال َجنَّة‬،‫ َو َزوْ جًا خَ ْيرًا ِم ْن زَ وْ ِج ِه‬،‫َوأَ ْهالً خَ ْيرًا ِم ْن أَ ْهلِ ِه‬
ِ َّ‫الن‬
‫ار‬
Allahummaghfirla-hu warham-hu wa ‘aafi-hi wa’fu ‘an-hu wa akrim nuzula-hu, wa wassi’
madkhola-hu, waghsil-hu bil maa-i wats tsalji wal barod wa naqqi-hi minal khothoyaa kamaa
naqqoitats tsaubal abyadho minad danaas, wa abdil-hu daaron khoirom min daari-hi, wa ahlan
khoirom min ahli-hi, wa zawjan khoirom min zawji-hi, wa ad-khilkul jannata, wa a’idz-hu
min ‘adzabil qobri wa ‘adzabin naar.
“Ya Allah! Ampunilah dia (mayat) berilah rahmat kepadanya, selamatkanlah dia (dari
beberapa hal yang tidak disukai), maafkanlah dia dan tempatkanlah di tempat yang mulia
(Surga), luaskan kuburannya, mandikan dia dengan air salju dan air es. Bersihkan dia dari
segala kesalahan, sebagaimana Engkau membersihkan baju yang putih dari kotoran, berilah
rumah yang lebih baik dari rumahnya (di dunia), berilah keluarga (atau istri di Surga) yang
lebih baik daripada keluarganya (di dunia), istri (atau suami) yang lebih baik daripada istrinya
(atau suaminya), dan masukkan dia ke Surga, jagalah dia dari siksa kubur dan Neraka.” (HR.
Muslim no. 963)
Catatan: Do’a di atas berlaku untuk mayit laki-laki. Jika mayit perempuan, maka kata –hu
atau –hi diganti dengan –haa. Contoh “Allahummaghfirla-haa warham-haa …”. Do’a di atas
dibaca setelah takbir ketiga dari shalat jenazah.
Do’a khusus untuk mayit anak kecil:

‫اَللَّهُ َّم اجْ َع ْلهُ لَنَا فَ َرطًا َو َسلَفًا َوأَجْ رًا‬


Allahummaj’ahu lanaa farothon wa salafan wa ajron
“Ya Allah! Jadikan kematian anak ini sebagai simpanan pahala dan amal baik serta pahala
buat kami”. (HR. Bukhari secara mu’allaq -tanpa sanad- dalam Kitab Al-Janaiz, 65 bab
Membaca Fatihatul Kitab Atas Jenazah 2: 113)
Do’a setelah takbir keempat:

ُ‫اللَّهُ َّم الَ تَحْ ِر ْمنَا أَجْ َرهُ َوالَ تَ ْفتِ َّن بَ ْع َدهُ َوا ْغفِرْ لَنا َ َولَه‬
Allahumma laa tahrimnaa ajro-hu wa laa taftinnaa ba’da-hu waghfir lanaa wa la-hu
“Ya Allah! Jangan menghalangi kami untuk tidak memperoleh pahalanya dan jangan sesatkan
kami sepeninggalnya, ampunilah kami dan ampunilah dia”.
Untuk mayit perempuan, kata –hu diganti –haa.
Menguburkan Mayit
Mayit dikuburkan di liang lahat dengan diarahkan ke arah kiblat.

Bentuk Liang Lahat (Rumaysho.Com)


Mayit dimasukkan dalam kubur dengan mengakhirkan kepala dan dimasukkan dengan lemah
lembut.
Bagi yang memasukkan ke liang lahat hendaklah mengucapkan: Bismillah wa ‘alaa millati
rosulillah (Dengan nama Allah dan di atas ajaran Rasulullah).
Larangan Terhadap Kubur
Dilarang mendirikan bangunan di atas kubur dan tidak boleh kubur disemen. Ini pendapat
dalam madzhab Syafi’i namun banyak diselisihi oleh kaum muslimin di negeri kita karena
kubur yang ada saat ini dipasang kijing, marmer dan atap.
Padahal terdapat hadits, dari Jabir, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang dari memberi semen pada kubur, duduk di atas kubur dan memberi bangunan di atas
kubur.” (HR. Muslim no. 970). Sudah dibahas oleh Rumaysho.Com: Memasang Kijing,
Marmer dan Atap di Atas Kubur.
Terhadap Keluarga Mayit
Boleh menangisi mayit asal tidak dengan niyahah (meratap atau meraung-raung dengan suara
teriak atau keras), diharapkan keluarga sabar dan ridho.
Disunnahkan menta’ziyah keluarga mayit hingga hari ketiga setelah pemakaman.
Masing-masing dari point di atas, insya Allah akan disajikan dalam bahasan tersendiri di
Rumaysho.Com.
Hanya Allah yang memberi taufik.

PENYEMBELIHAN
Pengertian Penyembelihan
Dalam hukum Islam semua jenis binatang yang tidak ditegaskan tentang
keharamannya berarti halal untuk dimakan. Akan tetapi dalam memperoleh daging yang halal
tentu harus menyembelihnya terlebih dahulu kecuali ikan dan belalang.
Dalam penyembelihan pun tidak asal mematikan binatang begitu saja, tetapi harus sesuia
dengan ketentuan-ketentuan syara’. Penyembelihan yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan
syara’ akan menjadikan binatang yang disembelih itu baik,suci dan halal dimakan.
Sebaliknya, apabila menyembelihnya salah maka binatang yang sebenarnya halal dapat
berubah menjadi haram.
Yang dimaksud dengan penyembelihan binatang adalah mematikan binatang yang halal agar
halal dimakan dengan memotong tenggorokan, jalan makanan, dan urat nadi pokok di
lehernya dengan menggunakan alat yang tajam sehingga memudahkan kematiannya.

Tujuan Penyembelihan
Tujuan penyembelihan adalah untuk membedakan apakah binatang yang telah mati itu
halal atau haram dimakan. Binatang yang disembelih sesuai dengan ketentuan-ketentuan
syara’ maka dagingnya halal dimakan, sedangkan binatang yang mati tanpa disembelih atau
disembelih tetapi tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan syara’, seperti bangkai, binatang
yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah dan sebagainya maka dagingnya haram
dimakan.
Syarat – Syarat Penyembelihan
a. Orang yang menyembelih :
1. Islam
Binatang yang disembelih oleh orang musyrik/kafir hukumnya tidak sah dan dagingnya haram
dimakan. berdasarkan firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Maidah : 3
“..Diharamkan bagimu (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, …dan hewan
yang disembelih untuk berhala itu haram bagimu...”
2. Berakal Sehat
Penyembelihan yang dilakukan oleh orang gila hukumnya tidak sah dan daging
binatang yang disembelihnya hukumnya haram.
3. Mumayyiz
Mumayyiz adalah dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk. Penyembelihan ynag
dilakukan oleh anak-anak hukumnya tidak sah.
b. Alat penyembelih
Alat penyembelihan boleh menggunakan alat apapun asal alat itu tajam dan dapat memutus
tenggorokan dan urat nadi besar di leher binatang yang disembelih.
Rasulullah memerintahkan agar selalu melakukan sembelihan itu dengan sebaik-baiknya,
sehingga binatang yang disembelih itu tidak terlalu merasa sakit, tubuhnya dalam keadaan
baik, tidak rusak atau hancur.
Menyembelih boleh dengan segala sesuatu yang dapat mengalirkan darah, selain gigi dan
tulang. Dari Abayah bin Rifa’ah dari kakeknya bahwa ia bertutur, “Ya Rasulullah, kami tidak
memiliki pisau sembelih.” Kemudian Beliau bersabda, “Apa saja yang dapat mengalirkan
darah dan disebut nama Allah (waktu menyembelihnya), maka makanlah. Selain kuku dan
gigi. Adapun kuku adalah alat sembelih orang-orang kafir Habasyah, sedangkan gigi adalah
tulang.” (Muttafaqun’alaih: Fathul Bari IX: 631 no: 5503, Muslim III: 1558 no: 1986, ‘Aunul
Ma’bud VIII: 17 no: 2804, Tirmidzi III: 25 no: 1522, Nasa’I VII: 226 dan Ibnu Majah II:
1061 no: 3178)
Dari Syaddad bin Aus ra ia bertutur: Ada dua hal yang kuhafal dari Rasulullah saw, yaitu
Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan (atas kita) berbuat baik kepada
segala sesuatu. Oleh karena itu, apabila kamu hendak membunuh, maka bunuhlah dengan cara
yang baik; dan apabila kamu hendak menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik
pula, dan hendaklah seorang di antara kamu mengasah (menajamkan) parangnya lalu
percepatlah (jalannya pisau ketika menyembelih) binatang sembelihannya!” (Shahih: Irwa-ul
Ghalil no: 2540, Muslim III: 1548 no: 1955, Tirmidzi II: 431 no: 1430, ‘Aunul Ma’bud VIII:
10 no: 2797, Nasa’i VII: 227 dan Ibnu Majah II: 1058 no: 3170).
Tidak diperbolehkannya menggunakan tulang dan kuku. Dalilnya adalah hadits Rofi’ bin
Khodij:

َ ِ‫ َو َسأ ُ َح ِّدثُ ُك ْم ع َْن َذل‬، ‫الظفُ َر‬


‫ أَ َّما الس ُِّّن‬، ‫ك‬ َ ‫ لَي‬، ُ‫ فَ ُكلُوه‬، ‫َما أَ ْنهَ َر ال َّد َم َو ُذ ِك َر ا ْس ُم هَّللا ِ َعلَ ْي ِه‬
ُّ ‫ْس الس َِّّن َو‬
‫الظفُ ُر فَ ُمدَى ْال َحبَ َش ِة‬ ُّ ‫ظ ٌم َوأَ َّما‬ ْ ‫فَ َع‬
“Segala sesuatu yang mengalirkan darah dan disebut nama Allah ketika menyembelihnya,
silakan kalian makan, asalkan yang digunakan bukanlah gigi dan kuku. Aku akan
memberitahukan pada kalian mengapa hal ini dilarang. Adapun gigi, ia termasuk tulang.
Sedangkan kuku adalah alat penyembelihan yang dipakai penduduk Habasyah (sekarang
bernama Ethiopia).”

Tata Cara Menyembelih


Hewan terbagi dua: yaitu hewan yang dapat disembelih dan hewan yang tidak dapat
disembelih. Adapun binatang yang gampang disembelih, maka tempat penyembelihannya
adalah pada tenggorokan dan di bawah leher, sedangkan hewan yang tidak bisa disembelih,
maka cara menyembelihnya adalah dengan jalan menikam lehernya tatkala mampu
menguasainya.
Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata, “Penyembelihan adalah di tenggorokan dan di pangkal leher.”
Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan Anas ra, berkata, ”Apabila kepala terputus, maka tidak jadi
masalah.” Dari Rafi’ bin Khadij ra bahwa ia berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya besok
kami akan berhadapan dengan musuh, sedangkan kami tidak mempunyai senjata tajam.
Maka sabda Beliau, “Segeralah sembelih, segala sesuatu yang bisa mengalirkan darah dan
disebut nama Allah (pada waktu menyembelihnya), maka makanlah, selain gigi dan kuku.
Dan saya akan menguraikan kepadamu, adapun gigi, ia adalah tulang, sedangkan kuku adalah
alat sembelih orang-orang Habasyah.” Dan, kami mendapatkan rampasan perang berupa unta
dan kambing. Kemudian ada unta yang kabur, lalu dipanah oleh seseorang hingga ia berhasil
menangkapnya. Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya diantara unta-unta ini
ada yang liar seperti liarnya binatang buas. Maka jika di antara mereka ada yang sempat
membuat kamu kerepotan, maka lakukanlah begini kepadanya (yaitu panahlah di lehernya,
atau bunuhlah kemudian makanlah).” (Shahihul Jami’ no: 2185).
Sunnah dalam Penyembelihan
Ada beberapa perbuatan yang sunnat hukumnya dilakukan waktu menyembelih
binatang, yaitu:
1. Menghadapkan binatang yang akan di sembelih itu ke kiblat. Sekalipun tidak ada nash
yang menerangkannya, tetapi para ulama sependapat dalam hal ini. Alasannya ialah bahwa
menyembelih binatang itu adalah perbuatan baik, karena itu baik pula dihadapkan ke kiblat.
2. Meniatkan penyembelihan binatang itu semata-mata karena Allah dan sesuai pula
dengan ketentuan-ketentuan syara’. Rasulullah saw melarang sesuatu penyembelihan yang
dilakukan menyimpang dari ketentuan dan tujuan syara’.seperti menyembelih binatang untuk
main-main saja. Berdasarkan hadist: yang artinya: “Sesungguhnya Nabi bersabda:
‘Barangsiapa yang membunuh burung dengan tujuan bermain-main, maka burung itu akan
berbunyi dengan sedih sampai hari kiamat dengan mengatakan: Ya Tuhan, sesungguhnya si
Fulan telah membunuhku dengan tujuan ermain-main, ia tidak membunuhku untuk satu
tujuan yang bermanfaat”.
3. Membiarkan binatang yang disembelih itu sampai mati. Setelah jelas kematiannya
barulah dibersihkan, sesuai dengan hadist: yang artinya: “Dari Abu Hurairah bahwasanya
Rasulullah saw berkata : “ Janganlah kamu menyegerakan keluarnya jiwa (binatang yang di
sembelih dari badannya) sebelum jiwa itu keluar (dengan sendirinya)”
Adab dalam Penyembelihan
Ø Pertama: Berbuat ihsan (berbuat baik terhadap hewan)
Dari Syadad bin Aus, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

‫اإلحْ َسانَ َعلَى ُك ِّل َش ْى ٍء فَإ ِ َذا قَت َْلتُ ْم فَأَحْ ِسنُوا ْالقِ ْتلَةَ َوإِ َذا َذبَحْ تُ ْم فَأَحْ ِسنُوا ال َّذ ْب َح َو ْلي ُِح َّد‬ ِ ‫َب‬ َ ‫إِ َّن هَّللا َ َكت‬
ُ‫أَ َح ُد ُك ْم َش ْف َرتَهُ فَ ْلي ُِرحْ َذبِي َحتَه‬
“Sesungguhnya Allah memerintahkan agar berbuat baik terhadap segala sesuatu. Jika kalian
hendak membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik. Jika kalian hendak menyembelih,
maka sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaklah kalian menajamkan pisaunya dan
senangkanlah hewan yang akan disembelih”
Di antara bentuk berbuat ihsan adalah tidak menampakkan pisau atau menajamkan pisau di
hadapan hewan yang akan disembelih. Dari Ibnu ’Abbasradhiyallaahu ’anhuma, ia berkata,

‫أَتُ ِر ْي ُد أَ ْن تَ ِم ْيتَهَا َموْ تَات هَالَ َح َددْتَ َش ْف َرتَكَ قَ ْب َل أَ ْن تَضْ َج َعهَا‬


”Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengamati seseorang yang meletakkan kakinya di
atas pipi (sisi) kambing dalam keadaan ia mengasah pisaunya, sedangkan kambing itu
memandang kepadanya. Lantas Nabi berkata, “Apakah sebelum ini kamu hendak
mematikannya dengan beberapa kali kematian?! Hendaklah pisaumu sudah diasah sebelum
engkau membaringkannya”
Ø Kedua: Membaringkan hewan di sisi sebelah kiri, memegang pisau dengan tangan kanan
dan menahan kepala hewan ketika menyembelih
Membaringkan hewan termasuk perlakuan terbaik pada hewan dan disepakati oleh para
ulama. Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah

‫ك فِى َس َوا ٍد َويَ ْنظُ ُر‬ ُ ‫ش أَ ْق َرنَ يَطَأ ُ فِى َس َوا ٍد َويَ ْب ُر‬ ٍ ‫ أَ َم َر بِ َك ْب‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ُول هَّللا‬ َ ‫أَ َّن َرس‬
.» ‫ثُ َّم قَا َل « ا ْش َح ِذيهَا بِ َح َج ٍر‬.» َ‫ِّى بِ ِه فَقَا َل لَهَا « يَا عَائِ َشةُ هَلُ ِّمى ْال ُم ْديَة‬ َ ‫ضح‬ َ ُ‫فِى َس َوا ٍد فَأُتِ َى بِ ِه لِي‬
َ َ‫ْش فَأَضْ َج َعهُ ثُ َّم َذبَ َحهُ ثُ َّم ق‬
‫ال « بِاس ِْم هَّللا ِ اللَّهُ َّم تَقَبَّلْ ِم ْن ُم َح َّم ٍد َوآ ِل‬ َ ‫ت ثُ َّم أَ َخ َذهَا َوأَخَ َذ ْال َكب‬ْ َ‫فَفَ َعل‬
َ ‫ ثُ َّم‬.» ‫ُم َح َّم ٍد َو ِم ْن أُ َّم ِة ُم َح َّم ٍد‬
.‫ضحَّى بِ ِه‬
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam meminta diambilkan seekor kambing kibasy.
Beliau berjalan dan berdiri serta melepas pandangannya di tengah orang banyak. Kemudian
beliau dibawakan seekor kambing kibasy untuk beliau buat qurban. Beliau berkata kepada
‘Aisyah, “Wahai ‘Aisyah, bawakan kepadaku pisau”. Beliau melanjutkan, “Asahlah pisau itu
dengan batu”. ‘Aisyah pun mengasahnya. Lalu beliau membaringkan kambing itu, kemudian
beliau bersiap menyembelihnya, lalu mengucapkan, “Bismillah. Ya Allah, terimalah qurban
ini dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan umat”. Kemudian beliau menyembelihnya.
An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Hadits ini menunjukkan dianjurkannya
membaringkan kambing ketika akan disembelih dan tidak boleh disembelih dalam keadaan
kambing berdiri atau berlutut, tetapi yang tepat adalah dalam keadaan berbaring. Cara seperti
ini adalah perlakuan terbaik bagi kambing tersebut. Hadits-hadits yang ada pun menuntunkan
demikian. Juga hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Juga berdasarkan kesepakatan
ulama dan yang sering dipraktekan kaum muslimin bahwa hewan yang akan disembelih
dibaringkan di sisi kirinya. Cara ini lebih mudah bagi orang yang akan menyembelih dalam
mengambil pisau dengan tangan kanan dan menahan kepala hewan dengan tangan kiri
Ø Ketiga: Meletakkan kaki di sisi leher hewan
Anas berkata:
“Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam berqurban dengan dua ekor kambing kibasy putih. Aku
melihat beliau menginjak kakinya di pangkal leher dua kambing itu. Lalu beliau membaca
basmalah dan takbir, kemudian beliau menyembelih keduanya.”
Ibnu Hajar memberi keterangan, “Dianjurkan meletakkan kaki di sisi kanan hewan qurban.
Para ulama telah sepakat bahwa membaringkan hewan tadi adalah pada sisi kirinya. Lalu kaki
si penyembelih diletakkan di sisi kanan agar mudah untuk menyembelih dan mudah
mengambil pisau dengan tangan kanan. Begitu pula seperti ini akan semakin mudah
memegang kepala hewan tadi dengan tangan kiri
Ø Keempat: Menghadapkan hewan ke arah kiblat
Dari Nafi’:

.‫أَ َّن اِ ْبنَ ُع َم َر َكانَ يَ ْك َرهُ أَ ْن يَأْ ُك َل َذبِي َْحةَ َذب ِْح ِه لِ َغي ِْر القِ ْبلَ ِة‬
“Sesungguhnya Ibnu Umar tidak suka memakan daging hewan yang disembelih dengan tidak
menghadap kiblat.” Syaikh Abu Malik menjelaskan bahwa menghadapkan hewan ke arah
kiblat bukanlah syarat dalam penyembelihan. Jika memang hal ini adalah syarat, tentu Allah
akan menjelaskannya. Namun hal ini hanya mustahab (dianjurkan).
Ø Kelima dan Keenam: Mengucapkan tasmiyah (basmalah) dan takbir
Ketika akan menyembelih disyari’atkan membaca "Bismillaahi wallaahu akbar", sebagaimana
dalam hadits Anas bin Malik di atas. Untuk bacaanbismillah (tidak perlu ditambahi Ar
Rahman dan Ar Rahiim) hukumnya wajib sebagaimana telah dijelaskan di muka. Adapun
bacaan takbir – Allahu akbar – para ulama sepakat kalau hukum membaca takbir ketika
menyembelih ini adalah sunnah dan bukan wajib.
Kemudian diikuti bacaan: “hadza minka wa laka.” (HR. Abu Dawud 2795) atau “hadza minka
wa laka ’anni atau ’an fulan (disebutkan nama shahibul qurban).”
Berdoa agar Allah menerima qurbannya dengan doa, ”Allahumma taqabbal minni atau min
fulan (disebutkan nama shahibul qurban).
G. Penyembelihan di Masyarakat
Untuk mengetahui penyembelihan di masyarakat mengenai cara
penyembelihan, Kami mengadakan kunjungan dengan tujuan penelitian ke sebuah warung
sate yang terletak di Jalan Raya Boyolangu-Campurdarat, Dsn. Dadapan RT. 004 RW. 001
Ds. Boyolangu Kec. Boyolangu Kab. Tulungagung. Untuk lebih jelasnya, Kami telah
mengambil gambarnya.
Setelah Kami melakukan penelitian disana, Kami dapat menuliskan kasus di warung sate ini,
diantaranya sebagai berikut :
1. Kesunahan penyembelihan yang dilupakan, yaitu dalam hal penempatan posisi hewan.
Di bagian atas sudah dijelaskan bagaimana posisi hewan yang disunnahkan dalam Islam.
Tanpa Kami tanya, pemilik kambing sadar dan menjelaskan pada Kami bahwa kondisi tempat
penyembelihan yang tidak memungkinkan, sehingga posisi yang seperti itu tidak bisa
sditerapkan.
2. Kebersihan yang kurang dijaga. Biasanya darah hewan setelah penyembelihan langsung
disiram air dan dibersihkan. Tetapi tidak untuk penyembelihan disana. Darah hewan dibiarkan
begitu saja sampai proses penyembelihan selesai, bahkan sampai darahnya menggumpal.
Kami tidak sempat menanyakan hal ini karena baru menyadarinya setelah Kami
meninggalkan tempat itu.
3. Di proses penyembelihan ini, kepala hewan yang disembelih langsung dipotong sampai
putus. Padahal ini termasuk makruh dalam Islam. Pemilik menjelaskan, hal ini dilakukan
dengan tujuan, sambil menunggu hewan benar-benar mati maka kepala yang telah terpisah
dari tubuh hewan tadi bisa langsung dikuliti dan dibersihkan sehingga bisa mempersingkat
waktu

MUNAKAHAT
PENGERTIAN MUNAKAHAT ( PERNIKAHAN )
Kata nikah berasal dari bahasa arab yang didalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan
dengan perkawinan. Nikah menurut istilah syariat Islam adalah akad yang menghalalkan
pergaulan antara laki - laki dan perempuan yang tidak ada hubungan Mahram sehingga
dengan akad tersebut terjadi hak dan kewjiban antara kedua insan.
Pengertian Nikah secara bahasa : kumpulan, bersetubuh, akad. secara syar’i : dihalalkannya
seorang lelaki dan untuk perempuan bersenangg-senang, melakukan hubungan seksual, dll .
Hubungan antara seorang laki - laki dan perempuan adalah merupakan tuntunan yang telah
diciptakan oleh Allah SWT dan untuk menghalalkan hubungan ini maka disyariatkanlah akad
nikah. Pergaulan antara laki - laki dn perempuan yang diatur dengan pernikahan ini akan
membawa keharmonisan, keberkahan dan kesejahteraan baik bagi laki - laki maupun
perempuan, bagi keturunan diantara keduanya bahkan bagi masyarakat yang berada
disekeliling kedua insan tersebut.
Berbeda dengan pergaulan antara laki - laki dan perempuan yang tidak dibina dengan sarana
pernikahan akan membawa malapetaka baik bagi kedua insan itu, keturunannya dan
masyarakat disekelilingnya. Pergaulan yang diikat dengan tali pernikahan akan membawa
mereka menjadi satu dalam urusan kehidupan sehingga antara keduanya itu dapat menjadi
hubungan saling tolong menolong, dapat menciptkan kebaikan bagi keduanya dan menjaga
kejahatan yang mungkin akan menimpa kedua belah pihak itu. Dengan pernikahan seseorang
juga akan terpelihara dari kebinasaan hawa nafsunya.
Allah SWT berfirman dalam surat An - Nisa Ayat 3 sebagai berikut :
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya”.(Qs. An-Nisaa: 3).

Ayat ini memerintahkan kepada orang laki - laki yang sudah mampu untuk melaksanakan
nikah. Adapun yang dimaksud adil dalam ayat ini adalah adil didalam memberikan kepada
istri berupa pakaian, tempat, giliran dan lain - lain yang bersifat lahiriah. Ayat ini juga
menerangkan bahwa islam memperbolehkan poligami dengan syarat - syarat tertentu.
HUKUM DAN DALILNYA
Pada dasarnya Islam sangat menganjurkan kepada umatnya yang sudah mampu untuk
menikah. Namun karena adanya beberapa kondisi yang bermacam - macam, maka hukum
nikah ini dapat dibagi menjadi lima macam.
a. Sunnah, bagi orang yang berkehendak dan baginya yang mempunyai biaya sehingga
dapat memberikan nafkah kepada istrinya dan keperluan - keperluan lain yang mesti dipenuhi.
b. Wajib, bagi orang yang mampu melaksanakan pernikahan dan kalau tidak menikah ia
akan terjerumus dalam perzinaan. Sabda Nabi Muhammad SAW :
“Hai golongan pemuda, barang siapa diantara kamu yang cukup biaya maka hendaklah
menikah. Karena sesumgguhnya nikah itu enghalangi pandangan (terhadap yang dilarang oleh
agama.) dan memlihara kehormatan. Dan barang siapa yang tidak sanggup, maka hendaklah
ia berpuasa. Karena puasa itu adalah perisai baginya.” (HR Bukhari Muslim).
c. Makruh, bagi orang yang tidak mampu untuk melaksanakan pernikahan Karena tidak
mampu memberikan belanja kepada istrinya atau kemungkinan lain lemah syahwat. Firman
Allah SWT :
“Hendaklah menahan diri orang - orang yang tidak memperoleh (biaya) untuk nikah, hingga
Allah mencukupkan dengan sebagian karunia-Nya.” (An Nur / 24:33)
d. Haram, bagi orang yang ingin menikahi dengan niat untuk menyakiti istrinya atau menyia
- nyiakannya. Hukum haram ini juga terkena bagi orang yang tidak mampu memberi belanja
kepada istrinya, sedang nafsunya tidak mendesak.
e. Mubah, bagi orang - orang yang tidak terdesak oleh hal - hal yang mengharuskan segera
nikah atau yang mengharamkannya.
SYARAT DAN RUKUN MUNAKAHAT
Rukun nikah ada lima macam, yaitu :
a. Calon suami
Calon suami harus memenuhi syarat - syarat sebagai berikut :
1) Beragama Islam
2) Benar - benar pria
3) Tidak dipaksa
4) Bukan mahram calon istri
5) Tidak sedang ihram, haji, atau umroh
6) Usia sekurang - kurangnya 19 Tahun
b. Calon istri
Calon istri harus memiliki syarat - syarat sebagai berikut :
1) Beragama Islam
2) Benar - benar perempuan
3) Tidak dipaksa,
4) Halal bagi calon suami
5) Bukan mahram calon suami
6) Tidak sedang ihram, haji, atau umroh
7) Usia sekurang - kurangnya 16 Tahun
c. Wali
Wali harus memenuhi syarat - syarat sebagi berikut :
1) Beragama Islam
2) Baligh (dewasa)
3) Berakal Sehat
4) Tidak sedang ihram, haji, atau umroh
5) Adil (tidak fasik)
6) Mempunyai hak untuk menjadi wali
7) Laki – laki
d. Dua orang saksi
Dua orang saksi harus memenuhi syarat - syarat sebagai berikut :
1) Islam
2) Baligh (dewasa)
3) Berakal Sehat
4) Tidak sedang ihram, haji, atau umroh
5) Adil (tidak fasik)
6) Mengerti maksud akad nikah
7) Laki – laki
Pernikahan yang dilakukan tanpa saksi tidak sah. Sabda Nabi SAW:
“Tidak sah nikah melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang adil.” (Riwayat Ahmad.)
e. Ijab dan Qabul
ZZ Allah dan kamu menghalalkan mereka dengan kalimat Allah”. (HR. Muslim).
HIKMAH DAN TUJUAN NIKAH
1. Perkawinan Dapat Menentramkan Jiwa
Dengan perkawinan orang dapat memenuhi tuntutan nasu seksualnya dengan rasa aman dan
tenang, dalam suasana cinta kasih, dan ketenangan lahir dan batin. Firman Allah SWT :
Artinya: “ Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-
isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.(Qs.Ar-Ruum:21).
2. Perkawinan dapat Menghindarkan Perbuatan maksiad.
Salah satu kodrat manusia adalah penyaluran kodrat biologis. Dorongan biologis
dalam rangka kelangsugan hidup manusia berwujud nafsu seksual yang harus mendapat
penyaluran sebagaimana mestinya. Penyaluran nafsu seksual yang tidak semestinya akan
menimbulkan berbagai perbuatan maksiat, seperti perzinaan yang dapat megakibatkan dosa
dan beberapa penyakit yang mencelakakan. Dengan melakukan perkawinan akan terbuaka
jalan untuk menyalurkan kebutuhan biologis secara benar dan terhindar dari perbuatan -
pebuatan maksiad.
3. Perkawinan untuk Melanjutkan Keturunan
Dalam surah An Nisa ayat 1 ditegaskan bahwa manusia diciptakan dari yang satu,
kemudian dijadika baginya istri, dan dari keduanya itu berkembang biak menjadi manusia
yang banyak, terdiri dari laki - laki dan perempuan. Memang manusia bisa berkembang biak
tanpa melalui pernikahan, tetapi akibatnya akan tidak jelas asal usulnya / jalur silsilah
keturunannya. Dengan demikian, jelas bahwa perkawinan dapat melestarikan keturunan dan
menunjang nilai - nilai kemanusiaan.
Tujuan Nikah ditinjau dari: TUJUAN FISIOLOGIS Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat
menjadi :
a. Tempat semua anggota keluarga mendapatkan sarana berteduh yang baik & nyaman.
b. Tempat semua anggota keluarga mendapatkan kosumsi makan-minum-pakaian yang
memadai.
c. Tempat suami-isteri dapat memenuhi kebutuhan biologisnya.
TUJUAN PSIKOLOGIS Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
a. Tempat semua anggota keluarga diterima keberadaannya secara wajar & apa adanya.
b. Tempat semua anggota keluarga mendapat pengakuan secara wajar dan nyaman.
c. Tempat semua anggota keluarga mendapat dukungan psikologis bagi perkembangan
jiwanya.
d. Basis pembentukan identitas, citra dan konsep diri para anggota keluarga.
TUJUAN SOSIOLOGIS Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
a. Lingkungan pertama dan terbaik bagi segenap anggota keluarga.
b. Unit sosial terkecil yang menjembatani interaksi positif antara individu anggota keluarga
dengan masyarakat sebagai unit sosial yang lebih besar.
TUJUAN DA’WAH Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi:
a. Menjadi obyek wajib da’wah pertama bagi sang da’i
b. Menjadi prototipe keluarga muslim ideal (bagian dari pesona islam) bagi masyarakat
muslim dan nonmuslim.
c. Setiap anggota keluarga menjadi partisipan aktif-kontributif dalam da’wah.
d. Memberi antibodi/imunitas bagi anggota keluarga dari kebatilan dan kemaksiatan Islam
tidak mensyari’atkan sesuatu melainkan dibaliknya terdapat kandungan keutamaan dan
hikmah yang besar. Demikian pula dalam nikah, terdapat beberapa hikmah dan maslahat bagi
pelaksananya:
1. Sarana pemenuh kebutuhan biologis (QS. Ar Ruum : 21)
2. Sarana menggapai kedamaian & ketenteraman jiwa (QS. Ar Ruum : 21)
3. Sarana menggapai kesinambungan peradaban manusia (QS. An Nisaa’ : 1, An Nahl : 72)
Rasulullah berkata : “Nikahlah, supaya kamu berkembang menjadi banyak. Sesungguhnya
saya akan membanggakan banyaknya jumlah ummatku.” (HR. Baihaqi)
4. Sarana untuk menyelamatkan manusia dari dekadensi moral.
Rasulullah pernah berkata kepada sekelompok pemuda : “Wahai pemuda, barang siapa
diantara kalian mampu kawin, maka kawinlah. Sebab ia lebih dapat menundukkan pandangan
dan menjaga kemaluan. Namun jika belum mampu, maka berpuasalah, karena sesungguhnya
puasa itu sebagai wija’ (pengekang syahwat) baginya.” (HR Bukhari dan Muslim dalam Kitab
Shaum)
PEMINANGAN (KHITBAH) SEBELUM PELAKSANAAN PERNIKAHAN
1. Definisi Peminangan
Beberapa ahli Fiqih berbeda pendapat dalam pendefinisian peminangan. Beberapa
diantaranya adalah sebagai berikut:
Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa pinangan (khitbah) adalah pernyataan seorang lelaki
kepada seorang perempuan bahwasanya ia ingin menikahinya, baik langsung kepada
perempuan tersebut maupun kepada walinya. Penyampaian maksud ini boleh secara langsung
ataupun dengan perwakilan wali.
Adapun Sayyid Sabiq, dengan ringkas mendefinisikan pinangan (khitbah) sebagai permintaan
untuk mengadakan pernikahan oleh dua orang dengan perantaraan yang jelas. Pinangan ini
merupakan syariat Allah SWT yang harus dilakukan sebelum mengadakan pernikahan agar
kedua calon pengantin saling mengetahui.
Amir Syarifuddin mendefinisikan pinangan sebagai penyampaian kehendak untuk
melangsungkan ikatan perkawinan. Peminangan disyariatkan dalam suatu perkawinan yang
waktu pelaksanaannya diadakan sebelum berlangsungnya akad nikah.
Al-hamdani berpendapat bahwa pinangan artinya permintaan seseorang laki-laki kepada anak
perempuan orang lain atau seseorang perempuan yang ada di bawah perwalian seseorang
untuk dikawini, sebagai pendahuluan nikah.
Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa pinangan (khitbah) adalah proses
permintaan atau pernyataan untuk mengadakan pernikahan yang dilakukan oleh dua orang,
lelaki dan perempuan, baik secara langsung ataupun dengan perwalian. Pinangan (khitbah) ini
dilakukan sebelum acara pernikahan dilangsungkan.
2. Dasar dan Hukum Pinangan
Dari Mughirah R.A., sesungguhnya ia pernah meminang seseorang perempuan, lalu Nabi
SAW. Bersabda kepadanya,” Lihatlah perempuan itu dahulu karena sesungguhnya melihat itu
lebih cepat membawa kekekalan kecintaan antara keduanya.” (H.R. Nasa’i dan Tirmizi).
Dari Abu Hurairah R.A., dia berkata,” Aku duduk di dekat Nabi SAW. lalu datang seorang
laki-laki kepada beliau dan bercerita bahwa ia akan menikahi seseorang perempuan dari kaum
Anshar. Rasulullah lalu bersabda,”Sudahkah engkau lihat wajahnya?” laki-laki itu menjawab,
“belum”. Rasulullah bersabda lagi,” pergi dan lihatlah karena sesungguhnya pada wajah kaum
Anshar itu mungkin ada sesuatu yang menjadi cacat.” (H.R. Muslim dan Nasa’i).
Memang terdapat dalam al-qur’an dan dalam banyak hadis Nabi yang membicarakan hal
peminangan. Namun tidak ditemukan secara jelas dan terarah adanya perintah atau larangan
melakukan peminangan, sebagaiman perintah untuk mengadakan perkawinan dengan kalimat
yang jelas, baik dalam al-qur’an maupun dalam hadis Nabi. Oleh karena itu, dalam
menetapkan hukumnya tidak terdapat pendapat ulama yang mewajibkannya, dalam arti
hukumannya mubah.
Akan tetapi, Ibnu Rusyd dengan menukil pendapat imam Daud Al-Zhahiriy, mengatakan
bahwa hukum pinangan adalah wajib. Ulama ini mendasarkan pendapatnya pada hadis-hadis
nabi yang menggambarkan bahwa pinangan (khitbah) ini merupakan perbuatan dan tradisi
yang dilakukan nabi dalam peminangan itu.
3. Hikmah Peminangan
Ada beberapa hikmah dari prosesi peminangan, diantaranya:
Wadah perkenalan antara dua belah pihak yang akan melaksanakan pernikahan. Dalam hal
ini, mereka akan saling mengetahui tata etika calon pasangannya masing-masing,
kecendrungan bertindak maupun berbuat ataupun lingkungan sekitar yang mempengaruhinya.
Walaupun demikian, semua hal itu harus dilakukan dalam koridor syariah. Hal demikian
diperbuat agar kedua belah pihak dapat saling menerima dengan ketentraman, ketenangan,
dan keserasian serta cinta sehingga timbul sikap saling menjaga, merawat dan melindungi.
Sebagai penguat ikatan perkawinan ynag diadakan sesudah itu, karena dengan peminangan itu
kedua belah pihak dapat saling mengenal. Bahwa Nabi SAW berkata kepada seseorang yang
telah meminang perempuan:” melihatlah kepadanya karena yang demikian akan lebih
menguatkan ikatan perkawinan.
4. Macam-Macam Peminangan
Ada beberapa macam peminangan, diantaranya sebagai berikut:
a. Secara langsung yaitu menggunakan ucapan yang jelas dan terus terang sehingga tidak
mungkin dipahami dari ucapan itu kecuali untuk peminangan, seperti ucapan,”saya
berkeinginan untuk menikahimu.”
b. Secara tidak langsung yaitu dengan ucapan yang tidak jelas dan tidak terus terang atau
dengan istilah kinayah. Dengan pengertian lain ucapan itu dapat dipahami dengan maksud
lain, seperti pengucapan,”tidak ada orang yang tidak sepertimu.”
Perempuan yang belum kawin atau sudah kawin dan telah habis pula masa iddahnya boleh
dipinang dengan ucapan langsung aau terus terang dan boleh pula dengan ucapan sindiran
atau tidak langsung. Akan tetapi bagi wanita yang masih punya suami, meskipun dengan janji
akan dinikahinya pada waktu dia telah boleh dikawini, tidak boleh meminangnya dengan
menggunakan bahasa terus terang tadi.
5. Hal-Hal yang Berkaitan dengan Peminangan.
1. Norma Kedua Calon Pengantin Setelah Peminangan.
Peminangan (khitbah) adalah proses yang mendahului pernikahan akan tetapi bukan termasuk
dari pernikahan itu sendiri. Pernikahan tidak akan sempurna tanpa proses ini, karena
peminangan (khitbah) ini akan membuat kedua calon pengantin akan menjadi tenang akibat
telah saling mengetahui.
Oleh karena itu, walaupun telah terlaksana proses peminangan, norma-norma pergaulan
antara calon suami dan calon istri masih tetap sebagaimana biasa. Tidak boleh
memperlihatkan hal-hal yang dilarang untuk diperlihatkan.
2. Peminangan Terhadap Seseorang yang Telah Dipinang.
Seluruh ulama bersepakat bahwa peminangan seseorang terhadap seseorang yang telah
dipinang adalah haram. Ijma para ulama mengatakan bahwa peminangan kedua, yang datang
setelah pinangan yang pertama, tidak diperbolehkan. Hal tersebut terjadi apabila:
a. Perempuan itu senang kepada laki-laki yang meminang dan menyetujui pinangan itu
secara jelas (Sharahah) atau memberikan izin kepada walinya untuk menerima pinangan itu.
b. Pinangan kedua datang tidak dengan izin pinangan pertama.
c. Peminang pertama belum membatalkan pinangan.
Hal ini sesuai dengan hadis nabi yang berbunyi,” Janganlah kalian membeli sesuatu
pembelian saudara kalian, dan janganlah kalian meminang pinangan saudara kalian, kecuali
dengan izinnya.”
Seluruh imam bersepakat bahwa hadis diatas berlaku bagi pinangan yang telah sempurna. Hal
tersebut terjadi agar tidak ada yang merasa sakit hati satu sama lain.
Adapun mengenai pinangan yang belum sempurna, dengan pengertian masih menunggu
jawaban, beberapa ulama berbeda pendapat. Hanafiah mengatakan, pinangan terhadap
seseorang yang sedang bingung dalam menentukan keputusan adalah makruh. Hal ini
bertentangan dengan pendapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa sesungguhnya
perbuatan itu tidak haram. Pendapat ini berdasarkan peristiwa Fatimah binti Qois yang
dilamar oleh tiga orang sekaligus, yaitu Mu’awiyah, Abu Jahim bin Huzafah dan Usamah bin
Zaid. Hal itu terjadi setelah selesainya masa iddah Fatimah yang telah ditalak oleh Abu Umar
bin Hafsin.
Walaupun demikian, pendapat Hanafi lebih kuat landasannya karena sesuai dengan tata
perilaku islam yang mengajarkan solidaritas. Peminangan yang dilakukan terhadap seseorang
yang sedang bingung dalam mempertimbangkan keputusan lebih berdampak pada pemutusan
silaturrahim terhadap peminang pertama dan akan mengganggu psikologis yang dipinang.
3. Orang-Orang yang Boleh Dipinang.
Pada dasarnya, seluruh orang yang boleh dinikahi merekalah yang boleh dipinang.
Sebaliknya, mereka yang tidak boleh untuk dinikahi, tidak boleh pula untuk dipinang. Dalam
hal ini, ada syarat agar pinangan diperbolehkan.
* Bukan Orang-Orang yang Dilarang Menikahinya.
* Bukan Orang-Orang yang Telah Dipinang Orang Lain.
* Tidak Dalam Masa ‘Iddah
4. Batas-Batas yang Boleh Dilihat Ketika Khitbah
Dalam hal ini, para ulama terbagi menjadi empat bagian:
a. Hanya muka dan telapak tangan. Banyak ulama fiqih yang berpendapat demikian.
Pendapat ini berdasarkan bahwa muka adalah pancaran kecantikan atau ketampanan
seseorang dan telapak tangan ada kesuburan badannya.
b. Muka, telapak tangan dan kaki. Pendapat ini diutarakan oleh Abu Hanifah.
c. Wajah, leher, tangan, kaki, kepala dan betis. Pendapat ini dikedepankan para pengikut
Hambali.
d. Bagian-bagian yang berdaging. Pendapat ini menurut al-Auza’i.
e. Keseluruh badan. Pendapat ini dikemukakan oleh Daud Zhahiri. Pendapat ini berdasarkan
ketidakadaan hadis nabi yang menjelaskan batas-batas melihat ketika meminang.
5. Waktu dan Syarat Melihat Pinangan
Imam Syafi’i berpendapat bahwa seorang calon pengantin, terutama laki-laki, dianjurkan
untuk melihat calon istrinya sebelum pernikahan berlangsung. Dengan syarat bahwa
perempuan itu tidak mengetahuinya. Hal itu agar kehormatan perempuan tersebut terjaga.
Baik dengan izin atau tidak.
Imam Maliki dan Imam Hambali mengatakan bahwa melihat pinangan adalah disaat
kebutuhan mendesak. Itu disebabkan agar tidak menimbulkan fitnah dan menimbulkan
syahwat. Wahbah Zuhaili mengatakan, pada dasarnya melihat pinangan itu diperbolehkan
asalkan tidak dengan syahwat.

PELAKSANAAN PERNIKAHAN (AKAD NIKAH)


1. PENGERTIAN AKAD NIKAH
secara bahasa : akad = membuat simpul, perjajian, kesepakatan; akad nikah = mengawinkan
wanita. secara syar’i : Ikrar seorang pria untuk menikahi/mengikat janji seorang wanita lewat
perantara walinya, dengan tujuan
a) hidup bersama membina rumah tangga sesuai sunnah Rasulullah saw.
b) memperoleh ketenangan jiwa.
c) menyalurkan syahwat dengan cara yang halal
d) melahirkan keturunan yang sah dan shalih.
2. RUKUN DAN SYARAT SAH NIKAH
Akad nikah tidak akan sah kecuali jika terpenuhi rukun-rukun yang enam perkara ini :
1. Ijab-Qabul
Islam menjadikan Ijab (pernyataan wali dalam menyerahkan mempelai wanita kepada
mempelai pria) dan Qabul (pernyataan mempelai pria dalam menerima ijab) sebagai bukti
kerelaan kedua belah pihak. Al Qur-an mengistilahkan ijab-qabul sebagai miitsaaqan
ghaliizhaa (perjanjian yang kokoh) sebagai pertanda keagungan dan kesucian, disamping
penegasan maksud niat nikah tersebut adalah untuk selamanya.
Syarat ijab-qabul adalah :
a) Diucapkan dengan bahasa yang dimengerti oleh semua pihak yang hadir.
b) Menyebut jelas pernikahan & nama mempelai pria-wanita
2. Adanya mempelai pria.
Syarat mempelai pria adalah :
a) Muslim & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka); lihat QS. Al Baqarah : 21, Al
Mumtahanah : 9.
b) Bukan mahrom dari calon isteri.
c) Tidak dipaksa.
d) Orangnya jelas.
e) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.
3. Adanya mempelai wanita.
Syarat mempelai wanita adalah :
a. Muslimah (atau beragama samawi, tetapi bukan kafirah/musyrikah) & mukallaf; lihat QS.
Al Baqarah : 221, Al Maidah : 5.
b. Tidak ada halangan syar’i (tidak bersuami, tidak dalam masa ‘iddah & bukan mahrom
dari calon suami).
c. Tidak dipaksa.
d. Orangnya jelas.
e. Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.
4. Adanya wali.
Syarat wali adalah :
a. Muslim laki-laki & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka).
b. ‘Adil
c. Tidak dipaksa.
d. Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.
Tingkatan dan urutan wali adalah sebagai berikut:
a. Ayah
b. Kakek
c. Saudara laki-laki sekandung
d. Saudara laki-laki seayah
e. Anak laki-laki dari saudara laki – laki sekandung
f. Anak laki-laki dari saudara laki – laki seayah
g. Paman sekandung
h. Paman seayah
i. Anak laki-laki dari paman sekandung
j. Anak laki-laki dari paman seayah.
k. Hakim
5. Adanya saksi (2 orang pria).
Meskipun semua yang hadir menyaksikan aqad nikah pada hakikatnya adalah saksi, tetapi
Islam mengajarkan tetap harus adanya 2 orang saksi pria yang jujur lagi adil agar pernikahan
tersebut menjadi sah. Syarat saksi adalah
a) Muslim laki-laki & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka).
b) ‘Adil
c) Dapat mendengar dan melihat.
d) Tidak dipaksa.
e) Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab-qabul.
f) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.
6. Mahar.
Beberapa ketentuan tentang mahar :
a. Mahar adalah pemberian wajib (yang tak dapat digantikan dengan lainnya) dari seorang
suami kepada isteri, baik sebelum, sesudah maupun pada saat aqad nikah. Lihat QS. An
Nisaa’ : 4.
b. Mahar wajib diterimakan kepada isteri dan menjadi hak miliknya, bukan kepada/milik
mertua.
c. Mahar yang tidak tunai pada akad nikah, wajib dilunasi setelah adanya persetubuhan.
d. Mahar dapat dinikmati bersama suami jika sang isteri memberikan dengan kerelaan.
e. Mahar tidak memiliki batasan kadar dan nilai. Syari’at Islam menyerahkan perkara ini
untuk disesuaikan kepada adat istiadat yang berlaku. Boleh sedikit, tetapi tetap harus
berbentuk, memiliki nilai dan bermanfaat. Rasulullah saw senang mahar yang mudah dan
pernah pula

Anda mungkin juga menyukai