Anda di halaman 1dari 17

REFARAT Januari 2016

“ PERTUSIS “

Nama : Ihwan Ukhrawi Aly


No. Stambuk : N 111 15 033
Pembimbing : dr. Kartin Akune, Sp.A

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA
PALU
2015

1
BAB I
PENDAHULUAN

Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent
cough, dan di Cina disebut batuk seratus hari. Pertusis adalah penyakit infeksi
akut yang menyerang saluran pernapasan yang disebabkan oleh Bordetella
pertussis, bakteri Gram-negatif berbentuk kokobasilus. Organisme ini
menghasilkan toksin yang merusak epitel saluran pernapasan dan memberikan
efek sistemik berupa sindrom yang terdiri dari batuk yang spasmodik dan
paroksismal disertai nada mengi karena pasien berupaya keras untuk menarik
napas, sehingga pada akhir batuk disertai bunyi yang khas.1,4

Pertusis dapat diderita oleh orang dari semua kelompok usia, namun
insidensi pertusis banyak didapatkan pada bayi dan anak kurang dari 5 tahun.
Insidensi terutama terjadi pada bayi atau anak yang belum diimunisasi.1
Dahulu pertusis adalah penyakit yang sangat epidemik karena menyerang
bukan hanya negara-negara berkembang namun juga beberapa bagian dari negara
maju. Namun setelah digalakkannya vaksinasi untuk pertusis, angka kematian
dapat ditekan, dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi
pertusis diharapkan tidak ditemukan lagi, meskipun ada kasusnya namun tidak
signifikan.1,2
Menurut salah satu lembaga penelitian kesehatan dunia Communicable
Disease Control (CDC) 2010 Annual Morbidity Report mengatakan bahwa
insiden pertusis meningkat setiap 3 sampai 5 tahun sekali. Pada 2010 peningkatan
kembali terjadi, seperti di Los Angeles terjadi peningkatan kasus sejak 50 tahun
terakhir yaitu 972 kasus saat ini (696 diagnosa pasti, 276 suspect) dengan angka
kejadian 9.91 kasus per 100.000 jiwa. Sedangkan di California angka kejadian
pertusis yaitu 23,3 kasus per 100.000 jiwa.3
Dengan mendiagnosa secara dini kasus pertusis, dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, manifestasi klinis, foto roentgen, dan pemeriksaan penunjang
lainnya, diharapkan para klinisi mampu memberikan penanganan yang tepat dan

2
cepat sehingga derajat penyakit pertusis tidak menimbulkan komplikasi yang
lebih lanjut.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent
cough, dan di Cina disebut batuk seratus hari. Pertusis adalah penyakit infeksi
akut yang menyerang saluran pernapasan yang disebabkan oleh Bordetella
pertussis, bakteri Gram-negatif berbentuk kokobasilus.1

Pertusis masih merupakan penyebab terbesar kesakitan dan kematian


pada anak, terutama di negara berkembang. WHO memperkirakan lebih kurang
600.000 kematian disebabkan pertussis setiap tahunnya terutama pada bayi yang
tidak diimunisasi. Dengan kemajuan perkembangan antibiotik dan program
imunisasi maka mortalitas dan morbiditas penyakit ini mulai menurun.5

2.2 Epidemiologi

Pertusis adalah penyakit paling menular yang dapat menimbulkan attack


rate 80-100% pada penduduk yang rentan. Sampai saat ini manusia merupakan
satu-satunya host. Pertusis dapat ditularkan melalui udara secara kontak langsung
yang berasal dari droplet penderita selama batuk. Pertusis adalah penyakit
endemik. Penyebaran pertusis di seluruh dunia dapat menyerang semua golongan
umur, yang terbanyak adalah anak umur dibawah 1 tahun. Makin muda usianya,
makin berbahaya penyakitnya, lebih sering mengenai anak perempuan daripada
anak laki-laki.1,2

Mulai tahun 1980 ditemukan peningkatan kejadian pertusis pada bayi, usia
11-18 tahun, dan dewasa, dengan cakupan imunisasi pertusis rutin yang luas. Di
Amerika Serikat kurang lebih 355 kasus terjadi pada usia <6 bulan, termasuk bayi
yang berumur 3 bulan. Kurang lebih 45% penyakit terjadi pada usia < 1 tahun dan
66% < 5 tahun. Kematian dan jumlah kasus yang dirawat tertinggi terjadi pada
usia 6 bulan pertama kehidupan.1,2

4
Centers of Disease Control and Prevention (CDC) pada tahun 2010,
melaporkan kasus pertusis di Amerika Serikat adalah 27.550 kasus dan 27 kasus
kematian. Sedangkan pada tahun 2011, kasus pertusis terbanyak pada usia 11
sampai 19 tahun yaitu sebanyak 47% dan pada anak-anak usia 7-10 tahun sekitar
18% kasus.1,2,3
Antibodi dari ibu (transplasental) selama kehamilan tidaklah cukup untuk
mencegah bayi baru lahir terhadap pertussis. Pertussis yang berat pada neonatus
dapat ditemukan dari ibu dengan gejala pertussis ringan. Kematian sangat
menurun setelah diketahui bahwa dengan pengobatan eritromicyn dapat
menurunkan tingkat penularan pertussis karena biakan nasofaring akan negatif
setelah 5 hari pengobatan. Tanpa reinfeksi alamiah dengan B.pertussis atau
vaksinasi booster berulang, anak yang lebih tua dan orang dewasa lebih rentan
terhadap penyakit ini jika terpajan.1

2.3 Etiologi

Genus bordetella mempunyai empat spesies yaitu Bordetella pertusis,


Bordetella parapertusis, Bordetella bronkiseptika dan Bordetella avium.
Penyebab pertusis adalah bordetella pertusis dan perlu dibedakan dengan
bordetella parapertusis dan adenovirus type 1,2,3 dan 5.1,2,3
Bordetella pertusis termasuk kokobasilus, gram negatif, kecil, ovoid,
ukuran panjang 0,5-1 µm dan diameter 0,2-0,3 µm, tidak bergerak, tidak berspora
dengan pewarnaan toloidin biru, dapat dilihat granul bipolar makromatik dan
mempunyai kapsul. Untuk melakukan biakan Bordetella pertusis, diperlukan suatu
media pembenihan yang disebut bordet genggou (Potato-blood glycerol agar)
yang ditambah penicillin G 0,5 µg/ml untuk menghambat organism lain.1,3,4

5
Gambar 1. Bordetella pertusis6

2.4 Patofisiologi

Bordetella pertussis ditansmisikan melalui sekresi udara pernafasan, dan


kemudian melekat pada silia epitel saluran pernafasan. Mekanisme patogenesis
infeksi oleh Bordetella pertussis terjadi melalui 4 tahap yaitu perlekatan,
perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan lokal, dan
akhirnya timbul penyakit sistemik.1,2,4

Filamentous hemaglutinin (FHA), Lymphositosis promoting factor (LPF)/


pertusis toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan dalam perlekatan Bordetella
pertussis pada silia. Setelah terjadi perlekatan Bordetella pertusis, kemudian
bermultiplikasi dan menyebar keseluruh permukaan epitel saluran pernafasan.
Proses ini tidak invasif, oleh karena itu pada pertusis tidak terjadi bakteremia.
Selama pertumbuhan Bordetella pertussis, maka akan menghasilkan toksin yang
akan menyebabkan penyakit yang kita kenal dengan whooping cough. Toksin
terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan oleh karena pertussis
toxin. Toksin pertussis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub unit B
selanjutnya berikatan dengan reseptor sel target, kemudian menghasilkan sel unit
A yang aktif pada daerah aktifasi enzim membran sel. Efek LPF menghambat
migrasi limfosit dan magrofag ke daerah infeksi.1,2,3,4

6
Toxin mediated adenosine disphosphate (ADP) mempunyai efek pengatur
sintesis protein di dalam membran sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi
fisiologis dari sel target termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati),
meningkatkan pengeluaran histamin dan serotonin, efek memblokir beta
adrenergik dan meningkatkan aktifitas insulin, sehingga akan menurunkan
konsentrasi gula darah..1,3,4

Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan


limfoid peribronchial dan meningkatkan jumlah mukos pada permukaan silia,
maka fungsi silia sebagai pembersih akan terganggu, sehingga mudah terjadi
infeksi sekunder (tersering oleh Streptococcus pneumoniae, H. influenza dan
Staphylococcus aureus). Penumpukan mukus akan menimbulkan plug yang dapat
menyebabkan obstruksi dan kolaps paru. Hipoksemia dan sianosis disebabkan
oleh gangguan pertukaran oksigenisasi pada saat ventilasi dan timbulnya apnue
saat terserang batuk. Terdapat perbedaan pendapat mengenai kerusakan susunan
saraf pusat, apakah akibat pengaruh toksin langsung atakah sekunder akibat
anoksia. Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak bila sel
mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek
antibiotik terhadap proses penyakit.1,3,4

Dermonecrotic toxin adalah heat labile cystoplasmic toxin menyebabkan


kontraksi otot polos pembuluh darah dinding trakea sehingga menyebabkan
iskemia dan nekrosis trakea. Sitotoksin bersifat menghambat sintesis DNA,
menyebabkan siliostasis, dan diakhiri dengan kematian sel. Pertussis
lipopolysacharida (endotoksin) tidak terlalu penting dalam hal patogenesis
penyakit ini. Kadang – kadang Bordetella pertussis hanya menyebakan infeksi
yang ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertusis.1,3,4

7
Gambar 2. Patogenesis pertusis6

2.5 Gambaran Klinik

Masa inkubasi pertusis adalah 6 sampai 20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan


perjalanan penyakit ini berlangsung antara 6 sampai 8 minggu atau lebih.
Perjalanan klinis penyakit ini dapat berlangsung dalam tiga stadium, yaitu stadium
kataralis (prodromal,pra paroksismal), stadium akut paroksismal (spasmodik), dan
stadium konvalesens. Manifestasi klinis tergantung dari etiologi spesifik, usia, dan
status imunisasi. Pertusis pada remaja dapat dikenali dengan gejala sebagai
berikut: 72-100% batuk paroksismal, susah tidur dan sesak, 50-70% muntah
setelah batuk, 30-65% mengalami whoop, 1-2% rawat inap karena pneumonia
atau fraktur tulang iga, dan 0,2-1% kejang atau penurunan kesadaran.1,3,4

a. Stadium kataralis (1-2 minggu)


Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran napas bagian atas
yaitu timbulnya rinore dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi pada
konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan, dan panas tidak begitu tinggi. Pada

8
stadium ini biasanya diagnosis pertusis belum dapat ditegakkan karena
sukar dibedakan dengan common cold. Sejumlah besar organisme tersebar
dalam droplet dan anak sangat infeksius, pada tahap ini kuman mudah
diisolasi.1,3,4

b. Stadium paroksismal/stadium spasmodik


Frekuensi dan derajat batuk bertambah, terdapat pengulangan 5-10
kali batuk kuat selama ekspirasi yang diikuti oleh usaha inspirasi masif
yang mendadak dan menimbulkan bunyi melengking (whoop), udara yang
dihisap melalui glotis yang menyempit. Pada remaja, bunyi whoop sering
tidak terdengar. Selama serangan wajah merah dan sianosis, mata
menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi, dan distensi vena leher
bahkan sampai terjadi petekia di wajah (terutama di konjungtiva bulbi).
Episode batuk paroksismal dapat terjadi lagi sampai mucous plug pada
saluran napas menghilang. Muntah sesudah batuk paroksismal cukup khas,
sehingga seringkali menjadi kecurigaan apakah anak menderita pertusis
walaupun tidak disertai bunyi whoop.1,2,3,4
c. Stadium konvalesens ( 1-2 minggu)
Stadium penyembuhan ditandai dengan berhentinya whoop dan
muntah dengan puncak serangan paroksismal yang berangsur-angsur
menurun. Batuk biasanya masih menetap untuk beberapa waktu dan akan
menghilang sekitar 2-3 minggu. Pada beberapa pasien akan timbul
serangan batuk paroksismal kembali. Episode ini terjadi berulang-ulang
untuk beberapa bulan dan sering dihubungkan dengan infeksi saluran
napas bagian atas yang berulang.1,2,3,4

2.6 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisis, dan


pemeriksaan laboratorium.1,4,5

9
a. Anamnesis
Ditanyakan adanya riwayat kontak dengan pasien pertusis, adakah
serangan khas yaitu paroksismal dan bunyi whoop yang jelas. Perlu pula
ditanyakan mengenai riwayat imunisasi
b. Pemeriksaan Fisis
Gejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisis tergantung dari stadium
saat pasien diperiksa.

Gambar 3. Contoh gambaran pasien Pertusis

c.Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis 20.000-


50.000/μL dengan limfosistosis absolut khas pada akhir stadium kataral dan
selama stadium paroksismal. Pada bayi jumlah lekositosis tidak menolong
untuk diagnosis, oleh karena respons limfositosis juga terjadi pada infeksi
lain. Isolasi B. pertussis dari sekret nasofaring dipakai untuk membuat
diagnosis pertusis pada media khusus Bordet-gengou. Biakan positif pada

10
stadium kataral 95-100%, stadium paroksismal 94% pada minggu ke-3,
dan menurun sampai 20% untuk waktu berikutnya. 1,4,5

Dengan metode PCR yang lebih sensitif dibanding pemeriksaan


kultur untuk mendeteksi B. pertussis, terutama setelah 3-4 minggu setelah
batuk dan sudah diberikan pengobatan antibiotik. PCR saat ini merupakan
pilihan yang paling tepat karena nilai sensitivitas yang tinggi, namun belum
tersedia. Tes serologi berguna pada stadium lanjut penyakit dan untuk
menentukan adanya infeksi pada individu dengan biakan. Cara ELISA
dapat dipakai untuk menentukan IgM, IgG, dan IgA serum terhadap FHA
dan PT. Nilai IgM serum FHA dan PT menggambarkan respons imun
primer baik disebabkan oleh penyakit atau vaksinasi.IgG toksin pertusis
merupakan tes yang paling sensitif dan spesifik untuk mengetahui infeksi
alami dan tidak tampak setelah imunisasi pertusis.1, 4,5

d. Radiologi

Fototoraks dapat memperlihatkan infiltrat perihiler, atelektasis,


atau empisema.

Gambar 4. Manifestasi klinis, temuan laboratorium dan komplikasi dari pertusis 10

11
2.7 Penatalaksanaan

Pemberian antibiotik tidak memperpendek stadium paroksismal. Pemberian


eritomisin, klaritromisin, atau azitromisin telah menjadi pilihan pertama untuk
pengobatan dan profilaksis. Eritromisin (40-50 mg/kgbb/hari dibadi dalam 4 dosis
peroral, maksimum 2 gram per hari) dapat mengeleminasi organisme dari
nasofaring dalam 3-4 hari. Eritromisin dapat mengeleminasi pertusis bila
diberikan pada pasien dalam stadium kataral sehingga memperpendek periode
penularan. Penelitian membuktikan bahwa golongan makrolid terbaru yaitu
azitromisin (10-12 mg/kgbb/hari, sekali sehari selama 5 hari, maksimal 500
mg/hari) atau klaritromisin (15-20 mg/kgbb/hari dibagi dalam 2 dosis peroral,
maksimum 1 gram perhari selama 7 hari) sama efektif dengan eritromisin, namun
memiliki efek samping lebih sedikit.
Terapi suportif terutama untuk menghindari faktor yang menimbulkan
serangan batuk, mengatur hidrasi dan nutrisi. Oksigen hendaknya diberikan pada
distres pernapasan yang akut dan kronik.1,2,4,5

2.8 Pencegahan

Cara terbaik untuk mengontrol penyakit ini adalah dengan imunisasi.


Banyak laporan mengemukakan bahwa terdapat penurunan angka kejadian
pertusis dengan adanya pelaksanaan program imunisasi. Pencegahan dapat
dilakukan melalui imunisasi aktif dan pasif. ,2,4,5,7

a. Imunisasi pasif
Dalam imunisasi pasif dapat diberikan human hyperimmune globulin, ternyata
berdasarkan beberapa penelitian di klinik terbukti tidak efektif sehingga akhir-
akhir ini tidak lagi digunakan untuk pencegahan.4,5

b. Imunisasi aktif
Diberikan vaksin pertusis dari kuman Bordetella pertusis yang telah dimatikan
untuk mendapatkan kekebalan aktif. Imunisasi pertusis diberikan bersama-
sama dengan vaksin difteria dan tetanus. Dosis imunisasi dasar yang

12
dianjurkan 12 UI dan diberikan tiga kali sejak umur 2 bulan, dengan jarak 8
minggu. Vaksin pertusis monovalen 90,25 ml, i.m)telah dipakai untuk
mengontrol epidemi diantara orang dewasa yang terpapar. Salah satu efek
samping imunisasi adalah demam. Kontraindikasi bila terdapat riwayat reaksi
anafilaksis terhadap komponen vaksin dan ensefalopati (koma, kejang lama)
dalam 7 hari pemberian vaksin pertusis, kejang tanpa demam dalam 3 hari
sebelum imunisasi, menangis > 3 jam, hihg pitch cry dalam 2 hari, kolaps atau
hipotensi hiporesponsif dalam dua hari, suhu yang tidak dapat diterangkan >
40,5 ºC dalam 2 hari. 4,5

Pencegahan penyebarluasan penyakit dilakukan dengan cara:,3,4,8

 Isolasi: Mencegah kontak dengan individu yang terinfeksi, diutamakan bagi


bayi dan anak usia muda, sampai pasien setidaknya mendapatkan antibiotik
sekurang-kurangnya 5 hari dari 14 hari pemberian secara lengkap. Atau 3
minggu setelah batuk paroksismal reda bilamana pasien tidak mendapatkan
antibiotik.
 Karantina: Kasus kontak erat terhadap kasus yang berusia <7 tahun, tidak
diimunisasi, atau imunisasi tidak lengkap, tidak boleh berada di tempat publik
selama 14 hari atau setidaknya mendapat antibiotic eritromisin selama 5 hari
dari 14 hari pemberian secara lengkap.
 Disinfeksi: Direkomendasikan untuk melakukan pada alat atau ruangan yang
terkontaminasi sekret pernapasan dari pasien pertusis

2.9 Komplikasi

Komplikasi terutama terjadi pada sistem nafas dan saraf pusat. Pneumonia
adalah komplikasi paling sering ditemukan, menyebabkan 90% kematian pada
anak < 3 tahun. Pneumonia dapat disebabkan karena Bordetella pertusis tetapi
lebih sering disebabkan oleh infeksi bakteri sekunder (Haemophilus influenzae, S.
pneumonia, S.aureus dan S. pyogenes). Tuberculosis laten dapat menjadi aktif.
Atelektasis terjadi sekunder terhadap sumbatan mucus yang kental. Aspirasi

13
mucus atau muntah dapat menyebabkan pneumomia. Panas tinggi merupakan
tanda infeksi sekunder dari bakteri. Batuk dengan tekanan tinggi dapat
menimbulkanruptur alveoli, emfisema, interstisiel/subkutan dan pneumotoraks,
termasuk perdarahan subkonjungtiva.4,9

Komplikasi pada susunan saraf pusat yaitu kejang, koma, ensefalitis,


hiponatremia sekunder terhadap SIADH (Syndrome of inappropriate diuretic
hormone).kejang tetanik dihubungkan dengan alkalosis yang disebabkan muntah
persisten.4,9

2.10 Prognosis

Prognosis tergantung usia anak, anak yang lebih tua mempunyai prognosis
yang lebih baik. Pada bayi risiko kematian (0,5-1%) disebabkan ensefalopati.
Pada penelitian jangka panjang, apnea atau kejang akan menyebabkan gangguan
intelektual di kemudian hari.10

14
BAB III
KESIMPULAN

Pertusis di tandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang sangat
spasmodik dan paroksimal disertai nada yang meninggi. Penyakit ini dapat
ditemukan pada semua umur, mulai dari bayi sampai dewasa. Penyebabnya adalah
Bordetella pertusis. Pertusis merupakan penyakit menular dengan tingkat
penularan yang tinggi, dimana penularan ini terjadi pada kelompok masyarakat
yang padat penduduknya dengan tingkat penularannya mencapai 99%, dapat
ditularkan melalui udara secara droplet, bahan droplet, memegang benda yang
terkontaminasi dengan sekret nasofaring.

Penularan terutama melalui saluran pernapasan dimana Bordetella Pertusis


akan terikat pada silia epitel saluran pernapasan, kemudian kuman ini akan
mengalami multiplikasi disertai pengeluaran toksin, sehingga menyebabkan
inflamasi dan nekrose trakea dan bronkus. Mekanisme patogenesis infeksi oleh
Bordetella pertusis terjadi melalui 4 tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan
terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan lokal, dan akhirnya timbul
penyakit sistemik. Masa inkubasi pertusis 6 – 10 hari (rata – rata 7 hari), dimana
perlangsungan penyakit ini 6 – 8 minggu atau lebih. Perjalanan klinis penyakit ini
dapat berlangsung 3 stadium yaitu stadium kataralis (prodromal, preparoksimal),
stadium akut paroksismal (paroksismal, spasmodik), dan stadium konvalesens.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis , pemeriksaan fisik dan


pemeriksaan laboratorium. Diagnosis banding pertusis adalah bordetella
parapertusis, bordetella bronchoseptica, infeksi oleh klamidia, infeksi oleh adeno
virus tipe 1,2,3,5. Komplikasi – komplikasi dari pertusis yaitu pada saluran
pernapasan : bronkopneumoinia, otitis media, bronchitis, atelektasis, emfisema
pulmonum, bronkiektasis, kolaps alveoli paru. Pada sistem saraf pusat : kejang.
Komplikasi – komplikasi yang lain : hemoptisis, epitaksis, hernia, prolaps rekti,
malnutirsi karena anoreksia dan infeksi sekunder.

15
Pengobatan pertusis terdiri dari, terapi kausal : antimikroba, eritromisin
merupakan antimikroba yang lebih efektif dibanding kloramfenikol maupun
tetrasiklin. Terapi suportif yaitu lingkungan perawatan yang tenang, pemberian
makanan, hindari makanan yang sulit ditelan, sebaiknya diberikan makanan yang
berbentuk cair.

Pencegahan dan kontrol adalah Imunisasi pasif dapat diberikan Human


Hiperimmune Globulin, Imunisasi aktif diberikan vaksin pertusis yang terdiri dari
kuman Bordetella Pertusis yang telah dimatikan unrtuk mendapatkan imunisasi
aktif. Vaksinasi pertusis diberikan bersama– sama dengan vaksin difteri dan
tetanus. Dosis pada imunisasi dasar dianjurkan 12 IU dan diberikan tiga kali sejak
umur 2 bulan, dengan jarak 8 minggu. Prognosis tergantung usia, anak yang lebih
tua mempunyai prognosis yang lebih baik. Pada bayi resiko kematian (0,5 – 1 %)
disebabkan enselopati. Pada observasi jangka panjang, apneu atau kejang akan
menyebabkan gangguan intelektual dikemudian hari.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. S. Long, Sarah. Pertusis. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol II. Jakarta :
EGC. 2005
2. Cherry JD. Comparison of the epidemiology of the disease pertussis with
the epidemiology of Bordetella pertussis infection. 2005. Pediatrics :
Diakses 26 Januari 2016 dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15867059
3. Turner, B, Lewis, NE. Annnual Morbidity Report of Pertusis. Journal of
Communicable Disease Control. 2010. Diakses pada 26 Januari 2016 dari
http://www.cdc.gov/mmwr/mmwr_nd/index.html.
4. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku ajar infeksi dan pediatric tropis.
Ed.2. Badan penerbit IDAI; Jakarta: 2010
5. Heininger, U. Update on pertussis in children. Expert review of anti-
infective therapy 8 (2): 163–73. 2010
6. Wertheim H, Horby P, Woodall PJ. Atlas of human infectious disease.
Wiley Blackwell; USA: 2012.
7. Central for disease control and prevention. Pertussis (whooping cough).8
agustus 2013. [serial online]. Diakses 26 Januari 2016 dari URL:
http://www.cdc.gov/pertussis/clinical/disease-specifics.html
8. Bocka J. Pertussis. Emedicine-Medscape. 2014. [serial online]. Diakses 26
Januari 2016 dari URL: http://emedicine.medscape.com/article/967268-
overview
9. World health organization. Country office for Indonesia. Dalam pedoman
pelayanan kesehatan anak di rumah sakit rujukan tingkat pertama
kabupaten/kota. Ed.1 bahasa Indonesia; Jakarta: 2009.
10. Todar, Kenneth. Bordetella pertussis and Whooping Cough. 2014. Diakses
26 Januari 2016 dari http://textbookofbacteriology.net/pertussis_2.html.

17

Anda mungkin juga menyukai