Refarat Pertusis
Refarat Pertusis
“ PERTUSIS “
1
BAB I
PENDAHULUAN
Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent
cough, dan di Cina disebut batuk seratus hari. Pertusis adalah penyakit infeksi
akut yang menyerang saluran pernapasan yang disebabkan oleh Bordetella
pertussis, bakteri Gram-negatif berbentuk kokobasilus. Organisme ini
menghasilkan toksin yang merusak epitel saluran pernapasan dan memberikan
efek sistemik berupa sindrom yang terdiri dari batuk yang spasmodik dan
paroksismal disertai nada mengi karena pasien berupaya keras untuk menarik
napas, sehingga pada akhir batuk disertai bunyi yang khas.1,4
Pertusis dapat diderita oleh orang dari semua kelompok usia, namun
insidensi pertusis banyak didapatkan pada bayi dan anak kurang dari 5 tahun.
Insidensi terutama terjadi pada bayi atau anak yang belum diimunisasi.1
Dahulu pertusis adalah penyakit yang sangat epidemik karena menyerang
bukan hanya negara-negara berkembang namun juga beberapa bagian dari negara
maju. Namun setelah digalakkannya vaksinasi untuk pertusis, angka kematian
dapat ditekan, dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi
pertusis diharapkan tidak ditemukan lagi, meskipun ada kasusnya namun tidak
signifikan.1,2
Menurut salah satu lembaga penelitian kesehatan dunia Communicable
Disease Control (CDC) 2010 Annual Morbidity Report mengatakan bahwa
insiden pertusis meningkat setiap 3 sampai 5 tahun sekali. Pada 2010 peningkatan
kembali terjadi, seperti di Los Angeles terjadi peningkatan kasus sejak 50 tahun
terakhir yaitu 972 kasus saat ini (696 diagnosa pasti, 276 suspect) dengan angka
kejadian 9.91 kasus per 100.000 jiwa. Sedangkan di California angka kejadian
pertusis yaitu 23,3 kasus per 100.000 jiwa.3
Dengan mendiagnosa secara dini kasus pertusis, dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, manifestasi klinis, foto roentgen, dan pemeriksaan penunjang
lainnya, diharapkan para klinisi mampu memberikan penanganan yang tepat dan
2
cepat sehingga derajat penyakit pertusis tidak menimbulkan komplikasi yang
lebih lanjut.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent
cough, dan di Cina disebut batuk seratus hari. Pertusis adalah penyakit infeksi
akut yang menyerang saluran pernapasan yang disebabkan oleh Bordetella
pertussis, bakteri Gram-negatif berbentuk kokobasilus.1
2.2 Epidemiologi
Mulai tahun 1980 ditemukan peningkatan kejadian pertusis pada bayi, usia
11-18 tahun, dan dewasa, dengan cakupan imunisasi pertusis rutin yang luas. Di
Amerika Serikat kurang lebih 355 kasus terjadi pada usia <6 bulan, termasuk bayi
yang berumur 3 bulan. Kurang lebih 45% penyakit terjadi pada usia < 1 tahun dan
66% < 5 tahun. Kematian dan jumlah kasus yang dirawat tertinggi terjadi pada
usia 6 bulan pertama kehidupan.1,2
4
Centers of Disease Control and Prevention (CDC) pada tahun 2010,
melaporkan kasus pertusis di Amerika Serikat adalah 27.550 kasus dan 27 kasus
kematian. Sedangkan pada tahun 2011, kasus pertusis terbanyak pada usia 11
sampai 19 tahun yaitu sebanyak 47% dan pada anak-anak usia 7-10 tahun sekitar
18% kasus.1,2,3
Antibodi dari ibu (transplasental) selama kehamilan tidaklah cukup untuk
mencegah bayi baru lahir terhadap pertussis. Pertussis yang berat pada neonatus
dapat ditemukan dari ibu dengan gejala pertussis ringan. Kematian sangat
menurun setelah diketahui bahwa dengan pengobatan eritromicyn dapat
menurunkan tingkat penularan pertussis karena biakan nasofaring akan negatif
setelah 5 hari pengobatan. Tanpa reinfeksi alamiah dengan B.pertussis atau
vaksinasi booster berulang, anak yang lebih tua dan orang dewasa lebih rentan
terhadap penyakit ini jika terpajan.1
2.3 Etiologi
5
Gambar 1. Bordetella pertusis6
2.4 Patofisiologi
6
Toxin mediated adenosine disphosphate (ADP) mempunyai efek pengatur
sintesis protein di dalam membran sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi
fisiologis dari sel target termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati),
meningkatkan pengeluaran histamin dan serotonin, efek memblokir beta
adrenergik dan meningkatkan aktifitas insulin, sehingga akan menurunkan
konsentrasi gula darah..1,3,4
7
Gambar 2. Patogenesis pertusis6
8
stadium ini biasanya diagnosis pertusis belum dapat ditegakkan karena
sukar dibedakan dengan common cold. Sejumlah besar organisme tersebar
dalam droplet dan anak sangat infeksius, pada tahap ini kuman mudah
diisolasi.1,3,4
2.6 Diagnosis
9
a. Anamnesis
Ditanyakan adanya riwayat kontak dengan pasien pertusis, adakah
serangan khas yaitu paroksismal dan bunyi whoop yang jelas. Perlu pula
ditanyakan mengenai riwayat imunisasi
b. Pemeriksaan Fisis
Gejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisis tergantung dari stadium
saat pasien diperiksa.
c.Pemeriksaan Laboratorium
10
stadium kataral 95-100%, stadium paroksismal 94% pada minggu ke-3,
dan menurun sampai 20% untuk waktu berikutnya. 1,4,5
d. Radiologi
11
2.7 Penatalaksanaan
2.8 Pencegahan
a. Imunisasi pasif
Dalam imunisasi pasif dapat diberikan human hyperimmune globulin, ternyata
berdasarkan beberapa penelitian di klinik terbukti tidak efektif sehingga akhir-
akhir ini tidak lagi digunakan untuk pencegahan.4,5
b. Imunisasi aktif
Diberikan vaksin pertusis dari kuman Bordetella pertusis yang telah dimatikan
untuk mendapatkan kekebalan aktif. Imunisasi pertusis diberikan bersama-
sama dengan vaksin difteria dan tetanus. Dosis imunisasi dasar yang
12
dianjurkan 12 UI dan diberikan tiga kali sejak umur 2 bulan, dengan jarak 8
minggu. Vaksin pertusis monovalen 90,25 ml, i.m)telah dipakai untuk
mengontrol epidemi diantara orang dewasa yang terpapar. Salah satu efek
samping imunisasi adalah demam. Kontraindikasi bila terdapat riwayat reaksi
anafilaksis terhadap komponen vaksin dan ensefalopati (koma, kejang lama)
dalam 7 hari pemberian vaksin pertusis, kejang tanpa demam dalam 3 hari
sebelum imunisasi, menangis > 3 jam, hihg pitch cry dalam 2 hari, kolaps atau
hipotensi hiporesponsif dalam dua hari, suhu yang tidak dapat diterangkan >
40,5 ºC dalam 2 hari. 4,5
2.9 Komplikasi
Komplikasi terutama terjadi pada sistem nafas dan saraf pusat. Pneumonia
adalah komplikasi paling sering ditemukan, menyebabkan 90% kematian pada
anak < 3 tahun. Pneumonia dapat disebabkan karena Bordetella pertusis tetapi
lebih sering disebabkan oleh infeksi bakteri sekunder (Haemophilus influenzae, S.
pneumonia, S.aureus dan S. pyogenes). Tuberculosis laten dapat menjadi aktif.
Atelektasis terjadi sekunder terhadap sumbatan mucus yang kental. Aspirasi
13
mucus atau muntah dapat menyebabkan pneumomia. Panas tinggi merupakan
tanda infeksi sekunder dari bakteri. Batuk dengan tekanan tinggi dapat
menimbulkanruptur alveoli, emfisema, interstisiel/subkutan dan pneumotoraks,
termasuk perdarahan subkonjungtiva.4,9
2.10 Prognosis
Prognosis tergantung usia anak, anak yang lebih tua mempunyai prognosis
yang lebih baik. Pada bayi risiko kematian (0,5-1%) disebabkan ensefalopati.
Pada penelitian jangka panjang, apnea atau kejang akan menyebabkan gangguan
intelektual di kemudian hari.10
14
BAB III
KESIMPULAN
Pertusis di tandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang sangat
spasmodik dan paroksimal disertai nada yang meninggi. Penyakit ini dapat
ditemukan pada semua umur, mulai dari bayi sampai dewasa. Penyebabnya adalah
Bordetella pertusis. Pertusis merupakan penyakit menular dengan tingkat
penularan yang tinggi, dimana penularan ini terjadi pada kelompok masyarakat
yang padat penduduknya dengan tingkat penularannya mencapai 99%, dapat
ditularkan melalui udara secara droplet, bahan droplet, memegang benda yang
terkontaminasi dengan sekret nasofaring.
15
Pengobatan pertusis terdiri dari, terapi kausal : antimikroba, eritromisin
merupakan antimikroba yang lebih efektif dibanding kloramfenikol maupun
tetrasiklin. Terapi suportif yaitu lingkungan perawatan yang tenang, pemberian
makanan, hindari makanan yang sulit ditelan, sebaiknya diberikan makanan yang
berbentuk cair.
16
DAFTAR PUSTAKA
1. S. Long, Sarah. Pertusis. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol II. Jakarta :
EGC. 2005
2. Cherry JD. Comparison of the epidemiology of the disease pertussis with
the epidemiology of Bordetella pertussis infection. 2005. Pediatrics :
Diakses 26 Januari 2016 dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15867059
3. Turner, B, Lewis, NE. Annnual Morbidity Report of Pertusis. Journal of
Communicable Disease Control. 2010. Diakses pada 26 Januari 2016 dari
http://www.cdc.gov/mmwr/mmwr_nd/index.html.
4. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku ajar infeksi dan pediatric tropis.
Ed.2. Badan penerbit IDAI; Jakarta: 2010
5. Heininger, U. Update on pertussis in children. Expert review of anti-
infective therapy 8 (2): 163–73. 2010
6. Wertheim H, Horby P, Woodall PJ. Atlas of human infectious disease.
Wiley Blackwell; USA: 2012.
7. Central for disease control and prevention. Pertussis (whooping cough).8
agustus 2013. [serial online]. Diakses 26 Januari 2016 dari URL:
http://www.cdc.gov/pertussis/clinical/disease-specifics.html
8. Bocka J. Pertussis. Emedicine-Medscape. 2014. [serial online]. Diakses 26
Januari 2016 dari URL: http://emedicine.medscape.com/article/967268-
overview
9. World health organization. Country office for Indonesia. Dalam pedoman
pelayanan kesehatan anak di rumah sakit rujukan tingkat pertama
kabupaten/kota. Ed.1 bahasa Indonesia; Jakarta: 2009.
10. Todar, Kenneth. Bordetella pertussis and Whooping Cough. 2014. Diakses
26 Januari 2016 dari http://textbookofbacteriology.net/pertussis_2.html.
17