Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH VCT

TATA LAKSANA HIV PADA ORANG DEWASA DAN ANAK

OLEH :

KELOMPOK 8

SEMESTER 6A

NI WAYAN SIRPA YANTI (16089014094)

LUH PUTU CANDRA KUSUMA WARDANI (17089014018)

NI LUH INDAH PUTRI DEWI ASIH (17089014035)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BULELENG

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

2020
KATA PENGATAR

Puji dan syukur kami panjatkan atas Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberi petunjuk dan kekuatan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang
berjudul “TATA LAKSANA HIV PADA ANAK DAN ORANG DEWASA”
Kami menyadari sepenuhnya bahwa susunan dan materi yang terkandung di dalam
makalah ini belumlah sempurna. Untuk itu saran dan kritik yang sifatnya membangun selalu
kami harapkan dengan senang hati dari semua pihak demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat membawa pemahaman dan pengetahuan bagi kita semua.

Singaraja, 24 Maret 2020

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……...…………………………………………….……............i
DAFTAR ISI.…………………...…………………………………………................. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG ...…………………………………………..…….........1
1.2 RUMUSAN MASALAH……………………...………………………...........1
1.3 TUJUAN.......………………...……………………………………..................1
1.4 MANFAAT......……………...……………………………………...................2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 TATA LAKSANA HIV PADA ORANG DEWASA………………………....4
2.2 TATA LAKSANA HIV PADA ANAK...…………………..............................9

BAB III PENUTUP


3.1 KESIMPULAN……….……...…………………………………………..............12
3.2 SARAN……..……………...…………………………………………..................12
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Komunikasi merupakan hal yang fundamental bagi kehidupan manusia. Dengan
berkomunikasi, manusia dapat menyampaikan gagasan dan mentransferkan pesannya
kepada khalayak luas dengan tujuan mempengaruhi perilaku orang lain untuk mengambil
keputusan tertentu.Upaya penyebarluasan informasi tidak hanya diperlukan di kehidupan
sehari-hari saja, namun juga memiliki peranan penting dalam bidang kesehatan.
Komunikasi dalam bidang ini berfungsi untuk mendorong individu maupun kelompok
masyarakat agar dapat mengambil keputusan tepat demi mendapatkan kondisi yang sehat
secara fisik, mental, dan sosial.Proses penyampaian informasi mengenai isu-isu kesehatan
oleh komunikator kepada komunikan inilah biasa dikenal dengan komunikasi kesehatan.
Sebagai usaha yang sistematis dalam mempengaruhi perilaku kesehatan masyarakat,
komunikasi kesehatan ini memanfaatkan 2 metode komunikasi yaitu komunikasi
antarpribadi dan komunikasi massa.Tujuan utama dari dilakukannya komunikasi
kesehatan ini yaitu adanya perubahan perilaku kesehatan dalam masyarakat, dimana
perilaku masyarakat yang sehat akan berpengaruh pada meningkatnya derajat kesehatan
masyarakat.
Di Indonesia, banyak penyakit yang sudah menjadi masalah kesehatan bagi
masyarakat, salah satunya HIV/AIDS. Kasus HIV/AIDS yang terjadi diibaratkan seperti
fenomena gunung es, sebabapa yang terlihat di atas itu hanya nampak kecil,sementara
kondisi dibawah yang lebih besar justrutidak terdeteksi. Karenanya, setiap tahunjumlah
penderita mengalami peningkatan dan tidak sedikit yang meninggal.
Laporan Kementerian Kesehatan, sejak pertama kali kasus HIV ditemukan pada tahun
1987 hingga bulan September 2014, tercatat sebanyak 150.296 orang telah terinfeksi
HIV, dimana 55.799 orang di antaranya telah pada tahap AIDS. Persentase AIDS pada
laki-laki sebanyak 54%, dan perempuan 29%, sementara itu 17% tidak melaporkan jenis
kelamin. Jumlah AIDS tertinggi tercatat pada ibu rumah tangga (6.539), diikuti
wiraswasta (6.203), tenaga non-profesional/karyawan (5.638) dan petani/peternak nelayan
(2.324). Program penanggulangan HIV/AIDS yang ada yaitu melalui pengamanan darah,
komunikasi-informasi dan edukasi (KIE) telah berjalan cukup baik, namun program
pelayanandan dukungan tersebut masih sangat terbatas, khususnya program konseling dan
tes sukarela atau biasa dikenal dengan Voluntary Counselling andTesting(VCT).
Di negara maju, VCT sudah menjadi komponen utama dalam program
penanggulangan HIV/AIDS, namundi negara berkembang sepertidi Indonesia, VCT
belum merupakan strategi yang besar (Rimawati dkk, 2011). Karena strategi kesehatan
hanya difokuskan untuk mengurangi angka kematian dari penyakit menular yang dapat
dicegah saja.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2006) menyatakan kegiatan pengendalian
terhadap HIV/AIDS lebih diprioritaskan pada pencegahan,namun seiring meningkatnya
infeksi HIV dan kasus AIDS yang memerlukan pengobatan Anti Retro Viral (ARV),
maka strategi pengendalian HIV saat ini dilaksanakan dengan memadukan pencegahan,
perawatan, dukungan serta pengobatan.Untuk mencapai target akses ARV, di tahun 2005,
Indonesia mengembangkan pelayanan untuk Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) secara
komprehensif. Salah satu unsurnya yaitu menyiapkan petugas konselor yang profesional
dan mahir di rumah sakit melalui pelatihan VCT dengan menggunakan standar modul
pelatihan profesional yang diadopsi dari WHO-SEARO (World Health Organization-
South East Asian Regional Office) dan sudah disesuaikan dengan kondisi Indonesia.
Konselor diberikan pelatihan VCT guna menunjang program penanggulangan dan
penyebaran HIV/AIDS. Dalam membantu ODHA, konselor diharapkan memiliki
keterampilan komunikasi antar pribadi yang baik untuk membangun kepercayaan dari
klien sehingga tujuan komunikasi kesehatan akan tercapai secara efektif. Konselor yaitu
pihak yang memberikan pertolongan, waktu, perhatian, dan keahliannya untuk membantu
klien (ODHA) mempelajari keadaan dirinya dan melakukan pemecahan masalah terhadap
keterbatasan yang diberikan lingkungan seperti stigma negatif dan diskriminasi
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana tata laksana HIV pada orang dewasa?
1.2.2 Bagaimana tata laksana HIV pada anak?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan pembuatan makalah ini adalah diperoleh gambaran teoritis tentang tatalaksana
HIV pada anak dan orang dewasa.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mampu memahami tatalaksana HIV pada anak.
2. Mampu memahami tatalaksana HIV pada orang dewasa.
1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi mahasiswa
Sebagai informasi dan refrensi untuk memahami tatalaksana HIV pada anak dan
orang dewasa. Pemahaman ini sangat penting sebagai modal utama dalam
menghadapu kasus di lapangan.
BAB II
PEMBAHASAN
.

2.1 Tata laksana HIV pada orang dewasa


A. Kegiatan layanan HIV di Fasilitas Layanan Kesehatan
Layanan terkait HIV meliputi upaya dalam menemukan pasien HIV secara dini
dengan melakukan tes dan konseling HIV pada pasien yang datang ke fasyankes,
perawatan kronis bagi Odha dan dukungan lain dengan sistem rujukan ke berbagai
fasilitas layanan lain yang dibutuhkan Odha. Layanan perlu dilakukan secara
terintegrasi, paripurna, dan berkesinambungan. Infeksi HIV merupakan infeksi kronis
dengan berbagai macam infeksi oportunistik yang memiliki dampak sosial terkait stigma
dan diskriminasi serta melibatkan berbagai unsur dengan pendekatan tim.
Setiap daerah diharapkan menyediakan semua komponen layanan
HIV yang terdiri dari :
1. Informed consent untuk tes HIV seperti tindakan medis lainnya.
2. Mencatat semua kegiatan layanan dalam formulir yang sudah ditentukan
(Lampiran 2)
3. Anamnesis dan pemeriksaan fisik lengkap oleh dokter.
4. Skrining TB dan infeksi oportunistik.(lampiran 3)
5. Konseling bagi Odha perempuan usia subur tentang KB dan kesehatan reproduksi
termasuk rencana untuk mempunyai anak.
6. Pemberian obat kotrimoksasol sebagai pengobatan pencegahan infeksi oportunistik.
7. Pemberian ARV untuk Odha yang telah memenuhi syarat.
8. Pemberian ARV profilaksis pada bayi segera setelah dilahirkan oleh ibu hamil
dengan HIV.
9. Pemberian imunisasi dan pengobatan pencegahan kotrimoksasol pada bayi yang
lahir dari ibu dengan HIV positif.
10. Anjuran rutin tes HIV, malaria, sifilis dan IMS lainnya pada perawatan
antenatal (ANC).
11. Konseling untuk memulai terapi.
12. Konseling tentang gizi, pencegahan penularan, narkotika dan konseling lainnya
sesuai keperluan.
13. Menganjurkan tes HIV pada pasien TB, infeksi menular seksual (IMS), dan
kelompok risiko tinggi beserta pasangan seksualnya, sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
14. Pendampingan oleh lembaga non kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien.
Sesuai dengan unsur tersebut maka perlu terus diupayakan untuk meningkatkan akses
pada perangkat pemantau kemajuan terapi, seperti pemeriksaan CD4 dan tes viral load.
Komponen layanan tersebut harus disesuaikan dengan ketersediaan sumber daya
setempat. Semakin dini Odha terjangkau di layanan kesehatan untuk akses ARV, maka
semakin kurang risiko untuk mendapatkan penyakit infeksi oportunistik maupun
menularkan infeksi HIV.
B. Konseling dan Tes HIV
Terdapat dua macam pendekatan untuk tes HIV
1) Konseling dan tes HIV sukarela (KTS-VCT = Voluntary
Counseling & Testing)
2) Tes HIV dan konseling atas inisiatif petugas kesehatan (KTIP –
PITC = Provider-Initiated Testing and Counseling)
KTIP merupakan kebijakan pemerintah untuk dilaksanakan di layanan kesehatan
yang berarti semua petugas kesehatan harus menganjurkan tes HIV setidaknya pada
ibu hamil, pasien TB, pasien yang menunjukkan gejala dan tanda klinis diduga terinfeksi
HIV, pasien dari kelompok berisiko (penasun, PSK-pekerja seks komersial, LSL –
lelaki seks dengan lelaki), pasien IMS dan seluruh pasangan seksualnya. Kegiatan
memberikan anjuran dan pemeriksaan tes HIV perlu disesuaikan dengan prinsip
bahwa pasien sudah mendapatkan informasi yang cukup dan menyetujui untuk tes
HIV dan semua pihak menjaga kerahasiaan (prinsip 3C – counseling, consent,
confidentiality).
B. Pemeriksaan Laboratorium Untuk Tes HIV
Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV sesuai dengan panduan
nasional yang berlaku pada saat ini, yaitu dengan menggunakan strategi 3 dan selalu
didahului dengan konseling pra tes atau informasi singkat. Ketiga tes tersebut
dapat menggunakan reagen tes cepat atau dengan ELISA. Untuk pemeriksaan
pertama (A1) harus digunakan tes dengan sensitifitas yang tinggi (>99%),
sedang untuk pemeriksaan selanjutnya (A2 dan A3) menggunakan tes dengan
spesifisitas tinggi (>99%).
Antibodi biasanya baru dapat terdeteksi dalam waktu 2 minggu hingga 3
bulan setelah terinfeksi HIV yang disebut masa jendela. Bila tes HIV yang dilakukan
dalam masa jendela menunjukkan hasil ”negatif”, maka perlu dilakukan tes
ulang, terutama bila masih terdapat perilaku yang berisiko.
C. Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK)
Beberapa infeksi oportunistik (utamanya PCP dan Toksoplasmosis) dapat
dicegah dengan pemberian Kotrimoksasol.
D. Infeksi Menular Seksual (IMS)
Layanan pra-terapi ARV dan terapi ARV merupakan peluang untuk
memberikan layanan IMS secara paripurna, yang meliputi diagnosis yang tepat
berdasarkan gejala atau tes laboratorium, pemberian terapi efektif pada saat
diagnosis, pemberitahuan dan pengobatan pasangan, pengurangan risiko perilaku
dan penularan melalui edukasi, serta dilakukan konseling dan penyediaan
kondom. Dianjurkan skrining laboratorium yang meliputi tes serologis untuk sifilis,
terutama perempuan hamil dan tes HIV untuk semua pasien IMS.

F. Aspek Pencegahan dalam Pengobatan (Treatment as Prevention)

Pengobatan ARV terbukti mempunyai peran yang bermakna dalam pencegahan


penularan HIV, karena obat ARV memiliki mekanisme kerja mencegah replikasi virus yang
secara bertahap menurunkan jumlah virus dalam darah. Penurunan jumlah virus ini
berhubungan dengan penurunan kadar virus dalam duh genital dengan catatan tidak
terdapat IMS. Penelitian observasional menunjukkan penurunan penularan HIV pada
pasangan serodiscordant (berbeda status HIV-nya) yang mendapatkan pengobatan ARV.

G. Positive Prevention

Sangat penting untuk disadari bahwa penurunan jumlah virus akibat terapi ARV
harus disertai dengan perubahan perilaku berisiko. Dengan demikian terapi ARV harus
disertai dengan pencegahan lain seperti, penggunaan kondom, perilaku seks dan
NAPZA yang aman, pengobatan IMS dengan paduan yang tepat.
H. Kesiapan menerima terapi antiretroviral

ODHA harus mendapatkan informasi yang lebih mengutamakan manfaat terapi


ARV sebelum terapi dimulai. Bila informasi dan rawatan HIV dimulai lebih awal
sebelum memerlukan terapi ARV maka pasien mempunyai kesempatan lebih panjang
untuk mempersiapkan diri demi keberhasilan terapi ARV jangka panjang, melalui
konseling pra-terapi ARV yang meliputi cara dan ketepatan minum obat, efek samping yang
mungkin terjadi, interaksi dengan obat lain, pemantauan keadaan klinis dan pemantauan
pemeriksaan laboratorium secara berkala termasuk pemeriksaan jumlah CD4.

Setelah dinyatakan terinfeksi HIV maka pasien perlu dirujuk kelayanan PDP untuk
menjalankan serangkaian layanan yang meliputi penilaian stadium klinis, penilaian
imunologis dan penilaian virologi. Hal tersebut dilakukan untuk:

1) Menentukan apakah pasien sudah memenuhi syarat untuk terapi antiretroviral

2) Menilai status supresi imun pasien

3) Menentukan infeksi oportunistik yang pernah dan sedang terjadi; dan

4) Menentukan paduan obat ARV yang sesuai.

A.Penilaian Stadium Klinis

Stadium klinis harus dinilai pada saat kunjungan awal dan setiap kali kunjungan untuk
penentuan terapi ARV dengan lebih tepat waktu.

B.Penilaian Imunologi (Pemeriksaan jumlah CD4)

Jumlah CD4 adalah cara untuk menilai status imunitas ODHA. Pemeriksaan CD4 melengkapi
pemeriksaan klinis untuk menentukan pasien yang memerlukan pengobatan profilaksis IO
dan terapi ARV.Rata rata penurunan CD4 adalah sekitar 70-100 sel/mm3/tahun, dengan
peningkatan setelah pemberian ARV antara 50 –100 sel/mm3/tahun. Jumlah limfosit total
(TLC) tidak dapat menggantikan pemeriksaan CD4.

C.Pemeriksaan laboratorium sebelum memulai terapi

Pada dasarnya pemantauan laboratorium bukan merupakan persyaratan mutlak untuk


menginisiasi terapi ARV. Pemeriksaan CD4 dan viral load juga bukan kebutuhan mutlak
dalam pemantauan pasien yang mendapat terapi ARV, namun pemantauan laboratorium atas
indikasi gejala yang ada sangat dianjurkan untuk memantau keamanan dan toksisitas pada
ODHA yang menerima terapi ARV. Hanya apabila sumberdaya memungkinkan maka
dianjurkan melakukan pemeriksaan viral load pada pasien tertentu untuk mengkonfirmasi
adanya gagal terapi menurut kriteria klinis dan imunologis.

D.Persyaratan lain sebelum memulai terapi ARV

Sebelum mendapat terapi ARV pasien harus dipersiapkan secara matang dengan konseling
kepatuhan karena terapi ARV akan berlangsung seumur hidupnya.

Untuk ODHA yang akan memulai terapi ARV dalam keadaan jumlah CD4 di bawah 200
sel/mm3maka dianjurkan untuk memberikan Kotrimoksasol (1x960mg sebagai pencegahan
IO) 2 minggusebelum terapi ARV. Hal ini dimaksudkan untuk: 1. Mengkaji kepatuhan pasien
untuk minum obat,dan 2. Menyingkirkan kemungkinan efek samping tumpang tindih antara
kotrimoksasol dan obat ARV, mengingat bahwa banyak obat ARV mempunyai efek samping
yang sama dengan efek samping kotrimoksasol.

E.Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK)

Beberapa infeksi oportunistik (IO) pada ODHA dapat dicegah dengan pemberian pengobatan
profilaksis. Terdapat dua macam pengobatan pencegahan, yaitu profilaksis primer dan
profilaksis sekunder.

 Profilaksis primer adalah pemberian pengobatan pencegahan untuk mencegah suatu


infeksi yang belum pernah diderita.
 Profilaksis sekunder adalah pemberian pengobatan pencegahan yang ditujukan untuk
mencegah berulangnya suatu infeksi yang pernah diderita sebelumnya

Berbagai penelitian telah membuktikan efektifitas pengobatan pencegahankotrimoksasol


dalam menurunkan angka kematian dan kesakitan pada orang yang terinfeksi HIV. Hal
tersebut dikaitkan dengan penurunan insidensi infeksi bakterial, parasit (Toxoplasma) dan
Pneumocystis cariniipneumonia (sekarang disebut P. jiroveci, disingkat sebagai PCP).
Pemberian kotrimoksasol untuk mencegah (secara primer maupun sekunder) terjadinya
PCP dan Toxoplasmosis disebut sebagai Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK)

PPK dianjurkan bagi:


 ODHA yang bergejala (stadium klinis 2, 3, atau 4) termasuk perempuan hamil dan
menyusui. Walaupun secara teori kotrimoksasol dapat menimbulkan kelainan
kongenital, tetapi karena risiko yang mengancam jiwa pada ibu hamil dengan
jumlah CD4 yang rendah (<200)atau gejala klinis supresi imun (stadium klinis 2,
3 atau 4), maka perempuan yang memerlukan kotrimoksasol dan kemudian hamil
harus melanjutkan profilaksis kotrimoksasol.
 ODHA dengan jumlah CD4 di bawah 200 sel/mm3(apabila tersedia pemeriksaan
dan hasil CD4)

2.2 Tata laksana HIV pada anak

Penularan dari ibu ke anak (mother to child transmission) berperan utama dalam
penyebaran HIV pada anak. Bila seorang wanita yang telah terinfeksi HIV dan mengandung,
maka kemungkinan bayinya akan terinfeksi selama kehamilan atau saat proses melahirkan
per vaginam (secara normal). Selain itu, HIV juga bisa ditularkan melalui ASI.

Selain dari penularan ibu ke anak, beberapa anak dapat terkena HIV di dalam rumah
sakit atau situasi medis lain; misalnya melalui jarum suntik yang belum steril atau melalui
transfusi darah yang telah terinfeksi HIV. Di negara-negara yang lebih maju, masalah-
masalah ini telah diatasi, tapi di lingkup yang lebih miskin sumber daya hal tersebut masih
merupakan isu penting. Pada anak yang lebih tua, aktivitas seksual dan penggunaan narkoba
juga merupakan resiko untuk terinfeksi HIV.

a. Gejala anak yang terinfeksi HIV:


Kebanyakan anak dengan HIV tidak bertambah berat badannya tetapi dapat
juga tumbuh dengan normal. Kemampuan motorik dan perkembangan mental mereka
seringkali tertinggal dibanding anak normal seperti merangkak, berjalan dan
berbicara. Seiring dengan perkembangan penyakitnya, banyak anak mengalami
masalah sistem saraf seperti sulit berjalan, performa sekolah yang buruk, kejang, dan
gejala ensefalopati HIV (kelainan pada otak). Seperti juga orang dewasa yang telah
terinfeksi HIV, anak-anak dengan HIV juga dapat terkena infeksi oleh kuman lain
yang mengancam jiwa, meskipun angka kejadiannya berbeda dengan orang dewasa.
Di antaranya:
1. Toksoplasmosis (penyakit akibat parasit), lebih sering terjadi pada anak daripada
orang dewasa.
2. Pneumocystis carinii pneumonia (PCP), yang merupakan penyebab utama kematian
pada anak yang terinfeksi HIV atau AIDS
3. Penyakit paru yang disebut lymphocytic interstitial pneumonitis (LIP). Jarang pada
orang dewasa, lebih sering pada anak. Penyakit ini dapat menyebabkan sulit bernapas
secara progresif seperti PCP dan biasanya harus dirawat.
4. Kandidiasis berat (infeksi jamur) yang dapat menyebabkan diaper rash (ruam popok)
dan infeksi pada mulut dan tenggorokan yang menyebabkan kesulitan makan
5. Bila sudah bertambah parah, anak yang terinfeksi HIV dapat mengalami diare kronik
karena infeksi oportunistik/kuman lain.

b. Diagnosis
Umumnya untuk mendiagnosis infeksi HIV pada anak sangat sulit, karena
pada bulan-bulan awal kehidupan, bayi bisa tampak sehat dan normal. Untuk
memastikan diagnosis dibutuhkan pemeriksaan laboratorium yang tepat. Uji antibodi
HIV dapat digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap HIV. Bayi yang lahir dari
ibu penderita HIV, akan memiliki antibodi terhadap HIV yang didapat dari ibu
melalui tali pusat, dan bertahan di dalam darah bayi hingga usia 18 bulan (disebut
juga antibodi maternal). Karena antibodi maternal ini menunjukkan status infeksi HIV
ibu, bukan si bayi, maka uji antibodi HIV tidak begitu berguna pada bayi baru lahir
dan bayi di bawah usia 18 bulan. Akhir-akhir ini, ditemukan pemeriksaan untuk
mendiagnosis infeksi HIV pada bayi usia 6 bulan atau di bawahnya. Pemeriksaan ini
disebut tes PCR (polymerase chain reaction) HIV dan dapat dilakukan pada usia
berapapun. Diagnosis dini sangat penting, karena keadaan imunodefisiensi yang berat
dan mengancam kehidupan dapat terjadi dengan cepat. Tata laksana yang optimal
infeksi HIV pada bayi dan anak, memerlukan diagnosis yang tepat waktu dan akurat.
c. Pengobatan
Penanganan HIV positif pada bayi dan anak sangat sulit, tapi ada beberapa
pilihan terapi yang tersedia. Terapi antiretroviral (ARV) bekerja sangat baik pada
anak-anak,  angka kematian anak yang terinfeksi HIV menurun sebanyak yang ada
pada dewasa. Menentukan waktu yang tepat untuk memulai terapi pada anak
merupakan hal yang sulit. Terapi yang lebih cepat dapat mencegah kerusakan sistem
imun. Meskipun demikian, pemberian ARV bukan merupakan gawat darurat. Yang
penting dalam penanganan HIV anak adalah kepatuhan minum obat yang merupakan
kunci keberhasilan pengobatan anak yang terinfeksi HIV dan mencegah terjadinya
resistensi (kebal terhadap obat).

Oleh karena penularan dari ibu ke anak berperan utama dalam penyebaran HIV pada anak,
maka cara utama untuk mencegah anak-anak terinfeksi HIV adalah dengan pencegahan
penularan HIV dari ibu ke anak. Program pencegahan transmisi dari ibu ke anak (prevention
of mother to child Bayi dan anak yang telah terinfeksi HIV harus ditangani oleh dokter anak
transmission of HIV/ PMTCT) dilakukan untuk menurunkan angka penderita infeksi HIV
pada anak.  Program ini mencakup skrining HIV pada ibu hamil, pemberian ARV pada ibu
hamil dengan HIV positif, dan asuhan perawatan saat bayi lahir. Pada ibu hamil yang
menderita HIV, proses persalinan sebaiknya melalui operasi Caesar. Selain itu, oleh karena
virus HIV dapat ditularkan melalui ASI, maka sebaiknya ASI diganti dengan susu formula,
dan tidak menggabungkan pemberian keduanya. Ada beberapa imunisasi yang dapat
dilakukan pada bayi dan anak yang terinfeksi HIV. Ada baiknya melakukan konsultasi
dengan dokter anak sebelum memberikan imunisasi
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Layanan terkait HIV meliputi upaya dalam menemukan pasien HIV secara dini
dengan melakukan tes dan konseling HIV pada pasien yang datang ke fasyankes,
perawatan kronis bagi Odha dan dukungan lain dengan sistem rujukan ke berbagai
fasilitas layanan lain yang dibutuhkan Odha. Layanan perlu dilakukan secara
terintegrasi, paripurna, dan berkesinambungan. Infeksi HIV merupakan infeksi kronis
dengan berbagai macam infeksi oportunistik yang memiliki dampak sosial terkait stigma
dan diskriminasi serta melibatkan berbagai unsur dengan pendekatan tim.

3.2 Saran

Agar kita semua terhindar dari HIV/AIDS, maka kita harus berhati-hati memilih
pasangan hidup, jangan sampai kita menikah dengan pasangan yang mengicap HIV /
AIDS, karena selain dapat menular kepada diri kita sendiri juga dapat menular kepada
janin dalam kandungan kita. Kita juga harus berhati-hati dalam pemakaian jarum suntik
secara bergantian dan tranfusi darah dengan darah yang sudah terpapar HIV.
DAFTAR PUSTAKA

XIndonesia, K. kesehatan. (n.d.). 616.979 Ind P.

Kesehatan, K., & Indonesia, R. (2014). Pedoman penerapan terapi hiv pada anak.

Suhaimi. (2009). Pencegahan Dan Penatalaksanaan Infeksi Hiv/Aids Pada Kehamilan.


Majalah Kedokteran Bandung, 41(2), 1–7. https://doi.org/10.15395/mkb.v41n2.184

Anda mungkin juga menyukai