Anda di halaman 1dari 12

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Staphylococcal scalded skin syndrome (S.S.S.S.) dihitung sebagai salah satu
infeksi kulit yang utama. Pada infeksi ini, permukaan kulit sebagian besar terkelupas dan
terlihat seperti kulit terbakar dengan cairan panas. S.S.S.S. juga disebut sebagai penyakit
Ritter von Ritterschein, penyakit Ritter, penyakit Lyell dan necrolysis staphylococcal
epidermis. Penyakit ini umumnya terjadi pada bayi baru lahir karena memiliki tampakan
kulit seperti melepuh yang luar biasa pada permukaan kulit yang dangkal yang
disebabkan oleh racun eksfoliatif yang dilepaskan dari Staphylococcus aureus. S.S.S.S.
merupakan suatu bentuk penyakit kulit yang berat dan disebabkan oleh eksotoksin
eksfoliatif yang dihasilkan S. aureus fage grup II dan ditandai oleh pembentukan bula
dan eksfoliasi yang generalisata.

B. Epidemiologi
Penyakit ini terutama terdapat pada anak di bawah 5 tahun tetapi jarang ditemukan
pada dewasa kecuali dengan gangguan ginjal, defisiensi imun dan penyakit kronik.
Diantara kasus yang pernah dilaporkan, lelaki cenderung lebih banyak dari wanita
dengan perbandingan 2:1. Prevalensi pada anak kurang dari 2 tahun sebesar 62% dan
hampir seluruh kasus terjadi pada anak kurang dari 6 tahun (98%), serta 50% kasus
terjadi sebelum usia 50 tahun. Manusia merupakan reservoir utama dan orang dewasa
umumnya merupakan karier (15-40%). Nasofaring anterior, aksila, perineum, dan vagina
merupakan lokasi karier yang umum. Epidemi sering disebabkan oleh strain spesifik,
beberapa lebih virulen daripada lainnya.

C. Etiologi
Etiologinya ialah di antaranya Staphylococcus aureus grup II faga 52, 55, dan/atau
faga 71. Strain Staphylococcus penyebab penyakit umumnya adalah Staphylococcus
aureus dengan koagulase positif (kokus Gram-positif), yang menghasilkan eksfoliatin
toksin A (ETA) dan eksfoliatin toksin B (ETB). Eksfoliatin toksin ini bersifat
epidermolitik. Penularannya melalui kontak dengan pasien atau karier, sering melalui
tangan yang terkontaminasi; jalur indirect jarang terjadi.

D. Patogenesis
Sebagai sumber infeksi ialah infeksi pada mata, hidung, tenggorok, dan telinga.
Eksotoksin yang dikeluarkan bersifat epidermolitik (epidermolin, eksfoliatin) yang
beredar di seluruh tubuh, sampai pada epidermis dan menyebabkan kerusakan, karena
epidermis merupakan jaringan yang rentan terhadap toksin ini. Pada kulit tidak selalu
ditemukan kuman penyebab.
Fungsi ginjal yang baik diperlukan untuk mengekskresikan eksfoliatin. Pada anak-
anak dan bayi diduga fungsi ekskresi ginjal belum sempurna, karena itu umumnya
penyakit ini terdapat golongan usia tersebut. Jika penyakit ini menyerang orang dewasa
diduga karena terdapat kegagalan fungsi ginjal, atau terdapat gangguan imunologik,
termasuk yang mendapat obat imunosupresif.
Masuknya kuman ke dalam kulit biasanya terjadi setelah robekan atau sumbatan
folikel rambut. Multiplikasi menyebabkan inflamasi dan pembentukan pus. Banyak
toksin dan faktor seluler yang membantu terjadinya infeksi seperti koagulase,
hialuronidase, lipase.
Kulit adalah organ terbesar dalam tubuh manusia yang mengandung lima lapisan
yaitu: Stratum korneum, Stratum lucidum, Stratum granulosum, Stratum spinosum,
Stratum germinativum (Gambar 1). Desmosom merupakan sebagian dari sel kulit yang
bertanggungjawab sebagai perekat kepada sel-sel kulit. Desmosom adalah struktur lokal
yang disusun secara sistemik pada ujung lateral membran sel. Toksin eksfoliatif memiliki
target kerja pada desmoglein 1 merupakan desmosom glikoprotein transmembran yang
mempertahankan adhesi antar sel pada epidermis. Tindakan utama desmosom adalah
untuk melawan kekuatan geser dan ditemukan epitel skuamosa simpleks dan stratified.
Sehubungan dengan S.S.S.S., desmosom ditemukan di jaringan otot untuk bertindak
mengikat sel otot satu sama lain.

Toksin eksfoliatif
(ETs) merupakan serin
protease yang dapat menimbulkan celah pada ikatan adhesi antar sel molekul desmoglein
1, yang tampak pada bagian atas epidermis yaitu antara stratum spinosum dan
granulosum sehingga menimbulkan bula berdinding tipis yang mudah pecah,
memperlihatkan Nikolsky sign positif. Pada SSSS toksin berdifusi dari fokus infeksi, dan
tidak adanya antibodi antitoksin spesifik dapat menyebabkan penyebaran toksin secara
hematogen. Meskipun strain toksigenik S. aureus yang terbanyak adalah faga grup II
(subtype 3A, 3B, 3C, 55 dan 71), selain itu juga terdapat strain faga grup I dan III.
Adanya keterlibatan desmoglein 1 pada SSSS menyerupai penyakit autoimun pemfigus
foliaseus.
Desmosom merupakan target toksin eksfoliatif pada SSSS (Gambar.2). Desmosom
adalah intercelluler adhesive junction yang secara struktural berhubungan dengan
filamen intermediet intraseluler. Desmosom ini diekspresikan oleh sel epitel dan
beberapa sel lainnya yang banyak terdapat pada jaringan yang mengalami stress
mekanik, seperti kulit, mukosa gastrointestinal, jantung, dan kandung kemih.
Desmoglein (Dsg) merupakan komponen transmembran mayor pada desmosom yang
berperan tidak hanya pada adhesi antar sel epitel tetapi juga pada morfogenesis sel epitel.
Terdapat 3 isoform desmoglein yaitu Dsg1, Dsg2, dan Dsg3. Dsg 2 terdapat pada semua
jaringan yang memiliki desmosom termasuk epitel dan miokard, sedangkan Dsg1 dan
Dsg3 terbatas pada epitel skuamos bertingkat.
Gambar 2. Desmoglein merupakan target pada SSSS
ETA dan ETB menyebabkan bula dan pengelupasan kulit dengan cara menghambat
desmosom pada lapisan sel granular epidermal sehingga terjadi pemisahan intradesmosomal.
Lebih dari satu dekade diduga bahwa toksin tersebut terikat secara langsung pada cadherin
desmosomal, yaitu desmosglein1 (Dsg1). Meskipun pemisahan sel epidermal ditunjukkan
oleh toksin eksfoliatif (ETs), gejala klinis SSSS tidak dapat diterangkan oleh aksi toksin
tersebut. ETs juga bisa bertindak sebagai lipase sekaligus mengaktifkan protease lain yang
pada gilirannya menyebabkan pengaruh patogenik.

E. Faktor Risiko
Neonatus dan anak-anak dari kelompok umur kurang dari 5 tahun umumnya
berisiko tinggi terhadap S.S.S.S. Untuk melawan S.S.S.S, di masa kanak-kanak, tubuh
memperoleh kekebalan tubuh seumur hidup dalam bentuk antibodi terhadap eksotoksin
strain stafilokokus. Kekurangan kekebalan tubuh terhadap eksotoksin bakteri dan
kegagalan fungsi ginjal yang tidak sempurna meningkatkan kemungkinan S.S.S.S pada
neonatus. Alasan dibalik fakta tersebut meliputi bahwa eksotoksin dibersihkan melalui
ginjal. Ini menunjukkan bahwa terlepas dari usia dan jenis kelamin, orang dengan
gangguan imunologik dan pasien gagal ginjal berisiko terkena S.S.S.S.

F. Manifestasi klinis
Pada umumnya terdapat demam yang tinggi, malaise, gelisah, dan nyeri disertai
infeksi di saluran napas bagian atas. Kelainan kulit yang pertama timbul ialah eritema
yang timbul mendadak pada muka, leher, ketiak, dan lipat paha, kemudian menyeluruh
dalam waktu 24 jam. Dalam waktu 24-48 jam akan timbul bula-bula besar berdinding
kendur. Jika kulit yang tampaknya normal ditekan dan digeser kulit tersebut akan
terkelupas sehingga memberi tanda Nikolskiy positif. Dalam 2-3 hari terjadi
pengeriputan spontan disertai pengelupasan lembaran-lembaran kulit sehingga tampak
daerah-daerah erosif. Akibat epidermolisis tersebut, gambarannya meninggalkan mirip
kombustio yang lembab, merah dan nyeri. Daerah-daerah tersebut akan mengering dalam
beberapa hari dan terjadi deskuamasi. Deskuamasi pada daerah yang tidak eritematosa
yang tidak mengelupas terjadi dalam waktu 10 hari. Meskipun bibir sering dikenai, tetapi
mukosa jarang diserang. Penyembuhan penyakit akan terjadi setelah 10-14 hari tanpa
disertai sikatriks.

A B
Gambar 3.(A) bercak kemerahan yang menyebar pada lengan, muka dan badan bayi
penderita SSSS, (B) bula berdinding tipis yang pecah dan meninggalkan kesan terbakar
Gambar.4 Luka yang telah mengering dan mulai terjadi deskuamasi

G. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan bakteriologi
Jika terdapat infeksi di tempat lain, misalnya di saluran napas dapat dilakukan
pemeriksaan bakteriologik. Juga sebaiknya diperiksa mengenai tipe kuman, karena
S.S.S.S. disebabkan oleh Staphylococcus aureus tipe tertentu. Pada kulit, seperti telah
disebutkan, tidak didapati kuman penyebab karena kerusakan kulit akibat toksin.
2. Histopatologi
Pada S.S.S.S. terdapat gambaran yang khas, yakni terlihat lepuh intraepidermal,
celah terdapat di stratum granulosum. Pembentukan dataran pemisah di epidermis
atas, di stratum granulosum, dan pemisahan lapisan epidermis oleh cairan edema yang
membentuk bula. Pada epidermis dan dermis terdapat reaksi radang ringan.

Gambar.5
Histopatologi S.S.S.S., dimana hilangnya adhesi sel pada epidermis superfisial,
tepatnya dibawah stratum korneum
H. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan secara klinis dengan konfirmasi laboratorium melalui isolasi
Staphylococcus aureus dari kulit dan nasofaring. Serta temuan klinis, kultur
mikroorganisme, identifikasi ET, hasil biopsi, dan dengan Nikolsky’s sign positif
(Gambar.6) dan nyeri tekan.

Gambar 6. Nikolsky’s sign positif pada penderita S.S.S.S.


I. Diagnosis banding
1. Nekrolisis Epidermal Toksik (N.E.T)
Penyakit ini sangat mirip dengan N.E.T. Perbedaannya, S.S.S.S. umumnya
menyerang anak di bawah usia 5 tahun, mulainya kelainan kulit di muka, leher, aksila
dan lipat paha; mukosa umumnya tidak dikenai, alat-alat dalam tidak diserang, dan
angka kematiannya lebih rendah. Kedua penyakit tersebut agak sulit dibedakan, oleh
karena itu hendaknya dilakukan pemeriksaan histopatologik secara frozen section agar
hasilnya cepat diketahui, karena prinsip terapi kedua penyakit tersebut berbeda.
Perbedaannya terletak pada letak celah, pada S.S.S.S. di stratum granulosum,
sedangkan pada N.E.T di subepidermal. Perbedaan lain, pada N.E.T. terdapat sel
nekrosis di sekitar celah dan banyak terdapat sel radang.
Gambar 7. Nekrosis epidermal toksik.
Epidermolisis di punggung

2. Impetigo Bulosa
Staphylococcal scalded skin syndrome dan impetigo bulosa merupakan penyakit
kulit melepuh yang disebabkan ET, akan tetapi pada impetigo bulosa, ET hanya
terdapat pada area infeksi sehingga kultur bakteri dapat diperoleh dari isi lepuh. Pada
S.S.S.S., ET tersebar secara hematogen dan akan berpotensi menyebabkan kerusakan
epidermal pada bagian tempat terjauh. Pemeriksaan kultur bula yang intak pada
S.S.S.S. biasanya steril (tidak ditemukan staphylococcus), hal ini sesuai dengan
patogenesis penyebaran toksin secara hematogen berasal dari fokus infeksi yang jauh.
Sedangkan pada impetigo bulosa pemeriksaan kultur dan pewarnaan gram
menunjukkan adanya staphylococcus.

Gambar 8. Impetigo bulosa yang disebabkan oleh S. Aureus

3. Selulitis
Selulitis terjadi pada lapisan dermis dan subkutan. Etiologi paling sering
disebabkan oleh S. pyogens, S.aureus dan GAS. Selain itu, bakteri streptokokus grup
B juga bisa menyerang bayi dan bakteri basil gram negatif bisa menyerang orang
dengan tingkat imun yang rendah. Selulitis mempunyai gejala yang sama dengan
erisipelas yaitu eritema dan sakit, tetapi dapat dibedakan dengan batas lesi yang tidak
tegas, terjadi di lapisan yang lebih dalam, permukaan lebih keras dan ada krepitasi
saat dipalpasi. Selulitis dapat berkembang menjadi bulla dan nekrosis sehingga
mengakibatkan penggelupasan dan erosi lapisan epidermal yang luas.
Gambar 9. Selulitis pada ekstremitas Gambar 10. Selulitis pada ekstremitas
bawah disertai bengkak, melepuh dan bawah tampak eritema dengan vesikel-
berkrusta. vesikel yang sudah pecah.

4. Epidermolisis Bulosa
Epidermolisis Bulosa (E.B.) merupakan penyakit bulosa kronik yang diturunkan
secara genetik autosom, dapat timbul spontan atau timbul akibat trauma ringan.
Seperti diketahui pada kulit bayi lebih mudah terjadi bula, sehingga trauma ringan di
jalan lahir sudah cukup menyebabkan terjadinya bula. Pemeriksaan histopatologik
dapat melihat letaknya bula terhadap stratum basal. Klasifikasi bula berdasarkan
jaringan parut, yaitu E.B. nondistrofik (bula terletak di atas stratum basal) dan
distrofik (bula terletak di bawah stratum basal). Kunci utama diagnosis E.B. secara
klinis didasarkan lokalisasi bula yang terbentuk, yaitu ditempat yang mudah
mengalami trauma, misalnya trauma dijalan lahir. Bula yang terbentuk biasanya
jernih, kadang-kadang hemoragik, selain kulit biasanya mukosa ikut terkena.
Meskipun sangat jarang, kelainan ini merupakan kelompok kelainan yang
penting. Pada kelainan ini, bayi-bayi dilahirkan dengan kulit yang rapuh yang dapat
menjadi lepuhan bila terjadi kontak. Diagnosis epidermolisis bulosa memerlukan
pemeriksaan mikroskop elektron untuk menentukan derajat lepuhan.
5. Sindrom Stevens-Johnson
Sindrom Stevens-Johnson merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput
lendir di orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan-berat;
kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura. Penyebab
utama ialah alergi obat yang tersering ialah analgetik/antipiretik, lebih dari 50%.
Sebagian kecil karena infeksi, vaksinasi, penyakit graft-versus-host, neoplasma, dan
radiasi. Penyakit ini sama dengan NET disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe II
(sitolitik). Sasaran utama SSJ dan NET ialah pada kulit berupa destruksi keratinosit.
MulainyaGambar
penyakit11.akut dapat disertai
Epidermolisis bulosagejala prodromal berupa demam tinggi,
pada ekstremitas
malaise, bawah
nyeri tampak
kepala,bula, ekskoriasi,
batuk, dan krusta
pilek, dan nyeri ditenggorokkan.
tempat- Pada yang berat
tempat yang mudah terkena trauma.
kesadarannya menurun, pasien dapat soporous sampai koma.

Gambar 12. Sindrom Stevens-Johnson


Terdapat makula hiperpigmentosa, banyak vesikel di muka; erosi,
ekskoriasi krusta kehitaman di bibir, dan konjungtivitis

J. Penatalaksanaan
Berbeda dengan pengobatan pada N.E.T., maka kortikosteroid tidak perlu
diberikan. Pengobatannya ialah antibiotik, jika dipilih derivat penisilin hendaknya yang
juga efektif bagi Staphylococcus aureus yang membentuk penisilinase, misalnya
kloksasilin dengan dosis 3 x 250 mg untuk orang dewasa sehari per os. Pada neonatus
(penyakit Ritter) dosisnya 3 x 50 mg sehari per os. Obat lain yang dapat diberikan ialah
klindamisin dan sefalosporin generasi I. Topikal dapat diberikan sufratulle atau krim
antibiotik. Selain itu juga harus diperhatikan keseimbangan cairan dan elektrolit.
Terapi untuk S.S.S.S. harus ditujukan untuk mengeradikasi infeksi S. aureus.
Pengobatan biasanya memerlukan perawatan inap dan pemberian antibiotik anti-
staphylococcal intravena. Untuk kasus yang tidak berat, antibiotik oral dapat diberikan
sebagai pengganti setelah beberapa hari. Kerusakan fungsi perlindungan kulit yang luas
pada lesi S.S.S.S., menyebabkan gangguan cairan dan elektrolit. Pemantauan cairan
ditunjang penggunaan antibiotik yang tepat serta perawatan kulit, sangat berguna untuk
mempercepat penyembuhan. Penggunaan baju yang meminimalkan gesekan juga dapat
membantu mengurangi terjadinya pengelupasan kulit akibat gesekan. Kompres daerah
lesi untuk membersihkan dari jaringan-jaringan epidermis yang telah nekrosis. Salep
antibiotik muporicin diberikan beberapa kali dalam sehari pada area lesi termasuk pada
sumber infeksi sebagai tambahan terapi antibiotik sistemik.
K. Pencegahan
1. Mencuci tangan dengan menggunakan sabun antibakteri/antiseptik.
2. Menggunakan handuk bersih untuk mengeringkan tangan dan pakaian bersih huntuk
mengeringkan badan.
3. Pakaian harus dicuci dengan air panas.
4. Kuku jari harus pendek untuk menghindari kontaminasi.
5. Sekolah dan tempat penitipan anak harus dihindari dari infeksi menular.
6. Barang kebersihan pribadi tidak boleh dibagi.
7. Cuci tangan sebelum menyentuh kulit yang rusak atau pecah.
8. Dalam kasus infeksi ringan, koloni bakteri dapat dicegah di dalam lubang hidung
dan di bawah kuku jari kaki dengan menggunakan krim antibiotik seperti asam
fusidat atau dengan menggunakan petroleum jelly dalam beberapa kali sehari,
selama seminggu atau bahkan setiap bulannya.

L. Prognosis
Kematian dapat terjadi, terutama pada bayi berusia di bawah setahun, yang berkisar
antara 1-10%. Penyebab utama kematian ialah tidak adanya keseimbangan
cairan/elektrolit dan sepsis. Angka kematian pada dewasa lebih besar (mencapai 50-
60%) karena diikuti beberapa faktor penyebab kematian lainnya dan peningkatan
kejadian sepsis.

M. Komplikasi
Meskipun S.S.S.S. dapat sembuh spontan, dapat pula terjadi komplikasi, misalnya:
1. Selulitis
Hal ini terjadi saat penyebaran infeksi sampai ke lapisan kulit yang lebih dalam.
Menghasilkan gejala termasuk kulit kemerahan dan meradang dengan rasa sakit.
Situasinya biasanya bisa diobati dengan antibiotik dan analgesik untuk mengurangi
rasa sakit.
2. Septikemia
Septicemia adalah sejenis infeksi bakteri pada darah. Hal ini menyebabkan diare,
dingin, kulit basah, demam, muntah, hipotensi, kebingungan, lemah, pusing dan
kehilangan kesadaran.
3. Post-streptococcal glomerulonephritis (PSG)
PSG adalah infeksi yang berhubungan dengan pembuluh darah kecil di ginjal. Gejala
PSG adalah warna urine kemerahan, pembengkakan perut dan pergelangan kaki,
hematourea, berkurangnya jumlah urine. Pasien yang menderita PSG memerlukan
perawatan medis segera dan tekanan darah mereka harus dipantau dengan hati-hati.
PSG bisa berakibat fatal pada orang dewasa, namun kasus anak sangat jarang terjadi.
Komplikasi paling berat yang dapat terjadi pada pasien S.S.S.S. adalah gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit. Komplikasi lain yang sering terjadi berupa dehidrasi,
infeksi sekunder, dan sepsis.

Anda mungkin juga menyukai