Anda di halaman 1dari 20

Hukum Logika dan Kaidah Interferensi

Dosen Pengampu : Dr. Ibrahim, S. Ag, M.pd

KELOMPOK X

APRIAN EARLY 1764041024

YULIANA NAWIR 1764042017

A. INUL ARINI WAHDA W 1764041008

FANI ADRIANI SYAM 1764040012

WIDIANINGSIH 1764042011

ARIS SEPTIADI

MUH. AZIS RIANSYAH

PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2020
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang maha


pengasih dan maha penyayang. Kami panjatkan puji syukur kehadiratNya
yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta inayahNya kepada kami
sehingga kami bisa menyelesaikan makalah tentang “Hukum Logika dan
Kaidah Interferensi”.

Makalah ini sudah kami susun dengan maksimal dan mendapat


bantuan dari berbagai pihak sehingga bisa memperlancar pembuatan
makalah ini. untuk itu kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak
yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari segala hal tersebut kami sepenuhnya masih menyadari


kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh
karena itu kami dengan lapang dada menerima saran dan kritik dari para
pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini memberikan manfaat


maupun inspirasi kepada pembaca.

Makassar, 26 februari 2020

Kelompok X
Deskripsi Tugas

Mata kuliah : Etika dan Logika

Dosen pengampu mata kuliah : Dr. Ibrahim, S. Ag, M.pd

Tanggal pemberian tugas : 20 Februari 2020

Tanggal waktu pengumpulan tugas : 27 Februari 2020

Judul Makalah : Hukum Logika dan Kaidah Inferensi

Nama anggota Kelompok : Kelompok X

Aprian Early

Yuliana Nawir

A.Inul Arini Wahda w

Fani Adriani

Widianingsih

Aris Septiadi

Muh. Azis Riansyah


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
        Manusia berbeda dengan makhluk hidup lainnya karena manusia
mempunyai akal budi dan kemauan yang kuat.  Dengan  akal budi dan
kemauan yang kuat, manusia dapat menjadi makhluk yang lebih dari
makhluk lainnya.  Manusia  mempunyai ciri khas, ia selalu ingin tahu, dan
setelah memperoleh pengetahuan tentang sesuatu , maka segera
kepuasannya disusul lagi dengan  kecendrungan  untuk lebih ingin tahu lagi.
Sebagai makhluk berfikir, manusia dibekali hasrat selalu ingin tahu,
tentang benda- benda yang ada dan peristiwa-peristiwa yang terjadi
disekelilingnya, termasuk ingin tahu tentang dirinya.  Adanya   dorongan rasa
ingin tahun dan usaha untuk memahami dan memecahkan  berbagai
masalah yang dihadapi, akhirnya manusia dapat mengumpulkan
pengetahuan.  Keingintahuan yang makin meningkat menyebabkan
pengetahuan dan daya fikirnya juga makin berkembang.  Akhinya tidak hanya
terbatas pada obyek yang dapat diamati dengan pancaindera saja, tetapi
masalah-masalah lain, misalnya berhubungan dengan penilaian hal-hal baik
dan buruk, indak atau tidak indah.

Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan


yang benar. Apa yang disebut benar bagi setiap orang sifatnya relatif, oleh
sebab itu kegiatan proses berpikir untuk memperoleh kebenaran itu juga
berbeda untuk setiap orang. Ciri-ciri penalaran adalah: 1) Adanya suatu pola
berpikir yang secar luas yang disebut logika, yakni proses berpikir logis yang
bersifat jamak (plural) bukan tunggal (singular): dan 2) Penalaran adalah sifat
analitik dari proses berpikir, artinya penalaran ilmiah merupakan suatu
kegiatan analisis yang menggunakan logika ilmiah.

Bila satu masalah dapat dipecahkan, timbul masalah lain menunggu


pemecahannya.   Manusia bertanya terus setelah tahu ”apa”nya, lalu,
“bagaimana”, dan “mengapa”. Karena kemampuan manusia makin maju
yang disertai dengan peralatan yang makin memadai, mereka terus
mengembangkan pengetahuannya, tidak sekedar untuk memenuhi
kebutuhan  hidup, tapi juga lebih jauh untuk mengetahui yang “benar” dan
yang  “salah”. Mereka terus berfikir sehingga akhirnya dapat menarik
kesimpulan, karena pada hakekatnya manusia adalah makhluk berfikir,
merasa, bersikap dan bertindak.

Tuhan menciptakan dua macam benda sebagai pengisi bumi yang


sifatnya organis dan anorganis. Benda hidup disebut makhluk yang memiliki
ciri-ciri unik dan memiliki tingkatan (tumbuhan, hewan, manusia), serta
tunduk pada hukum biologis. Benda tak hidup bersifat mati, tetap dan
tunduk pada hukum alam (deterministis), terdiri dari benda yang berwujud
padat, cair dan gas. 

Makhluk hidup memiliki ciri-ciri yang membedakannya dengan benda


tak hidup, yaitu dapat berkembang biak, bernafas, dapat bergerak,
melakukan adaptasi, serta peka terhadap rangsang (iritabilitas). Manusia
sabagai mahluk hidup sama seperti mahluk hidup lainnya mempunyai ciri
hidup, yaitu berkembang biak, memerlukan nutrisi, bergerak tumbuh dan
berkembang, beradaptasi serta peka terhadap rangsang. Setiap manusia
dilahirkan dalam keadaan partikularistik (unik). Keunikan manusia antara lain
karena ia memiliki kecerdasan (homo sapiens), dapat membuat alat-alat
(homo faber), dapat berbicara (homo longuens), hidup bermasyarakat (homo
socius), melakukan kegiatan usaha (homo aeconomicus), memiliki
berkeyakinan (homo religius), berbudaya (homo humanis), serta tahu akan
keindahan (homo aestheticus).

Sifat lain dari manusia selain unik adalah rasa ingin tahu yang sangat
besar. Sifat rasa ingin tahu yang sangat besar yang dimiliki manusia biasanya
timbul ketika manusia dihadapkan pada suatu masalah. Masalah yang
menyangkut hidup manusia telah ada sejak permulaan kehidupan manusia.
Masalah tersebut misalnya munculnya wabah penyakit, bencana alam,
kelaparan. Ketika muncul hal tersebut maka dengan akal dan pikirannya
manusia mulai berfikir dan berusaha untuk mencari penyebabnya. Sejak saat
itulah munculah ilmu pengetahuan, awalnya yang melakukan penelitian
adalah ahli sihir, dukun dan pendeta. Babak baru ilmu pengetahuan dimulai
sejak kebudayaan Yunani, sejak saat itu urusan ilmu pengetahuan mulai
bergeser dari ahli sihir, dukun ataupun pendeta kepada kelompok
masyarakat lainnya.

Manusia mempunyai ciri istimewa, yaitu kemampuan berpikir yang


ada dalam satu struktur dengan perasaan dan kehendaknya (sehingga sering
disebut sebagai makhluk yang berkesadaran). Aristoteles memberikan
identitas sebagai animal rationale.

Kesadaran adalah landasan untuk nalar atau berpikir. Apa yang


dipikirkan oleh manusia? Manusia memikirkan segala sesuatu, baik yang
dapat diindera maupun yang tidak dapat diindera. Segala sesuatu yang dapat
diindera manusia disebut pengalaman atau experience, sedangkan segala
sesuatu yang tak dapat diindera oleh manusi disebut dunia metafisika (meta
= beyond, metafisika = beyond experience. Berpikir tentang experience
disebut berpikir empirikal, dan berpikir tentang dunia metafisika disebut
berpikir transcendental.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakng diatas maka rumusan masalah dari makalah
ini adalah:
1. Apa pengertian dari logika?
2. Apa saja hukum-hukum dasar logika?
3. Apa pengertian dari inferensi?
4. Apa saja kaidah ineferensi?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Logika
Logika adalah sebuah ilmu. Logika adalah ilmu tentang proses berfikir.
Seorang akhli logika mempelajari kegiatan-kegiatan proses berfikir yang ada
di kepala setiap manusia dan mencoba merumuskan hukum-hukum, bentuk-
bentuk dan inter-relasi semua proses mentalnya.
Dua tipe penting logika pernah muncul dalam dua tahap
perkembangan ilmu logika, yakni: logika formal dan logika dialektik.
Keduanya merupakan bentuk-bentuk perkembangan tertinggi gerak mental.
Keduanya memiliki kesesuaian fungsinya—pengertian sadar terhadap semua
bentuk gerak.
B. Hukum Hukum Dasar Logika
Kadang-kadang diajukan pertanyaan “Apakah logika itu?” dan
jawaban standar yang dikemukakan biasanya dimulai dengan definisi logika
yang berbunyi seperti, “Logika adalah ilmu tentang penarikan kesimpulan
yang tidak terhindarkan (atau penalaran valid).” Pengantar ini akan
menjelaskan jawaban tersebut secara rinci. Sebagai pembahasan awal, perlu
ditekankan bahwa secara mendasar, logika terkait dengan hukum-hukum
(aksioma-aksioma dan prinsip-prinsip), proposisi, inferensi (penarikan
kesimpulan), argumen, dan validitas argumen. Tentu saja terdapat lebih
banyak lagi hal yang berhubungan logika, namun semua itu berada di luar
jangkauan tulisan pengantar ini. Pertanyaan lain yang terkait akan
mendapatkan penjelasan yang relevan seiring dengan berkembangnya
pembahasan dalam buku ini.
Penarikan kesimpulan yang tidak terhindarkan dari premis, tunduk
kepada tiga hukum logika yang juga disebut tiga hukum pemikiran.Tiga
Hukum Logika
Hukum-hukum ini bersifat universal, tidak terbantahkan, dan benar. Tanpa
ketiga hukum ini, sulit (kalau tidak dapat dikatakan tidak mungkin) untuk
membayangkan bagaimana segala sesuatu dapat dipahami. Ketiga hukum
atau aksioma ini merupakan dasar bagi penarikan kesimpulan yang tidak
terhindarkan, karena tanpa ketiganya tidak ada penarikan kesimpulan yang
tidak terhindarkan. Lebih jauh lagi, penarikan kesimpulan yang tidak
terhindarkan dari premis-premis, mengasumsikan hukum-hukum logika
sebagai sesuatu yang universal, tidak terbantahkan, dan benar. “Universal”
artinya tanpa pengecualian. “Tidak terbantahkan” artinya setiap upaya
membantah hukum-hukum logika harus tunduk pada hukum-hukum
tersebut, dengan demikian membuktikan keharusan hukum-hukum tersebut
bagi argumen. “Benar” artinya “tidak salah,” karena didasarkan pada Logos
Tuhan, sang sumber dan penentu seluruh kebenaran. Selanjutnya, hukum-
hukum tersebut ada sebagai tritunggal, sehingga menolak yang yang satu
akan menolak yang lain dan menerima yang satu akan menerima yang lain.
Ketiga hukum ini menetapkan dan menjelaskan makna dari penarikan
kesimpulan yang tidak terhindarkan bagi logika. Ketiga hukum tersebut akan
dibahas secara ringkas di bawah ini untuk memberikan gambaran tentang
pentingnya hukum-hukum logika.
a. Hukum Identitas
Hukum identitas menyatakan bahwa kalau satu pernyataan benar,
maka pernyataan itu benar; atau, setiap proposisi
berimplikasi/berarti dirinya sendiri: a berimplikasi a. Mungkin
kelihatannya hal ini sepele, tetapi seperti dicatat Gordon Clark,
alangkah anehnya dunia jika hukum ini tidak berlaku, karena dunia ini
akan menjadi dunia yang tidak memiliki konsep identitas atau
kesamaan.
b. Hukum Tidak ada Jalan Tengah
Hukum Tidak Ada Jalan Tengah menyatakan bahwa segala
sesuatu haruslah apa adanya atau tidak; atau segala sesuatu adalah a
atau bukan-a. Dengan kata lain, misalnya, sebuah batu haruslah keras
atau tidak keras; diam atau tidak diam. Namun bagaimana dengan
penumpang pesawat yang berada dalam pesawat yang sedang
terbang? Apakah dia sedang diam atau bergerak? Apakah dia sedang
bergerak dan sekaligus diam pada saat yang sama? Apakah hukum ini
telah dilanggar? Tidak sama sekali, karena tidak mungkin keduanya
terjadi secara bersama pada saat dan tempat yang sama, atau dalam
hubungan yang sama – dan untuk memahami hal ini diperlukan
sedikit refleksi. (Dalam contoh ini, si penumpang sedang diam dalam
kaitan dengan pesawat, tetapi sedang bergerak dalam kaitan dengan
bumi).
c. Hukum Kontradiks
Hukum kontradiksi (juga dikenal dengan hukum non-
kontradiksi) menyatakan bahwa tidak ada pernyataan yang sekaligus
benar dan salah; atau a dan bukan-a [sekaligus] adalah kontradiksi
(selalu salah). Karena itu, tidak mungkin sekaligus a dan bukan-a.
Hukum ini menyatakan bahwa tidak ada sesuatu apapun yang dapat
sekaligus benar dan salah pada saat yang sama dan tempat yang
sama. Rumusan Aristotle terhadap hukum ini menyatakan bahwa
satu atribut tidak dapat dimiliki dan tidak dimiliki oleh satu subyek
pada saat yang sama dan dalam hubungan yang sama: tidak mungkin
a dan bukan-a (sekaligus). Sekali lagi, setiap pernyataan yang
berbentuk a dan bukan-a pasti salah. Setiap pernyataan jamak yang
memiliki struktur seperti itu pasti bersifat kontradiksi.
Sebagai contoh, pernyataan “Demikianlah sekarang tidak ada
penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus Yesus” (Roma
8:1) tidak mungkin sekaligus benar dan salah. Adalah sebuah
kontradiksi dan kekonyolan untuk menyatakan bahwa pernyataan
tersebut dan penyangkalan terhadapnya sama-sama benar dan
sama-sama salah pada saat yang sama dengan hubungan yang sama.
Hukum kontradiksi adalah hukum yang terutama karena
mencakup kedua hukum lainnya. Formulasinya sebagai tidak
mungkin a dan bukan a mengasumsikan Hukum Identitas sebagai
benar karena proposisi “a” selalu berimplikasi (berarti) dirinya sendiri
(a berimplikasi a). Sebagai sebuah disjungsi, hukum ini mengungkap
Hukum Tiada Jalan Tengah yaitu a atau bukan-a. Lebih lanjut, Hukum
Kontradiksi adalah sesuatu yang tidak terelakkan bagi diskursus yang
bermakna, karena tanpa Hukum Kontradiksi maka pembedaan antara
kebenaran dan kesalahan akan lenyap dan seiring dengan hilangnya
pembedaan itu, maka makna juga lenyap.
John Robbins menyatakan demikian:
“Hukum kontradiksi memiliki makna yang lebih jauh dari pada itu.
Hukum ini berarti bahwa setiap kata dalam kalimat “Garis itu adalah
garis lurus” memiliki arti spesifik. Kata itu tidak berarti semua, atau
bukan. Kata garis tidak berarti anjing, bakung, atau donat. Kata
adalah tidak berarti bukan. Kata lurus tidak berarti putih, atau kata
lain. Setiap kata memiliki arti khusus. Agar memiliki arti khusus, maka
satu kata bukan hanya harus memiliki arti tertentu tetapi juga harus
tidak memiliki arti yang lain. Kata garis berarti garis, tetapi tidak
berarti bukan garis – seperti anjing, matahari terbit, atau Yerusalem,
misalnya. Jika kata garis bisa berarti apa saja, maka kata itu tidak
bermakna apa-apa. Tidak ada seorangpun yang mempunyai
gambaran apapun di benaknya ketika mendengar kata garis. Hukum
kontradiksi berarti bahwa agar sebuah kata memiliki makna, maka
kata itu tidak boleh memiliki arti yang lain [saat digunakan].” (John W.
Robbins. “Why Study Logic,” Trinity Review, Jul/Aug 1985, No. 44).
Dengan demikian, hukum-hukum ini bukan hanya berlaku pada term-
term yang tidak ambigu pada proposisi-proposisi sebuah argumen,
tetapi juga berlaku pada kata-kata yang digunakan dalam
diskursus/wacana yang bermakna. Tanpa Hukum Identitas maka
kesamaan atau identitas akan lenyap; tanpa Hukum Tidak ada Jalan
Tengah, kebingungan dimulai; dan tanpa Hukum Kontradiksi, kegilaan
berkuasa penuh. Tanpa ketiganya tidak mungkin ada
diskursus/wacana yang dapat dipahami. Dikutip dari Terjemahan
Buku Logic Primer (karya Dr. Elihu Carranza), yang diterjemahkan Ma
Kuru, Dhan, dan Rony
C. Pengertian Inferensi
Inferensi adalah tindakan atau proses yang berasal kesimpulan logis
dari premis-premis yang diketahui atau dianggap benar.Kesimpulan yang
ditarik juga disebut sebagai idiomatik. Hukum valid inference dipelajari
dalam bidang logika .
Inferensi adalah membuat simpulan berdasarkan ungkapan dan
konteks penggunaannya. Dalam membuat inferensi perlu dipertimbangkan
implikatur. Implikatur adalah makna tidak langsung atau makna tersirat yang
ditimbulkan oleh apa yang terkatakan (eksplikatur).
Kedua istilah ini tidak terlepas dalam percakapan atau tindak tutur
dalam kehidupan sehari. Oleh karena itu, kita perlu memahami kedua istilah
ini lebih mendalam.alam membuat inferensi perlu dipertimbangkan
implikatur. Implikatur adalah makna tidak langsung atau makna tersirat yang
ditimbulkan oleh apa yang terkatakan (eksplikatur). Inferensi memiliki dua
jenis yaitu referensi lansung dan referensi tak lansung.
Inferensi manusia (yaitu bagaimana manusia menarik kesimpulan)
secara tradisional dipelajari dalam bidang psikologi kognitif ; kecerdasan
buatan para peneliti mengembangkan sistem inferensi otomatis untuk
meniru inferensi manusia. inferensi statistik memungkinkan untuk
kesimpulan dari data kuantitatif.
D. Kaidah Inferensi

Argumen valid dan invalid

Argumen adalah suatu pernyataan tegas yang diberikan oleh sekumpulan


proposisi P1,P2,…Pn yang disebut Premis  (hipotesa atau asumsi) dan membentuk
proposisi baru (Q) yang disebut konklusi (Kesimpulan).

Nilai kebenaran suatu Argumen ditentukan sebagai berikut :

“suatu argument p1,p2,..pn ˫ Q dikatakan benar (valid) jika Q bernilai benar untuk
semua premis yang bernilai benar, selain dari pada itu maka argument tersebut
dinyatakan salah (invalid fallacy). Dengan kata lain, suatu argument dikatakan valid
apabila sembarang pernyataan yang didistribusikan kedalam premis, dimana jika
premis bernilai benar maka konklusinya juga benar. Sebaliknya jika semua
premisnya bernilai benar dan konklusinya ada yang salah maka dinyatakan tidak
valid (fallacy).
Jadi suatu argument dinyatakan valid jika dan hanya jika proposisi (p1,p2,…pn)=>Q
adalah sebuah tautology.

Untuk mengetahui suatu argument valid atau tidak maka dapat dilakukan langkah2
sebagai berikut :

I. Tentukan premis dan konklusi argument tersebut


II. Buat table yang menunjukkan table kebenaran untuk semua premis dan
konklusi
III. Carilah baris kritis yaitu baris dimana semua premis bernilai benar
IV. Dalam garis kritis tersebut , jika nilai kesimpulan semua benar maka
argument tersebut valid, dan jika baris tersebut ada konklusi yang bernilai
salah maka dinyatakan tidak valid.

Contoh :

Tentukan apakah argument berikut bernilai valid atau invalid :

p˅(q˅r),~r  ˫  p˅q

Baris p q r q˅r p˅(q˅r) ~r p˅q


(Premis) (Premis)

1 T T T T T F T

2 T T F T T T T

3 T F T T T F T

4 T F F F T T T

5 F T T T T F T

6 F T F T T T T

7 F F T T T F F

8 F F F F F T F
dalam baris 2, 4, dan 6 premisnya bernilai benar semua, kemudian lihat pada baris
konklusi. Ternyata pada baris konklusi semuanya bernilai benar. Maka argument
diatas adalah valid.

Aturan-aturan penarikan kesimpulan

1. Modus ponen

Modus ponen atau penalaran langsung adalah salah satu metode infernsi dimana
jika diketahui implikasi “bila p maka q” yang diasumsikan bernilai benar dan
antansenden (p) benar. Supaya implikasi p=>q bernilai benar, maka q juga harus
bernilai benar.

            P=>q

      p

           __________

            :.     q

Contoh :

Jika digit suatu bilang berakhiran 0, maka bilangan tersebut habis dibagi 10

Digit bilangan berakhiran 0

:. Bilangan tersebut habis dibagi 10

2. Modus Tollens

Modus tollens mirip dengan modus ponen hanya saja premis kedua kontraposisi
dengan premis pertama dan konklusi. Hal ini mengingatkan kita kembali bahwa
suatu implikasi ekuivalen dengan kontraposisinya. Atau dapat ditulis :
P=>q

~p

__________

:.     ~q

Contoh :

Jika digit suatu bilangan berakhiran 0, maka bilangan tersebut habis dibagi 10

Digit bilangan tidak berakhiran 0

:.  Bilangan tersebut tidak habis dibagi 10

3. Penambahan Disjungtif (addition)

Inferensi penambahan disjungtif didasarkan atas fakta bahwa suatu kalimat dapat
digeneralisasikan dengan penghubung “˅”. Alasannya adalah karena penghubung
“˅” bernilai benar jika salah satu komponennya bernilai benar. Penambahan
disjungtif dapat ditulis :

P                                             atau                                       q

_________                                                                        ________

:. P ˅q                                                                                   :. P ˅ q

Contoh :

Simon adalah siswa smu

:. Simon adalah siswa SMU atau SMP


4. Penyederhanaan Konjungtif (simplification)

Inferensi ini merupakan kebalikan dari inferensi penambahan disjungtif. Jika


beberapa kalimat dihubungkan dengan operator “ ˄”, maka kalimat tersebut dapat
diambil salah satu secara khusus (penyempitan kalimat)

p˄q                                        atau                                       p˄q

-----                                                                                        ------

:. P                                                                                          :. Q

Contoh :

Langit berwarna biru dan bulan berbentuk bulat

:. Langit berwarna biru     atau     :. Langit berbentuk bulat

5. Silogisme Hipotesis (transitivity)

Prinsip silogisme hipotesis adalah sifat transitif pada implikasi. Jika implikasi p=>q
dan q=>r, maka implikasi p=>r juga bernilai benar.

Silogisme hipotesis dapat ditulis

P=>q

Q=>r

---------

:. P=>r

Jika hari hujan, maka tanahnya becek

Jika tanah becek, maka sepatu kotor

:. Jika hari hujan maka sepatu saya kotor


6. Konjungsi

Jika ada dua kalimat yang masing-masing benar, maka gabungan kedua kalimat
tersebut dengan menggunakan penghubung “˄” juga bernilai benar

-----

:. P ˄ q

7. Dilema

Kadang-kadang, dalam kalimat yang dihubungkan dengna penghubung “˅”, masing-


masing kalimat dapat mengimplikasikan sesuatu yang sam. Berdasarkan hal itu,
maka suatu kesimpulan dapat diambil.

P ˅q

P=>q

P=>r

---------

:. r
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Logika adalah sebuah ilmu. Logika adalah ilmu tentang proses berfikir.
Seorang akhli logika mempelajari kegiatan-kegiatan proses berfikir yang ada
di kepala setiap manusia dan mencoba merumuskan hukum-hukum, bentuk-
bentuk dan inter-relasi semua proses mentalnya. Kadang-kadang diajukan
pertanyaan “Apakah logika itu?” dan jawaban standar yang dikemukakan
biasanya dimulai dengan definisi logika yang berbunyi seperti, “Logika adalah
ilmu tentang penarikan kesimpulan yang tidak terhindarkan (atau penalaran
valid).” Pengantar ini akan menjelaskan jawaban tersebut secara rinci.
Sebagai pembahasan awal, perlu ditekankan bahwa secara mendasar, logika
terkait dengan hukum-hukum (aksioma-aksioma dan prinsip-prinsip),
proposisi, inferensi (penarikan kesimpulan), argumen, dan validitas argumen.

Inferensi adalah tindakan atau proses yang berasal kesimpulan logis


dari premis-premis yang diketahui atau dianggap benar.Kesimpulan yang
ditarik juga disebut sebagai idiomatik. Hukum valid inference dipelajari
dalam bidang logika . Inferensi adalah membuat simpulan berdasarkan
ungkapan dan konteks penggunaannya. Dalam membuat inferensi perlu
dipertimbangkan implikatur. Implikatur adalah makna tidak langsung atau
makna tersirat yang ditimbulkan oleh apa yang terkatakan (eksplikatur).
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rauf, “Hukum Logika”[Internet], 16 Oktober 2016, 19:34 [di akses],


Tersedia dari http://mentarivision.blogspot.com/2011/12/hukum-
logika.html

“Hukum-Hukum Logika” [Internet], 23 Januari 2014 [Di akses], Tersedia dari


https://whereisthewisdon.wordpress.com/2014/01/23/hukum-
hukum-logika/

“Makalah Inferensi” [Internet], 26 November 2014 [Di akses], Tersedia dari


http://sakolaurang.blogspot.com/2014/11/makalah-inferensi.html

Anda mungkin juga menyukai