Anda di halaman 1dari 13

Retinopati Diabetes

Diabetes mellitus (DM) adalah salah satu penyakit degeneratif tersering dengan angka
morbiditas dan mortalitas yang tinggi di dunia. Menurut World Health Organization (WHO)
Indonesia berada di urutan keempat negara dengan jumlah penyandang DM terbanyak dan
prevalensinya masih meningkat terus terutama di negara berkembang. Jumlah ini di Indonesia
masih meningkat hingga mencapai 21,3 juta pada tahun 2030.2 Peningkatan ini disebabkan
karena gaya hidup yang kurang baik meliputi gaya hidup sedenter, diet tinggi lemak, dan
berkurangnya frekuensi melakukan aktivitas fisik. Penderita diabetes sering mengalami
komplikasi, yang paling umum yaitu retinopati diabetik.1

Retinopati diabetik adalah suatu penyakit progresif kronis pada retina (retinopati) yang
mempengaruhi penglihatan akibat kondisi hiperglikemi yang berkepanjangan seperti pada
penderita penyakit Diabetes Melitus. Komplikasi mikrovaskular DM yang merupakan penyebab
utama kebutaan pada orang dewasa adalah retinopati. Retinopati dialami oleh hamper seluruh
penderita DM tipe 1 lebih dari 20 tahun dan > 60% kasus pada penderita DM tipe II. Pada tahun
2008, The DiabCare Asia melakukan suatu penelitian di pusat kesehatan primer dan sekunder di
Indonesia dan melaporkan bahwa 42% penderita DM mengalami komplikasi retinopati, dan
6,4% di antaranya merupakan retinopati DM proliferatif.2

Ada faktor risiko yang mempengaruhi tingkat keparahan dan progresivitas dari retinopati
diabetik adalah:3

 Kadar gula darah


Menurunkan kadar gula darah dapat dapat menunda onset terjadinya dan memperlambat
progresivitas dari retinopati diabetik.
 Tekanan darah
Beberapa clinical trial menunjukkan bahwa mengendalikan tekanan darah secara efektif
mengurangi risiko progresivitas dari retinopati dan penurunan ketajaman visual. Tekanan
darah yang tinggi dapat merusak pembuluh darah, meningkatkan kemungkinan terjadinya
gangguan pada mata. Target tekanan darah untuk penderita diabetes yaitu kurang dari
130/80 mmHg.
 Lamanya menderita diabetes
Risiko dari berkembangnya retinopati diabetik meningkat seiring berjalannya waktu.
Setelah 15 tahun, sekitar 80% dari penderita DM tipe 1 akan mengalami retinopati
diabetik. Setelah 19 tahun, sekitar 84% penderita DM tipe 2 akan mengalami retinopati
diabetik.
 Kadar lipid darah (kolesterol dan trigliserida)
Peningkatan kadar lipid darah dapat menyebabkan terjadinya akumulasi eksudat, endapan
protein yang bocor masuk ke dalam retina. Kondisi ini terkait dengan risiko kebutaan
yang lebih tinggi.
 Ras
Retinopati diabetik dapat terjadi pada siapapun. Akan tetapi, beberapa etnis tertentu
memiliki kerentanan untuk memiliki diabetes melitus yaitu Afrika Amerika, Latin, dan
Native Americans.
 Kehamilan
Mekanisme pasti yang mendasari perkembangan retinopati pada kehamilan masih belum
diketahui dengan jelas. Adanya perubahan hormonal, perubahan pada sistem vaskulatur
sistemik dan mekanisme pengaturan auto retina diyakini menjadi penyebab progresivitas
retinopati. Perubahan hormonal dalam kehamilan meliputi peningkatan kadar hormon
laktogen plasenta, estrogen dan progesteron. Dari tiga hormon tersebut, human plasenta
lactogen (hPL) menyebabkan aktivitas produksi dan pertumbuhan hormonnya yang
sangat besar.

Peranan dokter umum dalam tata laksana retinopati DM adalah mengendalikan faktor risiko,
yaitu kadar gula darah, kadar lipid darah, dan tekanan darah pasien. Target optimal yang harus
dicapai adalah kadar HbA1c <7%, kadar low-density lipoprotein (LDL) <100 mg/dL, kadar
high-density lipoprotein >50 mg/dL, kadar trigliserida <150 mg/dL dan tekanan darah <130/80
mmHg.2

Patofisiologi retinopati diabetik diawali dengan adanya kondisi hiperglikemia yang kronik yang
terjadi melalui beberapa jalur. Jalur pertama yaitu kondisi hiperglikemia memicu pembentukan
reactive oxygen intermediates (ROIs) dan advanced glycation endproducts (AGEs).
Terbentuknya ROIs dan AGEs akan merusak perisit dan endotel pembuluh darah, merangsang
pelepasan faktor vasoaktif seperti nitric oxide (NO), prostasiklin, insulin-like growth factor-1

2
(IGF-1), dan endotelin yang akan memperparah kerusakan endotel. Jalur kedua, kondisi
hiperglikemia kronik juga mengaktivasi jalur poliol yang meningkatkan glikosilasi dan ekspresi
dari aldose reductase sehingga terjadi akumulasi sorbitol. Glikosilasi dan akumulasi sorbitol ini
nantinya akan mengakibatkan kerusakan endotel pembuluh darah dan disfungsi enzim endotel.
Ketiga, kondisi hiperglikemia mengaktivasi transduksi sinyal intraseluler protein kinase C
(PKC).2

Vascular endothelial growth factor (VEGF) dan faktor pertumbuhan lain diaktivasi oleh PKC.
VEGF menstimulasi ekspresi intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) yang memicu
terbentuknya ikatan antara leukosit dan endotel pembuluh darah. Ikatan tersebut mengakibatkan
terjadinyya kerusakan sawar darah retina, serta trombosis dan oklusi dari kapiler retina.
Keseluruhan jalur tersebut menimbulkan gangguan sirkulasi, hipoksia, dan inflamasi pada retina.
Hipoksia yang terjadi mengakibatkan ekspresi faktor angiogenik yang berlebihan sehingga
merangsang pembentukan pembuluh darah baru yang memiliki kelemahan pada membran
basalisnya, defisiensi tight junction antarsel endotel, dan kekurangan jumlah perisit. Akibatnya,
terjadi kebocoran protein plasma dan perdarahan di dalam retina dan vitreous.4

3
Gambar 2. Patogenesis Retinopati Diabetes4

Retinopati diabetik diklasifikasikan menjadi dua yaitu Non-Proliferative Diabetic


Retinopathy dan Proliferative Diabetic Retinopathy.4

4
2.2.1.1 Non-proliferative Diabetic Retinopathy

Perubahan dini atau kondisi penyakit pada stadium awal tanpa adanya neovaskularisasi. Pada
kondisi ini, biasanya tidak memberikan keluhan gangguan penglihatan. Pada kondisi ini, terdapat
perubahan mikrovaskuler di retina.4
- Mikroaneurisma pada daerah makular (lesi paling awal yang dapat ditemukan).
- Hiperglikemia menyebabkan kerusakan pada kapiler retina. Hal ini melemahkan dinding
kapiler dan membentuk suatu mikroaneurisma. Ditemukan adanya dilatasi sakular
dinding kapiler, mikroaneurisma ini dapat menyebabkan cairan plasma berada di retina.
- Perdarahan retina yang dapat terjadi perdarahan di dalam (dot dan blot haemorrhages)
maupun superficial (flame-shaped).
- Mikroaneurisma akhirnya pecah dan membentuk perdarahan jauh di dalam retina,
dibatasi oleh internal limiting membrane (ILM). Karena bentuknya seperti dot, maka
dinamakan pendarahan "dot-and-blot".
- Hard exudates-yellowish-white waxy-looking patches yang dapat ditemukan di area
makula akibat edema retina lokal kronik.
- Pembuluh darah yang rapuh akhirnya bocor, menyebabkan cairan meresap ke dalam
retina.
- Edema retina
- Endapan cairan di bawah makula (edema makula), mengganggu fungsi normal makula
dan merupakan penyebab umum kebutaan pada pasien dengan retinopati diabetik.
- Cotton-wool spots : Sedimen ini terdiri dari produk samping lipida dan tampak seperti
lilin, endapan kuning berupa eksudat keras. Seiring dengan progresivitas dari NPDR,
pembuluh yang terkena akhirnya mengalami obstruksi. Obstruksi ini dapat menyebabkan
infark lapisan serat saraf, sehingga menyebabkan timbulnya fluffy white patches / bercak
putih halus yang disebut sebagai cotton wool spots (CWS).
- Dark-blot hemorrhages  infark perdarahan retina
- Intraretinal microvascular abnormalities (IRMA)
- Vena dilatasi dan adanya looping vena

5
Gambar 3. Retinopati diabetik non-proliferatif4

Klasifikasi retinopati diabetik non-proliferatif dapat dilihat pada Tabel 1.4

Tabel 1. Klasifikasi retinopati diabetik non-proliferatif7

6
Proliferative Diabetic Retinopathy

Retina membutuhkan demand metabolik yang tinggi, jika terjadi iskemia yang berkelanjutkan,
sel retina akan merespons dengan melepaskan sinyal angiogenik seperti faktor pertumbuhan
endotel vaskular (VEGF). Faktor angiogenik, seperti VEGF, merangsang pertumbuhan
pembuluh darah retina baru untuk bypass pembuluh yang rusak. Hal ini disebut sebagai
neovaskularisasi. Pada retinopati diabetik proliferatif, proliferasi fibrovaskuler melampaui
internal limiting membrane (ILM). Pembuluh darah yang baru ini bersifat rapuh, mudah bocor
dan sering salah arah (misdirected). Neovaskularisasi bisa tumbuh melewati retina dan masuk
kedalam vitreous. Seiring dengan berjalannya waktu vitreous akan menarik pembuluh darah baru
ini dan menyebabkan ruptur pembuluh darah, hingga menyebabkan perdarahan vitreous dan
kebutaan. Selain itu, pembuluh ini juga dapat mengalami scar down, membentuk ikatan kuat
antara retina dan vitreous sehingga adanya traksi pada retina. Jika tekanan yang cukup kuat,
maka dapat terjadi tractional retinal detachment. Ini adalah mekanisme lain yang mengakibatkan
retinopati diabetik proliferatif berakhir pada kebutaan. Jika retina tidak segera dipasang kembali,
terutama jika melibatkan makula, maka kebutaan dapat terjadi secara permanen.5

7
Gambar 4. Retinopati diabetic proliferatif 5

Penegakan diagnosis retinopati diabetik dapat dilakukan dengan cara mengumpulkan data yang
sesuai pada saat menganamnesis pasien. Pada stadium awal retinopati diabetik, pasien umumnya
tidak memiliki gejala, sedangkan pada stadium lanjut gejala yang mungkin muncul meliputi
melihat floaters, penglihatan kabur, distorsi, dan kehilangan ketajaman visual secara progresif.
Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk dapat melihat kelainan-kelainan yang sudah
disebutkan diatas yaitu fundus photography, fluorescein angiography, optical coherence
tomography (OCT).8 Fundus photography berperan sebagai pemeriksaan skrining. Apabila pada
pemeriksaan ditemukan adanya edema makula, retinopati DM nonproliferatif derajat berat dan
retinopati DM proliferatif, maka pasien harus dirujuk untuk harus dilanjutkan dengan
pemeriksaan mata lengkap oleh dokter spesialis mata. OCT memberikan gambaran dengan
penampang aksial jika pemeriksaan lainnya tidak dapat memberikan gambaran yang jelas.5

Tata Laksana Retinopati Diabetik

8
Penatalaksanaan retinopati diabetikum dapat dibagi menjadi tiga kelompok besar yaitu:5

a. Skrining
Skrining secara periodik merupakan hal yang paling penting dalam mencegah kehilangan
penglihatan pada pasien-pasien retinopati diabetikum. Skrining dilakukan dengan pemeriksaan
funduskopi secara berkala. Skrining yang direkomendasikan adalah:
1) Setiap tahun sampai tidak ada retinopati diabetikum atau Non Proliferative Diabetes
Retinopathy ringan
2) Setiap enam bulan pada Non Proliferative Diabetes Retinopathy sedang
3) Setiap tiga bulan pada Non Proliferative Diabetes Retinopathy berat
4) Setiap dua bulan pada Proliferative Diabetes Retinopathy tanpa risiko tinggi

b. Medikamentosa:
- Kontrol kadar gula darah hingga mencapai kadar HbA1c antara 6-7%, kadar lipid darah,
dan tekanan darah.
- Obat farmakologis yang berperan menghambat proses biokimiawi tertentu pada
pathogenesis retinopati diabetik seperti Protein Kinase C (PKC) inhibitor, Vascular
Endothelial Growth Factors (VEGF), antioksidan seperti vitamin E, aldose reductase dan
ACE-inhibitor.
- Steroid intravitreal pada pasien retinopati diabetikum diberikan untuk mengurangi edema
makula. Cara yang sering digunakan adalah pemberian flucinolone asetonida secara
implant intravitreal dan injeksi triamcinolone (2-4 mg) intravitreal.

c. Fotokoagulasi
Fotokoagulasi masih menjadi pilihan utama pada pasien retinopati diabetikum. Yang digunakan
pada fotokoagulasi adalah argon atau laser iodide.
- Fotokoagulasi makula
Makula diterapi dengan laser jika ada edema makula yang signifikan. Laser
dikontraindikasikan pada pasien makulopati iskemik karena diabetes. Pada pasein PDR
dengan clinically significant macular oedema (CSME), fotokoagulasi diberikan pertama
sebelum PRP karena dapat memperburuk edema dari makula jika terlambat. Dua Teknik
fotokoagulasi makula yaitu terapi fokal dengan laser argon dan terapi grid. Terapi fokal

9
diberikan pada lesi yang bertempat 500-3000 mikron dari sentral makula. Terapi grid
diberikan pada pasien edema macular yang difus.
- Pan retinal Photocoagulation
Pan retinal Photocoagulation atau laser scatter yang terdiri dari 1200- 1600 titik dan
masing-masing berdurasi 0,1 detik serta berukuran 500 um. Laser digunakan 2-3 diskus
dari sentral makula memanjang secara perifer ke ekuator. Kuadran temporal retina
adalah yang paling pertama dikoagulasikan. PRP akan membuat retina yang iskemik
menjadi rusak dan bertanggung jawab untuk mendorong produksi dari faktor
vasoformatif.

Retinopati DM nonproliferatif derajat ringan-sedang dengan edema makula signifikan


merupakan suatu indikasi untuk dilakukannya laser photocoagulation untuk mencegah
terjadinya perburukan.4

Retinopati Hipertensi

Jika terjadi peningkatan tekanan darah, akan mengakibatkan retinopati hipertensi dengan arteri
yang besarnya tidak teratur, eksudat pada retina, edema retina, dan perdarahan retina. Penyebab
terseringnya adalah pasien dengan hipertensi kronik yaitu sistolik >149 mmHg atau diastolic >90
mmHg dan hipertensi maligna yaitu dengan sistolik >200 mmHg dan diastolic >130 mmHg.
Pengaruh dari adanya tekanan darah yang tidak terkontrol yaitu perubahan pembuluh darah
diretina, sclerosis dinding arteri. Tahapan perubahan pembuluh darah pada retina bermula pada
proses vasokonstriksi yang mengakibatkan pembuluh darah semakin sempit. Penyempitan
pembuluh darah akan tampak sebagai pembuluh darah yang berwarna lebih pucat , pembuluh
darah yang menjadi lebih kecil atau iregular, percabangan arteriol yang tajam. Fase kedua yaitu
eksudatif dimana terjadi kerusakan sawar darah retina dan otot polos pembuluh darah, sehingga
akan muncul gambaran mikroaneurisma, perdarahan, eksudat, dan cotton wool spots.6

Jika terbentuk sclerosis maka terjadi penekanan dinding vena pada persilangan AV di retina.
Maka tampak gambaran reflex copper wire, reflex silver wire, sheating, lumen pembuluh darah
yang iregular, dan fenomena crossing (elevasi, deviasi, dan kompresi). Selain itu gambaran yang
bisa ditemukan dalam pemeriksaan adalah perdarahan atau eksudat dalam retina seperti bintang

10
(star figure). Eksudat retina dapat berbentuk cotton wool patches, eksudat pungtata, eksudat
putih pada daerah yang tak tertentu dan luas. Hal ini terjadi karena terjadi peningkatan vascular
yang menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik dan menyebabkan kondisi hipoksia.6

Gambar 8. Copper Wiring13 Gambar 9.Cotton Wool Spot13 Gambar 10. Av Nicking13

Retinopati hipertensi diklasifikasikan menjadi 4 tipe, yaitu :6

- Tipe 1
Merupakan kelainan dengan penyempitan arteriol retina yang ringan. Sehingga dalam
pemeriksaan tipe ini akan ditemukan arteri yang menyempit, pucat, arteri meregang, dan
percabangan tajam, terdapat perdarahan, ada eksudat.
- Tipe 2
Kelainan berupa penyempitan arteriol secara fokal, AV nipping, adanya gambar copper
wiring. Defleksi vena pada persilangan (salus’s sign). Dalam pemeriksaan funduskopi
yaitu akan tampak penyempitan pembuluh, pelebaran, dan sheating setempat. Tidak ada
edema papil, ada perdarahan atau tidak ada.
- Tipe 3
Grade 2 dengan pendarahan retina (berbentuk titik, blot, atau api), eksudat (adanya
edema retina kronik yang menyebabkan deposisi dari eksudat keras di antara fovea yang
membentuk macular star), dan cotton wool spots.
- Tipe 4

Grade 3 ditambah edema diksus optic (merupakan tanda hipertensi malignan), silver-
Wiring Arterioles.

11
Dalam menegakan diagnosis kelainan ini biss digali berdasarkan riwayat penyakit pasien, gejala
hipertensi, riwayat pengobatan hipertensi, kemungkinan komplikasi, pengobatan yang
dikonsumsi, dan gejala berupa sakit kepala, sakit pada derah mata, penurunan visus, deficit
neurologis fokal, sesak napas, atau berdebar-debar. Selain itu juga harus dikonfirmasi dengan
pemeriksaan funduskopi untuk menemukan penyempitan arteri, lekukan, dan reflex cahaya
arterior yang meningkat.6

Tatalaksana yang dapat dilakukan yaitu dengan mengontrol tekanan darah sehingga progresifitas
dari kerusakan retina dapat dihentikan. Kondisi AV nicking dan penyempitan lumen arteri
merupakan hal yang permanen. Sehingga jika diperlukan tatalaksana lebih lanjut dapat dilakukan
rujuk ke pusat layanan kesehatan yang lebih tinggi.6

12
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Sitompul R. Retinopati Diabetik. J Indon Med Assoc. 2011;61(8):1-7.
2. Eva PR, Witcher JP. Vaughan & Asbury's General Ophthalmology. 17 th Edition. New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2007.
3. Hooper P, Boucher MC, Cruess A. Canadian Ophthalmological Society evidence-based
clinical practice guidelines for the management of diabetic retinopathy. Can J Opthalmol.
2012;47(S1):193-207.
4. Garrat S, Soberano S. Diabetic Retinopathy. USA: American Academy of Ophtalmology;
2014.
5. Ganchi MF. Diabetic Retinopathy Guidelines. London: The Royal College of
Ophthalmologists; 2012.
6. Yanoff M, Duker JS. Ophthalmology. 4th ed. San Francisco: Saunders; 2014

13

Anda mungkin juga menyukai