Anda di halaman 1dari 2

1. Apakah yang dimaksud dengan rugi fiskal?

Jawab:
Berdasarkan Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan,
kerugian fiskal adalah kerugian fiskal berdasarkan ketetapan pajak yang telah diterbitkan
Direktur Jendral Pajak serta kerugian fiskal berdasarkan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak
(self assessment) dalam hal tidak ada atau belum diterbitkan ketetapannya pajak oleh
Direktur Jendral Pajak. Kerugian fisksal terjadi karena biaya (yang diperbolehkan
menurut ketentuan fiskal) lebih dari penghasilan bruto.

2. Apakah yang dimaksud dengan revaluasi asset dan hubungannya dengan rugi
fiskal?
Jawab:
Revaluasi asset adalah penilaian kembali atas asset yang dimiliki oleh perusahaan
(entitas). Hal ini dilakukan akibat adanya kenaikan nilai asset tetap di pasaran atau karena
rendahnya nilai asset tetap dalam laporan keuangan perusahaan akibat dievaluasi.
Dalam hal pengajuan revaluasi asset, perusahaan harus mengajukan permohonan
kepada Direktur Jendral Pajak (DJP). Sehinga nantinya DJP akan menerbitkan surat
keputusan penilaian kembali asset. Atas selisih dari revaluasi asset perusahaan di atas
nilai sisa buku fiskal akan dikenakan pajak final sebesar 10%. Sebelum dikenakan pajak
final 10% tersebut selisih nilai revaluasi harus dikopensasikan dulu dengan sisa-sisa
kerugian fiskal tahun-tahun sebelumnya. Tetapi bila ternyata hasil revaluasinya dibawah
nilai buku fiskal, maka tidak ada pajak yang dikenakan.

3. Bagaimana perlakuan rugi fiskal apabila perusahaan memiliki peredaran bruto


dibawah Rp 4,8 Miliar?
Jawab:
PPh Setengah Persen (0,5%) merupakan salah satu fasilitas yang diberikan oleh
pemerintah untuk memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak Perusahaan yang memiliki
peredaran bruto dibawah Rp 4,8 Miliar. Pengenaan tarif 0,5% ini berdasarkan Peraturan
Pemerintah nomor 23 tahun 2018. Hal ini dilakukan untuk memberikan kemudahan dan
kesederhanaan kepada Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan. Hal ini
juga dapat mendorong masyarakat untuk berperan serta dalam kegiatan ekonomi formal
serta untuk lebih memberikan keadilan kepada Wajib Pajak yang dimiliki peredaran bruto
tertentu yang telah mampu melakukan pembukuan. Namun demikian PP 23 memberikan
batasan waktu untuk mendapatkan fasilitas PPh setengah persen. Batasan waktu menurut
PP 23 yaitu untuk orang badan dibatasi selama 7 tahun sejak 2018. Untuk badan
perseroan terbatas (PT) selama 3 tahun sejak 2018. Dan untuk badan berbentuk koperasi,
persekutuan komanditer, dan firma dibatasi 4 tahun sejak 2018.
PP 33 tidak dikenakan teradap:
1) Wajib Pajak yang memiliki omset diatas Rp 4,8 Miliar setahun
2) Wajib Pajak yang telah melebihi batas waktu
3) Wajib Pajak memilih tarif PPh umum
4) Wajib Pajak CV, Firma, dan orang pribadi yang menyerah jasa pekerjaan bebas
5) Wajib Pajak yang memiliki fasilitas PPh sesuai Pasal 31A Undang-Undang PPh dan
PP 94 tahun 2010
6) Wajib Pajak BUT
Salah satu kerugian menggunakan metode PPh final adalah tidak boleh rugi. Mungkin
pada kenyataannya Wajib Pajak mengalami rugi komersial, tetapi dalam PPh final, Wajib
Pajak yang mengalami kerugian pun harus membayar pajak. Inilah kelemahan dari PPh
final. Namun PP 23 memberikan pilihan bagi Wajib Pajak untuk memilih menggunakan
PPh tarif umum. Artinya wajib pajak tersebut membayar PPh jika secara fiskal memiliki
penghasilan neto (tidak rugi). Peraturan Menteri Keuangan nomor 99/PMK.03/2018
mengatur bahwa Wajib Pajak dapat memilih menggunakan tarif PPh umum dengan cara
mengajukan permohonan ke kantor pajak terdaftar.

Anda mungkin juga menyukai