Anda di halaman 1dari 12

ASUHAN KEPERAWATAN

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Konsep Dasar Keperawatan II

DOSEN PENGAMPUH

Ns. Zulkifli B. Pomalango, M.Kep

DISUSUN OLEH

KELOMPOK 3 | KELAS B

FADILA AULIA MATOKA 841419080

SITTI NURHASANAH DJAILANI 841419081

INTAN JULIA RUPANG 841419082

NURAFNI BIGA 841419083

ALVINA AGNESIA RUMAMPUK 841419084

RIVANDI HALID 841419085

RETNO WULAN SUTANTIO RAHIM 841419086

SRI WAHYU NINGSI MAHAJANI 841419087

SABRINA AULIYA MONOARFA 841419088

NOOR ANDINI CAESAR L. SANAU 841419089

NUR’ AZMI AIRMAS 841419090

SITI MAURA AURELIA HINTA 841419092

RUSLI HIOLA 841419107

MOHAMAD FADLIYANTO MOBI 841419110

FAULA AZZAHRA 841419120


PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2019

1.1. LATAR BELAKANG

Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak lepas dari kegiatan komunikasi.


Kenyataannya, memang komunikasi secara mutlak merupakan bagian integral dari
kehidupan kita, tidak terkecuali yang berstatus sebagai perawat, yang tugasnya sehari-
hari selalu berhubungan dengan orang lain. Entah itu dengan pasien, sesama teman,
dengan atasan, dokter dan sebagainya. Maka komunikasi adalah sarana yang sangat
efektif dalam memudahkan perawat melaksanakan peran dan fungsinya
dengan baik 
Komunikasi perawat-klien adalah proses pengiriman atau pertukaran informasi dan
pesan dari perawat ke pasien atau sebaliknya baik secara verbal maupun non verbal
dengan tujuan untuk mempengaruhi tingkah laku dan merespon dalam rangka
membantu mengatasi masalah klien.

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa komunikasi perawat-klien


adalah proses pengiriman pesan atau informasi dari perawat ke pasien dengan harapan
pasien memberikan respon balik dan melakukan perubahan terhadap dirinya

Di Indonesia, sebagian tenaga kesehatan merasa tidak mempunyai waktu yang cukup
untuk berbincang-bincang dengan pasiennya. Akibatnya, tenaga kesehatan misalnya
perawat bisa saja tidak mendapatkan keterangan yang cukup untuk menegakkan
diagnosis dan menentukan perencanaan dan tindakan lebih lanjut. Dari sisi pasien,
umumnya pasien merasa dalam posisi lebih rendah di hadapan tenaga kesehatan
tersebut.

Tidak mudah bagi perawat untuk menggali keterangan dari pasien. Perlu dibangun
hubungan saling percaya yang dilandasi keterbukaan dan pengertian akan kebutuhan,
harapan, maupun kepentingan masing-masing. Dengan terbangunnya hubungan saling
percaya, pasien akan memberikan keterangan yang benar dan lengkap sehingga dapat
membantu perawat maupun dokter dalam mendiagnosis penyakit pasien secara baik
dan memberi penanganan yang tepat bagi pasien.

Komunikasi yang baik dan berlangsung dalam kedudukan setara sangat diperlukan
agar pasien mau menceritakan sakit atau keluhan yang dialaminya secara jujur dan
jelas. Komunikasi efektid mampu mempengaruhi emosi pasien dalam pengambilan
keputusan tentang rencana tindakan selanjutnya, sedangkan komunikasi tidak efektif
akan mengundang masalah.

Di Indonesia kita mengenal beberapa profesi yang berhubungan dengan kesehatan.


Contohnya saja kesehatan masyarakat yang lebih fokus pada pencegahan penyakit
atau tenaga medis seperti dokter, perawat, dan bidan yang berperan dalam pengobatan
perawatan. Selama ini paradigma yang melekat pada perawat terkesan mencoreng
citra perawat sebagai tenaga medis. Banyak keluhan masyarakat seusai mendapatkan
perawatan di rumah sakit. Ada yang mengeluhkan keprofesionalan perawat maupun
sikap yang kurang menyenangkan, terlebih pada pasien rujukan puskesmas atau
pemegang kartu jamkesmas. Padahal setiap institusi yang memberikan pendidikan
keperawatan, termasuk School of Nursing di salah satu perguruan tinggi negeri, selalu
membekali peserta didiknya untuk bertindak profeesional dengan memberikan
pelayanan terbaik.

Seperti halnya guru atau polisi, perawat juga bergerak di bidang pelayanan dan
pengabdian masyarakat. Akan tetapi berbeda dengan ibu guru atau bapak polisi yang
mendapat pengharagaan/srata sosial yang tinggi di mata masyarakat dalam hal ini
profesi perawat sering dipandang remeh oleh masyarakat luas padahal di luar negeri
seperti swis dan jepang sosok perawat sangatlah dihargai. Sementara di Indonesia
mereka sering di anggap sebagai pembantu dokter bukan rekan dokter, padahal 80%
kesembuhan pasien ditentukan dari keberhasilan perawat dalam memberikan
perawatan secara medis baik fisik maupun psikis. Untuk itu setiap perawat perlu
memiliki ketrampilan khusus untuk menambah nilai plus pada dirinya. Salah satunya
adalah dengan menguasai komunikasi terapeutik. Komunikasi terapeutik adalah
pendekatan secara psikologis yang dilakukan atau dirancang untuk tujuan terapi.
Meskipun kesembuhan fisik menjadi tujuan utama dari setiap tindakan medis akan
tetapi perawatan secara psikologis (salah satunya melalui komunikasi terapeutik) juga
perlu dilakukan sebagai penyeimbang.

Keterampilan berkomunikasi merupakan critical skill yang harus dimiliki oleh


perawat, karena komunikasi merupakan proses yang dinamis yang digunakan untuk
mengumpulkan data pengkajian, memberikan pendidikan atau informasi kesehatan-
mempengaruhi klien untuk mengaplikasikannya dalam hidup, menunjukan caring,
memberikan rasa nyaman, menumbuhkan rasa percaya diri dan menghargai nilai-nilai
klien. Sehingga dapat juga disimpulkan bahwa dalam keperawatan, komunikasi
merupakan bagian integral dari asuhan keperawatan. Seorang perawat yang
berkomunikasi secara efektif akan lebih mampu dalam mengumpulkan data, 
melakukan tindakan keperawatan (intervensi), mengevaluasi pelaksanaan dari
intervensi yang telah  dilakukan, melakukan perubahan untuk meningkatkan
kesehatan dan mencegah terjadinya masalah- masalah legal yang berkaitan dengan
proses keperawatan.

Proses komunikasi dibangun berdasarkan  hubungan saling percaya dengan klien dan
keluarganya. Komunikasi efektif merupakan hal yang esensial dalam menciptakan
hubungan antara perawat dan klien. Addalati (1983), Bucaille (1979) dan Amsyari
(1995) menegaskan bahwa seorang perawat yang beragama, tidak dapat bersikap
masa bodoh, tidak peduli terhadap pasien, seseorang (perawat)  yang
tidak care dengan orang lain (pasien) adalah berdosa. Seorang perawat yang tidak
menjalankan profesinya secara profesional akan merugikan orang lain (pasien), unit
kerjanya dan juga dirinya sendiri. Komunikasi seorang perawat dengan pasien pada
umumnya menggunakan komunikasi yang berjenjang yakni komunikasi intrapersonal,
interpersonal dan komunal/kelompok. 
1.2 TINJAUAN JURNAL I

Jurnal I (Upaya Meningkatkan Komunikasi Efektif Perawat - Pasien) bertujuan untuk


mengidentifikasi upaya yang dapat meningkatkan keterampilan komunikasi efektif
perawat pasien. Jurnal ini merangkum berbagai metode yang telah diteliti dan diuji
coba yang bersumber pada jurnal-jurnal lain yang terpercaya dan sehingga bisa
memberikan gambaran perbandingan hasil dari tiap-tiap metode yang telah diujikan
sebelumnya. Berbagai upaya-upaya tersebut diantaranya: (1) pelatihan meningkatkan
kepercayaan diri perawat dalam memberikan pelayanan intensif kepada pasien, (2)
panduan keterampilan komunikasi peka budaya setiap pasien
meningkatkanketerampilan komunikasi perawat dan kepuasan pasien.,(3) program
komunikasi terapeutik lanjutan perawat anak,meningkatkan interaksi aman , sehat,
menumbuhkan kepercayaan, memperbaiki pemulihan (4) mini workshop
meningkatkan kemampuan komunikasi. Komunikasi efektif perawat– pasien melalui
upaya pelatihan.,panduan keterampilan peka budaya.,program komunikasi terapeutik
terencana, dan mini workshop.

Adapun hasil penelitian dari jurnal ini dari tiap-tiap upaya yang telah direncanakan
adalah:

a. Pelatihan

Bersumber dari penelitian Penelitian Sue Duke et al, ( 2014 ) yakni dengan
evaluasisecara konsisten menunjukkan bahwa dampak positif pelatihan85% ke atas
peserta sangat setuju bahwa pelatihan komunikasi tersebut telah meningkatkan
kepercayaan diri perawat untuk mendekati orang-orang yang menderita, sangat setuju
bahwa mereka bersedia berbicara dengan orang-orang yang menderita dan mengatasi
masalah emosional pasien, sangat setuju bahwa pelatihan tersebut akan memberi
dampak pada praktik keperawatan.

Sedangkan untuk penelitian yang dilakukan olehPehrson et al, ( 2016 ) bahwa 248
perawat dari pusat kanker Amerika Serikat berpartisipasi dalam sebuah modul CST
untuk menanggapi secara empatik terhadap pasien. Perawat menyelesaikan penilaian
pasien standar (SPA) pra-dan pasca pelatihan. Hasil menunjukkan bahwa Perawat
merasa puas dengan modul tersebut. Self-efficacy perawat dalam merespon secara
empatik meningkat secara signifikan sebelum pasca pelatihan. Selain itu, perawat
menunjukkan peningkatan keterampilan empati pada pasca-SPA. Akhirnya, 88,2%
perawat melaporkan merasa percaya diri dalam menggunakan keterampilan yang
mereka pelajari pasca pelatihan dan melaporkan peningkatan 42-63% dalam
penggunaan keterampilan empatik tertentu.
Dari dua penelitian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sebagian besar perawat
merasakan peningkatan dalam rangka meningkatkan keterampilan komunikasi
perawat kepada pasien dalam komunikasi terapeutik yang mampu memberikan
pengaruh yang baik terhadap psikologi pasien untuk proses kesembuhannya. Selain
itu, metodi ini juga membantu perawat memiliki rasa percaya diri yang baik
menghadapi setiap pasien yang mengalami depresi, kecemasan, kekwatiran terhadap
permasalahan yang dihadapi oleh pasien.

b. Panduan keterampilan komunikasi yang peka terhadap budaya

Penelitian Mora et al (2015) menggunakan penduan keterampilan komunikasi yang


peka terhadap budaya. Caranya yaitu dengan mengedukasi perawat melalui beberapa
fase atau tahap. (1) Fase "Siap, dengan mempertimbangkan sesi persiapan perawat
sebelum bertemu dengan klien, yang seharusnya sudah menyadari nilai budaya Asia
Tenggara, misalnya peraturan sejenis gender untuk membuat klien lebih nyaman,
mengetahui niat keluarga klien dalam keputusan klinis, membuat, mengetahui hak
otonomi klien, dan mengetahui kapan dan di mana mencari bantuan dari perawat lain
atau profesional kesehatan; (2) fase "Menyapa", mengingat, membangun kepercayaan,
termasuk menghargai konteks budaya Asia Tenggara dimana klien mungkin ragu
untuk mengatakan keprihatinan mereka dan kebanyakan menggunakan kata-kata non-
verbal yang lebih halus, ekspresi, dan kesadaran bahwa salam harus mewakili
hubungan "keluarga" lebih banyak daripada hanya menyebutkan nama; (3) fase
terhadap perasaan klien dan keluhan fisik, namun masih menyadari konteks budaya
Asia Tenggara bahwa jawaban "ya" mungkin tidak mewakili kesepakatan sejati klien
dan oleh karena itu usaha eksplorasi yang signifikan harus dilakukan dan diambil; dan
(4) tahap "Diskusikan", dengan mempertimbangkan menyelesaikan pekerjaan tanpa
mengabaikan harapan klien, terus mempromosikan komunikasi dua arah dan setiap
usaha melakukan dialog dalam konteks pengobatan alternatif komplementer (CAM)
sebagai kebiasaan umum di masyarakat Asia Tenggara. Hasil dari simulasi
menunjukkan 5 pita merah (sangat tidak puas), 4 pita kuning (tidak puas), 3 pita hijau
(puas), dan 3 pita biru (sangat puas) pada responden kelompok yang tidak terlatih,
sedangkan pada kelompok intervensi kami hanya ditemukan 7 hijau dan 8 pita biru.

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan
antara perawat yang sudah terlatih dalam keterampilan komunikasi peka terhadap
budaya dan yang tidak. Pada golongan perawat yang sudah terlatih sebagian besar
menunjukkan kepuasan sedangkan yang tidak atau kelompok kontrol adalah
sebaliknya.

c. Program komunikasi terapeutik terencana

Hasil penelitian Younis, et all , ( 2015 ) Hasil penelitian Younis, et all , ( 2015 )
menunjukkan korelasi signifikan statistik positif antara skor pengetahuan total dan
skor latihan total kemampuan komunikasi terapeutik perawat pada setiap waktu
pengukuran). Juga, peningkatan signifikan statistik yang signifikan dalam
pengetahuan, praktik dan keterampilan perawat pediatrik mengenai komunikasi
terapeutik

Dari hasil diatas dapat disimpulkan bahwa perawat anak-anak memiliki peningkatan
pengetahuan dan keterampilan yang signifikan mengenai komunikasi terapeutik
dengan pasien anak yang dirawat di rumah sakit setelah menggunakan program
komunikasi terapeutik terencana. Mampu menerapkan program komunikasi terapeutik
lanjutan untuk perawat anak-anak untuk meningkatkan interaksi yang aman dan sehat,
menumbuhkan kepercayaan dan memperbaiki pemulihan anak-anak yang dirawat di
rumah sakit akan memberikan dampak terapeutik bagi pasien yang dilayaninya.

d. Mini workshop

Penelitian oleh Anita Permatasari, 2016 yakni mengadakan pelatihan komunikasi


terapeutik

pada perawat baru dengan mini workshop dimana kemampuan komunikasi terapeutik
perawat setelah treatment dinilai meningkat karena hasil menunjukkan bahwa perawat
yang melakukan komunikasi terapeutik dengan baik lebih besar dari yang tidak yaitu
sebanyak 4 responden (80%), sedangkan perawat dengan komunikasi terapeutik
kurang baik sebanyak 1 responden (20%).

1.3 TINJAUAN JURNAL 2

Jurnal 2 (hubungan komunikasi perawat dengan tingkat kepuasan pasien) bertujuan


untuk mengetahui hubungan komunikasi perawat dengan tingkat kepuasan pasien.
Jurnal ini merangkum berbagai metode yang telah diteliti dan diuji coba yang
bersumber pada jurnal-jurnal lain yang terpercaya dan sehingga bisa memberikan
gambaran perbandingan hasil dari tiap-tiap metode yang telah diujikan sebelumnya.
Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar komunikasi perawat adalah baik

Adapun hasil penelitian dari jurnal ini dari tiap-tiap upaya yang telah direncanakan
adalah:

1. Komunikasi Perawat
Sebagian besar komunikasi perawat adalah baik yaitu sebanyak 29 responden
(60,4%). Menurut penelitikomunikasi merupakan salah satu alat manusia berinteraksi
sehingga mereka mampu memahami dan mengerti maksud dan tujuan dari keberadaan
salah satu diantara mereka. Komunikasi yang kurang oleh karena faktor budaya,
kelelahan dan kondisi fisik dan psikis dari individu itu sendiri, kamunikasi yang baik
akan memberikan kesan yang menarik karena ada kesepahaman dan akan menjadi
nilai suatu kepuasan dari individu yang sedang berinteraksi Komunikasi merupakan
unsur yang penting dalam aktivitas manajer keperawatan dan sebagai bagian yang
selalu ada dalam proses manajemen keperawatan bergantung pada posisi mamajer
dalam struktur organisasi (Nursalam, 2012). Pada faktor jenis kelamin didapatkan
data bahwa dari 48 responden dengan komunikasi dipengaruhi oleh faktor jenis
kelamin. Berdasarkan tabel 1.1 didapatkan sebagian besar responden adalah laki-laki
yaitu sebanyak 28 responden (58,3%).
Menurut peneliti laki-laki dan perempuan menunjukkan gaya komunikasi yang
berbeda dan memiliki interpretasi yang berbeda terhadap suatu percakapan. Kaum
perempuan menggunakan teknik komunikasi untuk mencari konfirmasi dan
meminimalkan perbedaan, sementara kaum laki-laki lebih menunjukkan independensi
dan status dalam kelompoknya. Pada faktor pendidikan didapatkan bahwa dari 48
responden dengan komunikasi baik, 35 responden berpendidikan menengah. Menurut
peneliti pendidikan pasien mempengaruhi pengetahuan pasien yang didapatkan oleh
pasien, pengetahuan yang baik menyebabkan pasien mudah memahami kalimat yang
diungkapkan oleh perawat. Menurut peneliti bahwa jarak interaksi yang dilakukan
perawat dengan pasien sudah tepat sehingga pasien tidak merasa terpojok dalam
berkomunikasi serta pasien merasa diperhatikan oleh lawan
bicaranya.
2. Tingkat Kepuasan Pasien
Sebagian besar pasien puas terhadap komunikasi perawat yaitu sebanyak 32
responden (66,7%). Menurut peneliti penilaian seorang pasien atau keluarga pasien
merupakan penilaian komplit mereka menilai dari komunikasi secara bersamaan
bukan hanya salah satu saja karena budaya yang di tanamkan pada keluarga mereka
sehingga tingkat kepuasan mereka dapat di ukur jika perkataan yang sopan disertai
sikap ketimuran yang baik. Menurut Kotler (2009) dalam Purwanto (2011) bahwa
kepuasan adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja atau hasil
suatu produk yang dia rasakan dibandingkan dengan harapannya. Moison et al dalam
Haryanti (2004) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pasien
yaitu: karakteristik produk, harga, pelayanan, lokasi, fasilitas, image, komunikasi,
desain visual, dan suasana. Pada faktor umur, pendidikan dan pekerjaan responden
menunjukkan bahwa dari 28 responden (59,6%) tidak puas dengan pelayanan
perawat, jika dilihat dari umur responden sebagian besar responden berumur 31-40
tahun yaitu 11 responden (23,4%), tidak bekerja sebanyak 11 responden (23,4%)
dengan pendidikan rata-rata responden adalah pendidikan menengah yaitu 21
responden (44,7%). Menurut peneliti bahwa umur, pendidikan, dan pekerjaan pasien
dapat memengaruhi tingkat tingkat kepuasan dari pasien, umur, pendidikan dan
pekerjaan dapat menentukan keputusan pasien dimana harus mencari pengobatan.
Pasien tidak mementingkan nama rumah sakit (label), namun pasien lebih
menekankan yang utama dia harus mendapat pengobatan, apapun nama rumah
sakitnya tidak menjadi masalah. Kebanyakan pada pasien menunjukkan kepuasan
mereka dengan pelayanan perawat karena pasien memiliki waktu untuk bicara dengan
para perawat. Perawat sering memberi salam dan senyum ketika bertemu dengan
pasien, perawat saat berkomunikasi dengan cara yang baik dan benar, perawat
menggunakan bahasa yang mudah dimengerti saat berkomunikasi.
3. Hubungan Komunikasi Perawat dengan Tingat Kepuasan Pasien
Hubungan antara komunikasi dengan tingkat kepuasan pasien yaitu apabila
komunikasi yang dilakukan kurang baik maka pasien tidak puas dan jika komunikasi
yang dilakukan baik maka pasien akan merasa puas. Moison et all dalam Haryanti
(2004) menyebutkan faktor-faktor yang memengaruhi kepuasan pasien yaitu:
karakteristik produk, harga, pelayanan, lokasi, fasilitas, image, komunikasi, desain
visual, dan suasana. Menurut peneliti sebagian kecil responden yang tidak sesuai
dengan hasil penelitian yang menyatakan ada hubungan komukasi yang tidak baik
dengan kepuasan pasien, hal ini disebabkan karena kepuasan pasien tidak hanya
dipengaruhi oleh komunikasi dari perawat, melainkan adanya faktor pelayanan rumah
sakit yang kurang cepat atau kurang tanggap dalam memberikan pelayanan
keperawatan kepada pasien dan kelengkapan fasilitas rumah sakit menentukan
penilaian tingkat kepuasan pasien, misalnya fasilitas kesehatan baik sarana dan
prasarana, ruang tunggu, dan ruang kamar rawat inap

1.3 TINJAUAN JURNAL 3

Jurnal 3 (persepsi perawat terhadap pelaksanaan komunikasi efektif) Tujuan dari


penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran secara mendalam tentang
pelaksanaan komunikasi efektif antara perawat dan klien ) . Hasil penelitian ini
didapatkan 3 tema utama mengenai persepsi perawat terhadap pelaksanaan
komunikasi efektif. Tema pertama adalah pelaksanaan komunikasi efektif di instalasi
rawat jalan berjalan baik, masih adanya hambatan yang dirasakan perawat ketika
melakukan komunikasi efektif, dan pola komunikasi perawat-klien mempengaruhi
tingkat kepuasan klien terhadap pelayanan. Saran dari penelitian ini adalah
diharapkan agar perawat lebih mening

Adapun hasil penelitian dari jurnal ini dari tiap-tiap upaya yang telah direncanakan
adalah:

Terdapat 3 tema utama yaitu pelaksanaan komunikasi efektif berjalan baik, masih
adanya hambatan yang dirasakan perawat ketika melakukan komunikasi efektif, dan
pola komunikasi perawat-klien mempengaruhi tingkat kepuasan klien terhadap
pelayanan. Tema pertama terbagi menjadi 9 sub tema, diantaranya : membina
hubungan saling percaya, professional dalam berkomunikasi dengan klien, peka
terhadap respon klien, empati dalam berkomunikasi, bekali dengan ilmu dalam
berkomunikasi, keramahtamahan dalam berkomunikasi, 5 S (senyum, salam, sapa,
sopan, santun) dalam berkomunikasi dengan klien, kesabaran dalam berkomunikasi,
tehnik komunikasi nonverbal sentuhan diperlukan dalam melakukan komunikasi
syarat ini merupakan indikator penting bagi terciptanya komunikasi yang efektif,
sehingga memungkinkan klien untuk dapat bekerjasama dengan petugas kesehatan,
meningkatkan ststus fungsional dan psikologikal klien, dan meningkatkan kepuasan
klien. Berdasarkan hasil penelitian, dalam melaksanakan komunikasi efektif dengan
klien perawat harus memiliki kemapuan yang dapat menunjang sehingga omunikasi
bisa berjalan efektif.
Sebagai seorang perawat kita dituntut untuk selalu dapat bersikap profesional saat
bertugas. Ada empat nilai professional penting menurut Watson, 2008 yaitu (1)
komitmen yang tinggi untuk melayani, (2) penghargaan atas harkat dan martabat
klien/pasien, (3) komitmen terhadap pendidikan, dan (4) otonomi Perawat harus bisa
meredam emosi dan mengesampingkan urusan pribadi saat bekerja. Hal lain yang
tidak kalah penting yang harus dimiliki oleh perawat dalam melakukan komunikasi
adalah sikap empati. Empati merupakan sikap dan perilaku perawat untuk mau
memperhatikan pasien (Kusminarti, 2013). Dalam melakukan komunikasi dengan
klien perawat harus memiliki sikap empati sehingga dapat terbina hubungan saling
percaya antara perawat dan klien. Bentuk komunikasi bisa berupa komunikasi verbal
dan non verbal. Sentuhan merupakan bentuk komunikasi non verbal yang penting
pada situasi emosional, meskipun begitu, sangat perlu bagi perawat untuk memahami
siapa, kapan dan mengapa sentuhan. Sentuhan dapat menimbulkan arti yang lebih
bermakna sehingga klien merasa puas dengan pelayanan yang diberikan.
Keterampilan yang baik dalam berkomunikasi perlu dipelajari, dipraktekkan dan
disempurnakan oleh semua perawat sehingga mereka dapat berkomunikasi dengan
jelas, singkat dan tepat dalam lingkungan yang serba cepat dan situasi yang tidak
terprediksi,oleh karena itu diperlukan alat penunjang untuk menjamin kelancaran
proses komunikasi tersebut. Standard Operational Procedure (SOP) mengenai cara
melakukan komunikasi dengan klien. karena SOP juga merupakan komponen yang
penting dalam menunjang komunikasi yang efektif antara perawatklien

Adapun hambatan dalam melakukan komunikasi efektif karena waktu yang terbatas.
Beberapa informan menyebutkan bahwa masalah yang digali tidak bisa optimal
karena waktu yang sebentar dan seringkali perawat menjadi buru-buru dalam
memberikan informasi kepada klien. Selain itu klien juga seringkali menjadi marah
hingga akhirnya complain karena perawat terlalu lama berdiskusi dengan klien
lainnya. Tentu saja hal tersebut akan berdampak kepada ketidakpuasan klien terhadap
pelayanan yang diberikan. Beberapa informan juga menyatakan karena waktu yang
terbatas terkadang penyampaian informasi pun menjadi terburu-buru sehingga isi dari
pesan yang disampaikan perawat menjadi kurang jelas. Hal tersebut diatas tentu tidak
sesuai dengan salah satu hukum komunikasi efektif yang disampaikan oleh Suranto
(2011).
Faktor budaya, bahasa dan kesabaran diperlukan ketika berkomunikasi dengan klien
yang sudah lanjut usia. Penelitian yang dilakukan oleh Callinan & Brandt (2015)
menyebutkan bahwa hambatan perawat dalam berkomunikasi dengan orang lanjut
usia dikarenakan adanya gangguan kognitif, oleh karena itu dibutuhkan teknik
berkomunikasi yang sesuai dengan keadaan mereka seperti menggunakan bahasa
yang sederhana dan berbicara dengan perlahan-lahan. Tingkat kepuasan atas
pelayanan tindakan keperawatan yang diberikan oleh seorang perawat terhadap klien
dapat terlihat dari cara perawat melakukan komunikasi dengan klien. Hasil penelitian
Hanafi & Richard (2012) ada pengaruh komunikasi interpersonal perawat terhadap
tingkat kepuasan pasien. Hal ini tentu akan berpengaruh terhadap penurunan angka
kunjungan di RS Al Islam padahal pihak penyedia pelayanan perlu mempertahankan
dan meningkatkan kunjungan pasien dengan menampilkan dan memberikan
pelayanan kesehatan yang berkualitas

Anda mungkin juga menyukai