Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH ILMU-ULMU HADITS

PEMBAGIAN HADITS DARI SEGI KUANTITAS & KUALITAS SANAD

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu-ilmu Hadits
Dosen: Muhamad Ali, S.H.I, M.E.Sy

Disusun Oleh:
1. Annisa Dewi
2. Diana Sari

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS WIRALODRA
INDRAMAYU
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul Pembagian Hadits dari segi kuantitas & kualitas sanad ini tepat pada
waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas  bapak Muhamad Ali, S.H.I, M.E.Sy pada mata Ilmu-ilmu Hadits. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Pembagian Hadits
dari segi kuantitas & kualitas sanad  bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
kami mengucapkan terima kasih kepada  bapak Muhamad Ali, S.H.I,
M.E.Sy selaku dosen kami  yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami
tekuni. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini.

kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan
demi kesempurnaan makalah ini.

Indramayu, 02 November 2019 

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... ii

DAFTAR ISI.................................................................................................. 3

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang................................................................................... 4
2. Rumusan masalah............................................................................... 5
3. Tujuan................................................................................................. 5
4. Manfaat............................................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN

1. Pengertian Hadits............................................................................... 6
2. Pembagian Hadits dari Segi Kuantitas & kualitas sanadnya.............. 7

BAB III PENUTUP

1. Kesimpulan......................................................................................... 15
2. Saran................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 16

3
BAB I

PENDAHULUAN

1 Latar Belakang
Hadits yang dipahami sebagai pernyataan, perbuatan, persetujuan dan hal
yang berhubungan dengan Nabi Muhammad saw. Dalam tradisi Islam, hadits
diyakini sebagai sumber ajaran agama kedua setelah al-Quran. Disamping itu
hadits juga memiliki fungsi sebagai penjelas terhadap ayat-ayat al-Qur’an
sebagaimana dijelaskan dalam QS: an-Nahl ayat 44. Hadits tersebut
merupakan teks kedua, sabda-sabda nabi dalam perannya sebagai pembimbing
bagi masyarakat yang beriman. Akan tetapi, pengambilan hadits sebagai dasar
bukanlah hal yang mudah. Mengingat banyaknya persoalan yang terdapat
dalam hadits itu sendiri. Sehingga dalam berhujjah dengan hadits tidaklah
serta merta asal mengambil suatu hadits sebagai sumber ajaran
Adanya rentang waktu yang panjang antara Nabi dengan masa pembukuan
hadits adalah salah satu problem. Perjalanan yang panjang dapat memberikan
peluang adanya penambahan atau pengurangan terhadap materi hadits. Selain
itu, rantai perawi yang banyak juga turut memberikan kontribusi permasalahan
dalam meneliti hadits sebelum akhirnya digunakan sebagai sumber ajaran
agama. Mengingat banyaknya permasalahan, maka kajian-kajian hadits
semakin meningkat, sehingga upaya terhadap penjagaan hadits itu sendiri
secara historis telah dimulai sejak masa sahabat yang dilakukan secara
selektif.
Para muhaddisin, dalam menentukan dapat diterimanya suatu hadits tidak
mencukupkan diri hanya pada terpenuhinya syarat-syarat diterimanya rawi
yang bersangkutan. Hal ini disebabkan karena mata rantai rawi yang teruntai
dalam sanad-sanadnya sangatlah panjang. Oleh karena itu, haruslah
terpenuhinya syarat-syarat lain yang memastikan kebenaran perpindahan
hadits di sela-sela mata rantai sanad tersebut. Makalah ini mencoba
mengelompokkan dan menguraikan secara ringkas pembagian-pembagian
hadits dari segi kuantitas & kualitas sanadnya.

4
2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa itu hadits?
2. Apa saja pembagian hadits dari segi kuantitasnya?
3. Apa saja pembagian hadits dari segi kualitasnya?

3 Tujuan
1. Untuk mengetahui lebih rinci lagi tentang pembagian hadits.
2. Untuk lebih memahami pengertian hadits, pembagian dan syarat-
syaratnya.

4 Manfaat
Memberikan wawasan kepada pembaca tentang pembagian hadits berdasarkan
kuantitas & kualitas sanadnya.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hadits


a. Pengertian Hadits Secara Etimologis :
Hadis atau al- hadits menurut bahasa adalah al- jadid yang artinya
(sesuatu yang baru) yang berarti menunjukkan kepada waktu yang dekat
atau waktu yang singkat seperti (orang yang baru masuk/ memeluk islam).
Hadis juga sering disebut dengan al- khabar, yang berarti berita, yaitu
sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang
lain, sama maknanya dengan hadis.
b. Pengertian Hadits Secara Terminologi
Sedangkan pengertian hadis menurut istilah (terminologi), Para
Ahli memberikan definisi (ta’rif) yang berbeda-beda sesuai dengan latar
belakang disiplin ilmunya.Pengertian hadis menurut Ahli Hadis,
ialah:“Segala perkataan Nabi, perbuatan, dan hal ihwalnya.”
Yang dimaksud dengan hal ihwal ialah segala yang diriwayatkan dari Nabi
SAW. Yang berkaitan dengan hikmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan
kebiasaan-kebiasaan.
Ada juga yang memberikan pengertian lain : “Sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifat
beliau”. sementara para ulama ushul memberikan pengertian hadis adalah:
“Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan taqrirnya yang berkaitan
dengan hukum syara’ dan ketetapannya”.
Berdasarkan pengertian hadis menurut ahli ushul ini jelas bahwa
hadis adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Saw. Baik ucapan,
perbuatan maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau
ketentuan-ketentuan Allah yang disyari’atkan kepada manusia. Selain itu
tidak bisa dikatakan hadis. Ini berarti bahwa ahli ushul membedakan diri
Muhammad sebagai rasul dan sebagai manusia biasa. Yang dikatakan
hadits adalah sesuatu yang berkaitan dengan misi dan ajaran Allah yang
diemban oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagai Rasulullah SAW. Inipun,

6
menurut mereka harus berupa ucapan dan perbuatan beliau serta
ketetapan-ketetapannya. Sedangkan kebiasaan-kebiasaannya, tata cara
berpakaian, cara tidur dan sejenisnya merupakan kebiasaan manusia dan
sifat kemanusiaan tidak dapat dikategorikan sebagai hadits.

2.2 Pembagian Hadits dari Segi Kuantitas & kualitas sanadnya


A. Pembagian Hadits dari segi kuantitasnya
Hadits ditinjau dari segi kuantitasnya atau jumlah perawi yang
menjadi sumber berita, maka dalam hal ini pada garis besarnya hadits
dibagi menjadi dua macam, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad.
1. Hadits Mutawatir
Kata mutawatir menurut lughat ialah mutatabi’ yang berarti
beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain.
Sedangkan menurut istilah ialah:
“Hadits tentang sesuatu yang mahsus (yang dapat ditangkap oleh
panca indera), yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang
menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat
untuk dusta.”[1]
“Hadits mutawatir ialah Hadits yang diriwayatkan sejumlah rawi
yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal
tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak
terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan.”
Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
1) Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus
berdasarkan tanggapan (daya tangkap) pancaindera.
2) Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat
mustahil mereka untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama
berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak
memungkinkan bersepakat dusta. Sebagian dari mereka
menetapkan 5 orang perawi, sebagian yang lain menetapkan 10

7
orang perawi, sebagian yang lain menetapkan 12, 20,40 dan 70
0rang perawi.
3) Jumlah rawi pada setiap tingkatan tidak boleh kurang dari jumlah
minimal, seperti yang ditetapkan pada syarat kedua.
Bila suatu hadits telah memenuhi syarat ketetapan diatas, maka hadits
tersebut dapat dikatakan sebagai hadits mutawatir dan pasti (qath’i) bahwa
Nabi Muhammad SAW benar-benar menyabdakan atau mengerjakan
sesuatu seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi mutawatir.

Para ulama membagi hadits mutawatir menjadi 3 (tiga) macam :

a. Hadits Mutawatir Lafzhi


Yaitu hadits mutawatir dengan sama persis susunan redaksinya dan
demikian juga pada hukum dan maknanya. Juga dipandang sebagai
hadits mutawatir lafdzi, hadits mutawatir dengan susunan redaksi yang
sedikit berbeda, karena sebagian digunakan kata-kata muradlifnya (kata-
kata yang berbeda, tetapi jelas sama makna atau maksudnya) sehingga
garis besar dan perincian makna hadits itu tetap sama.[2]
Jumlah hadits-hadits yang termasuk mutawatir lafdzi sangat
sedikit. Diantara contoh yang diberikan jumhur ulama adalah:
Rasulullah SAW bersabda,

‫ َم ْن َك َذ َب عَىَل َّ ُمتَ َع ِّمدً ا فَلْ َيت َ َب َّوْأ َم ْق َعدَ ُه ِم َن النَّ ِار‬ 

“Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia


bersedia menduduki tempat duduk di neraka.”[3]

b. Hadits Mutawatir Ma’nawi


Hadits mutawatir ma’nawi adalah hadits yang berlainan bunyi
lafazh dan maknanya, tetapi dapat diambil dari kesimpulannya atau satu
makna yang umum. Jumlah hadits yang termasuk hadits mutawatir
maknawi jauh lebih banyak dari hadits-hadits mutawatir lafdzi.
Diantara contoh hadits mutawatir maknawi adalah:

8
“Rasulullah SAW tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-
doanya selain dalam doa salat istisqa’ dan beliau mengangkat
tangannya, sehingga nampak putih kedua ketiaknya.” (HR. Bukhari-
Muslim).
c. Hadits Mutawatir ‘Amali
Adalah hadits mutawatir yang menyangkut perbuatan Rasulullah
SAW yang disaksikan dan ditiru oleh banyak orang tanpa perbedaan
untuk kemudian dicontoh dan diperbuat tanpa perbedaan oleh banyak
orang dan tanpa perbedaan pada generasi-generasi berikutnya.

2. Hadits Ahad
Menurut bahasa, ahad (dibaca aahaad) adalah kata jamak
dari waahid atau ahad. Bila ahad atau waahid berarti satu maka
aahaad sebagai jamaknya berarti satu-satu. Menurut Istilah hadits
ahad adalah Hadits (khabar) yang jumlah perawinya tidak mencapai
jumlah perawinya hadits mutawatir, baik perawinya itu seorang, dua
orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi
jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadits tersebut
masuk ke dalam hadits mutawatir. Ada juga yang memberikan ta’rif
yaitu hadits yang padanya tidak terkumpul syarat-syarat mutawatir.
Pembagian Hadits Ahad:
a. Hadits Masyhur         
Masyhur menurut bahasa berarti yang sudah tersebar atau
yang sudah popular. Sedangkan menurut istilah Hadits Masyhur
adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau lebih
dan belum mencapai derajat hadits mutawatir.
Contoh hadits masyhur: Rasulullah SAW bersabda:
‫ْال ُم ْسلِ ُم َم ْن َسلِ َم ْال ُم ْسلِ ُمونَ ِم ْن ِل َسانِ ِه َويَ ِد ِه‬
“Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin tidak
terganggu oleh lidah dan tangannya.” (HR. Bukhari, Muslim dan
at-Turmudzi)

9
b. Hadits Aziz
Aziz menurut bahasa adalah mulia atau yang kuat dan juga
dapat berarti yang jarang. Sedangkan menurut istilah ahli hadits
menyebutkan Hadits Aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh
dua orang rawi, kendati dua rawi itu pada satu tingkatan saja dan
setelah itu diriwayatkan oleh banyak rawi.

‫ة َع ْن َأن َ ٍس قَا َل قَا َل النَّىِب ُّ – صىل هللا عليه وسمل – « َال‬6َ ‫َو َحدَّ ثَنَا آ َد ُم قَا َل َحدَّ ثَنَا ُش ْع َب ُة َع ْن قَتَا َد‬
َ ‫ َحىَّت َأ ُك‬6ْ ‫ » ي ُ ْؤ ِم ُن َأ َحدُ مُك‬.
‫ه َوالنَّ ِاس َأمْج َ ِع َني‬6ِ ِ ‫َأ َح َّب ل َ ْي ِه ِم ْن َوادِل ِ ِه َو َودَل‬ ‫ون‬
‫ِإ‬
“Tidak sesungguhnya beriman salah seorang dari kamu, sehingga
adalah aku (Nabi) lebih cinta kepadanya daripada ia (mencintai)
bapaknya dan anaknya.”[4]       

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dengan


sanad-sanad yang tidak sama dari jalan Anas dan Abi Hurairah. Ini
berarti hadits tersebut mempunyai dua sanad. Karena kedua-duanya
berlainan maka dinamakan hadits Aziz.

c. Hadits Gharib
Gharib menurut bahasa berarti jauh, terpisah atau
menyendiri dari yang lain. Hadits gharib menurut bahasa berarti
hadits yang terpisah atau menyendiri dari yang lain. Para ulama
memberi pengertian hadits gharib adalah hadits yang
diriwayatkan oleh satu orang rawi (sendirian) pada tingkatan
manapun dalam sanad.
Contoh hadits Gharib:
Dari Umar bin Khattab, beliau berkata aku mendengar
Rasulullah SAW bersabda:
‫و إمنا للك امرئ ما نوى‬ ‫ عن النيب صىل هللا عليه و سمل إمنا األعامل ابلنية‬: ‫ خرب معر بن اخلطاب‬: ‫قال أبو بكر‬.

10
“Amal perbuatan itu hanya (dinilai) menurut niat dan setiap orang
hanya (memperoleh) apa yang diniatkannya.”(HR. Bukhari, Muslim
dan lain-lain).[5]

B. Pembagian Hadits dari segi kualitas


Hadits ditinjau dari segi kualitas perawi yang menjadi sumber
berita, maka dalam hal ini pada garis besarnya hadits dibagi menjadi dua
macam, yakni hadits shahih, hadits hasan dan hadits dlaif.
a. Hadits Shahih

Hadits Shahih adalah hadits yang bersambung sanadnya, dinukilkan


oleh perawi yang adil, kuat hafalannya, tidak cacat dan tidak tercela.
“Hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna
ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber’illat dan tidak
janggal.”[6]

Syarat-syarat hadits Shahih:

1. Rawinya bersifat adil


2. Sempurna/kuat ingatan (dhabit)
3. Sanadnya tidak putus/bersambung
4. Hadits itu tidak ber’illat
5. Tiada janggal

Hadits shahih ini diklasifikasikan dalam 2 bagian:

1. Hadits Shahih li-Dzatihi


Yang dimaksud dengan hadits Shahih li-dzatihi, ialah hadits shahih
dengan sendirinya. Artinya, ialah hadits shahih yang memiliki lima syarat
atau kriteria, sebagaimana disebutkan pada persyaratan diatas. Penyebutan
hadits shahih li-dzatih dalam pemakaiannya sehari-hari, pada dasarnya
cukup dengan memakai sebutan hadits shahih, tanpa harus ada
tambahan li-dzatih.
2. Hadits Shahih li-Ghairihi

11
Yaitu hadits yang keshahihannya dibantu oleh adanya keterangan
lain. Hadits ini pada mulanya, memiliki kelemahan pada aspek kedhabitan
perawinya. Diantara perawinya ada yang kurang sempurna kedhabitannya,
sehingga dianggap tidak memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai
hadits shahih. Pada awalnya hanya sampai derajat atau kategori
hadits hasan li-dzatih.

b. Hadits hasan
Kata hasan berasal dari kata hasuna, yahsunu yang menurut bahasa
berarti:
“Sesuatu yang diinginkan dan menjadi kecenderungan jiwa atau
nafsu.”
Secara bahasa dapat dikatakan hadits hasan berarti hadits yang baik,
atau yang sesuai dengan keinginan jiwa.
‫روى من‬bb‫ وي‬،ً‫اذا‬bb‫ديثا ً ش‬bb‫ وال يكون ح‬،‫كل حديث يروى ال يكون في إسناده من يهتم بالكذب‬
‫غير وجه نحو ذلك‬.

Menurut at-Turmudzi hadits hasan adalah “Tiap-tiap hadits yang pada


sanadnya tidak terdapat perawi yang tertuduh dusta. (pada matannya)
tidak ada kejanggalan (syadz) dan hadits tersebut diriwayatkan pula
melalui jalan lain.”[7]

Pembagian hadits hasan:

1. Hasan Li-dzatih
Yang dimaksud hadits hasan li-dzatih ialah hadits hasan dengan
sendirinya. Menurut Ibn ash-Shalah, pada hadits hasan li-dzatih para
perawinya terkenal kebaikannya, akan tetapi daya ingatan atau
kekuatan hafalan mereka belum sampai derajat hafalan para perawi
yang shahih. Hadits hasan li-dzatih ini bisa naik kualitasnya menjadi
shahih li-ghairih, apabila ditemukan adanya hadits lain yang
menguatkan kandungan matannya atau adanya sanad lain yang juga
meriwayatkan hadits yang sama (mutabi’ atau syahid).
2. Hasan li-ghairih

12
Yaitu hadits hasan bukan dengan sendirinya, artinya hadits yang
menduduki kualitas hasan karena dibantu oleh keterangan lain, baik
karena adanya syahid atau mutabi’. Dengan pengertian ini jelas,
bahwa hadits hasan li-ghairih kualitas awalnya dibawah hadits hasan,
yakni hadits dhaif.

Adapun kedudukan hadits shahih dan Hasan dalam berhujjah adalah sebagai
berikut:

Menurut kesepakatan ulama ahli ilmu dan fuqaha, sepakat bahwa hadits shahih
dan hasan dapat dijadikan hujjah. Meskipun ada ulama-ulama lain yang
mensyaratkan bahwa hadits hasan dapat digunakan hujjah apabila memenuhi sifat-
sifat yang diterima. Hadits secara umum telah memiliki sifat-sifat yang diterima,
walaupun rawinya kurang dhabith, tetapi masih terkenal sebagai orang yang jujur
dan bersih dari melakukan dosa.

Hadits yang mempunyai sifat-sifat yang diterima sebagai hujjah, disebut hadits
maqbul dan hadits yang tidak mempunyai sifat-sifat yang diterimma disebut
hadits mardud. Yang termasuk hadits maqbul adalah hadits shahih (baik shahih li-
dzatih maupun li-ghairih) dan hadits hasan (baik hasan li-dzatih maupun hasan li-
ghairih).[8]

c. Hadits dlaif

Menurut bahasa dlaif  berarti yang lemah, sebagai lawan kata dari
qawi yang kuat. Sebagai lawan kata dari shahih, kata dha’if juga berarti
saqim (yang sakit). Maka hadits dha’if secara bahasa berarti Hadits yang
lemah, yang sakit atau yang tidak kuat.

Secara istilah menurut Ibnu Katsir definisinya sebagai berikut:

‫ وال صفات احلسن‬،‫وهو ما مل جيمتع فيه صفات الصحيح‬.

“Hadits yang didalamnya tidak terkumpul sifat-sifat shahih dan


hasan.”
Menurut Nur ad-Din ‘Atar, bahwa definisinya adalah:

13
“Hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat Hadits
Maqbul.”[9]

Lebih tegas lagi dikatakan hadits dhaif karena:


1. Rendahnya kredibilitas dan kapasitas rawi, yang disebabkan:
a. Faktor rawi yang nyata-nyata berbohong (maudhu’), tertuduh
dusta (matruk), berlaku fasik, banyak lengah dan salah dalam
periwayatannya (mu’allal), terindikasi menyalahi riwayat
yang lebih tsiqoh (mudroj, maqlub, mudharib), tidak jelas
identitasnya (mubham), berlaku bid’ah (mardud), lemah daya
intelektualnya.
b. Faktor sanad yang terputus pada mata rantainya, baik
keterputusannya itu pada sanad pertama (mu’allaq), terakhir
(mursal), satu sanad (munqathi’)  atau pada dua sanad
berturut-turut (mu’dlal).
2. Faktor matan yang tidak identik dengan nabi, seperti bersumber
dari sahabat (mauquf), atau bersumber dari tabi’in (maqthu’).
Para ulama sepakat menolak atau melarang meriwayatkan hadits
dhaif yang maudhu’. Adapun kalau hadits dhaif itu bukan
maudhu’, mereka berselisih pendapat:
a. Melarang secara mutlak, meriwayatkan segala macam hadits
dhaif. Baik untuk mendapatkan hukum, maupun untuk
memberi sugesti amalan utama.
b. Membolehkan, kendatipun dengan melepas sanadnya dan
tanpa menerangkan kelemahannya untuk memberi sugesti,
menerangkan keutamaan amal dan cerita-cerita, bukan untuk
menetapkan hukum-hukum syara’ dan bukan untuk
menetapkan aqidah (keimanan).[10]

14
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
 Hadist menurut Ahli Hadits, ialah:“Segala perkataan Nabi,
perbuatan,dan hal ihwalnya.” Yang dimaksud dengan hal ihwal
ialah segala yang diriwayatkan dari Nabi SAW. Yang berkaitan
dengan hikmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-
kebiasaan.
 Pembagian Hadits dari segi kuantitasnya
1. Hadits Mutawatir
2. Hadits Ahad
 Pembagian Hadits dari segi kualitas
1. Hadits Shahih
2. Hadits hasan
3. Hadits dlaif
4. Saran

3.2 Saran
Penulis menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan
dan jauh dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut
dengan berpedoman pada banyak sumber yang dapat
dipertanggungjawabkan. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun mengenai pembahasan makalah dalam
kesimpulan di atas.

15
DAFTAR PUSTAKA

Referensi:

https://senyumkukarenamu.wordpress.com/2011/06/24/pembagian-hadits-dari-
segi-kualitas-dan-kuantitas/

http://engedubcollection.blogspot.com/2015/08/klasifikasi-hadist-berdasarkan-
kualitas.html

Footnote:

[1] Moh. Anwar, Ilmu Musthalah Hadits, (Al-Ikhlas : Surabaya, 1981), 16.

[2] Tim Al-Fath, Lembar Kerja Siswa Al-Fath Al-Qur’an Hadits, (Gresik: CV. Putra Kembar Jaya,
2008), 42.

[3] Imam Muslim, Shahih Muslim Juz 1, (Beirut: Dar al Kutb, 1997), 7.

[4] Maktabah Syamilah, Shahih Bukhari Juz I, 32.

[5] Maktabah Syamilah, Shahih Ibnu Khuzaimah Juz 7, 202.

[6] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), 164.

[7] Ibid, 169.

[8] Tim Al-Fath, Lembar Kerja Siswa Al-Fath Al-Qur’an Hadits, 50.

[9] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, 177.

[10] Tim Al-Fath, Lembar Kerja Siswa Al-Fath Al-Qur’an Hadits, 51.

Iklan

16

Anda mungkin juga menyukai