Era kenabian adalah era pertama dalam sejarah Islam yang dimulai sejak
Rasulullah SAW memulai dakwah mengajak manusia untuk menyembah Allah SWT
hingga meninggalnya beliau. Era kenabian dapat dibagi atas dua periode yang
dipisahkan oleh hijrah: pertama periode sebelum hijrah dan kedua periode sesudah
hijrah. Pada periode pertama embrio Islam baru tumbuh dan ajaran Islam masih
terbatas tentang kaidah-kaidah pokok secara umum. Pada periode kedua sesudah
hijrah bangunan masyarakat Islam sudah berhasil dibentuk, kaidah-kaidah Islam
sudah dijabarkan lebih detil, dan Islam sudah tampil dalam bentuk yang lebih
integral dan aktif. Era sesudah hijrah sering disebut-sebut sebagai starting point
terjadinya perubahan yang fundamental dalam sifat kenabian, karakteristik Islam dan
prinsip-prinsip yang diajarkan Nabi dan cara menyebarkan dakwah Islam. Era
kenabian mencerminkan era persatuan, usaha dan pendirian bangunan umat yang
ideal untuk ditiru oleh generasi-generasi kemudian.
Hijrah ke Madinah
Karena ketidaksenangan penduduk Makkah terhadap Nabi makin lama
makin memuncak, tawaran dari penduduk Yasthrib di atas diterima oleh Nabi. Pada
tanggal 2 Juli 622 M beliau memutuskan untuk hijrah dari Makkah ke kota Yasthrib.
Pada peristiwa hijrah tersebut yang menyambut Nabi dan rombongan tidak hanya
kaum Anshor yang sudah memeluk Islam, tetapi juga kelompok-kelompok non-
Islam, bahkan orang-orang Yahudi, yang dari Kitab mereka sudah diinformasikan
tentang akan datangnya Nabi terakhir, yaitu Muhammad.
Oleh mayoritas penduduk Yasthrib Islam diterima sebagai agama baru
mereka. Karena simpatisan penduduk Yastrhrib yang sangat besar terhadap Nabi,
dan Nabi sangat mencintai kota ini, maka Yasthrib juga sering disebut Kota Nabi,
atau Madinatun Nabi, Maddinatul Munawwarah (Kota yang Bercahaya) atau lebih
sering disingka Madinah saja. Karena peristiwa hijrah ini menandai babak baru
dalam sejarah Islam, maka tahun perpindahan dari Makkah ke Madinah ini dijadikan
penanggalan baru tahun Islam, yaitu tahun hijriah.
Untuk mempersatukan umat Islam secara agama, sosial dan politik, yang
pertama dibangunan Nabi adalah mendirikan sebuah mesjid, yaitu Mesjid Nabawi.
Selain untuk tempat beribadah, Mesjid Nabawi juga dijadikan sebagai tempat
bermusyawarah dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial politik yang dihadapi
serta menentukan langkah-langkah kebijakan yang perlu diambil. Selanjutnya untuk
urusan kenegaraan Nabi menetapkan Yasthrib sebagai ibukota.
Setelah pindah ke Yasthrib atau Madinah, terjadi perkembangan yang luar
biasa, baik dalam bidang agama maupun politik. Di Madinah Nabi tidak hanya
sekedar pimpinan agama, tetapi juga kepala negara. Dalam bidang pemerintahan
Nabi mengadakan rekonsiliasi kelompok-kelompok Muslim Yasthrib (Anshor)
dengan orang-orang Makkah yang baru masuk Islam (Muhajirin). Islam telah
menjadi ikatan efektif antara penduduk setempat (Anshor) dengan kaum pendatang
(Muhajirin). Untuk lebih memperkokoh eksistensi umat Islam, di Madinah Nabi
lebih jauh mendirikan Negara Kota Islam pertama tanggal 12 Rabiul Awal tahun 1
H, bertepatan dengan 28 Juni 622M. Di kota ini beliau mendirikan struktur politik
Islam yang pertama, yang prinsip-prinsip dasarnya diletakkan pada ‚aturan kota
Piagam Madinah
Di Madinah Nabi selalu berusaha menggalang persatuan, baik sesama Islam
antara kaum Muhajirin dan Anshor, bahkan juga antara kelompok Islam dan non-
Islam yang ada di Madinah, seperti orang-orang Yahudi dan orang-orang Arab yang
masih menganut paganisme. Agar persatuan dan kesatuan bisa dipertahankan
berdasarkan prinsip ‛Saling Hidup dan Menghidupi‛, Nabi mengambil prakarsa
untuk menyusun Piagam Madinah. Piagam Madinah dapat dikatakan sebagai
Undang-Undang Dasar tertulis pertama dalam sejarah. Sebelum Muhammad, tidak
ada penguasa dari kelompok bangsa manapun yang menyatakan secara tertulis untuk
mengatur dasar-dasar kekuasaannya.
Menurut Ahmad (2001), Piagam Madinah yang mulanya kurang beraturan
ini, oleh Muhammad Hamidullah disusun lebih sistematis, yang terdiri dari
pembukaan, isi (47 pasal) dan penutup. Pernyataan proklamasi pendirian negara
Islam ini dimulai dengan kalimat ‚Bismillahirrahmanirrahim‛. Pada bagian isi pasal
1 dan pasal 2 menyatakan maklumat berdirinya negara baru terdiri atas orang-orang
Muhajirin, orang-orang Anshor, bangsa Yahudi, dan penduduk asli lainnya. Pasal 3 s/
d 11 memuat jaminan keamanan dan perlindungan jiwa terhadap pembunuhan dan
kejahatan serta mengakui hak-hak asasi manusia. Pasal 12 s/d 14 memuat pernyataan
kesetiaan persatuan di kalangan Muslimin. Pasal 15 s/d 24 mengatur solideritas dan
kerjasama di antara seluruh warga negara. Pasal 25 s/d 35 memuat pengakuan hak-
hak warga negara untuk seluruh suku bangsa Yahudi, termasuk pengakuan hak
kebebasan mereka untuk memeluk dan menjalankan agamanya. Pasal 36 s/d 38
menetapkan tugas dan kewajiban masing-masing warga negara terhadap negaranya.
Pasal 39 s/d 44 menegaskan kota Madinah sebagai ibukota yang suci bagi mereka
yang mengikatkan diri dalam perjanjian, dan bahwa setiap warga negara wajib
membelanya. Pasal 45 dan 46 menyatakan politik perdamaian terhadap semua orang
dan negara. Pasal 47 memperkuat pernyataan pembentukan negara dan sanksi bagi
yang melanggarnya. Piagam Madinah ditutup dengan permohonan perlindungan
kepada Tuhan supaya negara baru tersebut menjadi tempat yang aman dan sentosa
bagi semua orang yang baik dan berbakti.
Menurut W.Montgomery Watt, Piagam Madinah pada hakikatnya
menunjukkan suatu perjanjian aliansi sesuai dengan prinsip-prinsip Arab tradisional.
Sesuai Piagam Madinah, jika terjadi pertentangan yang dapat mengakibatkan
perpecahan dalam komunitas, maka masyarakat harus kembali kepada Tuhan dan
Muhammad, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Dengan bersandar pada al-Qur’an dan
as-Sunnah, Islam juga dapat diinterpretasikan sebagai agama monoteistik, dimana
syariat merupakan bagian inti dari keyakinan Islam tersebut. Selain itu
D.B.MacDonald dalam ‚Development of Muslim Theology, Jurisprudence and
Kebijakan Fiskal
Dari berbagai sumber yang serba terbatas sebagaimana dijelaskan di atas
dapat diketahui bahwa kebijakan fiskal sudah dikenal sejak zaman Rasulullah.
Sebelum Nabi, orang Arab tidak kenal dengan apa yang disebut otoritas pusat, dan
belum tahu pula sistem pendapatan dan belanja negara. Sehubungan dengan ini,
adalah Nabi Muhammad yang pertama kali memperkenalkan otoritas pusat dan
sistem pendapatan dan belanja negara di wilayah Arabia. Begitu juga beliau yang
pertama mendirikan bayt al mal di Madinah.
Walau sudah ada berbagai kebijakan fiskal pada masa Nabi, tetapi pada masa
itu belum ada kategorisasi pendapatan negara. Begitupun, menurut pemikiran Abu
Ubayd dalam al-Amwal, untuk menjalankan tugasnya Nabi memperoleh sumber
pendapatan khusus yang disebut Pendapatan Nabi (Amwal Rasul, Prophetic Income).
Penerimaan Nabi bersumber dari fay’, safi, dan khumus al khums. Ketiga jenis
Pendapatan Nabi tersebut bersumber dari kekayaan yang secara khusus (eksklusif)
dimiliki oleh beliau dan tidak diwariskan. Sebagai buktinya, pada waktu beliau
wafat tidak ada dari harta Pendapatan Nabi ini yang diwariskan kepada keluarga
Nabi.
Penutup
Dari pembahasan di atas dapat dikatakan bahwa tidak banyak perdebatan di
antara umat tentang masalah-masalah politik, ekonomi, hukum, sosial dan budaya
pada era kenabian. Sebabnya, setiap terjadi perbedaan pendapat tentang sesuatu hal
mereka dapat menanyakan sekaligus menyerahkan masalah-masalah yang dihadapi
kepada Rasulullah, dan kemudian beliau memutuskan setiap persoalan yang dihadapi
dengan adil, dan umat menaati keputusan Nabi dengan baik. Namun sepeninggal
beliau, kaum Muslimin merasakan kekosongan kepemimpinan dan ‛melihat‛ di
hadapan mereka terbentang masalah-masalah dan tanggungjawab besar akibat dari
kekosongan yang ditinggalkan Nabi tersebut.
Salah satu persoalan nyata yang dihadapi umat adalah dalam masalah
kepemimpinan negara, yang tidak diatur dengan tegas dan rinci baik dalam al-Qur’an
maupun as-Sunnah. Sehubungan dengan masalah kepemimpinan ini DR. Dhiauddin
Rais (2001) merangkum beberapa pendapat orientalis yang mencoba mencari
jawaban mengapa Nabi tidak menjelaskan masalah kepemimpinan negara tersebut
secara tuntas. Misalnya, ada orientalis yang mengatakan, ‛Barangkali, sakit beliau di
akhir hayatnya telah menghalangi beliau untuk melakukan hal itu‛. Orientalis
lainnya, yiatu Thomas Arnold, menyatakan, ‛Sebabnya adalah karena Nabi tidak
mau melanggar adat istiadat Arab yang berlaku pada masa beliau‛.
Menurut Dhiauddin Rais lebih lanjut, pandangan-pandangan spekulatif
seperti disebutkan di atas tidak bisa diterima. Menurut beliau, faktor utama yang
melatarbelakangi hal itu adalah karena adanya hikmah syariat yang besar yang
dikehendaki dengan tidak dijelaskannya hal (masalah kepemimpinan) itu dengan
tuntas, yaitu agar tidak mengikat umat Islam dengan aturan-aturan baku yang kaku,
yang kemudian bisa tidak cocok dengan perkembangan yang terus terjadi, serta tidak
sesuai dengan situasi dan kondisi. Syariat Islam memang berkehendak agar undang-
undang Islam terus bersifat lentur, sehingga memberi kesempatan kepada akal
manusia untuk berpikir, dan umat Islam dapat menciptakan sendiri sistem politik
dan kemasyarakatannya, sesuai dengan kebutuhan mereka yang terus berubah-ubah.
Masa 30 tahun berikutnya sejak Nabi wafat tahun 632M hingga tewasnya
Ali tahun 661M dikenal sebagai era Khulafaur Rasyidin (The Right Guided
Successors). Era Khulafaur-Rasyidin merupakan cermin kejayaan Islam yang diraih
dengan berbagai perangkat dan tetap berada di bawah prinsip-prinsip konsultasi dan
akomodasi. Pada era Khulafaur-Rasyidin pengangkatan khalifah dilakukan atas dasar
prinsip-prinsip demokrasi, yang dilakukan oleh diwan syura melalui proses
musyawarah dan pilihan dengan bai’at, bukan sistem turun temurun. Tidak ada
khulafaur-Rasyidin yang mewariskan jabatan khalifah kepada putra-putra mereka.
Pada umumnya ulama sepakat bahwa pada era khulafaur-Rasyidin keimamahan
sangat sempurna, sebab idealisme Islam selaras dengan realita.
Nama/Gelar Tahun
1. Mu’awiyah I 11H/632M
2. Yazid 61H/681M
3. Mu’awiyah II 64H/683M
4. Marwan I 64H/683M
5. Abdul Malik 65H/685M
6. Walid I 86H/705M
7. Sulaiman 96H/715M
8. Umar bin Abdul Aziz 99H/717M
9. Yazid II 101H/720M
10. Hisyam 105H/724M
11. Walid II 125H/743M
12. Yazid III 126H/744M
13. Ibrahim 126H/744M
14. Marwan II 127H/745M
Nama/Gelar Tahun
1. As-Saffah, Abu’l Abbas (Abdullah) 132H/750M
2. Al-Manshur, Abu Ja’far 136H/754M
3. Al-Mahdi (Muhammad) 158H/775M
4. Al-Hadi (Musa) 168H/758M
5. Ar-Rasyid (Harun) 170H/786M
6. Al-Amin (Muhammad) 193H/809M
7. Al-Ma’mun (Abdullah) 198H/813M
8. Al-Mu’tashim bi’llah (Abu Ishak Muhammad) 218H/833M
9. Al-Wasik bi’llah (Abu Ja’far) 227H/842M
10. Al-Mutawakkil ‘ala-llah (Ja’far) 232H/847M
11. Al-Muntansir bi’llah (Muhammad) 247H/861M
12. Al-Mustain bi’llah (Ahmad) 248H/862M
13. Al-Mu’tazz bi’llah (Muhammad) 252H/866M
14. Al-Muhtadi bi’llah (Muhammad Abu Ishak) 255H/869M
15. Al-Mu’tamid al-Allah (Ahmad, Abu’l Abbas) 256H/870M
16. Al-Mu’tazid bi’llah (Ahmad,Abu’l Abbas) 279H/892M
17. Al-Muktafi bi’llah (Ali, Abu Muhammad) 289H/902M
18. Al-Muqtadir bi’llah (Ja’far, Abu’l Fazl) 295H/908M
19. Al-Kahir bi’llah (Muhammad, Abu Mansur) 320H/932M
20. Ar-Razi bi’llah (Muhammad, Abu’l Abbas) 322H/964M
21. Al-Muttaki bi’llah (Ibrahim, Abu’l Ishak) 329H/940M
22. Al-Mustakfi bi’llah (Abdullah, Abu’l Kasim) 333H/944M
23. Al-Mukti ‘Ullah (Fazl, Abu’l Kasim) 334H/946M
24. At-Tai’ bi’llah (Abdul Karim, Abu Bakr) 363H/974M
25. Al-Qadir bi’llah (Ahmad, Abu’l Abbas) 381H/991M
26. Al-Qaim bi amri’llah (Abdullah, Abu jaafar 422H/1031M
27. Al-Muktadi bi amri’llah (Abdullah, Abu’l Kasim) 467H/1075M
28. Al-Mustazir bi’llah (Ahmad, Abu’l Abbas) 487H/1094M
29. Al-Mustarsyid bi’llah (Fazl, Abu Mansur) 512H/1118M
30. Ar-Rasyid bi’llah (Mansur, Abu Ja’far) 529H/1135M
31. Al-Muktafi bi amri’llah (Muhammad, Abu Abdullah) 530H/1136M
32. Al-Mustanjid bi’llah (Yusuf, Abu’l Muzaffar) 555H/1160M
33. Al-Mustadzi bi amri’llah (Hasan, Abu Muhammad) 566H/1170M
34. An-Nasir lidinillah (Ahmad, Abu’l Abbas) 575H/1180M
35. Az-Zahir bi amri’llah (Muhammad, Abu Nasr) 622H/1225M
36. Al-Mustansir bi’llah (Mansur, Abu Ja’far) 623H/1226M
37. Al-Musta’sim bi’llah (Abdullah, Abu Ahmad) 640H/1242M
Sumber: Syed Ameer Ali (1978)
al-Mahdi (158-169H/775-785M)
Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, Abu’l Abbas mewasiatkan untuk
mewariskan kursi kekhalifahan kepada Abu Ja’far al-Manshur, dan jika al-Manshur
wafat maka jabatan khalifah harus diteruskan kepada kemenakannya Isa bin Musa.
Tetapi wasiat Abu’l Abbas ini tidak dipatuhi oleh Abu Ja’far al-Manshur. Waktu al-
Manshur berkuasa, ia berhasil ‛melobby‛ Isa bin Musa untuk mundur. Tidak begitu
jelas apakah al-Manshur berhasil membujuk Isa bin Musa karena alasan agama atau
alasan politis belaka, yang pasti hal tersebut telah memuluskan al-Manshur untuk
mewariskan tahta kepada putranya al-Mahdi (158-169H/775-785M).
Dibanding ayahnya yang keras dan sangat disiplin, al-Mahdi dikenal lebih
lembut, dan lebih dermawan pada rakyat. Segera setelah diangkat menjadi khalifah,
ia melepaskan para tahanan yang di‛cekal‛ oleh pimpinan-pimpinan terdahulu,
termasuk yang dicekal oleh ayahnya. Begitu juga daerah-daerah yang terkekang
selama pemerintahan ayahnya juga dibebaskan. Sebagai pimpinan yang lebih
al-Amin (193-198H/809-813M)
Harun memiliki duabelas orang putera. Dari keduabelas putera Harun
tersebut, hanya al-Amin yang berdarah murni Arab, yang merupakan hasil
perkawinan antara Harun dengan sepupunya Zubaidah. Sedangkan yang selebihnya,
termasuk al-Ma’mun dan al-Mu’tashim, adalah hasil perkawinan Harun dengan isteri
-isterinya orang Mawali (budak). Walau al-Amin lebih muda, namun dalam
wasiatnya Harun menetapkan al-Amin dalam urutan putra mahkota yang pertama,
baru kemudian al-Ma’mun dan al-Qasim.
Sesuai wasiat tersebut, waktu Harun al-Rasyid wafat tahun 193H/809M,
maka jabatannya sebagai khalifah digantikan oleh putra mahkota al-Amin (193-
198H/809-813M), sedangkan al-Ma’mun tetap sebagai gubernur di wilayah-wilayah
Timur di Khurasan, dan al-Mu’tashim sebagai gubernur di Awasim. Untuk
menegaskan kedaulatannya sebagai penguasa baru, termasuk di wilayah Khurasan, al
-Amin melakukan serangkaian tindakan yang kurang bersahabat terhadap al-
Ma’mun. Bahkan ia juga membebaskan ’Ali bin Isa yang dulu dihukum oleh ayahnya
karena korup dan menetapkan kebijakan perpajakan yang tidak adil di Khurasan,
serta mempromosikannya menjadi seorang pejabat di kalangan istana.
Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa al-Amin adalah putra Harun al-Rasyid
dengan isterinya Zubaidah yang keturunan Arab, sedang al-Ma’mun adalah putra
Harun dengan isteri lainnya dari keturunan Persia. Berbagai tindakan al-Amin yang
cenderung pro pada orang-orang Arab dan sangat kentara memojokkan orang-orang
Persia, khususnya Khurasan, akhirnya menimbulkan permusuhan dengan al-Ma’mun.
Dalam permusuhan bersaudara ini kalangan Arab mendukung al-Amin, sementara
warga Persia, khususnya orang-orang Khurasan, mendukung al-Ma’mun. Akhirnya
terjadilah perang saudara.
al-Ma’mun (198-218H/813-833M).
Al-Ma’mun bukanlah tipe penguasa yang haus kekuasaan. Walau ia sudah
menjabat sebagai khalifah, namun ia lebih banyak menghabiskan waktunya belajar
filsafat di Merv, sedangkan urusan kenegaraan diserahkan pada wakilnya Fadl ibn
Sahal. Dilihat dari intelektualitasnya dan pribadinya yang tidak haus kekuasaan ini,
al-Ma’mun sedikit mirip dan memang sangat memuja tokoh idolanya, yaitu Ali bin
Abi Thalib. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan yang dilakukannya, yaitu
memerintahkan rakyatnya untuk memuliakan Ali r.a. sebagai manusia paling mulia
di bumi ini sesudah Nabi Muhammad SAW. Beliau juga melarang rakyatnya
memakai baju hitam, yang selama ini dijadikan sebagai lambang perjuangan
Abbasiyah, dan menggantinya dengan baju hijau, lambang perjuangan Ali.
Puncak dari kecintaannya pada Ali, juga dalam upayanya mengembalikan
prinsip pemerintahan ke demokrasi Islam yang mewajibkan jabatan khalifah harus
dengan pemilihan rakyat, pada tahun 202H/817M al-Ma’mun mengeluarkan sebuah
keputusan yang sangat mengejutkan, yaitu mencalonkan Imam Ali al-Ridha ibn
Musa al-Kadzim, keturunan Ali, Imam kedelapan Syiah Duabelas, pimpinan Syiah
yang berpengaruh waktu itu, sekaligus juga iparnya karena al-Ridha kawin dengan
saudara perempuannya Umm ul-Fazl, untuk dipilih sebagai khalifah jika ia kelak
meninggal dunia. Dalam hal ini beliau ingin mengikuti jejak Abu Bakar dan Umar
bin Khattab, yang mengemukakan calon khalifah atau menyerahkan urusan
pemilihan pemimpin kepada majlis syura’. Hal ini sesuai dengan pandangan kaum
mu’tazilah yang sedang populer waktu itu, bahwa jabatan khalifah harus diserahkan
kepada orang yang paling pantas.
Berbagai kebijakan yang ditempuh oleh al-Ma’mun di atas dilakukan beliau
sambil tetap ‛bersemedi‛ bejalar filsafat di Merv. Hal ini kontan membuat rakyat
pendukung Abbasiyah berang, terutama mayoritas keluarganya yang berdarah
monarki. Lagipula, sesuai wasiat Harun al-Rasyid, tahta harus diurut bergantian di
antara ketiga anaknya: al-Amin, al-Ma’mun dan al-Qasim. Atas hasutan keluarganya
yang berdarah monarki, rakyat melakukan protes dimana-mana. Ada pula yang
melakukan pemberontakan. Pada puncaknya, rakyat yang menolak pencalonan Imam
Ali al-Ridza memutuskan untuk menurunkan al-Ma’mun dari tahta, dan mengangkat
Ibrahim ibn al-Hadi sebagai penggantinya.
al-Mu’tashim (218-227H/833-842M)
Waktu al-Ma’mun sakit, adiknya al-Mu’tashim mengumumkan dirinya
sebagai khalifah. Hal ini sebetulnya sudah sesuai dengan wasiat Harun al-Rasyid,
yang menyebutkan agar tahta diserahkan secara berurutan dari al-Amin ke al-
Ma’mun dan al-Mu’tashim. Tetapi langkah al-Mu’tashim ini tidak disetujui oleh
Abbas, putra al-Ma’mun. Untuk memperkuat dirinya sekaligus untuk mengimbangi
persaingan antara Arab dan Persia, al-Mu’tashim mendatangkan budak-budak dari
Turki dan kemudian diangkatnya sebagai tentara reguler pasukan kerajaan. Berkat
bantuan para budak Turki tersebut perlawanan dari kubu Abbas berhasil dipatahkan.
Setelah berhasil mematahkan gerakan perlawanan dari Abbas, al-Mu’tashim
membalas jasa para Turki budak tersebut dengan memberi peluang kepada mereka
untuk berperan dalam pemerintahan. Inilah awal keterlibatan orang-orang Turki
budak dalam pemerintahan Dinasti Abbasiyah.
Karena suasana di kota Baghdad kurang nyaman, tahun 836M al-Mu’tashim
memindahkan ibukota ke Samarra’, sekitar 60 mil dari Baghdad. Bagitupun situasi
pemerintahan tidak pernah stabil. Orang-orang Turki budak yang diberi peluang
dalam pemerintahan makin lama makin berkuasa, dan akhirnya al-Mu’tashim
sendiri hanya sebagai boneka dari pengawal budak Turki tersebut. Khalifah diberi
al-Wathiq (227-232H/842-847M)
Waktu al-Mu’tashim wafat tahun 227H/842M, jabatan khalifah dipegang
oleh anaknya, al-Wathiq (227-232H/842-847M). Dibanding ayahnya al-Mu’tashim,
al-Wathiq lebih cakap dalam memerintah. Ia juga lebih mahir di bidang seni, dan
memiliki perhatian yang lebih tinggi terhadap kelompok masyarakat miskin. Beliau
aktif memajukan perpustakaan. Begitu juga perdagangan dan perindustrian
berkembang cukup baik. Semua ini berkat kerja keras Abdul Malik Zayyat sebagai
wazir, seorang yang sangat cakap dan tegas dalam pendirian.
Tentang Abdul Malik Zayyat, ia sudah menduduki jabatan sebagai wazir
sewaktu ayahnya al-Mu’tashim berkuasa. Pernah Mu’tashim memerintahkan kepada
Abdul Malik Zayyat untuk memberikan sejumlah uang kepada puteranya, al-Wathiq.
Akan tetapi Zayyat menasehati al-Mu’tashim untuk tidak melakukan hal tersebut.
Wathiq yang mengetahui hal ini sangat dendam kepada Zayyat, dan dalam hati
berjanji akan membunuh Zayyat jika ia berkuaa kelak. Tetapi waktu al-Wathiq
menduduki kursi kekhalifahan menggantikan ayahnya, ia tidak jadi melaksanakan
niatnya karena tidak berhasil menemukan seorangpun yang memiliki kecakapan
untuk menggantikan Zayyat sebagai wazir. Akhirnya, selain tetap mempertahankan
Zayyat sebagai wasir, ia bahkan diberi tanggungjawab yang lebih besar sebagai
wazarah tafurdh atau Perdana Menteri, yang berarti memegang seluruh
tanggungjawab kekuasaan negara.
Al-Wathiq tidak lama memerintah dan meninggal dalam usia muda. Salah
satu persoalan yang muncul waktu al-Wathiq meninggal ialah bahwa beliau belum
sempat menunjuk penggantinya. Hal ini menimbulkan gonjang-ganjing tentang siapa
yang harus menjadi khalifah. Waktu itu ada yang menyarankan agar anaknya yang
masih berusia sangat muda, Muhammad, ditetapkan sebagai penerus. Tetapi para
perwira Turki budak menyarankan lebih baik memilih Ja’far al-Mutawakkil, saudara
al-Wathiq, sebagai penerus tahta. Akhirnya, desakan para perwira Turki budak ini
yang diterima.
al-Mutawakkil (232-247H/847-861M)
Seperti sudah disinggung sebelumnya, orang-orang Turki budak sudah mulai
masuk ke dalam ketentaraan dan pemerintahan Bani Abbasiyah sejak era al-
Mu’tashim. Walau para Turki budak ini diberi peran cukup berarti di militer dan
pemerintahan, namun oleh al-Mu’tashim dan begitu juga oleh al-Wathiq, orang-
orang Turki budak ini masih bisa dikendalikan. Tetapi di bawah al-Mutawakkil yang
lemah, justru orang-orang Turki budak yang lebih mengendalikan. Faktanya, Ja’far al
Nizam al-Mulk
Walaupun Nizam al Mulk al-Tusi (1018-1092) hanya sebagai wazir, yang
dijabatnya sejak periode Elp Arselan dan dilanjutkan pada periode Malik Syah
(w.485H/1092M), tetapi ia merupakan tokoh yang sangat mengagumkan. Pada era
Malik Syah yang dibantu Nizam al-Mulk ini pasukan Saljuq berhasil merebut Baitul
Maqdis tahun 471H dari kekuasaan Fathimiyah yang berkedudukan di Mesir. Pada
hakekatnya, al-Mulk bertanggung jawab atas segala kebijakan pemerintah pada era
Malik Syah, yang dijalankan sesuai prinsip-prinsip yang dituangkan al-Mulk dalam
buku ‛Siyasat Namah‛ (Prinsip-prinsip Pemerintahan). Buku tersebut ditulis oleh al-
Mulk atas permintaan sultan Malik Syah sendiri. Dalam buku tersebut al-Mulk
menyebutkan bahwa tugas dan tanggungjawab penguasa adalah: ‛menjamin keadilan
dan menjalankan segala sesuatu yang penting untuk meraih kemakmuran masyarakat
luas‛. Buku Siyasat Namah karya al-Mulk tersebut sudah diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggeris oleh Hubert Darke dengan judul ‛The Book of Government or Rules
for Kings‛ (London, 1961).
Penguasa Turki Saljuq seperti Tughril Bek, Elp Arselan dan Malik Syah
memberi perhatian istimewa terhadap pengembangan ilmu pengetahuan. Terutama
pada era Sultan Malik Syah, dengan dibantu oleh wazirnya Nizam al-Mulk banyak
kemajuan yang dicapai dalam dunia pendidikan. Kebanyakan pengamat setuju bahwa
adalah karena jasa al-Mulk Bani Abbasiyah yang didominasi Bani Saljuq mencapai
puncak kejayaan. Pada masa al-Mulk banyak didirikan sekolah-sekolah. Selain itu
Nizam al-Mulk juga mendirikan Madrasah Nizamiyyah di Baghdad, dimana biaya
hidup dan pendidikan pelajar di madrasah ini ditanggung oleh sultan Saljuq. Menurut
Phillip K.Hitti, model Madrasah Nizamiyah inilah yang menjadi model perguruan
tinggi di Eropa kemudian hari. Selain itu ia juga mendirikan madrasah lain di
Nayshapur. Nizam al-Mulk mengangkat al-Juwayni, guru al-Ghazali, dan kemudian
juga al-Ghazali, mengajar di madrasah madrasah yang didirikannya, baik di
Nizamiyah Baghdad maupun di Nayshapur.
Melalui berbagai gebrakannya yang sangat pro terhadap pengembangan ilmu
tersebut Nizam al-Mulk berjasa mencetak ahli-ahli astronomi, seniman penyair, para
sarjana dan ahli-ahli sejarah. Pada masa al-Mulk para pakar sering berkumpul dan
berdiskusi di istana Malik Syah. Di antara pakar-pakar berbagai bidang ilmu yang
sering berdiskusi di istana Malik Syah tersebut selain al-Juwayni dan al-Ghazali
E. Perlunya Ijtihad
Umat Islam diperintahkan untuk mengikuti syariat, dan tidak ada dalil yang
memerintahkan untuk mengikuti perkataan dan perbuatan seorang ulama atau imam
tertentu, betapapun tinggi ilmu dan agama dan kedudukannya kecuali setelah
dihadapkan pada al-Qur’an dan as-Sunnah. Dengan kata lain, bagaimanapun
tingginya ilmu dan agama seseorang, ia tidak ma’shum. Karena itu tidak mungkin
kedudukan perkataannya menjadi seperti perkataan Rasulullah dalam fungsinya
sebagai hujjah. Sebagai implikasinya, tidak ada keharusan bagi umat untuk
mengikutinya. Kita tidak boleh menerima semua yang disampaikan oleh para ulama
terdahulu secara absolut, meskipun mereka adalah orang-orang berilmu pengetahuan
sangat mendalam, mempunyai keutamaan yang mulia dan kesalehan dan ketakwaan
yang tinggi, tetapi juga tidak baik untuk menolak semua yang diucapkan seorang
ulama secara mutlak. Semua orang selain Nabi adalah manusia yang berijtihad sesuai
dengan kapabilitas keilmuan dan spesialis keilmuan mereka. Hasil pemikiran
manusia bisa benar dan bisa salah, bisa lurus dan bisa pula menyimpang. Karena itu,
semua pendapat manusia selain Nabi, terbuka untuk dikritik dan diperdebatkan,
termasuk pendapat para Imam sekalipun. Diambil atau tidaknya pernyataan seorang
ulama terdahulu tergantung pada kesesuaiannya dengan timbangan ilmiahnya dan
kesesuaiannya dengan nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah yang muhtamad/valid/
tegas. Apa yang sesuai dengan al-Qur’an dan al-Hadis, maka itu adalah benar
adanya, sedang apa yang menyalahinya, adalah bathil (Qardhawi, 2003).
Al-Qur’an sebagai instrumen ilmiah memberikan panduan nilai-nilai moral
dan etik yang benar bagi kehidupan manusia: ‛Dan Kami turunkan kepadamu al-
Kitab untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar
gembira bagi orang-orang yang berserah diri (QS. 16: 89). Tetapi sehubungan dengan
ayat tersebut di atas bukan berarti bahwa al-Qur’an berisikan segala sesuatu yang
berhubungan dengan pengetahuan umum, melainkan terbatas pada segala aspek
panduan moral saja. Al-Qur’an memberikan panduan nilai, moral dan etika dalam
bentuk umum dan global bagi seluruh aspek kehidupan, tetapi al-Qur’an tidak
berbicara tentang segala sesuatunya secara detil. Untuk hal-hal yang berhubungan
dengan kehidupan duniawi, harus berpedoman pada Hadis dan hasil ijtihad manusia
sendiri. Khusus tentang hal-hal yang harus dipecahkan melalui ijtihad, ada
kesepakatan ulama bahwa jika ijtihadnya benar nilainya dua, dan jika salah nilainya
satu. Apa artinya semua ini? Manusia bisa saja salah dalam mengambil keputusan.
Tetapi kalaupun setelah ia berusaha mengerahkan semua tenaga dan enerji masih
juga hasilnya salah, ia bukannya berdosa, melainkan tetap dapat pahala, walau
nilainya satu. Yang jelas, orang yang salah dalam ijtihad paling tidak pantas disebut