Anda di halaman 1dari 205

ERA KENABIAN

Era kenabian adalah era pertama dalam sejarah Islam yang dimulai sejak
Rasulullah SAW memulai dakwah mengajak manusia untuk menyembah Allah SWT
hingga meninggalnya beliau. Era kenabian dapat dibagi atas dua periode yang
dipisahkan oleh hijrah: pertama periode sebelum hijrah dan kedua periode sesudah
hijrah. Pada periode pertama embrio Islam baru tumbuh dan ajaran Islam masih
terbatas tentang kaidah-kaidah pokok secara umum. Pada periode kedua sesudah
hijrah bangunan masyarakat Islam sudah berhasil dibentuk, kaidah-kaidah Islam
sudah dijabarkan lebih detil, dan Islam sudah tampil dalam bentuk yang lebih
integral dan aktif. Era sesudah hijrah sering disebut-sebut sebagai starting point
terjadinya perubahan yang fundamental dalam sifat kenabian, karakteristik Islam dan
prinsip-prinsip yang diajarkan Nabi dan cara menyebarkan dakwah Islam. Era
kenabian mencerminkan era persatuan, usaha dan pendirian bangunan umat yang
ideal untuk ditiru oleh generasi-generasi kemudian.

A. Kondisi Jazirah Arab sebelum Datangnya Islam.


Nabi besar Muhammad SAW lahir pada hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awal
571 M, dari keturunan bani Hasyim. Ayahnya Abdullah bin Abdul Muthalib sudah
meninggal waktu Muhammad masih dalam kandungan. Dengan demikian pada
waktu lahirnya beliau sudah yatim. Ibunya Aminah terpaksa membesarkan
Muhammad sendiri, dibantu oleh kakeknya Muthalib. Sesuai tradisi masyarakat
Quraisy waktu, seorang ibu tidak langsung menyusukan anaknya sendiri, melainkan
diupahkan pada orang lain, biasanya dari kelas masyarakat yang lebih rendah. Begitu
juga Muhammad dirawat oleh ibu susunya Halimah hingga berusia 4 tahun.
Selanjutnya Muhammad dibesarkan sendiri oleh ibunya, tetapi hanya dua tahun,
sebab pada usia 6 tahun ibunya meninggal, menjadikan Muhammad sebagai yatim

Sejarah Peradaban Islam .......1


piatu. Sepeninggal ibunya, tanggung jawab membesarkan Muhammad diambil alih
oleh kakeknya Muthalib. Tetapi hal ini juga hanya berlangsung dua tahun, sebab
pada usia 8 tahun kakeknya meninggal. Selanjutnya Muhammad dibesarkan oleh
pamannya, Abu Thalib. Walaupun Abu Thalib cukup dihormati dalam masyarakat,
tetapi miskin. Untuk membantu pamannya, Muhammad jadi penggembala kambing,
dan kadang-kadang ikut pamannya berdagang. Kesimpulan apa yang bisa ditarik dari
latar belakang kehidupan Nabi tersebut? Dengan latar belakang kehidupan yang
begitu muram, Tuhan seolah-olah ingin berkata kepada kita semua bahwa
sebenarnya Dia-lah yang mendidik Muhammad sehingga menjadi Nabi dan
Pemimpin umat Islam. Hal ini ditegaskan Allah dalam al-Qur’an, ‛Bukankah Allah
mendapatimu sebagai anak yatim piatu, lalu Dia melindungimu. Dan Allah
mendapatimu sebagai orang yang bingung, lalu Dia memberimu petunjuk‛ (Q 395: 6
-7).
Nabi Muhammad tidak lahir di tengah-tengah bangsa Mesir, yang sudah
terkenal sebagai nenek moyang peradaban sejak abad ke-40 SM. Beliau juga bukan
lahir dari bangsa Israel, daerah asal para Nabi besar sebelumnya mulai dari Musa,
Daud, Sulaiman dan Isa; bukan pula lahir di Yunani, yang telah melahirkan filsuf-
filsuf dunia seperti Plato, Aristoteles dan Socrates; atau juga tidak lahir di India atau
Cina, yang terkenal memiliki peradaban yang tinggi sebelum kedatangan Islam.
Melainkan, beliau dilahirkan di tengah-tengah suku Quraisy yang jahiliah di Arabia.
Arabia adalah wilayah padang pasir yang tandus. Walau jazirah Arabia
dikelilingi laut di ketiga sisinya, namun wilayah ini nyaris tidak memiliki sungai,
kecuali sungai-sungai kecil. Dengan kondisi alam seperti ini kegiatan ekonomi
terbatas pada usaha pertanian, peternakan dan perdagangan. Tetapi ada satu
‛keistimewaan‛ dari jazirah Arab yang serba tandus ini, yaitu bahwa masyarakatnya
tidak pernah dijajah oleh bangsa asing manapun sepanjang sejarah. Jangankan
tertarik untuk menjajah, terpikir dan terniatpun tidak. Keadaan tidak pernah terjajah
inilah yang menjadikan orang-orang Arab memiliki jiwa merdeka dan tidak minder
dalam menghadapi bangsa-bangsa lain.
Secara umum dapat dikatakan bahwa sebelum datangnya Islam, kondisi
jazirah Arabia sangat terkebelakang. Sebahagian besar penduduknya tidak mengenal
pendidikan. Karena keterbelakangan dan kebodohan mereka waktu itu, penduduk
Arab dikenal dengan sebutan masyarakat jahiliyah. Mereka hidup secara nomaden
dari suatu tempat ke tempat lain. Merampok, berjudi dan minum khamar adalah
pekerjaan sehari-hari mereka. Masyarakat jahiliah yang terdiri dari kelompok-
kelompok politik dan kesukuan dengan kepercayaan yang berbeda-beda. Tiap pihak
dan kelompok selalu bertengkar, dan sistem yang berlaku adalah hukum rimba.
Pokoknya, tidak ada sesuatu yang membanggakan dari masyarakat jahiliyah dilihat
dari segi ekonomi, politik, budaya, apalagi moral. Tetapi uniknya, di tengah
kelompok masyarakat seperti inilah Nabi Muhammad lahir dan tumbuh jadi
pedagang yang sukses, kemudian menjadi Nabi, pemimpin dan negarawan Islam.

Sejarah Peradaban Islam .......2


Ungkapan sebelumnya bahwa tidak ada yang membanggakan dari
masyarakat Arab sebelum kedatangan Islam sebetulnya kurang tepat, sebab ada
suatu hal yang istimewa yang mereka miliki, yaitu bahasa Arab. Bahasa mereka
sangat kaya dibanding bahasa bangsa-bangsa lain di dunia, terutama dialek Bani
Sa’id. Nabi Muhammad sungguh beruntung diasuh selama lima tahun oleh ibu
susunya Halimah, yang keturunan Bani Sa’id. Dengan diasuh oleh Halimah,
Muhammad sudah ‛digembleng‛ menggunakan bahasa dialek Bani Sa’id yang
disebut-sebut sebagai ‛bahasa terkaya, bahasa paling murni dan bahasa paling indah‛
di semenanjung Arabia dan bahkan terbaik di dunia. Menurut Phillip K. Hitti dalam
History of Arab, ‛keberhasilan penyebaran Islam di antaranya didukung oleh
keluwesan bahasa Arab dialek Bani Sa’id ini‛.

B. Muhammad sebagai Pedagang


Walau wilayahnya tandus, tetapi letak jazirah Arabia sangat strategis,
berada pada posisi pertemuan tiga benua: Asia, Afrika dan Eropa. Hal ini
dimanfaatkan penduduk untuk berdagang. Pasar Ukaz di Makkah menjadi pusat
perdagangan seluruh Arab, menjadi stasiun perhubungan antara Dunia Timur dengan
Dunia Barat, antara Yaman di selatan dan Syam di utara, hingga Persi dan Ethiopia
di Afrika. Makkah menjadi pusat perhubungan antara empat daerah penting:
Romawi di barat dan utara; Persi di timur; Yaman dan Ethiopia di selatan. Dengan
demikian, walau daerah ini kurus kering, tetapi Makkah sudah menjadi pasar
persinggahan produk dari berbagai penjuru dunia ketika itu.
Nabi Muhammad lahir dan besar di tengah-tengah komunitas pedagang
Arab. Paman beliau, Abbas Ibn ’Abd al-Muthalib (w.32/652), adalah juga seorang
pedagang. Nabi sering mengikuti kegiatan pamannya berdagang, kadang-kadang
hingga ke negeri yang jauh seperti Syam (di Syria sekarang). Mengikuti khafilah
dagang hingga Syam ini sudah dilakoni Nabi waktu beliau masih berusia 12 tahun.
Dalam berdagang beliau dikenal sangat jujur, tidak pernah menipu baik pembeli
maupun majikannya.
Kejujuran Muhammad dalam berdagang menarik perhatian seorang
pedagang kaya raya yang juga janda bernama Siti Khadijah. Ia meminta kesediaan
Muhammad untuk memutarkan modal yang dimilikinya. Kepercayaan yang
diberikan Khadijah tidak disia-siakan oleh Muhammad, terbukti beliau berhasil
melipat-gandakan kekayaan Khadijah. Selanjutnya hubungan keduanya tidak
berhenti di situ saja, tetapi diteruskan dengan hubungan perkawinan. Nabi pada usia
25 tahun menikah dengan Khadijah yang waktu itu berusia 40 tahun.
Selain dikenal sebagai pedagang yang jujur dan tidak pernah mengurangi
takaran dan timbangan, Nabi juga tidak pernah memberikan janji-janji yang
berlebihan, apalagi bersumpah palsu. Semua transaksi dilakukan atas dasar sukarela,
diiringi dengan ijab dan kabul. Karena kejujurannya tersebut serta integritasnya yang

Sejarah Peradaban Islam .......3


tinggi, beliau diberi gelar al-Amin, yaitu orang yang terpercaya, atau orang yang bisa
dipercaya.
Suatu hal yang istimewa dari cara Nabi berbisnis ialah bahwa yang dicari
tidak laba semata, melainkan terjalinnya hubungan silaturrahmi dan keredhaan dari
Allah SWT. Bagi mereka yang tidak sanggup membayar dengan kontan, padahal
kondisinya sangat membutuhkan, Nabi memberi tempo untuk melunasi. Tidak jarang
terjadi, bagi yang betul-betul tidak sanggup membayar, dibebaskan dari utang.
Tetapi kejujuran dalam berdagang dan bantuannya pada mereka yang lemah
dan beriutang bukannya membuat beliau rugi. Dalam kenyataan, semua pihak senang
melakukan transaksi bisnis dengan beliau. Karena itu, walaupun tanpa menggunakan
cara-cara licik dan melakukan penipuan, keuntungan yang beliau raih jadi lebih
besar. Sejarah membuktikan bahwa beliau adalah pedagang paling sukses dalam
masyarakat Quraisy waktu itu. Bagi kita yang hidup pada masa sekarang, yang bisa
dipetik dari pengalaman Rasulullah ialah bahwa pedagang yang jujur itu beruntung,
bukan buntung.
Sebagai pedagang yang sukses, beliau pernah berkata bahwa sembilan dari
sepuluh sumber rezeki berasal dari perdagangan. Apa yang disampaikan beliau
tersebut bukanlah kata-kata kosong belaka. Kenyataannya, sepanjang sejarah
manusia dapat dibuktikan bahwa tidak ada bangsa yang bisa menapak maju tanpa
didukung oleh pedagang-pedagang yang tangguh, jujur dan selalu bekerja keras. Jika
perdagangan maju, ia akan menciptakan permintaan terhadap barang-barang dan
jasa, baik pertanian maupun industri atau jasa. Karena kegiatan perdaganan ini
sangat besar jasanya dalam menciptakan kesejahteraan dalam masyarakat, konon
Nabi pernah berucap bahwa perdagangan bisa mendatangkan keuntungan lebih besar
dari kegiatan perang!

C. Muhammad sebagai Penyebar Agama Islam


Selain dikenal sebagai pedagang yang sukses, Nabi juga aktif
menyebarluaskan syiar agama Islam. Sehubungan dengan hal ini perlu dijelaskan
bahwa upaya beliau dalam menyebarluaskan syiar agama Islam ini tidak selalu
berjalan lancar. Walaupun Nabi mengajak masyarakat kepada kebaikan, namun
dalam pelaksanaannya banyak pihak yang menentang dan memusuhi Nabi. Yang
pasti, di tempat kelahirannya sendiri di Makkah, beliau selalu ditentang, dicaci dan
dimusuhi oleh kaum Quraisy, yang pada umumnya waktu itu masih menganut
paganisme. Mereka khawatir jika Muhammad dibiarkan menyiarkan agama Islam
maka Ka’bah yang waktu itu menjadi rumah pantheon (patung-patung dewa) akan
kehilangan kewibawaannya, dan sebagai dampaknya perdagangan Makkah akan sepi.
Merasa kehidupan mereka terancam, orang-orang Quraisy menolak ajaran Islam yang
disampaikan Muhammad.
Nabi Muhammad berdakwah di Makkah lebih kurang 12 tahun. Selama itu
sungguh banyak penderitaan yang beliau alami. Nabi dan para pengikutnya ditolak,

Sejarah Peradaban Islam .......4


dihina dan diusir. Karena kerasnya penolakan dan kejamnya perlakuan penduduk
Makkah terhadap beliau, maka pada tahun kelima kerasulannya, Nabi menyuruh
pengikutnya mengungsi ke Habsyah (sekarang Ethiopia), yang waktu itu dipimpin
oleh raja Negus yang adil. Rombongan pertama ini berjumlah 14 orang, terdiri dari
10 laki-laki dan 4 wanita. Termasuk dalam rombongan pengungsi pertama ini adalah
adalah Usman bin Affan dan isterinya Rukayah (puteri Nabi), Zubayr bin Awwan
dan Abdurrahman bin ’Auf. Kemudaian menyusul rombongan kedua dalam jumlah
lebih banyak, hampir seratus orang, yang dipimpin oleh Ja’far bin Abi Thalib.
Banyak peristiwa yang terjadi pada tahun kesepuluh kerasulan, tepatnya
waktu beliau berusia 50 tahun. Pertama, Nabi ditimpa kemalangan berturut-turut.
Mula-mula pamannya yang selama ini membesarkan dan melindungi beliau, Abu
Thalib, meninggal dunia. Tidak berapa lama kemudian isteri yang sangat beliau
cintai dan hormati, dan selama seperempat abad telah mendampingi dan
mengorbankan hartanya dalam penyebaran agama islam, Khadijah, juga meninggal
dalam usia 65 tahun. Karena kedua peristiwa tersebut sangat membuat beliau sedih,
maka tahun kesepuluh kerasulan ini juga dikenang sebagai tahun kesedihan bagi
Nabi.
Tetapi selain dikenang sebagai tahun kesedihan, pada tahun kesepuluh
kerasulan juga terjadi mu’jizad, dimana beliau melakukan isra’ dan mi’raj ke
Sidhratal Muntaha. Peristiwa ini sangat menggemparkan penduduk Makkah.
Sebahagian penduduk Makkah tidak mempercayai omongan Muhammad, dan
bahkan tidak sedikit yang mengejek bahwa Nabi telah kehilangan akal. Tetapi
sebahagian lagi yang sudah kenal dengan kepribadian Muhammad yang tidak pernah
berbohong, sehingga disebut al-Amin, mempercayai dan masuk Islam. Di antara
kelompok baru yang masuk Islam tersebut ada yang berasal dari luar kota Makkah,
yaitu penduduk Yasthrib dari suku ‛Auz dan Khazraj.
Untuk membangun kekompakan di antara sesama umat Islam yang sekarang
dianut oleh penduduk dari berbagai kelompok dan suku, diadakan Perjanjian Aqabah
I, kira-kira 15 bulan sebelum terjadinya hijrah. Baiat ini juga dihadiri oleh 12 laki-
laki dari penduduk Madinah. Mereka berjanji tentang keharusan bertauhid dan
memegang kaidah-kaidah akhlak sosial umum yang menjadi dasar bagi undang-
undang masyarakat ideal. Kira-kira setahun kemudian perjanjian tersebut diperbarui
dengan perjanjian Aqabah II. Kali ini dihadiri oleh 73 laki-laki dan 2 orang
perempuan. Dalam perjanjian itu dinyatakan sebuah point untuk saling membantu
baik dalam peperangan dan perdamaian, melawan musuh agama dan negara, serta
untuk taat dalam kebaikan dan membela kebenaran. Baiat Aqabah I dan Aqabah II
merupakan suatu titik transformasi dalam Islam, yang mirip dengan kontrak-kontrak
sosial yang dideskripsikan secara teoritis oleh sebahagian filosof politik pada era
modern semisal Russeau, dan dianggap sebagai fondasi bagi berdirinya negara-
negara dan pemerintahan. Bedanya, kontrak sosial yang dibicarakan Russeau dan

Sejarah Peradaban Islam .......5


sejenisnya hanya merupakan ilusi dan imajinasi semata, sementara kontrak sosial
yang dibangun Nabi Muhammad berlangsung secara riil di alam nyata (Rais, 2001).
Dengan semakin banyaknya penduduk dari suku-suku lain yang masuk
Islam, membuat kaum kafir Quraisy semakin tidak senang. Penduduk Makkah yang
tidak suka pada Nabi ini semakin gencar menghina dan memperlakukan Nabi dan
para pengikutnya dengan kejam. Pada situasi sulit ini datang tawaran dan simpati
dari penduduk Yasthrib, dimana beberapa utusan mengundang Nabi Muhammad
untuk pindah ke Yasthrib.

Hijrah ke Madinah
Karena ketidaksenangan penduduk Makkah terhadap Nabi makin lama
makin memuncak, tawaran dari penduduk Yasthrib di atas diterima oleh Nabi. Pada
tanggal 2 Juli 622 M beliau memutuskan untuk hijrah dari Makkah ke kota Yasthrib.
Pada peristiwa hijrah tersebut yang menyambut Nabi dan rombongan tidak hanya
kaum Anshor yang sudah memeluk Islam, tetapi juga kelompok-kelompok non-
Islam, bahkan orang-orang Yahudi, yang dari Kitab mereka sudah diinformasikan
tentang akan datangnya Nabi terakhir, yaitu Muhammad.
Oleh mayoritas penduduk Yasthrib Islam diterima sebagai agama baru
mereka. Karena simpatisan penduduk Yastrhrib yang sangat besar terhadap Nabi,
dan Nabi sangat mencintai kota ini, maka Yasthrib juga sering disebut Kota Nabi,
atau Madinatun Nabi, Maddinatul Munawwarah (Kota yang Bercahaya) atau lebih
sering disingka Madinah saja. Karena peristiwa hijrah ini menandai babak baru
dalam sejarah Islam, maka tahun perpindahan dari Makkah ke Madinah ini dijadikan
penanggalan baru tahun Islam, yaitu tahun hijriah.
Untuk mempersatukan umat Islam secara agama, sosial dan politik, yang
pertama dibangunan Nabi adalah mendirikan sebuah mesjid, yaitu Mesjid Nabawi.
Selain untuk tempat beribadah, Mesjid Nabawi juga dijadikan sebagai tempat
bermusyawarah dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial politik yang dihadapi
serta menentukan langkah-langkah kebijakan yang perlu diambil. Selanjutnya untuk
urusan kenegaraan Nabi menetapkan Yasthrib sebagai ibukota.
Setelah pindah ke Yasthrib atau Madinah, terjadi perkembangan yang luar
biasa, baik dalam bidang agama maupun politik. Di Madinah Nabi tidak hanya
sekedar pimpinan agama, tetapi juga kepala negara. Dalam bidang pemerintahan
Nabi mengadakan rekonsiliasi kelompok-kelompok Muslim Yasthrib (Anshor)
dengan orang-orang Makkah yang baru masuk Islam (Muhajirin). Islam telah
menjadi ikatan efektif antara penduduk setempat (Anshor) dengan kaum pendatang
(Muhajirin). Untuk lebih memperkokoh eksistensi umat Islam, di Madinah Nabi
lebih jauh mendirikan Negara Kota Islam pertama tanggal 12 Rabiul Awal tahun 1
H, bertepatan dengan 28 Juni 622M. Di kota ini beliau mendirikan struktur politik
Islam yang pertama, yang prinsip-prinsip dasarnya diletakkan pada ‚aturan kota

Sejarah Peradaban Islam .......6


Madinah‛ (Municipal Code of Madinah), atau lebih dikenal dengan Piagam
Madinah.

Piagam Madinah
Di Madinah Nabi selalu berusaha menggalang persatuan, baik sesama Islam
antara kaum Muhajirin dan Anshor, bahkan juga antara kelompok Islam dan non-
Islam yang ada di Madinah, seperti orang-orang Yahudi dan orang-orang Arab yang
masih menganut paganisme. Agar persatuan dan kesatuan bisa dipertahankan
berdasarkan prinsip ‛Saling Hidup dan Menghidupi‛, Nabi mengambil prakarsa
untuk menyusun Piagam Madinah. Piagam Madinah dapat dikatakan sebagai
Undang-Undang Dasar tertulis pertama dalam sejarah. Sebelum Muhammad, tidak
ada penguasa dari kelompok bangsa manapun yang menyatakan secara tertulis untuk
mengatur dasar-dasar kekuasaannya.
Menurut Ahmad (2001), Piagam Madinah yang mulanya kurang beraturan
ini, oleh Muhammad Hamidullah disusun lebih sistematis, yang terdiri dari
pembukaan, isi (47 pasal) dan penutup. Pernyataan proklamasi pendirian negara
Islam ini dimulai dengan kalimat ‚Bismillahirrahmanirrahim‛. Pada bagian isi pasal
1 dan pasal 2 menyatakan maklumat berdirinya negara baru terdiri atas orang-orang
Muhajirin, orang-orang Anshor, bangsa Yahudi, dan penduduk asli lainnya. Pasal 3 s/
d 11 memuat jaminan keamanan dan perlindungan jiwa terhadap pembunuhan dan
kejahatan serta mengakui hak-hak asasi manusia. Pasal 12 s/d 14 memuat pernyataan
kesetiaan persatuan di kalangan Muslimin. Pasal 15 s/d 24 mengatur solideritas dan
kerjasama di antara seluruh warga negara. Pasal 25 s/d 35 memuat pengakuan hak-
hak warga negara untuk seluruh suku bangsa Yahudi, termasuk pengakuan hak
kebebasan mereka untuk memeluk dan menjalankan agamanya. Pasal 36 s/d 38
menetapkan tugas dan kewajiban masing-masing warga negara terhadap negaranya.
Pasal 39 s/d 44 menegaskan kota Madinah sebagai ibukota yang suci bagi mereka
yang mengikatkan diri dalam perjanjian, dan bahwa setiap warga negara wajib
membelanya. Pasal 45 dan 46 menyatakan politik perdamaian terhadap semua orang
dan negara. Pasal 47 memperkuat pernyataan pembentukan negara dan sanksi bagi
yang melanggarnya. Piagam Madinah ditutup dengan permohonan perlindungan
kepada Tuhan supaya negara baru tersebut menjadi tempat yang aman dan sentosa
bagi semua orang yang baik dan berbakti.
Menurut W.Montgomery Watt, Piagam Madinah pada hakikatnya
menunjukkan suatu perjanjian aliansi sesuai dengan prinsip-prinsip Arab tradisional.
Sesuai Piagam Madinah, jika terjadi pertentangan yang dapat mengakibatkan
perpecahan dalam komunitas, maka masyarakat harus kembali kepada Tuhan dan
Muhammad, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Dengan bersandar pada al-Qur’an dan
as-Sunnah, Islam juga dapat diinterpretasikan sebagai agama monoteistik, dimana
syariat merupakan bagian inti dari keyakinan Islam tersebut. Selain itu
D.B.MacDonald dalam ‚Development of Muslim Theology, Jurisprudence and

Sejarah Peradaban Islam .......7


Constitutional Theory‛ (1903) berkomentar: ‚Disini (maksudnya di Madinah),
dibangun negara Islam yang pertama dan diletakkan prinsip-prinsip utama Undang-
undang Islam‛ (Rais, 2001).
Dalam Piagam Madinah dapat dilihat upaya paling dini untuk mengatur
kelompok minoritas dalam masyarakat Islam, yaitu orang-orang non-Muslim yang
berada di bawah naungan Islam, seperti orang Yahudi Madinah yang terdiri dari
pemeluk agama Yahudi dan Nasrani. Dalam Piagam tersebut dinyatakan bahwa
masyarakat Yahudi Madinah sebagai bagian dari masyarakat Muslim yang baru
dibentuk, sedangkan hubungan di antara kedua belah pihak didasarkan pada asas
aliansi dan solideritas timbal balik (Jindan, 1999: 124).
Piagam Madinah memungkinkan minoritas non-Muslim untuk hidup
berdampingan secara damai dan harmonis sebagai bagian dari komunitas Islam.
Artinya, perbedaan agama tidak menjadi kendala untuk melaksanakan komunikasi
timbal balik, yang diikat oleh suatu perjanjian keamanan dan perdamaian, dimana
pemerintah Islam tidak diizinkan mengganggu status pribadi non-Muslim yang tidak
disyaratkan untuk menyesuaikan diri dengan cara hidup Muslim. Golongan dzimmi
tidak diperkenankan untuk menikahi perempuan Islam, namun seorang Muslim boleh
menikah dengan perempuan dzimmi. Begitu juga golongan dzimmi tidak
diperkenankan menghina Nabi SAW, mendiskreditkan al-Qur’an atau menyerang
agama Islam. Mereka juga tidak boleh membantu non-Muslim lainnya menyerang
orang-orang Islam atau memberikan perlindungan kepada mereka. Di sisi lain dalam
Piagam Madinah juga dinyatakan bahwa umat Islam menjamin keamanan hidup,
kekayaan, gereja dan berbagai upacara keagamaan non-Muslim. Sebagai imbalan
untuk jaminan keamanan tersebut maka golongan non-Muslim atau dzimmi
diwajibkan membayar jizyah (semacam pajak poll) disamping kharaj (pajak tanah)
yang juga diwajibkan bagi kaum Muslim.
Dari Piagam Madinah dapat disimpulkan bahwa Islam yang disampaikan
Nabi Muhammad lebih dari sekedar agama, melainkan merupakan sistem peradaban
yang lengkap, yang mencakup agama dan perundang-undangan serta politik secara
utuh dalam waktu bersamaan. Nabi Muhammad telah membentuk sebuah bangunan
masyarakat baru yang mempunyai identitas yang berbeda dengan masyarakat lain,
yaitu mengakui satu undang-undang, menjalankan kehidupan sesuai dengan sistem
yang satu, menuju kepada tujuan-tujuan yang sama, dan di antara individu-individu
masyarakat terdapat ikatan-ikatan ras, bahasa dan agama yang kuat, serta adanya
perasaan solideritas secara umum (Rais, 2001).
Negara Kota Madinah dapat diinterpretasikan sebagai suatu fondasi tatanan
politik universal yang dipimpin oleh Islam. Dalam Piagam Madinah diungkapkan
kerangka kerja konstitusional pemerintahan Islam, dimana konsep suku tentang
pertalian darah digantikan dengan ikatan iman yang bersifat ideologis. Hal ini
merupakan langkah pertama yang teramat penting bagi terwujudnya sebuah ikatan
Islam yang lebih dikenal dengan sebutan ummah. Menurut Piagam Madinah, warga

Sejarah Peradaban Islam .......8


Muslim maupun non-Muslim yang tinggal di Madinah tergabung dalam satu
masyarakat, dimana Allah dan Muhammad adalah sebagai hakim terakhir serta
sumber segenap kekuasaan dan kekuatan atau wewenang (Jindan, 1999).
Sejak hijrah ke Madinah dan sekaligus mendirikan Negara Islam yang
berdaulat di kota tersebut, tidak hanya syiar agama Islam makin pesat, tetapi juga
perkembangan di bidang politik dan kenegaraan. Melihat keberhasilan Nabi
menyebarkan syiar agama Islam, kaum kafir Quraisy tidak senang. Mereka selalu
menunjukkan sikap permusuhan. Baru dua tahun berada di Madinah, tepatnya tahun
624M, terjadi Perang Badar melawan kafir Quraisy. Penganut agama Islam yang
hanya berjumlah 313 orang terpaksa melawan sekitar 1000 tentara Quraisy.
Walaupun bersenjatakan seadanya, namun berkat semangat yang tinggi pasukan
Islam yang langsung dipimpin Nabi berhasil mengalahkan pasukan Quraisy.
Pada tahun ketiga hijriah terladi lagi Perang Uhud. Dalam Perang Uhud ini
pasukan Islam yang berjumlah sekitar 700 orang dan dipimpin oleh Hamzah sesuai
perjanjian akan dibantu oleh sekitar 300 Yahudi berperang melawan pasukan
Quraisy yang berjumlah sekitar 3.000 orang. Namun dekat ke medan tempur,
pasukan Yahudi yang dipimpin oleh Abdullah bin Ubay beserta 300 pasukannya
membelot, balik ke Madinah. Walau dikhianati oleh pasukan Yahudi, Nabi dan
pasukan Islam berpendirian tetap menghadapi pasukan Quraisy yang jumlahnya lebih
dari empat kali lipat pasukan Islam. Berkat semangat dan kegigihan pasukan Islam,
pada awalnya pasukan Islam menang. Akan tetapi melihat pasukan Quraiys yang
kalah kocar kacir, mereka menjadi lengah. Sebahagian tentara tergoda
memperebutkan harta rampasan perang, padahal sebelumnya sudah diperingatkan
Muhammad untuk tetap disiplin menjaga barisan. Akibatnya sangat fatal. Melihat
pasukan Islam pecah konsentrasi memburu harta rampasan perang dimanfaatkan
pasukan Quraisy yang dipimpin oleh Khalid bin Walid menyerbu pasukan Muslim
dari balakang. Akibatnya, pasukan Islam yang awalnya sudah menang berakhir
dengan kekalahan. Pada peristiwa Perang Uhud ini Abu Bakar, Umar dan termasuk
Nabi luka-luka, dan sekitar 70 pejuang Islam mati syahid, termasuk Hamzah. Setelah
berhasil memenangkan pertempuran, kaum Quraisy memperlihatkan kekejaman yang
luar biasa. Yang paling sadis adalah Hindun, isteri Abu Sufyan. Ia mengeluarkan
jantung Hamzah dan memakannya. Selain itu ia juga membuat gelang dan kalung
dari telinga dan hidung para syuhada.

Persoalan dengan Orang-orang Yahudi


Sejak awal pemerintahan Islam Nabi memberi kebebasan beragama dan
sekaligus mengakui keberadaan agama lain, baik pemeluk agama Yahudi, Nasrani
dan Zarathustra maupun ahli dzimmah (Non-Muslim) lainnya. Untuk lebih
memperkuat kebebasan beragama tersebut, maka hal ini diatur lebih rinci dalam
Piagam Madinah. Pada prinsipnya Piagam Madinah tidak hanya mengakui

Sejarah Peradaban Islam .......9


keberadaan mereka, tetapi juga memberi jaminan kebebasan beragama dan jaminan
keamanan bagi penduduk non-Muslim.
Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, dalam Piagam Madinah
dinyatakan bahwa umat Islam harus menolong golongan non-Muslim yang ada di
Madinah seandainya mereka mendapat ancaman atau serangan musuh. Dengan
jaminan Tuhan dan Rasul, ahlul dzimmah mendapat hak kemerdekaan penuh dalam
kehidupan beragama, bernegara dan berpolitik, dengan membayar jizyah sebagai
tanda pernyataan taat dan kesetiaan mereka pada negara Islam. Hak-hak mereka
tidak boleh dilangar atau dikurangi. Nabi menegaskan bahwa haram hukumnya
menganiaya, mengusik, mengganggu dan menghina kelompok non-Muslim yang
berada dalam perlindungan negara Islam. Dalam sebuah Hadis ditegaskan: ‛Siapa
yang menganiaya kaum dzimmi, adalah menganiaya diri saya‛. Selain itu Nabi selalu
menekankan perlunya berbuat adil, baik bagi umat Islam, termasuk pada non-
Muslim. Dalam sebuah Hadis beliau menegaskan, ‛Barang siapa berlaku dzalim
kepada orang kafir yang mengadakan perjanjian atau membebaninya di atas
kemampuannya, atau mengurangi dan mengambil sesuatu tanpa kerelaan hatinya,
maka pada hari akhir nanti saya akan menjadi saksi baginya‛.
Tanpa kekecualian, jaminan kebebasan beragama dan jaminan keselamatan
pada masa Nabi juga diberlakukan bagi kaum Yahudi. Bahkan untuk menunjukkan
penghargaan beliau terhadap orang-orang Yahudi tersebut, Nabi menggolongkan
mereka sebagai Ahl Kitab. Sayangnya, walau kepentingan kaum Yahudi sudah di
akomodasikan dalam Piagam Madinah, tetapi sejarah mencatat bahwa orang-orang
Yahudi selalu berkhianat. Mereka tidak pernah bisa hidup berdampingan secara
damai dengan ummat Islam. Walau pada awalnya sebahagian mereka menerima
Nabi, tetapi sewaktu menyaksikan Islam makin jaya, mereka mulai khawatir dan
berusaha mencurangi, menggeser kedudukan, dan bahkan berkomplot ingin
membunuh Nabi. Mereka tidak henti-hentinya berkhianat dan memusuhi kaum
Muslimin. Jauh sebelum mereka menghancurkan kota dan rakyat Palestina dan
membombardir Lebanon akhir Juli 2006 pada saat buku ini ditulis, pada awal Islam
mereka telah merekayasa pertengkaran antara suku Auf dan Khazraj di Madinah.
Pertengkaran kedua suku ini dimanfaatkan kelompok-kelompok Yahudi untuk
mengambil keuntungan. Pada waktu itu ada tiga kelompok Yahudi di Medinah, yaitu
Bani Qurayza, Bani Nazhir, dan Bani Qainuka. Bani Qurayza dan Bani Nazhir
memihak suku Auz, dan Bani Qainuka memihak suku Khazraj. Tetapi berkat
kepiawaian Nabi, pertengkaran di antara kedua kelompok di Madinah tersebut bisa
diselesaikan.
Setelah merekayasa permusuhan antara suku Auf dan Khazraj di Madinah
sebagaimana diuraikan di atas, orang-orang Yahudi tidak jera mengkhianati Islam
dan memusuhi Nabi. Kali ini lebih berat, yaitu tidak mematuhi isi Piagam Madinah
dengan menjalin hubungan rahasia dengan kaum musyrik Makkah. Kelompok
Yahudi pertama yang mengkhianati Piagam Madinah adalah dari Bani Qainuka.

Sejarah Peradaban Islam .......10


Karena kelompok ini sudah sering diperingatkan, tetapi tetap mengkhianati
kesepakatan sesuai Piagam Madinah, akhirnya pada tahun ke-3 hijriah Nabi
mengusir mereka ke luar Madinah. Tidak berapa lama kemudian kelompok Bani
Nazhir yang menyusun rencana membunuh Nabi dan mengadu domba Muslim
Medinah dengan kafir Makkah, juga diusir dari Madinah. Kelompok terakhir yang
diusir adalah kelompok bani Qurayza.
Dilihat dari kesalahan yang dilakukannya, sebetulnya kelompok bani
Qurayza tersebut harus mendapat hukuman yang berat karena terbukti berkhianat
dalam Perang Uhud. Tetapi mereka menyampaikan penyesalan dan memohon maaf,
serta berjanji tidak akan mengkhianati kaum Muslim. Persoalannya, sebagaimana
Anda sudah paham, janji-janji orang Yahudi tidak pernah terbukti. Setelah
berkhianat pada Perang Uhud, pada Perang Ahzab tahun ke-5 hijriah (627M), mereka
juga nyata-nyata bergabung dengan kafir Makkah melawan pemerintahan Islam di
Medinah. Pasukan gabungan ini berjumlah sekitar 24.000 orang. Untuk
membentengi diri, atas usul Salman al-Farisi, Nabi memerintahkan prajurit Islam
menggali parit. Karena menggunakan parit sebagai pertahanan, maka Perang Ahzab
ini akhirnya lebih populer dengan sebutan Perang Khandaq atau Perang Parit.
Untungnya, dalam perang Khandaq tersebut pasukan Islam berhasil mengalahkan
pasukan gabungan Quraisy dengan Yahudi tersebut.
Pasca perang Khandaq, kaum Muslim mendesak untuk menjatuhkan
hukuman yang lebih berat bagi Yahudi Bani Qurayza. Sebagaimana biasa, mereka
mengajukan permohonan banding kepada Nabi. Lebih dari itu, mereka juga
memohon agar hukuman terhadap mereka diputuskan oleh pemuka-pemuka dari
kalangan Yahudi sendiri, dengan menggunakan hukum Yahudi pula. Dalam sejarah
mana Anda pernah mendengar bahwa penjahat perang minta agar hukuman bagi
mereka diputuskan oleh hakim dari kalangan mereka sendiri dengan menggunakan
hukum mereka pula? Tetapi itulah kenyataannya. Dan yang sungguh luar biasa, Nabi
justru mengabulkan permintaan kelompok Yahudi Bani Qurayza tersebut dan
meloloskan permohonan banding mereka! Sebagai penengah, Nabi menunjuk salah
seorang pimpinan Yahudi yang bernama Saad bin Muadh untuk memutuskan
perkara. Setelah bermufakat di antara mereka, Muadh memutuskan sekitar 300 orang
Yahudi layak dihukum mati; perempuan dan anak-anak mereka yang masih kecil
dijadikan sebagai budak; dan sisanya diusir ke Syria. Adapun tanah dan harta mereka
disita sebagai fay’ (salah satu sumber Pendapatan Nabi).
Sebahagian besar dari orang-orang Yahudi yang diusir tersebut mengungsi
ke wilayah Khaibar di perbatasan Syria. Tetapi disini mereka bukannya jera,
malahan kembali menghimpun kekuatan dengan bersekutu dengan suku-suku
Baduwi. Mereka sering merampok kafilah-kafilah Muslim, juga merampok dan
mengganggu rumah-rumah penduduk Muslim di wilayah perbatasan. Atas tindakan
tersebut, pada tahun ke-7 hijriah Nabi memutuskan untuk mengepung mereka,
sehingga akhirnya menyerah. Sebagai hukuman, mereka tetap diperbolehkan tinggal

Sejarah Peradaban Islam .......11


dan menguasai lahan pertanian mereka di Khaibar, tetapi dengan syarat bahwa
membayar pajak tanah dan pajak pertanian kepada pemerintah pusat di Madinah.
Pada mulanya para sahabat melakukan protes karena menilai hukuman ini terlalu
ringan. Tetapi Nabi menganggap hukuman ini cukup untuk membuat mereka jera.
Tentang perlakuan kaum Muslim terhadap orang-orang Yahudi, sejarawan
Arnold Toynbee menyatakan bahwa Muhammad telah memperlakukan orang-orang
Yahudi dengan kasar dan memeras harta mereka. Dalam buku sejarah sangat tebal
berjudul ‚Mankind and Mother Earth: A Narrative History of the World‛ (1976),
Toynbee menulis, ‚Perampasan, perang dan pembunuhan adalah di antara cara
dengan mana Muhammad meraih kemenangan untuk Islam‛. Selanjutnya pada baris
lain ia menuduh: ‚Muhammad memberi kebebasan kepada mayoritas Muslim
Yasthrib untuk memeras orang-orang Yahudi Yasthrib dan mengusir mereka‛.
Kalaulah Toynbee mengetahui kronologis mengapa Nabi Muhammad akhirnya
mengusir orang-orang Yahudi, dan bahwa keputusan bagi orang-orang Yahudi justru
ditetapkan oleh pimpinan Yahudi sendiri yang bernama Saad bin Muadh
sebagaimana dijelaskan di atas, tentulah ia tidak akan berkomentar demikian.
Selain itu dalam buku-buku yang ditulis oleh orang yang tidak suka pada
Islam sering diceritakan tentang perampasan harta dan tanah, bahkan dibumbui
kelakuan Nabi yang tidak senonoh memperistri Raihana, anak perempuan dari salah
seorang Yahudi Qurayza yang diusir dari Madinah. Tentang perampasan harta dan
tanah orang-orang yahudi Bani Qurayza yang dijadikan sebagai fay’, sebetulnya
mereka diperkenankan membawa semua harta milik mereka, kecuali senjata. Agar
kaum Muslim tidak bisa memanfaatkan rumah dan perabotan yang tidak bisa
dibawa, semuanya dibakar dan dirusak sebelum berangkat. Tanah dan perkakas
perang yang tidak bisa dibawa inilah yang sebahagian dijadikan sebagai fay’ dan
sebahagian lagi dibagi-bagikan kepada Muhajirin setelah disetujui dan diikhlaskan
oleh kaum Anshor. Selain itu cerita bahwa salah seorang anak perempuan Yahudi
bernama Raihana dijadikan safi dan kemudian diperistri oleh Nabi, juga bohong dan
isapan jempol belaka, sebab setelah kejadian itu ia lenyap dari sejarah dan tidak
seorangpun lagi mendengar tentang dirinya (Ali, 1978).

Makin Meluasnya Syiar Agama Islam


Sejak hijrah ke Madinah, syiar agama Islam meningkat dengan laju percepatan
yang semakin tinggi. Pada tahun keenam hijriah ibadah haji sudah disyari’atkan.
Untuk menunaikan ibadah haji, Nabi dan rombongan tidak kurang dari 1.000 orang
berangkat ke Makkah. Tetapi setelah sampai di Hudaibiyah, datang utusan kelompok
kafir Quraisy yang melarang rombongan Nabi memasuki kota Makkah untuk
menunaikan ibadah haji. Kemudian di antara kedua kelompok diadakan perjanjian,
yang terkenal dengan Perjanjian Hudaibiyah, yang isinya antara lain berupa
kesepakatan bahwa kaum Muslim baru diperbolehkan mengunjungi Ka’bah tahun
berikutnya, yang lamanya dibatasi tiga hari; tidak ada larangan bagi kabilah yang

Sejarah Peradaban Islam .......12


ingin bersekutu dengan kaum Quraisy atau Muslim; dan yang lebih penting lagi
selama 10 tahun diberlakukan gencatan senjata antara penduduk Makkah dengan
penduduk Madinah.
Walaupun banyak anggota rombongan yang kecewa karena tidak
diperkenankan menunaikan ibadah haji pada waktu itu, tetapi perjanjian Hudaibiyah
ini sendiri merupakan kemenangan diplomatis yang sangat besar bagi kaum Muslim
Madinah. Sejak ditandatanganinya perjanjian Hudaibiyah, jumlah orang yang masuk
Islam meningkat pesat, berasal dari seluruh pelosok Jazirah Arab. Sebahagian
diantaranya adalah dari orang-orang yang dulunya bekas musuh-musuh Islam.
Misalnya Khalid al-Walid, yang tiga tahun sebelumnya dalam Perang Uhud menjadi
musuh Islam, sekarang setelah masuk Islam justru menjadi pembela Islam yang
tangguh.
Melihat begitu banyaknya orang yang masuk Islam, penduduk Quraisy
Makkah secara sepihak membatalkan Perjanjian Hudaibiyah. Karena dicurangi, maka
Nabi dengan kekuatan 10.000 tentara berencana menggempur Makkah. Ternyata
tidak ada perlawanan dari penduduk Makkah. Melihat tidak ada perlawanan, Nabi
menyampaikan khotbah yang isinya mengampuni mereka. Sesudah Nabi
menyampaikan khotbah, penduduk Quraisy berbondong-bondong datang
menyampaikan maksud mereka memeluk agama Islam. Tentu saja permintaan
mereka diterima Nabi dengan sukacita.
Setelah berhasil menundukkan penduduk Makkah, kaum Muslimin kemudian
berhasil pula menaklukkan Bani Tsaqid di Taif dan Bani Hawazin di antara Taif dan
Makkah dalam Perang Hunain. Dengan demikian seluruh jazirah Arab sudah berada
di bawah kepemimpinan Nabi. Pada tahun ke-9 hijriah Nabi makin banyak
mengirimkan utusan dan begitu juga menerima utusan-utusan resmi dari suku-suku,
kabilah-kabilah dan kerajaan-kerajaan yang ada di sekitar Arab. Di antaranya yang
mengutus delegasinya sekaligus menyatakan ketundukan mereka pada Nabi adalah
dari Bani Najran yang beragama Kristen, dipimpin oleh Abdul Messiah. Karena
banyaknya Nabi mengutus dan menerima utusan, maka tahun ke-9 hijriah/931M
tersebut dalam sejarah dikenal dengan ‚Tahun Utusan‛.
Untuk lebih memperkokoh kekuatan dan persaudaraan di antara suku-suku
yang ada, maka Nabi menyatukan seluruh suku-suku yang ada dalam persaudaraan
seagama. Sejak itu tidak ada lagi perang antar kelompok dan suku di Jazirah Arab.
Suku-suku yang dahulunya suka bertengkar pada masa jahiliyah sudah makin dewasa
beragama, berpolitik dan bermasyarakat. Waktu yang diperlukan beliau untuk
melakukan semua itu hanya sepuluh tahun. Suatu prestasi luar biasa yang tidak ada
tandingannya dalam sejarah.
Sejak dikuasainya Makkah, Nabi selanjutnya menyebarkan Islam ke daerah-
daerah atau wilayah-wilayah lain. Dari catatan sejarah terungkap bahwa Nabi
Muhammad selaku pimpinan negara Islam Madinah mengirim surat dan utusan
mengajak raja-raja Ghasan, Mesir, Abessinia, Persia dan Romawi untuk masuk

Sejarah Peradaban Islam .......13


Islam. Terhadap ajakan masuk Islam tersebut, ada yang menerima, ada yang menolak
dengan halus, dan ada pula yang menolak dengan kasar. Misalnya raja Ghasan, selain
menolak ajakan masuk Islam, ia bahkan membunuh utusan Nabi. Terlepas dari
kenyataan ada beberapa pihak yang menolak masuk Islam, tetapi secara keseluruhan
jumlah pemeluk Islam makin banyak dari tahun ke tahun, baik di Jazirah Arab
maupun di wilayah-wilayah sekitarnya. Menurut Toynbee (1976), sewaktu beliau
meninggal dunia tahun 632 M, kedaulatan pemerintahan Islam diakui di seluruh
Arabia, sampai di perbatasan selatan padang rumput suku-suku Arab yang setia pada
Kerajaan Romawi Timur atau Kerajaan Persia.
Bangkitnya Islam merupakan fenomena baru dalam sejarah, sebab dibangun
oleh seorang Nabi yang sekaligus sebagai penegak hukum dan politikus bijaksana,
juga seorang negarawan dan humanis sejati.

D. Muhammad sebagai Pemimpin dan Negarawan


Dalam teori maupun praktek, Nabi Muhammad menempati suatu posisi yang
unik sebagai pemimpin dan sumber spritual undang-undang ketuhanan dan sekaligus
juga sebagai pemimpin pemerintahan Islam yang pertama. Sejak hijrah tahun 622M
sampai saat wafat tahun 632M Nabi Muhammad berperan sebagai pemimpin yang
tidak dapat dibantah (unquestionable leader) bagi Negara Islam yang didirikan
beliau. Sebagai Nabi, beliau meletakkan prinsip-prinsip agama Islam, memimpin
shalat serta menyampaikan khotbah-khotbah. Sebagai negarawan, beliau mengutus
duta ke luar negeri; membentuk angkatan perang dan membagikan harta rampasa
perang (Jindan, 1999). Sebagai seorang negarawan ulung, Nabi adalah pendiri sebuah
bangsa, merancang sebuah imperium yang dibangun berdasarkan kesepakatan dan
kerjasama semua kelompok yang ada dalam masyarakat.
Kalau disimak dari perjalanan hidup beliau, pada awalnya Nabi Muhammad
hanya mengajarkan agama. Setelah sukses di Madinah beliau menjadi seorang
penguasa politik dan negarawan ulung. Walaupun Nabi buta huruf, tidak pandai
membaca dan menulis, tetapi dalam waktu singkat Nabi mampu menciptakan civil
society atau masyarakat madani, yaitu masyarakat yang tahu aturan, kaedah, norma-
norma, etika dan akhlak. Menurut Phillip K.Hitti, ‚Keadaan ini telah menyebabkan
para ahli sejarah menarik tokoh-tokoh sejarah lain ke urutan belakang dan
menempatkan Muhammad sebagai tokoh politik dunia yang terbesar‛.
Apa yang dikatakan Phillip K.Hitti di atas bukanlah gombal. Sebagai tokoh
agama, Nabi disejajarkan atau diposisikan lebih tinggi dari putra-putra terbaik
bangsa Semit lainnya, yaitu Musa dan Isa. Bedanya, kalau Musa mengembangkan
agama Yahudi, Isa mengembangkan agama Nasrani, maka Muhammad
mengembangkan agama Islam, sebuah agama dengan ajaran yang sempurna dan
menyempurnakan. Sebagai penguasa politik dan negarawan ulung, Muhammad
berhasil meletakkan dasar yang kokoh bagi imperium Islam, yang tidak kalah
dibanding imperium-imperium terdahulu seperti Babylonia, Bizantium dan Persia.

Sejarah Peradaban Islam .......14


Dari catatan sejarah, peran bangsa Babylonia sangat besar dalam peradaban
dunia. Bangsa ini telah melahirkan banyak pakar dan tenaga ahli dalam bidang
pertanian, dan dikenal sebagai bangsa pertama yang membuat bendungan untuk
meningkatkan produktivitas pertanian. Selain maju dalam bidang pertanian, mereka
juga maju dalam bidang perdagangan dan industri. Dalam catatan sejarah, pedagang
dari bangsa Babylonia inilah yang pertama menciptakan sistem timbangan dan
takaran. Tokoh utama imperium Babylonia adalah Hamurabbi, yang berjasa
merumuskan dan mengkodifikasi hukum-hukum yang berlaku di Babylonia dalam
sebuah dukumen yang disebut Kitab Hamurabbi. Kitab ini dianggap sebagai kitab
hukum tertua di dunia.
Setelah Babylonia dan sebelum kedatangan Islam, dua imperium politik
yang menguasai wilayah Timur adalah imperium Bizantium dan Persia. Bizantium
merupakan bagian imperium Romawi Timur, yang wilayahnya, mencakup Syria,
Palestina, Mesir, dan sebagian kecil Eropa. Nama Bizantium sendiri diambil dari
kota Byzantium, sebuah kota Yunani di Bosporus. Bizantium (belakangan nama kota
ini diubah menjadi Konstantinopel, dan terakhir diubah lagi menjadi Istambul)
dijadikan ibukota Romawi Timur oleh Constantine Agung 327 M. Kaisar Theodorus
(379-395M) menjadikan Kristen sebagai agama resmi Byzantium. Setelah
Constantine Agung, kaisar imperium Romawi Timur yang paling jenius adalah
Justinian (527-565 M). Jasanya yang terbesar ialah dalam menyusun kitab hukum
Romawi.
Tetapi masa kejayaan Romawi Timur tidak untuk selamanya. Pada masa
Heraclius (610-641 M) kedudukan imperium terancam karena kekuatan ekonominya
melemah akibat perang berkepanjangan. Karena kekuatan ekonomi lemah dan moral
tentara merosot, Imperium ini tidak berhasil menahan serangan tentara Islam yang
waktu itu memiliki semangat juang sangat tinggi. Sejarah kemudian mencatat bahwa
kekuasaan Islam tidak hanya berhasil dalam menaklukkan daerah-daerah bekas
kekuasaan imperium Bizantium, tetapi juga imperium Persia.
Sebagai pemimpin dan negarawan ulung, Nabi sangat berjasa melakukan
begitu banyak perubahan pranata sosial dan melakukan pembaharuan di tengah-
tengah masyarakat yang dulunya dikenal sebagai masyarakat jahiliyah. Langkah
pertama yang dilakukan oleh Nabi untuk merubah masyarakat jahiliyah ke
masyarakat madiniyah yang sasar hukum adalah mereformasi manusia. Sehubungan
dengan hal ini beliau melakukan sagala daya upaya untuk mengubah manusia-
manusia jahiliyah menjadi lebih baik. Beliau menyajikan pandangan terhadap dunia
yang revolusioner yang memasukkan makna dan tujuan dalam hidup, menciptakan
keseimbangan antara material dan spriritual, dan memberikan tujuan hidup yang
mulia. Beliau menjamin keadilan, martabat, kesamaan, saling menghormati dan
peningkatan sosial ekonomi bagi setiap anggota masyarakat (Chapra, 2001).
Nabi Muhammad bukan orang yang tahu dalam segala hal, dan tidak pula
sok tahu tentang segala hal. Salah satu semboyan yang pernah diucapkan beliau:

Sejarah Peradaban Islam .......15


‛Sesuatu yang mengenai soal keagamaan, maka datanglah kepada saya, tetapi
sesuatu yang bersangkutan dengan masalah duniawi, maka kamu lebih mengetahui
urusan duniamu!‛. Untuk urusan-urusan spesifik yang menyangkut urusan duniawi
seperti mengurus pemerintahan, Nabi meminta bantuan para sahabat. Khusus untuk
urusan eksekutif Nabi meminta bantuan Abu Bakar. Karena tugasnya tersebut maka
Abu Bakar juga digelari sebagai wazir Nabi. Untuk urusan sekretaris politik yang
mengurus surat-surat negara dan kesekretariatan lainnya Nabi dibantu oleh 5
sahabat, yaitu Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Mu’awiyah
bin Abi Sufyan dan Mughirah bin Syu’bah. Di antara kelima orang tersebut yang
selalu mendampingi Nabi sebagai Sekretaris Kepala Negara adalah kemenakan
beliau Ali bin Abi Thalib. Dengan ketinggian ilmu dan tata bahasanya yang sangat
baik, Ali paling sering ditugaskan membuat surat-surat resmi negara maupun surat-
surat perjanjian damai dan yang lainnya. Khusus untuk mencatat ayat-ayat al-
Qur’an, beliau dibantu oleh tidak kurang dari 42 orang (Ahmad, 2001). Dari uraian
di atas dapat disimpulkan bahwa sehubungan dengan pembangunan negara,
Muhammad adalah orang pertama yang menyadari arti penting keterlibatan rakyat
dan dukungan mereka dalam suatu sistem administrasi negara.
Nabi sering meminta umatnya untuk bermusyawarah dalam mengambil
keputusan. Dalam sebuah Hadis beliau mengatakan, ‛Tidak ada sebuah kaumpun
melakukan musyawarah kecuali mereka dapat merumuskan pilihan yang terbaik
dalam mengatasi permasalahan mereka‛. Beliau sering memberikan nasehat, ‛Minta
bantuanlah dalam menyelesaikan permasalahan kalian melalui musyawarah‛. Pada
kesempatan lain beliau mengatakan, ‛Tidak merugi orang yang menyerahkan diri
(istikharah) kepada Tuhan, dan tidak ada penyesalan bagi orang yang
bermusyawarah‛. Dalam kalimat lain beliau menyatakan: ‛Tidak akan berhasil
seseorang yang hanya mengikuti pendapatnya sendiri dan tidak ada seorangpun yang
akan hancur hanya karena bermusyawarah‛. Jaminan beliau, ‛Sebuah kaum yang
bermusyawarah pasti akan mendapatkan petunjuk yang memberi jalan bagi
penyelesaian permasalahannya‛.
Untuk memperkokoh negara Islam, yang pertama disatukan beliau adalah
Medinah, menyusul jazirah Arab, dan berlandaskan prinsip-prinsip yang dibangun
oleh Nabi perjuangan Islam dilanjutkan oleh para Khulafaur-Rasyidin dalam wilayah
kekuasaan Islam yang lebih luas. Piagam Madinah menjamin kebebasan hidup, hak
milik, dan kebebasan beragama. Sistem demokrasi yang diperjuangkan Muhammad
tersebut diyakini sebagai sistem yang terbaik dalam segala hal, termasuk lebih baik
dari demokrasi Barat yang keberpihakannya terhadap mereka yang miskin dan lemah
sangat diragukan.
Ideologi yang dibawakan Nabi Muhammad adalah ideologi internasional,
yang bisa dipegang dan diterapkan oleh semua bangsa, baik bangsa Arab, bangsa
kulit putih, kulit hitam atau kulit kuning, merah dan sawo matang. Semua manusia
dalam Islam bersaudara. Ideologi Islam dapat menjiwai setiap bangsa dengan cita-

Sejarah Peradaban Islam .......16


cita kenegaraan lebih baik, lebih sempurna dan lebih luas dari semua ideologi dan
cita-cita yang pernah ada.

E. Muhammad sebagai Pencipta Sistem Ekonomi Pasar


Islam menghimpun tata nilai universal yang sangat sempurna dan dapat
berjalan sesuai dengan segala kondisi, ruang dan waktu. Secara keseluruhan, materi
ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah adalah aqidah dan
syari’ah. Kalau aqidah berisikan ajaran tentang aspek keyakinan terhadap Islam,
syari’ah berisikan ajaran tentang ibadat, munaqahat, mu’amalat, jinayat, siyasat,
jihad, akhlaq dan sebagainya. Zakat termasuk ibadat, sedangkan berbagai aktivitas
ekonomi lain mulai dari jual-beli, utang-piutang, pinjam-meminjam, warisan, hibah,
penemuan, dan bentuk-bentuk pemberian lain diatur dalam mu’amalat.
Nilai-nilai Islam sangat luas, dan ekonomi hanya salah satu bagian kecil di
dalam nilai-nilai Islam tersebut. Pada pembahasan berikut, yang perlu dibahas dan
dikupas lebih mendalam dari al-Qur’an dan as-Sunnah adalah petunjuk-petunjuk
tentang berbagai ativitas ekonomi. Khusus di bidang ekonomi, para ulama Islam
pada umumnya sependapat bahwa salah satu tujuan terpenting dari syari’ah adalah
bagaimana caranya agar dapat mengurangi kesulitan dan berusaha untuk menjadikan
hidup lebih nyaman.

Aturan-aturan dan kaedah-kaedah Ekonomi menurut Qur’an dan Hadis


Sebagai pemimpin umat Nabi tidak hanya menggariskan tentang aturan-
aturan dan kaedah-kaedah dalam kehidupan sosial dan politik, tetapi juga dalam
kehidupan ekonomi. Walau Qur’an dan Hadis tidak memuat ajaran sosial, politik dan
ekonomi secara utuh menyeluruh, namun secara ringkas dan sederhana ada dimuat
ide dasar tentang bentuk kehidupan dan perekonomian yang adil, beradab dan
berperikemanusiaan. Aturan-aturan pokok dalam al-Qur’an dan as-Sunnah sangat
berbeda dengan teori-teori dan konsep-konsep ekonomi konvensional. Kalau
ekonomi konvensional didasarkan pada pemikiran manusia, maka ekonomi Islam,
terutama yang bersifat aturan pokok, berasal dari Qur’an dan Hadis.
Aturan pokok atau landasan umum bidang ekonomi dalam Qur’an ialah
melarang segala jenis transaksi yang bersifat ribawi. Tentang hal ini, sebetulnya
semua agama Samawi (langit) melarang riba. Hal ini dapat dilihat dalam kitab
Perjanjian Lama 25: 36-37 maupun Perjanjian Baru (Lukas 6: 34-35). Hingga abad
ke-13 riba masih dilarang oleh gereja. Tetapi menjelang akhir abad ke-13 pengaruh
gereja mulai melemah dan orang-orang Kristen Eropa mulai ‛berkompromi‛ dengan
riba. Akhirnya, lama-kelamaan praktek riba makin subur di Eropa, walaupun tidak
sesuai dengan ajaran gereja.
Selain menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, dalam al-Qur’an juga
ada ayat-ayat yang mengatur dan memotivasi umat untuk melakukan berbagai
kegiatan ekonomi seperti dagang, transaksi jual-beli, untung-rugi, utang-piutang,

Sejarah Peradaban Islam .......17


juga dalam berproduksi dan mengkonsumsi serta banyak lagi yang lainnya. Dalam al-
Qur’an sangat ditekankan agar setiap transaksi ekonomi dilakukan dengan jujur,
tidak melalui tipu daya. Karena persoalan tentang transaksi (aqad) ini sangat penting
dalam kehidupan manusia, Allah dengan sangat rinci mengaturnya dalam al-Qur’an,
dan legalisasi aqad dalam Islam wajib hukumnya. Hal ini dimaksudkan untuk
menciptakan ketenangan di antara pihak-pihak yang bertransaksi. Untuk
menghindari persengketaan di kemudian hari, al-Qur’an sangat menganjurkan
pencatatan dan pembukuan untuk setiap jenis transaksi, terutama yang tidak
dilakukan secara tunai. Pencatatan tidak hanya dianjurkan dalam transaksi jual beli,
tetapi juga dalam utang-piutang.
Ajaran yang memotivasi orang untuk bekerja dan berusaha sebaik mungkin
tidak hanya ada dalam al-Qur’an, tetapi juga ditemukan dalam Hadis. Untuk
memperoleh hasil yang lebih baik, Nabi sering menganjurkan agar orang memiliki
suatu profesi yang dapat dapat diandalkan, ‚Sesungguhnya Allah mencintai
seseorang Mukmin yang mempunyai profesionalitas‛ (H.R.Thabrani). Selaku
pemimpin ummat Nabi Muhammad ikut membawa nilai-nilai, dan bahkan juga
berjuang untuk memperbaiki kondisi masyarakatnya, termasuk di dalamnya
memperbaiki kesejahteraan ekonomi masyarakat. Agar umat Islam dapat memenuhi
kebutuhan pokoknya masing-masing, maka Nabi sangat aktif mendorong umat Islam
untuk mencari rezki.
Bagi Nabi, manusia tidak layak hanya berdiam diri saja, melainkan harus
berusaha keras memenuhi kebutuhan hidup dan keluarganya. Nabi yang sangat tidak
menyukai kemiskinan dan ketergantungan kepada orang lain sering menekankan agar
orang harus berusaha dan bekerja dengan giat. Dengan bekerja sekuat tenaga orang
diharapkan terhindar dari jerat kemiskinan. Mengapa beliau begitu ‛benci‛ pada
kemiskinan? Alasannya, ‛Kemiskinan bisa menjadi fitnah‛. Dalam Islam semua
aktivitas ekonomi dianggap penting, dan setiap Muslim haruslah melakukan semua
aktivitas ekonominya dengan baik, sesuai dengan yang telah digariskan Allah. Bagi
Nabi tidak ada pekerjaan yang hina. Beliau konon pernah mencium tangan seseorang
yang bengkak karena kerja keras, sambil berkata: ‛Ini adalah tangan yang dicintai
Allah dan Rasul-Nya‛.
Dalam al-Qur’an ada aktivitas ekonomi yang diperbolehkan, ada yang
sebaiknya dihindari (makruh) dan ada pula yang dilarang. Dalam al-Qur’an
ditegaskan: ‚Tidak beriman seseorang yang berzina, mencuri, atau meminum
minuman keras‛. Selain melarang ketiga dosa besar tersebut, khusus untuk hal-hal
yang menyangkut aktivitas ekonomi, Tuhan juga melarang seorang Mukmin berjudi,
memonopoli, korupsi dan kolusi.
Selain menjauhkan segala perbuatan yang dilarang, seorang Muslim yang
baik seyogyanya juga berusaha menghindari perbuatan yang bersifat syubhat. Lebih
dari itu, seorang Muslim tidak boleh bekerja dengan cara yang haram walaupun
tujuan akhirnya dikategorikan baik dan terpuji. Adanya ketentuan seperti ini

Sejarah Peradaban Islam .......18


menunjukkan bahwa dalam Islam harta harus diperoleh dengan cara yang halal, dan
digunakan untuk hal-hal yang diredhoi pula. Setiap muslim harus siap ditanya
Tuhan: darimana harta diperoleh, dan untuk apa harta tersebut dibelanjakan.
Dari ajaran-ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis orang dengan
mudah dapat menyimpulkan bahwa ekonomi Islam yang dibawakan Muhammad
memiliki ciri-ciri atau karakteristik khusus, antara lain: berlandaskan pada tauhid,
mengutamakan keadilan, menjunjung tinggi kemanusiaan, menjunjung tinggi
kebebasan, dan berlandaskan pada akhlak.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Qur’an dan Hadis ada memuat
aturan-aturan pokok tentang ekonomi. Selain memberikan aturan-aturan pokok,
dalam al-Qur’an dan Hadis juga ada ajaran etika yang menata kehidupan manusia
dalam segala bentuk perilaku, termasuk perilaku dalam melakukan berbagai aktivitas
ekonomi. Ajaran yang terkandung dalam Islam sangat lengkap. Begitu lengkapnya
ajaran yang ada dalam Islam, sehingga pakar Barat seperti H.A.R.Gibb dalam
‚Whiter Islam‛ menulis: ‚Islam is indeed much more than a system of theology, it is
a complete civilization‛ (Yatim, 2006).

Sistem Ekonomi Pasar Terkendali


Kalau kita membaca literatur Barat tentang ekonomi, kita akan disuguhi
informasi bahwa sistem ekonomi pasar pertama kali dikembangkan oleh kaum
Fisiokrat (Physiocrats), yaitu oleh Quesnay. Prinsip dasar dari aliran fisiokratisme
ialah kehidupan ekonomi yang bersandar pada hukum alami (natural law). Mereka
menyerukan agar perekonomian tidak usah diatur-atur, ‚Let do-let pass, and let
the nature take its course‛. Prinsip inilah yang kemudian dikembangkan Adam
Smith menjadi paham laissez faire-laissez passer yang menginginkan perekonomian
diserahkan pada hukum alam (natural harmony). Atas landasan ini paham ekonomi
pasar muncul.
Dalam hampir semua literatur Barat Adam Smith disebut-sebut sebagai
‛Bapak Ilmu Ekonomi‛, dan bahwa dari ‚pemikiran Smith‛ dan konco-konco dari
aliran klasik inilah timbul gagasan tentang sistem ekonomi pasar, persaingan
sempurna, dan mekanisme pasar. Pada kesempatan ini perlu ditegaskan bahwa
pengakuan bahwa sistem ekonomi pasar merupakan ‚kreasi‛ Adam Smith sama
sekali tidak benar, sebab lebih dari seribu tahun sebelum munculnya Adam Smith,
Nabi Muhammad dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Annas sudah
melarang tas’ir (penetapan harga): ‚Orang-orang berkata: Ya Rasulullah, harga
melonjak tinggi, maka tentukanlah harga bagi kami‛.
Bagaimana reaksi Rasul waktu orang-orang mendesak beliau untuk
menetapkan harga (tas’ir) tersebut? Dengan tegas beliau menolak, ‚Sesungguhnya
Allah yang menentukan harga dan menahan rezki kepada yang dikehendaki-Nya,
serta memberi rezki kepada yang disukai-Nya‛. ‚Adapun saya‛, demikian Rasul
melanjutkan, ‚hanya mengharap semoga ketika aku bertemu dengan Allah, tidak ada

Sejarah Peradaban Islam .......19


seorangpun di antara kalian yang yang meminta tanggung jawabku atas kezaliman
dalam masalah harta dan darah akibat perbuatanku di dunia seperti menetapkan
harga (tas’ir) ini‛.
Dari Hadis tersebut jelas bahwa ide tentang pelarangan penetapan harga dan
penyerahan perekonomian sesuai mekanisme pasar berasal dari Nabi Muhammad,
bukan kreasi Adam Smith sebagaimana yang banyak diyakini orang. Begitu juga b
agi orang yang paham dengan konsep-konsep ekonomi, terutama demand dan supply,
serta implikasi dari perubahan dalam permintaan dan penawaran terhadap harga-
harga dan kuantitas barang yang dibeli dan ditawarkan dan selanjutnya terhadap
kesejahteraan pihak-pihak yang bertransaksi, terasa sekali kedalaman makna dari
Hadis yang diriwayatkan oleh Annas yang dikemukakan di atas. Hadis tesebut
mengimplikasikan bahwa harga suatu barang atau jasa bukan semata-mata
ditentukan oleh demand dan suppy, tapi juga oleh kekuatan lain yang lebih tinggi,
yaitu ketentuan Allah.
Yang menjadi masalah dari Adam Smith ialah bahwa sesudah mencuri ide
ekonomi pasar dari Islam, ia merusaknya dengan mengatakan bahwa kekuatan yang
ada di belakang mekanisme pasar ini adalah ‚tangan hantu‛ (‚invisible hand‛).
Padahal kita orang Islam percaya bahwa kekuatan yang mengatur mekanisme pasar
itu adalah kehendak Allah. Disinilah perbedaan utama antara sistem pasar Adam
Smith dengan ekonomi pasar versi Islam. Kalau menurut Smith yang mengatur pasar
adalah ‚tangan hantu‛ alias ‚tangan tak kentara‛, dalam ajaran Islam kita meyakini
bahwa pasar memang sengaja di‛main‛kan oleh Tuhan untuk memberi rezeki kepada
sekelompok orang tertentu atau sebaliknya menahan rezki kepada orang yang ingin
diuji-Nya. Semuanya berlangsung karena kekuasaan Tuhan, bukan atas kemauan
hantu (invisible hand) sebagaimana dikatakan oleh Adam Smith.

Peran Negara mengatur Pasar


Dari uriaan di atas hendaknya menjadi jelas bahwa walaupun ada beberapa
kemiripan dan persinggungan antara ekonomi pasar sesuai pandangan Adam Smith
dengan ekonomi pasar sesuai ajaran Islam, tetapi perbedaannya jauh lebih banyak.
Perbedaan yang paling nyata ialah sehubungan dengan peran pasar dan pemerintah.
Menurut Adam Smith perekonomian harus diserahkan pada mekanisme pasar, dan
pemerintah sebaiknya tidak perlu ikut campur, sebab campur tangan pemerintah
dalam pandangan Adam Smith hanya akan mengganggu bekerjanya pasar dalam
mengatur perekonomian. Dalam Islam tidak demikian halnya. Mekanisme pasar
memang sangat diutamakan, dan bahkan pemerintah, sesuai Hadis yang
dikemukakan di atas, dilarang menetapkan harga sesuka hati. Bagaimanapun, Islam
tidak pernah menafikan peran pemerintah. Tegasnya, walaupun Nabi Muhammad
tidak mau melakukan intervensi dengan menetapkan harga (tas’ir) di pasar, tetapi
beliau memperbolehkan campur tangan pemerintah jika pasar tidak beroperasi
menurut yang seharusnya. Peran pemerintah justru merupakan keniscayaan dan

Sejarah Peradaban Islam .......20


intervensi harus dilakukan ketika suatu aktivitas ekonomi membawa mudharat bagi
kemaslahatan orang banyak. Negara harus bertindak ketika pasar tidak beroperasi
secara normal atau terganggu dan mengalami distorsi, seperti dizalimi dengan
berbagai bentuknya, termasuk masfadah, riba, gharar, tadlis, maysir, dan sebagainya.
Dalam semua kasus tersebut, maka pemerintah wajib ikut campur melakukan
perbaikan.
Islam mewajibkan kepada masyarakatnya untuk tidak membiarkan kaum
lemah (miskin, penganggur, penderita cacat) untuk diinjak-injak oleh orang yang
kuat di tengah perjalanan hidup mereka yang penuh dengan berbagai ambisi
keuntungan pribadi. Sebaliknya, Islam justru mewajibkan kepada masyarakatnya
untuk membimbing mereka yang lemah agar menjadi kuat dan mandiri. Negara Islam
adalah negara pertama dalam sejarah yang berperang demi hak kaum fakir dengan
mengambil harta dari orang kaya. Karena Islam sangat menekankan keadilan dalam
setiap aspek kehidupan, maka Rasul ingin agar keadilan wujud dalam masyarakat,
juga di pasar. Yang jelas, Nabi menekankan agar harga yang berlaku di pasar adil
bagi semua pihak.
Untuk mencegah terjadinya ketidak adilan di pasar, Nabi melarang praktek
tallaqqi rukban (pedagang menyongsong di pinggir kota agar dapat membeli dengan
harga rendah dengan memanfaatkan ketidaktahuan pedagang dari luar kota tersebut
atas harga-harga yang berlaku di pasar); mengurangi timbangan; menyembunyikan
kecacatan barang; menukar kurma kering dengan kurma basah (karena kurma basah
lebih berat timbangannya); transaksi najasy (pedagang menyuruh orang lain berpura-
pura memuji barangnya atau pura-pura menawar dengan harga tinggi agar calon
pembeli lain lebih tertarik untuk membeli barang); dan menyaingi tawaran orang lain
yang masih melakukan transaksi.
Sebagai pemimpin yang baik dan adil, beliau sangat tegas dalam timbangan
dan takaran. Beliau aktif melakukan pengawasan di pasar dengan melarang semua
bentuk monopoli dan kegiatan menumpuk barang. Dalam Islam, ikhtikar (monopoli)
sudah dilarang sejak zaman Rasulullah. Dalam sebuah hadis yang bersumber dari
Said bin al-Musayyah, Nabi bersabda, ‛Tidaklah orang yang melakukan ikhtikar itu
kecuali ia berdosa (HR.Muslim, Ahmad dan Abu Dawud). Sebagai perbandingan,
negara yang dianggap paling maju di dunia, yaitu Amerika Serkikat, baru
memberlakukan UU Anti Monopoli pada akhir abad ke-19 dengan dikeluarkannya
‚The Sherman Act of 1890.
Walau Nabi aktif sebagai pedagang, dan gambaran tentang praktek
perdagangan cukup banyak dalam literatur Islam, tetapi harus diakui bahwa
gambaran tentang perekonomian negara pada era KeNabian tidak begitu lengkap.
Hal ini mungkin disebabkan kenyataan bahwa pada waktu itu situasi sangat tidak
stabil karena seringnya terjadi peperangan, baik dalam upaya menyebarkan agama
Islam maupun mempertahankan diri dari serangan musuh. Penyebab lain sedikitnya
gambaran tentang perekonomian para era keNabian ialah bahwa perekonomian pada

Sejarah Peradaban Islam .......21


waktu itu memang masih sangat sederhana, dimana mayoritas penduduk bekerja di
sektor pertanian dan peternakan dan perdagangan. Dengan demikian, wajar juga
bahwa pada masa Rasulullah belum ada pembahasan dan pemikiran ekonomi yang
rinci tentang ekonomi.
Kalaupun gambaran perekonomian pada zaman Nabi relatif sederhana,
namun praktek yang dilakukan Nabi sepanjang hayatnya dalam segala aspek
kehidupan, termasuk dalam melakukan aktivitas ekonomi, dicatat sangat lengkap
oleh para sahabat. Walaupun tidak tercatat dalam the World of Record, tetapi kita
semua tahu bahwa tidak ada seorangpun di dunia ini sepanjang sejarah yang semua
tindak tanduk, perbuatan, dan perkataannya didokumentasikan begitu lengkap selain
Nabi Muhammad. Dari catatan tentang tindak tanduk, perbuatan dan perkataan Nabi
yang dicatat oleh para sahabat sebagai Hadis tersebut orang bisa mencari referensi
atau menafsirkan sesuatu hal.. Sebagai contoh, dalam Qur’an atau Piagam Madinah
tidak ada ketentuan tentang penggunaan harta rampasan perang. Tetapi dari praktek
yang dilakukan Nabi memberikan sebahagian harta rampasan perang dari kaum
Nadhir kepada para fakir dan miskin dari kalangan muhajirin dapat ditarik suatu
kesimpulan atau minimal dijadikan sebagai referensi untuk apa harta rampasan
perang harus digunakan. Hal yang sama berlaku untuk aktivitas ekonomi lain seperti
tentang suff’ah, muakhah, jizyah, pemilikan, warisan, konsumsi, dan ketentuan-
ketentuan lainnya. Iman dan wahyu telah membimbing Nabi untuk selalu bertindak
dalam batas-batas kebenaran, etika, moral, dan kemanusiaan. Atas bimbingan iman
dan wahyu tersebut Nabi menjadi sosok ideal untuk diteladani dan ditiru dalam
berbagai aspek kehidupan, termasuk kegiatan berekonomi.

Kebijakan Fiskal
Dari berbagai sumber yang serba terbatas sebagaimana dijelaskan di atas
dapat diketahui bahwa kebijakan fiskal sudah dikenal sejak zaman Rasulullah.
Sebelum Nabi, orang Arab tidak kenal dengan apa yang disebut otoritas pusat, dan
belum tahu pula sistem pendapatan dan belanja negara. Sehubungan dengan ini,
adalah Nabi Muhammad yang pertama kali memperkenalkan otoritas pusat dan
sistem pendapatan dan belanja negara di wilayah Arabia. Begitu juga beliau yang
pertama mendirikan bayt al mal di Madinah.
Walau sudah ada berbagai kebijakan fiskal pada masa Nabi, tetapi pada masa
itu belum ada kategorisasi pendapatan negara. Begitupun, menurut pemikiran Abu
Ubayd dalam al-Amwal, untuk menjalankan tugasnya Nabi memperoleh sumber
pendapatan khusus yang disebut Pendapatan Nabi (Amwal Rasul, Prophetic Income).
Penerimaan Nabi bersumber dari fay’, safi, dan khumus al khums. Ketiga jenis
Pendapatan Nabi tersebut bersumber dari kekayaan yang secara khusus (eksklusif)
dimiliki oleh beliau dan tidak diwariskan. Sebagai buktinya, pada waktu beliau
wafat tidak ada dari harta Pendapatan Nabi ini yang diwariskan kepada keluarga
Nabi.

Sejarah Peradaban Islam .......22


Ketentuan tentang fay’ dan khums berasal dari Qur’an, sedangkan untuk safi
berasal dari Hadis. Tentang fay’ dalam al-Qur’an disebut sebagai ‛maafa’a Allah ala
Rasulin‛, yaitu ‛rezki yang diberikan oleh Allah hanya untuk Nabi‛. Fay’ diberikan
Allah tidak berasal dari harta rampasan perang. Menurut catatan sejarah, awal dari
adanya fay’ ini terkait dengan pengusiran kelompok Yahudi Bani Nazhir yang
terbukti mengkhianati Piagam Madinah dan berkomplot ingin membunuh Nabi.
Waktu Nabi mengusir mereka dari Madinah, mereka diperbolehkan membawa harta
yang terbawa oleh kuda atau onta mereka, kecuali senjata. Karena tanah atau lahan
pertanian tidak mungkin diangkut dengan onta, otomatis tinggal. Senjata dan tanah
milik Yahudi inilah yang menjadi cikal bakal fay’.
Pada masa Nabi fay’ diartikan sebagai kekayaan yang diberikan khusus
kepada Rasul yang berasal dari kekayaan kaum musyrik, yang diperoleh tidak
melalui penaklukan dengan menggunakan tentara berkuda atau beronta. Pada
kesempatan ini perlu dijelaskan bahwa ada perbedaan antara fay’ dengan ghanimah.
Ghanimah adalah apa-apa yang diperoleh dari non-Muslim melalui jalan peperangan,
dan pembagiannya diatur berdasarkan khums. Sedangkan fay’ adalah harta yang
diperoleh setelah selesai peperangan dan ketika sebuah wilayah kembali menjadi
milik pemerintahan Islam. Dalam catatan sejarah, Nabi hanya menerima fay’ dua
kali. Selain dari harta yang ditinggalkan oleh kaum Bani Nazhir waktu mereka diusir
dari Madinah, juga dari Fadak, sebuah perkampungan yang ditempati koloni petani
Yahudi yang menghasilkan kurma dan biji-bijian di Hijaz. Pengambil-alihan tanah
Fadak terjadi tahun ke-7 H/628M, juga karena mereka melanggar Piagam Madinah.
Sebagai hukuman bagi mereka, Nabi membuat kesepakatan dengan Yusha ibn Nuh,
pemimpin Yahudi di Fadak, bahwa orang-orang Yahudi boleh tetap tinggal di Fadak
dengan syarat menyerahkan separoh tanah dan separoh hasil produksinya kepada
Nabi. Seperti halnya tanah yang ditinggalkan Bani Nazhir, tanah Fadak tersebut
diberikan khusus untuk Nabi sebagai fay’.
Sumber Pendapatan Nabi kedua sesudah fay’ adalah safi. Secara literal safi
berarti ‛sesuatu yang dipilih‛. Lebih teknis, Abu Ubayd dalam al-Amwal
mendefinisikan safi sebagai ‛sesuatu yang telah dipilih Nabi dari harta rampasan
(pasukan) non-Muslim sebelum dibagi‛. Apa yang dipilih oleh Nabi tersebut bisa
budak laki-laki dan budak perempuan, atau senjata dan kuda. Sebagai contoh, Nabi
memilih Safiyyah, anak perempuan salah seorang pemimpin Yahudi bernama
Huyayy bin Akhtab yang terbunuh di Khaibar, sebagai safi beliau.
Sumber Pendapatan Nabi ketiga adalah khumus al-khums atau pajak
seperlima, ditetapkan secara proporsional dalam prosentase tertentu, yaitu 20 persen
atau seperlima bagian.dari harta rampasan perang, dan sisanya dibagikan kepada
mereka yang berjasa dalam perjuangan Islam. Apa yang dipraktekkan Nabi ini
merupakan cara baru yang lebih modest dalam membagi harta rampasan perang,
sebab sebelum Islam pemimpin pasukan biasanya berhak mendapat seperempat
bagian (25 persen). Berdasarkan al-Qur’an, khums semula berasal dari harta orang

Sejarah Peradaban Islam .......23


non-Muslim. Tetapi berdasarkan Hadis, orang Muslim juga dikenakan aturan khums
jika menemukan ma’adin (barang tambang), rikaz (harta karun), mal madfun (harta
terpendam, harta yang terkubur) dan makharrij al-bahr (hasil laut).
Selain fay’, safi dan khumus al-khums yang dikategorikan sebagai
Pendapatan Nabi, pada masa Nabi juga ada pendapatan negara dari pajak (dalam
bentuk jizyah dan kharaj) dan zakat. Pajak pada masa Nabi dikumpulkan secara
terbatas hanya dari dari jizyah dan kharaj. Jizyah adalah pajak yang dipungut dari
kaum non-Muslim sebagai jaminan atas keamanan mereka. Jelasnya, jizyah adalah
pajak atas badan organisasi non-Muslim, khususnya ahli Kitab, sebagai jaminan
perlindungan atas jiwa, harta milik, ataupun untuk kebebasan menjalankan ibadah
menurut agama mereka serta pengecualian dari wajib militer. Dalam al-Qur’an
ditegaskan bahwa jizyah ditujukan untuk kelompok ahl-Kitab, yaitu orang Yahudi
dan Nasrani. Kewajiban membayar jizyah baru diisyaratkan Nabi pada tahun ke-9
hijriah ketika terjadi perang Tabuk, perang terakhir yang diikuti Nabi. Pada saat
terjadinya perang Tabuk tersebut turun ayat at-Taubah 9: 29 yang menyatakan,
‚Perangilah mereka yang tidak percaya kepada Allah maupun pada Hari Akhir, tidak
menjauhi larangan Allah dan Rasul-Nya, tidak mau mengakui Agama Yang Benar,
dari kalangan Ahli Kitab, sampai mereka membayarkan jizyah dengan kerelaan.
Berdasarkan ayat di atas, Nabi mengirim surat pada para raja dan pemimpin suku
non-Muslim untuk masuk Islam atau membayar jizyah, yang besarnya ditetapkan 1
dinar untuk tiap orang yang sudah akhir baligh. Jika tidak mau memeluk Islam, dan
menolak pula membayar jizyah, maka Nabi menyatakan perang terhadap mereka.
Harus diketahui bahwa penetapan jizyah ini bersyarat. Jika penguasa tidak bisa
menjamin keamanan jiwa dan harta para non-Muslim, maka penguasa wajib
mengembalikan jizyah tersebut. Bentuk pajak lainnya adalah dari kharaj atau pajak
pertanian. Kharaj pertama kali diberlakukan Nabi pasca penaklukan Khaybar, yaitu
sebagai denda terhadap kaum Yahudi yang sudah berulangkali terbukti mengkhianati
perjuangan Islam dengan menetapkan pajak 50 persen dari hasil pertanian mereka.
Sumber pendapatan negara lain berasal dari zakat, yang diwajibkan kepada
setiap Muslim yang memenuhi syarat. Pada masa Rasulullah zakat dikenakan pada al
-masyiyah (ternak), al-‘ayn (emas, perak dan koin), al-harts (pertanian) dan al-rikaz
(barang terpendam). Zakat sebagai sumber utama penerimaan pemerintah di era
Rasulullah dikumpulkan oleh petugas negara yang ditunjuk oleh Nabi, kemudian
dikirim ke Madinah. Dari hasil zakat yang terkumpul digunakan untuk membiayai
syiar agama Islam, membantu para fakir dan miskin. Zakat adalah suatu hal yang
sangat khusus dalam Islam. Walau zakat merupakan pendapatan negara khas Islam,
tetapi pajak bukanlah hal yang baru. Sebelum kedatangan Islam di negeri Persia juga
sudah ada pajak yang disebut gezit, dan di Romawi disebut tributen capitis.
Suatu hal yang perlu dicatat, Nabi beserta keluarganya tidak pernah dan
memang tidak mau menerima bagian dari zakat. Nabi kurang berkenan menerima
bagian dari zakat, sebab beliau sendiri pernah menyatakan, ‚zakat adalah ausakh al-

Sejarah Peradaban Islam .......24


nas‛ (sisa buangan manusia), dan ia (zakat tersebut) tidak diwajibkan kepada
Muhammad dan tidak pula kepada keluarga Muhammad‛. Sebagai Nabi, beliau tidak
pantas mendapatkan bagian harta dari ‚sisa buangan‛, melainkan justru dari bagian-
bagian harta yang terbaik, seperti dari fay’, safi, dan khumus al-khums.
Dari semua sumber Pendapatan Nabi tersebut, tidak semuanya digunakan
untuk kepentingan Nabi dan keluarganya. Sebagaimana sudah ditegaskan
sebelumnya, yang berhak menerima fay’ hanya Nabi. Begitu juga tentang
penggunaannya juga terserah kepada Nabi sebagai Rasul Utusan Allah. Jika Nabi
menerima fay’, biasanya langsung dibagikan pada hari itu juga. Misalnya dari tanah
Fadak, penghasilannya dialokasikan untuk orang-orang yang dalam perjalanan (ibn
sabil) sesuai kebutuhan mereka masing-masing. Kepada orang yang berkeluarga
diberikan dua bagian, sedang kepada yang bujangan diberikan satu bagian.
Kalau dalam mendistribusikan fay’ dilakukan sesuai kebutuhan, dalam
membagi-bagikan harta rampasan perang dilakukan sesuai kontribusi mereka masing
-masing. Bagi prajurit kavaleri biasanya diberikan dua bagian, sedang bagi prajurit
infantri diberikan satu bagian. Alasannya, kontribusi prajurit kavaleri yang
memerlukan pembiayaan untuk kudanya lebih besar dibanding kontribusi prajurit
infantri yang hanya bermodal tenaga saja.
Dari sisi pengeluaran pada zaman Rasulullah digunakan untuk kepentingan
dakwah, pendidikan, kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi, pertahanan dan
keamanan, kesejahteraan sosial, dan belanja petugas negara. Di bawah pimpinan
Muhammad negara bertanggung jawab terhadap golongan miskin, anak yatim, dan
janda yang tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan mereka sendiri. Sehubungan
dengan hal ini Nabi memproklamirkan tanggungjawab negara atas anak-anak yatim
dan terlantar, ‛Barang siapa yang meninggalkan harta, maka harta itu adalah untuk
ahli warisnya. Dan barang siapa meninggalkan kallan (anak-anak terlantar tanpa
pengasuh dan biaya perawatan), maka itu adalah kewajiban kita‛. Kalau
diperhatikan, ketentuan untuk memelihara anak-anak yatim dan terlantar ini juga
ada dalam Undang-Undang Dasar 1945. Bedanya, kalau apa yang diucapkan Nabi
betul-betul dipraktekkan, sementara yang ada dalam Undang-Undang Dasar 1945
hanya berupa dokumen tertulis saja, tetapi tidak pernah dipraktekkan.
Kebijakan pengelolaan keuangan negara pada masa Rasulullah dilakukan
secara hati-hati. Pada prinsipnya di zaman Rasulullah kebijakan pengeluaran hanya
dilakukan kalau ada pemasukan. Nabi tidak suka pada kebijakan anggaran defisit,
dimana pengeluaran lebih besar ketimbang pemasukan atau pendapatan. Beliau
paling anti jika pengeluaran dilakukan dengan cara berutang. Ketika menasehati
seseorang, beliau berkata: ‚Kurangi berutang, maka engkau akan hidup sebagai
orang bebas‛. Apalagi jika pengeluran yang dipenuhi dengan cara berutang tersebut
dilakukan dengan membuat utang baru, tentu beliau lebih tidak suka.

Sejarah Peradaban Islam .......25


F. Muhammad sebagai Humanis dan Budayawan
Selain sebagai pedagang, tokoh agama, pemimpin dan negarawan, Nabi
Muhammad juga adalah seorang humanis sejati dan budayawan tulen. Beliau sangat
menjunjung tinggi keadilan, dan memberikan perhatian yang sangat tinggi terhadap
upaya meningkatkan harkat manusia melalui pendidikan, meletakkan kaum
perempuan pada posisi yang terhormat, bahkan juga berusaha keras membebaskan
perbudakan.

Prinsip Keadilan bagi Semua


Landasan utama yang digunakan Nabi sebagai pemimpin ialah adanya
hukum yang adil, yang penerapannya tidak dilakukan dengan pandang bulu. Sebagai
gambaran, ketika salah seorang dari keluarga al-Makhzumiyah kedapatan mencuri,
Usamah memberikan pertimbangan agar hukuman bagi al-Makhzumiyah
diringankan. Atas pertimbangan Usamah tersebut Nabi bersabda: ‛Ya Usamah,
janganlah engkau memberi syafaat terhadap hukuman Allah. Sesungguhnya,
binasanya kaum sebelum kamu karena bila yang mencuri orang terpandang, mereka
membiarkannya, tetapi bila yang mencuri rakyat jelata, hukuman dilaksanakannya.‛
Sehabis mengucapkan kata-kata tersebut, Nabi menyambung dengan sebuah
ungkapan yang sering dijadikan para pakar hukum sebagai patokan dalam
menegakkan keadilan: ‛Demi Allah yang diriku ditangan-Nya, jikalau Fathimah
binti Muhammad kedapatan mencuri, niscaya aku akan potong tangannya!‛.
Untuk menegakkan keadilan, Nabi selalu mengajak umatnya untuk
menegakkan ‛amar ma’ruf nahi mungkar‛. Menurut Nabi, ‛Jika seseorang melihat
sesuatu yang mungkar sedang dilakukan, maka dia harus menghentikannya dengan
kedua tangannya. Bila ia tidak bisa melakukannya maka harus dengan lisan, dan jika
inipun tidak bisa maka ia harus mengecam dengan hatinya. Ketahuilah yang terakhir
ini adalah derjat iman yang terendah‛.
Sebagai pemimpin yang memperhatikan kesejahteraan umatnya, Nabi
melarang pejabat menerima hadiah dari rakyat. Pada suatu hari ada penduduk yang
melaporkan bahwa seorang gubernur menerima hadiah dan kado dari masyarakat.
Untuk menyelidiki kebenaran laporan tersebut, Nabi memanggil gubernur tersebut
dan bertanya: ‛Mengapa Anda mengambil sesuatu yang bukan hak Anda?‛ Si
gubernur menjawab, ‛Wahai Rasulullah, yang saya lakukan hanya mengambil
hadiah‛. Mendengar jawaban tersebut Nabi kembali bertanya: ‛Seandainya Anda
diam saja di rumah dan tidak bekerja, apakah masyarakat akan mendatangi Anda
untuk memberikan hadiah?‛ Karena terbukti si gubernur sudah mengambil sesuatu
yang bukan haknya, maka Nabi menyuruh gubernur tersebut memberikan harta
tersebut ke baitul mal, dan sesudah itu beliau langsung memecat si gubernur. Dari
kisah di atas jelas bahwa bagi Nabi pejabat harus bersikap sebagai bapak yang
memperhatikan kebutuhan anak-anaknya, bukan sebagai perampok atau penguras

Sejarah Peradaban Islam .......26


harta rakyat. Jika menerima hadiah saja dilarang, apalagi pejabat yang nyata-nyata
merampas harta rakyat, tentulah beliau lebih murka.
Nabi memaknai keadilan dalam arti yang sangat luas, termasuk di dalamnya
keadilan dalam pemanfaatan sumberdaya. Dalam sebuah Hadis beliau menandaskan:
‛Ada tiga benda yang sama-sama dimiliki oleh orang dengan adil: air, tumbuh-
tumbuhan dan api‛. Dalam versi lain dikatakan bahwa Nabi pernah bersabda,
‛Semua manusia mempunyai hak yang sama atas air, tumbuh-tumbuhan dan
api‛ (Jordac, 2004).
Nabi Muhammad selalu berusaha membebaskan manusia dari penindasan,
kemiskinan, kebodohan dan kepapaan. Sebagai pemimpin yang adil, Nabi
menghapuskan kasta-kasta dalam masyarakat dan membebaskan para budak. Dalam
sebuah Hadis Nabi mengancam orang yang merampas tanah milik orang lain, ‛Allah
Yang Maha Kuasa akan menggantungi tujuh lapis tanah di leher orang yang
merampas tanah orang lain‛.
Nabi paling tidak menyukai apa yang disebut kemiskinan. Sebagai pemimpin
yang adil Nabi selalu menganjurkan untuk memberikan upah yang layak kepada para
pekerja dan menyuruh umatnya mencontoh praktek yang dilakukannya. Dengan
memberikan upah secara adil, beliau berharap jumlah orang yang fakir serta miskin
berkurang. Dalam skala lebih luas Nabi berusaha menghilangkan jurang antara
sesama anggota masyarakat yang didasarkan atas harta kekayaan, jabatan, keturunan
dan warna kulit. Dalam sebuah Hadis beliau menyampaikan, ‛Seluruh manusia sama
kedudukannya. Adapun yang paling mulia di antara manusia adalah yang paling taat
pada Allah dan paling bermanfaat bagi sesama manusia‛.
Sesungguhnya masih banyak jasa yang diperbuat Nabi semasa hidup beliau.
Misalnya dilihat dari segi kemanusiaan, Muhammad adalah orang yang paling
berjasa mengganti praktik riba yang zalim dan menindas dengan prinsip-prinsip
zakat dan sedekah untuk membantu mereka yang miskin dan lemah serta
berkekuarangan. Nabi juga berhasil menghapus praktik perjudian, pelacuran, dan
perilaku mabuk-mabukan, suatu hal yang sebelumnya sangat lumrah dalam
masyarakat jahiliyah.
Suatu hal yang perlu mendapat perhatian, berbuat adil bagi Nabi tidak hanya
terhadap sesama Muslim, tetapi juga termasuk pada orang-orang atau kelompok-
kelompok non-Muslim, bahkan orang kafir sekalipun. Sabda beliau: ‛Barang siapa
berlaku zalim kepada orang kafir yang mengadakan perjanjian atau membebaninya di
atas kemampuannya, atau mengurangi dan mengambil sesuatu tanpa kerelaan
hatinya, maka saya pada hari akhir nanti akan menjadi saksi baginya‛. Moga-moga
saja peringatan Rasulullah ini dapat menjadi bahan peringatan bagi berbagai
kelompok yang mengatas namakan Islam di tanah air akhir-akhir ini, yang cenderung
berlaku zalim dengan tindak kekerasan bagi warga non-Muslim.
Jauh dari menyakiti kelompok, ras atau agama lain, Nabi justru
memperlakukan mereka dengan cara-cara yang tidak ada tandingannya dalam

Sejarah Peradaban Islam .......27


sejarah. Misalnya tahun keenam hijriah Nabi memberikan hak-hak istimewa dan
kelonggaran kepada orang Kristen melalui sebuah piagam kepada rahib-rahib di biara
St.Katharina dekat Bukit Sinai. Dalam piagam tersebut juga secara eksplisit
dinyatakan bahwa tiap orang Muslim yang melanggar dan menyalahgunakan apa-apa
yang telah ditentukan dalam piagam harus dianggap sebagai pelanggaran terhadap
wasiat Tuhan. Nabi sendiri menjamin dan para pengikutnya juga diminta melindungi
gereja dan tempat kediaman para pendeta, serta menjaga supaya mereka tidak
diganggu. Mereka tidak boleh dikenakan pajak-pajak secara tidak adil, tidak boleh
dipaksa meninggalkan agamanya, tidak boleh menahan peziarah yang dalam
perjalanan, tidak boleh meruntuhkan gereja untuk mendirikan mesjid ataupun rumah
untuk orang Muslim (Ali, 1978).
Perlakuan baik oleh Nabi kepada kaum non-Muslim, termasuk pemeluk
agama Kristen, diakui Sir Thomas Arnold dalam bukunya ‛The Preaching of Islam‛
yang menulis, ‛Dalam abad pertama pemerintahan Islam, berbagai gereja Kristen
diperlakukan dengan toleransi dan diberikan kemerdekaan beragama seperti tidak
pernah dikenal angkatan demi angkatan di bawah pemerintahan Byzantium‛.

Upaya Rasulullah Meningkatkan Pendidikan


Walaupun Nabi buta huruf, namun beliau memiliki perhatian yang sangat
tinggi terhadap dunia pendidikan, kegiatan penelitian dan tulis menulis. Untuk
meningkatkan pendidikan kaum Muslim, terhadap pasukan Quraisy yang tertawan
dalam Perang Badar dibebaskan dengan syarat tiap mereka masing-masing
mengajarkan baca-tulis pada 10 anak-anak Muslim. Nabi juga memerintahkan agar
para tuan untuk mendidik budak-budaknya. Nabi selalu mengajurkan umat Islam
untuk menuntut ilmu karena banyak sekali manfaatnya. Banyak Hadis yang
memerintahkan umat Islam mencari ilmu. Hadis yang paling populer adalah,
‛Tuntutlah ilmu, hingga ke negeri Cina sekalipun‛. Selain itu baginda Rasul
mengatakan, ‛Carilah ilmu, karena orang yang memperolehnya dijalan Allah
melakukan pekerjaan bakti: barangsiapa yang mencarinya, memuji Tuhan;
barangsiapa mengajarkannya, memberi sedekah; dan barangsiapa yang
menyampaikannya pada tujuan yang tepat, mengabdi kepada Tuhan‛. Hadis lainnya
lagi berbunyi, ‛Barang siapa meninggalkan rumahnya mencari ilmu, ia berjalan di
jalan Allah‛. Dalam sebuah Hadis dikatakan: ‛Ilmu memberikan kepada yang
memilikinya pengetahuan untuk membedakan apa yang terlarang dan apa yang
tidak‛, ‛Ilmu menerangkan jalan ke sorga‛, ‛Ilmu adalah perhiasan kita dalam
pergaulan dengan teman-teman‛, ‛Ilmu adalah sahabat kita di padang pasir, kawan
kita dalam sepi, teman kita apabila kehilangan sahabat-sahabat‛, ‛Ilmu adalah
perisai terhadap musuh‛, ‛Ilmu memimpin kita kepada kebahagiaan dan mendukung
kita dalam kesengsaraan‛, ‛Dengan ilmu pengabdi Tuhan mencapai derjati kebaikan
yang tinggi dan kedudukan yang mulia, dapat berhubungan dengan raja-raja di dunia
dan sampai kepada kesempurnaan kebahagiaan di akhirat‛. Bagi mereka yang

Sejarah Peradaban Islam .......28


berjuang dalam bidang pendidikan melalui tulisan-tulisannya, Nabi berkata: ‛Tinta
seorang ilmuwan itu lebih suci daripada darahnya para sahid‛.
Walaupun Nabi dikenal sebagai negarawan, pedagang ulung, pencipta sistem
ekonomi pasar, dan pencinta ilmu pengetahuan, perlu dikemukakan bahwa Nabi
tidak mengeluarkan teori-teori politik, ekonomi dan filsafat yang utuh.
Bagaimanapun, Nabi mengakui prinsip kebebasan berfikir untuk segenap individu.
Dengan demikian bagaimana format politik, ekonomi dan filsafat Islam,
wewenangnya diserahkan pada umat untuk merincinya lebih detil, asal mengacu
pada rambu-rambu umum syariah.
Islam yang disampaikan Muhammad menjamin hak berijtihad, yaitu prinsip
kebebasan berpikir bagi setiap individu. Dengan kata lain, Islam mengakui hak tiap
orang untuk berfikir independen dan untuk mengikuti hasil yang dicapai dari
pemikiran mereka. Dilihat dari sisi ini, dapat dikatakan bahwa dari semua agama
yang ada, hanya Islam yang mengakui hak berijtihad ini. Sebelum Islam dalam
agama dan peradaban manapun pengakuan hak berijtihad ini tidak atau belum ada.
Pengakuan yang sama baru ada di Eropa kira-kira seribu tahun kemudian,
dikampanyekan oleh tokoh seperti Martin Luther, yang akar-akarnya justru mereka
ambil dari ahli-ahli filsafat Islam seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina dan terutama
Ibnu Rusyd.
Dengan adanya hak berijtihad ini Nabi telah memberi wewenang kepada
umatnya untuk menentukan segala hal yang berkaitan dengan detil dan rincian
sistem pemerintahan Islam sekaligus menentukan format-formatnya yang cocok
untuk tiap kelompok masyarakat di kemudian hari. Islam yang dibawakan Nabi tidak
mewariskan sistem dan aturan baku siap pakai dalam berbagai bidang politik,
ekonomi, hukum seperti yang terdapat dalam bidang akidah yang memang tidak
boleh diperdebatkan dan diubah. Tetapi untuk selain akidah, setiap orang boleh
berijtihad. Adanya hak setiap orang untuk berijtihad merupakan faktor yang sangat
penting dalam perkembangan pemikiran di seluruh bidang keilmuan nantinya.

Perhatian terhadap Wanita


Islam yang dibawakan Muhammad menetapkan sejumlah hak dan
keistimewaan terhadap wanita. Rasulullah memberikan kepada wanita hak-hak yang
sebelumnya tidak mereka punyai dan nikmati. Nabi memberikan kepada kaum
wanita kedudukan yang tidak berbeda dengan pria dalam menjalankan segala
kekuasaan hukum dan jabatan. Tentang hal ini dalam al-Qur’an ditegaskan bahwa:
‛Para wanita mempunyai hak-hak tertentu atas laki-laki sebagaimana laki-laki
mempunyai hak-hak tertentu atas wanita‛. Dapat dikatakan bahwa ‛privelege‛
seperti ini belum pernah dirasakan wanita ras manapun di dunia, bahkan juga di
Yunani yang konon diakui sebagai bangsa paling berbudaya. Justru pada masa itu di
Yunani para wanita diperlakukan sebagai hamba sahaya, bisa diperjual-belikan atau
dipindah-tangankan sekehendak suaminya (Ali, 2003).

Sejarah Peradaban Islam .......29


Kalau bangsa-bangsa lain sebelumnya memperlakukan wanita sebagai
mainan dan hamba sahaya, Nabi menandaskan bahwa salah satu ajaran Islam yang
asasi adalah penghormatan terhadap wanita. Keberpihakan Nabi terhadap wanita
juga dapat dilihat dari beberapa seruan dan ajakannya agar memperlakukan wanita
dengan baik, seperti: ‛Sorga berada di bawah telapak kaki ibu‛, ‛Istri adalah
permaisuri rumahtangga‛, dan ‛laki-laki terbaik di antara kamu adalah yang terbaik
memperlakukan isterinya‛. Dilihat dari beberapa semboyan di atas tidak diragukan
lagi bahwa beliau adalah sesorang tokoh yang paling berjasa meningkatkan derjat
wanita, dari yang sebelumnya terhina.
Lebih dari sekedar penghormatan dan penghargaan, perempuan dalam
hukum waris Islam mendapat satu bagian, dan laki-laki mendapat dua bagian dari
harta waris. Walau perempuan mendapat bagian yang lebih kecil dari laki-laki,
namun formulasi tersebut adalah sebuah terobosan agama Islam yang signifikan,
bahkan revolusioner, atas eksistensi sosial-ekonomi perempuan kala itu, sebab pada
era pra-Islam, alih-alih mendapat bagian dari harta waris, perempuan justru menjadi
bagian dari yang diwariskan (Ja’far, 2007).
Sebagai orang yang menghargai wanita, Nabi dengan cara berangsur-angsur
melarang kebiasaan kawin bersyarat, sesuatu hal yang lumrah dalam masyarakat
waktu itu. Pada awalnya kebiasaan kawin bersyarat hanya ini dikritik sebagai
perbuatan yang tidak baik. Namun sejak tahun ketiga hijriah kebiasaan kawin
bersyarat ini dilarang. Kelenturan seperti ini menunjukkan bahwa aturan-aturan yang
ada dalam al-Qur’an bisa disesuaikan mulai dari masyarakat yang paling tidak
beradab hingga yang paling beradab.
Banyak orang – terutama kaum wanita – tidak suka dengan ayat al-Qur’an
yang membolehkan seorang pria mengawini lebih dari satu wanita, sesuai ayat,
‛Kamu boleh mengawini dua, tiga atau empat wanita, tetapi tidak boleh lebih‛.
Bagaimanapun ada yang kurang dicermati, dimana dalam baris-baris selanjutnya ada
tambahan, ‛Tetapi jika kamu tidak sanggup memperlakukan semuanya dengan adil
dan benar, kamu harus mengawini seorang saja‛. Kita lihat betapa pentingnya
pengecualian ini, terutama arti kata adil (’adl). Sebagaimana diketahui, dalam Islam
’adl bukan semata-mata berarti persamaan memperlakukan dalam hal makanan,
pakaian dan tempat kediaman serta keperluan rumahtangga lainnya seperti
kenderaan, tetapi juga tidak membeda-bedakan sama sekali dalam hal cinta, kasih
sayang dan penghormatan.

Upaya Membebaskan Perbudakan


Nabi adalah pencinta kebebasan dan kemerdekaan. Beliau ingin agar setiap
Muslim bisa meraih potensi terbaik yang ada dalam diri tiap Muslim. Tetapi
kebebasan dan kemerdekaan yang dipromosikan Nabi adalah kebebasan dan
kemerdekaan yang bertanggungjawab, sesuai dengan aturan yang termaktub dalam

Sejarah Peradaban Islam .......30


Piagam Madinah. Sebagai seorang perancang undang-undang, Nabi bahkan membuat
aturan bagaimana seharusnya memperlakukan budak.
Kepada Zanba’ yang telah memperlakukan budaknya dengan semena-mena,
Rasulullah berkirim surat sebagai berikut: ‛Jangan kamu bebani budak-budakmu
dengan hal-hal yang tak sanggup mereka pikul. Berilah mereka makanan yang kamu
makan, dan berilah mereka pakaian seperti yang kamu pakai. Jika kamu suka
tetaplah memilikinya terus, dan jika tidak menyukainya lagi juallah mereka.
Janganlah sekali-kali menyiksa sesama makhluk Allah. Budak yang dihukum berat
hingga cacat atau dibakar dengan api, statusnya dengan sendirinya menjadi merdeka.
Ia adalah orang yang dikasihani Allah serta Rasul-Nya‛ (Sayyidul Ahal, 2002).
Selain pembela kaum budak, Nabi Muhammad juga sering memperingatkan
umat Islam untuk tidak memperlakukan kelompok dzimmi (non-Muslim) dengan
cara-cara yang tidak pantas. Tentang hal ini beliau dengan tegas mengatakan,
‛Barang siapa menganiaya seorang dzimmi atau menimpakan beban kepadanya
melebihi kemampuannya, maka akulah yang akan menjadi pendakwanya di Hari
Pembalasan‛.
Bagaimana ketokohan nabi sekaligus ketinggian nilai-nilai Islam, dapat
disimak dari khotbah beliau yang terakhir, yaitu khotbah yang disampaikan waktu
melaksanakan Haji Wada’. Dalam khotbah terakhir tersebut disampaikan beberapa
hal yang sangat prinsip dalam agama Islam, di antaranya: larangan menumpahkan
darah (kecuali dengan haq); larangan mengambil harta orang lain dengan bathil; serta
larangan riba dan menganiaya. Selain itu juga disampaikan beberapa perintah yang
harus dipatuhi seorang laki-laki Muslim, seperti menjauhi dosa-dosa besar; menjauhi
pertengkaran; menegakkan persaudaraan; memperlakukan para isteri dengan baik
dan lemah lembut; bahkan memperlakukan budak atau hamba sahaya dengan baik.
Di atas segala-galanya, yang paling ditekankan Nabi adalah agar umat Islam selalu
berpegang pada dua sumber utama agama Islam, yaitu Qur’an dan Hadis. Menurut
Fazlur Rahman dalam ‛Islam‛ (1984), jika disimpulkan semua perintah dan larangan
yang disampaikan oleh Nabi dalam khotbah terakhir tersebut, isinya adalah tentang
prinsip-prinsip kemanusiaan, persamaan, keadilan sosial, kebajikan dan solideritas.
Sayang pejuang Islam, pemimpin dan negarawan ulung ini tidak berusia
panjang. Sewaktu beliau menyampaikan khutbah di Arafah tangal 23 Februari 632 M
dalam rangka melaksanakan haji (yang dikenal dengan jahi wada’), turun wahyu
terakhir yang menyatakan, ‚Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Aku cukupkan Nikmat-Ku, dan telah Aku ridhoi Islam menjadi
agamamu‛ (al-Maidah: 3).
Ayat di atas seperti ‛mengisyaratkan‛ bahwa keberadaan beliau di bumi ini
tidak akan lama. Hal ini memang menjadi kenyataan. Setelah kembali ke Madinah,
beliau merampungkan organisasi masyarakat Islam yang terdiri dari berbagai
kelompok suku atau kabilah. Selain itu beliau mengatur peradilan, juga mengatur
tatacara pemungutan zakat. Beliau mengirim utusan ke berbagai daerah dan kabilah

Sejarah Peradaban Islam .......31


untuk mengajarkan dan menyebarkan agama Islam. Setelah berbagai prinsip-prinsip
pokok tentang agama, juga politik, pemerintahan dan ekonomi dibenahi, beliau
dipanggil Sang Pencipta tanggal 12 Rabiul Awal tahun ke-11 Hijriah atau 8 Juni 632
Masehi.

Penutup
Dari pembahasan di atas dapat dikatakan bahwa tidak banyak perdebatan di
antara umat tentang masalah-masalah politik, ekonomi, hukum, sosial dan budaya
pada era kenabian. Sebabnya, setiap terjadi perbedaan pendapat tentang sesuatu hal
mereka dapat menanyakan sekaligus menyerahkan masalah-masalah yang dihadapi
kepada Rasulullah, dan kemudian beliau memutuskan setiap persoalan yang dihadapi
dengan adil, dan umat menaati keputusan Nabi dengan baik. Namun sepeninggal
beliau, kaum Muslimin merasakan kekosongan kepemimpinan dan ‛melihat‛ di
hadapan mereka terbentang masalah-masalah dan tanggungjawab besar akibat dari
kekosongan yang ditinggalkan Nabi tersebut.
Salah satu persoalan nyata yang dihadapi umat adalah dalam masalah
kepemimpinan negara, yang tidak diatur dengan tegas dan rinci baik dalam al-Qur’an
maupun as-Sunnah. Sehubungan dengan masalah kepemimpinan ini DR. Dhiauddin
Rais (2001) merangkum beberapa pendapat orientalis yang mencoba mencari
jawaban mengapa Nabi tidak menjelaskan masalah kepemimpinan negara tersebut
secara tuntas. Misalnya, ada orientalis yang mengatakan, ‛Barangkali, sakit beliau di
akhir hayatnya telah menghalangi beliau untuk melakukan hal itu‛. Orientalis
lainnya, yiatu Thomas Arnold, menyatakan, ‛Sebabnya adalah karena Nabi tidak
mau melanggar adat istiadat Arab yang berlaku pada masa beliau‛.
Menurut Dhiauddin Rais lebih lanjut, pandangan-pandangan spekulatif
seperti disebutkan di atas tidak bisa diterima. Menurut beliau, faktor utama yang
melatarbelakangi hal itu adalah karena adanya hikmah syariat yang besar yang
dikehendaki dengan tidak dijelaskannya hal (masalah kepemimpinan) itu dengan
tuntas, yaitu agar tidak mengikat umat Islam dengan aturan-aturan baku yang kaku,
yang kemudian bisa tidak cocok dengan perkembangan yang terus terjadi, serta tidak
sesuai dengan situasi dan kondisi. Syariat Islam memang berkehendak agar undang-
undang Islam terus bersifat lentur, sehingga memberi kesempatan kepada akal
manusia untuk berpikir, dan umat Islam dapat menciptakan sendiri sistem politik
dan kemasyarakatannya, sesuai dengan kebutuhan mereka yang terus berubah-ubah.

Sejarah Peradaban Islam .......32


ERA KHULAFAUR-RASYIDDIN

Masa 30 tahun berikutnya sejak Nabi wafat tahun 632M hingga tewasnya
Ali tahun 661M dikenal sebagai era Khulafaur Rasyidin (The Right Guided
Successors). Era Khulafaur-Rasyidin merupakan cermin kejayaan Islam yang diraih
dengan berbagai perangkat dan tetap berada di bawah prinsip-prinsip konsultasi dan
akomodasi. Pada era Khulafaur-Rasyidin pengangkatan khalifah dilakukan atas dasar
prinsip-prinsip demokrasi, yang dilakukan oleh diwan syura melalui proses
musyawarah dan pilihan dengan bai’at, bukan sistem turun temurun. Tidak ada
khulafaur-Rasyidin yang mewariskan jabatan khalifah kepada putra-putra mereka.
Pada umumnya ulama sepakat bahwa pada era khulafaur-Rasyidin keimamahan
sangat sempurna, sebab idealisme Islam selaras dengan realita.

A. Abu Bakar al-Shiddiq (11-13H/632-634M)


Setelah Nabi Muahammad SAW wafat, peran beliau sebagai pemimpin umat
Islam digantikan oleh sahabat beliau yang paling dekat, yaitu Abu Bakar Shiddiq.
Suatu hal yang perlu diketahui, terpilihnya Abu Bakar sebagai pemimpin Negara
Islam yang baru tidaklah berjalan sangat mulus. Pada waktu masyarakat bingung
menerima kenyataan Nabi wafat, masyarakat Anshor menyelenggarakan
musyawarah di Saqifah (semacam gedung atau balai pertemuan) Bani Sa’idah untuk
mengangkat seorang pemimpin dari kalangan mereka sendiri, yaitu Sa’id ibn
Ubaydillah, seorang tokoh masyarakat suku Khajraj. Untunglah sebelum keputusan
tersebut dilaksanakan, dalam situasi krisis seperti ini datang Abu Bakar, Umar bin
Khattab dan Abu Ubaydah. Selanjutnya berlangsung dialog politik yang mirip
dengan muktamar nasional atau muktamar luar biasa untuk membicarakan nasib
umat Islam sepeninggal Baginda Rasul, sebuah landasan bagi institusi politik baru
dalam Islam. Bagaimana suasanya dalam muktamar tersebut digambarkan

Sejarah Peradaban Islam .......33


D.B.Macdonald dalam ‛Development of Muslim Theology, Jurisprudence and
Constitutional Theory‛ sebagai berikut: ‛Pertemuan itu berlangsung layaknya
sebuah muktamar politik di era modern yang didalamnya berlangsung perdebatan-
perdebatan politik yang menggunakan metode-metode perdebatan modern‛ (Rais,
2001).
Menurut kaum Anshor, mereka yang lebih berhak memegang jabatan
kekhalifahan, sebab mereka yang paling nyata dalam membela Islam, tepatnya
membela Nabi dan agama Islam dengan jiwa dan harta mereka, selanjutnya mereka
pula yang memberikan tempat dan pertolongan kepada Nabi dan kaum Muhajirin,
dan bahwa merekalah penduduk asli Madinah, kota kecintaan Nabi Muhammad. Abu
Bakar mengakui dan memuji perjuangan kaum Anshor dalam perjuangan Islam,
tetapi menurut beliau penguasa dari kaum Quraisy lebih tepat untuk memimpin umat
Islam. Hal ini disokong kaum Muhajirin dengan mengatakan bahwa merekalah yang
lebih berhak, sebab mereka yang pertama kali menyembah Allah SWT di permukaan
bumi, merekalah orang-orang kepercayaan Rasul dan keluarga beliau, dan yang
bersabar bersama beliau dalam menerima penganiayaan yang keras dari kaum kafir
Quraisy.
Karena belum ada kesepakatan, orang Anshor mengusulkan agar memilih
seorang pemimpin untuk golongan masing-masing. Terhadap usulan ini Umar
dengan tegas menolak dan menyatakan bahwa dua pemimpin tidak dapat berkuasa
bersama. Sesudah Umar selesai bicara, Abu Bakar mengusulkan, ‚Hendaklah kamu
sekalian memilih di antara Umar dan Abu Ubaydah sebagai khalifah‛. Tetapi
keduanya menolak usul Abu Bakar. Dalam suasana yang semakin kritis, Umar
mengangkat tangan Abu Bakar sambil menyatakan sumpah setia kepadanya, dan
langsung membai’at Abu Bakar sebagai khalifah. Sikap Umar ini diikuti Abu
Ubaydah, dan kemudian satu persatu tokoh-tokoh Anshor juga menyatakan kerelaan
dan kesetiaan mereka pada Abu Bakar.
Dari dialog di atas jelas bahwa walau terjadi perdebatan yang cukup sengit
antara kelompok Muhajirin dan Anshor, dan masing-masing menggunakan semua
argumentasi untuk meyakinkan pihak lain bahwa mereka yang lebih berhak, tetapi
kemenangan bukan ditentukan siapa yang bisa ‛membeli suara‛ sebagaimana yang
kita saksikan dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia pasca reformasi,
melainkan betul-betul ingin mencari siapa calon terbaik untuk memimpin umat
Islam setelah Nabi wafat. Suatu hal yang perlu dikemukakan, Abu Bakar bukan
dipilih karena beliau berasal dari suku Quraisy, melainkan karena keutamaan dan
kelebihan beliau dibandingkan dengan calon-calon yang ada.
Dari beberapa keutamaan yang dimiliki oleh Abu Bakar, yang paling
menonjol di antaranya adalah sebagai berikut. Sebagai sahabat Nabi paling dekat,
Abu Bakar adalah laki-laki pertama yang menjadi pemeluk Islam, atau kedua
sesudah Khadijah. Abu Bakar adalah sahabat Rasul yang paling setia, termasuk yang
ikut menemani Nabi ketika hijrah dari Makkah ke Madinah. Tentang sahabatnya

Sejarah Peradaban Islam .......34


yang setia ini Rasulullah pernah bersabda, ‛Sesungguhnya aku tidak mengenal teman
yang lebih baik dan lebih bermanfaat bagiku daripada Abu Bakar‛. Bahwa Abu
Bakar adalah orang yang paling dicintai Nabi, dalam sebuah Hadis dikatakan, ‛Dan
kalaulah aku boleh memilih seorang kekasih di antara para hamba Allah, niscaya aku
akan memilih Abu Bakar. Akan tetapi (yang dibolehkan hanya sebatas) persahabatan
dalam persaudaraan seiman, hingga (tiba saatnya) Allah menyatukan kita di sisinya‛.
Adalah karena kesetiaannya pada Nabi Muhammad tidak pernah berkurang dan
keimanannya terhadap dakwah Nabi tidak pernah goyang dalam kondisi yang
bagaimanapun, ia diberi gelar al-Shiddiq (penuh kepercayaan). Tentang keutamaan
Abu Bakar, Umar bin Khattab yang terkenal keras dan gagah perkasa saja pernah
berkata, ‛Tidak ada di antara kalian yang dapat menundukkan semua orang seperti
Abu Bakar‛. Selain itu Abu Bakar adalah sahabat yang paling berhasil
mengislamkan banyak orang. Dalam pemerintahan Islam semasa Nabi, beliau juga
dipercaya menangani urusan eksekutif.
Selain semua keutamaan Abu Bakar di atas, ‛tanda-tanda‛ bahwa Abu Bakar
adalah ‚pewaris‛ kepemimpinan Nabi terlihat paling jelas sewaktu dalam sakitnya
yang terakhir Nabi Muhammad SAW meminta Abu Bakar untuk menggantikan
beliau sebagai imam shalat. Ketika itu Rasul bersabda, ‛Perintahkan kepada Abu
Bakar untuk shalat mengimami orang banyak‛. Sesuai perintah Nabi, Abu Bakar
menggantikan Nabi sebagai imam tiga hari, secara keseluruhan 17 raka’at, sebelum
Nabi wafat. Para ulama umumnya sepakat bahwa perintah Nabi untuk menggantikan
beliau sebagai imam tersebut merupakan isyarat paling kuat untuk menjadikan Abu
Bakar sebagai pemimpin umat Islam sepeninggal beliau.
Setelah Umar menyatakan bai’at kepada Abu Bakar, hal yang sama diikuti
oleh Abu Ubaydah dan seluruh tokoh-tokoh Anshor serta seluruh rakyat yang
menghadiri persidangan di pendopo Bani Sa’idah. Setelah semua yang hadir
menyatakan baiat kepada Abu Bakar, kelompok Muhajirin dan Anshor kembali
bersatu melanjutkan perjuangan Rasul untuk menegakkan agama Islam. Tidak ada
protes dan demo anarkis oleh pihak-pihak yang calonnya kalah dalam pemilihan
seperti yang sering terjadi dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia.

Abu Bakar sebagai Khalifah Pertama


Pemilihan Abu Bakar sebagai khalifah yang pertama dikuatkan dengan
pembai’atan oleh rakyat secara umum di dalam mesjid pada keesokan harinya.
Menurut Ahmad (2001), ada empat tokoh Islam yang tidak hadir dalam pembai’atan
tersebut: Ali bin Abi Thalib dan isterinya Fathimah, Abbas bin Abdul Muthalib dan
Sa’ad bin Ubaydah. Terlepas dari ketidak hadiran empat orang tokoh Islam yang
disebutkan di atas, sesudah upacara pembai’atan Abu Bakar naik ke atas mimbar
menyampaikan khotbah pelantikan dihadapan khalayak. Setelah menyampaikan
tahmid dan puji-pujian kepada Allah, Abu Bakar berkata: ‚Wahai sekalian manusia,
sesungguhnya aku telah dijadikan wali (pemimpin) untuk kamu sekalian, padahal

Sejarah Peradaban Islam .......35


aku bukanlah yang terbaik di antara kalian…Jika aku melakukan kebaikan, bantulah
aku, dan ketika aku melakukan kejelekan, luruskanlah aku…kejujuran merupakan
perwujudan amanat, sedangkan kebohongan berarti pengkhianatan‛.
Dalam pidato pelantikan tersebut Abu Bakar juga menyinggung perlunya
bagi umat Islam untuk melakukan jihad, ‚Tidak seorangpun di antara kalian yang
meninggalkan jihad di jalan Allah, karena sesungguhnya tidak ada satu kaumpun
yang meninggalkan jihad kecuali Allah timpakan kepada mereka kehinaan, dan
tidaklah merajalela perbuatan keji pada suatu kaum kecuali Allah sebarluaskan
dalam kalangan kaum itu berbagai musibah. Selanjutnya dalam pidato pelantikannya
sebagai khalifah tersebut Abu Bakar mengucapkan kata-kata bijak yang sering
dikutip tentang karakter pemimpin yang baik: ‚Jika aku bertindak dengan hukum
Allah dan Rasul-Nya, taatilah aku, tetapi jika aku mengabaikan ketentuan Allah dan
Rasul-Nya, tidaklah layak kalian mentaatiku!‛.
Dari pidato tersebut Abu Bakar menyiratkan bahwa adalah hak umat untuk
mengoreksi para pemimpinnya. Umat harus mendukung pemimpin ketika ia berbuat
kebajikan. Tetapi selain itu umat juga berhak meluruskan, mengkritisi dan
memberikan saran jika si pemimpin berbuat salah. Bahkan, umat tidak wajib
mentaati pemimpin jika si pemimpin telah nyata-nyata berbuat sesuatu yang
bertentangan dengan ketentuan yang digariskan oleh Allah dan rasul-Nya.
Membiarkan pemimpin berbuat salah, apalagi ‚menjilat‛ pemimpin yang nyata-
nyata melakukan pelanggaran demi mendapat kedudukan, bukanlah ciri umat Islam.
Abu Bakar as-Shiddiq resmi menjadi pemimpin Negara Islam yang
ditinggalkan Nabi Muhammad saw setelah ada bai’at dari rakyat. Pada mulanya
rakyat memberikan gelar Khalifatullah atau Khalifah Allah kepada beliau. Tetapi
Abu Bakar menolak gelar tersebut, dan lebih memilih gelar Khalifah al-Rasul, yang
berarti ‚penerus‛, atau ‚wakil‛ atau ‚pengganti‛ Rasul. Alasannya, sebagai
pemimpin Islam yang baru fungsi beliau hanya sekedar menggantikan Rasul saja,
tidak lebih dari itu. Beliau lebih menyukai gelar yang lebih sederhana ini untuk
membedakannya dengan gelar-gelar lain yang mengandung kesombongan seperti
Kisra atau Kaisar yang lebih dekat artinya ke raja absolut, monarki dengan konotasi
lalim dan suka merampas hak-hak rakyat. Sedangkan gelar khalifah diberikan kepada
Abu Bakar selain memang untuk menggantikan Rasulullah, juga karena fungsi
pemimpin dalam Islam adalah untuk memimpin umat Islam dan memelihara
kemaslahatan mereka.
Menurut Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah, pada hakikatnya menjadi
khalifah berarti bertindak sebagai pengganti pembawa syari’at (Nabi Muhammad).
Tugasnya tidak hanya mengurus hal-hal yang menyangkut keagamaan, tetapi juga
hal-hal duniawi. Untuk menjalankan tugas keagamaan, khalifah dengan segenap
kemampuannya memobilisasi masa untuk menjalankan kewajiban syari’at, sedang
untuk menjalankan tugas keduniawian ia mengurusi kepentingan umum peradaban
umat manusia. Kalau bisa diibaratkan, demikian Ibnu Khaldun melanjutkan, khilafah

Sejarah Peradaban Islam .......36


itu seakan-akan pohon besar dan dasar yang menyeluruh mencabangi dan
membawahi baik urusan agama maupun duniawi. Lebih rinci Ibnu Khaldun mencatat
fungsi-fungsi religius syari’at agama yang diemban seorang khalifah, yaitu: shalat,
mufti (guru), hakim (qadi), jihad (perang suci) pengawasan pasar (hisbah).
Dari semua fungsi yang disebutkan di atas, imamah shalat adalah yang
paling tinggi derjatnya. Bagaimana pentingnya imamah shalat ini dapat ditarik dari
fakta bahwa umat Islam merelakan jabatan khalifah diberikan kepada Abu Bakar
tidak lain karena Nabi Muhammad yang selama ini selalu memimpin sendiri shalat,
tetapi dalam keadaan sakit menjelang ajalnya memerintahkan Abu Bakar
menggantikan beliau memipin shalat. Adanya pentintah dari Nabi untuk memimpin
shalat ini membuat umat juga rela dipimpin oleh Abu Bakar dalam urusan duniawi.
Umat berkata: ‛ Rasulullah telah merelakannya untuk mengurusi agama kami.
Mengapa kami tidak merelakannya untuk mengurusi urusan duniawi kami?‛.
Seandainya tingkatan shalat tidak lebih penting dan lebih tinggi derejatnya
dibandingkan dengan kepemimpinan politik, demikian Ibnu Khaldun menambahkan,
tentulah pemikiran analogis di atas tidak tepat.
Fungsi kedua yang menjadi tanggungjawab khalifah adalah jabatan mufti
(guru). Dalam memilih mufti, khalifah harus menguji para ulama dan guru, dan
hanya mempercayakan jabatan ini kepada pihak-pihak yang kompeten. Jika sudah
diangkat, khalifah harus membantu mereka dalam melaksanakan tugas, yaitu
mendirikan kelas di mesjid-mesijd, mengajar dan menyebarluaskan pengetahuan.
Karena jabatan mufti merupakan salah satu kepentingan keagamaan kaum muslimin,
maka khalifah harus mencegah orang yang tidak kompeten turut campur mengurusi
pendidikan tersebut, sebab jika dipegang oleh orang yang tidak bermutu bisa
menyesatkan manusia.
Fungsi ketiga yang diemban khalifah adalah jabatan hakim (qadi). Lembaga
yang diperlukan untuk tujuan penyelesaian gugatan serta memutuskan perselisihan
dan pertikaian ini harus berjalan sesuai dengan hukum syari’ah yang telah ditetapkan
dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah, langsung dibawah kendali khalifah.
Fungsi keempat yang harus diemban oleh seorang khalifah adalah memimpin
umat Islam melakukan jihad atau perang suci. Jihad yang dimaksudkan disini tidak
hanya sekedar melakukan perang (qital) dengan musuh-musuh Islam, tetapi juga
perjuangan melawan hawa nafsu. Tugas khalifah adalah mempimpin dan mengajak
umat Islam untuk mengerahkan segenap kemampuan baik fisik, mental maupun
material dalam memerangi dan melawan musuh agama.
Fungsi terakhir yang harus dilaksanakan oleh khalifah yang tidak kalah
pentingnya dalam upaya meningkatkan kesejahteraan umat adalah melakukan
pengawasan pasar (hisbah). Sesuai yang diamanatkan oleh Nabi, perekonomian
hendaknya diserahkan pada mekanisme pasar, tetapi manakala pasar dipermainkan
oleh pihak-pihak tertentu untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya,
misalnya dengan manahan pasok atau melakukan monopoli, maka pemerintah

Sejarah Peradaban Islam .......37


dipimpin oleh khalifah harus bisa memperbaiki kondisi tersebut sehingga tidak ada
pihak-pihak yang terzalimi.

Persoalan-persoalan yang Dihadapi Abu Bakar


Dengan terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah, untuk sementara krisis
kesatuan dan solideritas Islam terselesaikan. Tetapi tugas yang dipikul Abu Bakar
sebagai pemimpin dan mengembangkan model pemerintahan yang dirintis oleh Nabi
Muhammad tidaklah mudah. Berbagai masalah datang bersusulan, mulai dari
kembalinya ekspedisi militer yang ditugaskan Nabi ke Syria; munculnya nabi-nabi
palsu; munculnya kelompok anti zakat; juga perlawanan dan pemberontakan dari
kaum Yahudi, Kristen dan dari orang-orang Baduwi; bahkan juga perselisihan paham
dengan Fathimah, putri Nabi, sehubungan dengan kedudukan fay’. Untunglah dalam
menjalankan tugas berat sebagai penerus Nabi mulai dari mempertahankan kota
Madinah, negara dan agama Islam tersebut Abu Bakar didukung oleh mayoritas
sahabat dan kaum Muslim.
Langkah pertama yang dilakukan Abu Bakar selaku khalifah adalah
melanjutkan ekspedisi yang telah dirancang Nabi ke Syria. Sebelum Nabi wafat,
beliau mengirim sebuah ekspedisi yang dipimpin oleh Usamah ke wilayah Syria.
Sewaktu mendengar Nabi wafat, Usamah mengurungkan tugas ekspedisi tersebut
dan kembali Madinah. Tetapi Abu Bakar dengan tegas memerintahkan Usamah
melanjutkan misi tersebut. Karena waktu itu suasana di Madinah tidak kondusif
disebabkan ada pihak-pihak yang ingin memberontak dari kekuasaan Islam setelah
mendengar Nabi wafat, maka para sahabat merekomendasikan agar Abu Bakar
mengurungkan perintah Nabi melanjutkan misi ekspedisi ke Syria. Sebagai al-
Shiddiq, Abu Bakar pernah mengungkapkan: ‚Jangan panggil aku khalifah Allah,
tetapi panggilah aku khalifah Rasulullah‛. Ternyata ucapan Abu Bakar tersebut
bukan isapan jempol belaka. Pada saat-saat genting seperti dijelaskan di atas,
nampak kualitas Abu Bakar al-Shiddik sebagai orang kepercayaan Nabi. Terhadap
saran para sahabat agar membatalkan rencana pengiriman ekspedisi ke Syria tersebut
Abu Bakar dengan tegas berkata: ‚Saya hanyalah melanjutkan ekspedisi militer yang
telah diputuskan oleh Rasulullah, apapun yang terjadi: apakah Madinah tetap tegak
ataupun akan hancur bersama saya, keputusan Rasulullah haruslah dilaksanakan!‛.
Demikianlah, atas ketegasan Abu Bakar tersebut, akhirnya ekspedisi tetap
dilaksanakan, dan memberikan hasil yang gemilang!
Setelah Nabi wafat, muncul beberapa orang yang mengaku sebagai nabi, di
antaranya Aswad al-Ansi, yaitu pemimpin suku Ansi di Yunani; Musaylamah dari
suku Bani Hanifah di Yamanah; Tulayha dari suku Bani As’ad, Arabia Selatan; dan
Sajah, seorang wanita Kristen dari suku Yarbu’ di Asia Tengah. Karena kemunculan
nabi-nabi palsu ini bisa mengganggu keutuhan umat Islam, maka Abu Bakar
memutuskan untuk memerangi mereka. Berkat kepemimpinan Abu Bakar yang tegas
dan dibantu oleh para sahabat lainnya, dalam waktu singkat para nabi palsu tersebut

Sejarah Peradaban Islam .......38


bisa ditumpas.
Selain munculnya nabi-nabi palsu, sepeninggal Nabi tiap kelompok di Arab
kembali memperlihatkan watak aslinya, yakni fanatisme kedaerahan dan kesukuan.
Beberapa puak dan suku Arab yang sebelumnya tidak sungguh-sungguh mengakui
Nabi sebagai pemimpin mereka, berupaya untuk memisahkan diri. Segera setelah ada
khabar Nabi wafat terjadi gejolak politik dan kerusuhan di berbagai pelosok.
Pembangkangan dan pemberontakan muncul dimana-mana dengan alasan yang
berbeda-beda pula. Ada yang memberontak karena tidak mengakui agama Islam, ada
yang berusaha memisahkan diri karena tidak mengakui negara yang sudah didirikan
oleh Nabi Muhammad, dan ada pula yang berusaha membangkang karena alasan
ekonomi, seperti enggan atau tidak mau membayar zakat.
Tentang hal yang disebutkan terakhir, pada masa Nabi tidak pernah ada
masalah dalam pengumpulan zakat. Umumnya umat Islam dari berbagai kelompok
mematuhi ketentuan syari’ah yang ditetapkan Nabi. Akan tetapi setelah Nabi wafat,
sebahagian kelompok ada yang mulai enggan membayar zakat. Ada yang percaya
bahwa zakat hanya dibayar kepada Nabi, dan dengan demikian setelah Nabi wafat
mereka menganggap tidak ada lagi kewajiban membayar zakat. Sikap seperti ini
terutama muncul dari kelompok Arab Baduwi. Menurut Hitti (2005), suku-suku
yang enggan membayar zakat adalah suku-suku yang ada di Yaman, Yamamah dan
Oman.
Suatu hal yang perlu dicatat, penafsiran yang diberikan para orientalis
tentang keengganan beberapa kelompok suku membayar zakat sangat berbeda.
Misalnya menurut Arnold Toynbee, ‛Orang-orang Islam pengikut Muhammad,
walau yakin bahwa tuhan Muhammad, Allah, adalah maha kuasa, tetapi mereka
kesal dengan kewajiban-kewajiban – misalnya shalat dan zakat – yang dibebankan
kepada mereka oleh Islam‛. ‛Oleh karena itu‛, demikian Toynbee melanjutkan,
‛reaksi atas meninggalnya Muhammad adalah pemberontakan yang meluas di bawah
kepemimpinan nabi-nabi lokal yang mengklaim dipilih oleh Allah untuk umat
mereka sendiri‛. Pernyataan Toynbee bahwa umat Islam kesal dengan kewajiban-
kewajiban yang diperintahkan oleh ajaran Islam seperti shalat dan zakat jelas keliru.
Begitu juga yang memberontak bukanlah penganut Islam yang sungguh-sungguh,
melainkan orang-orang Baduwi yang ‛dikipas‛ oleh nabi-nabi palsu (Ugi Suharto,
2004).
Abu Bakar tidak mau memberi angin kepada para pembangkang dan
pemberontak tersebut. Terhadap pihak-pihak yang enggan membayar zakat, Abu
Bakar dengan kekuatan yang ada ditangannya mengambil zakat dari orang-orang
kaya untuk dibagi-bagikan kepada mereka yang miskin. Tentang hal ini beliau
berkata, ‛Si lemah di antara kalian dalam anggapanku adalah si kuat hingga aku
mampu memberikan haknya dengan izin Allah, dan si kuat di antara kalian adalah si
lemah bagiku hingga aku mampu mengambil darinya dengan izin Allah‛.
Sehubungan dengan penyerangan yang dilakukan oleh Abu Bakar terhadap

Sejarah Peradaban Islam .......39


kelompok-kelompok yang membangkang membayar zakat ini, seorang orientalis
lainnya, Joseph Schaacht, dalam ’Encyclopedia of Islam’ dengan nada provokatif
untuk menjelek-jelekkan Islam menyatakan bahwa status zakat belum begitu jelas
pada masa Nabi, dan adalah Abu Bakar yang bertanggungjawab atas
institusionalisasi zakat sebagai sebuah kewajiban tetap dalam Islam. Lebih jelas
Schaacht mengatakan, ‛...Setelah Muhammad wafat, banyak suku Baduwi yang
menolak membayar zakat karena mereka memandang keharusan mereka telah selesai
dengan wafatnya Nabi, dan banyak kaum beriman, di antaranya Umar, cenderung
setuju dengan hal ini. Hanya kekuatan Abu Bakar yang membuat zakat sebagai pajak
reguler menjadi institusi penerimaan, yang dengan berdirinya state treasury (bayt al-
mal) memberi kontribusi sangat besar dalam perluasan kekuatan Muslim‛.
Menurut Ugi Suharto (2004), penafsiran Schaacht bahwa karakter zakat
pada masa Nabi masih kabur sangatlah keliru. Yang sesunggguhnya, sudah sejak
masa Nabi pembahasan tentang zakat telah dijelaskan secara sangat detil dalam
sebuah dokumen yang disebut ‚Kitab Rasulillah fi al Sadaqat‛ dan buku-buku hadis
lainnya. Sebagai panduan dalam pengumpulan zakat, bahkan dalam ‚Kitab
Rasulillah fi al Sadaqat‛ tersebut juga disertai dengan aturan-aturan etis dalam
pembayaran dan pengumpulan zakat. Dengan demikian, tidak ada yang kabur
tentang zakat.
Jika diperhatikan lebih seksama, interpretasi bahwa setelah Nabi wafat
orang tidak perlu membayar zakat terutama datang dari suku Arab Baduwi. Kalau
orang Baduwi enggan membayar zakat, ini bukan hal yang baru, sebab jauh sebelum
Nabi meninggal, sebahagian dari mereka juga enggan membayar zakat. Masalah
keengganan sebahagian orang Baduwi untuk membayar zakat ini bahkan ditulis
dalam Al-Qur’an, ‚Dan di antara orang-orang Arab Baduwi itu ada yang memandang
bahwa apa yang mereka bayarkan (zakat) sebagai suatu kerugian‛ (al-Taubah 9:98).
Dari ayat tersebut jelas bahwa sikap negatif orang Arab Baduwi terhadap zakat juga
sudah muncul pada waktu Nabi masih hidup. Setelah Nabi wafat, keadaan mereka
tidak banyak berubah, disebabkan gaya hidup mereka yang nomaden dan selalu
berpindah-pindah. Mereka kurang terpelajar, dan sulit diarahkan untuk
melaksanakan kewajiban Islam seperti shalat dan puasa, apalagi untuk membayar
kewajiban etis seperti zakat.
Menurut Ugi Suharto (2004) Schaacht benar waktu ia mengatakan bahwa
Umar bin Khattab pernah berbeda pendapat dengan Abu Bakar sehubungan dengan
keputusannya untuk memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat. Tetapi
dalam hal ini perlu diluruskan bahwa ketika Umar berbeda pendapat dengan Abu
Bakar, hal tersebut bukan karena Umar setuju dengan kaum Baduwi bahwa
kewajiban zakat berakhir dengan wafatnya Nabi, melainkan atas kebijakan Abu
Bakar untuk memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat. Tetapi setelah
Abu Bakar menjelaskan tujuannya memerangi orang-orang yang enggan membayar
zakat, Umar memahami, dan bahkan akhirnya menyatakan puas atas pandangan Abu

Sejarah Peradaban Islam .......40


Bakar. Dikaitkan dengan hal ini Ugi Suharto menilai bahwa kebijakan Abu Bakar
untuk memerangi suku-suku Baduwi yang enggan membayar zakat tidak hanya telah
melindungi struktur keuangan negara Islam waktu itu, tetapi juga struktur Islam
secara keseluruhan. Peran Abu Bakar dalam menegaskan kembali zakat sebagai
kewajiban yang mesti dibayar pada pemerintah Muslim sangat signifikan dalam
perkembangan keuangan publik Islam pada periode-periode berikutnya.
Munculnya pemberontakan dan pembangkangan dari berbagai kelompok
karena berbagai alasan mulai dari keengganan mengakui agama Islam hingga yang
berusaha membangkang karena enggan atau tidak mau membayar zakat sebagaimana
dijelaskan di atas telah memaksa Abu Bakar untuk memerangi mereka. Perang ini
dikenal dengan Perang Ridhah, atau perang melawan kemurtadan. Dalam Perang
Ridhah ini beliau dibantu oleh Khalid bin Walid. Setelah kelompok-kelompok yang
memberontak tersebut dapat dikalahkan satu persatu, baru keadaan menjadi pulih.
Dalam waktu relatif singkat Abu Bakar berhasil memadamkan gerakan-gerakan yang
mengancam kesatuan dan persatuan umat Islam.
Dalam Perang Ridhah banyak sahabat yang hafal Al-Qur’an gugur.Atas usul
Umar bin Khattab, Abu Bakar membukukan ayat-ayat Al-Qur’an yang berserakan
dalam satuan mushaf. Tugas ini diserahkan pada Zaid bin Tsabit dan Ali bin Abi
Thalib. Naskah yang dihasilkan mereka dikenal dengan naskah Hafsah.

Kemajuan di Bidang Militer, Politik dan Pemerintahan


Kehebatan Abu Bakar sebagai penerus Nabi dalam memimpin umat Islam
tidak perlu diragukan. Beliau tidak hanya berhasil memadamkan gerakan-gerakan
yang mengancam kesatuan dan persatuan umat Islam dan mentransformasikan
Pendapatan Nabi menjadi Pendapatan Publik, tetapi juga berhasil memperluas
wilayah kekuasaan Islam dan menata organisasi pemerintahan ke arah yang lebih
baik.
Dari segi militer, Abu Bakar berhasil melakukan perluasan wilayah. Untuk
ekspansi yang pertama beliau mengirim Khalid bin Walid ke Irak, dan berhasil
menguasai al-Hirah tahun 634M. Selanjutnya beliau mengirim ekspansi ke Syria di
bawah empat orang panglima, yaitu Abu Ubaydah, Amru bin ‛Ash, Yazid ibnu Abi
Sufyan dan Syurahbil (Yatim, 2006). Dengan demikian pada masa Abu Bakar
wilayah kekuasaan negara Islam tidak terbatas di Madinah saja, tetapi makin luas
hingga mencapai seluruh Arabia, juga Irak dan Syria. Abu Bakar membagi Negara
Islam atas 12 wilayah.
Sebagai pemimpin Islam yang baru Abu Bakar melanjutkan gaya
pemerintahan sentralistik yang diwariskan Nabi, dimana selain sebagai pemimpin
agama, beliau juga menjadi pemimpin di bidang politik, pemerintahan, ekonomi,
hukum, sosial dan budaya. Pendeknya semua kekuasaan berpusat di tangan khalifah.
Namun demikian, dalam memerintah Abu Bakar tidak bekerja sendirian.
Sebagaimana yang juga ditiru dari Nabi, Abu Bakar selalu mengajak para sahabat

Sejarah Peradaban Islam .......41


bermusyawarah dalam memutuskan perkara-perkara yang dianggap penting dan
strategis. Umar bin Khattab yang terkenal tegas diserahi urusan kehakiman dan
pembagian zakat. Di bawah kepemimpinan Abu Bakar, kaum Quraisy mampu
menjalankan bidang-bidang yang sebelumnya kurang mereka kenal, seperti
pemerintahan, organisasi dan diplomasi, sebagaimana mereka juga mahir dalam
menjalankan bisnis komersil moyang mereka.
Abu Bakar memiliki sisi-sisi kepribadian yang tidak kalah menariknya. Di
antaranya, Abu Bakar adalah seorang bangsawan Makkah yang kaya raya, pemurah
lagi peramah. Seperti halnya Muhammad, Abu Bakar juga seorang pedagang.
Bahkan pada hari pertama sesudah diangkat sebagai khalifah, konon Abu Bakar
masih menjalankan aktivitas sebagai pedagang pakaian di pasar. Sehubungan dengan
kenyataan bahwa Abu Bakar yang selain seorang pemimpin tetapi sekaligus juga
memiliki profesi sebagai pedagang ini, layak diajukan sebuah pertanyaan: ‛Bolehkah
seorang pedagang menjadi pemimpin?‛ Pertanyaan seperti ini perlu diajukan, sebab
pada masa sekarang terlihat sebuah gejala-gejala umum dimana para pedagang
berebut kursi di DPR atau DPRD atau bahkan langsung menjadi mentri, gubernur,
walikota atau bupati. Hal ini dimungkinkan, sebab dengan modal kekayaan yang
dimiliki, mereka bisa ‛membeli sampan‛ dari partai-partai tertentu untuk
mencalonkannya menjadi eksekutif atau legislatif, bahkan juga mampu ‛membeli
suara‛ dari pemilih yang tidak tahan godaan duit.
Tetapi kecurigaan seperti dijelaskan di atas tidak pantas bagi Abu Bakar.
Walaupun beliau berlatar belakang seorang pedagang, tetapi selama masa-masa
perjuangan Islam, Abu Bakar tidak pernah kedapatan berusaha memperkaya diri dan
keluarganya. Melainkan, dengan harta kekayaannya beliau berusaha mengatasi
kesulitan ekonomi umat Islam. Selain itu hartanya juga digunakan untuk
membebaskan sejumlah budak yang disiksa tuannya karena keimanan mereka
terhadap Islam. Salah seorang dari budak yang dibebaskan Abu Bakar adalah Bilal,
yang belakangan terkenal dengan profesinya sebagai mu’azzin Nabi. Setelah menjadi
khalifah, Abu Bakar tidak mau mengambil uang sepeserpun dari kas negara. Ketika
meninggal, beliau hanya meninggalkan sepasang pakaian, seekor onta dan seorang
budak kepada ahli warisnya.
Berkat kepemimpinan Abu Bakar, persatuan dan kesatuan kaum Muslim
yang telah dirintis Nabi dapat dipertahankan. Sayang, sahabat Nabi dan pejuang
Islam ini tidak memerintah dalam waktu lama. Setelah menjadi khalifah tidak
sampai tiga tahun, beliau meninggal tanggal 22 Jumadil Akhir 13H/23 Agustus
634M. Untungnya, sebelum wafat beliau berhasil melakukan musyawarah dengan
para sahabat atau orang-orang yang memiliki kualifikasi permusyawaratan (ahlul
halli wal ’aqli) untuk menunjuk Umar bin Khattab sebagai pengganti beliau.

B. Umar bin Khattab (13-23H/634-.644M)


Umar bin Khattab lahir tahun 513M dari salah satu keluarga Quraisy yang

Sejarah Peradaban Islam .......42


terpandang. Sebelum masuk Islam Umar yang bergelar Abu Hafs ini adalah salah
satu musuh utama Nabi. Sewaktu mendengar adik perempuannya masuk Islam, ia
dihasut Abu Sufjan untuk membunuh adiknya, juga Nabi. Waktu hendak
menjalankan niatnya, ia mendapatkan adiknya sedang membaca ayat-ayat Qur’an
dengan suara yang merdu dan menyejukkan hati. Seketika Umar mengurungkan niat
untuk membunuh adiknya. Niat untuk membunuh Nabi juga batal, justru kemudian
ia masuk Islam. Setelah masuk Islam gelarnya diganti dengan al-Farouq, dan sejak
itu Umar bin Khattab menjadi pembela Nabi dan Islam yang paling disegani.
Umar jadi khalifah dalam suasana relatif stabil tanpa gangguan dari berbagai
pihak sebagaimana yang dialami Abu Bakar. Ketika Abu Bakar merasa ajalnya
semakin dekat, padahal waktu itu futuhat islamiyah (perang pembebasan Islam)
telah meluas ke luar jazirah Arab, maka Abu Bakar yang khawatir persatuan umat
Islam akan pecah bermusyawarah dengan para sahabat untuk mencari calon terbaik
untuk menggantikan dirinya sebagai khalifah. Para sahabat sepakat bahwa calon
terbaik adalah Umar bin Khattab.
Dalam sebuah riwayat oleh at-Thabiri, dikisahkan bahwa Abu Bakar
pertama memanggil Abdurrahman bin Auf dan bertanya, ‚Apa pendapatmu tentang
Umar?‚. Atas pertanyaan tersebut Abdurrahman bin Auf menjawab, ‚Wahai khalifah
Rasulullah, dia adalah laki-laki terbaik yang terlihat‚. Waktu pertanyaan yang sama
diajukan kepada Usman, beliau menjawab, ‚Demi Allah, yang aku tahu sisi
dalamnya lebih baik dari penampilan luarnya, dan bahwasanya tidak ada di antara
kami yang menyamainya‚. Dari sahabat-sahabat lain Abu Bakar juga mendapat
jawaban bahwa Umar bin Khattab adalah calon khalifah yang paling tepat.
Setelah puas menanyai para sahabat soal pendapat dan pandangan mereka
tentang Umar, dan semua setuju bahwa Umar adalah calon khalifah yang paling
tepat, maka pada waktu itu juga Abu Bakar mendiktekan sebuah surat wasiat kepada
Usman bin Affan yang berbunyi, „Bismillahirrahmanirrahim. Inilah yang
diwasiatkan oleh Abu Bakar kepada kaum Muslimin. Amma ba’du. Sesungguhnya
aku telah menunjuk untuk kalian Umar ibn al-Khattab sebagai khalifah pengganti,
demi kebaikan kalian‚. Setelah mendiktekan wasiat tersebut kemudian kepada para
sahabat yang hadir beliau, ‚Demi Allah, sesungguhnya aku tidak melakukan ini
tanpa musyawarah dan aku juga tidak menunjuk sanak kerabat, dan sesungguhnya
aku telah menunjuk Umar ibn al-Khattab sebagai khalifah pengganti untuk kalian.
Maka dengarkanlah dia dan taatilah dia‚. Dengan serempak para sahabat menjawab,
‛Sami’na wa athaa’naa‚ (‛Kami mendengar, dan kami akan menaatinya‛).
Demikianlah, Umar bin Khattab diangkat sebagai khalifah kedua lewat
permusyawaratan secara aklamasi, dan sejarah tidak mencatat adanya kelompok
penyempal atau penentang kedudukan beliau sebagai khalifah (Rais, 2001).
Sebagai pemimpin yang baru menggantikan Abu Bakar, pada mulanya
kepada Umar diberikan gelar Khalifah Khalifah Rasulullah atau Wakil dari Wakil
Rasulullah. Sebahagian menganggap gelar ini tidak praktis. Ada yang nyletuk, jika

Sejarah Peradaban Islam .......43


Umar meninggal tentu penggantinya akan diberi gelar Khalifah Khalifah Khalifah
Rasulullah. Pada suatu ketika, menurut riwayat, seorang kurir datang ingin
memberitakan kemenangan yang berhasil diraih oleh beberapa delegasi pasukan
Islam. Ia masuk ke kota Madinah sambil menanyakan keberadaan kahlifah Umar,
‛Mana Amirul Mukminin? Mana Amirul Mukminin?‛. Para sahabat yang mendengar
pertanyaan si kurir tersebut menganggap sebutan ‛Amirul Mukminin‛ tersebut
sangat baik, dan mengatakan, ‛Demi Allah, kamu tepat sekali menyebutkan
namanya‛. Sejak itu gelar Amirul Mukminin lekat pada Umar dan para khalifah
sesudahnya. Dalam sejarah Islam, Umar bin Khattab adalah orang pertama yang
diberi gelar Amir al-Mukminin (Kepala Negara islam, atau Komadan Pasukan
Mukmin) ini.

Kemajuan di Bidang Militer dan Pemerintahan


Gelar Amir al-Mukminin yang artinya ‛Pemimpin umat Islam‛ sungguh
cocok untuk Umar bin Khattab. Langkah pertama yang dilakukan Umar adalah
memberangkatkan pasukan kaum Muslim di bawah pimpinan al-Mustanna, sesuai
wasiat Abu Bakar menjelang ajalnya. Setelah itu dalam waktu relatif singkat Umar
berhasil menundukkan imperium Persia, kemudian Bizantium dan selanjutnya
wilayah kekuasaan Romawi Timur yang mencakup Syria, Palestina dan Mesir.
Damaskus, ibukota Syria, ditaklukkan tahun 635M, waktu itu di bahwah kekuasaan
Bizantium. Tahun 636M pasukan Umar mengalahkan pasukan Bizantium dalam
Perang Yarmuk, sehingga seluruh Syria jatuh ke tangan pasukan Islam. Selanjutnya
pasukan Islam dipimpin oleh ’Amr bin Ash berhasil menaklukkan Mesir, dan
pasukan yang dipimpin oleh Sa’d bin Abi Waqqash menaklukkan Irak. Akhirnya,
pada era Umar bin Khattab yang terkenal tegas dan keras tersebut wilayah
kekuasaan Islam semakin luas mencakup tiga imperium Persia, Bizantium dan
Romawi Timur hingga wilayah-wilayah Sasaniah. Dengan menaklukkan tiga
imperium besar dalam waktu singkat, Islam waktu itu menjadi satu-satunya ‛Adi
Kuasa‚ di dunia. Pada waktu itu, Eropa belum ada apa-apanya, dan benua Amerika
bahkan belum ditemukan.
Literatur Islam mencatat bahwa ekspansi kekuasaan Islam di bawah Umar
dibarengi dengan penataan nilai-nilai dalam masyarakat, mulai dari agama, sosial-
politik, juga sosial ekonomi serta pemerintahan dan hukum. Tetapi persepsi yang
dikembangkan orang Barat tentang Umar bin Khattab jauh berbeda. Sebagaimana
dirujuk Cyril Glasse (2003) dari tulisan pengarang kenamaan Eropa Victor Hugo, ia
menggambarkan Omar (maksudnya Umar bin Khattab) sebagai ‚seseorang yang
tidak pernah minum arak melainkan hanya minum air putih, sedang mengendarai
seekor unta menuju Mesir dengan satu tas berisi kurma pada satu sisi unta dan
sekarung gandum pada sisi lainnya, ia menaklukkan 39.000 kota dan desa yang
dilaluinya…Omar, atau orang yang diperintahkannya yang bernama Amr ibn Ash
telah menghancurkan perpustakaan terbesar di Alexandria, membakarnya dengan

Sejarah Peradaban Islam .......44


minyak yang diangkut oleh 2000 ekor kuda selama enam bulan‛.
Disatu sisi Umar harus diakui sangat keras dan tegas. Tetapi ia bukanlah
seorang diktator, apalagi perusak. Sebagai gambaran tentang kebaikan hati dibalik
kekerasanya, pernah suatu ketika Umar menghukum orang-orang yang memberi
beban terlalu berat jauh di atas kemampuan daya angkat onta-onta mereka.
Bagaimana mungkin orang yang bahkan tidak tega melihat onta diperlakukan
semena-mena seperti ini disebut zhalim? Bagaimana mungkin sahabat Nabi yang
mencintai ilmu pengetahun ini merusak perpustakaan Alexandria sebagaimana
dituduhkan Victor Hugo di atas? Kenyataan yang sesungguhnya tidaklah demikian.
Semua itu hanya ditulis oleh musuh-musuh Islam untuk mengotori citra Umar bin
Khattab.
Dari catatan sejarah diketahui bahwa Umar berusaha merebut Mesir karena
disamping tanahnya yang subur, juga sangat strategis untuk memperlemah kekuatan
Bizantium. Tetapi dalam upaya merebut Mesir tersebut, pasukan Islam tidak pernah
menghancurkan perpustakaan tertua di Alexandria tersebut. Yang sesungguhnya,
pustaka Alexandria tersebut mengalami kehancuran pada masa penaklukan bangsa
Romawi. Tepatnya, pada tahun 391 masehi perpustakaan tersebut mengalami
kehancuran total ketika kaisar Bizantium Theodosius I merampas patung-patung di
Alexandria. Hal ini didukung oleh dua orang ahli sejarah, yaitu Gibson dan Gior,
yang mencatat bahwa pembakaran perpustakaan Alexandria terjadi jauh sebelum
pasukan Islam menaklukkan kota Alexandria di Mesir (Ali, 2003).
Selain dituduh menghancurkan perpustakaan di Alexandria, ada juga penulis
lain yang mengatakan bahwa Umar r.a pernah memerintahkan penghancuran ilmu
pengetahuan bangsa Persia sewaktu pasukannya berhasil menaklukkan wilayah
tersebut. Tetapi menurut A.J.Buttler dalam The Arab Conquest, dongengan ini juga
tidak ada fakta sejarahnya. Justru di daerah-daerah taklukannya Umar
memerintahkan untuk mendirikan berbagai lembaga sosial, politik dan administrasi
Islam sehingga kesejahteraan masyarakat di daerah-daerah taklukan meningkat
pesat. Adalah fakta sejarah bahwa semua penaklukan yang dilakukan oleh Umar
justru sukses karena mendapat bantuan dan sokongan dari penduduk lokal yang
selama ini hidup tertekan dan dipaksa membayar pajak yang tinggi oleh penguasa
Bizantium.
Umar menaklukkan Yerussalem tahun 637M. Apakah beliau melakukan
pengrusakan sebagaimana dituduhkan orang-orang Kristen? Mari kita simak
bagaimana tindak tanduk Umar setelah berhasil menaklukkan Yerussalem tersebut.
Dari catatan sejarah terungkap bahwa waktu menerima penyerahan Yerussalem
tersebut Umar tidak datang dengan pasukan militer dan pengawalan yang ketat,
melainkan hanya disertai seorang budak. Dengan demikian tidak ada upacara yang
rumit-rumit. Menurut Syed Ameer Ali (1978), Umar masuk kota mengendarai kuda
berdampingan dengan Pangetua Sophronius, sambil bercakap-cakap tentang
peninggalan zaman purbakala di kota itu. Waktu tiba saatnya untuk shalat, Umar

Sejarah Peradaban Islam .......45


ditawarkan shalat dalam Gereja Kebangkitan. Tetapi dengan halus Umar menolak,
dan lebih memilih shalat di tangga gereja saja. Apakah mungkin, Pangetua
Sophronius memperlakukan Umar dengan ramah seperti itu jika beliau menaklukkan
Yerussalem dengan kekerasan?
Sesudah Yerussalem ditaklukkan, pada tahun 638H Umar mengumumkan
sebuah piagam yang berbunyi sebagai berikut: ‚Bismillahirrahmanirrahim. Inilah
jaminan yang diberikan oleh Umar Hamba Tuhan, Pemimpin kaum Mukmin, kepada
rakyat Elia. Ia menjamin kepada semua orang, yang sakit maupun yang sehat,
keselamatan jiwanya, harta bendanya, gereja-gereja dan kayu salibnya dan segala
yang bertalian dengan agamanya. Gereja-gereja mereka tidak akan diubah menjadi
tempat tinggal ataupun dibinasakan, pun mereka tidak akan dirugikan atau harta
bendanya dikurangi dengan jalan apapun, demikian juga palang salib penduduk,
harta miliknya dan seorangpun mereka tidak akan dirugikan. Dari penjelasan di atas
dapat disimpulkan bahwa alih-alih suka berbuat anarkis, Umar sebaliknya justru
telah berusaha menciptakan perdamaian dan keadilan dalam masyarakat, baik Islam
maupun non-Islam.
Kalau Umar bin Khattab dikatakan sebagai pemimpin yang kuat dan tegas,
itu betul. Tetapi kalau dikatakan Umar menggunakan kekuatan dan kekuasaannya
untuk menghancurkan pihak musuh, hal ini perlu dipertanyakan. Sebaliknya, justru
Umar menggunakan kekuasaan yang ada di tangannya untuk menegakkan sistem
yang lebih adil di daerah-daerah kekuasaannya. Sejarah membuktikan waktu pasukan
Islam di bawah Umar menguasai wilayah-wilayah baru, mereka tidak
menghancurkan peradaban, melainkan justru melakukan synergy dengan baik.
Sebagai contoh, Islam mengadopsi peradaban dan kebudayaan Persia yang tinggi,
dan di sisi lain Islam juga memperkenalkan sistem pemerintahan dan ekonomi yang
lebih adil.
Umar dengan kekuasaannya yang sangat besar banyak melakukan perubahan
demi kebaikan di daerah-daerah kekuasaannya. Beliau telah merubah sistem feodal
sewaktu wilayah kekuasaan Islam meluas hingga Irak dan Iran. Sebelum kedatangan
Islam, sebagai negara monarki waktu itu sistem yang diterapkan di Irak dan Iran
bergaya feodalisme, mirip dengan gaya feodalisme Eropa abad pertengahan. Dalam
masyarakat feodal, kelas masyarakat atas terdiri dari penguasa dan tuan tanah,
sedang kelas masyarakat lapisan bawah terdiri dari para budak, hamba dan petani.
Masyarakat kelas dua tersebut melakukan berbagai aktivitas ekonomi demi memuasi
kebutuhan kaum feodal. Kaum petani sangat menderita dengan beban pajak tinggi
yang ditetapkan Choesroes, raja Persia waktu itu. Tetapi ketika wilayah kekuasaan
Islam di bawah Umar meluas hingga ke Irak dan Iran, maka gaya pengelolaan
ekonomi yang bercorak feodalisme tersebut dirobah. Tepatnya, sistem feodal ini oleh
Umar diperintahkan untuk dihapus. Begitu juga kepada petani ditetapkan pajak yang
jauh lebih rendah dari yang biasa mereka bayar kepada penguasa sebelumnya. Pajak
tanah (kharaj) ditetapkan atas dasar yang adil dan pantas. Beban-beban feodal yang

Sejarah Peradaban Islam .......46


selama ini dipaksakan oleh penguasa mereka sendiri, oleh Umar dihapus, dan para
petani dibebaskan dari perbudakan berabad-abad. Kebijakan ini diambil sesuai
dengan ajaran bahwa dalam masyarakat Islam seharusnya tidak ada praktek
kesewenang-wenangan dari suatu kelompok terhadap kelompok masyarakat lainnya.
Dalam melakukan ekspansi Umar tidak melakukannya dengan gegabah,
tetapi penuh perhitungan dan mendengarkan pertimbangan dari para sahabat. Pada
waktu khalifah Umar hendak melakukan perjalanan ke daerah Syam (Syria dan
Palestina), setibanya di Saraq datang berita dari panglima Abu Ubaidah bahwa tanah
Syam sedang dilanda penyakit sampar (kolera). Mendengar berita ini khalifah
bimbang apakah harus meneruskan perjalanan atau kembali ke Madinah. Untuk itu
beliau memerintahkan ibn Abbas bermusyawarah dengan para pimpinan rombongan,
yang terdiri dari kaum Muhajirin dan kaum Anshor. Dari kaum Muhajirin tidak
tercapai keputusan bulat, sedang kaum Anshor sepakat untuk mengurungkan
perjalanan dan kembali ke Madinah untuk menjaga keselamatan. Karena kaum
Muhajirin tidak mencapai kata sepakat, sedang kaum Anshor sepakat mengurungkan
perjalanan, maka akhirnya khalifah membatalkan rencana perjalanan ke Syam, dan
kembali ke Madinah.
Selain berhasil di bidang militer, Umar juga berhasil dalam menata
pemerintahan. Untuk menegakkan sistem demokrasi ala Islam, Umar membentuk
dua buah badan atau lembaga permusyawaratan, yaitu majlis syura. Lewat majlis
sura inilah berbagai keputusan penting diambil. Sebagai pimpinan yang demokratis
dan selalu mengedepankan musyawarah, Umar pernah berkata, ‛Posisi seorang
khalifah tidak ubahnya sebagai pemangku tanggungjawab umum‛ dan bahwa
‛Sebuah khilafah tidak akan tegak kecuali dengan permusyawaratan‛. Sehubungan
dengan hal ini dapat dikatakan bahwa sistem demokrasi yang diperkenalkan oleh
Rasulullah dan dilanjutkan Abu Bakar, mencapai puncaknya ketika Umar menjadi
khalifah. Seperti yang dipraktekkan oleh Nabi dan dilanjutkan oleh Abu Bakar,
dalam menjalankan roda pemerintahan Umar dibantu oleh para sahabat seperti
Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Ali memegang urusan kehakiman,
korespondensi dan korespondensi negara dan memperhatikan urusan dan tebusan
tawanan (Ahmad, 2001).
Salah satu jasa besar Umar dalam menegakkan pemerintahan Negara Islam
adalah keberhasilan beliau dalam menetapkan aturan-aturan administratif untuk
wilayah-wilayah taklukan Islam dengan tata aturan baru. Dilihat dari sisi ini dapat
dikatakan bahwa Umar bin Khattab adalah peletak dasar-dasar administrasi
pemerintahan Islam. Kalau Abu Bakar sebelumnya membagi kekuasaan Islam atas
duabelas wilayah, oleh Umar wilayah kekuasaan Islam dibagi atas delapan propinsi,
yaitu: Makkah, Madinah, Syria, Jazirah (Mesopotamia), Bashrah, Kufah, Mesir dan
Palestina. Masing-masing provinsi dipimpin oleh seorang Amir atau Wali, setara
Gubernur. Selain sebagai penguasa wilayah propinsi, Amir juga menjabat panglima
militer, pengawas pengumpulan zakat, juga sebagai pimpinan agama dan Imam

Sejarah Peradaban Islam .......47


shalat Jum’at. Tiap Amir bertanggungjawab terhadap khalifah yang berkedudukan di
Madinah. Selanjutnya tiap provinsi terbagi atas beberapa district yang dipimpin oleh
Amil. Tiap Amil diharuskan mencatatkan harta kekayaan pribadinya. Jika kemudian
harta pribadi tersebut bertambah secara tidak wajar, pemerintah pusat berhak
mencurigai. Jika Amil terbukti telah menyalahgunakan kekayaan negara, ia dihukum
dan hartanya disita.
Selain telah berhasil membuat sistem administrasi negara dan jawatan-
jawatan umum, Umar bin Khattab juga dipandang telah berjasa meletakkan kaidah-
kaidah distribusi kekayaan, mengontrol para gubernur, serta memerintah berdasar
asas keadilan dan permusyawaratan, hanya dengan tujuan mewujudkan kemaslahatan
kaum Muslimin dan meninggikan kalimat Allah, sesuai pula dengan manhaj yang
telah dilaksanakan oleh Abu Bakar khalifah sebelumnya.

Perhatian terhadap Kelompok Miskin


Pada masa Umar ideologi ekonomi dibangun dan diterapkan atas prinsip
kebersamaan dan keadilan. Tidak ada kesewenang-wenangan dari sekelompok
masyarakat terhadap kelompok masyarakat lainnya. Walau ideologi ekonomi atas
dasar prinsip kebersamaan dan keadilan sudah mulai dicontohkan pada era
Rasulullah, tetapi tidak dapat disangkal bahwa pada masa Umar sistem ini
direalisasikan secara lebih meluas dan lebih merata.
Pada Bab 2 sudah disinggung bahwa Nabi memproklamirkan tanggungjawab
negara atas anak-anak terlantar. Waktu Umar memegang tampuk kepemimpinan,
beliau segera menetapkan kewajiban untuk memelihara anak-anak terlantar ini.
Dengan sangat jelas beliau mengumumkan bahwa negara bertanggungjawab atas
anak-anak yatim, kaum miskin, kaum Muslim dan non-Muslim yang tidak mampu,
serta memberikan santunan kepada anak-anak kecil, terutama bayi.
Dari semua khulafaur-Rasyidin, Umar dinilai paling berjasa memberlakukan
sistem tunjangan/pensiun masa tua. Dalam pembagian fay’ dan tunjangan, yang
diperhatikan oleh Umar adalah faktor pengorbanan dan kebutuhan. Prinsip yang
digunakan beliau, ‚Seseorang mendapat tunjangan sesuai dengan pengorbanan dan
kebutuhannya‛. Artinya, makin besar pengorban yang diberikan seseorang dan
semakin besar kebutuhannya, maka Umar akan memberikan tunjangan yang lebih
besar pula.
Umar juga dinilai paling efektif dalam mempromosikan pemerataan di antara
berbagai kelompok masyarakat. Untuk menciptakan pemerataan tersebut, oleh Umar
sebahagian harta dari orang kaya diambil untuk dibagi-bagikan kepada para fakir
miskin. Suatu hal yang menarik, oleh Umar para wanita dan bayi yang baru lahir
juga mendapat santunan dari negara. Dalam membagi-bagikan harta pampasan
perang, para janda dan keluarga dekat Nabi mendapat 10.000 dirham; pejuang
Muslim yang ikut bertempur dalam Perang Badar mendapat 5.000 dirham; pejuang
yang bertempur dalam Perang Uhud mendapat 4.000 dirham; mereka yang memeluk

Sejarah Peradaban Islam .......48


Islam sebelum penaklukan Makkah mendapat 3.000 dirham; pasukan militer diberi
tunjangan tiap bulan antara 500-600 dirham. Setiap Muslim, baik laki-laki dan
perempuan, yang mendapat dana santunan dari pemerintah, semua terdaftar dalam
catatan pejabat diwan.
Catatan petugas diwan sangat rinci pada masa Umar. Kalau dibanding-
banding, agaknya catatan petugas diwan pada masa Umar pada pertengahan abad ke-
7 masehi tersebut jauh lebih baik dibandingkan dengan catatan petugas Biro Pusat
Statistik (BPS) di Indonesia 14,5 abad kemudian. Sebagaimana kita ketahui
bersama, catatan petugas BPS tersebut begitu amburadulnya sehingga penyaluran
dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk mengkompensasi kenaikan harga BBM
Oktober 2005 menjadi sangat kacau. Kekacauan yang sama terjadi dalam penyaluran
bantuan Tsunami Aceh dan Gempa Yogya. Hampir sebahagian besar kebijakan
publik bermasalah di Indonesia karena amburadulnya data satatistik Indonesia. Lebih
buruk dari itu, banyak peneliti asing memperingatkan agar hati-hati menggunakan
data stitistik Indonesia karena tingkat akurasi datanya rendah sekali.

Upaya Umar Menegakkan Hukum dan Keadilan


Umar bin Khattab sebagai pembangun Negara Islam sangat berjasa
mewariskan pokok-pokok terpenting bagi hukum keadilan. Umar yang keras dan
tegas dikenal sebagai pemimpin yang menjunjung tinggi hukum dan keadilan. Dalam
sebuah pidato beliau pernah mengatakan, ‛Barang siapa melihat perbuatanku
menyimpang dari hukum, maka kamu berhak meluruskannya‛. Mendengar ucapan
Umar tersebut seseorang di antara pendengar berdiri dan kemudian berkata sambil
mengacungkan pedangnya, ‛Jika kami melihat tuan menyimpang, akan kami
luruskan dengan pedang kami‛. Bagaimana reaksi Umar terhadap sikap yang
mungkin dikategorikan kurang ajar pada masa sekarang tersebut? Bukannya beliau
marah, melainkan justru senang sambil memuji, ‛Segala puji bagi Allah yang telah
menjadikan di tengah-tengah umatku ini orang-orang yang sanggup meluruskan
kepincangan Umar dengan ujung pedangnya‛.
Jaminan keadilan hukum tidak hanya diberlakukan Umar di Madinah dan
Makkah, tetapi juga di daerah-daerah yang paling jauh. Dihadapan wakil-wakil
rakyat daerah yang berkunjung kepadanya, Umar berkata: ‛Hai rakyatku!
Sesungguhnya aku mengirim pejabat-pejabat untuk daerah bukan untuk mengganggu
(menyakiti) kulit tubuhmu dan harta bendamu. Mereka dikirim untuk menyelesaikan
segala persoalan di antara kamu!‛ (Ahmad, 2001).
Pada masa Rasulullah, jabatan hakim dirangkap dan dipimpin langsung oleh
Nabi. Hal yang sama dilakukan oleh khalifah Abu Bakar Shiddiq. Tetapi pada era
Umar bin Khattab, mengingat wilayah kekuasaannya semakin luas, beliau
mendelegasikan urusan ini kepada orang-orang kepercayaannya. Beliau mengangkat
Abu Darda’ untuk menjadi hakim di Madinah; memilih Syuraih di Bashrah, dan Abu
Musa al-Asy’ari di Kufah.

Sejarah Peradaban Islam .......49


Dalam surat beliau kepada Abu Musa al-Asy’ari, kita bisa mengetahui
bagaimana seharusnya jabatan hakim ini dilaksanakan. Pesan beliau: ‛...jabatan
hakim adalah tugas agama yang fardhu dan praktiknya diikuti secara
umum‛...‛Pahami ketetapan yang dibuat ...dan laksanakan bila sudah jelas, sebab tak
ada gunanya menyatakan suatu pembelaan yang tidak syah‛...‛Anggap sama semua
orang ...sehingga seorang bangsawan tidak mengharapkan kamu memihak, dan orang
bawahan tidak putus asa akan keadilanmu‛... ‛Penuntut harus mengemukakan fakta;
dan dari orang yang menolak fakta itu sumpah boleh diminta‛...Berdamai boleh di
kalangan kaum muslimin, kecuali perdamaian yang menghalalkan sesuatu yang
haram dan mengharamkan sesuatu yang halal‛...‛Jika kemaren kamu memberi
putusan, dan sekarang mengadakan pertimbangan kembali untuk menemukan
pendapat yang benar, keputusan kamu yang pertama jangan membuat takut untuk
menyelidiki kembali....lebih baik menyelidiki kembali daripada bertahan di dalam
kebathilan‛...‛Gunakan otakmu mengenai persoalan yang membingungkan dan yang
tidak disebutkan di dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Pelajari peristiwa yang sama dan
timbanglah situasi melalui padanannya‛...Apabila seseorang mengemukakan
gugatan...beri jarak waktu untuknya. Apabila dia dapat memberikan alasan dalam
tenggang waktu itu, hendaklah kamu hargai gugatannya...‛...‛Seluruh kaum
muslimin dapat diterima menjadi saksi, kecuali orang yang dihukum jild oleh
syari’at agama, seperti terbukti karena telah memberikan persaksian palsu, atau
dicurigai memihak oleh keturunan atau hubungan darah‛...‛Hindari kelesuan dan
kelelahan, dan janganlah jengkel terhadap para penuntut‛...‛Memutuskan keadilan di
dalam ruang-ruang pengadilan akan dilipatgandakan pahalanya oleh Allah‛.
Walaupun Umar terkenal sangat tegas dan keras, namun beliau paling benci
kalau ada pemimpin atau pejabat yang memperlakukan rakyat dengan semena-mena.
Menurut Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah, pada suatu hari Umar mendengar khabar
bahwa Amr bin Ash, gubernur Mesir ketika itu, menggunakan mimbar untuk berdoa.
Hal seperti ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Abu Bakar dan Umar sendiri setelah
memimpin shalat dan membacakan shalawat serta salam atas Nabi Besar
Muhammad SAW, berdoa untuk diri sendiri tanpa menggunakan mimbar.
Mendengar praktik yang dilakukan Amr bin Ash ini Umar menulis surat: ‛Amma
Ba’du. Saya mendengar bahwa Anda menggunakan mimbar dan meninggikan diri di
atas bahu kaum Muslimin. Apakah tidak cukup engkau berdiri saja sedangkan kaum
Muslim berada di bawah tumitmu? Karena itu saya berhasrat benar hendak
menghancurkannya sama sekali‛. Sayang, oleh penguasa sesudahnya larangan Umar
ini dilanggar. Terbukti pada masa sekarang semua khatib membaca doa dari atas
mimbar.
Sebagai pemimpin yang merakyat, Umar penuh pertimbangan dalam
mengambil keputusan. Sebagai gambaran, pernah suatu ketika Umar bertanya
kepada salah seorang wakilnya di suatu wilayah: ‛Apa yang akan Kamu kerjakan
ketika ada pencuri?‛ Dengan spontan wakilnya tersebut menjawab: ‛Akan kupotong

Sejarah Peradaban Islam .......50


tangannya!‛. Apakah Umar puas dengan jawaban wakilnya tersebut? Ternyata tidak!
Dalam sebuah kalimat tanya yang tidak memerlukan jawaban Umar berkata, ‛Jadi
jika ada di antara pencuri itu yang datang dalam keadaan lapar atau seorang
pengangguran, apakah Kamu akan memotong tangannya juga?‛ Karena tidak ada
jawaban, Umar melanjutkan: ‛Sesungguhnya Allah menjadikan kita khalifah-Nya
agar kita dapat menghilangkan kelaparan mereka, menutupi aurat mereka, dan
menjamin kebutuhan mereka. Jika kita telah memberikan berbagai nikmat ini, baru
kita menuntut munculnya rasa syukur mereka, yaitu sesungguhnya Allah telah
menjadikan tangan untuk bekerja. Jika Kamu tidak menemukan tangan seseorang
dipergunakan dalam ketaatan, maka ia dipergunakan untuk kemaksiatan. Sibukkan
dirimu dengan ketaatan sebelum kamu disibukkan oleh kemaksiatan!‛
Dari fragment di atas jelas bahwa bagi Umar menegakkan hukum itu perlu.
Tetapi kalau seandainya ada orang melakukan pelanggaran hukum, hendaknya
diteliti terlebih dahulu apa yang menyebabkan orang tersebut melanggar hukum.
Tugas khalifah adalah mendorong tiap orang dapat bekerja menafkahi hidupnya, agar
terhindar dari kefasikan dan perbuatan melanggar hukum karena keterpaksaan.
Untuk itu peluang kerja harus didorong dan diciptakan. Makna lain dari kebijakan
Umar di atas ialah bahwa penerapan suatu sistem hukum oleh seorang penguasa
harus bersyarat, yaitu setelah kebutuhan mereka tercukupi. Jika kebutuhan mereka
belum tercukupi, sehingga mendorong orang tersebut melanggar hukum, maka
penegak hukum tidak boleh dengan ‛ringan tangan‛ menjatuhkan hukuman begitu
saja.
Nasehat Umar di atas agaknya masih relevan bagi penguasa dan penegak
hukum kita saat ini di Indonesia, yang karena disebabkan sukarnya mencari
kehidupan dan memperoleh pekerjaan, telah memaksa sebahagian rakyat kecil
melakukan berbagai pelanggaran hukum seperti mencuri atau melakukan aktivitas
ekonomi informal sehingga mengganggu keamanan dan ketertiban. Sebelum
hukuman bagi mereka dijatuhkan, atau tempat berjualan mereka di‛tertib‛kan,
seyogyanya pemerintah harus berupaya sekuat tenaga menciptakan kesempatan kerja
dan membina mereka terlebih dahulu. Jika sudah bekerja dan bisa memenuhi
kebutuhan hidup dan keluarganya, tetapi masih melakukan korupsi seperti yang
menjadi gejala umum akhir-akhir ini di kalangan pejabat dan petinggi Indonesia,
baru boleh memberikan hukuman berat. Jangankan hukuman potong tangan,
hukuman mati bagi penguras harta negara disaat-saat perekonomian serba sulit ini
sangat pantas untuk dijatuhkan.
Dalam upayanya menegakkan keadilan, Umar sangat keras terhadap
keluarganya. Beliau tidak mau ada di antara keluarganya yang terlibat KKN. Dari
sebuah cerita yang diriwayatkan oleh Dainuri dari Malik bin Aus bin Hasan, pada
suatu waktu khalifah Umar bin Khattab pernah didatangi oleh delegasi Kaisar
Romawi. Ketika delegasi tersebut datang menghadap khalifah Umar bin Khattab,
isteri Umar memberikan sebotol minyak wangi sebagai bingkisan persahabatan

Sejarah Peradaban Islam .......51


kepada permaisuri Kaisar Romawi. Ketika utusan Kaisar Romawi tersebut datang
untuk kedua kalinya, ia membawa sebuah bingkisan sebagai balasan atas kiriman
sebotol minyak wangi yang diberikan isteri Umar terdahulu, hanya saja isinya bukan
minyak wangi sebagaimana yang diberikan oleh isteri Umar, melainkan sebotol
berlian yang tentu sangat mahal harganya. Mengetahui hal ini, Umar memerintahkan
kepada isterinya untuk menjual berlian tersebut, kemudian memberikan kepada
isterinya sekedar harga minyak wangi yang dikirim kepada permaisuri Kaisar
Romawi terdahulu, sedang sisa lebihnya dimasukkan ke baitul mal, kas negara.
Karena sudah berlaku adil dalam setiap pengambilan keputusan, Umar bisa
hidup tenang. Beliau bahkan bisa tidur nyenyak walau berbaring di kebun korma
sekalipun. Konon menurut sebuah riwayat, al-Hurmuzan mendapati Umar tidur
terlentang dengan nyenyaknya di kebun layaknya seorang petani yang tidur
didangau. Menyaksikan itu, al-Hurmuzan berkata kepada Umar bin Khattab, ‛Kamu
telah berlaku adil, merasa tenang, makanya bisa tidur nyenyak‛. Sekedar untuk Anda
diketahui, ‛privelege‛ bisa tidur nyenyak tidak dinikmati oleh semua pemimpin.
Mereka yang sering berlaku tidak adil, apalagi sering merampok uang negara, akan
susah tidur, walau terbaring di kasur empuk di rumahnya yang mewah dan dikawal
ratusan penjaga. Kalau Anda adalah salah satu di antara orang yang susah tidur
tersebut, cobalah resep Umar: Berlaku adillah, maka Anda akan mudah tidur
nyenyak, walau beralaskan tikar sederhana.

Perlakuan terhadap Non-Muslim


Umar menerapkan prinsip keadilan secara merata, tidak hanya bagi umat
Islam, tetapi juga kelompok-kelompok non-Muslim. Salah satu perintah beliau,
‛Hendaklah mereka (kaum non-Muslim) yang tinggal di negara Islam di penuhi isi
perjanjiannya, tidak diperangi, dan tidak diberi beban di atas kemampuannya.
Bagaimana upaya Umar menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat dan menjaga
hubungan baik dengan penganut agama Nasrani, dapat diikuti dari kisah berikut.
Sesudah menaklukkan Mesir, Umar r.a. dengan hati-hati memelihara harta benda
yang diwakafkan orang kepada gereja-gereja Kristen dan meneruskan pemberian
sumbangan yang diberikan oleh pemerintah sebelumnya untuk menyokong para
pendeta. Begitu juga Umar menjamin perlakuan sama dimata hukum terhadap
kejahatan yang dilakukan oleh orang Islam maupun Kristen. Sebagaimana dikutip
Syed Ameer Ali (1978) dari Zail’i dalam kitabnya Takhrif al-Hidayah, pada era
Umar ada seorang Islam bernama Bakar bin Wail membunuh seorang Kristen
bernama Hairut. Dalam Islam, apabila seorang Kristen atau dzimmi dibunuh oleh
seorang Islam, yang tersebut kemudian harus mendapat hukuman yang sama seperti
dalam keadaan sebaliknya. Oleh karena itu, atas peristiwa pembunuhan yang
dilakukan oleh Bakar bin Wail tersebut maka Umar memerintahkan supaya
‚pembunuh itu diserahkan kepada ahli waris orang yang terbunuh‚. Oleh ahli waris
Hairut, yaitu Hunain, Bakar bin Wail dibunuh. Hal ini menunjukkan bahwa hak

Sejarah Peradaban Islam .......52


seorang non-Muslim sama dalam pandangan hukum.
Perlakuan Umar terhadap kaum dzimmi sama baiknya dengan perlakuan
terhadap kaum Nasrani. Tentang perlakuan terhadap kaum dzimmi ini, Abu Yusuf
dalam kitab al-Kharaj mengutip Umar yang memerintahkan kepada Usman bin
Affan: ‚Aku serahkan kepadamu untuk mengurus dzimmi yang mempunyai
perjanjian dengan Rasulullah; jagalah supaya perjanjian dengan mereka terpelihara
dan belalah mereka dari musuh dan janganlah mereka dibebani melebihi
kemampuannya‚ (Ali, 1978).
Kalau perhatian Umar terhadap penganut agama Nasrani dan kaum dzimmi
sangat baik, ada beberapa pengamat menilai bahwa Umar memperlakukan orang-
orang Yahudi terlalu keras. Hal ini tentu ada sebabnya. Sebagaimana dikemukan
sebelumnya, orang-orang Yahudi yang pernah diusir Nabi berkumpul di Khaybar.
Oleh Nabi mereka dibiarkan tetap tinggal disana, bahkan juga dibiarkan menggarap
lahan-lahan pertanian mereka, dengan syarat membayar pajak tanah dan pajak
pertanian kepada pemerintah Pusat yang ada di Madinah. Pada waktu Umar menjadi
khalifah, pada awalnya beliau juga berusaha memperlakukan orang-orang Yahudi
dengan adil. Tetapi sebagaimana sudah disinggung sebelumnya, yang namanya
Yahudi selalu usil dan mengganggu. Mereka tidak jera menunjukkan permusuhan
terhadap Islam. Setelah Nabi wafat, mereka makin berani mengganggu berbagai
kepentingan Islam. Pada masa Umar, gangguan dari pihak Yahudi tidak lagi diberi
ampun, sebagaimana yang dilakukan Nabi sebelumnya. Oleh Umar yang terkenal
tegas dan keras, mereka ‛diusir‛ secara total dari Syria. Tetapi, yang namanya
‛pengusiran‛ terhadap kaum Yahudi masih ada etikanya. Sebagai gambaran,
terhadap kelompok-kelompok non-Islam di Semenanjung Arabia, seperti juga kepada
kaum Yahudi di Khaybar dan umat Kristen di Najran, Umar menawarkan apakah
akan tetap tinggal di Arabia dengan tidak mencampuri urusan pemerintah Muslim
atau pindah ke negara lain dengan diberi uang ganti rugi. Mereka waktu itu memilih
alternatif kedua, dan sebagai konsekwensinya kepada mereka diberikan ganti rugi
yang cukup besar disamping disediakan pula segala fasilitas yang menyangkut
perpindahan mereka. Pertanyaan yang lebih layak di ajukan sekarang adalah: Apakah
ada pimpinan sebuah negara mengusir kelompok yang terang-terangan tidak
mematuhi perjanjian damai dan terang-terangan pula berkhianat dengan ‛mengusir‛
dengan diberi uang ganti rugi dan dan disediakan fasilitas yang menyangkut
kepindahan mereka?

Akhir Kekuasaan Umar


Umar memerintah selama sepuluh tahun. Selama beliau berkuasa, kekayaan
negara sangat melimpah. Bagaimana dengan kekayaan Umar sendiri sebagai
penguasa? Walau ia dikenal sebagai penakluk, penguasa, negarawan, tetapi pola
hidup Umar sangatlah sederhana. Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa selama
menjadi khalifah Abu Bakar tidak mengambil uang sepeserpun dari kas negara,

Sejarah Peradaban Islam .......53


dimana untuk keperluan hidup keluarganya dibiayai dari penghasilannya sebagai
pedagang. Bagaimana dengan Umar? Karena Umar tidak memiliki kekayaan seperti
Abu Bakar dan Usman, maka sebagai khalifah beliau menggaji dirinya sendiri
sebesar 2 dirham. Uang sebesar ini dianggapnya sama dengan biaya hidup rata-rata
masyarakat Muslim waktu itu. Praktek yang dilakukan Umar ini jelas sangat berbeda
dengan ‚kebijakan‛ para pemimpin eksekutif dan legislatif di tanah air kita masa
sekarang, yang merasa sangat berhak mendapat gaji, bonus, dan tunjangan serta
fasilitas lain yang aduhai.
Selain tidak mau menikmati gaji yang tinggi, Umar juga tidak tertarik
memanfaatkan uang negara untuk membangun berbagai fasilitas semacam istana
untuk kesenangan diri pribadi. Kalau diingat bahwa di bawah Umar wilayah
kekuasaan Islam mencakup bekas wilayah imperium Persia, Bizantium, Romawi
Timur dan Sasaniah, yang artinya juga sebagai satu-satunya ‚Adi Kuasa‛ dunia
waktu itu, seharunya beliau tinggal di istana yang megah dengan fasilitas serba
lengkap layaknya seorang kisra atau kaisar. Tetapi bukannya punya istana megah,
Umar justru tetap tinggal di gubuk seperti rumah penduduk biasa. Kondisi rumah
Umar jelas kalah jauh dengan rumah gubernur atau bupati/walikota, bahkan
dibanding rumah dinas anggota DPRD di tanah air pada masa sekarang.
Sebagai Amir al-Mu’minim, beliau juga tidak begitu senang dikelilingi para
pengawal. Tentang hal ini ada sebuah pertanyaan menarik untuk diajukan: Apakah
seorang khalifah perlu pasukan pengawal? Pertanyaan ini, walaupun mudah, tidak
bisa dijawab dengan sepatah kata ‚Ya‛ atau ‚Tidak‛ saja. Pada suatu waktu Umar
pernah melakukan kunjungan ke Syam, yang waktu itu dipimpin oleh gubernur
Mu’awiyah. Entah untuk menunjukkan penghormatan pada Umar, atau justru
kepongahannya, Mu’awiyah menyambut kedatangan Umar dengan pasukan
pengawal yang sangat lengkap. Ironisnya, khalifah Umar justru datang menunggangi
seekor keledai yang jelas sekali sangat tidak ‚representatif‛. Waktu Umar yang
berpakaian seadanya sampai, Mu’wiyah yang berpakaian kebesaran turun dari kuda
tunggangannya yang gagah, dan dengan khidmad mengucapkan salam. Tetapi salam
Mu’awiyah tidak diacuhkan Umar. Melihat situasi yang kurang mengenakkan
tersebut Abdurrahman bin Auf menegur Umar: ‚Tuan telah menyusahkan gubernur
(Mu’awiyah) berdiri terus memberikan salam penghormatannya. Alangkah baiknya
kalau tuan bicara kepadanya walau sepatah kata‛. Mendengan nasehat tersebut
barulah Umar menoleh kepada Mu’awiyah, dan menanyakan perihal upacara
penyambutan dan pengawalan yang dinilainya terlalu berlebihan, ‚Apakah itu
tingkah kekisraan (kekaisaran) yang kau lakukan wahai Mu’awiyah?‛. Mendapat
pertanyaan seperti itu Mu’awiyah dengan gelagapan menjelaskan bahwa mengingat
ia bertugas di daerah yang relatif rawan maka ia perlu pengawalan untuk
menghindari serangan dari musuh dan mata-mata. Kemudian ia melanjutkan,
‚Meskipun begitu, hamba adalah pegawai tuan. Jika tuan menganggap pengawalan
ini terlalu berlebihan, dengan patuh dan taat hamba siap mematuhi perintah tuan‛.

Sejarah Peradaban Islam .......54


Mendengar penjelasan Mu’awiyah, sikap Umar sedikit melunak, ‚Kami cukup
mengerti alasan saudara. Kalau alasan itu benar adanya, maka sikap itu adalah hal
yang bijak. Tetapi jika alasan itu bohong, maka sikap itu adalah tipu muslihat yang
sangat merugikan‛. Selanjutnya tentang perlu atau tidaknya seorang penguasa
dikawal, Umar berkata: ‚Kami tidak menyuruh juga tidak melarangnya. Terserah
kepada kebijakan saudara untuk menentukannya‛.
Demikianlah pandangan Umar tentang pangawalan, tidak menyuruh dan
tidak melarang. Beliau sendiri berpendirian seorang penguasa tidak perlu mendapat
pengawalan super ketat, sebab dalam pandangan beliau hal tersebut hanya akan
menjauhkan seorang pemimpin dari rakyatnya. Disatu sisi keengganan Umar untuk
dikawal mungkin untuk menunjukkan kerendahan hati beliau. Tetapi beberapa
pengamat berspekulasi bahwa keadaan Umar tanpa pengawal inilah yang
menyebabkan beliau mudah diserang oleh pihak musuh. Ketika Umar sedang dalam
perjalanan hendak menunaikan shalat subuh di mesjid, beliau ditusuk dengan khanjar
oleh seorang Majusi (budak Persia) bernama Abu Lu’lu’ah, tanpa seorang
pengawalpun menolongnya. Tetapi, beliau tidak menyesal.
Untungnya, setelah ditikam beliau tidak langsung meninggal. Menjelang
akhir hayatnya Umar masih berhasil membentuk sebuah lembaga permusyawaratan
yang disebut syura, untuk menyelenggarakan khalifah baru yang berkuasa
sepeninggal beliau. Lembaga syura tersebut awalnya beranggotakan enam orang
sahabat, yaitu Abdul Rahman bin ‘Auf, Zubayr ibn Awwan, Talhah bin ‘Ubaidillah,
Sa’ad bin abi Waqqas, Usman bin Affan, dan Ali bin Abu Thalib. Sebetulnya ada
juga yang mengusulkan agar Umar mencalonkan puteranya sendiri, Abdullah bin
Umar. Tetapi saran ini ditampik beliau, ‚Tuan tidak bermaksud baik...bagaimana
saya mencalonkan seseorang (maksudnya Abdullah) menjadi khalifah sedangkan ia
lemah menghadapi urusan perceraian dengan isterinya...Tidak ada niat apa-apa bagi
kami dalam urusan negara ini. Saya tidak dapat memuji untuk menyukai keluarga
saya...Cukup saya sendiri dari keluarga Umar yang memikul jabatan ini...‚ (Ahmad,
2001). Setelah menolak pencalonan anaknya, maka oleh Umar keenam sahabat yang
disebutkan terdahulu disuruh bermusyawarah dan memilih salah satu di antara
mereka sebagai khalifah untuk menggantikan dirinya jika wafat.
Dalam proses selanjutnya, tiga di antara enam anggota tim pemilihan
mengundurkan diri, yaitu Sa’ad bin abi Waqqas, Zubayr ibn Awwan dan Talhah bin
‘Ubaidillah. Dari tiga calon yang tinggal, kemudian Abdurrahman bin Auf juga
mengajukan diri untuk mengundurkan diri dan keluar dari bursa pencalonan. Dengan
demikian, dua calon yang akan dipilih tinggal Usman bin Affan dan Ali bin Abi
Thalib. Untuk menjaring aspirasi masyarakat, Abdurrahman bin Auf berembuk dan
bermusyawarah dengan berbagai utusan dan golongan yang ada dalam masyarakat
tiga hari. Hasilnya, sebahagian besar rakyat lebih memilih Usman bin Affan sebagai
khalifah baru untuk menggantikan baginda Umar bin Khattab r.a (Rais, 2001).
Menurut Karim (2007), untuk menjadi ketua, tidak ada satupun di antara

Sejarah Peradaban Islam .......55


keenam anggota dewan pemilihan ini yang memilih dirinya sendiri, melainkan
memilih orang lain. Dengan cara seperti ini akhirnya yang terpilih menjadi ketua
dewan pemilihan adalah Abdulrahman bin ’Auf. Sebagai ketua Tim Formatur
Abdurrahman bin ’Auf bertanya kepada Usman: ‚Seandainya saya tidak
memilihmu, siapa yang akan engkau usulkan?‛. Usman menjawab: ‛Ali‛. Waktu
pertanyaan yang sama diajukan kepada Ali, ia menjawan: ‛Usman‛.
Dari catatan sejarah di atas dapat disimpulkan betapa semua calon pemimpin
saling menghargai, dan tidak ambisus untuk menjadi khalifah. Hal ini jelas berbeda
sekali dengan perilaku para pemimpin pada masa sekarang, baik dalam pemilihan
presiden, gubernur, bupati atau walikota, bahkan ketua RT sekalipun. Kita
menyaksikan dimana hampir semua calon yang ikut Pilpres maupun Pilkada
cenderung menjelek-jelekkan calon lain dan mengiklankan diri sendiri untuk
diangkat menjadi pemimpin.
Pada kesempatan ini ada suatu pertanyaan yang menarik untuk diajukan:
mengapa Umar membentuk Tim Formatur? Menurut William Muir dalam The
Caliphate: Its Rice, Decline and Fall (1892), alasan Umar membentuk Tim Formatur
adalah karena ia tidak sebaik Abu Bakar yang bisa menunjuk seseorang sebagai
penggantinya, juga tidak sebaik Nabi Muhammad yang membiarkan para sahabat
memilih pengganti, maka diambillah jalan tengah, yaitu dengan membentuk sebuah
tim formatur yang bertugas menentukan pengganti dirinya (Karim, 2007). Dengan
cara pemilihan paling demokratis di antara semua pemilihan Khulafaur-Rasyiddin,
Usman dipercaya menjadi khalifah ketiga menggantikan Umar.
Cara pemilihan Usman bin Affan sebagai khalifah ketiga oleh pakar-pakar
politik dipandang lebih sempurna dibanding pemilihan Abu Bakar dan Umar bin
Khatab. Akan tetapi menurut versi lain, waktu Umar sedang sekarat, terjadi
perbedaan pendapat tentang penerus kepemimpinan Islam. Waktu tinggal dua calon
kuat untuk menggantikan Umar, yaitu Ali bin Abu Thalib dan Usman bin Affan
terjadi rekayasa yang memojokkan Ali, dimana pada mulanya jabatan khalifah
ditawarkan pada Ali dengan catatan ia harus meneruskan tradisi corak pemerintahan
dua khalifah terdahulu. Tetapi Ali menolak persyaratan tersebut. Oleh karena itu
akhirnya dewan syura menetapkan jabatan khalifah diserahkan kepada Usman yang
lebih akomodatif dan bersedia menyanggupi persyaratan tersebut (Ali, 2003).
Seandainya informasi ini benar, berarti masalah perebutan kekuasaan sudah ada
waktu pemilihan khalifah ketiga untuk menggantikan Umar bin Khattab. Terlepas
versi mana yang benar, yang jelas setelah Umar bin Khattab meninggal dunia,
jabatan khalifah dipegang oleh Usman bin Affan.

C. Usman bin Affan (23-35H/644-656M).


Usman ibn Affan ibn Abdillah ibn Umayyah lahir di Taif tahun 573M dari
keluarga suku Quraisy kaya raya dan terpandang dari klan Bani Umayah. Beliau
termasuk sahabat yang paling awal masuk Islam, walau waktu itu orang-orang

Sejarah Peradaban Islam .......56


Quraisy dari Bani Umayyah lebih banyak memusuhi Nabi Muhammad dan agama
Islam. Sebelum masuk Islam beliau bergelar Abu Amar. Seperti halnya Umar bin
Khattab, Usman bin Affan juga bisa membaca dan menulis.
Pada masa-masa awal perjuangan Islam, Usman ikut dalam semua
peperangan mendampingi Nabi, kecuali Perang Badar, karena memang dilarang oleh
Nabi dan disuruh mendampingi isterinya Rukayah yang sedang sakit. Usman yang
berasal dari keluarga kaya raya ini terkenal penuh dedikasi dan pemurah hati. Beliau
tidak pernah ragu dalam menyumbangkan hartanya di jalan Islam. Di antaranya,
beliau telah memberikan sumbangan yang sangat besar dalam merenovasi mesjid al-
Haram di Makkah dan membangun mesjid Nabawi di Madinah.
Selain dikenal sebagai dermawan, catatan sejarah menunjukkan bahwa
Usman adalah pribadi yang saleh. Konon karena kesalehan dan kedermawanan serta
andilnya yang sangat besar dalam perjuangan Islam inilah Nabi berkenan
mengizinkan Usman menikahi putri Nabi bernama Rukayah. Bahkan waktu istrinya
yang pertama tersebut meninggal, Nabi memperkenankan Usman menikahi putrinya
yang lain, Ummi Kalsum. Karena Nabi mengizinkan Usman mengawini dua puteri
beliau, maka Usman juga digelari Dzu al-Nurain.

Kemajuan-Kemajuan yang Dicapai


Usman menjadi khalifah dalam usia lanjut, 70 tahun. Jabatan ini dipegang
beliau selama 12 tahun. Separo pertama dari pemerintahan Usman berjalan dengan
relatif damai. Begitu juga persatuan di antara kaum Muslimin masih bertahan.
Selama enam tahun pertama sebagai khalifah, Usman terus mengikuti manhaj atau
meneruskan berbagai kebijakan yang sudah digagas oleh Abu Bakar dan Umar.
Usman berhasil memperkuat daerah-daerah yang sudah ditaklukkan Umar
sebelumnya, dan bahkan terus memperluasnya.
Sejak era Umar bin Khattab, Syria dipercayakan pada gubernur Mu’awiyyah.
Ketika kekuasaan Romawi ingin mengambil alih kekuasaan atas Syria, Usman
mengirim pasukan sehingga Syria bisa dipertahankan. Bahkan berikutnya Usman
juga berhasil menguasai wilayah Asia Kecil dan negeri Cyprus, Rhodes dan Armenia.
Kemenangan atas Cyprus pada masa Usman adalah kemenangan armada laut yang
pertama dalam sejarah Islam. Atas perlindungan pasukan Islam, penduduk Asia Kecil
dan Cyprus bersedia membayar pajak sebagaimana yang mereka bayarkan pada
penguasa Romawi terdahulu. Berikutnya pelabuhan dan kota Alexandria dapat
direbut kembali dari penduduk Romawi. Kemudian menyusul sebahagian wilayah
Khurasan seperti Nishapur dan Thus juga ditaklukkan. Perluasan berlanjut hingga
sampai ke seluruh Afrika Utara, Andalusia, Kaukasus, perbatasan wilayah Bizantium
(Anatolia), Asia Tengah dan Transaksonia. Usman juga berhasil melanjutkan
ekspansi ke wilayah Timur. Kota-kota besar Persia seperti Hisraf, Kabul, Gazna,
Balkh, dan Turkistan berhasil ditaklukkan menjadi wilayah Islam. Setelah enam
tahun berkuasa, Usman berhasil memperluas wilayah kekuasaan Islam hingga

Sejarah Peradaban Islam .......57


terbentang dari Maroko di Aljazair hingga ke Aleppo di Timur Laut hingga
Transaksonia bahkan hingga Balukhistan (Pakistan sekarang) serta Kabul dan
Ghazni.
Selain cukup berjasa dalam memperluas wilayah kekuasaan Islam, pada
enam tahun pertama kekuasannya Usman juga berjasa membangun jalan-jalan,
mesjid-mesjid dan maktab-maktab serta bendungan untuk menjaga arus banjir besar
dan mengatur pembagian air ke-kota-kota yang ada dalam wilayah Islam. Semua
program pembangunan tersebut bisa dilakukan sebab dengan bertambahnya wilayah
kekuasaan Islam maka kekayaan baitul mal juga terus bertambah.
Dengan makin banyaknya orang masuk Islam dan makin luasnya wilayah
kekuasaan Islam, maka pada era Usman kekayaan baitul meningkat tajam. Dari
empat Khulafaur-Rasyiddin, adalah pada era Usman perekonomian mencapai
puncaknya. Mungkin karena kekayaan baitul mal terus bertambah, Usman merasa
perlu mengubah kebijakan dan pengadministrasian fiskal dari yang semula
terdesentralisir menjadi tersentralisir. Kalau pada Umar pejabat baitul mal
bertanggungjawab pada gubernur, maka pada era Usman pejabat baitul mal
bertanggungjawab langsung kepada khalifah.
Selain itu sumbangan utama Usman terhadap Islam ialah jasanya
memprakarsai kompilasi ayat-ayat Al-Qur’an yang telah disusun pada era Abu Bakar
menjadi lebih sempurna. Naskah yang disusun pada era Usman ini dikenal dengan
mashaf Usman. Konon naskah inilah yang dijadikan sebagai patokan hingga
sekarang.

Aroma Fitnah dan Nepotisme


Semua sisi keberhasilan sebagaimana dikemukakan di atas, mulai dari
semakin luasnya wilayah kekuasaan Islam, semakin penuhnya pundi-pundi kekayaan
negara, dan semakin maju dan berkembangnya perekonomian, terjadi pada enam
tahun pertama kekuasaan Usman. Akan tetapi pada enam tahun kekuasaan Usman
berikutnya, mulai banyak persoalan yang muncul. Fitnah tersebar kemana-mana.
Sebelum membahas persoalan ini lebih jauh, ada baiknya saya peringatkan
bahwa bahan bacaan, pembahasan dan analisis tentang Usman penuh dengan
kontroversi. Banyak tulisan yang sangat memojokkan Usman, dan tidak sedikit pula
yang membela. Sumber-sumber yang didominasi oleh ahlus-sunnah pendukung Bani
Abbasiyah, apalagi sumber yang berasal dari kaum Syiah pendukung Ali bin Abi
Thalib, pada umumnya bernada menjelek-jelekkan Usman. Kelompok yang tidak
suka pada Usman menuduh bahwa Usman korup dan penuh dengan kolusi dan
nepotisme (yang sekarang disebut KKN). Sementara pendukung Bani Umayyah
kebanyakan mengambil posisi sebagai pembela. Dengan pendekatan cover both side
of the strory, maka dalam pembahasan berikut pandangan kedua pihak yang
bertentangan ini di bahas secara berurutan.
Serangan yang paling gencar terhadap Usman ialah bahwa dalam

Sejarah Peradaban Islam .......58


memerintah beliau terlalu banyak mengambil kekayaan negara untuk dirinya sendiri
serta untuk sanak famili dan kroni-kroninya. Jadi, dibandingkan dengan dua khalifah
terdahulu yang relatif bersih dari gosip, pemerintahan Usman dituding korup dan
diwarnai nepotisme. Walaupun beliau tidak melakukan korupsi untuk dirinya sendiri,
tetapi banyak pengamat berkesimpulan bahwa para keluarganya telah memanfaatkan
kekuasaan Usman untuk memperkuat klan Bani Umayah. Para sanak familinya
bukan membantu agar Usman bisa memerintah dengan baik, tetapi justru
merongrong beliau. Hampir semua pengamat sepakat bahwa Usman terlalu lunak
terhadap keluarganya. Karena Usman tidak bisa bertindak tegas terhadap famili-
familinya, hal ini dimanfaatkan mereka dalam memperebutkan harta baitul mal demi
kepentingan diri mereka masing-masing.
Pada tahun-tahun terakhir pemerintahannya, Usman yang terlalu pemurah,
tidak tegas dan makin tua, dikendalikan oleh kelompok Umayah. Merekalah
sesungguhnya menjalankan pemerintahan, sedang Usman yang sudah tua tidak benar
-benar tahu apa yang terjadi dengan rakyatnya. Menurut Syed Ameer Ali (1978),
kelompok Umayah inilah yang paling awal mengguncang dunia Islam karena
kebiasaan korup dan KKN mereka, dan menghancurkan orang-orang yang paling
mulia dan dihargai seperti Ali dan keluarganya. Kelompok Umayah yang
mengendalikan Usman termasuk mereka yang membenci dan memusuhi Nabi ketika
beliau menyiarkan agama Islam. Mereka terlibat memburu dan mengusir Nabi dari
Makkah. Setelah Makkah jatuh, dan tak mungkin lagi bagi mereka untuk melawan
kekuatan Islam, kebanyakan mereka pura-pura masuk Islam. Artinya, mereka bukan
masuk Islam karena menyadari kebaikan nilai-nilai Islam, melainkan demi
menyelamatkan diri sendiri. Itulah sebabnya kelompok ini disebut sebagai muallaf al
-kulub, yaitu orang-orang yang masuk Islam karena kepentingan diri dan
keserakahan untuk mendapatkan sebahagian harta dunia yang jatuh ke tangan
pemerintah oleh kemenangan Islam. Waktu Usman terpilih sebagai khalifah ketiga
menggantikan Umar, orang-orang yang tidak bermoral dan serakah yang membenci
demokrasi dan persamaan hak ini berbondong-bondong datang ke Madinah ‚seperti
burung elang mencium mangsa‛. Kelompok Umayah yang dimaksudkan Syed Ameer
Ali tersebut antara lain: Hisyam, Marwan dan Mu’awiyah. Hisyam baru masuk Islam
setelah Makkah jatuh ke tangan pasukan Muslim. Tetapi karena membocorkan
rahasia negara, pada masa Nabi ia diasingkan. Pada waktu Abu Bakar dan Umar
berkuasa pengasingan terhadap Hisyam tetap dijalankan. Tetapi pada waktu Usman
berkuasa, ia dipanggil. Bahkan lebih dari itu, ia dihadiahi uang sebesar 100.000
dirham plus sebidang tanah milik negara.
Tentang Hakam ceritanya tidak jauh berbeda. Menurut Jordac (2004) Hakam
adalah tetangga Nabi yang membenci ajaran Islam. Waktu Makkah ditaklukkan
tahun ke-8 hijriah, ia masuk Islam. Tetapi perangainya tidak berubah. Ia sering
mengejek Nabi, dan bahkan pernah kedapatan mengintip Nabi ketika sedang
bersama salah saorang isteri beliau. Atas perbuatannya tersebut Nabi

Sejarah Peradaban Islam .......59


mengultimatum: ‛Hakam dan keturunannya tidak boleh tinggal dimana aku tinggal‛,
dan sejak itu ia diasingkan bersama isterinya ke pinggiran kota Tha’if. Ketika Nabi
meninggal Usman mendekati Abu Bakar agar membolehkan Hakam kembali ke
Madinah. Tetapi permintaan Usman tersebut ditolak Abu Bakar. Upaya Usman
membawa Hakam ke Madinah kembali gagal waktu jabatan khalifah dipegang Umar.
Adalah waktu Usman berkuasa, Hakam bukan hanya diizinkan kembali ke Madinah,
tetapi juga dihadiahi tanah Fadak dan fasilitas lain. Waktu Hakam kembali ke
Madinah, ia berpakaian compang camping. Tetapi waktu meninggal konon ia
mengenakan jubah bulu dan kain sutera yang sangat mahal dan meriah.
Usman tidak hanya memberikan perhatian yang berlebihan terhadap Hakam,
tetapi juga kepada putera Hakam, yaitu Marwan bin Hakam. Oleh Usman Marwan
diangkat jadi sekretaris dan wazir, juga dikawinkan dengan seorang anak perempuan
Usman yang bernama Umm Aryan. Sebagai mahar perkawinan, ia dihadiahi
seperlima dari rampasan yang ia terima dari negara-negara Afrika plus uang 100.000
dirham dari baitul mal. Pada tahun-tahun pemerintahan Usman yang semakin uzur,
Marwan inilah yang lebih banyak mengendalikan pemerintahan, termasuk
menggendalikan harta baitul mal.
Selain itu Usman juga dinilai bersalah mengukuhkan Mu’awiyah (putra Abu
Sufyan dengan Hindun yang terkenal kejam mencabik-cabik hati paman Nabi
Hamzah) sebagai gubernur Syria, bahkan meluas hingga ke Palestina dan Hamas.
Mu’awiyah yang ditengarai sebagian pengamat suka menerima sogok ini juga
dipercaya untuk memimpin empat satuan tentara Muslim. Kesalahan Usman lainnya
ialah bahwa beliau telah memberikan jabatan-jabatan strategis pada sanak famili dan
kroni-kroninya. Misalnya, gubernur Bashrah Abu Musa al-Asyari, seorang sahabat
dan pemeluk Islam paling awal, diganti dengan sepupu beliau Abdullah bin Amir.
Gubernur Mesir yang merakyat, Amr ibn ’Ash, diganti dengan sepupu Usman
lainnya Abdullah ibn Sa’ad ibn Abi Sarah. Gubernur Kufah Sa’d bin Abi Waqqash
yang pernah berjasa dalam penaklukan Persia dipecat dari jabatannya dan diganti
dengan saudara tirinya (dari pihak ibu), Walid bin Uqbah. Padahal, dalam berbagai
buku sejarah Walid bin Uqbah yang terkenal dengan sebutan ‛Anak Neraka‛ dan
suka mabuk-mabukan minum khamar ini pernah meludahi muka Nabi dan bahkan
pernah nyaris mencekik Nabi.
Menurut Ameer Ali (1978), baik Mu’awiyah maupun Abdullah dan Walid
yang menjadi penguasa di wilayahnya masing-masing, tidak satupun yang beres
perangainya. Lebih-lebih Walid. Walaupun sudah tua, tetapi ia memiliki moral bejat,
suka berbuat cabul dan sering kedapatan mabuk-mabukan. Walid ini konon pernah
memimpin shalat subuh dalam keadaan masih mabuk karena kebanyakan minum
anggur. Waktu ia jatuh dan orang-orang menolongnya berdiri, ia malah minta
tambah anggur. Dalam kitab al-Ansab tercatat bahwa Allamah Baladzuri berkata,
‛Ketika Walid diangkat sebagai gubernur Kufah, Abdullah bin Mas’ud bertugas
sebagai bendahara baitul mal. Walid meminjam banyak uang dari baitul mal, tetapi

Sejarah Peradaban Islam .......60


waktu ditagih Walid tidak mau mengembalikan uang tersebut. Hal ini dilaporkan
Abdullah bin Mas’ud kepada Usman, tetapi Usman berbalik memarahi Abdullah bin
Mas’ud melalui sebuah surat yang berbunyi, ’Kamu hanyalah seorang bendahara.
Jangan menekan Walid (untuk) mengembalikan uang yang ia pinjam. Engkau tidak
boleh membantah Walid!‛.
Di bawah Usman yang dikendalikan oleh orang-orang serakah dan licik
seperti Hisyam, Marwan dan Mu’awiyah terjadi perubahan radikal dalam politik dan
pemerintahan Islam. Memang gelar khalifah jatuh ke tangan Usman, tetapi yang
betul-betul menjadi pemegang kendali adalah keluarganya Hisyam, Marwan dan
Mu’awiyah, yang kejujuran dan integritasnya sangat diragukan. Tidak heran jika
Syed Ameer Ali (1978) menyimpulkan bahwa Usman sangat lemah dan tidak
mempunyai kualitas untuk menjadi khalifah. Menurut Syed Ameer Ali, Usman tidak
memiliki kecerdasan seperti Abu Bakar dan tidak pula mempunyai kemampuan
intelektual dan kekuatan moral seperti Umar bin Khattab.
Keramahan dan sifat Usman yang suka menganggap enteng segala
sesuatunya telah membuat ia menjadi alat yang mudah diperalat sanak famili dan
kroni-kroninya yang haus harta dan kekuasaan. Adalah atas saran-saran orang-orang
seperti Hisyam, Hakam dan Mu’awiyah khalifah Usman bin Affan memerintah,
termasuk mengangkat dan memberhentikan para pejabat. Atas saran mereka semua
gubernur dan panglima yang dekat dengan Rasulullah dan para sahabat diganti
dengan kroni-kroninya orang-orang Umayah. Terutama semua jabatan ‚basah‛
diambil alih oleh orang-orang Umayah. Dengan menguasai hampir semua jabatan
‛basah‛, dapat dikatakan mereka menguasai baitul mal dan sebahagian besar sumber
-sumber daya negara, baik di ibukota Madinah maupun di propinsi-propinsi.
Menurut ketentuan, pajak di satu daerah digunakan terlebih dahulu untuk
membantu kaum fakir dan miskin yang ada di tempat tersebut, dan hanya kalau
berlebih baru sisanya dikirim ke ibu kota. Tetapi waktu Usman berkuasa, ia
memerintahkan agar seluruh hasil pajak dikirim ke ibukota negara, dan selanjutnya
oleh Usman harta ini kemudian digunakan sesukanya, sebahagian dihadiahkan pada
sanak famili dan kroni-kroninya. Konon seluruh pajak yang diterima dari wilayah
Afrika, yaitu dari Mesir sampai Tangiers, diberikan Usman kepada Abdullah bin Abi
Sarha. Usman juga memberikan uang 100.000 dirham pada Khalid bin Usa’id dan
200.000 dirham pada Abu Sufyan bin Harb. Padang rumput di sekitar Madinah yang
dinyatakan Nabi sebagai lahan umum, oleh Usman diberikan khusus pada sanak
familinya dari klan Umayah. Sejak itu hanya unta milik keluarga Bani Umayah yang
boleh merumput disana. Pasar yang diwakafkan Nabi bagi kaum Muslim di Madinah
diberikan Usman kepada Harts bin Hakam. Waktu Harts bin Hakam mengawini
puteri Usman yang bernama Aisyah, beliau menambah lagi pemberian hadiah kepada
menantunya tersebut 100.000 dirham plus banyak sekali onta yang diterima dari
berbagai wilayah Islam. Menurut Jordac (2004), minimal Usman memperkaya
menantunya Harts bin Hakam dengan tiga cara: memberikan uang sebanyak 300.000

Sejarah Peradaban Islam .......61


dirham dari baitul mal; memberikan seluruh unta yang ia (Usman) terima sebagai
zakat; dan memberikan seluruh harta yang diberikan Nabi untuk kaum Muslim
dalam bentuk jagir (tanah negara).
Beberapa sahabat dipimpin oleh Ali bin Abi Thalib pernah membicarakan
terlalu banyaknya hadiah yang diberikan Usman kepada sanak familinya seperti
Harts bin Hakam. Tetapi dengan enteng Usman menjawab, ‛Ia kerabat dekat saya‛.
Para sahabat berkata bahwa Abu Bakar dan Umar juga punya kerabat dekat, tetapi
nyatanya tidak pernah memberikan uang baitul mal kepada kerabat dekat mereka.
Dituding seperti ini Usman malah menjawab, ‛Abu Bakar dan Umar bin Khattab
mencari pahala dari Allah dengan cara membiarkan saudara-saudaranya serba
kekurangan, sedang saya mencari pahala dari Allah dengan cara memberi kesenangan
kepada mereka‛. Dalam banyak kitab sejarah, ada kutipan bahwa Usman sendiri
pernah berkata: ‛Harta ini milik Allah, dan saya (selaku khalifah) akan
memberikannya kepada siapa siapa saja yang saya sukai dan tidak akan
memberikannya kepada orang yang saya enggan memberikannya. Saya tidak perduli
apakah ada orang yang jengkel karenanya‛ (Jordac, 2004).
Dengan hadiah yang begitu besar dan penguasaan tanah-tanah yang luas
tersebut maka dalam waktu singkat sanak famili dan kroni-kroni Usman berubah
menjadi kapitalis dan tuan-tuan tanah yang kaya raya. Dari berbagai sumber yang
dikutip oleh Jordac (2004), Thalhah bin Ubaidillah membangun istana megah di
Kufah yang terkenal dengan nama Dar al Thalhatain. Selain itu ia juga membangun
istana di Madinah yang menyerupai istana Usman, dan waktu mati ia meninggalkan
seribu buhar (kulit lembu) yang penuh dengan emas, berjumlah sekitar 3.000 butir
emas dan perak. Zubayr bin Awwam juga membangun banyak istana dan bangunan
megah di kota-kota seperti Bashrah, Kufah dan Iskandariah, mempunyai 50.000 uang
emas dan 1.000 kuda, 1.000 budak laki-laki dan 1.000 budak perempuan. Selain itu
Zubayr masih mempunyai beberapa jagir (tanah luas) di Mesir dan banyak rumah di
Iskandariah. Waktu ia meninggal, minimal Zubayr meninggalkan 11 rumah di
Madinah, 2 rumah di Bashrah, dan 1 di Kufah; dan empat orang isterinya masing-
masing mendapat warisan 1.200.000 (tidak disebutkan mata uangnya, tetapi menurut
Tarikh ibn Kasir, uang itu adalah dirham). Para pengamat bertanya-tanya. Walau
Thalhah dan Zubayr harus diakui sebagai pemeluk Islam paling awal dan sahabat
Nabi, tetapi apa keistimewaan mereka untuk mendapatkan harta dan fasilitas yang
begitu melimpah yang bersumber dari maitul mal?
Selain Thalhah dan Zubayr, masih banyak famili dan kroni Usman yang
mendapat fasilitas dari Usman. Di antaranya Abdurrahman bin Auf dan Zaid bin
Tsabit. Iparnya Abdurrahman bin Auf yang menjadi ketua Tim Formatur dalam
pemilihan Usman sebagai khalifah ketiga, memiliki banyak istana dan bangunan
megah, mempunyai seribu onta, 10.000 kambing dan banyak kuda, dan kekayaan 3
juta dinar. Zaid bin Tsabit waktu mati meninggalkan banyak harta dan batangan-
batangan emas, dan konon batangan-batangan emas ini harus dipotong-potong

Sejarah Peradaban Islam .......62


dengan kampak agar bisa dibagi-bagikan kepada para ahli warisnya.
Bagaimana dengan Usman sendiri dan keluarganya? Konon mereka juga
mendapat bagian. Mungkin agak mengejutkan bahwa ahli sejarah Islam Ibnu
Khaldun dalam Muqaddimah mengutip tulisan ahli sejarah sebelumnya yaitu al-
Mas’udi yang mengatakan, ‛ Pada hari Usman terbunuh, ada 150 ribu dinar dan 1
juta dirham di tangan bendahara. Harga perkebunan yang terdapat di Lembah Qura
dan Hunain serta tempat lain 200 ribu dinar. Dia juga meninggalkan banyak sekali
unta dan kuda‛.
Usman sangat berbeda dengan Abu Bakar dan Umar dalam penggunaan kas
negara. Kalau Abu Bakar yang cukup kaya (dari hasil berdagang) tidak menerima
uang sepeserpun atas jabatannya sebagai khalifah, dan Umar hanya menggaji dirinya
2 dirham untuk keluarganya karena ia tidak mempunyai kekayaan lain seperti Abu
Bakar, maka pada waktu Usman berkuasa keadaan sangat berbeda. Ada pengamat
yang menuding bahwa Usman yang menganggap dirinya sebagai tuan kaum Muslim
merasa berhak atas seluruh kas negara, juga berhak membagi-bagikan harta negara
tersebut kepada siapa yang disukainya. Yang menjadi masalah, walaupun beliau ada
membagi-bagikan harta negara kepada orang-orang miskin, tetapi yang paling
banyak dapat terutama yang berasal dari keluarganya sendiri. Tidak heran sejak era
Usman perbedaan antara kelompok kaya dengan yang miskin makin mencolok.
Keluarga Usman mampu memiliki tanah-tanah yang luas, sedang rakyat jelata dan
petani biasa hidup serba kekurangan. Sebahagian petani yang tidak memiliki modal
untuk menggarap lahan mereka, terpaksa menjualnya kepada para pejabat yang
berubah menjadi tuan-tuan tanah, yang notabene adalah juga keluarga Usman.
Selama pemerintahan Islam, baru pada era Usman mulai terjadi praktik jual beli,
gadai dan sewa tanah. Pada era sebelumnya praktik seperti ini jarang terdengar.
Dengan cara seperti inilah keluarga dan kroni-kroni Usman menguasai lahan-
lahan subur dan daerah-daerah produktif di Mesir, Kufah dan Bashrah. Dengan
mengkomersilkan lahan-lahan mereka yang sangat luas, maka dalam waktu singkat
para sanak keluarga dan kroni-kroni Usman berubah menjadi tuan tanah yang sangat
kaya raya. Jika semua informasi yang dikatakan di atas benar, maka bagi Anda yang
suka menonton Telenovela dari Amerika Latin, akan mudah membayangkan bahwa
status sosial petani kaya keluarga dan kroni-kroni Usman ini mirip dengan tuan-tuan
tanah di Amerika Latin yang memiliki lahan yang sangat luas (yang disebut
Latifundo), yang mempekerjakan ratusan bahkan ribuan tenaga kerja paksaan dari
rakyat jelata.
Para pengamat yang tidak menyukai Usman berkesimpulan bahwa jurang
antara keluarga Usman yang kaya raya dengan rakyat jelata yang miskin papa begitu
menyolok. Bagaimana ketimpangan sosial waktu itu dapat diikuti dari kutipan
Jordac (2004) dari Thaha Husein dalam bukunya yang berjudul ‛ Al-Fitnatul Kubra‛
sebagai berikut, ‛Di satu sisi terdapat tuan tanah yang besar dan bangsawan, dan di
sisi lain adalah rakyat jelata yang merupakan budak dari para tuan tanah dan

Sejarah Peradaban Islam .......63


bangsawan itu. Darinya muncul suatu kelas baru dalam Islam, yaitu orang-orang
yang merupakan para kepala kaum menurut adat kesukuan yang berlaku di
Semenanjung Arabia, yang sekarang telah menjadi lebih menonjol dan terhormat
karena kelimpahan kekayaan dan sejumlah besar sekutu‛.
Menurut mereka yang membenci Usman, inilah awal pertama lahirnya kelas
bangsawan dalam Dunia Islam. Para pejabat yang berubah menjadi tuan-tuan tanah
ini pada umumnya tidak ikut bekerja, tetapi sibuk berfoya-foya. Semua pekerjaan
dilakukan oleh para budak dan pelayan. Begitu juga untuk menggarap tanah-tanah
mereka yang semakin luas tersebut mereka mempekerjakan ribuan petani sebagai
buruh yang digaji dengan upah rendah. Keadaan ini menambah perbedaan antara era
Usman dengan era sebelumnya. Kalau pada zaman Rasulullah, Abu Bakar dan
terutama sekalu Umar bin Khattab, perbedaan kelas-kelas masyarakat dihapuskan
dan jumlah budak semakin sedikit, pada era Usman perbedaan kelas-kelas
masyarakat makin kontras dan begitu juga jumlah pelayan dan budak semakin
banyak. Jurang antara yang kaya dengan yang miskin juga semakin menganga.
Pada tahun-tahun terakhir pemerintahan Usman makin banyak sahabat yang
mengeluh tentang kelakuan para kroni Umayah. Sebahagian ada yang memberikan
masukan. Sayang, para sahabat yang berusaha menasehati Usman justru dimarahi
dan didiskreditkan. Sebagai contoh, Abu Dzar yang menyaksikan bahwa di Syria
Mu’awiyah hidup mewah melebihi Usman dan Marwan. Ia menggunakan uang baitul
mal semaunya, termasuk membangun Istana Hijau. Menyaksikan ini, Abu Dzar
menulis surat kepada Mu’awiyah, ‛Bila Anda membangun istana ini dengan
memakai milik Allah maka Anda telah berdosa karena penyelewengan, dan bila
Anda menggunakan uang dari kantong Anda sendiri maka Anda telah berbuat
kemubaziran‛. Mendapat surat yang berisi kecaman tersebut, Mu’awiyah meminta
nasehat pada Usman apa yang harus dilakukan terhadap Abu Dzar. Konon Usman
memutuskan membuang Abu Dzar dan keluarganya ke Rabadzah, sebuah daerah
yang terkenal tandus dan tidak dihuni manusia. Akibat pembuangan ini Abu Dzar
beserta anak-anaknya meninggal karena kelaparan dan tersiksa. Peristiwa ini dan
berbagai tindakan Usman yang tidak baik terhadap para sahabat lainnya seperti
Abdullah bin Mas’ud dan Amnar bin Yasir, telah menimbulkan antipati rakyat
terhadap Usman dan kroni-kroninya (Jordac, 2004).
Karena makin lama keadaan semakin parah, beberapa sahabat mendekati Ali
bin Abi Thalib agar mau membicarakan tentang kelakuan para kroni Umayah. Waktu
keluhan ummat disampaikan oleh Ali, beliau berjanji akan memperbaiki keadaan.
Tetapi sebentar kemudian para kroni tersebut kembali berhasil merayu Usman untuk
mengambil berbagai kebijakan yang menguntungkan mereka, sehingga
penyelewengan tidak pernah benar-benar berhasil dituntaskan. Menyadari saran
mereka tidak dilaksanakan, para sahabat dipimpin oleh Ali kembali berusaha
memberikan saran bagi perbaikan pemerintahan Usman. Tetapi kali ini mereka
dihalang-halangi oleh orang yang paling berpengaruh dalam kebijakan-kebijakan

Sejarah Peradaban Islam .......64


Usman, yaitu Marwan. Marwan bahkan berani memutar fakta dan menghasut Usman
dengan mengatakan bahwa Ali dan para sahabat besar lain berkomplot melawannya.
Akibat hasutan tersebut, pada tahun-tahun terakhir pemerintahannya Usman tidak
mau lagi berkonsultasi dengan Ali bin Abi Thalib. Hubungan di antara kedua sahabat
ini makin renggang.
Kian hari rakyat semakin tidak suka terhadap Usman. Gaya hidup Usman
dan keluarga serta kroni-kroninya sangat bertentangan dengan yang dicontohkan
Nabi, Abu Bakar dan Umar. Semuanya hidup sederhana, tidak mau memanfaatkan
harta baitul mal untuk kepentingan diri dan keluarga serta kawan-kawannya. Mereka
mendahulukan kepentingan rakyat dari diri sendiri. Kalau ada pejabat yang
menyalahgunakan jabatan dan menindas rakyat, dipecat dan ditindak tegas. Tetapi
pada masa Usman yang terlalu didikte oleh kroni-kroninya, keadaan berubah total.
Keluarga Usman dan kroni-kroninya hidup berkelimpahan, sedang perhatian
terhadap kelompok miskin jauh berkurang.

Pembelaan terhadap Usman


Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa pada enam tahun pertama
pemerinmtahan Usman berjalan cukup baik, bahkan banyak kemajuan yang dicapai.
Tetapi pada enam tahun kedua banyak persoalan yang timbul. Fitnah muncul dimana
-mana. Menurut para pengkritiknya, hal ini disebabkan pemerintahan Usman penuh
dengan KKN. Kritikan paling keras umumnya berasal dari pendukung Bani
Abbasiyah dan pendukung fanatik Ali bin Abi Thalib dari kaum Syiah. Tetapi
walaupun banyak pengamat yang mengritik Usman, tidak sedikit pula yang
memberikan pandangan lebih netral dan membela beliau.
Menurut Syamsyuddin Muir (2008), cerita sejarah yang terkesan
mendiskreditkan Usman bersumber dari tiga orang, yaitu Abu Mukhnif Lud bin
Yahya, Saif bin Umar at-Tamimi dan Muhammad bin Umar al-Wakidi. Ulama-
ulama besar seperti Imam Nasa’i, Imam Syafi’i, Imam Bukhari, Imam al-Dualibi,
Imam Abu Hatim al-Razi dan Imam Syamsuddin al-Dzahabi, semuanya menolak
kritikan dan cercaan dari kelompok yang disebutkan pertama. Sejarawan klasik
Imam Ibnu Katsir dan Imam Al-Zhahabi, atau Hitti dan K.Ali, atau oleh Muhammad
Imarah (Guru Besar Universitas Kairo) dan Ramadhan Al-Buthi (Guru Besar
Universitas Damaskus), memiliki pandangan yang berbeda. Mereka memang tidak
menentang pendapat bahwa Usman lemah dalam menghadapi pengaruh keluarganya
dari bani Umayah. Tetapi mereka mempunyai data yang berbeda tentang ‛bukti‛
bahwa Usman KKN.
Beberapa kebijakan Usman yang membuat beliau dituding KKN adalah
waktu beliau mengangkat sepupunya Abdullah bin Sa’ad menggantikan gubernur
Mesir Amr bin Ash dan menempatkan kerabatnya Mu’awiyah menjadi gubernur di
Syria. Tuduhan ini tidak berdasar. Menurut Hitti (1974), pemecatan Amr ibn ’Ash
untuk kemudian digantikan dengan Abdullah ibn Sa’ad bukan tanpa alasan. Walau

Sejarah Peradaban Islam .......65


harus diakui bahwa Amr ibn ’Ash disukai oleh rakyat Mesir Utara, tetapi faktanya ia
telah gagal dalam pengumpulan pajak di wilayahnya. Sebagai perbandingan, Amr ibn
’Ash hanya mampu mengumpulkan pajak di Mesir Utara separo dari jumlah pajak
yang berhasil dikumpulkan Abdullah ibn Sa’ad ibn Abi Sarah di Mesir Selatan.
Padahal potensi di Mesir Utara lebih besar dibanding potensi di Mesir Selatan.
Karena itu Usman memutuskan Amr ibn ‘Ash menjadi amir (gubernur) di seluruh
Mesir, dan Abdullah ibn Sa’ad jadi amil (pengumpul pajak) di seluruh Mesir. Tetapi
atas keputusan ini Amr ibn ‘Ash merasa tidak senang dan memprotes; ‚Jadi posisiku
adalah seperti orang yang memegang sapi di kedua susunya sementara orang lain
(maksudnya Abdullah ibn Sa’ad) memerah susunya‛. Karena protesnya dinilai
melebihi batas sopan santun, akhirnya Usman memecat Amr ibn ‘Ash, dan jabatan
amir merangkap amil diserahkan kepada Abdullah ibn Sa’ad.
Prof. K.Ali (2003) juga menganggap bahwa tuduhan Usman KKN karena
telah mengangkat Abdullah bin Sa’ad adalah tidak tepat. Walau harus diakui bahwa
Abdullah bin Sa’ad adalah sepupu Usman, tapi menurut Prof. Ali, bukan itu yang
mendasari pengangkatan Abdullah bin Sa’ad. Sejarah mencatat bahwa Abdullah bin
Sa’ad sudah jadi pejuang Islam dengan jasa sangat besar jauh sebelum Usman jadi
khalifah. Kenyatannya, Abdullah bin Sa’ad adalah orang yang paling berjasa
melawan pihak Romawi di Afrika Utara, dan selain itu juga dikenang sebagai
panglima Islam yang pertama yang berhasil mendirikan angkatan laut. Menurut
Karim (2007), dilihat dari upaya meletakkan ‚the right man on the right place‛
keputusan Usman di atas sudah tepat. Mereka yang diangkat terbukti berprestasi,
professional dan memiliki kinerja yang baik. Masalahnya, keputusan tersebut tidak
disukai rakyat, sebab Abdullah ibn Sa’ad dalam upaya pengumpulan pajak bertindak
agak keras, sehingga diprotes rakyat.
Tuduhan bahwa Usman telah memberikan kas negara pada Abdullah, juga
tidak tepat. Usman memang memberikan uang yang diperolehnya dari al-Khums
pada Abdullah sebagai hadiah atas kemenangan yang diraihnya dalam pertempuran
menghadapi musuh di laut. Tetapi al-Khums sendiri adalah haknya sebagai khalifah.
Dengan demikian yang diberikan kepada Abdullah adalah dari hartanya sendiri,
bukan dari kas negara..
Begitu juga tentang pengangkatan Mu’awiyah jadi gubernur di Syria, hal
tersebut telah dilakukan pada waktu Umar berkuasa, sedangkan Usman hanya
mempertahankan saja. Bahkan pada masa Rasulullah Mu’awiyah faktanya dijadikan
sebagai salah seorang sekretaris oleh Nabi. Kontroversi lainnya adalah tentang
pengangkatan Marwan sebagai sekretaris negara. Disatu sisi memang Marwan masih
sepupu Usman, tetapi Marwan diangkat sebagai sekretaris negara adalah karena ia
ahli tatanegara.
Masih banyak bukti yang menunjukkan bahwa tuduhan terhadap Usman
tidak berdasar. Misalnya, waktu Walid bin Uqbah, gubernur Kufah yang juga
keluarga dekat Usman, terbukti terlibat dalam perilaku mabuk-mabukan, Usman

Sejarah Peradaban Islam .......66


tidak hanya memecat Walid, tetapi juga menjatuhi hukuman cambuk, sesuai syariat
Islam.
Usman juga pernah dituduh menggunakan padang rumput milik negara
untuk kepentingan pribadi dan melarang masyarakat umum menggembalakan unta
dan kuda mereka disitu. Padahal, Usman dalam kapasitasnya sebagai kepala
pemerintahan memang berhak dan bertanggungjawab atas pemeliharaan kesuburan
padang rumput milik negara tersebut untuk memelihara unta dan kuda-kuda perang.
Lagipula, kebijakan ini sudah dilaksanakan sejak era Umar, sedang kebijakan yang
dilakukan oleh Usman hanya bersifat meneruskan saja.
Tentang berbagai kebijakan yang diambil untuk menguntungkan pihak
keluarganya, juga kurang berdasar, sebab bukan seperti Umar yang banyak
melakukan perubahan dan perombakan sistem, sebahagian besar kebijakan yang
diambil oleh Usman bersifat meneruskan kebijakan yang telah dilakukan oleh
khalifah terdahulu. Termasuk yang dipertahankan Usman adalah lembaga syura,
yang dibentuk pada era Umar.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa isyu-isyu bahwa
Usman KKN, boros, korup, suka bermewah-mewah, pada umumnya palsu dan tidak
berdasar. Menurut Prof K.Ali (1978), dengan latar belakang keluarganya yang kaya
sehingga sejak mudanya beliau sudah digelari diberi gelar ghany (jutawan), Usman
terbukti telah menyumbang begitu banyak dalam perjuangan Islam. Soal
kedermawanan dalam membantu perjuangan Islam, Usman menduduki rangking
nomor dua sesudah Abu Bakar. Sebagai gambaran tentang kedermawanan beliau,
misalnya waktu Nabi merencanakan menggali mata air untuk kepentingan umat
Islam di Madinah, Usman langsung mendukung rencana tersebut dan menyumbang
sejumlah 20.000 dirham. Usman juga menyumbangkan hartanya untuk mendukung
rencana Nabi mendirikan mesjid Nabawi di Madinah. Selain itu, beliau pernah
menyumbang 10.000 dirham tunai dan 1.000 ekor unta untuk keperluan Perang
Tabuk. Karena hampir seluruh harta kekayaannya disumbangkan demi perjuangan
Islam, maka pada akhir hayatnya yang tersisa hanya dua ekor unta yang diperlukan
untuk kenderaan naik haji. Begitu hati-hatinya Usman dalam soal harta negara,
sehingga beliau berprinsip tidak mau mengambil dana bayt al mal, baik untuk
dirinya sendiri maupun untuk kepentingan keluarganya.
Hasil kajian para ulama yang lebih netral pada umumnya menyimpulkan
bahwa sesungguhnya tidak ada yang meragukan bahwa orang kaya dan dermawan ini
telah banyak berkorban membantu Nabi Muhammad S.A.W. dalam menyiarkan
agama Islam. Begitu juga tidak ada yang meragukan kualitas ketakwaan, kewara’an,
ketinggian iman, keagungan jihad dan kedermawanan Usman. Adalah karena
memiliki sifat-sifat keutamaan seperti dijelaskan di atas, oleh Nabi beliau
dimasukkan ke dalam 10 sahabat yang dijamin masuk sorga.
Tuduhan bahwa Usman pernah membuang Abu Dzar al-Ghiffari ke Rabaza
yang tandus dan gersang hingga mati disana, juga tidak tepat. Seperti sudah

Sejarah Peradaban Islam .......67


dijelaskan sebelumnya, Abu Dzar al-Ghiffari adalah seorang ulama yang sangat
saleh, yang tidak senang dengan pembangunan istana yang sangat mewah dan
perilaku kaum kerabat Usman yang suka bermewah-mewah, dan untuk itu meminta
agar kepincangan antara yang kaya dengan yang miskin dikurangi dengan membayar
zakat. Menuruf versi yang membela Usman, pernyataan al-Ghiffari dinilai gubernur
Syam berbau politik. Oleh karena itu ia melakukan konsultasi dengan Usman apa
tindakan yang harus dilakukan terhadap al-Ghiffari tersebut. Oleh Usman dianjurkan
agar Al-Ghiffari dikirim ke Madinah. Tetapi al-Ghiffari atas pilihannya pindah ke
Rabaza, hingga ia meninggal di sana. Kematian al-Ghiffari ini dimanfaatkan oleh
musuh-musuh politik Usman, dengan mengatakan bahwa Usman telah
memerintahkan kepada gubernurnya untuk membuang al-Ghiffari ke Rabaza yang
gersang. Hal inilah yang memancing kebencian dan kemarahan rakyat terhadap
Usman.

Saat-saat Terakhir Pemerintahan Usman


Sebahagian kelompok masyarakat yang terkena hasutan bahwa Usman korup
dan KKN mulai melancarkan protes. Pertama, sekelompok penduduk Kufah
menuntut agar al-Walid bin Uqbah al-Umawi, gubernur Kufah yang masih saudara
seibu Usman, dipecat dari jabatannya. Alasan yang dikemukakan mereka ialah
bahwa al-Walid sering kedapatan bermabuk-mabukan dengan seorang penyair
Nashrani bernama Abi Zubaid ath-Tha’i. Walaupun ada tanda-tanda bahwa laporan
saksi mata tersebut palsu, tetapi Usman tetap memecat al-Walid sambil mengatakan:
‚Kita menegakkan had dan para saksi palsu akan pergi ke neraka!‛. Oleh Usman
kedudukan al-Walid diganti dengan Sa’id ibn ’Ash. Tetapi, karena penduduk Kufah
tidak cocok dengan tingkah laku Sa’id ibn ’Ash yang kasar serta kebijakan-
kebijakannya yang menyebabkan rakyat pribumi kehilangan tanah dan mata
pencaharian mereka, apalagi terbukti ia masih sepupu Usman, maka mereka kembali
meminta agar Sa’id ibn ’Ash dipecat. Ketika Sa’id ibn ’Ash ke Madinah, mereka
memblokir jalan sehingga tidak bisa kembali ke Kufah.
Karena protes penduduk Kufah selalu diterima, penduduk dari daerah lain
juga terdorong untuk melakukan hal yang sama. Misalnya penduduk Bashrah
meminta agar Usman memecat Abu Musa al-Asy’ari sebagai gubernur Bashrah.
Masyarakat Bashrah menginginkan Abu Musa al-’Asyari diganti karena perilakunya
tidak sesuai dengan kata-kata yang diucapkannya. Misalnya ia sering menyerukan
agar rakyat hidup hemat dan tak boleh boros, tetapi sendiri suka memakai jubah
yang sangat indah dan mahal harganya, juga hobby menunggang kuda yang paling
gagah dan mahal harganya. Atas permintaan penduduk Bashrah tersebut Usman
langsung memecat Abu Musa al-Asy’ari dan untuk mencari calon penggantinya
diserahkan kepada rakyat untuk memilih secara demokratis. Tetapi hasil pemilihan
demokratis oleh rakyat ini tidak menghasilkan pemimpin yang terbaik. Rakyat yang
kecewa atas pilihannya kembali meminta agar gubernur yang baru tersebut diganti.

Sejarah Peradaban Islam .......68


Adalah atas permintaan rakyat sendiri Usman kemudian menunjuk Abdullah bin
Amir. Pilihan Usman ini tidak orang sembarangan, sebab pernah berjasa besar dalam
penaklukan Persia.
Karena permintaan rakyat Kufah dan Bashrah diterima, delegasi dari Mesir
juga meminta walinya Abdullah bin Said bin Abi As-Sarrah dipecat, dan lagi-lagi
oleh Usman protes mereka diterima. Karena protes masyarakat selalu diterima
Usman dengan lemah lembut, hal ini membuat mereka semakin berani. Terlalu
banyaknya Usman memecat pejabat tanpa alasan yang jelas telah menyebabkan
stabilitas politik terancam. Yang jelas, sejak itu aktivitas perluasan wilayah mulai
mengalami penurunan.
Dinamika politik pada era Usman memang sangat tinggi, terutama di Kufah.
Rakyat yang tidak senang pada gubernurnya sering melakukan protes, dan oleh
Usman protes rakyat dituruti. Menurut Karim (2007), selama Usman memerintah
terjadi penggantian gubernur Kufah sebanyak enam kali, mulai dari Mughirah ibn
Syu’bah, Sa’ad ibn Waqas, seorang pilihan rakyat yang hanya memerintah beberapa
saat (tetapi tidak disebutkan namanya), Walid bin Uqbah, Said ibn Ash, dan Abu
Musa al-Asy’ari (mantan gubernur Bashrah). Mughirah sebetulnya sudah dipecat
pada masa Umar, namun baru terlaksana pada era Usman. Tetapi Sa’ad ibn Waqas
ternyata suka menyalahgunakan jabatan, dan rakyat meminta supaya ia dipecat. Oleh
Usman permintaan rakyat dipenuhi, bahkan diberi kebebasan menentukan pilihannya
sendiri. Ternyata setelah diberi kebebasan memilih, rakyat kembali tidak puas, dan
jabatan gubernur Kufah diserahkan kepada Walid bin Uqbah. Walid juga dinilai
kasar, suka mabuk-mabukan, dan setelah diprotes rakyat diganti lagi dengan Said ibn
Ash. Ternyata kemudian Said ibn Ash juga dituduh menomorsatukan Bani Umayah
dan mengabaikan masyarakat pribumi, sehingga dipecat dan diganti dengan mantan
gubernur Bashrah Abu Musa al-Asy’ari. Abu Musa memang bukan kroni Usman,
tetapi ternyata juga gagal mengatasi masalah yang ada di Kufah.
Dengan kepribadiannya yang saleh dan penuh dedikasi sebetulnya Usman
layak digelari sebagai patriot sejati dan penguasa yang santun. Tetapi kesalehan dan
pribadi Usman yang pemaaf dalam politik ada biayanya. Kebaikan hati Usman sering
dimanfaatkan oleh musuh-musuhnya untuk memecah belah kekuatan sehingga
akhirnya terjadi perlawanan dan pemberontakan dimana-mana, mulai dari Irak,
Hijaz, dan kemudian di Mesir. Selanjutnya rakyat Madinah juga bersepakat ingin
menyingkirkan Usman dari kursi kekhalifahan. Pemerintahan Usman yang terlalu
lembut dan ‛demokratis‛ berujung pada gerakan untuk meminta beliau sendiri
mundur dari kursi kekhalifahan. Alasannya ialah karena Usman telah melanggar as-
Sunnah dan sarat dengan KKN.
Termasuk dalam kelompok yang menginginkan Usman mundur dari
jabatannya sebagai khalifah adalah para sahabat dan orang-orang yang selama ini
diberi hadiah dan fasilitas oleh Usman seperti Thalhah, Zubayr, Sa’id bin Abi
Waqqash, juga Aisyah. Kalau boleh membandingkan, keadaan waktu itu sangat

Sejarah Peradaban Islam .......69


mirip dengan situasi waktu sebahagian besar petinggi Indonesia meminta Suharto
mundur dari jabatannya sebagai presiden awal tahun 1998. Bedanya, Suharto
langsung ‛lengser keprabon‛, sedang Usman dengan tegas menjawab: ‛Aku tidak
akan melepaskan pakaian yang telah dipakaikan Allah kepadaku‛. Artinya, beliau
tidak akan melepaskan jabatan sebagai khalifah.
Pada minggu-minggu terakhir pemerintahan Usman boleh dikatakan tidak
ada hari tanpa ada pengaduan dari berbagai daerah. Puncaknya, sebuah rombongan
terdiri dari 12.000 orang dipimpin oleh Muhammad bin Abu Bakar mendatangi
Usman mengajukan keberatan dan meminta ganti kerugian. Mereka melakukan demo
menuntut keadilan. Dalam situasi terdesak seperti ini barulah Usman meminta
bantuan pada Ali, padahal selama ini nasehat dan saran Ali tidak pernah digubris
beliau. Adalah karena permintaan Ali, para pendemo berhasil dibubarkan dan
kembali ke tempatnya masing-masing. Tetapi waktu mereka bubar, dalam perjalanan
mereka menjumpai seseorang dengan gerakan mencurigakan, dan waktu diperiksa ia
kedapatan membawa sepucuk surat yang ditulis oleh Marwan sekretaris Usman dan
memakai cap khalifah yang berisikan perintah kepada Mu’awiyah untuk membunuh
mereka semuanya. Jelas mereka marah membaca surat ini. Selanjutnya rombongan
yang semula sudah berhasil dibubarkan Ali ini, kembali ke Madinah, dan mengepung
rumah Usman. Mereka ingin agar Usman bertobat dari penyelewengan-
penyelewengan yang dilakukannya dan melepaskan jabatannya sebagai khalifah.
Salah seorang sahabat Nabi bernama Nayar bin Ayaz ditengah-tengah kerumunan
masa berteriak, ‚Anda harus melepaskan jabatan Anda, dan saya menjamin bahwa
Anda tidak akan disakiti‛. Pada saat itu juga ia dipanah oleh pendukung Usman yang
bernama Katsir bin Salat Kindi. Hal ini kontan memicu kekacauan. Rakyat
membalas dengan memanah dan membakar rumah Usman. Dalam situasi serba kacau
ini dua orang teman Muhammad bin Abu Bakar menyerang Usman – yang ketika itu
didampingi isterinya Na’ilah - dengan senjata tajam (Jordac, 2004). Menurut
informasi lain Usman ditikam oleh dua penduduk Mesir ketika beliau sedang
membaca Al-Qur’an. Terlepas versi mana yang benar, yang jelas waktu itu Usman
meninggal seketika.
Dari uraian di atas jelas bahwa faktor utama yang menyebabkan ummat
marah ialah karena ditemukannya seseorang yang membawa sepucuk surat yang
memakai cap khalifah berisikan perintah kepada Mu’awiyah untuk membunuh
mereka semuanya. Ada yang mengatakan surat itu dibuat Marwan dengan memakai
cap khalifah. Tetapi ada juga yang berpendapat hal ini hanya rekayasa pengacau.
Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah menjelaskan mengapa terjadi
kesalahpahaman rakyat terhadap Usman. Hal ini tidak lain karena rakyat yang
kurang berpendidikan salah paham tentang isi perintah Usman yang ditulis dengan
huruf Arab gundul. Surat yang ditulis oleh sekretaris negara berbunyi: ‛Perintah
Khalifah kepada para amir. Setibanya mereka di daerah masing-masing, terutama
Bashrah, Kufah dan Mesir, terimalah mereka‛. Tetapi oleh rakyat yang masih belum

Sejarah Peradaban Islam .......70


fasih tulis baca kata ’terimalah’ dalam bahasa Arab gundul tersebut dibaca
’bunuhlah’. Kesalahpahaman ini dimanfaatkan musuh-musuh Usman untuk
mengompori rakyat, sehingga mereka yang awalnya sudah mau pulang setelah
ditenangkan oleh Ali bin Abi Thalib berbalik arah mengepung kediaman Usman.
Mengapa pada enam tahun terakhir kekuasaannya Usman begitu banyak
mendapat protes dari rakyat? Alasannya bukan karena Usman korup, melainkan
karena perbuatan kroni-kroninya dari Bani Umayah. Usman yang makin uzur
dimanfaatkan oleh para amir dari Bashrah, Kufah dan Mesir yang berada di luar
jangkauan kontrol Usman untuk memperkaya diri mereka, dan rakyat menganggap
hal tersebut sebagai kebijakan Usman. Terutama rakyat yang termarjinalkan oleh
kebijakan amir di Sawad memprotes dan memutuskan untuk membunuh Usman.
Siapa sesungguhnya yang ada di belakang pembunuhan Usman? Beberapa
penulis menyatakan bahwa adalah Thalhah yang telah menghasut anak buahnya
membunuh Usman, karena ia berambisi menjadi khalifah. Tetapi ada pula yang
mengatakan bahwa pembunuhan terhadap Usman adalah akibat persekongkolan yang
dilakukan oleh Ali. Tuduhan seperti yang disebutkan terakhir terutama ditiup-
tiupkan oleh keluarga Bani Umayyah seperti Mu’awiyah dan konconya Amr bin Ash.
Padahal ketika Usman terbunuh Ali sedang berada di Yanba’, atas suruhan Usman
sendiri (Jordac, 2004).
Terlepas dari siapa yang paling bertanggungjawab atas pembunuhan Usman,
yang jelas keadaan di Madinah jadi kacau pasca terbunuhnya Usman. Sejarah
mencatat bahwa terjadinya pembunuhan terhadap Usman membawa dampak panjang
bagi persatuan dan kesatuan Islam yang telah dirintis baginda Rasulullah dan
berhasil ditegakkan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Yang paling rumit
hingga masa-masa selanjutnya ialah persaingan antara keluarga Hasyim dan keluarga
Umayah yang sebetulnya masih memiliki hubungan kekeluargaan. Tetapi tentang
perseteruan antara keluarga Hasyim dengan keluarga Umayah ini biarlah dibahas
pada Bab 4. Sekarang yang lebih penting, setelah Usman terbunuh, siapa yang akan
menjadi khalifah?
Pertanyaan di atas, walaupun sederhana, tidak mudah dijawab. Kalau Abu
Bakar dan Umar bin Khattab sempat memberikan masukan tentang calon
penggantinya, Usman tidak sempat berbuat apa-apa karena tebasan khanjar langsung
menyebabkan Usman menghembuskan nafasnya yang terakhir. Usman meningal
sebelum sempat menunjuk pengganti. Inilah awal polemik tentang kekhalifahan.
Setelah Usman wafat, dari enam orang calon yang pernah diajukan oleh
majelis syura hasil bentukan Umar bin Khattab untuk menggantikan posisi beliau
sekarang tinggal tiga orang, yaitu Thalhah bin Ubaydillah, Zubayr bin Awwam dan
Ali bin Abi Thalib, sedang Abdul Rahman bin ‘Auf dan Sa’ad bin abi Waqqas sudah
lebih duluan wafat. Dari tiga orang yang masih ada, Tahlhah dan Zubayr sendiri
konon lebih suka kalau Ali yang menjadi khalifah. Tetapi waktu hal tersebut
dibicarakan dengan Ali, beliau menyatakan tidak lagi berhasrat dalam masalah

Sejarah Peradaban Islam .......71


pemerintahan, dan akan mendukung siapa saja yang dipilih oleh ulil amri. Tahlhah
dan Zubayr menolak pernyataan Ali sambil mengatakan, ‛Kami tidak mau memilih
orang lain selain tuan‛. Sekali lagi Ali menghindar, ‛Biarkanlah saya dan carilah
orang lain. Kita sedang menghadapi suatu pemerintahan yang sangat banyak corak
warnanya. Tidak ada hati yang bisa tetap dan pikiran yang tenteram dewasa ini.
Seluruh penjuru sudah gelap gulita...Kalau saya terima permintaan tuan-tuan, pasti
saya kerjakan sesuai pengetahuan saya, tanpa memperdulikan apa kata orang dan apa
celaan orang. Tetapi kalau Anda membiarkan saya, tentulah saya seperti Anda dan
sayalah orang yang paling taat pada orang yang Anda pilih menjadi Kepala Negara.
Saya menjadi wazir, lebih baik daripada menjadi Kepala Negara‛ (Ahmad, 2001).
Setelah suasana kacau tanpa pemimpin dalam pemerintahan Negara Islam
berlangsung kurang lebih lima hari, jumlah orang-orang yang mendesak Ali menjadi
khalifah semakin banyak. Usulan pertama yang mendukung Ali sebagai khalifah
datang dari rombongan warga Mesir. Terutama kelompok yang dulu memberontak
terhadap Usman juga menyetujui usalan tersebut. Tetapi dengan halus usulan ini
masih ditolak Ali, ‛Tinggalkan saya dan carilah orang lain untuk jabatan khalifah.
Apabila Anda meninggalkan saya maka kedudukan saya akan sama dengan Anda
semua. Dalam keadaan seperti itu mungkin saya akan lebih penuh perhatian serta
taat kepada khalifah yang Anda pilih daripada Anda sekalian. Adalah lebih baik bila
saya menjadi penasihat daripada menjadi khalifah‛
Tetapi rakyat yang seperti anak ayam kehilangan induk sepertinya tidak mau
menerima alasan Ali. Bagaimanapun beliau menolak, rakyat dan mayoritas ulil amri
tetap mufakat untuk memilih Ali. Akhirnya kerumunan masa yang semakin
mendesak Ali agar mau menjadi khalifah semakin banyak. Pada saat seperti ini
Malik Asytar Nakha’i menjabat tangan Ali dan membaiatnya. Langkah Malik Asytar
ini diikuti oleh semua orang yang hadir. Jumlah orang yang membaiat Ali semakin
bertambah setelah Ali memimpin shalat Jum’at pertama. Yang pertama menyatakan
baiat setelah khotbah Jum’at itu adalah Thalhah, dan diikuti oleh Zubayr serta
hadirin lainnya. Begitu juga penduduk Madinah, Irak dan Hijaz. Dengan demikian,
pada tanggal 23 Juni 656M Ali bin Abi Thalib disepakati sebagai khalifah yang baru.

D. Ali bin Abi Thalib (35-41H/656-661M).


Ali bin Abi Thalib adalah keponakan dan sekaligus menantu Nabi
Muhammad SAW. Beliau masih satu garis keturunan dengan Nabi, yaitu dari
keluarga Hasyimiyyah. Pada waktu Ali menyatakan diri masuk Islam dalam usia 13
tahun, Nabi bersabda: ‛Ini adalah saudaraku, pejabatku, dan sebagai penerusku di
antara kamu sekalian. Dengarkan ia dan taatlah kepadanya‛. Sesudah dewasa, Ali
adalah ksatria dan pendukung utama Nabi pada masa-masa awal perjuangan Islam.
Tentang sifat kekeksatriaan Ali tidak ada yang meragukan. Ia pejuang yang sangat
tangguh dan tersohor, bahkan pernah menjadi panglima pasukan Islam. Boleh
dikatakan Ali turut dalam hampir setiap peperangan yang terjadi pada masa Nabi.

Sejarah Peradaban Islam .......72


Waktu Nabi Muhammad wafat, sebetulnya Ali termasuk calon kuat untuk
menggantikan Nabi sebagai pemimpin umat Islam. Oleh mereka yang simpati pada
Ali banyak ‛bukti‛ yang menunjukkan bahwa Rasulullah telah mengisyaratkan Ali
sebagai penguasa. Salah satunya, waktu kembali dari perjalanan menunaikan Haji
Wadak, ketika berhenti sejenak di Khumm, Nabi mengajak orang-orang berkumpul.
Pada kesempatan itu beliau berkata, ‛Ali bagiku seperti Harun bagi Musa a.s. Ya,
Allah Yang Maha Kuasa! Jadilah teman bagi teman-temannya dan jadilah musuh
bagi musuh-musuhnya; tolonglah mereka yang menolongnya dan hancurkanlah
harapan mereka yang mengkhianatinya‛. Ucapan Rasulullah tersebut di atas oleh
para simpatisan Ali dikatakan sebagai isyarat bahwa Ali adalah sebagai pengganti
Muhammad. Tetapi sebagaimana sudah dijelaskan pada awal bab ini waktu
membicarakan pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah pertama, oleh sebahagian
besar masyarakat Islam lain penunjukkan Abu Bakar sebagai Imam untuk
menggantikan beliau yang sedang sakit adalah isyarat yang lebih tegas sebagai
pengganti Rasulullah. Hasilnya, setelah Nabi wafat kedudukannya sebagai pimpinan
umat Islam digantikan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq.
Sehubungan dengan penerus kepemimpinan Nabi ini, pada umumnya
pengamat Islam sepakat bahwa Nabi tidak tegas menunjuk penggantinya. Karena
tidak ada penunjukan yang tegas dari Rasulullah, maka sewaktu Rasulullah wafat,
semua orang sibuk mencari pemimpin yang baru, sementara itu Ali sendiri sibuk
mengurus pemakaman dan menghibur isterinya Fatimah yang sangat sedih ditinggal
ayah yang sangat dicintainya, Muhammad S.A.W. Karena sibuk mengurus
pemakaman Nabi dan menghibur isterinya, Ali tidak ikut dalam bursa pemilihan di
gedung pertemuan di Saqifah Bani Sa’idah.
Selain tidak ikut dalam bursa pencalonan khalifah, peran Ali dalam
pemerintahan sejak wafatnya Rasul memang agak berkurang, baik era Abu Bakar
dan terutama pada era Umar. Bahkan menurut sebahagian pengamat antara Ali dan
Umar sering terjadi perbedaan pendapat. Sebagai misal, Ali tidak setuju atas rencana
Umar menyisihkan sebahagian harta rampasan perang yang menyertai kemenangan
pasukan Islam sebagai dana cadangan terhadap keperluan tak terduga. Menurut Ali,
harta rampasan perang harus dibagikan semua.
Walau peran Ali tidak menonjol pada era Abu Bakar dan Umar, tetapi
dengan Usman beliau cukup cooperative. Walaupun dalam pemilihan khalifah ketiga
Usman yang terpilih, namun hubungan di antara keduanya tetap baik. Ali termasuk
sahabat yang ikut membai’at Usman. Tidak hanya itu, pada tahun-tahun awal
Usman memerintah sebagai khalifah ketiga Ali juga dijadikan sebagai teman
bermusyawarah. Hanya saja harus diakui bahwa pada tahun-tahun terakhir
pemerintahan Usman hubungan keduanya sedikit renggang, karena Ali menilai
bahwa Usman terlalu banyak memberikan fasilitas pada sanak famili dan kroni-
kroninya.
Hubungan antara keluarga Ali dengan keluarga Usman semakin buruk waktu

Sejarah Peradaban Islam .......73


Ali diangkat sebagai khalifah. Jelasnya, keluarga Bani Umayah menolak
kekhalifahan Ali. Sejarah mencatat bahwa Ali dibaiat oleh massa yang ada di
Madinah, dipelopori oleh para revolusioner yang menumbangkan Usman. Tetapi
pembaiatan terhadap Ali bukannya mengakhiri fitnah, melainkan justru semakin
memperbesarnya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Khaldun dalam
Muqaddimah, Ali dan para pendukungnya berpendapat pembaiatannya resmi berlaku
karena sudah dibaiat oleh massa yang berkumpul di Madinah. Menurut kelompok
yang menentangnya, di antaranya Muawiyah, Amr bin Ash dan Aisyah, pembaiatan
Ali tidak diakui karena adanya ahlul hill wal ’aqd yang terpisah-pisah. Disamping itu
masih ada kelompok ketiga yang absen dari pembaiatan karena menganggap kaum
muslimin sedang dalam fitnah dan seyogyanya coolong down dulu setelah kematian
Usman sebelum memikirkan persoalan khalifah. Kelompok ini terdiri dari Saad bin
Abi Waqqas, Abdullah bin Umar, Muhammad bin Maslamah, Usamah bin Zaid, Abu
Said al-Khudlri, Hasan bin Tsabit, Maslamah bin Mukhallad, Abdullah bin Salam
dan Nu’man bin Basyir (Rais, 2001).

Memimpin dalam Situasi Serba Sulit


Kalau dibandingkan dengan tiga khalifah terdahulu, Ali dinobatkan sebagai
khaifah keempat dalam situasi paling sulit. Tiga khalifah terdahulu dipilih secara
aklamasi dan dibai’at oleh semua sahabat dan mayoritas umat dengan kerelaan.
Artinya dari segi legitimasi kekuasaan sah dan sesuai dengan syara’, dan idealisme
juga bersesuaian dengan fakta. Akan tetapi pengangkatan Ali hanya didukung oleh
sebahagian besar penduduk Madinah, sebahagian masyarakat Hijaz dan Irak, akan
tetapi penduduk Syam yang dipimpin Mu’awiyah menolaknya. Karena kekhalifahan
Ali tidak didukung semua lapisan masyarakat, dukungannya terhadap Abu Bakar,
Umar dan Usman diungkit-ungkit kembali.
Tentang pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah yang pertama, walaupun
pada awalnya ada perbedaan antara warga Quraisy dengan penduduk Madinah
tentang siapa yang lebih berhak menjadi pemimpin, tetapi pada akhirnya hampir
semua ulama sepakat bahwa mayoritas umat Islam ikut membai’at Abu Bakar.
Tetapi, tidak ada kesepakatan apakah Ali ikut membai’at Abu Bakar atau tidak, dan
kalau ikut membai’at, apakah dilakukan secara langsung atau terlambat. Dari
beberapa pendapat yang agak kontroversil tersebut, yang lebih kuat adalah pendapat
yang menyatakan bahwa Ali terlambat membai’at Abu Bakar karena menghibur
isterinya Fathimah yang sangat sedih atas wafatnya Baginda Rasulullah.
Selanjutnya tentang keterlambatan Ali dalam membaiat Abu Bakar, ada pula
beberapa versi. Ada yang mengatakan Ali terlambat beberapa jam, ada yang
mengatakan terlambat beberapa hari, bahkan ada pula yang mengatakan beberapa
minggu. Menurut Dhiauddin Rais (2001), Ali hanya terlambat membaiat Abu Bakar
beberapa jam. Mengutip riwayat yang lebih terpercaya, waktu orang sudah ramai
berkumpul untuk menyatakan bai’at kepada kekhalifahan Abu Bakar, pada saat ini

Sejarah Peradaban Islam .......74


datang seseorang dengan tergopoh-gopoh menjumpai Ali sambil berkata, ‚Abu
Bakar telah duduk di mesjid siap dibaiat‛. Mendengar ini dengan masih mengenakan
pakaian seadanya Ali langsung menuju mesjid dan duduk di samping Abu Bakar.
Sewaktu menyadari ia berpakaian kurang pantas, Ali meminta seseorang untuk
menjemput bajunya ke rumah, dan setelah pakaiannya datang ia mengenakannya
sebagaimana mestinya. Yang jelas, riwayat ini memastikan bahwa Ali ikut dalam
membaiat Abu Bakar sebagai khalifah pertama pada hari itu juga. Bahwa Ali ikut
dalam pembai’atan dan selanjutnya juga mendukung kepemimpinan Abu Bakar,
diperkuat oleh catatan sejarah bahwa pada masa-masa awal kekuasaannya Abu
Bakar menunjuk Ali sebagai seorang pemimpin pasukan yang disiapkan untuk
mempertahankan Madinah dari serangan kelompok murtad. Selanjutnya Ali juga
turut serta dalam berbagai kebijakan publik pada masa pemerintahan Abu Bakar.
Kenyataan ini tidak singkron dengan tuduhan ketidak-relaan Ali terhadap
pembai’atan Abu Bakar.
Terlepas dari kontroversi di atas, yang jelas Abu Bakar, apalagi Umar bin
Khattab dan Usman bin Affan, ketiganya dipilih lewat pemilihan yang fair dan
demoktaris berdasarkan asas permusyawaratan. Pembai’atan berlangsung secara
aklamasi sehingga sah dan sesuai dengan syara’ dan dakui oleh semua ahlus-sunnah.
Menurut pandangan ahli-ahli politik, dalam pemilihan tiga khalifah terdahulu antara
das-sein bersesuaian dengan das-solen, antara idealisme bersesuaian dengan realita.
Begitu juga dari segi ke-imamahan ketiga khalifah terdahulu dinilai memiliki
kapasitas sekaligus sebagai khalifah dan imam pada waktu yang sama. Tetapi
berkaitan dengan kekhalifahan Ali, situasinya berbeda. Beliau diangkat dalam situasi
politik serba kacau, penuh gonjang ganjing. Secara realita Ali tidak didukung semua
sahabat. Begitu juga Ali tidak dibai’at oleh wakil seluruh masyarakat Islam yang
ada. Penduduk yang ikut membai’at Ali hanya penduduk Madinah, Irak dan Hijaz,
terutama dari kelompok Khawarij dan kelompok Syiah.
Yang membuat keadaan lebih rumit ialah bahwa di antara pendukung Ali
tersebut termasuk di dalamnya kelompok pemberontak yang menentang Usman,
yang sebahagian di antaranya ikut bertanggungjawab atas kematian Usman. Di pihak
lain beberapa sahabat menolak membai’at Ali. Selain Mu’awiyah dan tangan
kanannya Amru bin Ash, isteri Nabi Aisyah juga tergabung dalam kelompok yang
menyatakan tidak setuju atas pembai’atan Ali. Selain itu masih banyak di antara
sahabat yang tidak memihak, di antaranya Saad bin Abi Waqas, Abdullah bin Umar,
Muhammad bin Maslamah, Usamah bin Zaid, Abu Said al-Khudri, Hasan bin Tsabit,
dan sebagainya. Yang lebih pasti, masyarakat Syam yang dipimpin oleh Mu’awiyah
yang waktu itu menjadi gubernur disana, secara terang-terangan menolak
pembai’atan Ali. Mereka meminta hak qishash atas pembunuhan Usman dibereskan
terlebih dahulu.
Selain kurangnya dukungan terhadap Ali relatif dibandingkan dengan
dukungan terhadap Abu Bakar, Umar dan Usman, hal lain yang menambah

Sejarah Peradaban Islam .......75


kerumitan waktu Ali mulai memegang tampuk pemerintahan ialah bahwa jurang
antara kelompok yang kaya dengan mereka yang miskin sangat menyolok. Kondisi
sosial ekonomi masyarakat pada waktu Ali mulai memerintah, tepatnya sesudah
terbunuhnya Usman bin Affan, mirip dengan kondisi masyarakat Indonesia pasca
kejatuhan Suharto. Dalam kondisi seperti ini siapapun yang menjadi presiden, pasti
akan kesulitan. Pada waktu itu orang-orang menjadi terlalu cinta dunia dan
kehilangan hati nurani. Bagaimana caranya orang-orang yang terlalu cinta dunia ini
hidup, digambarkan Ali sebagai berikut, ‚Orang-orang pencinta dunia saling
menggeram bagaikan anjing dan binatang buas, yang kuat menelan yang lemah dan
yang besar menghina yang kecil‛.
Bagaimana pula kondisi sosial masyarakat ketika itu, digambarkan Ali
dalam Nahjul Balaghah sebagai berikut, ‚Ada banyak orang yang usahanya sia-sia
dan tidak bermanfaat. Anda sekalian hidup pada masa dimana kebaikan menyurut
dan kejahatan semakin mendekat. Ketamakan syaitani membunuh rakyat.
Kemanapun mata memandang Anda melihat fakir miskin yang menderita karena
kemiskinan, atau orang kaya yang tidak bersyukur kepada Allah, atau orang-orang
kikir yang tidak memenuhi hak Allah dan sangat bernafsu menambah kekayaannya.
Apa yang terjadi pada orang-orang saleh dan alim di antara kalian? Dimanakah orang
mulia yang murah hati yang mencari rezki dengan cara yang baik dan beramal dan
berakhlak tulus?‛
Waktu itu jurang antara kelompok yang kaya dengan mereka yang miskin
sangat menyolok. Suatu hal yang menarik, pandangan Ali tentang sumber kekayaan
dan penyebab kemiskinan agak mirip dengan pandangan Karl Marx. Kalau Karl
Marx mengatakan bahwa ‚kekayaan itu merupakan hasil curian!‛ (property is
theft!), yaitu dari surplus yang diterima pemilik kapital di atas gaji rendah yang
dibayarkan kepada kaum buruh, maka Ali dengan cara sedikit berbeda
mengungkapkan, ‚Pemilikan kekayaan yang berlebihan adalah karena hak orang
miskin tidak diberikan‛. Dalam nada lebih tegas beliau mengatakan, ‚Saya tidak
pernah melihat kekayaan seseorang yang berlebih-lebihan melainkan pada saat yang
sama saya melihat hak seseorang dilanggar‛. Selanjutnya beliau menyimpulkan
bahwa ‛Jika seseorang mati kelaparan maka penyebabnya adalah si perampas hak‛,
atau ‛Tidak akan ada orang miskin yang tetap lapar kecuali bila orang kaya
menyerobot bagiannya‛.

Upaya Mengembalikan Harta Publik


Mengingat situasi sosial, politik dan ekonomi waktu Ali menerima jabatan
khalifah yang kurang kondusif, Ibnu Abbas memberikan saran kepada Ali agar
mengangkat anak Thalhah sebagai gubernur Bashrah dan anak Zubayr sebagai
gubernur Kufah, serta membiarkan Mu’awiyah meneruskan jabatan sebagai gubernur
Syria, minimal hingga kondisi normal. Dari segi kacamata politik modern sebetulnya
saran ini dapat dikategorikan ‚tepat‛ atau bahkan ‚brilliant‛. Sayang, yang

Sejarah Peradaban Islam .......76


dinasehati Ibnu Abbas adalah Ali bin Abi Thalib, orang yang berjiwa merdeka dan
tidak mau didikte. Dalam pandangan Ali, orang-orang seperti Thalhah, Zubayr dan
Mu’awiyah justru sebagai biang masalah yang harus disingkirkan, bukan untuk
diajak berkawan.
Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa kesenjangan sosial waktu Ali mulai
diangkat sebagai khalifah sangat tinggi. Dimata Ali, salah satu penyebab tingginya
jurang antara yang kaya dengan yang miskin ialah karena sanak famili dan kroni-
kroni Usman seperti Thalhah, Zubayr dan Mu’awiyah terlalu banyak menjarah dan
mempreteli harta baitul mal dan sumber-sumber daya milik negara lainnya. Bagi Ali
ini sesuatu hal yang sangat tidak adil. Dalam pandangannya tak seorangpun berhak
menyalahgunakan apa saja sesukanya dan merebut harta umum (milik negara)
menjadi harta khusus (milik pribadi).
Langkah pertama yang dilakukan Ali adalah mengganti semua pejabat yang
tidak cakap dan korup. Selain itu Ali juga memerintahkan untuk meneliti kekayaan
mereka serta meminta mereka mengembalikan semua hadiah berupa tanah negara
yang pernah diberikan oleh Usman kepada sanak famili dan konco-konconya ke
baitul mal, termasuk yang diberikan sebagai mahar untuk perkawinan puteri-puteri
Usman. Khusus terhadap kelompok-kelompok dan pihak-pihak yang pernah
menerima harta dari baitul mal dengan cara yang tidak jelas dimasa khalifah
sebelumnya Ali mengancam, ‛Perhatikan! Barangsiapa diberi sesuatu oleh Usman
dan dia (Usman) mengambilnya dari harta Allah maka ia harus mengembalikannya
ke baitul mal, karena tak satupun dapat membatalkan hak yang lebih dulu‛. Untuk
mengambil kembali harta yang pernah dihadiahkan oleh Usman sebagai mahar
perkawinan puteri-puterinya, Ali mengatakan: ‛Bila aku tahu seorang wanita
menikah (maksudnya puteri Usman) dengan memakai uang dari baitul mal atau uang
tersebut dibagikan ke berbagai kota, aku akan berusaha keras untuk mengembalikan
uang tersebut ke tempat semestinya (yaitu baitul mal)‛
Ali dalam setiap keputusannya selalu berusaha menjaga hak-hak rakyat.
Beliau tidak pernah menunjukkan perlakuan pilih kasih, termasuk pada para sahabat
yang telah berjasa dalam perjuangan Islam semisal Zubayr dan Thalhah. Di hadapan
kedua orang ini beliau pernah berkata, ‚Hati-hatilah! Ada beberapa orang di antara
Anda sekalian yang telah dijadikan kaya oleh dunia. Mereka telah mendapatkan
tanah dan menggali terusan-terusan. Mereka menunggangi kuda-kuda yang kuat dan
memiliki amat banyak budak laki-laki dan perempuan. Apabila saya nanti melarang
mereka mengumbar diri dan membatasi fasilitas kepada mereka, tidak boleh mereka
mengeluh bahwa Ali telah mencabut hak-hak mereka‛.
Ali terus menerus memperingatkan para pejabat negara untuk tidak
menyalahgunakan harta baitul mal dan menerima suap, sebab perilaku seperti itu
dianggap beliau sebagai hubungan paling buruk antara penguasa dan rakyat sekaligus
menjadi penghalang bagi rakyat untuk memperoleh hak-hak mereka. Begitu juga
sebagai khalifah yang adil Ali selalu menasehati para gubernur dan pejabat lainnya

Sejarah Peradaban Islam .......77


untuk menjauhi nepotisme. Kepada gubernur Malik Asytar beliau memberikan
nasehat, ‚Camkanlah bahwa orang-orang yang dekat di sekitar Anda suka
memanfaatkan posisi mereka untuk meraih milik orang lain dan berlaku tidak adil.
Berantaslah kecenderungan semacam ini, peganglah sebagai prinsip hidup untuk
tidak memberikan sedikitpun tanah (milik negara) kepada famili atau kerabat Anda.
Prinsip ini akan mencegah pengrusakan kepentingan orang lain dan menyelamatkan
Anda dari celaan Allah dan manusia...Lakukanlah keadilan secara jujur tanpa
mempermasalahkan apakah seorang itu kerabat Anda atau bukan. Bila seseorang dari
karib kerabat Anda melanggar hukum maka laksanakanlah kebajikan sesuai dengan
hukum yang berlaku, walaupun terasa pedih bagi Anda, karena hal itu baik bagi
negara‛.
Jauh sebelum kita mendengar istilah ‚accountability‛ didengung-
dengungkan orang semenjak era reformasi di tanah air, Ali empat belas abad yang
lalu selalu memperingatkan para pejabat untuk memberikan laporan tanggungjawab
atas tugas yang diberikan kepada mereka. Berbeda dengan Laporan Keterangan
Pertanggungjawaban (LKPJ) para gubernur atau bupati/walikota pada abad ke-21 di
tanah air yang pada umumnya hanya formalitas saja, pada masa Ali bila seorang
gubernur atau pejabat kedapatan melakukan penggelapan harta baitul mal, banyak
atau sedikit, beliau akan langsung mengirim surat: ‚Bertakwalah kepada Allah dan
kembalikanlah harta rakyat kepada mereka…Demi Allah, seandainya Hasan dan
Husein (anak-anak beliau) melakukan hal yang sama, maka saya tidak akan bersikap
lunak kepada mereka‛. Setelah itu Ali akan menghukum mereka dengan keras,
dengan hukuman yang betul-betul menjerakan.
Ali paling tidak suka pada pejabat yang menggunakan harta publik untuk
kepentingan pribadi. Menurut Ali, seorang pejabat harus memberikan contoh yang
baik kepada masyarakat. Sewaktu Sa’ad melaporkan bahwa Ziad bin Abih hidup
bermewah-mewah dan mengumpulkan harta untuk dirinya sendiri, beliau langsung
menegur Ziad dengan surat: ‚Sa’ad memberitahu kepada saya bahwa Anda makan
berjenis-jenis makanan dan memakai wewangian setiap hari. Apalah kerugian bagi
Anda jika berpuasa beberapa hari untuk mencari keridhaan Allah dan memberi
sebahagian kekayaan Anda sebagai amal di jalan Allah…Anda bergelimang dengan
kesenangan dan tidak mengurusi rakyat yang miskin, orang lemah, serta para janda
dan yatim piatu yang membutuhkan…Anda harus bertobat kepada Allah dan
memperbaiki tingkah laku Anda serta berlaku sederhana‛. Semoga saja nasehat Ali
tersebut sampai pada para penguasa dan pejabat di tanah air yang suka menggunakan
dana APBN atau APBD semata-mata untuk kesenangan pribadi, seperti melakukan
‚studi banding‛ keluar negeri yang tidak ada hasilnya, bukan untuk mengatasi
kesulitan yang dialami sebahagian besar masyarakat kecil.
Agar para gubernur dan pejabat negara lainnya tidak korup, Ali memberikan
gaji yang cukup kepada mereka. Dengan memberikan imbalan yang cukup ini
diharapkan mereka tidak perlu menerima suap atau mendapatkan uang dengan cara

Sejarah Peradaban Islam .......78


yang tidak sah. Bagaimana dengan gaji beliau sendiri selaku seorang khalifah? Kalau
Umar masih menggaji dirinya 2 dirham sesuai pendapatan rata-rata masyarakat
waktu itu, Ali menggaji dirinya sesuai standar pendapatan masyarakat paling miskin
waktu itu. Hal ini bisa dilakukan oleh Ali karena bagi beliau segala sesuatu yang
terkait dengan kehidupan dunia, keluarga, kekayaan dan kekuasaan, adalah sesuatu
yang biasa-biasa saja. Ia tidak suka menimbun kekayaan. Bahkan kepada Malik
Asytar beliau berpesan, ‛Laranglah orang dari melakukan pemupukan kekayaan,
karena itu akan menjerumuskan rakyat dan memburukkan citra penguasa‛.
Ali yang pernah berkata, ‛Emas dan Perak! Pergi dan pikatlah orang lain,
jangan saya!‛ ini tiap Jum’at Ali selalu membagi-bagikan tunjangan yang
diperolehnya dari baitul mal kepada orang miskin, susah dan menderita. Beliau
sendiri hidup sederhana, dimana setiap hari beliau hanya makan dua potong roti
keras buatan tangannya sendiri. Tentang pola hidupnya yang sederhana, beliau
mengatakan, ‚Allah telah mengangkatku menjadi Imam dan mengharuskan aku
mengurangi makanan dan kesukaan pribadiku sampai batas tertentu, sehingga
standar kehidupanku akan sebanding dengan standar kehidupan kaum fakir miskin.
Dengan demikian, maka mereka (maksudnya kaum fakir miskin) akan mengikuti
uswah kehidupanku dan kaum kaya tidak akan kejam karena kekayaannya‛.
Dilihat dari sisi ini harus diakui bahwa perilaku orang saleh yang berjiwa
merdeka ini jauh berbeda dengan kebiasaan Usman yang terlalu mudah didikte oleh
sanak famili dan kroni-kroninya. Sewaktu menjadi khalifah, Usman tinggal di
istananya yang mewah, sedang Ali dan keluarganya tinggal di sebuah gubuk, dan
dari gubuk inilah beliau menjalankan pemerintahan. Juga ada perbedaan antara Ali
yang berjiwa merdeka dengan laki-laki biasa. Kalau laki-laki biasa ingin serba
dilayani oleh isterinya, Ali yang sayang pada isterinya justru sering membantu
isterinya menggiling gandum. Seperti yang dicontohnya dari Nabi, beliau juga
menjahit sendiri bajunya yang robek, atau menambal sendiri sandalnya yang bolong.
Walau jabatannya sangat tinggi, tetapi beliau selalu bersikap apa adanya, tidak suka
formalitas.
Walau Ali sendiri memilih hidup qana’ah, tetapi beliau sangat menentang
kemiskinan, apalagi tindak kekerasan dan kezaliman yang bisa menyebabkan
kemiskinan sebagaimana yang dipraktekkan sanak famili dan kroni-kroni Usman. Ali
terus menerus mengupayakan agar seluruh kekayaan baitul mal, tanah serta semua
sumber penghasilan menjadi milik negara bisa ditarik untuk kemudian
didistribusikan ke seluruh warga negara menurut keperluan dan hak mereka. Tentang
penggunaan baitul mal, beliau dengan tegas menyatakan., ‚Aku tidak akan
membagikan harta publik pada orang-orang yang tidak berhak‛. Seruan Ali untuk
tidak memanfaatkan harta baitul mal untuk kepentingan diri sendiri dan sanak famili
tidak hanya diberlakukan pada keluarga Bani Umayyah, tetapi juga terhadap diri dan
keluarganya sendiri. Tegasnya, Ali tidak mau dirongrong oleh sanak familinya untuk
menggerogoti harta baitul mal. Pernah adik beliau Aqil meminta uang khusus dari

Sejarah Peradaban Islam .......79


baitul mal. Walaupun ia sayang pada adiknya, tetapi permintaannya tersebut ditolak
oleh Ali, ‛Harta ini bukan milikku, aku tidak akan memberikannya sesukaku, orang-
orang miskin dan tak berdaya lebih berhak ketimbang engkau, dan saya harus
bijaksana kepada mereka‛. Konon karena permintaannya tidak dikabulkan, Aqil
meninggalkan Ali dan bergabung dengan Mu’awiyah, yang merasa tidak berdosa
menggunakan kekayaan baitul mal untuk menyenangkan hati musuh-musuh
politiknya.
Upaya menegakkan keadilan seperti digambarkan di atas telah menyebabkan
para bangsawan dan orang-orang yang berpengaruh dari kalangan Quraisy
meninggalkan Ali dan bergabung dengan kelompok Mu’awiyah yang lebih mampu
‚mengakomodasikan‛ kepentingan-kepentingan mereka. Dilihat dari sisi ini, Ali
memang tidak ‚sehebat‛ Mu’awiyah dalam memuji dan menghadiahi tokoh-tokoh
dan bangasawan tertentu untuk mendekatkan diri kepadanya. Ali juga tidak pernah
berusaha memikat konco dan sekutu dengan menggunakan harta baitul mal
sebagaimana yang dilakukan Usman dan Mu’awiyah. Tentang penggunaan harta
baitul mal untuk memikat orang, Ali mengatakan, ‚Mengenai perbelanjaan uang
untuk memikat orang, tidaklah halal bagi kita untuk memberikan kepada seseorang
dari milik umum lebih dari haknya‛.
Kalau diperhatikan, semua langkah dan kebijakan yang dilakukan Ali
sebagaimana dijelaskan di atas oleh para pengamat politik masa sekarang pastilah
disebut sebagai ‚langkah yang tidak populer‛. Semua langkah tidak populer tersebut
beresiko karena Ali cenderung akan dijauhi oleh mereka yang selama ini sudah
menerima fasilitas negara dengan cara yang tidak pantas. Hanya orang berpikir bebas
dan berjiwa besar yang sanggup mengambil langkah-langkah tidak populer ini. Dan
langkah-langkah tidak populer dan beresiko tersebut telah diambil oleh Ali, dan
beliau tidak perduli bahwa berbagai kebijakan yang telah ditempuhnya telah
membuat Bani Umayah semakin membenci beliau. Beliau juga tidak pernah perduli
dengan jumlah pengikutnya yang semakin hari semakin berkurang, sebab beliau
yakin pada ayat Al-Qur’an yang mengatakan, ‚Banyak kamu yang lebih kecil
jumlahnya mengalahkan mereka yang lebih besar jumlahnya. Allah beserta orang-
orang yang sabar‛.

Pemberontakah Thalhah, Zubayr dan Aisyah


Dengan latar belakang pengangkatan Ali dan berbagai langkah kebijakan Ali
yang cenderung tidak populer sebagaimana dijelaskan di atas, tidak heran pada masa
Ali memerintah banyak bermunculan kelompok-kelompok yang membangkang.
Kalau pada masa Abu Bakar ada kelompok yang anti membayar zakat, disebut ahl al
-riddah, pada masa Ali muncul kelompok pembangkang yang disebut ahl al-baghy.
Untuk menjaga keutuhan negara, maka seperti Abu Bakar yang memutuskan untuk
memerangi kelompok ahl al-riddah, Ali juga dengan sangat terpaksa
mendeklarasikan perang terhadap kelompok ahl al-baghy. Bagaimanapun, upaya

Sejarah Peradaban Islam .......80


menghadapi kelompok-kelompok pembangkang kali ini tidak mudah. Yang lebih
menyulitkan bagi Ali ialah kenyataan bahwa mereka yang membangkang dan
memberontak tidak hanya kelompok-kelompok non-Muslim, tetapi juga dari
kelompok Islam dan bahkan dari pihak keluarga Nabi. Di antaranya, Ali harus
menghadapi usaha pemberontakan yang dipimpin oleh Zubayr dan Thalhah dimana
A’isyiah turut memihak kepada pemberontak.
Mengapa Thalhah dan Zubayr yang notabene adalah termasuk sahabat dan
juga Aisyah yang tidak lain merupakan isteri pamannya Nabi Muhammad SAW ikut
dalam daftar sebagai pemberontak? Hal ini memang agak ganjil, mengingat Thalhah
dan Zubayr, sebagaimana sudah diungkapkan terdahulu, adalah orang-orang pertama
yang membaiat Ali. Sekarang, mengapa mereka pula yang pertama berbalik
memusuhi Ali? Tentang pemberontakan yang dilakukan oleh Thalhah dan Zubayr,
hal ini tidak lain karena Ali tidak memenuhi keinginan-keinginan mereka untuk
berbagai kekuasaan, bahkan justru bermaksud menarik semua hadiah yang pernah
mereka terima dari Usman. Adapun tentang Aisyah, alasannya cukup pelik.
Ada yang mengatakan bahwa bibinya ini memang tidak suka pada Ali.
Sebagaimana diketahui, Ali adalah suami Fathimah, anak Nabi dengan Khadijah.
Sedang Aisyah adalah anak Abu Bakar yang menjadi isteri Nabi setelah wafatnya
isteri beliau yang pertama dan sangat dicintainya, Khadijah. Ternyata setelah Nabi
kawin dengan Aisyah, konon Aisyah tidak berhasil membuat Nabi melupakan
Khadijah, dan menjadikan dirinya sebagai isteri yang paling dicintai Nabi. Karena
kecemburuannya pada Khadijah, juga menyebabkan Aisyah cemburu pada Fathimah
dan suaminya Ali.
Menurut versi lain, Aisyah kurang suka pada Ali karena pernah melukai
kehormatannya. Pada suatu ketika Aisyah yang tertinggal di belakang rombongan
Nabi didampingi oleh seorang pemuda. Ali curiga Aisyah telah berbuat tidak setia.
Kecurigaan Ali ini baru pupus setelah turun ayat An-Nur 11-20 yang memihak
Aisyah (Karim, 2007).
Selain alasan yang bersifat pribadi di atas, masih ada hal lain yang
menyebabkan Aisyah tidak suka pada Ali, yaitu soal kekuasaan dan kehormatan
keluarganya sendiri. Waktu Usman dari Bani Umayah tewas Aisyah berharap
jabatan khalifah jatuh ke tangan keluarganya dari Bani Thaim, yaitu kepada
Thalhah. Nyatanya yang menjadi khalifah adalah Ali, dan buruknya lagi Ali tidak
mau berbagi kekuasaan dengan Thalhah. Alasan yang disebutkan terakhir inilah yang
paling kuat mengapa Aisyah bergabung dengan Thalhah dan Zubayr untuk
mendongkel kekuasaan Ali.
Karena Ali tidak mau berbagi kekuasaan dengan Thalhah dan Zubayr,
mereka menggunakan taktik berpura-pura hendak mengusut dan membalas kematian
Usman. Tetapi permintaan Thalhah dan Zubayr untuk menyelesaikan kasus
pembunuhan Usman ditolak Ali, sebab dalam pandangan Ali jika hal tersebut
dilakukan maka keadaan akan semakin kacau. Karena permintaan mereka ditolak,

Sejarah Peradaban Islam .......81


Thalhah dan Zubayr kembali ke Bashrah. Dalam perjalanan, mereka ‚kebetulan‛
bertemu dan bergabung dengan A’isyah. Disini mereka merencanakan
pemberontakan terhadap Ali. Gerakan pertama yang dilakukan oleh komplotan
Thalhah, Zubayr dan Aisyah adalah menahan Umar bin Hanif, gubernur Bashrah.
Walau Ali sudah melihat permusuhan terbuka yang dilakukan oleh Thalhah,
Zubayr dan Aisyah, beliau tidak mau langsung menyerang mereka. Ali masih
berharap persoalan diselesaikan dengan damai. Di hadapan orang-orang Kufah yang
bergabung dengan tentaranya Ali menyampaikan pidato, ‚Saya telah mengundang
Anda untuk membantu saya melawan orang-orang Bashrah. Tujuan saya hanyalah
mencapai perdamaian. Bila orang-orang Bashrah menghentikan kegiatannya maka
tujuan saya akan terpenuhi‛. Selanjutnya kepada Thalhah, Zubayr dan Aisyah sendiri
Ali berkirim surat berisikan permintaan agar mereka menghentikan pemberontakan,
dan mengajak mereka membantu dia dalam menciptakan persatuan dan kebaikan
dalam masyarakat.
Ali memang tidak menyukai peperangan, apalagi dengan sesama kelompok
Islam. Sebelum perang dilakukan, ia akan mengerahkan seluruh usaha untuk
mencapai perdamaian. Bila musuhnya bertobat maka ia akan menerima tobatnya,
namun bila musuhnya bersikeras hendak berperang maka beliau akan memohon
pertolongan kepada Allah dan baru berperang. Dalam setiap peperangan yang
dilakukan Ali, prinsip dasarnya adalah bahwa pertumpahan darah harus dihindarkan
kecuali bila benar-benar tidak terelakkan dan tidak ada pilihan lain selain perang. Ia
selalu berusaha menasehati musuh dan mengajak mereka tunduk kepada akal.
Walau telah banyak upaya yang ditempuh Ali untuk menjaga perdamaian,
namun permintaannya ditolak kelompok Thalhah, Zubayr dan Aisyah. Mereka tetap
ingin berperang. Pemberontakan dipimpin oleh Aisyah. Karena ia memberikan
komando peperangan dari atas jamal (onta), maka perang di Bashrah ini disebut
‚Perang Jamal‛. Waktu pasukan Aisyah dan kawan-kawannya bersiap untuk
menyerang, kepada tentaranya Ali berkata, ‚Wahai manusia! Kendalikan diri Anda.
Jangan menyerang mereka, dan janganlah mengatakan sesuatu. Mereka saudara
seiman Anda. Tanggunglah ketidakadilan dengan sabar dan janganlah memulai
pertempuran karena siapa yang berseteru hari ini harus
mempertanggungjawabkannya di Hari Pengadilan‛. Selanjutnya beliau
menginstruksikan, ‚Perhatikanlah! Jangan memanah dan jangan menyerang dengan
tombak atau pedang untuk memulai peperangan‛.
Tatkala kedua pasukan sudah berhadap-hadapan, Ali mendekati Thalhah dan
Zubayr tanpa senjata, mengisyaratkan bahwa beliau masih menginginkan
perdamaian. Tetapi mereka tidak mau di ajak berdamai. Tidak berapa lama
kemudian salah seorang tentara Ali terbunuh dengan panah. Menyaksikan anak
buahnya dipanah, Ali berteriak nyaring: ‚Ya Allah, saksikanlah!‛ Kemudian seorang
lagi tentaranya terbunuh, dan masih juga Ali berteriak: ‚Ya Allah, saksikanlah!‛.
Setelah kemudian Abdullah bin Badil juga terbunuh, baru Ali memerintahkan

Sejarah Peradaban Islam .......82


pasukannya bertempur. Siapa saja musuh yang berada didekat Ali ditebasnya.
Pemilik pedang ‛Zulfikar‛ ini memang terkenal jago pedang dan ahli dalam
berkelahi. Dalam banyak riwayat diceritakan bahwa Ali mampu menghalau musuh
tiga atau empat orang sekaligus. Memang di satu sisi ia suka damai. Tetapi sekali
bertempur ia bisa meradang seperti macan terluka. Dalam waktu relatif singkat
pasukan infantri yang dipimpin oleh Zubayr kocar kacir melarikan diri, dan Zubayr
sendiri terkepung. Mengingat ia seorang sahabat Nabi, tidak ada yang menyerang
Zubayr yang sudah tak berdaya, justru ia dibiarkan pasukan Ali melarikan diri.
Tetapi oleh Amr bin Jarmuz, seorang Khawarij, hal ini tidak dibiarkan terjadi. Ia
mengejar Zubayr hingga ke bukit al-Saba’, dan membunuhnya disana dengan
tombak.
Pihak Ali juga berhasil mendesak pasukan Thalhah dan A’isyah. Untuk
melumpuhkan perlawanan musuh yang dipimpin oleh Aisyah ini, Ali memerintahkan
anak buahnya memotong kaki onta yang dikendarai Aisyah, tetapi tidak
diperkenankan melukai beliau. Perintah ini dilaksanakan dengan baik. Waktu Aisyah
jatuh dari onta, semua pasukan Aisyah melarikan diri. Tetapi karena memandang
mereka sebagai sahabat, Ali tidak tega menghancurkan mereka.
Kode etik berperang Ali memang terkenal sangat tinggi. Bagi beliau
pemenang tidak menganiaya musuh dan tidak pula menindas tawanan. Dalam
berperang, Ali melarang anak buahnya memburu orang yang telah melarikan diri.
Selain itu beliau juga melarang anak buahnya menyakiti orang tua, wanita dan anak-
anak. Ali tidak suka merayakan kemenangan dalam berperang. Sebaliknya ia justru
sedih, sama sedihnya dengan hati seorang ayah yang harus memarahi anaknya yang
membandel.
Dalam Perang Jamal tersebut tidak kurang 17.000 pendukung Aisyah tewas,
dan 1.070 orang tentara Ali terbunuh. Melihat korban bergelimpangan, dengan air
mata bercucuran Ali berdoa, ‚Ya Allah! Ampunilah kami dan ampuni pula orang-
orang ini, yang adalah saudara-saudara kami, walaupun mereka telah berlaku lalim
kepada kami‛. Kemudian beliau memimpin shalat jenazah bagi mayat-mayat kedua
belah pihak. Aisyah tetap diperlakukan Ali dengan hormat, dengan mengembalikan
beliau ke rumahnya di Madinah.
Setelah pertempuran usai diketahui bahwa Thalhah juga terbunuh. Tetapi
versi tentang pembunuhan Thalhah banyak sekali. Menurut salah satu versi, Thalhah
dibunuh oleh pasukan Ali ketika berusaha melarikan diri. Menurut versi lain, adalah
Marwan yang membunuhnya dengan tombak, padahal sebelumnya mereka bertempur
bahu membahu. Menyadari bahwa pasukan mereka terdesak, dan mereka sendiri
melarikan diri, pada saat ini Marwan menombak Thalhah. Mengapa ia melakukan hal
demikian? Menurut sumber yang dikutip oleh Jordac (2004), Marwan menombak
sekutunya tersebut sebab ia mengetahui bahwa adalah Thalhah yang
bertanggungjawab terhadap pembunuhan Usman. Jika ia tidak memanfaatkan waktu
itu untuk membunuh Thalhah, tidak akan ada lagi kesempatan baginya membalas

Sejarah Peradaban Islam .......83


pembunuhan Usman. Menurut versi lainnya lagi, dalam posisi kemenangan di pihak
Ali, beliau masih menawarkan perundingan. Tetapi pada saat inilah terjadi blunder
yang sangat tidak menguntungkan Ali, dimana sewaktu Thalhah bersedia melakukan
perundingan, tiba-tiba sekelompok bajingan yang menyatakan diri sebagai
pendukung Ali membunuh Thalhah. Kontan saja Ali marah besar. Tetapi waktu akan
menghukum kelompok bajingan tersebut, mereka berhasil melarikan diri, konon
bergabung dengan kelompok Mu’awiyah di Syria.

Perseteruan Ali dengan Mu’awiyah


Walaupun untuk sementara Ali berhasil menghadapi beberapa kelompok
pemberontak, tetapi keadaan di Madinah pada era Ali tidak pernah aman. Untuk
langkah pengamanan, pada tahun 36H/656M Ali memutuskan pemindahan ibukota
dari Madinah ke Kufah. Setelah settled di Kufah, dan Ali berkeyakinan bahwa
jabatannya sebagai khalifah sah, beliau berpendapat sudah menjadi kewajibannya
untuk menyatukan negara Islam yang sekarang dipimpinnya dan menundukkan orang
-orang yang memberontak terhadap negara, terutama kelompok Mu’awiyah yang
semakin banyak saja pendukungnya di Damaskus berkat ‚kepiawaiannya‛ membeli
dukungan dari orang-orang yang kurang suka kepada Ali.
Salah satu tindakan yang dianggap pantas oleh Ali adalah mengganti
kedudukan Mu’awiyah sebagai gubernur di Syria. Sebetulnya beberapa sahabat
menyarankan agar Ali mengurungkan niatnya, sebab walau Mu’awiyah keluarga
Usman, tetapi tidak sedikit yang menganggapnya sebagai seorang gubernur yang
cakap dan sudah diangkat sejak era Umar bin Khattab. Tetapi Ali tetap melanjutkan
niatnya melakukan reposisi. Dari Kufah Ali mengirim surat kepada Mu’awiyah
untuk setia pada pemerintahan Ali. Tetapi tidak saja Mu’awiyah menolak
permintaan Ali, bahkan dengan sengaja ia semakin mengorbankan kebencian pada
Ali sambil mengibar-ngibarkan bekas baju Usman yang berlumuran darah waktu
beliau dibunuh. Ketika upaya-upaya rekonsiliasi dari pihak Ali ditolak dan
pertempuran adalah jalan satu-satunya, akhirnya Ali memutuskan untuk
menggempur Mu’awiyah.
Pasukan Mu’awiyah yang berjumlah 128.000 orang lebih duluan berkemah
dekat tepian sungai Eufrat di Lembah Shiffin. Waktu pasukan Ali sampai di lembah
yang sama, pasukan Ali dihalang-halangi oleh tentara Mu’awiyah untuk
mendapatkan air. Karena air sangat strategis artinya dalam peperangan, Ali
memerintahkan Malik Asytar untuk menguasai pinggiran sungai tersebut, dan
berhasil. Hebatnya Ali, waktu pasukannya telah berhasil menguasai pinggiran
sungai, beliau tidak membalas perlakuan Mu’awiyah terhadap pasukannya. Oleh Ali
pasukan Mu’awiyah dibiarkan memanfaatkan air di Lembah Shiffin tersebut, dengan
mengucapkan: ‚Anda boleh minum air sebagaimana kami meminumnya‛.
Walau sudah berusaha memperlakukan pasukan Mu’awiyah dengan baik,
yang diterima Ali justru kebalikannya. Anak buah Mu’awiyah terus menerus

Sejarah Peradaban Islam .......84


mencerca dan melontarkan kata-kata kotor terhadap Ali dan pasukannya. Waktu
pasukan Ali hendak membalas kata-kata kotor mereka, Ali menyuruh mereka
bersabar dan memimpin mereka berdoa: ‚Ya Allah! Lindungilah iman kami dan iman
mereka. Bukalah jalan perdamaian dan bimbinglah mereka dari kebodohan kepada
kearifan, supaya mereka dapat membedakan antara yang benar dari yang bathil‛.
Karena Ali masih juga belum menginstruksikan perang, para pengikutnya
mulai kehilangan kesabaran. Ada yang menanyakan apakah ia takut atau bagaimana.
Tentang hal ini beliau berkata, ‚Mengenai pertanyaan kalian apakah penundaan ini
sama dengan menyatakan saya takut mati dan ingin melarikan diri darinya, saya
bersumpah demi Allah bahwa saya tidak perduli apakah saya yang menjemput
kematian atau kematian yang menjemput saya. Demi Allah, saya tidak menunda
perang barang satu haripun kecuali dengan pikiran bahwa beberapa orang di antara
mereka mungkin akan datang menemui saya dan mau dibimbing oleh saya dan dapat
melihat cahaya kebenaran yang ada pada saya dengan mata mereka yang sekarang
sedang disilaukan. Saya lebih menyukai hal ini daripada membunuh mereka dalam
keadaan tidak tahu walaupun mereka sendiri yang akan bertanggungjawab atas dosa-
dosa yang mereka perbuat‛ (Jordac, 2004).
Setelah segala upaya untuk perdamaian ditolak, akhirnya terjadi juga
peperangan. Sebelum bertempur Ali masih sempat berdoa, ‚Ya Allah, jika Engkau
memberikan kemenangan kepada kami atas musuh-musuh kami, jagalah kami dari
melakukan ketidakadilan dan tetapkanlah kami pada jalan yang lurus, dan bila
Engkau menakdirkan musuh kami menang maka jadikanlah kami para syuhada dan
selamatkan kami dari godaan dunia…‛.
Dalam Perang Shiffin tahun 37H/657M yang berlangsung tiga hari tersebut
pasukan Ali menang besar. Tetapi dalam keadaan terdesak Amr bin Ash menasehati
Mu’awiyah menawarkan perundingan. Tak ada pilihan lain, Mu’awiyah menerima
nasehat Amr bin Ash. Sambil mengangkat mushaf Qur’an di ujung tombaknya dan
melambai-lambaikannya mengisyaratkan perdamaian, ia berkata, ‚Ini Kitab Allah
Azza wa jalla ada di tengah-tengah kita, siapa yang berhak mewakili daerah Syam
selain penduduk Syam itu sendiri, dan siapa yang berhak mewakili daerah Irak selain
penduduk Irak itu sendiri‛.
Tawaran damai yang dajukan Mu’awiyah tersebut telah menyebabkan
pasukan Ali terpecah. Ada yang mendesak supaya perang dilanjutkan, dan ada pula
yang menyarankan sebaiknya memilih tawaran damai. Kelompok yang
menginginkan peperangan dilanjutkan berpandangan bahwa tawaran damai dari
Mu’awiyah tersebut hanya tipuan. Tetapi jumlah mereka yang mau berdamai lebih
banyak. Ali sendiri masuk yang mana?
Menurut Jordac (2004), Ali adalah orang yang paling suka damai, sebab itu
yang diridhoi Allah. Sebagai pencinta damai, Ali pernah berkata, ‚Tak ada yang
lebih buruk daripada peperangan dan pertumpahan darah, dan tidak ada yang lebih
indah dari perdamaian‛. Karena Ali sangat mencintai damai, maka sewaktu

Sejarah Peradaban Islam .......85


Mu’awiyah menawarkan perdamaian, Ali langsung menerimanya, walau beberapa
pendukungnya berusaha mencegah. Tetapi menurut Dhiauddin Rais (2001), riwayat
yang mutawatir tentang sikap Ali sendiri mengatakan bahwa beliau sebenarnya tidak
ingin menghentikan peperangan setelah tampak baginya tanda-tanda kemenangan.
Tetapi beliau terpaksa mengalah terhadap desakan kelompok yang ingin damai
karena jumlahnya lebih banyak.
Terlepas dari kontroversi tersebut di atas, tetapi yang jelas secara de facto
Ali menerima tawaran perdamaian (at-Tahkim) dari Mu’awiyah. Karena keputusan
Ali tersebut dianggap sangat merugikan, maka pada saat itu juga sejumlah
pendukung Ali melakukan pembangkangan. Tidak kurang dari 12.000 orang
meninggalkan kamp pergi ke Haraura’ di pinggiran Kufah, dan dari sinilah lahir
kelompok al-Harauriyah, yang kemudian lebih dikenal dengan kelompok Khawarij.
Dari kelompok penduduk Syam menyetujui Amr bin Ash sebagai wakil
mereka, dan dari penduduk Irak memilih Abu Musa al-Asy’ari sebagai wakil.
Kemudian mereka menulis transaksi at-Tahkim (arbitrase), dan setelah itu
mengumumkan gencatan senjata selama enam bulan sampai kedua hakim
mengadakan pertemuan. Dari hasil keputusan perundingan tersebut jelas sekali
Mu’awiyah yang diwakili Amr bin Ash lebih mendominasi, bukannya kelompok Ali
yang menang perang. Hal ini dapat dilihat dari keputusan perundingan itu sendiri,
yaitu bahwa baik Ali maupun Mu’awiyah harus sama-sama melepaskan klaim
sebagai khalifah, untuk selanjutnya diadakan pemilihan ulang. Walaupun keduanya
melepaskan diri sebagai khalifah, namun status Mu’awiyah sebagai gubernur di
Syria tidak disinggung-singgung.
Menurut beberapa riwayat, Amr bin Ash telah menipu Abu Musa al-Asy’ari.
Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa hasil at-Tahkim sangat menguntungkan
Muawiha dan sangat merugikan pihak Ali. Tetapi menurut Rais (2001), yang paling
kuat kebenarannya dan paling sesuai dengan logika adalah riwayat yang disampaikan
oleh Abu al-Hasan al-Mas’udi, bahwa keduanya (Amr bin Ash dan Abu Musa al-
Asy’ari) telah sepakat untuk mencopot Ali dan Mu’awiyah, dan setelah itu
melemparkan persoalan pemilihan khalifah baru kepada syura’, yang didalamnya
umat akan memilih khalifah yang terbaik dan paling pantas.
Kelompok pendukung Ali jelas tidak senang dengan hasil perundingan yang
jelas-jelas sangat menguntungkan pihak Mu’awiyah. Ali bukannya tidak menyadari
taktik licik yang dilakukan oleh Mu’awiyah. Dalam pandangan Ali yang tidak
diragukan lagi adalah seorang ksatria sejati, seseorang yang memperoleh
kemenangan dengan cara yang jahat sebenarnya kalah. Lagi pula karena Ali sudah
meneken pakta perdamaian, maka sebagai seorang gentlemam ia harus menaati
perjanjian dengan baik. Bagi Ali, perjanjian adalah suatu amanat yang harus
dipegang teguh, dan dalam pandangan beliau tidak ada yang semulia pemenuhan
janji, walau perjanjian itu nyata-nyata merugikan pihaknya sendiri. Tentang orang
yang mengkhianati janji beliau berkata, ‚Di zaman ini banyak orang yang

Sejarah Peradaban Islam .......86


mengartikan pengkhianatan sebagai kecerdasan dan kebijaksanaan, dan orang-orang
bodoh menganggap cara mereka itu bijaksana‛.
Begitu pentingnya arti memenuhi janji bagi Ali, termasuk pada pihak musuh
sekalipun! Sebagai orang yang selalu memegang janji dan amanah beliau berprinsip
bahwa perjanjian harus bebas dari kecurangan, penipuan dan kepalsuan. Beliau juga
berusaha untuk menghindari perjanjian yang tidak dapat dipenuhi, juga menghindari
pembuatan perjanjian yang mengundang banyak interpretasi. Bagaimanapun kalau
perjanjian sudah dibuat, Ali juga tidak mau memanfaatkan penafsiran ganda, dan
tidak menolak isi perjanjian yang telah disepakati, walau ia harus menghadapi
kesulitan yang pedih. Bagi Ali lebih baik menghadapi kesulitan di dunia daripada
melanggar perjanjian dengan ancaman pertanggungjawaban di Hari Pengadilan.
Sehubungan dengan hal ini beliau sendiri pernah berkata, ‚Maka janganlah Anda
mencari dalih dalam memenuhi kewajiban Anda, dan janganlah mengelabui musuh
Anda, karena pelanggaran janji adalah tindakan yang menentang Allah, dan hanya
orang yang amat jahat yang akan berbuat menentang Allah‛.

Pemberontakan Kaum Khawarij


Nabi sudah memperingatkan bahwa akan datang suatu masa dimana terjadi
perpecahan di antara sesama umat Islam dan akan adanya pemimpin yang tidak adil,
‚Setelahku, akan datang pemimpin politik yang tidak dituntun oleh tuntunanku,
akan ada beberapa orang di antara mereka yang akan memiliki hati yang jahat dalam
tubuh manusia‛. Waktu ditanya apa yang harus dilakukan untuk pemimpin yang
seperti itu, Nabi menjawab, ‚Dengar dan patuhi pemimpin, bahkan jika ia akan
memukul punggungmu dan merebut milikmu, kamu harus dengar dan patuhi‛.
Menurut Fazlur Rahman (2001: 100), hadis tersebut telah melahirkan sebuah
pemikiran politik untuk menentang pemberontakan melawan pemerintah yang
berkuasa. Sehubungan dengan ini ada prinsip bahwa ‚enam puluh tahun
pemerintahan tirani lebih baik daripada satu malam tanpa pemimpin politik‛. Tetapi
selaian Hadis seperti dijelaskan di atas ada pula Hadis Nabi yang mengatakan,
‚Perbuatan yang terbaik dalam pandangan Tuhan sesungguhnya adalah mengatakan
kebenaran dihadapan Tirani‛. Hadis ini telah mengilhami banyak ulama menentang
penguasa yang tidak adil, seperti yang dilakukan oleh kaum Khawarij dan kemudian
juga dilakukan oleh Ahmad bin Hambal dan Ibnu Taimiyah.
Seperti sudah disinggung sebelumnya, sewaktu Ali menerima tawaran at-
Tahkim, sebahagian pendukung Ali membangkang, membentuk kelompok al-
Harauriyah atau Khawarij. Gelar Khawarij dilontarkan oleh musuh-musuh mereka
karena telah membangkang terhadap Ali, meninggalkan jamaah dan karena keluar
dari Madain. Dengan pembangkangan yang dilakukan kelompok Khawarij ini maka
Ali yang ‚dipecundangi‛ dalam perjanjian at-Tahkim sekarang harus menghadapi
dua front: kelompok Muawiyah dan kelompok Khawarij.
Kelompok Khawarij yang membangkang terhadap Ali mengangkat

Sejarah Peradaban Islam .......87


pemimpin sendiri, yaitu Abdullah bin Wahab ar-Rasibi. Mereka keluar dari Madain
karena penduduknya dianggap telah berbuat zalim waktu menerima tawaran at-
Tahkim. Bagi mereka tidak ada hukum kecuali dari Allah, dan tidak boleh beralih
dari hukum Allah kepada hukum manusia (seperti yang diatur dalam at-Tahkim).
Bagi mereka, adalah tidak benar untuk menyarungkan pedang setelah dihunuskan,
dan tidak boleh menjadikan manusia sebagai hakim atau penengah dalam urusan
darah. Karena itu orang seperti Mu’awiyah dan Amr bin Ash harus dihukum, bukan
diajak damai. Hal ini sesuai hukum Allah dalam al-Hujarat: 9 yang menyatakan, ‚…
maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali
kepada perintah Allah…‛.
Makin lama jumlah pengikut kaum Khawarij semakin bertambah-tambah.
Tetapi di antara mereka sendiri tidak kompak, dan konon terpecah atas 70 sekte
(firqah) yang lebih kecil. Dari sekian sekte, lima yang paling terkenal adalah: al-
Azariqah (pengikut Nafi’ ibnul Arzaq), as-Shafariyah (pengikut Ziyad al-Ashfar), al-
Baihasiyah (pengikut Abu Baihas al-Haisyam bin Jabir), an-Najdat (pengikut Najdat
bin Athiyah bin Amir al-Hanafi), dan al-Ibadhiyah (pengikut Abdullah bin Ibadh al-
Mirriy). Konon dua firqah yang disebutkan terakhir masih tersisa hingga sekarang di
Aljazair, Oman dan Afrika Timur (Rais, 2001).
Oleh para musuh-musuhnya, kaum Khawarij dipersepsikan sebagai typical
karakter Arab Baduwi yang puritan, idealis, egaliter, berani, suka blak-blakan, lugu
dan sekaligus pendendam. Mereka dikecam gemar bertengkar, memberontak, juga
ringan tangan untuk membunuh lawan-lawan politik mereka. Kelompok Khawarij
memang menganut agama Islam dengan prinsip yang teramat ketat. Mereka menolak
segala bentuk perbuatan dosa, betapapun sepelenya. Bagi mereka tidak ada
perbedaan antara maksiat dan kekafiran, sebab melanggar salah satu bagian undang-
undang sama saja dengan melanggar secara keseluruhan. Bagi mereka, setiap
perbuatan merupakan bagian penting dari iman, dan setiap Muslim harus
melaksanakan kebajikan dan menjauhi kemungkaran. Begitu juga menurut mereka
kesalehan adalah sebagai watak dan kepribadian setiap Muslim, dan tidak ada tawar
menawar tentang hal ini. Orang yang berbuat dosa besar divonis kafir, meski telah
mengucapkan dua kalimat syahadat atau melaksanakan semua bentuk peribadatan
lainnya.
Melihat kaum Khawarij keluar dari kelompok Ali, para pendukung yang
setia pada Ali semakin merapatkan barisan, dan membentuk kelompok atau platform
yang jelas pula, yaitu kelompok Syiah. Walaupun prinsip-prinsip detilnya waktu itu
belum sempurna, tetapi mereka mendukung Ali berdasarkan kecintaan dan
kekaguman mereka terhadap pribadi Ali yang jarang ada tandingannya, mulai dari
kebijakan, keberanian, kefasihan bahasa, dalamnya pengetahuan agama, dan
kehebatannya dalam berperang. Mereka ini pada intinya kaum kerabat keluarga Ali,
yang selalu setia, loyal dan mendukung Ali dan keluarganya, apapun yang terjadi.
Kelompok Syi’ah ini masih ada hingga sekarang.

Sejarah Peradaban Islam .......88


Syiah menurut bahasa berarti sahabat dan pengikut. Para fuqaha dan
mutakallimin baik dari aliran khalaf maupun salaf mengartikan Syiah sebagai
pengiut Ali dan putra-putranya. Menurut mereka, Nabi telah menunjuk Ali sebagai
pengganti beliau ketika berada di Ghadir Kum. Untuk itu mereka mengutip beberapa
hadis yang ‛membuktikan‛ bahwa jabatan imam harus dipegang oleh Ali dan
keturunannya. Teks tersebut ada yang bersifat eksplisit dan ada pula yang bersifat
implisit. Di antara teks yang bersifat eksplisit adalah bahwa Nabi pernah bersabda,
‛Barang siapa di antara kamu menjadi sekutu yang dilindunginya (mawla), maka Ali
adalah sekutunya‛. Teks lain, ‛Ali bertugas memutuskan hukum kepada kalian‛.
Adapun teks implisit antara lain, bahwa setelah turun wahyu Baraah atau at-Taubah
sekembali dari Perang Tabuk tahun 9 H, Nabi mula-mula memerintahkan Abu Bakar
untuk membacakan dokumen at-Taubah yang berisi pengumuman pembatalan
Perjanjian Damai dengan kaum musyrikin. Tetapi kemudian Nabi menerima wahyu
yang memerintahkan untuk mengutus seorang laki-laki dari keluarga Nabi, sehingga
akhirnya Nabi memerintahkan Ali membacakannya. Menurut kaum Syiah,
pengalihan dari rencana semula Abu Bakar ke Ali untuk membacakan surat at-
Taubah menunjukkan bahwa Ali lebih diutamakan dibandingkan dengan Abu Bakar.
Dari peristiwa tersebut kaum Syiah menyimpulkan bahwa Ali lebih berhak atas
jabatan khalifah dibanding Abu Bakar maupun Umar dan Usman. Sayangnya,
menurut sebahagian ulama, dan hal ini didukung oleh Ibnu Khaldun dalam
Muqaddimah, hadis-hadis yang digunakan kaum Syiah tidak sahih, tidak pernah
dikenal oleh ulama-ulama hadis, bahkan kebanyakan bersifat maudhu’ karena
terdapat hal-hal yang tidak seimbang atau jauh menyimpang dari takwil mereka
yang rusak.
Dalam membandingkan kelompok Khawarij dengan kaum Syiah, Dhiauddin
Rais (2001) mengatakan, ‚Walaupun kaum Khawarij sering dianggap pemberontak,
minimal pendapat-pendapat politik mereka masih bersumber dari pemahaman
terhadap apa yang ada dalam Kitab Allah dan Sunnah Rasul. Sedangkan kelompok
Syiah lebih merupakan hasil dari sensasi sentimental atau perasaan kecintaan, lebih
dibangun atas dasar emosional semata daripada logika dan pembuktian‛.
Dalam sikap politik mereka, kaum Khawarij berpandangan adanya hak
mutlak tidak hanya untuk menantang, tetapi juga memberontak terhadap pemerintah
yang berkuasa, jika ada bukti bahwa tindakan atau karakter penguasa tidak segaris
dengan standar baku undang-undang pemerintah (yaitu Al-Qur’an) atau standar
Imam. Tentang syarat pertama, kaum Khawarij hanya mau berpedoman terhadap Al-
Qur’an, dan agak meremehkan arti Sunnah atau Hadis, disebabkan pada waktu itu
banyak sekali beredar hadis-hadis palsu. Sebagai kelompok fanatik yang hanya
menggunakan Al-Qur’an sebagai sumber hukum utama, penyimpangan sekecil
apapun terhadap Al-Qur’an sudah cukup bagi mereka untuk menjatuhkan hukuman,
tak perduli yang menyimpang itu adalah rakyat jelata atau seorang khalifah yang
sedang berkuasa seperti Ali bin Abi Thalib.

Sejarah Peradaban Islam .......89


Sebagai tambahan, pandangan kaum Khawarij juga berbeda dengan kaum
Syiah tentang kepemimpinan. Kalau bagi kaum Syiah yang berhak menjadi Imam
adalah keturunan Nabi, bagi kaum Khawarij yang menjadi syarat untuk menjadi
seorang Imam haruslah seseorang dengan pribadi utuh dan adil serta saleh tanpa
pernah mengabaikan ajaran-ajaran Al-Qur’an. Ia bisa siapa saja, tidak perduli apakah
ia keturunan Nabi Muhammad SAW, bangsawan Arab atau seorang budak hina dari
Abissinia (Ethiopia), laki-laki atau perempuan. Asal ia memiliki kecakapan dan
memiliki determinasi untuk melaksanakan ajaran-ajaran yang terdapat dalam Al-
Qur’an, maka ia berhak untuk memimpin umat Islam (Jindan, 1999).
Sesuai pandangan politik di atas maka kaum Khawarij mendukung
pembai’atan Abu Bakar dan Umar bin Khattab serta mentaati Usman bin Affan
selama enam tahun pertama. Tetapi waktu Usman dinilai KKN, mereka menolak
menaati Usman untuk enam tahun sisa periode berikutnya. Waktu Ali diangkat jadi
khalifah ke-empat, mereka termasuk pendukung Ali yang setia. Tetapi setelah
terjadinya peristiwa at-Tahkim (gencatan senjata antara Ali dengan Mu’awiyah)
mereka berbalik memusuhi Ali. Di mata mereka, Ali sudah melakukan suatu ‚dosa
besar‛ ketika menerima tawaran damai dari kelompok Mu’awiyah, sebab keputusan
tersebut dianggap sebagai suatu keputusan yang sangat merugikan umat Islam.
Selain itu mereka menganggap Ali sebagai pemimpin yang lemah dan dengan
demikian tidak layak lagi untuk diikuti. Oleh karena itu mereka berbalik 180 derjat
melawan Ali. Adalah fakta bahwa kalau awalnya mereka berlebih-lebihan
mendukung dan setia kepada Ali, tetapi sejak at-Tahkim mereka berlebih-lebihan
pula mengkritik, mengecam, memusuhi dan bahkan mencap Ali kafir.
Apa konsekwensi politiknya jika Ali sudah dinyatakan telah melakukan
‚dosa besar‛ karena menyimpang dari Al-Qur’an dan standar Imam? Bagi kaum
Khawarij, jika penguasa sudah menyimpang dari standar undang-undang utama (Al-
Qur’an) dan Sunnah, maka sudah cukup alasan bagi mereka untuk membungkam
atau mengakhiri kekuasaannya. Ini pulalah alasan mereka membangkang,
memberontak, dan akhirnya bersepakat untuk membunuh Ali r.a.
Aktivitas politik kaum Khawarij diarahkan untuk melawan siapa saja yang
mereka anggap tidak adil dan salah urus. Siapa saja yang tidak setuju dengan mereka
dianggap kafir, termasuk di dalamnya Ali, juga Mu’awiyah dan Amr bin Ash. Dalam
pandangan mereka ketiga orang ‚kafir‛ tersebut tidak layak dijadikan sebagai
pemimpin, dan karena itu berkesimpulan bahwa Islam akan terjaga lebih baik bila
ketiga orang tersebut dibunuh semuanya. Untuk mengemban misi tersebut
ditugaskan tiga orang. Bakr bin Abdullah ditugaskan membunuh Mu’awiyah; Amr
bin Bakr ditugaskan membunuh Amr bin Ash, dan Abdurrahman bin Muljam
ditugaskan membunuh Ali. Dari ketiga orang tersebut, yang paling bersemangat
menunaikan tugasnya adalah Abdurrahman ibnu Muljam, sebab jika ia berhasil
membunuh Ali, ia dapat menyunting seorang wanita cantik bernama Qattam binti al-
Akhzar, yang ayahnya mati terbunuh dalam Perang Nahrawan yang dipimpin oleh

Sejarah Peradaban Islam .......90


Ali. Mas kawin yang diminta Qattam sebagai syarat untuk menikahinya adalah uang
sejumlah 3.000 dirham, seorang budak laki-laki dan seorang budak perempuan, serta
nyawa Ali bin Abi Thalib.
Ketiga orang Khawarij tersebut berencana akan membunuh sasarannya
masing-masing pada suatu hari yang disepakati ketika ketiga sasaran akan
menunaikan shalat subuh di kediamannya masing-masing. Mu’awiyah terhindar dari
rencana pembunuhan karena sedang sakit dan tidak bisa menunaikan shalat subuh.
Amr bin Ash waktu hendak dibacok dengan pedang bisa berkelit, sehingga yang
kena bacok hanya bokongnya, dan nyawanya masih bisa diselamatkan. Tetapi Ali
berhasil dibacok oleh ibnu Muljam ketika hendak memimpin shalat subuh di mesjid
Kufah tanggal 17 Ramadhan 40H/661M.

Penilaian terhadap Kekhalifahan Ali


Bagaimana kita harus memberikan penilaian terhadap kekhalifahan Ali bin
Abi Thalib? Walaupun Ali tidak diragukan adalah seorang ksatria dan prajurit yang
gagah berani, memiliki ilmu yang sangat tinggi, baik hati dan terkenal sangat saleh,
namun beberapa pengamat politik menilai bahwa pribadinya terlalu sederhana, tidak
bisa berkompromi dan kurang cakap dalam seni berpolitik. Ketidakcakapannya
dalam berpolitik menyebabkan Ali kurang berhasil mengatasi berbagai konflik yang
terjadi pada waktu ia berkuasa. Mungkin karena banyaknya konflik dan bahkan ada
upaya pemberontakan sewaktu ia diangkat sebagai khalifah, sebahagian pengamat
berpendapat bahwa dibanding khalifah-khalifah terdahulu, Ali dinilai paling lemah.
Beberapa kelemahan Ali yang dicatat oleh ahli-ahli politik antara lain:
pertama, Ali tidak menerima tawaran Thalhah dan Zubayr berbagi kewenangan
waktu ia diangkat sebagai khalifah, padahal keduanya memiliki pengikut yang cukup
besar. Kedua, dalam situasi belum benar-benar stabil pasca terbunuhnya Usman, Ali
memecat para gubernur yang tidak berpihak pada rakyat yang sebelumnya diangkat
atau dilanggengkan kekuasaannya oleh Usman, yaitu Mu’awiyah. Ketiga, Ali
membolehkan pasukan Mu’awiyah memanfaatkan sumber air di Lembah Shiffin
setelah berhasil direbut pasukan Ali dan kemudian menerima tawaran at-tahkim dari
Mu’awiyah. Atas beberapa ‚kelemahan‛ tersebut di atas, tidak ada yang berani
menyebut Ali sebagai organisator dan negarawan yang handal seperti halnya Umar
bin Khattab.
Dilihat dari sudut pandang politik kekuasaan, pandangan yang mengatakan
bahwa Ali lemah di atas mungkin tidak salah. Pengamat politik memang cenderung
memandang orang-orang yang mahir berdiplomasi, termasuk menggunakan cara-cara
licik untuk menang, sebagai pemimpin ulung. Tetapi Ali bukan orang yang
berpadangan seperti itu. Ali tidak memandang politik sebagai upaya mencapai
kemenangan dengan segala macam cara seperti yang diinginkan Michaivelli. Ali juga
bukan seorang oprtunis politik yang haus kekuasaan.
Kalau ditimbang-timbang - tentu saja bukan dengan kacamata politik praktis

Sejarah Peradaban Islam .......91


- justru atas berbagai ‛kelemahan‛ yang dilakukan oleh Ali tersebut orang bisa
menilai kualitas Ali bin Abi Thalib yang sebenarnya, yaitu seorang pemimpin yang
adil dan penegak kebenaran, walau untuk menegakkan keadilan dan kebenaran itu
sendiri ia harus menderita. Sebagai pribadi yang menjunjung tinggi keadilan dan
kejujuran beliau tidak mau menang dengan tipu daya. Sebagai orang yang tidak haus
kekuasaan, sekaligus sebagai orang yang konsisten menghargai kebebasan
berpendapat dan bertindak, beliau tidak marah dan tidak menyerang orang-orang
yang tidak mau menyatakan bai’at terhadap beliau.
Begitu juga Ali sangat menjunjung tinggi kebebasan dan kemerdekaan
berpendapat. Hal ini dibuktikan pada setiap langkah kehidupannya, baik ketika
berbicara, memerintah maupun melarang, baik pada saat perang maupun pada masa
damai. Adalah kerena beliau menjunjung tinggi kebebasan dan kemerdekaan, beliau
tidak melakukan upaya-upaya pencegahan ketika beberapa orang Hijaz dan Irak
membelot dan bergabung dengan kelompok Mu’awiyah. Bagi Ali, orang yang
merdeka bebas mengambil jalan kehidupan yang mereka sukai, termasuk bergabung
dengan musuh politiknya.
Selain menjunjung tinggi keadilan, kebebasan dan kemerdekaan, Ali juga
menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sehubungan dengan hal yang disebutkan
terakhir beliau pernah berkata bahwa tugas penguasa adalah memberikan
pertimbangan yang benar pada hak asasi manusia. Menurut Jordac (2004), kalau kita
cermati semua aturan kenegaraan yang dikeluarkan oleh Ali bin Abi Thalib semasa
menjadi khalifah mengenai hak asasi manusia, aturan yang dibuat oleh Ali
sebetulnya jauh lebih baik dibandingkan dengan deklarasi PBB berkenaan dengan
pokok hal yang sama. Kalau ada perbedaan, hanya dari segi terminologi atau istilah.
Tegasnya, demikian Jordac menyimpulkan, tidak ada satu babpun dalam Piagam
PBB yang tidak paralel dengan peraturan-peraturan yang dirumuskan Ali 14 abad
yang lalu.
Penilaian yang lebih netral ialah bahwa Ali memang bukan seorang yang
ambisius. Mungkin ini yang menyebabkan mengapa selama Ali berkuasa boleh
dikatakan tidak terjadi perluasan wilayah kekuasaan Islam sejengkalpun. Kalau pada
era Abu Bakar wilayah kekuasaan Islam mencapai seluruh Arabia; pada era Umar bin
Khattab wilayah kekuasaan Islam mencapai Bizantium, Palestina, Mesir, Persia dan
wilayah-wilayah Sasaniah; dan pada era Usman perluasan kekuasaan Islam berlanjut
hingga sampai ke seluruh Afrika Utara, Andalusia, Kaukasus, perbatasan wilayah
Bizantium (Anatolia), Asia Tengah dan Transaksonia; maka pada era kekuasaan Ali
tidak ada pertambahan wilayah Islam sejengkalpun.

Pejuang Keadilan dan Kebenaran


Sebagaimana sudah disinggung sebelumnya, Ali walaupun pejuang tangguh
dan ksatria yang hebat di medan perang, tetapi bukan seorang penguasa ambisius dan
pemimpin yang kuat seperti Umar. Menantu Nabi Muhammad ini lebih dikenang

Sejarah Peradaban Islam .......92


karena perjuangannya dalam menegakkan keadilan dan kebenaran, memberantas
kemiskinan dan kemelaratan, ketinggian ilmu dan kefasihan lidahnya, kebaikan hati
dan keluhuran budinya, serta ketakwaan dan kesalehannya. Terutama keadilan dan
kebenaran, seolah-olah sudah melekat dalam diri beliau. Dalam surat beliau kepada
Malik Asytar beliau banyak memberi nasehat yang harus dijalankan oleh seorang
gubernur, baik tentang cara-cara memerintah, bagaimana memperlakukan rakyat,
yang pada intinya ialah agar seorang gubernur berupaya keras menegakkan keadilan
dan membasmi ketidakadilan dan kezaliman.
Sebagai orang saleh sekaligus pejuang keadilan, Ali membagi dosa manusia
atas dua jenis, yaitu dosa yang dapat diampuni dan dosa yang tidak dapat diampuni.
Ketidakadilan dan penindasan dikategorikan Ali sebagai dosa yang tidak dapat
diampuni. Menurut beliau, ‚Dan dosa yang tidak akan diampuni adalah dosa karena
menindas orang lain‛. Selanjutnya beliau menandaskan: ‚Menindas orang yang
lemah adalah jenis penindasan yang paling buruk‛.
Sebagai orang yang sangat membenci penindasan, Ali berusaha adil untuk
setiap orang, bukan hanya pada segelintir elit. Dalam surat wasiatnya kepada
gubernur Mesir Malik Asytar beliau menasehati, ‚Peliharalah keadilan dalam
pemerintahan dan wajibkanlah itu pada diri Anda serta carilah kepuasan rakyat,
karena kekecewaan rakyat banyak memandulkan kepuasan segelintir orang khusus
(para elit)‛. Beliau juga memperingatkan: ‚Ingatlah! Golongan yang mempunyai hak
istimewa itu tidak akan membela Anda dalam kesulitan…Rakyat umumlah yang
memerangi musuh…Karena itu dekatilah mereka dan perhatikan kesejahteraan
mereka‛.
Ali tidak hanya pandai menyuruh orang lain berbuat adil, tetapi juga
memberlakukannya untuk dirinya sendiri. Pada masa Umar, seseorang pernah
mengadukan Ali. Untuk menyelesaikan sengketa, Umar menyuruh keduanya
menghadap. Waktu keduanya datang, Umar berkata dengan ramah kepada Ali,
‛Wahai Abal Hasan, berdirilah secara berdampingan dengan orang ini‛. Dalam
tatakrama Arab, dengan memanggil seseorang dengan kunyah-nya, yaitu nama yang
dikaitkan dengan nama anak laki-laki, misalnya menyebut Ali dengan ‛Abal
Hasan‛ (Bapaknya Hasan), berarti menunjukkan penghormatan. Tetapi Ali justru
tidak senang diperlakukan lebih istimewa dari lawannya berperkara. Melihat Ali
yang kurang senang, Umar bertanya: ‛Apakah Anda tidak mau berdiri berdampingan
dengan si Anu?‛, tanya Umar sambil menyebutkan nama orang tersebut. Ali
menjawab, ‛Bukan begitu‛. Kembali Umar bertanya, ‛Lantas apa yang membuat
Anda tidak senang?‛. Ali menjawab, ‛Bukan, bukan begitu, aku melihat dan
merasakan bahwa Anda tidak bersikap adil. Anda memanggilku dengan kunyah-ku.
Artinya Anda memperlihatkan hormat kepadaku, tetapi Anda tidak melakukan hal
yang sama pada orang ini‛. Pertanyaannya sekarang, pernahkah Anda mendengar
orang memprotes karena ia lebih dihormati dari orang yang mengadukannya dalam
suatu perkara? Itulah Ali, beliau ingin agar musuhnya dalam berperkarapun

Sejarah Peradaban Islam .......93


diperlakukan dengan adil.
Kisah lain yang menunjukkan bagaimana adilnya Ali dapat diikuti dari cerita
berikut. Pada suatu ketika Ali melihat seorang Kristen bernama Syuraih memakai
baju besi miliknya. Oleh Ali hal tersebut diadukan ke pengadilan. Kepada qadi beliau
berkata, ‛Baju besi itu milikku, dan aku tidak pernah memberikan atau
menghadiahkannya kepada siapapun‛. Atas keterangan Ali tersebut qadi bertanya
kepada Syuraih, ‛Apa jawaban Anda atas tuduhan Amirul Mukminin?‛. Jawab
Syuraih, ‛Baju itu milikku‛, dan kemudian ia bertanya kepada Ali, ‛Apakah Anda
dapat mendatangkan saksi bahwa baju besi ini milikmu?‛. Ali yang terpojok atas
pertanyaan tersebut menjawab, ‛Saya tidak dapat mendatangkan saksi‛. Karena
jawaban Ali tersebut qadi memutuskan bahwa baju besi itu milik Syuraih. Walau Ali
seorang khalifah, tetapi beliau mematuhi keputusan qadi.
Pertanyaan yang sangat layak untuk diajukan: mungkinkah hal-hal seperti
diceritakan di atas terjadi pada masa sekarang? Sebahagian Anda sudah sangat
mahfum bahwa pada masa sekarang, kalau ada pejabat tinggi (yang jabatannya
pastilah jauh rendah dibanding khalifah) dipanggil hakim, ada-ada saja alasannya
untuk tidak menghadiri sidang. Pertanyaan lainnya: bisakah kita mencari contoh
pada masa sekarang, dimana orang yang posisinya lebih rendah (seperti qadi)
memberikan putusan yang lebih memberatkan orang yang berpangkat lebih tinggi,
apalagi Kepala Negara? Rasanya sulit.
Waktu keputusan dibacakan, Ali menerimanya dengan baik, sebab ia
memang tidak dapat mendatangkan saksi yang mampu membuktikan bahwa baju
besi itu miliknya. Karena qadi juga sudah mengambil keputusan berdasarkan
pertimbangan yang adil, Ali juga tidak memarahinya. Setelah perkara diputuskan
Syuraih yang memenangkan perkara siap-siap membawa pulang baju besinya. Tapi
baru beberapa langkah berjalan, ia berbalik dan berkata, ‛Saya bersaksi bahwa
pengadilan ini mirip dengan cara para Nabi. Orang yang bergelar Amirul Mukminin
muncul di pengadilan dan sejajar dengan orang seperti aku, padahal qadi adalah
bawahannya, dan begitupun ia memberikan keputusan yang tidak mendukung
pimpinannya sendiri‛. Setelah itu Syuraih melanjutkan, ‛Wahai Amirul Mukminin!
Saya bersumpah demi Allah bahwa baju besi ini milikmu, dan aku mengaku telah
berbohong‛. Sejak itu, Syuraih berpindah dari yang semula memeluk agama Kristen
ke agama Islam, dan bergabung dengan pasukan Ali sebagai pengikut beliau yang
setia.
Ali tidak hanya adil terhadap lawan dalam berperkara, bahkan juga terhadap
musuh dalam peperangan. Hal ini ditunjukkan beliau dalam Perang Shiffin. Seperti
sudah dijelaskan sebelumnya, waktu tentara Mu’awiyah menguasai aliran air di
Lembah Shiffin, mereka menghalangi pasukan Ali memanfaatkan air tersebut.
Tetapi tatkala pasukan Ali berhasil menguasai air Lembah Shiffin tersebut, beliau
tidak hanya membolehkan pasukannya minum, tetapi juga mempersilakan pasukan
musuh minum sepuasnya dari lembah yang sama.

Sejarah Peradaban Islam .......94


Keistimewaan Ali lainnya ialah bahwa beliau juga berusaha adil dalam
penghargaan. Sehubungan dengan hal ini beliau menasehati Malik Asytar agar
memberikan penghargaan sesuai kontribusi, bukan didasarkan pertimbangan
hubungan khusus, ‚Perhatikanlah, jangan menunjukkan perlakuan khusus kepada
orang yang tidak berprestasi yang semata-mata tergantung kepada posisi
keluarganya, dan jangan menyembunyikan ganjaran yang layak pada seseorang yang
telah mengerjakan perbuatan yang besar hanya karena dia berposisi rendah‛.
Menurut Ali, orang harus dinilai menurut prestasi kerjanya, ‚Perhatikanlah prestasi
setiap orang. Janganlah mengalihkan prestasi seseorang kepada orang lain, jangan
merampas hak orang yang berhak menerimanya sebagai hasil kerja yang ia lakukan.
Jangan menganggap besar pekerjaan remeh hanya karena dilakukan oleh orang
berkedudukan tinggi dan jangan meremehkan pekerjaan besar hanya karena
dikerjakan oleh orang yang tidak berkedudukan‛.
Agar keadilan bisa ditegakkan, Ali menyarankan kepada Malik Asytar agar
memilih ketua mahkamah dari orang-orang yang paling baik di antara yang ada.
Kriterianya ialah bahwa ia bebas dari urusan rumahtangga, tidak dapat ditakut-
takuti, tidak sering melakukan kesalahan, tidak memutarbalikkan kebenaran, tidak
egois dan serakah, tidak pernah memutuskan sesuatu sebelum mengetahui seluruh
fakta, melainkan menimbang dengan hati-hati setiap keraguan dan menetapkan
keputusan yang jelas setelah mempertimbangkan segala sesuatu.
Untuk pengadilan tingkat rendah beliau menganjurkan untuk melakukan
pemilihan secara seksama karena ‚jabatan ini menjadi buruan para egois petualang‛
yang lebih didorong oleh kepentingan pribadi ketimbang kepentingan rakyat. Saran
beliau, ‚Jangan menempatkan orang-orang di posisi yang penting hanya karena
hubungan pribadi atau karena suatu pengaruh, karena hal itu dapat menyebakan
ketidak-adilan dan kerusakan‛. Adapun untuk kedudukan yang tinggi beliau
menyarankan memilih orang yang ‚berpengalaman, saleh dan dari keluarga baik-
baik‛, karena, ‚Orang-orang semacam ini tidak akan mudah menjadi korban godaan
dan mereka akan melaksanakan tugas mereka dengan memperhatikan kebaikan yang
langgeng bagi orang lain‛.
Untuk menjamin para petinggi negara menjalankan tugas mereka dengan
baik sesuai amanah, Ali menekankan, ‚Awasi mereka secara diam-diam. Mudah-
mudahan mereka dapat mengembangkan kejujuran dan perhatian yang sungguh-
sungguh bagi kesejahteraan masyarakat. Tetapi bila mereka dituduh berlaku tidak
jujur, dan hal ini dikukuhkan oleh pengawas rahasia Anda, maka konfirmasi ini patut
dianggap sudah cukup untuk menjatuhkan hukuman kepadanya. Gelarlah hukuman
badaniah di depan umum di tempat yang ditentukan‛.
Tentang lembaga administrasi dan para juru tulis, Ali menasehati untuk
memilih orang terbaik yang berakhlak luhur dan dapat dipercaya. Menurut beliau,
‛Itulah orang-orang yang tidak akan memperalat kedudukanya yang istimewa untuk
menentang Anda, yang tidak mengabaikan tugasnya, yang ketika merancang

Sejarah Peradaban Islam .......95


perjanjian tidak mengalah kepada godaan‛.
Ali sangat tidak merekomendasikan mengangkat orang yang kurang
memiliki rasa tanggung jawab, sebab ‛orang yang tidak memenuhi
tanggungjawabnya sendiri nyaris tidak dapat menghargai tanggungjawab orang
lain‛. Saran Ali yang lainnya, ‛Jangan memilih orang untuk pekerjaan tersebut hanya
dengan mengandalkan kesan pertama Anda atas kesetiaan dan kasih sanyangnya,
karena sebenarnya banyak orang yang tidak jujur dan tidak berpendidikan bahkan
mampu menipu para penguasa yang cerdas. Seleksi harus dilaksanakan setelah masa
percobaan yang sewajarnya, yang merupakan ujian kejujuran dan kesalehan‛.
Sebagai seorang pemimpin yang sudah kenyang dengan segala macam
pertempuran, Ali paham bagaimana cara memperoleh kesetiaan dari anak buahnya.
Sehubungan dengan hal ini beliau menasehati Malik Asytar agar memperhatikan
secara khusus kesejahteraan angkatan bersenjata. Nasehat beliau, ‚Teruslah
memuaskan kebutuhan mereka dan jangan segan-segan memuji jasa yang telah
mereka lakukan. Insya Allah sikap semacam ini akan menginspirasikan keberanian
kepada orang yang berani dan mendorong orang yang takut untuk bertindak berani‛.
Tentang siapa yang paling layak menjadi panglima tertinggi, Ali mempunyai
kriteria yang tidak lazim. Menurut beliau orang yang harus dipilih sebagai panglima
tertinggi adalah ‚…Orang yang merasa berkewajiban untuk menolong anak buahnya
dan unggul dalam kebaikan atas setiap perwira lainnya‛. Selain itu beliau juga
menyarankan, ‚Dekatilah keluarga yang reputasi dan integritasnya sudah terbukti
baik dan masa lalunya cemerlang, libatkanlah orang-orang yang bersifat berani dan
jujur serta berwatak baik dan murah hati‛.
Selain giat menegakkan keadilan, sebagai khalifah Ali juga berjuang keras
menegakkan kebenaran. Bagi Ali penguasa yang tidak mempraktekkan kebenaran
dan tidak bisa melenyapkan kebohongan adalah makhluk yang terburuk di dunia.
Dalam suatu kisah diceritakan bahwa beberapa saat setelah beliau diangkat sebagai
khalifah yang keempat, beberapa sahabat mendatangi Ali yang sedang memperbaiki
sepatu sandalnya untuk mengucapkan selamat. Pada waktu itu beliau mengatakan,
‛Bila saya tidak mampu menegakkan kebenaran dan membinasakan kebohongan,
maka sepatu ini lebih berharga bagiku daripada kekuasaan‛.

Ketinggian Ilmu dan Kefasihan Lidah


Selain terkenal sebagai pembela keadilan dan pemberantas kemiskinan, Ali
juga dikenang sebagai khalifah yang paling tinggi ilmunya, terutama dalam ilmu
bahasa, fikih, filsafat dan berbagai cabang ilmu pengetahuan sosial lainya. Waktu
Nabi masih hidup, beliau tidak jemu-jemunya belajar langsung dari Nabi. Karena Ali
belajar langsung dari Nabi, beliau bisa mengetahui makna Al-Qur’an yang
tersembunyi (mutasyabihat), dan tahu paling banyak tentang Hadis melebihi
siapapun.
Sejak Nabi wafat Ali mempelajari ajaran-ajaran Rasulullah dengan

Sejarah Peradaban Islam .......96


menggunakan cahaya akal. Salah satu cara Ali dalam menyempurnakan ilmunya
adalah dengan mempertinggi kesalehan. Mungkin Anda akan bertanya-tanya, apa
kaitan di antara keduanya, tepatnya antara kesempurnaan ilmu dengan kesalehan?
Menurut Ali, ‚Orang yang berbuat saleh, jiwanya tenteram; orang yang
memperhatikan peringatan, mengerti kebenaran; dan orang yang mengerti
kebenaran, mencapai ilmu yang sempurna‛.
Tentang ketinggian ilmu beliau, ada yang mengatakan bahwa Ali menjadi
puncak pertemuan antara agama dan ilmu, sehingga ia digelari ‚ulama intelek‛.
Begitu tingginya penguasaan ilmu Ali, sehingga Nabi Muhammad pernah menyebut
Ali sebagai ‚babu al-ilmi‛ (gerbang pengetahuan) yang dapat membuka segala
rahasia ilmu pengetahuan, disamping juga pernah menggelari Ali sebagai ‚ bahru al-
ilmi‛ (samudera ilmu pengetahuan). Sebagai ‚gerbang ilmu pengetahuan‛, Ali
mengajarkan ilmu agama, gramatika, sejarah dan ilmu pasti pada murid-muridnya.
Beliau juga pendiri filsafat dan teologi Islam. Dengan pengetahuan nahu (sintaksi
ilmu kalimat), kefasihan lidah dan daya pikirnya yang luar biasa, beliau merumuskan
prinsip-prinsip bahasa Arab yang benar. Tentang kemampuan bahasanya, Ali adalah
orang pertama yang merumuskan tata aturan bahasa Arab secara formal.
Dari buku beliau Nahj al-Balaghah orang bisa melihat kepiawaian beliau
dalam merangkai kata-kata, yang menurut sebahagian pengamat kualitasnya hanya
sedikit dibawah Al-Qur’an dan Hadis, tetapi sangat jauh di atas kitab-kitab makhluk
Allah yang lain (Jordac, 2004). Setiap kata yang lahir dari tulisan dan ucapan Ali
mengalir begitu indahnya, sehingga sering dijadikan sebagai kata mutiara atau
motto. Beberapa di antaranya adalah: ‛Janganlah engkau bergembira di atas
penderitaan orang lain‛, ‚Jangan menindas orang lain karena Andapun tidak suka
ditindas orang lain‛, ‚Sukailah untuk orang lain apa yang Anda sukai untuk diri
Anda sendiri, dan jangan menyukai untuk orang lain apa yang tidak Anda sukai bagi
diri Anda sendiri‛, ‛Balaslah perlakuan buruk saudara Anda dengan berbuat baik
kepadanya‛, ‛Sambungkanlah tali silaturrahmi kepada orang yang memutuskannya‛.
Bahkan kalaupun beliau mengecam suatu perilaku tertentu, tetap saja dituangkan
dalam bahasa yang indah.
Begitu tingginya ilmu Ali dan begitu bermutunya setiap ucapan Ali,
sehingga menurut keyakinan kaum Syi’ah apa saja yang dikatakan Ali tentulah
berdasarkan ilham dan kekuatan surgawi, yakni jiwa atau roh Imamiah, yang sulit
dicapai seseorang jika hanya mengandalkan sarana akal dan pengalaman saja. Pidato-
pidato dan ucapan-ucapan Ali dihimpun dalam sebuah buku Nahjul-Balaghah, yang
dijadikan sebagai acuan penggunaan bahasa Arab yang baik dan benar, layaknya
pidato-pidato Cicero untuk bahasa Latin.
Atas semua kelebihan ilmu yang dimilikinya, kepada Ali yang cerdas,
bijaksana dan memiliki daya pikir luar biasa ini Abu Bakar dan Umar sering
meminta pertimbangan beliau untuk memecahkan masalah yang rumit-rumit.
Sewaktu menjadi khalifah, dengan segala kelebihan yang dimilikinya, Ali adalah

Sejarah Peradaban Islam .......97


pengambil keputusan yang bijaksana. Dalam mengambil keputusan beliau selalu
mempertimbangkan semua sisi, mulai dari kepentingan penuntut, masyarakat luas
dan juga negara.
Tentang keluasan ilmu dan kebijaksanaan Ali bisa dilihat dari surat
wasiatnya kepada Malik Asytar, gubernur Mesir. Surat wasiat ini mengandung isi
yang sangat luas dan menyentuh banyak aspek tentang individu, masyarakat dan
negara, semua dikemas dalam pernyataan-pernyataan filosofis. Sayangnya, Ali
memerintah dalam suasana sangat gelap. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu
Taimiyah dalam Minhaj as-Sunnah, ‚Intelek berlian Ali bin Abi Thalib tidak
cemerlang cahayanya di zaman yang sangat gelap ketika itu‛. Begitu juga beliau
tidak cukup lama memerintah. Sehubungan dengan hal ini ada pengamat yang
mengatakan bahwa seandainya Ali tidak terlalu cepat dibunuh, Dunia Islam akan
menyaksikan realisasi ajaran-ajaran Rasulullah dalam kenyataan, yaitu pencampuran
akal dengan hukum dan penjelmaan prinsip-prinsip pertama filsafat sesungguhnya
dalam gerak yang positif.
Bagi Ali ilmu adalah sesuatu yang sangat berharga. Karena itu beliau selalu
mendorong para pembantunya dan juga rakyatnya untuk menuntut ilmu. Tentang
perlunya menuntut ilmu, beliau berkata, ‛Keunggulan dalam ilmu adalah
kehormatan yang paling tinggi‛. Selain itu beliau menjamin bahwa ‛Barang siapa
yang menghidupkan ilmu tidak kunjung mati‛. Sebagai seorang yang sangat
mencintai Ilmu beliau menasehati Malik Asytar untuk selalu belajar dan menimba
pengalaman dari orang-orang berilmu dan bijaksana, dan sering-sering berkonsultasi
dengan mereka mengenai masalah kenegaraan. Selain itu beliau menasehati Malik
Asytar untuk tidak meminta nasehat dari orang kikir, pengecut dan serakah. Adapun
penasehat terburuk di mata Ali adalah penasehat yang berperan sebagai pembantu
penguasa yang tidak adil dan ikut serta dalam kejahatannya. Sebaliknya Ali
menasehati Malik Asytar untuk lebih sering mendapatkan pelajaran dari orang yang
berilmu dan dan bijaksana serta sering-sering berkonsultasi dengan mereka mengenai
masalah kenegaraan supaya dapat memelihara perdamaian dan kebaikan.
Ali adalah pendukung kebebasan berpikir dan bertindak, juga pelopor
gerakan rasionalisme. Bagi Ali, kebebasan adalah sesuatu yang sakral, dan tidak ada
sesuatupun yang sejajar dengan kebebasan. Menurut beliau, Tuhan menunjukkan
jalan kebenaran dan membiarkan manusia memilih sendiri menurut kehendaknya.
Kemerdekaan kehendak manusia, yang didasarkan atas ajaran bahwa manusia akan
dinilai menurut penggunaan akalnya, tertanam dalam ajaran-ajaran Rasulullah
bersama-sama dengan keyakinan kepada suatu kekuasaan tertinggi yang menguasai
semesta. Gagasan kemerdekaan kehendak yang dikembangkan oleh Ali inilah yang
kemudian tumbuh menjadi suatu filsafat yang kemudian disebut rasionalisme. Aliran
filsafat rasionalisme yang semula dikembangkan Ali di Madinah kemudian menjalar
ke Damaskus, Kufah, Bashrah dan Baghdad. Dimana-mana aliran rasionalisme ini
melahirkan gagasan-gagasan eklektik dan menciptakan kemajuan di berbagai bidang

Sejarah Peradaban Islam .......98


ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya politik, ekonomi dan kebudayaan dalam
arti luas (Ali, 1978),
Walau Ali mendukung kebebasan berpikir dan bertindak, tetapi dalam
mempraktekkan kebebasan berpikir dan bertindak tersebut haruslah dilakukan secara
terkendali. Dalam khotbah-khotbahnya yang tertulis dalam Nahjul-Balaghah beliau
menyatakan, ‚Timbanglah jiwamu sebelum datang waktunya perbuatanmu
ditimbang; Bikinlah perhitungan dengan dirimu sendiri sebelum kau terpanggil
untuk membuat perhitungan tentang perbuatanmu dalam kehidupan ini; Lakukanlah
pekerjaan yang baik dan suci dan berjalanlah di jalan yang benar dan lurus sebelum
jiwamu meninggalkan tempat kediamannya di bumi; Sungguh, jika tidak kau pimpin
dan peringati dirimu sendiri, tiada yang lain dapat membimbingmu‛. Pikiran bebas
beliau yang bersatu dengan jiwa yang saleh dan keyakinannya yang teguh jauh
mendahului zamannya.

Kebaikan Hati dan Keluhuran Budi


Selain dikenang sebagai pejuang dan kesatria yang tinggi ilmunya, Ali juga
dikenang sebagai seorang yang baik hati. Dalam percakapan, ceramah dan surat
wasiatnya beliau selalu menggugah kesadaran dan hati nurani manusia karena beliau
tahu bahwa untuk penyelenggaraan urusan masyarakat dan hubungan baik manusia
diperlukan moral yang baik. Melalui ceramah dan ajarannya beliau ingin melindungi
moral manusia dan menyemangati kegairahan dalam diri manusia supaya mereka
berbuat baik dengan pertolongan kebijaksanaan dan akal mereka sendiri. Untuk itu
beliau tidak jera-jeranya menekankan kepada manusia untuk memegang pendapat
yang baik mengenai kesadaran manusia. Menurut beliau, ‚Bila seseorang
menganggap diri Anda baik maka usahakanlah membuktikan kebenaran anggapan
itu‛. Selain itu beliau mengatakan, ‚Bila seseorang melakukan sesuatu, janganlah
menganggapnya buruk selagi masih ada kemungkinan untuk menarik suatu
kesimpulan yang baik darinya‛.
Karena Ali memiliki pendapat yang baik mengenai manusia, beliau juga
selalu berusaha menanamkan akhlak yang baik ke dalam hati mereka. Beliau
mengetahui bahwa kebaikan dan keburukan ada pada watak manusia, dan untuk itu
orang harus sabar memalingkan hatinya ke arah kebaikan dan memeliharanya. Beliau
mendidik manusia tidak hanya melalui kata-kata, tetapi yang lebih penting lagi ialah
melalui contoh-contoh dan tingkah laku yang baik, karena beliau percaya metode
pendidikan seperti inilah yang paling efektif.
Sebagai khalifah yang baik hati dan berbudi luhur, beliau tidak bosan-
bosannya meminta kepada rakyatnya untuk menjauhi kekejian dan kejahatan, ‚Aku
minta padamu, sembahlah Tuhan dalam kemurnian dan kesucian. Ia telah
menunjukkan kepadamu jalan keselamatan dan godaan di dunia ini. Jauhilah
kekejian, sekalipun nampaknya bagus dalam pandanganmu; jauhilah kejahatan,
sekalipun menyenangkan‛.

Sejarah Peradaban Islam .......99


Sebagai seorang yang mengutamakan kebaikan, kepada para gubernur dan
pejabat negara Ali menyerukan, ‚Hai kamu hamba-hamba Tuhanku, penuhilah
kewajiban-kewajiban yang diletakkan di atas bahumu, karena melalaikannya berarti
merendahkan derjat; hanya amal perbuatan melicinkan jalan ke daerah maut.
Ingatlah, tiap dosa menambah hutang dan membuat rantai bertambah berat.
Khusus kepada gubernurnya di Mesir, beliau menasehati, ‚Pupuklah sifat
jatmika dan sabar, dan bertindaklah dengan kesalehan dan kesabaran‛. Selain itu
beliau juga berpesan, ‚Kembangkanlah dalam diri Anda perasaan cinta kepada rakyat
Anda dan jadikanlah itu sumber kebaikan dan karunia bagi mereka, dan jangan
mengambil sesuatu yang merupakan milik rakyat‛. Selain itu beliau menasehati,
‚Janganlah seseorang yang berbuat baik dan orang yang berbuat jelek kedudukannya
sama di sisimu, karena hal itu berarti melecehkan orang yang berbuat baik dan
melatih orang yang berbuat jelek untuk terus berbuat jelek‛.

Ketakwaan dan Kesalehan


Selain semua sifat-sifat baik yang disebutkan sebelumnya, Ali juga lebih
sering dikenang karena ketakwaan dan kesalehannya. Bagaimana orang yang saleh
dan berjiwa beribadat, digambarkannya dengan kata-kata indah berikut:
‚Sekelompok orang beribadah kepada Allah karena ingin mendapatkan karunia-Nya,
ini adalah ibadahnya pedagang. Sekelompok lain beribadah kepada Allah karena
merasa takut, ini adalah ibadahnya budak. Sekelompok ketiga beribadah kepada
Allah sebagai tanda syukur kepada-Nya, ini adalah ibadah orang merdeka‛. Ali
sendiri bukan pedagang, bukan budak penakut, melainkan orang yang mencintai
kebebasan. Orang seperti ini tidak menjalani kehidupan untuk kepentingan dunia dan
kesenangan sementara, juga bukan orang yang mencari populeritas, melainkan
mencari keridhaan Tuhan semata.
Walau bagi Ali segala sesuatu yang terkait dengan kehidupan dunia,
keluarga, kekayaan dan kekuasaan, adalah sesuatu yang biasa-biasa saja, tetapi
waktu ditanya tentang kesalehan, dalam Jami’ al-Sa’adat beliau menjelaskan,
‚Kesalehan tidak berarti bahwa harta kekayaan harus dihancurkan, atau segala
sesuatu yang halal harus dianggap haram. Arti sebenarnya dari kesalehan ialah kalau
manusia tidak lebih tergantung pada benda-benda keduniaan dan menyepelekan
urusan dengan Allah. Waktu Ali ditanya apa yang dimaksudkan beliau dengan
kesalehan, beliau menjawab, ‚Menjauhkan diri dari sesuatu yang diharamkan, bukan
hanya sekedar rajin melakukan ibadah ritual seperti shalat dan puasa atau mengaji‛.
Dengan segala kelebihannya sebagaimana disebutkan di atas, Oelsner dalam
bukunya ‛Des Effets de la Religion de Mohammed‛ mengatakan: ‛Sekiranya Ali
diberi kesempatan memerintah dengan aman, maka keutamaannya, ketabahannya
dan kewibawaannya pasti dapat memperkuat kedudukan pemerintahan Islam. Tetapi
sayang seorang pembunuh telah menghancurkan harapan Dunia Islam. Dengan
terbunuhnya Ali maka lenyaplah seorang Muslim yang paling jujur dan paling saleh

Sejarah Peradaban Islam .......100


yang pernah tercatat dalam sejarah Islam‛ (Ali, 1978).
Sebagaimana sudah diungkapkan pada bagian terdahulu, ketika hendak
memimpin shalat subuh di mesjid Kufah tanggal 17 Ramadhan 40H/661M, ia
dibacok oleh seorang oknum Khawarij bernama ibnu Muljam. Walau kena bacok, Ali
tidak langsung tewas. Suatu hal yang mengagumkan, Ali sama sekali tidak marah
kepada kelompok Khawarij ini. Sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir
beliau masih sempat berwasiat kepada anak-anaknya Hasan dan Husein, ‚Apabila
Anda memaafkannya maka hal itu akan lebih dekat kepada takwa‛. Kepada orang-
orang yang datang menjenguk beliau berpesan, ‚Janganlah Anda memerangi kaum
Khawarij sepeninggal saya, karena orang yang mencari kebenaran namun tersesat
tidak sama dengan orang yang mencari kebathilan dan mendapatkannya‛.
Selanjutnya beliau berkata, ‛Sampai kemaren saya adalah pemimpin Anda; hari ini
saya menjadi sarana pelajaran bagi Anda; dan besok saya akan meninggalkan Anda.
Semoga Allah mengampuni kita semua‛. Beliau menghembuskan nafas yang terakhir
tanggal 21 Ramadhan 40 Hijriah. Wafatnya Ali adalah akhir dari era Khulafaur-
Rasyidin dalam sistem pemerintahan Islam yang demokratis.

Sejarah Peradaban Islam .......101


ERA KEDINASTIAN
BANI UMAYAH

A. Latar Belakang Munculnya Bani Umayah


Sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir, ada yang meminta supaya
Ali menyerahkan kursi kekhalifahan pada putranya Hasan. Tetapi tawaran ini
dimentahkan beliau, ‛Saya tidak berhak menyuruh dan melarang kamu semua, kamu
yang berhak dan lebih arif tentang hal ini‛. Terlepas dari penolakan Ali untuk
mewariskan tahta, nyatanya setelah Ali wafat, oleh sebahagian kelompok
masyarakat jabatan khalifah diserahkan kepada putranya al-Hasan. Tetapi al-Hasan
tidak betul-betul berkuasa sebagai khalifah yang legitimate, sebab berhasil direbut
oleh Mu’awiyah.
Dalam merebut kekuasaan dari Hasan tersebut banyak pengamat yang
menulis bahwa Mu’awiyah telah menggunakan cara-cara yang licik demi kekuasaan
pribadi. Hal ini tidak benar. Alasan yang sesungguhnya adalah untuk kebaikan
Negara Islam, sebab Hasan dimata Mu’awiyah lemah. Menurut Karim (2007),
Mu’awiyah pada mulanya mengirim surat kepada Hasan, ‛Andaikan dalam hal
politik dan kinerja kepemimpinan Anda melebihi atau setara dengan seorang kepala
negara yang unggul, saya akan membai’at kepada Anda‛.
Hasan sendiri menyadari bahwa ia tidak didukung oleh semua pihak. Untuk
menghindari perpecahan lebih lanjut di kalangan umat Islam maka Hasan
menyepakati tahkim (perjanjian damai) dengan Mu’awiyah. Dalam kesepakatan itu
al-Hasan melepaskan claim-nya atas jabatan khalifah, dan jika ia wafat maka
persoalan penggantian akan diserahkan kepada pemilihan umat Islam. Dengan
tercapainya at-tahkim atau kesepakatan damai tahun 41 H tersebut Mu’awiyah
diakui sebagai khalifah Islam yang baru. Begitupun, setelah berhasil merebut
kekuasaan, Mu’awiyah tetap menghormati Hasan sebagai cucu Nabi.
Pada Bab 3 sudah disinggung bahwa ketika Ali bin Abi Thalib dinyatakan

Sejarah Peradaban Islam .......102


sebagai khalifah yang keempat, keluarga Umayah tidak mendukungnya dan
mendirikan otoritas baru di Syria. Perlu diketahui bahwa pada waktu itu otoritas
kekuasaan Mu’awiyah hanya sebatas wilayah Syam. Sejak tercapainya kesepakatan
damai pada tahun 41 H tersebut, minimal secara de facto, pembai’atan terhadap
Mu’awiyah tidak terbatas dilakukan oleh penduduk Syam saja, tetapi oleh seluruh
utusan dari daerah-daerah kekuasaan Islam. Karena alasan tersebut, tahun 41H/661M
sering juga disebut sebagai ‛Tahun Persatuan‛ atau ‛Tahun Jama’ah‛ (aamul
Jama’ah) dalam pemerintahan Islam, dimana umat Islam yang selama pemerintahan
Ali terpecah atas kelompok pendukung Ali dan kelompok pendukung Mu’awiyah,
sekarang semua bersatu di bawah satu khalifah, yaitu Mu’awiyah.
Sebelum membahas lebih lanjut, perlu dikemukakan bahwa penilaian
tentang Mu’awiyah mirip dengan penilaian tentang Usman, sebab penuh dengan
kontroversi. Sama seperti ketika membahas kekhalifahan Usman, dalam membahas
kekhalifahan Mu’awiyah berikut saya juga mengungkapkan both side of the story,
baik versi mereka yang mengkritik Mu’awiyah maupun versi mereka yang
membelanya.
Catatan sejarah tentang kedua tokoh ini yang ditulis oleh pendukung
Abbasiyah dan Syiah lebih banyak mendiskreditkan M’awiyah. Pada umumnya
pendukung Abbsiyah dan Syiah sepakat bahwa Mu’awiyah menggunakan segala
macam cara untuk mencapai kekuasaan, gila hormat dan suka pada kemewahan.
Karena Mu’awiyah menggunakan segala macam cara untuk berkuasa, maka oleh
pengkritiknya tahun 41H disebut sebagai akhir pemerintahan Khulafaur-Rasyidin
yang demokratis dan awal dari pemerintahan Islam yang absolut.
Menurut para pengkritiknya, secara de facto Mu’awiyah memang telah
terpilih sebagai khalifah yang baru dengan tercapainya tahkim tahun 41 H, tetapi
legitimasinya. Alasannya, Mu’awiyah jadi khalifah tidak melalui pembai’atan yang
bebas dan penuh kerelaan serta melalui pemilihan dari semua umat, melainkan
karena keterpaksaan. Yang pertama membai’at Mu’awiyah adalah penduduk Syam,
yang ketika itu di bawah kekuasaannya. Karena sedang berkuasa, Mu’awiyah bisa
menekan penduduk Syam untuk membai’atnya. Kalaupun setelah tercapainya
tahkim Mu’awiyah dibai’at oleh semua kelompok masyarakat, termasuk yang ada di
Madinah, menurut sebagian pengamat, hal ini dilakukan karena terpaksa.
Dihadapkan pada realita waktu itu yang penuh dengan suasana gonjang-ganjing dan
ketidak-pastian, mereka terpaksa memilih Mu’awiyah, hanya demi menjaga
persatuan dan kesatuan umat, bukan dilandaskan pada kesukaan dan kerelaan.
Artinya, disini telah masuk unsur kekuatan dan keterpaksaan, menggantikan
kesukarelaan dan permusyawaratan. Kalaupun secara de facto Mu’awiyah menjadi
khalifah, tetapi disini idealisme telah bercerai dengan realita. Sebahagian umat
membaiat karena dipaksa dan ditodong dengan berbagai bentuk ancaman. Inilah
realitas politik yang dihadapi oleh umat Islam waktu itu. Keturunan Ali yang
berusaha mempertahankan kehidupan berpolitik yang agung dan berdasarkan prinsip-

Sejarah Peradaban Islam .......103


prinsip Islam yang ideal, harus kalah dengan realitas politik sesuai teori ‛fakta yang
terjadi‛ (al-amrul waqi’), sehingga akhirnya yang berkuasa adalah logika kekuatan
materil yang menggunakan sarana-sarana harta, politik, dan loyalitas fanatisme
untuk mewujudkan tujuan-tujuan penguasa seperti Mu’awiyah (Rais, 2001).
Terlepas dari kontroversi tersebut, sebagai penguasa baru Mu’awiyah tetap
menggunakan istilah khalifah, bahkan ditambah menjadi Khalifah Allah, walau
jabatan kekhalifahan tersebut diperoleh dengan kekuatan, kekerasan, diplomasi dan
tipu daya, bukan melalui syura atau konsultasi sebagaimana yang berlaku terhadap
khalifah-khalifah sebelumnya (Maududi, 1984).
Naiknya Mu’awiyah (661-680M) menduduki tahta khalifah sebagai tampuk
pimpinan umat Islam oleh Syed Ameeer Ali (1978) disebutkan sebagai ‛keisengan
nasib yang aneh‛ dalam sejarah Islam. Dari catatan sejarah kita tahu bahwa
Mu’awiyah adalah putra Abu Sofyan, yang pada masa Nabi terkenal sangat kejam
dan musuh Islam yang paling sengit. Begitu juga ibunya yang bernama Hindun
adalah perempuan yang terkenal sadis, dan dalam sejarah dikenal sebagai ‛Si
Pemakan Hati Hamzah‛ (paman Nabi). Kontroversi lainnya, Mu’awiyah beserta
keluarganya masuk Islam ketika terjadi penaklukan Mekkah. Menurut sebahagian
pengamat, masuk Islamnya Mu’awiyah hanya untuk menyelamatkan diri, karena
Islam waktu itu sudah sangat kuat. Sejak itu Mu’awiyah mulai mendapat tempat
dalam perjuangan Islam. Tetapi karena kecakapannya, Nabi sendiri pernah
menjadikan Mu’awiyah sebagai sekretaris beliau. Juga karena tegas dan cakap dalam
memimpin, serta cakap dalam urusan administrasi dan cerdas dalam berpolitik, pada
masa pemerintahan Umar bin Khattab ia diangkat menjadi gubernur untuk wilayah
Syam. Di bawah kepemimpinan Mu’awiyah, wilayah Syam mampu mempertahankan
negara Islam dari serbuan pasukan Romawi. Karena terbukti cakap dalam
memimpin, maka jabatan yang sama tetap dipegangnya waktu jabatan khalifah
beralih dari Umar ke Usman.
Dari segi keturunan Mu’awiyah masih satu keluarga dengan Usman, yaitu
suku Quraisy klan Umayah. Nama klan inilah yang dijadikan sebagai nama dinasti
yang didirikan oleh Mu’awiyah, yaitu dinasti Bani Umayah, diambil dari Umayah
ibn Abdi Syams ibn Abdi Manaf, seorang pengusaha kaya dan tokoh Quraisy
terkemuka pada zaman jahiliyah. Umayah adalah kemenakan dari Hasyim ibn Abdi
Manaf, nenek moyang Ali bin Abi Thalib. Antara paman dan kemenakan ini selalu
berebut pengaruh dalam masyarakat Quraisy jahiliyah.
Dalam banyak hal orang-orang Bani Umayah berbeda dengan rival utamanya
dari Bani Hasyim. Kalau orang-orang Bani Hasyim lebih mengutamakan hal-hal
yang sifatnya spritual dan tidak terbiasa berbuat licik dan curang, maka keturunan
Bani Umayah lebih menonjol dalam politik dan perdagangan. Oleh mereka keduanya
sering dimanfaatkan untuk merebut kekuasaan. Mu’awiyah yang dikenal memiliki
kepribadian licik, tidak punya hati nurani dan tidak kenal hiba dan belas kasihan
selalu berusaha mendiskreditkan Ali dan Bani Hasyim. Strategi yang ditempuh

Sejarah Peradaban Islam .......104


Mu’awiyah untuk merebut kekuasaan sekaligus mendirikan dinasti Umayah di
Damaskus antara lain membentuk kekuatan militer selama 20 tahun sewaktu masih
menjabat gubernur di Syria, dan politisasi tragedi pembunuhan Usman untuk
memojokkan keluarga Bani Hasyim, terutama kedudukan Ali sebagai khalifah (Ali,
2003).
Bagaimana caranya Mu’awiyah memojokkan Bani Hasyim dan terutama Ali
bin Abi Thalib? Mula-mula hal ini dilakukan melalui kasak kusuk. Tetapi kemudian
dilakukan lebih sistematis melalui mimbar-mimbar mesjid, tidak terkecuali mimbar
mesjid suci Nabi di Madinah. Bagi ulama yang mau bekerjasama dengannya untuk
memojokkan Bani Hasyim dan Ali, akan mendapat hadiah. Tetapi jika tidak mau, ia
akan menghukumnya. Sebagai contoh, Mu’awiyah rela membunuh Hujr bin Adi,
sahabat Nabi, hanya karena ia tidak mau mengutuk dan menjelek-jelekkan Ali dan
keturunannya dari atas mimbar. Karena gencarnya propaganda Mu’awiyah, maka
sebahagian rakyat ada yang terpengaruh, dan bahkan sebahagian mulai berpihak
kepadanya dan meninggalkan Ali.
Sebagai seorang penguasa yang ambisius, Mu’awiyah akan menggunakan
segala macam cara untuk merebut kekuasaan dan tujuan. Hal ini didukung oleh
kemampuan diplomasinya yang sangat tinggi, plus tingkat kesabaran yang
mengagumkan dan mulut manis yang memperdayakan. Ditambah dengan sifat
kedermawanannya, ia mampu menarik simpati rakyat, bahkan juga simpati dari
musuh-musuhnya, untuk mendukung rencana-rencana jahatnya. Ia akan menyuap
orang-orang yang berpengaruh dengan menggunakan uang rakyat untuk
mendukungnya. Waktu ia dicela karena telah menghambur-hamburkan uang baitul
mal, yang oleh Ali digunakan untuk membantu rakyat miskin, dengan nada enteng ia
menjawab, ‛Bumi adalah milik Allah, dan aku adalah wakil-Nya. Apa saja yang akan
aku ambil adalah milikku‛
Untuk mencapai tujuannya, Mu’awiyah tidak segan-segan melakukan
sandiwara dan rekayasa, termasuk didalamnya untuk mengupah para ulama untuk
membuat hadis-hadis palsu yang menyuruh masyarakat tetap sabar menerima
penindasan dari penguasa dan melaksanakan segala yang diperintahkan terhadap
mereka. Contoh Hadis hasil rekayasa ulama upahan tersebut: Nabi berkata,
‛Sepeninggalku kalian akan dihadapkan dengan perbedaan semu dan tindakan yang
tidak diinginkan‛. Lalu para sahabat bertanya, ‛Wahai Rasulullah! Apa yang harus
kami lakukan?‛. Ketika itu Nabi menjawab, ‛Berikanlah hak-hak penguasa dan
mohonkanlah hak-hakmu dari Allah‛. Hadis palsu seperti ini jelas hanya untuk
membuat rakyat patuh dan tidak memberontak pada penguasa.
Seperti nenek moyangnya, Mu’awiyah ditengarai sering mengajukan
pengakuan palsu, sering menipu rakyat, suka mengaku berhak atas kedudukan yang
lebih tinggi dan senang mencengkeram apa-apa yang terlarang. Kalau ada sifat-sifat
kesabaran, kelembutan dan kedermawanan yang sering dipuji pengamat Barat,
semua itu hanya dilakukan Mu’awiyah sebagai sarana untuk mencapai tujuan

Sejarah Peradaban Islam .......105


keserakahannya dan mengharapkan keuntungan dari orang lain. Kalau semua usaha
di atas tidak berhasil, ia masih punya senjata pamungkas lain untuk mencapai semua
keinginannya, yaitu dengan ancaman dan kalau perlu langsung melakukan
pembunuhan. Menurut pengkritiknya, adalah Mu’awiyah yang menyuruh orang
meracuni Hasan, putra sulung Ali bin Abi Thalib, pada tahun 669 M. Hal yang sama
konon juga dilakukan Mu’awiyah terhadap tangan kanan Ali, yaitu Malik al-Asytar.
Walau ia tidak segan mengintimidasi dan bahkan membunuh musuh-musuh
politiknya, tetapi kalau yang dihadapinya adalah pihak yang memiliki kekuatan, ia
bisa berlaku sangat manis dan sabar. Pernah Abu Muslim al-Khaulani suatu ketika
menemui Mu’awiyah di istana sambil mengucapkan, ‛Salam sejahtera wahai ajir
(budak)‛. Orang-orang yang hadir di istana membetulkan ucapan itu dan menyuruh
Abu Muslim mengatakan, ‛Salam sejahtera, ya Amirul Mukminin‛. Tetapi Abu
Muslim tidak mau memperbaiki salamnya, dan malahan ia mengulangi kata ajir yang
artinya budak hingga tiga kali. Apakah Mu’awiyah marah dipanggil ajir tersebut?
Sungguh luar biasa. Mu’awiyah tidak marah diperlakukan seperti itu oleh Abu
Muslim. Bahkan ia juga diam saja ketika ‛dikuliahi‛ Abu Muslim dengan kata-kata
sebagai berikut: ‛Kau telah disewa oleh pemilik sewaan (rakyatmu) ini untuk
menjaga mereka. Jika kamu mengobati orang yang sakit kudis kembali sehat,
menyembuhkan orang yang sakit dan dapat menunjukkan pilihan terhadap yang
paling rendah di atas yang paling tinggi di antara mereka, maka rakyat akan
memenuhi hak-hak kamu. Tetapi jika kamu tidak bisa menyembuhkan penyakit
kudis, juga tidak bisa mengobati penyakit, atau tidak menunjukkan pilihan terhadap
yang terendah di atas yang paling tinggi di antara kamu, maka rakyat akan
menghukummu‛ (Fazlur Rahman, 2001).
Nasehat agar Mu’awiyah mau menjadi budak, yaitu pelayan rakyat, hanya
akan didengarnya dengan penuh kesabaran dari orang-orang yang mempunyai ‛gigi‛
seperti Abu Muslim. Tetapi kalau bukan orang seperti Abu Muslim yang
menguliahinya seperti itu, tentulah ia akan marah, atau mungkin juga akan
dipancungnya. Pendek kata, para pengkritiknya menyimpulkan bahwa pada era
Mu’awiyah politik menjadi sendi utama, sedang agama menjadi soal nomor dua. Ia
tidak segan-segan menggalang kekuatan dengan trik-trik licik yang tidak pernah
digunakan oleh Nabi dan keempat khalifah mulai Abu Bakar hingga Ali, termasuk
juga oleh Usman yang adalah keluarganya sendiri.
Tentang caranya memerintah, oleh Syed Ameer Ali (1978) dikatakan bahwa
sistem yang dikembangkan Mu’awiyah adalah penggabungan keburukan-keburukan
demokrasi dan despotisme tanpa unsur-unsur yang baik dari keduanya. Di bawah
kekuasaan Mu’awiyah pemerintah merupakan suatu otokrasi tulen yang kekuasannya
hanya dikurangi oleh kemerdekaan berbicara orang Arab gurun pasir atau ulama-
ulama atau orang-orang keramat, yang dengan kemerdekaan berbicara itu sering
dapat merobah pendapat raja.
Mu’awiyah dituding suka menggunakan sumberdaya milik negara, terutama

Sejarah Peradaban Islam .......106


tanah, untuk dibagi-bagikan kepada siapa saja yang disukainya. Seperti Usman bin
Affan, Mu’awiyah juga ada membagi-bagikan tanah bengkok kepada kaum miskin,
tetapi sebahagian besar diberikan kepada sanak keluarga dan kroni-kroninya.
Contohnya, tanah Fadak yang berhasil direbut Ali waktu jadi khalifah dari keluarga
Usman, oleh Mu’awiyah dihibahkan kembali kepada Marwan bin Hakam. Walau ada
membagi-bagikan sumberdaya milik negara pada pihak-pihak yang disukainya,
tetapi yang lebih banyak lagi digunakan untuk mempertebal kantongnya sendiri dan
membelanjai pola hidup mewahnya.
Tentang kebiasaan hidup mewahnya, hampir semua pengamat seolah-olah
sepakat bahwa Mu’awiyah yang terkenal suka pada keindahan, dalam kehidupan
kesehariannya sering memakai baju sutera dan makan di piring emas dan perak.
Padahal, perilaku hidup bermewah-mewah seperti ini dengan tegas dilarang oleh
Nabi Muhammad SAW.
Perlu ditegaskan bahwa semua yang dijelaskan di atas, adalah versi dari
mereka yang tidak menyukai Mu’awiyah. Tetapi menurut ahli sejarah yang lebih
netral, Mu’awiyah tidak seburuk itu. Misalnya tentang perseteruannya dengan Ali
bin Abi Thalib, menurut Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah, perselisihan antara Ali
dan Mu’awiyah adalah sebagai konsekwensi dari solideritas sosial, tetapi keduanya
masih berpedoman pada kebenaran dan ijtihad. Mereka tidak berperang untuk tujuan
duniawi, atau untuk preferensi tak berharga, atau untuk kebencian pribadi,
sebagaimana dipersangkakan oleh sebahagian orang. Sebab perselisihan di antara
mereka adalah ijtihad tentang letak kebenaran. Meskipun Ali yang benar, demikian
Ibnu Khaldun melanjutkan, namun tujuan Mu’awaiyah tidaklah jahat. Tujuan
keduanya sama-sama benar. Yang menjadi masalah, watak kedaulatan mengharuskan
seseorang mengakui semua kemuliaan miliknya sendiri, dan berusaha untuk
memilikinya. Dalam hal ini Mu’awiyah tidak bisa menolak kebutuhan alami dari
kedaulatan untuk dirinya dan rakyatnya. Kedaulatan merupakan sesuatu yang alami
dengan solideritas sosial, yang begitu mewatak, membawanya masuk ke dalam
gerombolannya, dan para pengikutnya Bani Umayahpun membelanya dan bersedia
mati untuknya. Dalam kondisi seperti ini tak mungkin baginya untuk memilih jalan
lain, sebab apabila ia berusaha keluar dari jalan itu dan menentang pengikutnya
sendiri dan tidak lagi menuntut agar kekuasaan menjadi miliknya dan milik mereka,
berarti ia melakukan dissolusi bagi permasalahan yang dihadapi. Oleh karena itu,
adalah lebih penting bagi Mu’awiyah untuk menjaga pengikutnya tetap bersatu.
Sebagaimana disimpulkan Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah, ‛Semua ini terjadi atas
tarikan kedaulatan, yang merupakan konsekwensi solideritas sosial yang harus ada‛.
Walau banyak pengamat politik Islam yang tidak menyukai kepemimpinan
Mu’awiyah, kita harus mengakui ada beberapa sisi positif dari Mu’awiyah. Tidak
ada yang membantah bahwa Mu’awiyah adalah termasuk salah seorang sahabat
Nabi. Bahkan karena kecakapannya, oleh Nabi ia diangkat sebagai sekretaris beliau.
Mu’awiyah tercatat sebagai seorang pejuang dalam perang untuk menaklukkan

Sejarah Peradaban Islam .......107


Syam. Karena kecakapannya dan ketegasannya dalam memimpin, ia ditunjuk Umar
bin Khattab menjadi gubernur Syam. Selaku gubernur Syam ia membuktikan bahwa
dirinya piawai dalam administrasi dan cerdas berpolitik, bahkan mampu
mempertahankan negara Islam dari serangan Romawi. Menurut catatan Ibnu Asakir,
Mu’awiyah adalah seorang Muslim yang baik. Dalam dirinya tergabung sifat-sifat
kekuatan, kelembutan dan kecerdikan yang diperlukan oleh negarawan dan penguasa
yang efektif (Karim, 2007).
Pujian terhadap Mu’awiyah lebih banyak diberikan oleh para pengamat
politik Barat. Oleh mereka Mu’awiyah justru dipandang sebagai penguasa,
administrator, diplomat dan politikus ulung. Mu’awiyah dipuji karena mampu
menarik simpati rakyat dengan kedermawanan dan sikap santun, tetapi keras
terhadap orang yang menentangnya. Mereka pada umumnya memuji kemampuan
Mu’awiyah dalam merangkul banyak pihak, salah satunya dibuktikan dengan
keberhasilannya mengajak Amr bin Ash yang pernah dicopot oleh khalifah Usman
sebagai pendukungnya. Selain mampu merangkul Amr bin Ash, Mu’awiyah juga
berhasil mendapat dukungan dari Mughirah bin Syu’bah dan Ziyad bin Abih. Dengan
kecerdikanya dan dibantu oleh ketiga tokoh tersebut, Mu’awiyah dapat membujuk
dan merangkul lawan-lawan politiknya sehingga efektif dalam memerintah. Karena
kehebatannya berpolitik tersebut, ada pengamat Barat yang membandingkannya
dengan politikus Perancis ulung Richelieu, dan ada pula yang menyamakannya
dengan politikus Inggeris Oliver Cromwell. Karena berbagai kelebihan yang
dimilikinya, Hitti (1976) berani menyimpulkan bahwa Mu’awiyah adalah raja
pertama dan salah seorang raja Islam terbaik.
Mu’awiyah sebagai penguasa yang efektif berhasil merancang dan
menjalankan sistem pemerintahan terpusat. Dengan menjalankan sistem kontrol
yang ketat, Mu’awiyah sangat berhasil dalam meningkatkan pendapatan negara. Hal
ini dimungkinkan karena Mu’awiyah berhasil menyempurnakan bentuk dan fungsi
departemen atau diwan yang sudah dibentuk oleh Umar bin Khattab. Sebagaimana
diketahui, pada era Umar bin Khattab ada diwan syura sebagai wadah tempat
mufakat. Selain diwan syura, pada era Umar bin Khattab juga ada diwan diwan al-
jund yang menangani urusan militer dan diwan al-rasail yang menangani urusan
administrasi dan surat menyurat. Oleh Mu’awiyah diwan syura ditiadakan, diwan al-
jund dan diwan al-rasail dipertahankan, dan selain itu ia menciptakan diwan al
khatam dan diwan al-barid. Dengan adanya diwan al khatam maka para sekretaris
lebih efektif dalam mengurusi surat-surat yang diterima untuk diajukan kepada
khalifah. Menurut Ibnu Khaldun, Mu’awiyah adalah pimpinan Islam pertama yang
memperkenalkan khatam (cap) dalam bentuk pembubuhan tandatangan pada surat.
Beliau juga pimpinan Islam pertama yang membentuk diwan al-barid yang
dikhususkan untuk menangani urusan pos, yang berfungsi ganda untuk melakukan
pemeriksaan agar mudah mengontrol gerak gerik musuh. Dengan adanya diwan al-
barid Mu’awiyah dapat melakukan kontrol atas seluruh wilayah kekuasaannya.

Sejarah Peradaban Islam .......108


Mu’awiyah juga berhasil dalam perluasan wilayah kekuasaan Islam, dimana
pada masa kekuasaan Mu’awiyah wilayah Islam melebar ke Timur hingga Kabul,
Kandahar, Ghazni, Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afghanistan dan Balakh
(Balkan) hingga Bukhara (salah satu wilayah eks Uni Soviet). Ke Selatan tentara
Mu’awiyah sampai ke Sind (tetapi wilayah Sind baru betul-betul dikuasai oleh
Muhammad bin Qasim sesuai instruksi gubernur jendral Hajjaj bin Yusuf pada era al-
Walid bin Abdul Malik pada awal abad ke 8 hijriyah). Ke Barat pasukan yang
dipimpin oleh panglima Uqbah bin Nafi menaklukkan Kartanoga (Carthage).
Sebagai penguasa yang ambisius, Mu’awiyah pernah mencoba menaklukkan
Asia Kecil dan menyatukan Kerajaan Romawi Timur. Untuk itu pasukannya harus
merebut Konstantinopel, ibukota Bizantium dan merampas komando laut
Mediteranian dari Romawi Timur. Untuk mencapai rencananya tersebut sejak tahun
669M Mu’awiyah sudah mulai membangun dermaga. Setelah pembangunan dermaga
rampung baru tahun 674M ia memulai pengepungan dan penyerangan. Tetapi sayang
beberapa kali usahanya melakukan pengepungan dan penyerangan sejak tahun 674M
hingga 678M, semua berakhir dengan kegagalan. Walau ia gagal dalam menaklukkan
Asia Kecil dan menyatukan Kerajaan Romawi Timur, tetapi ia berhasil menguasai
pulau Rhodes, Kreta dan pulau-pulau lain di Laut Tengah.
Menurut Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah, adalah Mu’awiyah pimpinan
Islam pertama yang mengizinkan kaum muslimin mengarungi lautan serta
melakukan jihad dengan menggunakan kapal. Pada era Umar bin Khattab kaum
muslimin dilarang mengarungi lautan. Kalaupun ada yang melanggar ketentuan ini,
seperti yang dilakukan oleh Afraqah bin Hartsamah al-Azdi yang waktu itu menjadi
pemimpin kota Bajilah, hal itu di luar pengetahuan Umar. Tetapi sejak Mu’awiyah,
orang-orang Arab yang terbiasa pada kehidupan padang pasir mulai belajar
mengarungi lautan, hingga timbul keinginan untuk melakukan jihad melalui laut.
Adalah berkat jasa Mu’awiyah umat Islam mulai membuat perahu dan kapal perang
serta mengisi armada mereka dengan prajurit dan senjata. Hal ini kemudian terbukti
mempermudah umat Islam dalam menghadapi musuh di daerah perbatasan dekat
pantai Laut Tengah, seperti Syria, Ifriqiyah, Maghribi dan Andalusia.
Ibnu Khaldun juga membela Mu’awiyah yang dituding sebagai penguasa
Islam pertama yang menggunakan tentara pengawal dan menggunakan kursi
kebesaran. Penggunaan tentara pengawal sudah dipraktikkan Mu’awiyah sejak masih
menjadi Gubernur Syam pada era Umar bin Khattab. Sudah dijelaskan sebelumnya
bahwa Umar bin Khattab, walau pada prinsipnya kurang menyetujui jabatan ini,
tetapi dapat merasakan keperluannya. Apalagi sejak jadi khalifah, Mu’awiyah yang
tidak ingin jadi korban pembunuhan seperti yang dialami Umar, Usman dan Ali,
memerintahkan supaya pengawal dimasukkan dalam daftar pegawai yang bergaji
tetap.
Tentang kebiasaan menggunakan kursi kebesaran, ada yang mengatakan hal
tersebut dilakukan Mu’awiyah untuk menunjukkan kesombongannya, sebab Nabi

Sejarah Peradaban Islam .......109


sendiri dan begitu juga para Khulafaur-Rasyiddin tidak pernah memakai apa yang
disebut tahta, mimbar, divan dan termasuk juga menggunakan kursi kebesaran
sebagaimana yang lazim digunakan raja-raja Romawi atau Persia. Tetapi menurut
Ibnu Khaldun, tuduhan tersebut tidak tepat, sebab sebelum menggunakan kursi
kebesaran (tepatnya kursi yang besar) tersebut Mu’awiyah terlebih dahulu telah
memohon izin kepada rakyat dengan alasan badannya gemuk. Yang menjadi masalah
ialah bahwa para khalifah sesudah Mu’awiyah mengikuti contoh ini, bahkan ada
yang menggunakan tahta berhiaskan mutu manikam yang mengindikasikan
kecenderungan bermegah-megah.

B. Dari Kekhalifahan ke Sistem Monarki


Mu’awiyah memerintah selama kurang lebih 19 tahun. Pada awalnya
Ibukota pemerintahan Umayah yang pertama berada di Kufah. Tetapi kemudian oleh
Mu’awiyah dipindahkan ke Damaskus. Pemerintahan dinasti Umayah di Damaskus
bertahan hampir satu abad, mulai dari masa pemerintahan Mu’awiyah sejak tahun
41H/661M hingga masa pemerintahan Marwan II tahun 132H/750M.

Tabel 4-1: Khalifah-khalifah Bani Umayah di Damaskus

Nama/Gelar Tahun
1. Mu’awiyah I 11H/632M
2. Yazid 61H/681M
3. Mu’awiyah II 64H/683M
4. Marwan I 64H/683M
5. Abdul Malik 65H/685M
6. Walid I 86H/705M
7. Sulaiman 96H/715M
8. Umar bin Abdul Aziz 99H/717M
9. Yazid II 101H/720M
10. Hisyam 105H/724M
11. Walid II 125H/743M
12. Yazid III 126H/744M
13. Ibrahim 126H/744M
14. Marwan II 127H/745M

Sumber: Syed Ameer Ali (1978)

Selama lebih kurang 19 tahun berkuasa Mu’awiyah berhasil merukunkan


bangsa Arab wilayah utara (Kaisaniyyah) dengan bangsa Arab wilayah selatan
(Kalbiyah). Walau dari segi nasab (keturunan) ia lebih dekat ke kelompok
Kaisaniyyah, namun menjelang kematiannya ia mengangkat putra mahkota dari

Sejarah Peradaban Islam .......110


istrinya yang berasal dari keturunan Kalbiyyah, yaitu Yazid. Pengangkatan Yazid
sebagai putra mahkota ini juga merupakan salah satu topik paling panas dalam
sejarah Islam.
Oleh para pengkritiknya, penunjukan anaknya Yazid (60-64H/680-683M)
sebagai penggantinya jelas-jelas melanggat perjanjian damai antara Mu’awiyah
dengan Hasan bin Ali yang menetapkan bahwa persoalan penggantian kepemimpinan
Negara Islam setelah Mu’awiyah akan diserahkan kepada pemilihan oleh umat Islam,
seperti sistem kekhalifahan yang dipraktekkan pada era Khulafaur-Rasyiddin dimana
semuanya berlangsung melalui jalan musyawarah dan pilihan dengan bai’at, dan
bukannya dilakukan secara turun temurun. Semua Khulafaur-Rasyiddin tidak
mewariskan kekhalifahan kepada salah seorang putera keturunan mereka
sebagaimana yang dilakukan oleh Mu’awiyah kepada anaknya Yazid. Penunjukan
Yazid dinilai telah membawa preseden yang buruk dalam sejarah Islam, sebab
setelah peristiwa ini raja-raja Islam yang berkuasa juga ikut-ikutan menunjuk
penggantinya kelak.
Dari catatan sejarah diketahui bahwa saran agar Mu’awiyah mewariskan
tahta pada anaknya Yazid datang dari al-Mughirah bin Syu’bah. Ketika al-Mughirah
mendengar kasak kusuk bahwa ia akan diberhentikan dari jabatannya sebagai
gubernur Kufah, ia mencari akal agar Mu’awiyah membatalkan niatnya. Waktu
itulah ‛ide cemerlang‛nya muncul, dimana ‛demi menjaga kontinuitas pemerintahan
dan menjaga keutuhan umat Islam‛ yang pada masa-masa itu sangat kacau, al-
Mughirah menyarankan kepada Mu’awiyah untuk mengambil jalan singkat
mengangkat putranya Yazid sebagai penerus tahta jika ia meninggal kelak. Kepada
Mu’awiyah ia berkata, ‛Wahai Amirul Mukminin, engkau telah menyaksikan
pertumpahan darah dan perselisihan setelah kematian Usman, dan Yazid layak
engkau jadikan penggantimu. Maka wariskanlah kekhalifahan kepadanya dan
kalaulah terjadi suatu musibah yang menimpa dirimu maka pewarisan kekhalifahan
ini dapat menjadi tempat berlindung rakyat dan penggantimu sehingga darah tidak
berceceran dan fitnah tidak akan terjadi‛ (Rais, 2001). Disini kita melihat bahwa
alasan yang dikemukakan oleh al-Mughirah adalah untuk menghindari pertempuran
dan fitnah. Padahal alasan al-Mughirah yang sesungguhnya bukanlah kontinuitas
pemerintahan dan keutuhan umat Islam, melainkan kontinuitas jabatannya sendiri
sebagai gubernur Kufah.
Tentu saja hati Mu’awiyah sangat senang mendengar saran al-Mughirah
tersebut, dan dengan nada riang ia berkata, ‛Saya mengizinkan Anda untuk
meneruskan jabatan sebagai gubernur Kufah. Syaratnya, Anda harus kembali untuk
menyampaikan usulan Anda kepada beberapa orang yang dapat diandalkan‛.
Selanjutnya al-Mughirah memilih 10 orang, termasuk anaknya Musa sebagai
pimpinan mereka, dengan tugas mendatangi Mu’awiyah untuk mengusulkan
pengangkatan Yazid sebagai pewaris kekuasaan. Kepada Musa Mu’awiyah sempat
bertanya, ‛Berapa uang yang dibayarkan ayah Anda untuk membeli keyakinan orang

Sejarah Peradaban Islam .......111


-orang ini?‛ Musa menjawab bahwa ayahnya telah mengeluarkan uang sekitar
30.000 dirham. Atas jawaban tersebut Mu’awaiyah berkomentar, ‛Itu jual beli yang
baik‛ (Jordac, 2004).
Selanjutnya Mu’awiyah mengirimkan usulan tersebut kepada seluruh
gubernur dan menyuruh mereka mengirimkan utusan dari tiap kota dan daerah.
Setelah para utusan berkumpul, salah seorang di antara yang hadir sambil menunjuk
Mu’awiyah berkata, ‛Dia adalah Amirul Mukminin‛, dan kemudian sambil
menunjuk pada Yazid ia kembali berkata, ‛Bila Mu’awiyah meninggal maka Yazid
bin Mu’awiyah yang akan menjadi Amirul Mukminin‛. Setelah itu sambil
memegang pedangnya ia mengancam, ‛Ini bagi yang tidak menyetujui kita‛.
Sebelum dilakukannya pertemuan, kepada para utusan sudah diberikan hadiah-
hadiah, sedangkan kepada para opsirnya Mu’awiyah telah memberikan instruksi:
‛Siapa saja di antara mereka yang tidak mau membaiat Yazid maka kepalanya harus
dipenggal‛. Selanjutnya dalam suatu pertemuan layaknya sebuah konferensi, para
juru bicara delegasi dari masing-masing daerah angkat bicara. Karena pertemuan ini
direkayasa dengan baik, maka pada akhirnya pertemuan ini secara mayoritas
memberikan dukungan terhadap rencana Mu’awiyah untuk membai’at Yazid sebagai
pewaris kekhalifahan jika kelak ia meninggal dunia.
Menurut Jordac (2004), begitulah cara yang digunakan Mu’awiyah agar
setiap orang menyatakan dukungannya kepada Yazid. Bagaimanapun Jordac
mencatat bahwa walau mayoritas delegasi tiap daerah memberikan persetujuan
terhadap pengangkatan Yazid, tetapi keputusan ini tidak dicapai secara aklamasi.
Anak-anak para sahabat besar seperti Abdullah bin Abu Bakar, Abdullah bin Umar,
Abdullah ibnu Zubayr, Abdullah bin Abbas dan al-Husein bin Ali serta penduduk
Irak dan Hijaz yang didominasi kaum Syiah dan Khawarij dan tidak terpikat dengan
kekayaan serta tidak takut pula dengan ancaman Mu’awiyah, semuanya tidak
memberikan persetujuan dan dengan sendirinya juga tidak ikut memberikan bai’at
terhadap Yazid.
Menurut Ali (1976), penduduk Makkah dan Madinah membaiat Yazid
setengah hati. Bahkan tangan kanan Mu’awiyah sendiri, yaitu Marwan yang waktu
itu menjadi gubernur Madinah, ikut memprotes pengangkatan Yazid. Tetapi
protesnya tidak digurbris, bahkan kemudian ia dipecat oleh Mu’awiyah. .
Masyarakat secara umum tahu bahwa semua khulafaur-Rasyidin menjadi
khalifah melalui proses musyawarah dan pilihan dengan bai’at, bukan sistem turun
temurun. Begitu juga tidak ada Khulafaur-Rasyidin yang mewariskan jabatan
khalifah kepada putra-putra mereka seperti yang dilakukan oleh dinasti Umayah.
Seperti sudah dijelaskan pada Bab 3, setelah Nabi wafat kedudukannya sebagai
pemimpin umat digantikan oleh Abu Bakar. Sebelum Abu Bakar meninggal beliau
menunjuk Umar sebagai penggantinya, dan penunjukan ini diterima ‚secara bulat‛
oleh masyarakat, termasuk oleh keluarga Muhammad. Sebelum Umar meninggal
akibat ditikam oleh seorang fanatik Kristen atau Magi, beliau membentuk suatu

Sejarah Peradaban Islam .......112


panitia yang terdiri dari enam orang untuk memilih calon penggantinya, dan hasilnya
adalah Usman sebagai khalifah ketiga. Waktu Usman tewas terbunuh, kedudukan
khalifah jatuh ke tangan Ali juga melalui hasil pemilihan mayoritas penduduk
Madinah. Waktu Ali meninggal karena dibunuh seorang Khawarij, berakhirlah apa
yang disebut oleh ulama-ulama ilmu fikih sebagai Khilafat al-Kamila, atau
‚Kekuasaan Khalifah yang Sempurna‛, yang pengangkatannya disetujui secara
umum oleh kaum Muslimin. Pada umumnya ulama sepakat bahwa pada era khulafaur
-Rasyidin keimamahan sangat sempurna, sebab idealisme Islam selaras dengan
realita. Tetapi sewaktu Mu’awiyah mewariskan tahta kepada anaknya Yazid, tidak
hanya ulama dan kaum Syiah menolak, sebahagian masyarakat juga tidak
menyetujui.
Mereka yang tidak setuju terhadap pengangkatan Yazid bukan hanya karena
menilai pengangkatannya penuh dengan rekayasa yang bertentangan dengan praktik
yang dilakukan pada era Khulafaur Rasyiddin, terlebih lagi mereka keberatan karena
Yazid yang dipilih oleh Mu’awiyah sebagai pewaris tahta kualitasnya jauh dari
memadai untuk dijadikan sebagai seorang khalifah Negara Islam.
Mu’awiyah oleh para pengamat dan sejarawan dinilai sebagai ’peletak batu
pertama’ sistem monarki atau kerajaan absolut dalam sejarah Islam. Karena itu
pribadinya paling sering dikecam. Kecaman paling pedas dilontarkan oleh seorang
tokoh ulama Islam, Hasan Nashri: ‛Ada empat sifat dalam diri Mu’awiyah, sekalipun
yang dia miliki hanya satu, niscaya akan membinasakan. Pertama, dia merebut umat
ini dengan kekuasaan pedang tanpa musyawarah, sementara dalam umat masih ada
sisa-sisa sahabat dan orang-orang terhormat. Kedua, dia mengangkat anaknya
sebagai pewaris setelahnya. Ketiga, dia mengangkat Ziyad sebagai anak (angkat).
Dan keempat, dia membunuh Hujr dan sahabat-sahabatnya‛.
Semua pandangan yang bernada negatif terhadap Mu’awiyah seperti sudah
dijelaskan di atas umumnya berasal dari pendukung Abbasiyah dan Syiah. Selain
banyak yang mengkritik, tidak sedikit pula yang berpandangan lebih netral dan
membela. Misalnya tentang kritik yang dilancarkan oleh Hasan Nashri di atas,
Dhiauddin Rais (2001) memperingatkan bahwa Hasan Bashri dalam kampanyenya
melawan Mu’awiyah tidak luput dari inklinasi terhadap golongan Syiah. Menurut
Rais, Hasan Nashri adalah salah seorang dari Mawali, dan kita tahu bahwa para
Mawali paling terkenal dengan dukungannya terhadap Ali dan keluarganya, serta
kebencian mereka terhadap Umayah secara umum, tidak terkecuali terhadap
Mu’awiyah.
Menurut sumber lainnya yang lebih netral, ada alasan mengapa Mu’awiyah
mewariskan tahta kepada anaknya Yazid. Yang jelas, pengangkatan Yazid tidak
dilakukan dengan gegabah atas keputusan Mu’awiyah sendiri, melainkan sudah
menerima masukan dari berbagai pihak. Waktu al-Mughirah menyarankan agar
Mu’awiyah menunjuk putranya sebagai putra mahkota, hal ini dibicarakan oleh
Mu’awiyah dengan anak angkatnya Ziyad yang waktu itu menjabat sebagai gubernur

Sejarah Peradaban Islam .......113


Basrah. Waktu dimintai pendapatnya, Ziyad menyarankan agar Mu’awiyah tidak
terlalu gegabah dan tergesa-gesa. Mu’awiyah menerima saran Ziyad, dan sejak itu
Mu’awiyah tidak lagi membicarakan tentang pewaris tahta. Tetapi setelah Ziyad
meninggal tahun 53 H, keinginan Mu’awiyah untuk mewariskan tahta sesuai saran al
-Mughirah muncul kembali. Untuk mendapat masukan yang lebih sempurna, ia
mengatur sebuah pertemuan agar para gubernur dari seluruh wilayah dan orang-
orang dari berbagai daerah secara kolektif menyatakan baiat kepada anaknya Yazid,
selagi ia masih hidup. Dalam surat yang dikirimnya kepada Marwan bin Hakam,
gubernur Madinah, Mu’awiyah menulis, ‛Sesungguhnya aku semakin tua dan
tulangku telah rapuh. Aku khawatir akan terjadi perselisihan sesama umat setelah
kematianku. Untuk itu, aku berpendapat untuk memilih bagi mereka seseorang yang
akan menggantikanku, dan aku tidak senang memutuskan suatu perkara tanpa
meminta nasihat darimu‛. Selain itu Mu’awiyah juga menulis surat kepada para
gubernurnya di Bashrah, Kufah, Madinah dan kota-kota lainnya agar mengirimkan
delegasi untuk menentukan calon penggantinya ((Ahmad, 2001).
Pada hari yang telah ditentukan para delegasi tersebut berkumpul dalam
sebuah pertemuan layaknya konferensi atau muktamar, dimana para delegasi
menyampaikan pandangan-pandangan mereka dan sebagai hasilnya mayoritas
mereka mengungkapkan dukungan terhadap rencana Mu’awiyah mewariskan tahta
pada Yazid. Ini berarti bahwa Mu’awiyah memperoleh pembaiatan untuk Yazid
melalui delegasi-delegasi yang diutus oleh para gubernur ke Damaskus. Melalui cara
ini ia berharap pewarisan kekhalifahan mendapat legitimasi hukum. Berbagai
riwayat menerangkan bahwa sebahagian besar kaum Muslimin bersedia membaiat,
kecuali beberapa putera sahabat besar yang tetap menolak walaupun khalifah
Mu’awiyah sendiri telah datang kepada mereka. Tetapi karena jumlahnya sedikit,
pembaiatan Yazid sah secara hukum, dan kenyataannya pembaiatan Yazid pada
tahun 56 hijriah dilakukan dengan damai (Rais, 2001).
. Lebih jauh para pembela Mu’awiyah mengatakan bahwa proses penunjukan
Yazid sebagai putra mahkota bukan hasil dadakan, melainkan sudah mengalami
proses yang panjang dan melibatkan banyak pihak, terutama dari pembantu-
pembantunya para gubernur dari seluruh daerah. Saran pewarisan tahta sudah
disampaikan al-Mughirah sebelum Ziyad meninggal dunia, berarti sebelum tahun 53
H. Dukungan yang lebih luas dari seluruh juru bicara dari masing-masing daerah
untuk membai’at Yazid dilakukan tahun 56 H. Adapun Mu’awiyah meninggal dunia
dan jabatan khalifah diserahkan kepada Yazid terjadi tahun 60 H. Artinya, proses
pewarisan kekhalifahan kepada Yazid makan waktu tidak kurang dari 7 tahun.
Dalam beberapa kesempatan Mu’awiyah menerangkan bahwa ia ‛tidak
senang meninggalkan umat Muhammad setelah dia laksana domba tanpa
penggembala‛. Menurut Rais (2001), apa yang dikhawatirkan oleh Mu’awiyah cukup
masuk akal. Akan tetapi yang dikritik dari Mu’awiyah ialah bahwa ia tidak
mengikuti jejak Abu Bakar dan Umar, yaitu memilih orang yang terbaik dari umat

Sejarah Peradaban Islam .......114


Islam dan paling cakap memegang tampuk kekhalifahan.
Ibnu Khaldun termasuk di antara segelintir cendekiawan Islam yang paham
mengapa Mu’awiyah harus mewariskan tahta kepada anaknya Yazid waktu itu.
Penjelasan Ibnu Khaldun dapat ditemukan dalam bukunya yang sangat terkenal,
yaitu Muqaddimah. Dalam pasal ke-28 tentang perubahan kekhalifahan menjadi
kerajaan, Ibnu Khaldun menulis, ‛Adapun yang mendorong Mu’awiyah untuk
memprioritaskan anaknya Yazid sebagai putra mahkota dan bukan selainnya adalah
untuk menjaga kemaslahatan umat dalam kesatuan dan kebersatuan aspirasi mereka,
dengan kesepakatan ahlul halli wal ’aqli pada saat itu yang notabene adalah Bani
Umayah‛. Alasannya, mereka tidak akan rela apabila kekhalifahan jatuh ke tangan
orang yang bukan berasal dari kalangan mereka dalam kapasitas mereka sebagai elite
masyarakat Quraisy dan para penganut agama Islam secara keseluruhan, sekaligus
sebagai kelompok yang paling berkuasa di antara mereka.
Selanjutnya pada pasal ke-30 tentang keputramahkotaan, Ibnu Khaldun
menyatakan bahwa yang menyebabkan Mu’awiyah mengutamakan anaknya Yazid
menjadi putra mahkota hanyalah untuk memelihara kemaslahatan dalam kesatuan
umat sesuai kesepakatan pemuka-pemuka masyarakat dari Bani Umayah saat itu.
Menurut Ibnu Khaldun selanjutnya, prinsip yang digunakan dalam memilih Yazid
adalah: ‛Lebih baik memilih yang mafdhul (yang kurang pantas, semisal Yazid)
dibanding memilih yang fadhil (yang lebih pantas) tetapi kurang pasti, demi
memelihara kesepakatan dan kesatuan persepsi di kalangan umat‛.
Dari uraian di atas jelas bahwa Mu’awiyah memilih Yazid sebagai
penggantinya karena dia khawatir akan terjadi dissolusi dari kesepakatan yang
merugikan kepentingan umum, lantaran orang-orang Bani Umayah saat itu tidak
ingin melihat kekuasaan berpindah tangan kepada orang lain. Menurut Ibnu Khaldun,
Mu’awiyah menunjuk Yazid yang sudah dipersiapkannya untuk menjadi
penggantinya tidak lebih untuk menunjukkan tingginya perhatian terhadap
kepentingan umum demi tetap tergalangnya persatuan dan harmoni di tengah
masyarakat. Tetapi dalam pandangan Ibnu Khaldun, Mu’awiyah tidak otoriter, sebab
tindakan ini diambil atas persetujuan rakyat. Buktinya, untuk memilih Yazid
tersebut Mu’awiyah sebelumnya sudah minta pendapat dan nasehat para sahabat
terkemuka dan sudah dikenal tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Ternyata
hampir seluruh sahabat tidak keberatan, apalagi menolak. Kalaupun ada, penentang
penunjukan yang sudah disetujui oleh jumhur ulama itu hanya ibn az-Zubair.
Menurut Ibnu Khaldun menyimpulkan, ini membuktikan bahwa tidak ada di antara
para sahabat yang mencurigai Mu’awiyah. Selain itu dalam pandangan Ibnu
Khaldun, Mu’awiyah sendiri tidak pantas diprediksikan tindakannya, karena
bagaimanapun juga beliau adalah seorang sahabat Nabi besar Muhammad SAW yang
memiliki keistimewaan keadilan, ‛Fakta bahwa dia (maksudnya Mu’awiyah)
termasuk salah satu dari 10 orang sahabat yang dijamin Nabi masuk sorga tidak
memerlukan keterangan lain atas niatnya menunjuk Yazid‛.

Sejarah Peradaban Islam .......115


C. Era Kejayaan Dinasti Umayah
Akibat terjadinya kekosongan kepemimpinan selama kurang lebih enam
bulan telah membuat keadaan politik sangat kacau. Akhirnya dewan istana
memandang perlu diangkat seseorang yang lebih kuat untuk memimpin. Untuk itu
pada akhir tahun 64 H diadakan sebuah pertemuan, dikenal dengan Muktamar al-
Jabiyah, dimaksudkan untuk mencari calon pemimpin baru umat Islam, dimana
penduduk dari berbagai kelompok masyarakat dari berbagai daerah datang atas
kemauan sendiri untuk menentukan siapa pemimpin terbaik bagi mereka. Pakar-
pakar politik Islam yang mendukung Bani Abbasiyah sependapat bahwa Muktamar
al-Jabiyah ini merupakan peristiwa monumental bagi kekhalifahan Bani Umayah
selanjutnya.
Kalau diperhatikan, Muktamar al-Jabiyah ini mirip dengan pertemuan di
Saqifah untuk memilih khalifah pertama sepeninggal Nabi Muhammad. Keduanya
dihadiri umat atas kemauan sendiri, dan diskusi dalam pertemuan berlangsung tanpa
tekanan. Bedanya, pertemuan Saqifah berhasil memutuskan Abu Bakar sebagai
khalifah pertama dalam beberapa jam saja, Muktamar al-Jabiyah memerlukan waktu
tidak kurang dari 40 hari untuk memilih pemimpin umat Islam. Beberapa nama yang
dijagokan antara lain Abdullah bin Umar, Abdullah ibnu Zubayr, Marwan ibnul
Hakam, juga Khalid bin Yazid (adik Mu’awiyah II). Tetapi karena semua calon yang
diajukan memiliki kelemahan, dalam muktamar semua ditolak. Akhirnya, melalui
proses pemilihan yang demokratis pilihan jatuh pada Marwan ibn al-Hakam.
Penunjukan Marwan disertai dengan syarat, bahwa jika situasi sudah aman maka
jabatan khalifah diserahkan kepada Amr bin Said ibnul Ash (saudara Yazid) untuk
selanjutnya diteruskan kepada anak Yazid, yaitu Khalid.bin Yazid (adik Mu’awiyah
II).

Marwan ibn al-Hakam (64-65H/684-685M).


Periode sejak diangkatnya Marwan ibn al-Hakam sebagai pimpinan Bani
Umayah yang baru penuh dengan berita yang simpang siur. Seperti yang pernah
terjadi pada masa Usman, ketika Marwan berkuasa juga banyak muncul fitnah dalam
masyarakat. Dengan alasan tersebut, kalau periode enam tahun terakhir
pemerintahan Usman (656-661 M) disebut Hodgson (1974) sebagai ‛the first fitnah‛
yang merupakan awal perpecahan dalam ummat Islam, maka periode 683-693
disebut sebagai ‛the second fitnah‛ karena catatan tentang sejarah juga simpang siur
dan ada yang saling bertentangan.
Marwan ibn Hakam adalah saudara misan sekaligus tangan kanan Usman bin
Affan. Selain itu ia adalah penghulu suku Quraisy yang disegani sekaligus pemimpin
bani Abdul Manaf. Kalau menurut pendukung Bani Abbasiyah dan kaum Syiah
Marwan ibn al-Hakam banyak dikritik, sebaliknya oleh pendukung Bani Umayah dia
dipuja.

Sejarah Peradaban Islam .......116


Menurut pengamat politik Islam, pilihan terhadap Marwan dinilai sangat
tepat, sebab beliau adalah seorang diplomat yang sudah berpengalaman. Para
pengamat tanpa kecuali menilai bahwa pemilihan terhadap Marwan bin Hakam
melalui Muktamar al-Jabiyah sudah berdasarkan syura dan pemilihan berlangsung
dalam suasana bebas dan demokratis sehingga sudah konstitusional dan sah menurut
hukum Islam. Inilah pemilihan paling legitimate dan konstitusional setelah era
Khulafaur-Rasyiddin.
Dengan ditunjuknya Marwan bin Hakam sebagai khalifah Bani Umayah
yang baru, berarti dalam Negara Islam waktu itu ada dua penguasa, yaitu Marwan di
Syam dan Ibnuz Zubayr di Hijaz. Marwan memandang bahwa hal ini tidak baik bagi
perkembangan Dunia Islam selanjutnya. Oleh karena itu Marwan bertekad dan
memutuskan untuk menyatukan kekuasaan. Setelah berhasil mengalahkan kelompok
-kelompok sempalan yang dipimpin oleh Ibnu Zubayr di jazirah Hijaz, Marwan juga
berhasil menguasai kembali wilayah Syria dan Mesir. Walau banyak menghadapi
tantangan, tetapi berkat kecerdikan dan kematangannya Marwan berhasil menguasai
kembali seluruh kekuasaan Islam.
Sayangnya, setelah situasi pemerintahan berjalan aman dan stabil, Marwan
kembali dihadapkan pada masalah pewarisan kekuasaan. Melihat situasi yang ada,
Marwan memutuskan mewariskan kekuasaan kepada anaknya Abdul Malik. Menurut
orang-orang yang tidak senang pada Marwan, ia telah lupa pada janjinya untuk
menyerahkan kekuasaan pada Amr bin Said ibnul Ash untuk selanjutnya diteruskan
kepada Khalid.bin Yazid, dan justru menunjuk putranya sendiri Abdul Malik sebagai
putra mahkota. Tetapi menurut pengamat yang lebih netral, alasan yang diambil
Marwan persis sama dengan alasan yang diambil Mu’awiyah untuk mewariskan
tahta kepada anaknya Yazid, yaitu demi menjaga keselamatan umum dan menjamin
stabilitas. Melihat kondisi waktu itu Marwan berkesimpulakn bahwa kekhalifahan
sebaiknya terus berada dalam satu keluarga. Untuk mendukung rencananya tersebut,
Marwan meminta pendapat para panglima dan cerdik pandai, dan dengan persetujuan
mereka Marwan mewariskan kekhalifahan kepada anaknya Abdul Malik.
Demikianlah, waktu Marwan meninggal dunia tahun 65 H, jabatan kekhalifahan
jatuh ke tangan puteranya Abdul Malik secara aklamasi.
Akan tetapi menurut versi lain yang kurang simpati kepada Marwan,
dikatakan bahwa pewarisan tahta dari Marwan ke Abdul Malik telah membuat ibu
Khalid bin Yazid yang waktu itu sudah diperistri oleh Marwan menjadi sakit hati.
Mantan istri Yazid yang sakit hati karena putra kesayangannya Khalid tidak jadi
memerintah ini nekad membunuh Marwan, suami keduanya sesudah Yazid.
Sayangnya, walaupun Marwan sudah terbunuh, tetapi Khalid bin Yazid tetap tidak
bisa berkuasa, karena Abdul Malik yang sudah diangkat ayahnya sebagai putra
mahkota segera menggalang kekuatan.

Abdul Malik (65-86H/685-705M)

Sejarah Peradaban Islam .......117


Terlepas dari kontroversi soal kepribadiannya, para pengamat pada
umumnya sepakat bahwa Abdul Malik adalah penguasa Umayah yang paling kuat
sekaligus negarawan besar dalam sejarah Islam. Seperti Mu’awiyah, Abdul Malik
mampu menggalang dukungan dari banyak pihak, termasuk dari kelompok Syiah
yang selama ini kurang simpatik pada penguasa Bani Umayah. Untuk memperkuat
posisinya serta memperoleh simpati dari keluarga Ali kaum Syiah, Abdul Malik
segera setelah berkuasa mengajak pengikutnya melakukan ziarah ke Karbela. Dengan
berhasilnya Abdul Malik merebut simpati dari kaum Syiah, kedukannya semakin
kuat.
Dengan semakin kuatnya kedudukan Abdul Malik dan kemampuannya
dalam memimpin, Abdul Malik berhasil mementahkan perlawanan dari pendukung
Khalid bin Yazid. Begitu juga ia berhasil menghentikan perlawanan sekelompok
pembangkang yang dipimpin oleh Mukhtar dalam Perang Dzab I tahun 686 M.
Bahkan selanjutnya menghancurkan kekuatan Makkah dan Madinah yang selama
dibawah pengaruh Ibnu Zubayr selalu pengganggu pemerintahan Umayah. Dengan
ditaklukannya wilayah Hijaz dan terbunuhnya ibnu Zubayr tahun 73 H, maka sejak
itu pemerintahan Islam Bani Umayah kembali di bawah satu komando, yaitu oleh
Abdul Malik. Tahun 73 H disebut-sebut sebagai tahun persatuan Islam kedua setelah
tercapainya perjanjian damai antara al-Hasan dan Mu’awiyah tahun 41 H.
Selanjutnya secara berangsur-angsur Abdul Malik berhasil memperluas
pengaruhnya ke Irak, Syria dan Arabia, bahkan juga memperluas wilayah kekuasaan
mulai dari daerah perbatasan Merca hingga ke tepi lautan Atlantik. Abdul Malik
memerintahkan Hasan bin an-Na’man, gubernur Ifriqiyah, mendirikan pabrik
peralatan maritim di Yunisia. Dari sini ia berhasil memberangkatkan armada untuk
menaklukkan Sisilia dan kemudian Qusharat. Abdul Malik berhasil membebaskan
Maroko dari imperium Romawi dan merekonstruksi Maghribi sebagai kawasan
Islam. Ia berhasil menundukkan Balkh, Bukhara, Khawariz, Fergana dan Samarkand.
Tentaranya sampai ke India dan menaklukkan Balukhistan, Sind, Punjab hingga ke
Maltan. Di bawah Abdul Malik Afrika Utara menjadi salah satu propinsi kekuasaan
dinasti Bani Umayah. Atas keberhasilannya dalam menciptakan stabilitas politik dan
mengembangkan wilayah kekuasaan Islam, juga atas jasanya mengembangkan
perekonomian dan kesejahteraan masyarakat Muslim, ia dikenal sebagai ‛pendiri
kedua‛ dinasti Umayah sesudah Mu’awiyah.
Abdul Malik memerintah cukup lama, yaitu 21 tahun. Selama memerintah
Abdul Malik cukup banyak melakukan pembaruan. Salah satu diantara kebijakan
Abdul Malik yang dianggap tinggi nilainya adalah menetapkan bahasa Arab sebagai
bahasa resmi di seluruh wilayah kekuasannya. Untuk mempermudah penggunaan
bahasa Arab, dibantu oleh pakar-pakar bahasa Abdul Malik melakukan pembaruan
ragam tulisan bahasa Arab dengan memperkenalkan tanda vokal dan tanda-tanda
untuk membedakan beberapa huruf yang sama atau mirip bentuknya.
Pada masa-masa sebelumnya dalam urusan kenegaraan lebih banyak

Sejarah Peradaban Islam .......118


digunakan bahasa Kibti, Suryani dan Yunani. Begitu juga departemen (diwan) pajak
tanah (kharaj) dan pengumpulan pajak dibiarkan seperti bentuk yang ada
sebelumnya, dimana diwan di Iraq dengan bahasa Persia dan di Syria dengan bahasa
Yunani Byzantin. Bahkan sekretaris diwan di daerah-daerah tersebut adalah warga-
warga muslim yang berasal dari kedua golongan tersebut. Karena pada masa Abdul
Malik terjadi banyak kemajuan, termasuk di bidang pendidikan, maka di kalangan
orang Arab dan orang yang berada di bawah perlindungan Islam (mawla) muncul
para ahli tulis menulis dan tata buku. Untuk penyeragaman, Abdul Malik
memerintahkan Sulaiman ibn Sa’ad (gubernur provinsi Yordan saat ) itu untuk
mengubah diwan Syria dengan bahasa Arab. Begitu juga di Iraq al-Hajjaj
memerintahkan sekretarisnya Zadan Farrukh untuk mengubah diwan di Iraq ke
dalam bahasa Arab. Tetapi agaknya Zadan Farrukh agak enggan melaksanakan tugas
tersebut, dan karenanya diganti al-Hajjaj dengan Shalih ibn ’Abdur Rahman (yang
dapat menulis dengan bahasa Arab maupun Persia). Tugas ini dapat dilaksanakan
Shalih dengan baik.
Pembaharuan ini telah menjadikan bahasa Arab lebih sempurna dan lebih
mudah digunakan oleh warga non-Arab. Dengan digunakannya bahasa Arab sebagai
bahasa resmi negara maka Abdul Malik lebih mudah dalam menyempurnakan sistem
pencatatan pajak. Kalau selama ini di bekas wilayah Sasanid pajak biasanya
dikumpulkan oleh dikhan (petugas desa) yang mencatat pendapatan pajak dalam
bahasa Yunani atau Pahlevi, maka sejak dilakukannya pembaharuan sekaligus
penetapan bahasa Arab sebagai bahasa resmi maka sejak itu pencatatan pajak
dilakukan dalam bahasa Arab. Sebagai konsekwensi dari penyeragaman diwan ke
dalam bahasa Arab tersebut maka sekretaris dan juru tulis Persia dan Romawi
kehilangan pekerjaan.
Pembaruan lain yang dilakukan Abdul Malik ialah kebijakannya untuk
mengganti mata uang Bizantium dan Persia dengan mengeluarkan mata uang logam
Arab, terdiri dari emas (dinar), perak (dirham) dan tembaga (fulus). Untuk keperluan
penggantian mata uang logam Arab tersebut Abdul Malik memerintahkan gubernur
Irak Ibrahim Hubayrah mendirikan sikkah (pabrik percetakan uang) di Damaskus
tahun 70H/689M, dan kemudian diikuti oleh Hajjaj ibn Yusuf di Irak. Menurut Ibnu
Khaldun dalam Muqaddimah, sikkah adalah pemberian cap (khatam) pada dinar dan
dirham yang digunakan dalam transaksi komersil. Kata sikkah pada awalnya adalah
sebutan untuk pencetak dari besi yang digunakan untuk mencetak uang logam. Hal
ini dilakukan dengan pencetakan besi yang berukiran gambar atau kata-kata yang
ditulis terbalik yang setelah dipukulkan pada dinar dan dirham menghasilkan gambar
atau ukiran yang jelas dan benar. Kemudian istilah ini juga digunakan untuk
menunjukkan hasil (aplikasi) dari pencetak (yaitu ukiran yang nampak di atas uang
logam), dan lebih lanjut juga diartikan sebagai kontrol terhadap proses pencetakan
dan pengawasan terhadap operasi keseluruhan segala sesuatu yang berhubungan
dengan pencetakan uang logam.

Sejarah Peradaban Islam .......119


Fungsi pengawasan sangat menentukan koin yang baik dan koin yang buruk.
Untuk itu proses pengilangan dilakukan secara berulang-ulang. Dirham dan dinar
yang dicetak satu persatu diukur sesuai berat yang sudah ditentukan sebagai standar.
Setelah semua proses ini dilalui, baru uang dinar dan dirham tersebut bisa digunakan
dalam transaksi komersil. Untuk menghindari penipuan, Abdul Malik sekitar tahun
74 atau 75 hijriah menyuruh al-Hajjaj mencetak dirham dan membedakan antara
yang palsu dengan yang asli.
Setelah mendirikan pabrik pencetakan uang dan mulai mencetak dinar dan
dirham sendiri, Abdul Malik memerintahkan untuk menerapkan kurs dinar dan
dirham sebagaimana yang ditetapkan sebelumnya oleh Umar bin Khattab, yaitu 1
mitsqal = 12 girath atau 10/7 dirham. Pada waktu itu 1 dirham = 6 danaq (Persia); 1
mitsqal = 10/7 dirham; atau 7 mitsqal = 10 dirham.
Raja-raja non-Arab (’ajam) sebelum kedatangan Islam biasanya
mengukirkan patung raja atau gambar lainnya, seperti benteng, binatang atau benda
lainnya. Tetapi menurut Ibnu Khaldun, ketika Islam muncul praktek seperti ini
dihentikan karena kesahajaan Islam dan kebadawian orang-orang Arab. Dalam
bertransaksi orang-orang Arab pada awal kedatangan Islam hanya menggunakan
emas dan perak sesuai dengan beratnya, disamping juga menggunakan dinar dan
dirham Persia. Waktu Abdul Malik memerintahkan pencetakan uang logam Arab
pertama yang dilakukan oleh Mush’ab bin az-Zubair di Damaskus pada tahun 693 M,
pada salah satu sisi koin tertulis ‛barakatullah‛, dan di sisi lain tertulis ‛ismullah‛.
Pada tahun 76H/695M pencetakan uang logam sudah bisa dilakukan di seluruh
pelosok negeri. Di atas koin tertulis ‛Allahu ahad, Allah as-Shamad‛.
Karena mata uang logam Arab ini digunakan sangat luas, mata uang emas
Islam mampu menggeser kedudukan mata uang dinar peninggalan Romawi, dan
begitu juga mata uang perak menggantikan dirham peninggalan Persia. Untuk
periode-periode selanjutnya, dinar menjadi mata uang hegemon pada abad ke-8.
Buktinya, ketika tahun 774 M Raja Offa yang berkuasa di Inggeris mencetak koin
emas, di satu sisi koin tersebut tertulis ‚OFFA REX‛, sedang sisi lain merupakan
salinan langsung dari dinar Islam berikut kutipan kalimat ‚Laa ilaaha illallah,
Muhammad Rasulullah‛, tapi diembel-embeli dua salib kecil karena Raja Offa
beragama Nasrani. Dengan bukti-bukti tersebut tidak dapat disangkal bahwa dinar
merupakan mata uang hegemon dunia waktu itu; bahwa perekonomian Islam jauh
lebih maju; bahwa perdagangan internasional yang dilakukan pedagang Islam telah
menjangkau jauh ke Eropa Utara (Karim, 2002).
Abdul Malik juga dianggap berjasa menyempurnakan sistem pos yang
sebelumnya sudah didirikan oleh Mu’awiyah. Dengan sistem pos yang lebih baik
hubungan antara ibukota-ibukota propinsi dengan pusat di Damaskus semakin
lancar. Selama pemerintahan Abdul Malik juga berdiri kota-kota baru. Ia juga
banyak mendirikan mesjid-mesjid. Salah satu mesjid yang dibangun pada masa
kekuasaan Abdul Malik dan masih dapat dilihat kemegahannya hingga sekarang

Sejarah Peradaban Islam .......120


adalah mesjid Kubah Batu (al-Qubbat al-Sakhra atau Dome of Rock) di Yerussalem.
Pada era Abdul Malik Damaskus menjadi kota megah, dan Kufah menjadi kota
budaya.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa dilihat secara politik
pemerintahan, Abdul Malik sudah menjalankan tugasnya dengan baik. Syiar agama
Islam juga berjalan lancar, dibuktikan dengan semakin banyaknya penduduk dari
wilayah-wilayah taklukan masuk Islam. Untuk menghindari penindasan terhadap
kaum Mawali, Abdul Malik melarang orang Arab membeli dan atau menguasai tanah
-tanah milik Mawali.
Disatu sisi hal ini baik ditinjau dari syiar agama, namun disisi lain hal ini
juga mendatangkan persoalan baru bagi keuangan negara. Karena saking banyaknya
penduduk non-Muslim yang pindah ke agama Islam, maka perolehan negara dari
kharaj dan jizyah jauh berkurang. Sebelumnya yang diwajibkan bagi umat Islam
hanya zakat, sedang dari penduduk non-Muslim, terutama dari kelompok Mawali,
dipungut kharaj dan jizyah. Tetapi karena dengan masuk Islam mereka terbebas dari
kewajiban membayar kharaj dan jizyah, dengan sendirinya penerimaan negara
merosot tajam.
Persoalan lain ditinjau dari segi keuangan negara ialah bahwa penduduk
Mawali yang sudah masuk agama Islam ini meninggalkan tanah-tanah pertanian
mereka, dan pergi ke kota-kota bergabung dengan pasukan militer Islam.
Perpindahan profesi ini di satu sisi memperkuat pasukan Islam, tetapi di sisi lain
berdampak negatif bagi kas negara, sebab selain menyebabkan berkurangnya
penerimaan pajak kharaj dan berkurangnya produksi hasil-hasil pertanian yang
menyebabkan harga-harga kebutuhan pokok meningkat, kas negara juga makin tipis
untuk membayar pasukan militer yang semakin besar saja jumlahnya dari tahun ke
tahun.
Untuk mengatasi masalah keuangan negara ini gubernur Irak Hajjaj ibn
Yusuf menasehati Abdul Malik agar sebagian pasukan militer dikembalikan ke
posisinya semula, yaitu sebagai petani, dan terhadap mereka kembali dikenakan
kharaj dan jizyah. Langkah ini tentu menimbulkan ketidaksenangan dari penduduk
Mawali. Mereka dianggap telah diperlakukan secara semena-mena oleh penguasa.
Adalah karena berbagai saran dan tindakan langsung dari Hajjaj ibn Yusuf ini citra
terhadap pemerintahan Abdul Malik agak negatif, yaitu bahwa ia suka mengeluarkan
perintah sesuka hati tanpa memperdulikan kehidupan harta milik rakyat.
Dalam memerintah Abdul Malik sangat cakap dan tegas seperti Umar bin
Khattab. Hal ini tidak terlepas dari bantuan al-Hajjaj ibn Yusuf (w.95H/714M).
Tetapi perlu dikemukakan bahwa penilaian terhadap al-Hajjaj ini juga kontroversil.
Oleh pendukung Bani Umayah al-Hajjaj ibn Yusuf ini disebut-sebut sebagai
panglima perang yang handal sehingga berhasil membantu Abdul Malik dalam
memperluas wilayah kekuasaan. Kemampuannya dalam mengatur negara tidak ada
yang meragukan. Selain itu ia juga berjasa dalam bidang moneter dan pengairan,

Sejarah Peradaban Islam .......121


bahkan juga sangat hebat dalam berpidato sehingga menjadi khatib yang terkenal.
Tetapi oleh musuh-musuhnya ia terkenal sebagai panglima yang kejam tak kenal peri
kemanusiaan. Misalnya dalam upaya menghancurkan kekuatan Abdullah ibnu
Zubayr beredar beberapa isyu miring, dimana dalam rangka memerangi Abdullah bin
Zubayr tersebut dikatakan bahwa pasukan Bani Umayah yang dipimpin oleh Hajjaj
bin Yusuf telah mengepung dan memborbardir kota Mekkah dengan batu dan api
dengan menggunakan pelontar, sehingga Ka’bah terbakar. Dalam penyerbuan kota
Makkah itu pasukan Hajjaj juga dikatakan telah membunuh banyak orang, konon
angkanya mencapai 120.000 orang, dan selain itu memenjarakan sekitar 50.000
orang laki-laki dan 30.000 orang perempuan.
Penilaian terhadap Abdul Malik, sama seperti penilaian terhadap Marwan,
beragam. Menurut Ali (2003), ada yang mencap Abdul Malik sebagai penguasa yang
kejam dan haus darah seperti Mu’awiyah, bahkan juga ditengarai sering melanggar
ketentuan agama. Tetapi menurut Rais (2001), Abdul Malik yang dibesarkan dan
dididik di Madinah ini adalah seorang yang ahli dalam ilmu-ilmu tentang keislaman
dan Arab. Ia disebutkan taat beribadah, bijak, tegas dalam memimpin, cakap dalam
memerintah dan sangat piawai dalam berpolitik.
Ibnu Khaldun termasuk di antara pakar sejarah Islam yang membela Marwan
ibn al-Hakam dan puteranya Abdul Malik. Menurut beliau dalam Mqaddimah, sikap
keduanya dalam berkuasa cukup baik dan tidak bertindak sewenang-wenang seperti
yang sering dilangsir ahli-ahli sejarah lainnnya. Mereka telah mengerahkan tenaga
sesuai dengan tujuan kebenaran, dan terbukti mengikuti dan meniru jalan yang
ditempuh oleh orang-orang Islam generasi pertama, yaitu para sahabat, yang sudah
terkenal akan keadilannya.
Kebiasaan para khalifah untuk mempunyai pengawal sebagaimana yang
dimulai oleh Mu’awiyah dilestarikan oleh Abdul Malik. Beliau memperlakukan para
pengawalnya dengan baik. Hal ini dapat disimpulkan dari nasehat yang diberikannya
kepada saudaranya Abdul Aziz waktu diangkat sebagai gubernur Mesir tahun 85H
sebagai berikut, ‛Perhatikanlah pengawal yang menjaga dirimu! Jadikanlah dia
anggota keluargamu yang baik, karena dialah yang menjadi muka dan
lidahmu‛ (Ahmad, 2001).
Selain melestarikan jabatan pengawal, karena pengalaman seringnya
keselamatan khalifah terancam oleh orang-orang yang tidak senang dan ingin
mencelakakan khalifah, maka sejak era Abdul Malik juga muncul jabatan baru dalam
pemerintahan Islam yang disebut hajib atau ‛penjaga pintu‛. Diceritakan bahwa
ketika ia mengangkat penjaga pintunya, beliau berpesan: ‛Saya telah mengangkatmu
untuk menjaga pintu saya, dan engkau bebas bertindak (untuk melarang masuk)
keduali tiga pihak, yaitu orang yang akan menjadi muazzin shalat, pegawai pos, dan
pelayan (yang mengantarkan makanan), supaya tidak merusak‛.
Abdul Malik berkuasa selama 21 tahun. Sebetulnya sesuai wasiat ayahnya
Marwan, jika Abdul Malik wafat maka kursi kekhalifahan diteruskan ke adiknya

Sejarah Peradaban Islam .......122


Abdul Aziz. Tetapi Abdul Aziz sendiri sudah lebih duluan meninggal. Oleh karena
itu Abdul Malik mewariskan tahta pada keempat puteranya bertrut-turut, dimulai
dari al-Walid ibn Abdul Malik (86-96H/705-715M).

al-Walid ibn Abdul Malik (86-96H/705-715M).


Seperti ayahnya, al-Walid adalah seorang yang cakap dalam mengurus
pemerintahan. Dibantu oleh penasehat dan panglima yang kuat seperti Hajjaj ibn
Yusuf, al -Walid berhasil membangun angkatan darat dan angkatan laut yang
tangguh, sehingga dapat memperluas wilayah kekuasaan Islam hingga mencakup
seluruh Asia Tengah hingga perbatasan Cina, juga menaklukkan Indo-Pakistan,
Aljazair dan Marokko serta Spanyol di Eropa. Setelah berhasil menundukkan
Aljazair dan Marokko, sebelum menyeberang ke Spanyol di Eropa pasukan yang
dipimpin oleh Thariq ibn Ziyad ini mendarat di sebuah bukit. Untuk menghormati
namanya, bukit ini kemudian disebut Jabal al-Thariq atau Gibraltar. Dengan
dikuasainya Gibraltar ini maka pasukan Thariq yang dibantu Tharif ibn Malik dan
Musa ibn Nushair dapat dengan mudah menguasai Spanyol. Setelah mengalahkan
pasukan Raja Roderick di Bakkah, pasukan Islam juga dapat menguasai kota-kota
penting Spanyol lainnya seperti Cordova, menyusul Elvira, Granada Seville dan
Toledo.
Perlu diketahui bahwa sewaktu ditaklukkan oleh pasukan Islam, kondisi
masyarakat Spanyol yang waktu itu di bawah imperium Romawi secara sosial
ekonomi jauh terkebelakang dibanding negara-negara lain di Eropa. Penguasa Gothic
sebelumnya memerintah dengan semena-mena. Rakyat yang ditindas hidup melarat.
Waktu pasukan Islam datang mengambil alih kekuasaan, masyarakat disana justru
senang, sebab mereka terbebas dari penindasan. Islam memperlakukan masyarakat
tempatan dengan baik. Sikap toleransi beragama yang dijalankan penguasa Muslim
menyebabkan penduduk Spanyol menerima mereka dengan baik. Dalam kondisi
seperti ini, dalam waktu relatif singkat daerah Spanyol yang semula terkebelakang
seperti disunglap menjadi daerah paling maju di seluruh Eropa waktu itu.
Al-Walid membagi wilayah kekuasaannya atas tiga bagian. Pertama, Jazirah
Arab dan sekitarnya, dengan gubernur jenderal Umar ibn Abdul Azis. Kedua, al-
Masyriq (front Timur), dipimpin oleh Hajjaj bin Yusuf, yang wilayahnya ke Timur
hingga ke India dan perbatasan Cina, sedang ke utara hingga ke Aleppo, Asia Kecil,
Cesnia, Armenia, termasuk daerah-daerah yang sekarang disebut Turkmenistan,
Kyrgiztan, Uzbekistan, Kazagstan, Afghanistan dan Persia. Ketiga, al-Maghrib
(front Barat), dipimpin oleh Musa bin Nushair. Wilayahnya mencakup seluruh Afrika
Utara hingga semenanjung Iberia (Spanyol dan Portugal) dan sebahagian Perancis
serta kepulauan Laut Tengah. Masing-masing gubernur jenderal membawahi
beberapa provinsi yang dipimpin oleh gubernur. Dengan wilayah kekuasaan yang
membentang dari pegunungan Grince (semenanjung Iberia) di sebelah barat hingga
perbatasan Cina di Timur, dari samudera Atlantik ke samudera Hindia dan dari

Sejarah Peradaban Islam .......123


Tagus sampai ke gurun Sahara, ketika itu wilayah kekuasaan Bani Umayah adalah
yang terbesar dan termaju di seantero dunia.
Al-Walid sangat beruntung memerintah dalam situasi pemerintahan cukup
stabil. Periode al-Walid adalah periode kemakmuran dan perdamaian. Pada masa
beliau memerintah banyak kegiatan pembangunan dilaksanakan. Program
pembangunan jalan yang sudah diprakarsai oleh ayahnya dilanjutkan dengan
merancang pembangunan jalan-jalan raya yang menghubungkan daerah-daerah
kekuasaan Bani Umayah. Jalan-jalan raya yang dibangun al-Walid dilengkapi dengan
sumur pada setiap pos di seluruh wilayah kekuasannya. Selain itu di era al-Walid
juga banyak dibangun gedung-gedung pemerintah, mesjid-mesjid, maktab-maktab,
madrasah-madrasah dan sekolah-sekolah, bahkan juga pabrik-pabrik. Sayangnya,
demikian disampaikan Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah, walaupun al-Walid banyak
membangun gedung-gedung, hanya saja karena orang Arab sedikit sekali yang
paham dengan keahlian arsitektur, maka untuk membuat berbagai jenis bangunan
tersebut, termasuk di antaranya untuk membangun mesjid-mesjid yang monumental
seperti masjid Madinah, el-Quds di Yerussalem dan di Damaskus (Syria), beliau
terpaksa menyurati Kaisar Byzantin di Konstantinopel meminta bantuan pekerjaan
ahli konstruksi bangunan. Kelemahan bangsa Arab dalam bidang arsitektur ini masih
berlangsung hingga sekarang, dimana untuk membangun kota Makkah dan Madinah
serta kota-kota megah lain di Kuwait dan Qatar banyak digunakan tenaga ahli dari
Jerman, Italia hingga Korea Selatan.
Terlepas dari kelemahan di bidang arsitektur tersebut, dilihat dari
pembangunan ekonomi, al-Walid lebih berhasil dibanding ayahnya Abdul Malik. Era
ketika al-Walid berkuasa dapat dikatakan sebagai masa puncak kesejahteraan dan
kemakmuran Bani Umayah. Dibandingkan dengan ayahnya Abdul Malik yang lebih
keras, anaknya al-Walid lebih liberal dan humanis. Pemimpin yang mempunyai
perhatian yang tinggi terhadap kesejahteraan rakyat, seni dan budaya ini
membangun pusat-pusat kajian Islam di Makkah, Madinah, Bashrah, Kufah dan
sebagainya. Beliau juga mendirikan sejumlah sekolah dan rumah sakit, termasuk
sekolah kedokteran, juga panti jompo, panti tunanetra dan panti cacat. Menurut
Syalabi (1987), semua pegawai yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan humanis ini
digaji oleh negara.
Al-Walid memerintah selama 10 tahun. Kedudukannya sebagai khalifah
digantikan oleh saudaranya Sulaiman (96-99H/715-717M). Disatu sisi Sulaiman
cukup baik. Buktinya, sewaktu diangkat menjadi khalifah ia membebaskan tidak
kurang dari 70.000 budak. Akan tetapi dibandingkan dengan abangnya al-Walid,
Sulaiman kurang cakap sebagai penguasa. Karena ambisi pribadinya, ia memecat
para gubernur (Amir) yang cakap dan berjasa dimasa ayah dan abangnya al-Walid,
seperti Musa ibn Nushair, Tarikh ibn Ziyad, Qutaibah, Abdul Aziz ibn Musa dan
Muhammad ibn Qasim. Selama memerintah dua setengah tahun ia lebih banyak
menghabiskan waktu dengan para haremnya dan berfoya-foya dengan pola hidup

Sejarah Peradaban Islam .......124


glamour ketimbang mengurus negara dan rakyatnya.
Suatu hal dipandang baik dari Sulaiman ialah bahwa menjelang ajalnya ia
tidak mewariskan tahta kepada salah seorang putranya yang waktu itu masih kecil-
kecil, melainkan menunjuk orang yang dianggapnya paling afdhal (pantas) waktu itu,
yaitu kemenakannya yang juga cicit Umar bin Khattab sebagai penggantinya, yaitu
Umar bin Abdul Azis (99-101H/717-720M), dan jika Umar Aziz meninggal jabatan
diteruskan ke Yazid bin Abdul Malik.

D. Umar ibn Abdul Azis sebagai ‚Khulafaur-Rasyidin Kelima‛


Umar ibn Abdul Aziz diangkat sebagai khalifah hari Jum’at 10 Shafar tahun
99H. Sebagaimana ditulis Mustafa Bisri dalam kata pengantarnya untuk buku ‚Umar
bin Abdul Aziz: Negarawan yang Saleh‛ (2002), pada saat umat Islam begitu jauh
terperosok ke dalam jeratan kesenangan hidup duniawi, Allah memilih Umar Aziz
untuk menyalurkan kasih sayang-Nya kepada hamba-hambannya. Allah
menganugerahkan kekuasaan kepada mereka yang Ia kehendaki, dan mencabut
kekuasaan dari yang Ia kehendaki. Umar ibn Abdul Aziz yang bukan putera kandung
khalifah Sulaiman bin Abdul malik, atas kehendak-Nya dipilih dan diangkat menjadi
khalifah menggantikan Sulaiman.
Umar bin Abdul Aziz adalah cucu buyut Umar bin Khattab melalui Ashim
bin Umar ke Ummu Ashim yang kawin dengan Abdul Walid bin Marwan. Hasil
perkawinan di antara Abdul Walid bin Marwan dengan Ummu Ashim ini
membuahkan empat putera, dan salah seorang di antaranya adalah Umar bin Abdul
Aziz. Konon karena Umar Aziz sangat mirip dengan kakek buyutnya Umar bin
Khattab, ia sangat disayangi dan dimanja oleh seluruh keluarga. Sebagai anak yang
disayang dan dimanja, waktu mudanya Umar Aziz suka berpakaian mewah, memakai
cincin yang mahal dan parfum yang sangat harum (Ahal, 2002).
Dalam usia 20 tahun Umar Aziz kawin dengan Fathimah, puteri pamannya
Abdul Malik. Abdul Malik yang sangat menyayangi menantunya ini pernah
memromosikan Umar Aziz sebagai gubernur Madinah. Tetapi oleh rekayasa al-
Hajjaj, Umar Aziz dipecat tahun 93H. Tidak senang dengan suasana di kota
Madinah, Umar Aziz dengan ditemani oleh Muzahim, budaknya yang setia, pergi ke
Suwaida’, sebelum terus ke Damaskus, Syria. Dalam perjalanannya Umar Aziz mulai
menyaksikan api kezaliman menjalar dimana-mana. Kerusakan dan kebejatan
tumbuh subur. Para pejabat lebih senang menjilat khalifah daripada menanggulangi
kesengsaraan rakyat. Setelah beberapa lama di Suwaida’, Umar Aziz dan budaknya
Muzahim melanjutkan perjalanan ke ibukota negara Damaskus, dan bergabung
dengan khalifah al-Walid. Setelah al-Walid meninggal tahun 96H posisinya
digantikan oleh Sulaiman, sebagaimana sudah disinggung di depan, selanjutnya
Sulaiman mewariskan tahta ke Umar ibn Abdul Aziz tahun 99H.
Karena kaget waktu dirinya ditunjuk Sulaiman sebagai khalifah, Umar ibn
Abdul Aziz mengucapkan innalillah wa inna ilaihi rajiun. Waktu hendak dinobatkan,

Sejarah Peradaban Islam .......125


beliau menolaknya. Di atas mimbar beliau berpidato, ‚Wahai rakyat sekalian. Saya
telah diangkat memegang jabatan ini tanpa meminta persetujuanku, dan tidak
dengan musyawarah rakyat Muslim. Saya menarik diri dari jabatan ini, dan saya
kembalikan kepadamu, rakyat sekalian, untuk memilih orang yang kamu sukai‛.
Penolakan Umar ibn Abdul Aziz tersebut membuat masyarakat gempar. Saat itu
juga ulil amri melakukan sidang darurat, dan meminta pertimbangan rakyat. Secara
serentak seluruh rakyat memberikan suara mendukungnya menjadi khalifah. Dengan
musyawarah dan pilihan serta baiat dari seluruh rakyat yang hadir waktu itu, barulah
Umar ibn Abdul Aziz mau menerima jabatan khalifah. Ternyata pilihan rakyat
tersebut tidak meleset. Dari semua penguasa Bani Umayah, Umar bin Abdul Aziz
adalah khalifah yang paling adil, paling berpihak pada rakyat miskin, paling tinggi
ilmunya, dan paling saleh.

Pemimpin yang Adil


Langkah pertama yang dilakukan Umar ibn Abdul Azis sebagai khalifah
adalah memecat para pejabat yang zalim dan suka menindas rakyat dengan pejabat-
pejabat baru yang lebih baik, mulai dari pegawai istana, pemungut pajak dan zakat,
hakim, polisi, tentara hingga tukang pos. Selanjutnya pengangkatan pejabat baru
dilakukan lewat seleksi ketat berdasarkan kemampuan dan kapabilitas, bukan karena
alasan hubungan darah dan kekerabatan. Dengan cara ini beliau mendapatkan orang-
orang pilihan yang terjamin kualitas kerja, mental dan akhlaknya. Organisasi
pemerintahan berhasil dibenahi, dan begitu juga praktek korupsi dan kebathilan bisa
diberantas. Karena beliau mengangkat pejabat-pejabat yang kompeten, maka
pemerintahan di bawah Umar Aziz berjalan stabil dan damai, dan perekonomian
berkembang.
Setelah melakukan pergantian pegawai, beliau segera menata pemerintahan,
terutama urusan dalam negeri. Pada era Umar ibn Abdul Azis diwan syura yang
sudah dihapus pada era Mu’awiyah diterapkan kembali. Setelah memfungsikan
kembali diwan syura, dalam mengangkat kepala daerah dan pejabat Umar II
meminta pendapat dan pertimbangan penduduk setempat. Sebagaimana yang
dilakukan kakek buyutnya Umar bin Khattab, Umar Aziz juga meminta kepada
rakyat untuk mematuhinya kalau ia berada di jalan yang benar, dan kalau salah atau
keliru, supaya tidak segan-segan memperingati beliau. Kepada Amr bin Muhajir,
kepala polisi negara, beliau pernah berpesan, ‚Kalau Anda melihat saya menyimpang
dari kebenaan, jangan segan-segan menegurku dengan tegas. Kalau perlu tarik kerah
bajuku dan katakan ‘Hai Umar! Apa yang kau lakukan?’, aku pasti akan
menerimanya‛.
Umar ibn Abdul Azis tidak hanya terkenal adil dalam memerintah, tetapi
juga dalam mengelola keuangan negara. Karena dana baitul mal sangat diperlukan
untuk membantu rakyat, maka beliau tidak segan-segan mengambil kembali harta
dari para bangsawan dan aristokrat yang mereka caplok secara haram dan menasehati

Sejarah Peradaban Islam .......126


mereka untuk mencari rezki dengan cara yang halal dan diridhoi Tuhan. Kewajiban
untuk mengembalikan harta yang berasal dari baitul mal dengan cara tidak halal
tidak hanya diberlakukan pada para bangsawan dan aristokrat istana, tetapi juga
diberlakukan untuk diri dan keluarganya sendiri. Sehubungan dengan hal ini, Umar
Aziz mengembalikan harta miliknya sendiri berupa uang dan tanah yang pernah
diperolehnya sewaktu menjabat gubernur Madinah dan hadiah-hadiah lain yang
pernah diterima dari paman sekaligus mertuanya Abdul Malik dan al-Walid. Konon
beliau pernah menyuruh istrinya mengembalikan sebuah kalung yang diberikan
sebagai hadiah oleh ayahnya Abdul Malik karena khawatir bahwa uang yang
digunakan oleh ayahnya untuk membeli kalung tersebut diambil dari baitul mal.
Sebagai khalifah ia tidak mengambil gaji dari kas negara. Karena khalifah
yang terkenal zuhud ini merasa ia hanya sebagai pengurus harta baitul mal, bukan
pemiliknya, maka ia hanya memakai uang baitul mal untuk hal-hal yang berkaitan
dengan tugasnya mengatur rakyat. Tetapi untuk memenuhi kebutuhan keluarganya
seperti makanan, minuman, buah-buahan dan minyak lampu untuk penerangan
kamar tidurnya, juga untuk membayar gaji para pelayannya, semua diambil dari
uangnya sendiri hasil perkebunan kormanya yang ada di Suwaida’ (Ahal, 2002).
Menurut Ahal (2002), ada perbedaan yang menyolok antara khalifah-
khalifah Umayah terdahulu dengan Umar ibn Abdul Aziz tentang siapa yang
pertama bertanggungjawab mewujudkan keadilan. Bagi khalifah-khalifah terdahulu,
rakyat yang pertama bertanggungjawab. Sehubungan dengan hal ini Abdul Malik bin
Marwan di hadapan rakyatnya pernah berkata, ‚Wahai rakyatku! Kalian
menginginkan aku berperilaku seperti Abu Bakar dan Umar. Namun perilaku kalian
tidak seperti rakyat mereka dahulu. Ini sungguh tidak adil‛.
Di sisi lain menurut Umar Aziz, penguasalah yang seharusnya lebih duluan
memulai, baru rakyat. Sesuai prinsip tersebut maka bagi Umar ibn Abdul Aziz
pegawai dan pembantunya mestilah orang-orang yang menonjolkan keteladanan
dalam bertindak dan mengambil keputusan, bersifat wira’i, cermat, adil dan gigih
menegakkan kebenaran. Di hadapan para pegawai dan pembantunya beliau berkata,
‛Saudara-saudara sekalian! Sungguh aku tidak pernah memohon jabatan (sebagai)
khalifah ini kepada Allah, apalagi kepada sesama manusia. Siapa di antara kalian
yang merasa tidak suka atas jabatan yang aku percayakan, sekarang juga silakan
mundur, atau aku yang mundur!‛.
Rakyat menyanjung Umar ibn Abdul Aziz sebagai tokoh agung keadilan
sepanjang zaman. Rasa cinta keadilan Umar Aziz ini diwarisi beliau dari kakek
buyutnya Umar bin Khattab. Tetapi selain itu ada faktor pendorong lain, yaitu
nasehat dari orang-orang yang dekat dengannya, seperti pamannya Salim bin
Abdullah, adiknya Sahal, pembantunya Abu Muzahim, putra sulungnya Abdul Malik
bin Umar, dan sahabat-sahabat lain
Dari semuanya, pendorong Umar Aziz yang paling utama untuk berbuat
keadilan adalah putera sulungnya Abdul Malik bin Umar. Anaknya inilah yang

Sejarah Peradaban Islam .......127


sering menganjurkan, mengingatkan dan ‚menasehati‛ ayahnya Umar Aziz agar
tidak segan-segan menindak setiap kezaliman. Sayang Abdul Malik bin Umar yang
konon lebih zuhud dan lebih mampu mengendalikan hawa nafsu dibanding ayahnya
Umar ibn Abdul Aziz ini tidak dikaruniai umur panjang. Mungkin karena kurang
memperhatikan kesehatannya sendiri anak yang pemberani, arif dan bijaksana ini
jatuh sakit, dan kemudian meninggal dalam usia sangat muda. Sejak kematian
putranya Umar Aziz makin kuat tekadnya untuk memberantas setiap kezaliman,
sebagaimana yang selalu diingatkan anaknya.
Selain dari sanak famili dan orang-orang yang dekat dengannya, Umar ibn
Abdul Azis juga mendapatkan masukan dari kawan dan sahabat seperti Ubaidillah
bin Abdullah, Muhammad bin Ka’ab al-Qardhi, Raja’ bin Hiwat, Ziyad bin Abu
Ziyad yang sangat zuhud, dan sufi masyhur Hasan al-Bashri, yang tersebar di
Madinah, Mesir, Damaskus dan kota-kota lain. Mereka berani memberi nasehat
kepada Umar Aziz, diminta atau tidak diminta.
Untuk mendapatkan sahabat sejati seperti yang dicantumkan di atas, Umar
ibn Abdul Azis tidak sembarangan dalam memilih kawan dan sahabat. Ada kriteria
yang harus dipenuhi. Menurut Abdurrahman bin al-Auza’i sebagaimana yang dikutip
Ahal (2002), dalam memilih sahabat Umar Aziz memiliki lima kriteria: (1) harus
bisa membimbingnya menegakkan kebenaran, (2) membantunya melakukan
kebajikan, (3) menjadi perantara menyampaikan hajat orang-orang tertentu, (4) tidak
mempergunjingkan siapapun dihadapannya, dan (5) mau membantunya
menyampaikan amanat kepada rakyat.

Pemimpin yang Merakyat


Umar ibn Abdul Azis terkenal sebagai khalifah yang merakyat. Semua
kebijakan yang diambilnya didasarkan atas keimanan dan demi kesejahteraan rakyat,
terutama rakyat kecil. Beliau membebaskan rakyat dari penindasan sekaligus
mengembalikan hak-hak mereka. Kalau sewaktu masih menjabat sebagai gubernur
untuk wilayah Arabia Umar ibn Abdul Azis sudah giat melakukan berbagai program
pembangunan yang disukai rakyat Mekkah dan Madinah, dimana beliau membuat
jalan-jalan dan pos-pos pengamanan di Makkah, apalagi setelah berkuasa,
perhatiannya terhadap rakyat semakin bertambah.
Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa Umar ibn Abdul Azis paling terkenal
tidak suka memboroskan harta negara. Pernah suatu ketika sekretaris pribadi beliau
meminta bantuan kertas (papyrus). Jawab beliau: ‚Tajamkan penamu dan tulislah
secara singkat‛. Walau ketat dalam penggunaan anggaran, juga sedikit pelit untuk
dirinya sendiri dan anak isterinya, namun beliau sangat royal menggunakan kas
negara untuk membantu rakyat miskin, mengatasi kesulitan orang-orang yang terlilit
utang, menyantuni ibnu sabil atau pengembara yang kehabisan bekal, dan membiayai
kebutuhan tamu-tamu negara. Dalam sejarah Islam, adalah Umar ibn Abdul Aziz
yang pertama sekali membuat wisma tamu.

Sejarah Peradaban Islam .......128


Dari berbagai literatur, pujian yang paling sering diberikan pada Umar ibn
Abdul Azis ialah bahwa beliau sangat concern membantu rakyat miskin. Untuk
mebantu rakyat miskin tersebut beliau mewajibkan semua orang kaya berzakat,
kalau perlu ia sendiri yang menagih dan ia pula yang menyerahkan hasil
pengumpulan zakat tersebut kepada fakir miskin yang memerlukannya. Karena tahu
bahwa zakat yang dibayar dibagi-bagikan kepada orang-orang miskin dan yang
membutuhkan lainnya, maka pada masa Umar Aziz orang-orang kaya yang dulunya
enggan membayar zakat, sekarang bergegas menunaikan kewajibannya. Setelah
zakat dan pajak terkumpul, Umar ibn Abdul Aziz akan segera memerintahkan untuk
segera membagi-bagikannya kepada mereka yang berhak tanpa menunda-nunda.
Kalau disatu sisi Umar ibn Abdul Aziz mewajibkan semua orang kaya
berzakat, di sisi lainnya bagi yang berkekurangan, akan dibantu beliau. Ia menghapus
semua jenis pajak yang menindas, kecuali pajak yang dibayar rakyat dengan
sukarela. Termasuk orang-orang yang dibantu adalah mereka yang terlilit utang.
Sehubungan dengan hal ini Umar bin Abdul Azis pernah mengirim surat perintah
kepada para gubernurnya, ‛Hendaklah kamu membayar utang orang-orang yang
terlilit utang (pailit)‛. Adapun dana yang digunakan untuk menutupi utang orang
yang pailit tersebut diambil dari baitul mal.
Karena porsi kas negara lebih banyak ditujukan untuk kelompok miskin,
maka pada era Umar ibn Abdul Aziz kesejahteraan masyarakat hampir merata.
Bahkan jumlah rakyat yang menolak menerima zakat meningkat pesat karena di
bawah pemerintahan Umar Aziz tingkat kesejahteraan mereka yang dulunya miskin
sekarang sudah meningkat. Konon pada tahun terakhir pemerintahan Umar ibn
Abdul Aziz, petugas kesulitan mencari orang-orang yang berhak menerima santunan
zakat.
Sebagai pemimpin yang merakyat beliau sangat memperhatikan kebutuhan
rakyatnya. Kebutuhan rakyat yang diperhatikannya tidak hanya kebutuhan makanan
dan pakaian, juga perumahan dan senjata. Menurut Umar bin Abdul Azis, ‛Seorang
Muslim harus mendapatkan rumah, alat bantu yang mempermudah pekerjaannya,
dan senjata sebagai pertahanan dari serangan musuh‛. Dalam versi lain dikatakan
bahwa standar hidup layak bagi seorang Muslim menurut Umar bin Abdul Azis
adalah: ‛Setiap orang dari umat Islam harus mendapatkan tempat yang layak untuk
membaringkan kepalanya, pelayan yang membereskan tugasnya, kuda (kenderaan)
yang dipergunakan untuk berjihad melawan musuhnya, dan perabotan di dalam
rumahnya‛. Kalau mengacu kepada standar hidup layak versi Umar ibn Abdul Azis
di atas, terasa sekali standar hidup layak rakyat Indonesia masa sekarang yang untuk
memenuhi kebutuhan sandang-pangan-papan saja belum cukup, tidak ada apa-
apanya.
Umar ibn Abdul Azis memperlakukan semua lapisan rakyat dengan adil.
Beliau selalu menginstruksikan kepada para gubernur dan pejabat-pejabatnya untuk
memperlakukan rakyat dengan baik dan lemah lembut. Kalau ada di antara

Sejarah Peradaban Islam .......129


rakyatnya yang mencuri karena tidak memiliki uang atau pekerjaan, bukan dihukum
atau dipenjarakan, melainkan dibantu. Dengan cara seperti ini Umar ibn Abdul Azis
berhasil merobah kota Mousul dari kota yang penuh pencuri dan penjahat menjadi
kota paling aman dalam sejarah Umayah.
Tidak seperti pamannya Sulaiman yang suka berfoya-foya, Umar ibn Abdul
Aziz hidup sederhana seperti kakeknya Umar bin Khattab. Ini sungguh sebuah
perubahan drastis pada diri Umar Aziz, sebab waktu mudanya ia suka mengenakan
pakaian yang indah-indah, memakai cincin perhiasan yang mahal-mahal, serta
memakain wangi-wangian yang sangat harum. Kalau beliau hidup pada masa
sekarang, ia akan disebut cowok metro sexual, sebab suka memakai pakaian model
mutakhir dan menolak memakai pakaian yang harganya di bawah seribu dinar. Baju-
baju mahal tersebut hanya dipakai untuk sekali kesempatan, dan setelah itu dibuang
atau dihadiahkan pada orang lain. Ia juga sering terlambat shalat hanya gara-gara
pembantunya belum selesai merawat rambtnya dan merapikan dandanannya. Gaya
berjalannya jadi trend dan banyak ditiru anak muda waktu itu. Kalau berjalan parfum
mahal yang dipakainya bisa tercium hingga puluhan meter. Tetapi setelah menjadi
khalifah semua kebiasaan lama tersebut ia tinggalkan. Misalnya, pakaiannya, diganti
dengan pakaian sederhana seharga 2 dirham. Lebih dari itu, beliau juga
menganjurkan seluruh anggota keluarganya agar hidup sederhana. Semua kekayaan
pribadi, termasuk kekayaan isterinya Fatimah binti Abdl Malik, dikembalikan ke kas
negara, termasuk kalung senilai 10.000 dinar emas warisan orang tuanya. Anak
bungsunya protes karena setelah ayahnya menjadi khalifah makanan justru berubah
menjadi kasar dan sederhana. Pernah isterinya memberi madu yang dulu menjadi
kegemarannya, dan Umar II bertanya dimana dan bagaimana mendapatkan madu
tersebut. Waktu isterinya menjawab bahwa ia menyuruh pelayan membelinya
dengan keledai pos, Umar II marah: ‚Kau payahkan kenderaan kaum muslimin untuk
memenuhi keinginanmu‛, dan oleh Umar II kemudian madu tersebut disuruh jual
kembali dan uangnya dimasukkan ke kas negara.

Khalifah yang Berilmu Tinggi dan Saleh


Dalam darah Umar bin Abdul Aziz bercampur berbagai macam ilmu
pengetahuan, darah seni dan sekaligus darah penguasa. Semua ilmu, darah seni dan
darah penguasa itu sangat membantunya dalam memerangi kezaliman dan
ketidakadilan yang ada di sekitarnya.
Tentang ketinggian ilmunya, sewaktu masih di Syria Umar ibn Abdul Aziz
sudah diakui sebagai ulama ahli fikih dan ahli Hadis, juga tokoh pembaharu. Karena
ketinggian ilmu dan keluasan pandangannya, al-Walid selaku khalifah sering
meminta fatwa kepadanya.
Sebagai orang yang sangat mencintai ilmu, Umar ibn Abdul Aziz pernah
berkata, ‚Jadilah orang yang menguasai ilmu, atau yang mempelajarinya, atau yang
mencintainya, atau paling sedikit tidak membencinya‛. Selain itu beliau juga pernah

Sejarah Peradaban Islam .......130


mengatakan, ‚Tuntutlah ilmu, karena ilmu adalah hiasan bagi orang yang kaya dan
pertolongan bagi orang yang miskin‛. Dalam menuntut ilmu, Umar ibn Abdul Aziz
tidak hanya mementingkan ilmu agama, tetapi juga ilmu-ilmu dunia lainnya. Sebab
bagi Umar hanya dengan ilmu orang bisa menegakkan keadilan, membela rakyat
kecil, juga beramal saleh kepada Tuhan.
Sebagai khalifah yang adil, bijak dan berilmu, beliau pernah berkata, ‚Ada
tiga hal yang menunjang kesempurnaan akhlak seseorang: dapat mengendalikan
amarahnya sehingga tidak keluar dari kebenaran; bisa menguasai rasa senangnya
sehingga tidak terjebak dalam kebathilan; serta bersifat arif dan sabar jika sedang
berkuasa‛. Semua ilmu, darah seni dan darah penguasa itu sangat membantunya
dalam memerangi kezaliman dan ketidakadilan yang ada di sekitarnya.
Selain memiliki ilmu yang tinggi, Umar ibn Abdul Aziz sering disebut-sebut
sebagai satu-satunya khalifah dinasti Umayah yang berpenampilan sebagai as-salafus
shalih, yaitu pribadi yang sangat saleh, santun dan tawadhu’, yang kebijakan-
kebijakannya dilandaskan pada moral agama Islam yang tinggi.
Sebagai khalifah yang paling saleh dari semua penguasa Bani Umayah,
beliau merupakan teladan lengkap dari sikap takwa dan wara’. Beliau mampu
mengembalikan kemurnian Islam dan memperbarui kehidupan negara yang
dilandaskan pada keadilan dan keikhlasan dalam beraktivitas. Atas segala kelebihan
sebagaimana yang disebutkan di atas, kelompok Sunni memandang beliau sebagai
Khulafaur-Rasyidin yang kelima sesudah Ali bin Abi Thalib.

E. Melemahnya Kekuatan Bani Umayah


Setelah wafat, kedudukan Umar bin Abdul Azis digantikan oleh Yazid ibn
Abdul Malik, atau lebih dikenal dengan Yazid II (101-105H/720-724M). Yazid II
adalah anak Abdul Malik dan cucu Yazid I. Walaupun Yazid II sudah dipilih melalui
mekanisme yang melibatkan para ulama tabi’in, ternyata harapan tidak sesuai
dengan realita. Sesudah memegang jabatan ternyata ia bukan pemimpin yang kuat.
Sebaliknya Yazid II justru suka bermewah-mewah, senang minum khamar dan
menghabiskan waktu dengan para gundik dan penari istana.
Walaupun sebagai pemimpin ia lemah, tetapi anehnya ia suka berbuat kejam
dan tidak adil, baik terhadap rakyat maupun kelompok agama Kristen. Pengamat
mencatat bahwa adalah Yazid II yang memerintahkan penghancuran patung-patung
di gereja-gereja Kristen dan tempat-tempat umum, sesuatu yang tidak pernah
dilakukan oleh para Khulafaur-Rasyiddin dan terutama oleh khalifah sebelumnya
Umar ibn Aziz. Walau ia berlagak seperti pembela Islam, tetapi cara hidupnya yang
terkenal korup dan suka bermewah-mewah serta tidak sedikitpun memperhatikan
rakyat lemah dan miskin justru jauh dari nilai-nilai Islam.
Karena kelemahan-kelemahan di atas maka pada era Yazid II mulai sering
terjadi perpecahan antar kelompok. Akibatnya stabilitas yang sangat baik pada era
Umar ibn Aziz berkuasa menjadi terganggu. Yang paling berat adalah antara

Sejarah Peradaban Islam .......131


kelompok Mudariyah dan Himyariyah. Istri Yazid II adalah keponakan Hajjaj ibn
Yusuf dari keluarga Mudariyah. Selama pemerintahan Sulaiman, kelompok
Himyariyah pernah berlalu kasar terhadap Hajjaj dan keluarga Mudariyah lainnya.
Atas hasutan isterinya, Yazid II membalas dendam dengan menghancurkan keluarga
Himyariyah. Perseteruan antara keluarga Mudariyah dan Himyariyah ini banyak
sedikitnya mengganggu stabilitas pemerintahan.
Selain timbulnya perpecahan antar kelompok, beberapa di antara kelompok
tersebut juga mulai membangkang terhadap pemerintahan Yazid II. Terutama kaum
Khawarij yang menilai bahwa Yazid II suka hidup mewah dan sering berlaku dzalim,
secara terang-terangan melakukan perlawanan. Begitu juga kelompok Abbasiyyah
yang menggalang koalisi dengan keluarga Ali dari kaum Syiah dan kelompok
Mawali serta Himyariyah sering melakukan propaganda untuk menurunkan Yazid II
untuk digantikan dengan pemimpin baru yang lebih adil sesuai syariat Islam salaf.
Bahkan tidak ketinggalan para petani dan rakyat yang diperlakukan tidak adil ikut
pula ambil bagian.
Yazid II tidak lama memerintah, hanya sekitar empat tahun. Yazid II
meninggal tahun 105H/724M. Boleh dikatakan selama empat tahun memerintah
tidak ada perbuatan baik dari Yazid II yang pantas dicatat. Dilihat dari sisi persatuan
dan kesatuan umat Islam, apa-apa yang telah digalang oleh Abdul Malik dan
disempurnakan oleh Umar ibn Abdul Azis, terutama dalam menggalang persatuan
antara kelompok Bani Umayah dengan kaum Syiah, terasa sia-sia. Sebaliknya ia
mewariskan protes dan perlawanan terbuka dari berbagai kelompok bagi
penggantinya, Hisyam ibn Abdul Malik (105-125H/724-743M).
Dibanding Yazid II, Hisyam relatif lebih baik. Banyak pengamat yang
mencatat bahwa beliau seorang yang saleh. Tetapi karena ia berkuasa pada saat yang
tidak tepat dan mewarisi ketidakstabilan politik yang ditinggalkan oleh Yazid II,
dapat dikatakan selama 20 tahun memerintah Hisyam sangat direpotkan oleh
gerakan-gerakan perlawanan dan pemberontakan dari banyak pihak. Gerakan
Hasyimiyah yang didukung oleh kelompok Khajar dari Afrika dan dibantu oleh
kelompok-kelompok tak puas lainnya sangat mengganggu roda pemerintahan.
Apalagi sekarang kaum Syiah dan kelompok Mawali yang tidak lagi diperhatikan
sejak Umar ibn Aziz meninggal, ikut pula mengganggu pemerintahan. Pada saat
yang sama pasukan militer di Afrika dan Spanyol juga ikut membelot. Pendek kata,
pada era Hisyam ibn Abdul Malik seluruh kekuatan seperti bersatu untuk
menjatuhkan kekuasaan Bani Umayah.
Belum selesai Hisyam mengatasi berbagai kelompok perlawanan di dalam
dan di luar negeri, ia meninggal dunia tahun 125H/743M. Kedudukan Hisyam ibn
Abdul Malik sebagai penguasa digantikan oleh Walid ibn Yazid, atau dikenal
dengan Walid II (125-126H/743-744M). Ternyata Walid II juga tidak berhasil
menguasai keadaan. Ia hanya memerintah selama setahun. Sebelum meninggal,
Walid II berusaha mewariskan tahta kepada kedua anak-anaknya yang belum baligh.

Sejarah Peradaban Islam .......132


Tetapi maksudnya tidak kesampaian, karena bangsawan Umayah ikut campur
dengan mengangkat Yazid III pada tahun 744 M.
Yazid III mempunyai banyak musuh, di antaranya dari suku Mudhar dan
para ulama orthodoks yang menyebarkan agama jabariyah (yang percaya pada takdir
buta bahwa nasib manusia ditentukan oleh Allah tanpa upaya memperbaiki nasib itu
sendiri). Waktu ia sakit, Marwan II melakukan kampanye bahwa ia lebih berhak atas
jabatan khalifah, sebab ia anak dari Mu’awiyah II. Untuk mengantisipasi propaganda
Marwan II, kaum kerabat Yazid III mengangkat saudaranya Ibrahim sebagai
khalifah. Tetapi Ibrahim tidak pernah dikukuhkan secara resmi dan dibaiat oleh
rakyat. Karena itu sebahagian ahli sejarah bahkan tidak mengakui Ibrahim sebagai
khalifah. Waktu terdengar khabar bahwa Yazid III meninggal, Marwan II langsung
menyerang, dan berhasil mengalahkan pasukan Ibrahim dalam sebuah pertempuran
di lembah antara Damaskus dan Balbek. Marwan II dinobatkan sebagai khalifah
tahun 127H/744M.
Pada tahun-tahun terakhir pemerintahan Bani Umayah yang dipimpin oleh
orang-orang yang tidak credible makin memancing perlawanan dari berbagai
kelompok masyarakat. Pemberontakan dan pembangkangan timbul dimana-mana,
tidak hanya dari kelompok Syiah yang terdiri dari keluarga-keluarga keturunan Ali
bin Abu Thalib, tetapi juga dari kaum kelompok Khawarij dan kaum Mawali di
Afrika Utara serta klan Abbasiyyah yang dipimpin oleh al-Abbas ibn Abdul
Muthalib.
Karena situasi di Damaskus sangat kacau, Marwan II al-Himar (127-
132H/744-750M) memindahkan ibu kota ke Harran di Syria. Gubernur Khurasan,
yaitu Nazar ibn Sayyan berusaha membendung gerakan anti Umayah dengan
menerapkan kharaj yang sama baik terhadap orang Arab maupun Mawali dan non-
Muslim. Tetapi kebijakan ini sudah terlambat. Perlawanan dari kelompok
Abbasiyyah yang berkoalisi dengan Hasyimiyyah dan Mawali serta Khawarij terus
terjadi, bahkan lebih keras. Akhirnya, dalam sebuah pertempuran besar di Zab tahun
132H/749M koalisi yang dipimpin oleh Abdul Abbas ini berhasil menaklukkan
pasukan Bani Umayah. Dalam pertempuran tersebut Marwan II berhasil melarikan
diri ke Syam, terus ke Palestina. Tetapi Abdul Abbas yang bergelar al-Saffah (si
Penumpas Darah), telah bersumpah akan menghabisi semua keluarga Umayah.
Pasukannya terus memburu dan berhasil membunuh Marwan II di Mesir tahun
132H/750M.
Tekad Abdul Abbas adalah untuk membunuh Marwan II serta semua
keluarga Umayah. Semua keluarga Umayah dibantai secara kejam. Tetapi salah
seorang dari keluarga Bani Umayah, yaitu Abdul Rahman al-Dakhil, berhasil
melarikan diri. Pada tahun 138H/756M ia berhasil membentuk kerajaan Umayah di
Cordova, Spanyol. Walaupun kekuasaan Bani Umayah tidak hancur total, tetapi
riwayat dinasti Umayah di Damaskus berakhir dengan tewasnya Marwan II sebagai
khalifah ke-14 dan terakhir Bani Umayah. Untuk selanjutnya Negara Islam

Sejarah Peradaban Islam .......133


dikendalikan oleh Abu’l Abbas yang mendeklarasikan berdirinya Dinasti Abbasiyyah
di Mesjid Kufah tahun 750 M. Tentang Dinasti Abbasiyah ini akan dibahas lebih
detil pada Bab 5.

F. Penilaian terhadap Bani Umayah


Pada era Rasulullah pusat perhatian adalah menyebaran agama Islam, dan
pada era Khulafaur-Rasyidin terjadi kemajuan dalam bidang politik dan militer.
Walaupun pada era khulafaur-Rasyiddin, terutama era Usman, berbagai aktivitas
ekonomi terutama pertanian dan perdagangan berjalan baik, namun kemajuan dalam
perekonomian belum begitu nampak. Kemajuan yang berarti dalam bidang ekonomi
baru terjadi pada era Umayah. Selama Dinasti Umayah berkuasa tercatat
perkembangan yang luar biasa dalam bidang ekonomi, meliputi pertanian,
perdagangan, industri dan moneter.
Apa rahasia kemajuan dalam pertanian pada era Bani Umayah? Hal ini
dimungkinkan karena khalifah yang berkuasa umumnya memberi perhatian yang
cukup besar dalam bidang pertanian, termasuk khalifah yang pengangkatannya
dipandang tidak legitimate seperti Yazid sekalipun. Sebagaimana sudah disingung
sebelumnya, Yazid paling berjasa membangun proyek-proyek irigasi, yang pada
masa-masa selanjutnya memberikan dampak positif terhadap pertanian khususnya,
dan perekonomian pada umumnya. Dengan majunya pertanian maka berbagai
kebutuhan pokok terpenuhi dan tenaga kerja bisa diserap dalam jumlah besar. Lebih
dari itu, dari sektor pertanian ini negara memperoleh pendapatan yang besar dari
kharaj.
Salah satu bukti kemajuan ekonomi yang dicapai oleh Bani Umayah ialah
dominasi uang emas dan perak yang dikeluarkan pada era Abdul Malik sehingga
menjadi mata uang hegemon pada periode-periode berikutnya. Menurut Adiwarman
(2001), uang logam Arab pertama kalinya dicetak pada tahun 693 di Damaskus,
kemudian diikuti oleh Hajjaj ibn Yusuf di Irak. Karena digunakan sangat luas, mata
uang emas menggeser kedudukan mata uang dinar peninggalan Romawi, dan begitu
juga mata uang perak menggantikan dirham peninggalan Persia. Uang logam Arab
menjadi mata uang hegemon dunia pada abad ke-8.
Nilai emas dan perak stabil pada era Nabi Muhammad dan Khulafaur-
Rasyidin, dengan perbandingan 1 : 10. Rasio ini bertahan pada era Khulafaur-
Rasyidin (11-41H/632-661M). Pada periode Umayah (41-132H/661-750M) rasio ini
naik sedikit sekitar 1 : 12. Walaupun rasio nilai emas terhadap perak sedikit turun,
tetapi secara keseluruhan selama masa pemerintahan Bani Umayah mata uang Islam
relatif stabil karena kontrol dari negara masih kuat. Mata uang harus dikeluarkan
oleh percetakan resmi negara. Bagi pelanggar ketentuan ini diberi hukuman yang
menjerakan. Misalnya, Umar bin Abdul Azis pernah memenjarakan seseorang yang
mengeluarkan koin tanpa izin dari negara.
Bahwa selama kekuasaan Bani Umayah perekonomian dan pembangunan

Sejarah Peradaban Islam .......134


ekonomi lebih maju, agaknya semua orang sepakat. Sekarang, bagaimana perhatian
Bani Umayah terhadap pengembangan dan pembangunan pendidikan dan ilmu
pengetahuan? Penilaian agak mendua. Ada yang berpendapat bahwa pada era Bani
Umayah perhatian terhadap pembangunan pendidikan yang sudah dimulai dan
diprakarsai oleh Nabi Muhammad dan semakin diperhatikan pada era Khulafaur-
Rasyiddin, juga semakin ditingkatkan dan disempurnakan secara sistematis pada era
Bani Umayah. Pembangunan pendidikan berkembang paling pesat pada saat Marwan
dan Abdul Malik berkuasa. Cabang-cabang pendidikan mulai dari Tafsir, Hadits,
fiqh, sejarah, tata-bahasa, geografi dan berbagai cabang sains lainnya berkembang
pesat. Telah disinggung bahwa salah satu jasa Abdul Malik yang terkait dengan
pendidikan ialah upayanya melakukan pembaruan penggunaan bahasa Arab, yaitu
dengan menetapkan bahasa Arab sebagai bahasa resmi di seluruh wilayah
kekuasannya, serta memperbarui ragam tulisan bahasa Arab dengan
memperkenalkan tanda vokal dan tanda-tanda untuk membedakan beberapa huruf
yang sama atau mirip bentuknya. Lebih dari itu, jasanya yang lebih utama dalam
memajukan pendidikan ialah mendirikan sekolah-sekolah madrasah dan mesjid-
mesjid serta maktab-maktab di seluruh pelosok negeri. Pembangunan mesjid dan
maktab ikut menunjang pendidikan sebab pendidikan dasar, terutama yang
menyangkut agama, dilakukan di mesjid-mesjid dan maktab-maktab.
Di sisi sebaliknya, ada pula yang berpendapat bahwa kontribusi penguasa
Bani Umayah terhadap kemajuan pendidikan tidak begitu signifikan. Bahkan
pengamat seperti Shed Ameer Ali (1978) menyatakan bahwa naiknya Bani Umayah
ke tampuk kekuasaan merupakan pukulan berat bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan
kebebasan dalam dunia Islam. Pemerintahan bani Umayah yang penuh kekeruhan
dinilai sedikit sekali memberikan kesempatan kepada orang yang hendak
mencurahkan perhatian kepada ilmu pengetahuan. Perlu diketahui bahwa pandangan
seperti ini umumnya diberikan oleh pengamat yang simpati pada keluarga Ali. Bagi
mereka peristiwa pembantaian di Karbela dan penyerbuan kota Madinah telah
menyebabkan tertutupnya ruang kuliah para Imam yang didominasi keluarga Ali.
Dari semua penguasa Bani Umayah selama lebih kurang 90 tahun, yang
cakap dalam menjalankan roda pemerintahan adalah Mu’awiyah, Abdul Malik dan
Umar ibn Abdul Azis. Sistem militer dan ekspansi paling menonjol sewaktu Bani
Umayah dipimpin oleh Mu’awiyah dan Abdul Malik. Dengan kekuatan militer yang
tidak kalah dengan era Umar bin Khattab, mereka mampu melakukan perluasan
wilayah kekuasaan sekaligus menjaga stabilitas pemerintahan. Di sisi lain Umar ibn
Abdul Azis kurang begitu memperhatikan soal perluasan wilayah kekuasaan dan
pertahanan militer. Beliau lebih concern terhadap perdamaian dan kesejahteraan
umat. Sesudah Umar ibn Abdul Aziz yang cukup cakap dalam memerintah adalah
Hisyam. Tetapi karena mulai banyaknya perlawanan dan pembangkangan dari
berbagai kelompok masyarakat, membuat pemerintahannya berjalan tidak efektif.
Setelah Hisyam, pelan tapi pasti Bani Umayah menuju proses kehancuran.

Sejarah Peradaban Islam .......135


Walau banyak kemajuan yang dicapai oleh Bani Umayah, tetapi sisi
kelemahannya juga tidak sedikit. Beberapa faktor yang dibahas pengamat tentang
penyebab runtuhnya Bani Umayah antara lain: sistem pergantian pemerintahan yang
tidak legitimate; pemberontakan kelompok Syiah; pemerintahan yang tidak
akuntabel; ditinggalkannya prinsip-prinsip kesederhanaan; dan pengabaian pertanian
dan penetapan pajak yang tinggi.

Sistem Pergantian Pemerintahan yang Tidak Legitimate


Hampir semua pengamat seperti sepakat bahwa dalam sejarahnya umat
Islam melakukan kesalahan dengan digantinya sistem Khulafaur-Rasyidin dengan
sistem monarki oleh Mu’awiyah tahun 41H/661. Menurut Phillip K.Hitti dalam
‛History of the Arabs‛ (1970), faktor utama yang menyebabkan tidak kokohnya
pemerintahan Bani Umayah adalah sistem pergantian kekuasaan yang tidak
legitimate dan tidak sesuai dengan Islam, yaitu dari syura ke monarki turun temurun.
Mu’awiyah dipersalahkan sebagai penyebab beralihnya sistem pemerintahan Islam
yang demokratis menjadi sistem monarki yang jauh dari nilai-nilai Islam.
Sesuai demokrasi Islam yang dicontohkan para Khalifaur-Rasyidin
terdahulu, pengangkatan khalifah dilakukan atas dasar prinsip-prinsip demokrasi,
yang dilakukan oleh diwan syura. Akan tetapi sejak Mu’awiyah, tidak ada lagi yang
namanya diwan syura tempat bermufakatnya para pemuka masyarakat Muslim, dan
tidak ada lagi tradisi kebebasan menyampaikan pendapat sebagaimana dipraktekkan
pada masa Rasulullah dan Khulafaur-Rasyidin. Dengan tidak adanya lembaga
permufakatan (syura), khalifah yang memiliki kekuasaan absolut bertindak otoriter,
layaknya seorang kaisar. Mu’awiyah dianggap bertanggung jawab terhadap
perubahan sistim khilafah yang dipandang ideal dan demokratis ke bentuk
pemerintahan monarki dimana kekuasaan diwariskan turun temurun. Semuanya
berawal sewaktu Mu’awiyah menunjuk putranya Yazid sebagai putra mahkota.
Menurut Ibnu Rusyd, bentuk negara Islam pada masa Khulafaur-Rasyiddin
adalah berbentuk republik seperti sistem republik dari Plato, dimana khalifah adalah
seorang kepala negara yang dipilih oleh rakyat. Tetapi Mu’awiyah telah
meruntuhkan susunan yang baik itu, menghapus segala keindahannya dengan
mencabut seluruh urat akarnya, dan menggantinya dengan sistem pemerintahan
otokrasi. Akibatnya adalah runtuhnya seluruh sendi asas pemerintahan Islam, dan
berjangkitlah anarki dan kekacauan di seluruh negeri (Ahmad, 2001).
Pengangkatan Yazid yang tidak melalui proses politik yang tidak legitimate
dan membuahkan sistem kerajaan dengan kekuasaan absolut dipandang sebagai awal
yang menandakan runtuhnya prinsip-prinsip demokrasi Islam. ‛Dosa besar‛ yang
dilakukan oleh Mu’awiyah di atas diwariskan pada penguasa-penguasa Islam
berikutnya, dimana ‛tradisi‛ mewariskan kekuasaan kepada keluarga ini
dipraktekkan oleh seluruh penguasa Islam hingga menjelang abad ke-20. Tradisi
pemilihan pemimpin secara demokratis yang diperkenalkan Nabi dan dilanjutkan

Sejarah Peradaban Islam .......136


oleh Khulafaur-Rasyidin hilang, diganti oleh kekuasaan individu dan otokrasi.
Tetapi sebagaimana sudah disinggung sebelumnya, walau banyak yang
menyalahkan Mu’awiyah yang telah merubah sistem syura yang demokratis ke
sistem monarki, ada juga yang membelanya. Menurut Hasan al-Bashri, ‛Yang
merusak perkara umat ini ada dua orang, yaitu Amru bin Ash ketika menasehati
Mu’awiyah untuk mengangkat Mushaf (al-Qur’an) untuk mengajak damai dengan
Ali, dan al-Mughirah bin Syu’bah ketika menasehati Mu’awiyah untuk membai’at
putranya Yazid. Seandainya bukan karena itu, demikian Hasan al-Bashri
menyatakan, niscaya syura’ akan berlaku sampai hari kiamat‛. Khusus tentang
pengangkatan Yazid sebagai putra mahkota, menurut mereka itu bukan kemauan
Mu’awiyah sendiri, melainkan atas saran al-Mughirah bin Syu’bah, yang waktu itu
menjabat sebagai gubernur Kufah. Adalah karena rencana al-Mughirah sistem
republik yang dipertahankan semasa Khulafaur-Rasyiddin berubah menjadi monarki,
dimana jabatan khalifah diwariskan turun temurun. Jika tidak ada ‛bisikan‛ al-
Mughirah tersebut, tentu sistem pemerintahan Islam tetap berbentuk republik dan
dilandaskan pada musyawarah atau syura (Rais, 2001).
Terlepas dari pembelaan di atas, oleh penguasa seperti Mu’awiyah dan
Yazid, pemerintahan Umayah lebih mengurus kepentingan kelangsungan hidupnya
sendiri. Jelasnya, pemerintah yang ada bukan lagi merupakan instrumen Islam, tetapi
punya tujuan sendiri, yang agar survive, penguasa harus menekan pihak-pihak dan
orang-orang yang menekan keberadaannya. Dasar dari pemerintahan Umayah tetap
Islam. Begitu juga hukum, sistem pengadilan dan displin pengajaran Islam tetap
dipakai. Akan tetapi penguasa dan pemerintahan Umayah, dengan pengecualian
Umar ibn Abdul Aziz, adalah sosok yang ‛menduniawi‛ yang tidak lagi memiliki
ambisi dan tujuan yang sama dengan konstitusi Islam (Effendy, 2001).
Tentang perangai penguasa dan bentuk corak pemerintahan di kelak
kemudian hari, Nabi sudah memperingatkan bahwa akan datang suatu masa dimana
terjadi perpecahan di antara sesama Muslim, dan adanya pemimpin yang tidak adil,
‛Setelah aku, akan datang pemimpin politik yang tidak dituntun oleh tuntunanku,
akan ada beberapa orang di antara mereka yang akan memiliki hati yang jahat dalam
tubuh manusia‛. Dalam versi lain beliau berkata, ‛Kelak sesudah zamanku ini kamu
akan diperintah oleh orang baik-baik yang menggunakan kebaikannya, dan oleh
orang-orang jahat dengan menggunakan kejahatannya‛. Waktu ditanya apa yang
harus dilakukan untuk pemimpin yang seperti itu, Nabi menjawab, ‛Dengarkan dan
taatilah ia selama masih sesuai dengan kebenaran. Kalau mereka bertindak baik,
maka pahala bagimu dan bagi mereka, tetapi kalau mereka jahat maka pahala
bagimu dan dosa bagi mereka‛. Menurut versi lain, Nabi menjawab, ‛Dengar dan
patuhi pemimpin, bahkan jika ia akan memukul punggungmu dan merebut milikmu,
kamu harus dengar dan patuhi‛.
Pada era kekuasaan Bani Umayah, kedua Hadis di atas telah melahirkan
pemikiran politik yang melarang aktivitas perlawanan dan pemberontakan melawan

Sejarah Peradaban Islam .......137


pemerintah yang berkuasa. Prinsip untuk tidak melawan pemerintahan yang
berkuasa ini pada umumnya diadopsi oleh Masyarakat Madinah. Hal ini kentara dari
sikap yang diambil masyarakat Madinah waktu Mu’awiyah berkuasa. Sebagai
contoh, waktu kelompok Syiah yang dipimpin oleh al-Mukhtar melancarkan
pemberontakan di Irak tahun 66H/686M, dan mendirikan pemerintahan sendiri di
Kufah, masyarakat Madinah mengambil sikap netral. Sikap netral mereka ini
dilandaskan pada ajaran Nabi untuk mendukung pemerintahan yang berkuasa. Sikap
mereka yang netral ini bahkan masih terlihat beberapa dekade kemudian, dimana
waktu Abdul Malik bin Marwan yang pernah belajar di Madinah, ia tidak diganggu.
Mereka membiarkan keluarga Umayah berkuasa, sebab memerangi mereka juga
tidak bermanfaat bagi masyarakat yang ingin ketenangan. Walau Mu’awiyah tidak
ideal menurut Islam, tetapi masyarakat diam dan patuh, khawatir bahwa perlawanan
dan pemberontakan justru mengakibatkan hal yang lebih buruk lagi.
Secara politik penguasa Bani Umayah yang sering mengangkat putra
mahkota lebih dari satu orang juga dianggap sebagai pemicu perpecahan dalam
sejarah Islam. Misalnya Marwan mengangkat dua mahkota sekaligus, yaitu Abdul
Malik dan Abdul Azis. Abdul Malik menunjuk dua pewaris tahta, yaitu Walid I dan
Sulaiman. Sulaiman menunjuk keponakan dan saudaranya, Umar ibn Abdul Azis dan
Yazid II. Yazid II menunjuk saudara Hisyam dan anaknya Walid II. Di lapangan
penunjukan dua putra mahkota sekaligus ini sering menimbulkan konflik, salah satu
hal yang menyebabkan lemahnya kekuatan Bani Umayah.

Pemberontakan Kelompok Syiah


Menurut Syed Ameer Ali (1978), sebahagian besar perpecahan dalam umat
Islam terutama disebabkan karena soal politik dan dinasti, terutama perselisihan
suku dan kelompok yang berkepanjangan dan rasa cemburu terhadap keluarga
Hasyim. Tiga kali Ali disisihkan dalam pemilihan, dan tiga kali pula beliau
menerima keputusan tanpa mengemukakan keberatan sedikitpun. Walaupun dalam
pencalonan sebagai khalifah ketiga ada rivalitas antara Ali dan Usman, tetapi sejarah
mencatat bahwa Ali termasuk salah seorang sahabat yang ikut membai’at Usman.
Lebih dari itu, pada tahun-tahun awal pemerintahan Usman, Ali juga dijadikan
sebagai teman bermusyawarah baik dalam urusan keagamaan maupun pemerintahan.
Yang menjadi masalah, waktu Ali diangkat sebagai khalifah, keluarga Umayah
merasa tidak senang. Sejak itu perseteruan antara Bani Hasyim dengan Bani Umayah
makin kuat.
Peristiwa demi peristiwa yang merugikan pihak Ali, tragedi demi tragedi
yang menimpa keturunan Ali, telah membentuk firqah (kelompok) Syiah, yang
akhirnya berubah menjadi ideologi dan kekuatan politik yang bertahan bahkan
hingga sekarang! Apalagi semenjak Yazid berkuasa, para pendukung Syiah
didiskreditkan. Karena merasa diperlakukan tidak semestinya, kelompok Ali selalu
melancarkan gerak perlawanan. Setiap ada kesempatan, mereka melakukan

Sejarah Peradaban Islam .......138


perlawanan dan pemberontakan. Perlawanan dan pemberontakan terus menerus yang
dilancarkan kelompok Syiah telah membuat kekuasaan Bani Umayah melemah.
Selain perlawanan dan pemberontakan kelompok Syiah, masih ada faktor
lainnya yang menyebabkan lemahnya pemerintahan Bani Umayah. Menurut Syed
Ameer Ali dalam ‛A Short History of the Saracens‛ (1981), faktor tersebut ialah
adanya pertentangan etnis antara Bani Qays di Arabia Utara dengan Bani Kalb di
Arabia Selatan. Walaupun pertentangan di antara kedua kelompok ini sudah ada
dalam sejarah pra-Islam, tetapi terus meruncing pada era Bani Umayah.
Pertentangan etnis ini menjadi salah satu penyebab melemahnya kekuasaan Bani
Umayah.
Pada tahun-tahun terakhir pemerintahan Bani Umayah yang dipimpin oleh
orang-orang yang tidak credible makin memancing perlawanan dari berbagai
kelompok masyarakat. Pemberontakan dan pembangkangan timbul dimana-mana,
tidak hanya dari kelompok Syiah yang terdiri dari keluarga-keluarga keturunan Ali
bin Abu Thalib, tetapi juga dari kaum Mawali dan klan Abbasiyyah yang dipimpin
oleh al-Abbas ibn Abdul Muthalib.
Mengapa golongan non-Arab yang berasal dari Persia, Armenia dan
sekitarnya yang disebut Mawali ikut-ikutan mendukung kelompok Syiah
memberontak? Menurut Montgomery Watt (1990), sebahagian besar golongan
Mawali terutama di Irak dan wilayah bagian Timur lainnya merasa tidak puas
diperlakukan sebagai warga negara kelas dua. Menurut Profesor Dozy, keberadaan
kelompok Syiah didukung kelompok Mawali karena ide Syiah paling cocok dengan
logika mereka bahwa tahta harus diwariskan, bukan dipilih oleh rakyat. Tentang hal
ini Profesor Dozy mengatakan, ‛Syiah merupakan sebuah firqah Persia dalam
hakikat dan intinya‛. Jumlah kelompok Mawali ini makin banyak dan berkembang.
Sebagai contoh, lebih dari separoh penduduk Kufah adalah orang Mawali (Rais,
2001).
Tiga gerakan besar dari kaum Syiah, Mawali dan Abbasiyyah sangat
melemahkan kekuatan pasukan Bani Umayah. Koalisi dari ketiga gerakan ini
dipimpin oleh Abdul Abbas, dengan misi mendirikan kerajaan baru yang ideal sesuai
tradisi Islam salaf. Abu Muslim dari klan Abbasiyyah mempelopori gerakan
reformasi di Khurasan. Dalam sebuah perang yang dipimpin oleh Abdul Abbas,
pasukan pemberontak berhasil mengalahkan kekuatan Umayah dalam pertempuran
di sungai Zab pada tahun 132H/750. Dengan kekalahan tersebut kekuasaan Bani
Umayah tumbang pada era Marwan II, yaitu khalifah ke-14 dan terakhir di
Damaskus.

Pemerintahan yang Tidak Akuntabel


Kebanyakan penguasa dinasti Umayah menjalankan roda pemerintahan
imperium demi kepentingan pribadi dan keluarga. Jabatan pimpinan dilakukan lewat
penunjukan berdasarkan keturunan, bukan atas dasar kecakapan dan kemampuan.

Sejarah Peradaban Islam .......139


Begitu juga para pejabat ditunjuk sekedar untuk pemuasan ambisi pribadi dan tujuan
-tujuan pribadi penguasa. Karena mereka lebih mementingkan kesenangan dan
kepuasan penguasa, maka perhatian terhadap rakyat jauh berkurang dibanding zaman
Rasulullah dan Khulafaur-Rasyidin.
Berbeda dengan corak pemerintahan era Rasulullah dan Khulafaur-Rasyidin
yang akuntabel, penguasa Bani Umayah dengan kekecualian Umar ibn Abdul Azis
tidak memberikan pertanggungjawaban yang cukup. Pemerintahan yang tidak
legitimate dan accountable telah menciptakan semakin banyaknya penguasa yang
haus kekuasaan, dan kalau perlu diperoleh dengan tipu-tipu licik, menyimpang
sangat jauh dari yang dicontohkan Rasul dan Khulafaur-Rasyidin. Semua ini telah
mendorong munculnya kembali struktur-struktur kekuasaan jahiliyah.
Pada zaman Nabi Muhammad dan Khulafaur-Rasyiddin tidak terdapat
perbedaan yang menyolok antara kelompok masyarakat yang kaya dengan kelompok
yang miskin. Kalaupun ada yang kaya, mereka merelakan sebahagian hartanya untuk
membantu kelompok yang lebih miskin. Tetapi sejak era kedinastian Bani Umayah,
perbedaan antara kelompok kaya dengan kelompok miskin, terutama antara keluarga
istana dengan rakyat jelata, sangat menyolok. Menurut para pengkritiknya,
penguasa Bani Umayah kebanyakan menggunakan kekuasaan secara absolut. Mereka
menjalankan pemerintahan dengan kekerasan, tidak obahnya tirani. Begitu juga raja
menganggap negara seolah-olah milik mereka, ditunjukkan oleh kenyataan bahwa
kekayaan baitul mal beralih menjadi pundi-pundi pribadi para penguasa.
Sikap optimis rakyat mulai terangkat waktu Umar ibn Abdul Aziz berkuasa.
Penguasa yang adil, berpihak pada rakyat miskin, dan saleh ini kembali membuat
semangat rakyat bangkit. Sayang ia hanya memerintah tiga tahun. Pasca
pemerintahan Umar ibn Abdul Azis, tepatnya pada pertengahan abad ke-8 masehi,
banyak terjadi perang saudara. Fitnah dan intrik menyebabkan lemahnya
pemerintahan. Sejak pertengahan abad ke-8 tersebut boleh dikatakan tidak ada lagi
pemimpin Islam Bani Umayah yang cakap memerintah dan perduli dengan rakyat.
Penguasa yang lemah tidak mampu mengontrol seluruh wilayah. Karena para
penguasa lebih sibuk berpesta, sedang rakyat tidak diurus dengan baik, maka sejak
itu mulai sering terjadi konflik dan perlawanan terhadap penguasa. Banyaknya
pertengkaran dan persaingan di antara sesama Muslim serta ketidakmampuan
penguasa menciptakan stabilitas dalam masyarakat telah menyebabkan kekuasaan
menurun, dan menjadi faktor pendukung bagi kehancuran Bani Umayah.
Pada era Khulafaur-Rasyiddin rakyat bisa berkomunikasi langsung dengan
khalifah. Bahkan rakyat jelata sekalipun, boleh memprotes berbagai kebijakan
khalifah. Tetapi sejak berakhirnya kekuasaan Umar ibn Abdul Azis, untuk
menghadap khalifah saja mereka harus menghadap hajib (penjaga pintu) terlebih
dahulu. Kalau hajib menganggap urusan mereka sepele, tidak akan dilayani. Lebih
dari itu, di bawah penguasa yang otoriter rakyat sangat menderita, sebab dipaksa
menyerahkan harta dan nyawanya demi penguasa. Seorang pejabat negara yang

Sejarah Peradaban Islam .......140


terkenal paling kejam adalah Yusuf ibn al-Hajjaj. Oleh pengkritiknya dikatakan
bahwa dialah yang menghancurkan kelompok penentang di Irak dan gerakan
pemberontakan Abdullah ibn Zubayr di Makkah. Ia juga dinilai telah merendahkan
warga non-Arab yang telah memeluk agama Islam dan berlaku buruk pada kaum
dzimmi, padahal Islam memerintahkan untuk memperlakukan kaum dzimmi dengan
baik dan ramah.
Situasi istana sepeninggal Umar bin Abdul Azis tidak lagi mencerminkan
nilai-nilai Islam. Terlalu banyak intrik dan fitnah, dan keluarga raja suka hidup
berfoya-foya, dan ada yang lebih sibuk mengurus para haremnya ketimbang
mengurus rakyatnya. Karena keluarga raja suka berfoya-foya, sementara rakyat
ditindas dan tidak diperhatikan, kondisi ini menyebabkan meluasnya rasa ketidak
senangan terhadap pemerintah.
Sebetulnya tidak semua penguasa Umayah jelek. Menurut Ibnu Khaldun
dalam Muqaddimah, sebahagian besar penguasa Umayah, terutama pada tahap-tahap
awal, memerintah dengan baik. Keadaan baru berubah pada masa-masa terakhir Bani
Umayah, dimana para raja mulai menggunakan watak kedaulatan di dalam tujuan
dan maksud duniawi mereka; melupakan sikap berhati-hati dalam menentukan
maksud dan tujuan. Ini yang menyebabkan ulama dan begitu pula rakyat mencela
mereka. Rakyat yang tidak simpati kepada para raja atau pemimpin mereka akhirnya
menerima propaganda Bani Abbas.

Ditinggalkannya Prinsip-prinsip Kesederhanaan


Hal lain yang dipandang negatif dari pemerintahan Bani Umayah ialah
semakin ditinggalkannya prinsip-prinsip kesederhanaan. Kalau para Khulafaur-
Rasyiddin berkuasa dengan hidup sederhana, tetapi sejak era Bani Umayah pola
hidup sederhana ditukar dengan pola hidup mewah dan suka berfoya-foya. Mereka
suka kepada segala sesuatu yang bersifat duniawi. Konon beberapa di antara
penguasa Bani Umayah suka meminum minuman keras. Kelemahan para khalifah ini
dimanfaatkan oleh para panglima dan wazir. Mereka memasok semua kebutuhan
khalifah untuk hidup bermewah-mewah. Dengan menjadikan khalifah sebagai
boneka, mereka bisa mengendalikan negara dan mengutil baitul mal.
Walau penguasa Bani Umayah terkenal suka kepada kenikmatan duniawi
dan menjalankan pemerintahan dengan cara-cara kekerasan, tetapi ada juga
kekecualiannya, yaitu Khalifah Umar ibn Abdul Azis. Beliau dikenal sebagai
khalifah yang adil, pro rakyat, lembut, bersih, dan berbudi luhur. Sayang beliau
hanya memerontah tiga tahun. Setelah meninggalnya Umar bin Abdul Aziz maka
penyakit suka dunia (wahn) di kalangan penguasa kambuh kembali. Melihat perangai
raja dan penguasa, rakyat mencontohnya dengan baik. Sejak itu perjudian, perilaku
mabuk-mabukan, dan sifat-sifat jahiliyah seperti perang antar suku berkembang
kembali.
Pada era Khulafaur-Rasyiddin peran ulama sangat besar. Khalifah selalu

Sejarah Peradaban Islam .......141


berkonsultasi dengan para ulama sebelum mengambil keputusan. Tetapi pada tahun-
tahun kerakhir kekuasaan Bani Umayah peran ulama terpinggirkan. Sebagai
akibatnya, ulama menjauhkan diri dari istana. Melihat centang perenang kehidupan
di bawah penguasa-penguasa Umayah yang mementingkan kenikmatan duniawi,
menyebabkan sebahagian umat Islam menarik diri dalam kesunyian dan ibadah
keagamaan. Sebagai tanda tobat dan tidak mementingkan kesenanagan duniawi,
mereka memakai khirka (pakaian terbuat dari bulu domba) yang sangat sederhana.
Kaum sufi berusaha menghilangkan kepentingan diri sendiri dan memberikan serta
memusatkan perhatian dan enerji secara mutlak hanya kepada Tuhan. Mereka
percaya bahwa dengan memusatkan perhatian dan konsentrasi jiwa melalui zikir,
mereka akan melebur menjadi satu dengan Tuhan dan mendapatkan kedamaian dan
kebenaran.

Pengabaian Pertanian dan Penetapan Pajak yang Tinggi


Oleh beberapa pengamat, penyebab lain runtuhnya Islam ialah karena
penguasa mulai mengabaikan pertanian dan menetapkan pajak yang tinggi terhadap
rakyat, khususnya kaum petani. Misalnya, menurut Zulius Wellhausen (1902),
runtuhnya kekhalifahan bani Umayah terjadi karena keluhan-keluhan ekonomi dari
kaum non-Muslim yang dipaksa membayar pajak yang terlalu tinggi. Karena pajak
pada masa bani Umayah sangat membebani, khususnya non-Muslim, maka
penderitaan penduduk Khurasan akhirnya menjadi ancaman yang serius bagi
stabilitas pemerintahan Umayah. Para penduduk Khurasan yang non-Muslim itulah
yang menjadi agen aktif di balik revolusi Abbasiyyah.
Tetapi argumentasi Wellhausen di atas tidak diterima oleh Ugi Suharto
(2004). Menurut Ugi, ada dua buku penting tentang sejarah Islam yang membantah
argumentasi Wellhausen tersebut di atas, yaitu buku ‚Islamic Taxation in the
Classical Period, with Special Reference to Circumstance in Iraq‛ oleh Frede
Lockkegaard (1950), dan buku ‚Conversion and Poll Tax in Early Islam‛ oleh Daniel
C.Dennert (1950). Secara lebih spesifik, Lockkegaard tidak sepakat dengan
pendapat Wellhausen yang menyatakan bahwa jizyah adalah ‚temuan‛ pemerintahan
Umayah yang merupakan salah satu penyebab kehancuran dinasti Umayah.
Pendapat Lockkegaard ini didkung oleh Dennert yang menyatakan bahwa apa yang
dipostulasikan oleh Wellhausen sebagai sebuah teori umum mengenai masalah fiskal
yang menuntun pada revolusi Abbasiyyah, hanya merupakan kasus pengecualian
khusus yang terjadi di Khurasan. Artinya, Wellhausen telah mengambil situasi
spesifik di Khurasan sebagai basis untuk memformulasikan teori umum keruntuhan
dinasti Umayah.
Ali (2003) juga tidak setuju dengan pendapat sebahagian pakar yang
menganggap salah satu penyebab keruntuhan Bani Umayah adalah pengabaian
pertanian dan penetapan pajak yang tinggi. Menurut Ali, dalam masyarakat waktu
itu ada empat kelompok sosial, yaitu kelompok Arab Muslim, Mawali, non-Muslim,

Sejarah Peradaban Islam .......142


dan para budak. Walau Arab-Muslim statusnya lebih tinggi karena mereka lebih
berkuasa, tetapi perlakuan Arab-Muslim terhadap Mawali, non-Muslim dan para
budak sangat baik. Walau dalam kehidupan sehari-hari sebahagian penguasa suka
berfoya-foya, tetapi selama Bani Umayah berkuasa tidak dijumpai gaya penindasan,
apalagi perbudakan seperti yang lazim dilakukan oleh kelompok penguasa zaman
feodal abad pertengahan Eropa. Kecuali akibat agresi pihak kristen dalam
melancarkan Perang Salib, secara domestik dalam masyarakat hampir tidak pernah
terjadi perselisihan antar-agama. Yang ada hanyalah perselisihan antar suku,
khususnya antara kelompok Mudariyah dan Himyariayah. Para penguasa Bani
Umayah, termasuk yang paling saleh seperti Umar ibn Abdul Azis, umumnya
melindungi kebebasan beragama. Bahkan penguasa Muslim berkenan merehab gereja
Kristen di Edesra yang hancur akibat gempa. Dalam catatan sejarah, yang betul
pernah terjadi penambahan pajak-pajak baru adalah pada era Abbasiyyah di bawah
dominasi kekuasaan Turki Budak. Tentang hal ini akan kita bicarakan lebih lanjut
pada akhir bab 5.

Sejarah Peradaban Islam .......143


ERA KEDINASTIAN
BANI ABBASIYAH
Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abu’l Abbas ‚as-Shaffah‛ (132-136H/750-
754M). Nama Abbasiyah diambil dari nama salah seorang paman Nabi, yaitu al-
Abbas ibn Abdul Muthalib bin Hasyim. Maksudnya adalah untuk merangkul
keturunan Ali. Sebagaimana sudah disinggung pada akhir bab 4, Abu’l Abbas ikut
bergabung dengan kelompok Syiah dan Mawali melakukan pemberontakan untuk
menggulingkan kekuasaan Bani Umayah yang dinilai semakin tidak islami. Tujuan
awalnya adalah untuk mengembalikan Bani Hasyimiyah kepada hak yang
sebenarnya, yaitu untuk memimpin Dunia Islam. Dalam perjuangan mereka
menggunakan bendera al-Musawwadah yang berwarna hitam. Hal ini dimaksudkan
sebagai tanda berkabung atas para syuhada, para pahlawan mereka dari kalangan
Bani Hasyim dan sebagai celaan mereka terhadap Bani Umayah. Selain itu, dalam
perjuangan Abu’l Abbas dan adiknya Abu Ja’far berjanji bahwa seandainya berhasil
menumpas kekuasaan Bani Umayah, maka yang akan diangkat sebagai Imam
sekaligus kepala Negara Islam yang baru adalah Muhammad ibn Abdullah ibn Hasan
ibn Ali, atau yang sering juga dikenal dengan sebutan Imam Nafs al-Zakiyah. Tetapi
setelah berhasil menggulingkan Bani Umayah, rakyat Hejaz dan Yaman memberikan
baiat kepada Abu’l Abbas, dan Abu’l Abbaspun lupa pada janji yang dibuat bersama
adiknya Abu Ja’far dengan kaum Syiah, bahwa jika kekuasaan Bani Umayah
tumbang, maka yang akan diangkat sebagai Imam dan khalifah adalah Nafs al-
Zakiyah.
Berbeda dengan Bani Umayah dimana pemerintahan dipegang oleh Muslim
Arab, pemerintahan Bani Abbasiyah dipengaruhi oleh berbagai kelompok suku lain,
terutama Persia, Turki dan Iran. Era dimana dimana pemerintahan negara Islam
dipengaruhi oleh suku Persia berlangsung pas satu abad dalam penanggalan Islam,
yaitu 132-232H/750-847M. Periode pertama ini disebut-sebut sebagai Periode
Keemasan Islam, dimana terjadi synergy antara budaya Arab dengan Persia, dan
khalifah kuat secara politik maupun agama. Tetapi waktu Bani Abbasiyah dipimpin

Sejarah Peradaban Islam .......144


oleh raja-raja yang lemah, mereka mulai didikte oleh orang-orang Turki budak. Era
dimana Dinasti Abbasiyah dikendalikan oleh Turki budak ini terjadi selama periode
232-334H/847-945M. Pada periode selanjutnya (334-447H/945-1055M) para
khalifah Bani Abbasiyah didikte oleh suku Turki yang sudah lama bermukim di Iran
dari Bani Buwaihiyah, dan terakhir dikendalikan oleh Turki Saljuq (447-590H/1055-
1194M). Sejak tahun 590H/1194M kekuasaan Bani Abbasiyah bebas dari pengaruh
dominasi suku lain, akan tetapi kekuasaan efektif hanya berada di sekitar kota
Baghdad. Era kedinastian Bani Abbasiyah berakhir waktu kota Baghdad diserbu oleh
pasukan Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan tahun 656H/1258M.

A. Pengaruh Budaya Persia (132-232H/750-847M)


Abu’l Abbas ditabalkan sebagai khalifah di Mesjid Raya Kufah pada bulan
April tahun 132H/750 M. Untuk menjalankan pemerintahan, Abu’l Abbas
menetapkan al-Hasyimiyah di lembah Furat dekat Kufah dan Basrah sebagai ibukota
Bani Abbasiyah yang pertama. Lembah Furat yang dialiri dua sungai besar di Asia
Barat adalah daerah yang kaya dan subur. Dua kota utama di lembah Furat ini adalah
Basrah dan Kufah. Jauh sebelumnya di sekitar lembah Furat ini sudah sering
dijadikan sebagai ibukota kerajaan dan pusat peradaban. Di wilayah inilah dahulunya
timbul kerajaan Babilon, Ctesiphon dan Selucia.
Setelah diangkat sebagai khalifah, Abu’l Abbas yang bergelar as-Saffah (Si
Penumpas atau Peminum Darah) ini mengeluarkan dekrit untuk membunuh semua
keturunan Umayah. Tidak puas dengan membunuh semua keturunan Umayah,
bahkan semua kuburan khalifah Umayah – kecuali makam Umar ibn Abdul Azis –
digali, dan tulang-tulang mereka dibakar (Karim, 2007). Karena apa yang dilakukan
Abu’l Abbas ini jauh dari nilai-nilai Islam, banyak rakyat yang tidak senang dengan
cara-cara yang ditempuh Abu’l Abbas dalam memerintah.
Menyaksikan sepak terjang Abu’l Abbas yang diluar batas, juga karena ia
melupakan dan bahkan mengabaikan janji-janji yang pernah dibuat dengan para
sekutunya kaum Syiah, para ulama, di antaranya Imam Abu Hanifah dan Imam
Malik, mempermasalahkan keabsahan kekuasaan Abu’l Abbas. Karena Imam Hanafi
dan Imam Malik mempermasalahkan keabsahan kekuasaannya, dan bahkan
mengakui Nafs al- Zakiyah sebagai khalifah dan Imam yang sah, maka keduanya
disiksa dan dimaskkan ke dalam penjara oleh Abu’l Abbas.
Perlakuan Abu’l Abbas terhadap Imam Abu Hanifah dan Imam Malik
memancing ketidaksenangan dari rakyat, sebab keduanya adalah ulama yang sangat
dihormati. Karena tidak senang dengan cara Abu’l Abbas memerintah, sebahagian
rakyat di daerah-daerah memberontak. Tetapi pemberontakan yang dilakukan rakyat
Damaskus, Harran, Hims, Kinnisirin dan Yerusalem berhasil ditumpas oleh tangan
besi Abu’l Abbas.
Untuk memperkuat dirinya, Abu’l Abbas merapatkan diri dengan orang-
orang Persia. Mereka diangkat sebagai prajurit atau tangan-tangan pekerja dan
pegawai. Kelompok Hasyimiyah dan terutama sekali kelompok Mawali mendapat
posisi cukup penting di pemerintahan Abbasiyah. Bagi kelompok Mawali yang

Sejarah Peradaban Islam .......145


sebahagian besar adalah orang-orang Persia dari Khurasan, hal ini merupakan hadiah
yang cukup menggembirakan, sebab sebelumnya kelompok ini dinilai sebagai warga
negara kelas dua, sedang yang menjadi kelompok utama adalah ningrat Arab
Umayah. Tetapi sejak hancurnya Bani Umayah dan berdirinya Dinasti Abbasiyah,
tidak ada lagi perbedaan kelas antara warga Arab dengan kelompok Mawali. Orang-
orang Mawali, banyak mendapat posisi penting di pemerintahan Abbasiyah.
Tabel 5-1: Khalifah-khalifah Bani Abbasiyah di Baghdad

Nama/Gelar Tahun
1. As-Saffah, Abu’l Abbas (Abdullah) 132H/750M
2. Al-Manshur, Abu Ja’far 136H/754M
3. Al-Mahdi (Muhammad) 158H/775M
4. Al-Hadi (Musa) 168H/758M
5. Ar-Rasyid (Harun) 170H/786M
6. Al-Amin (Muhammad) 193H/809M
7. Al-Ma’mun (Abdullah) 198H/813M
8. Al-Mu’tashim bi’llah (Abu Ishak Muhammad) 218H/833M
9. Al-Wasik bi’llah (Abu Ja’far) 227H/842M
10. Al-Mutawakkil ‘ala-llah (Ja’far) 232H/847M
11. Al-Muntansir bi’llah (Muhammad) 247H/861M
12. Al-Mustain bi’llah (Ahmad) 248H/862M
13. Al-Mu’tazz bi’llah (Muhammad) 252H/866M
14. Al-Muhtadi bi’llah (Muhammad Abu Ishak) 255H/869M
15. Al-Mu’tamid al-Allah (Ahmad, Abu’l Abbas) 256H/870M
16. Al-Mu’tazid bi’llah (Ahmad,Abu’l Abbas) 279H/892M
17. Al-Muktafi bi’llah (Ali, Abu Muhammad) 289H/902M
18. Al-Muqtadir bi’llah (Ja’far, Abu’l Fazl) 295H/908M
19. Al-Kahir bi’llah (Muhammad, Abu Mansur) 320H/932M
20. Ar-Razi bi’llah (Muhammad, Abu’l Abbas) 322H/964M
21. Al-Muttaki bi’llah (Ibrahim, Abu’l Ishak) 329H/940M
22. Al-Mustakfi bi’llah (Abdullah, Abu’l Kasim) 333H/944M
23. Al-Mukti ‘Ullah (Fazl, Abu’l Kasim) 334H/946M
24. At-Tai’ bi’llah (Abdul Karim, Abu Bakr) 363H/974M
25. Al-Qadir bi’llah (Ahmad, Abu’l Abbas) 381H/991M
26. Al-Qaim bi amri’llah (Abdullah, Abu jaafar 422H/1031M
27. Al-Muktadi bi amri’llah (Abdullah, Abu’l Kasim) 467H/1075M
28. Al-Mustazir bi’llah (Ahmad, Abu’l Abbas) 487H/1094M
29. Al-Mustarsyid bi’llah (Fazl, Abu Mansur) 512H/1118M
30. Ar-Rasyid bi’llah (Mansur, Abu Ja’far) 529H/1135M
31. Al-Muktafi bi amri’llah (Muhammad, Abu Abdullah) 530H/1136M
32. Al-Mustanjid bi’llah (Yusuf, Abu’l Muzaffar) 555H/1160M
33. Al-Mustadzi bi amri’llah (Hasan, Abu Muhammad) 566H/1170M
34. An-Nasir lidinillah (Ahmad, Abu’l Abbas) 575H/1180M
35. Az-Zahir bi amri’llah (Muhammad, Abu Nasr) 622H/1225M
36. Al-Mustansir bi’llah (Mansur, Abu Ja’far) 623H/1226M
37. Al-Musta’sim bi’llah (Abdullah, Abu Ahmad) 640H/1242M
Sumber: Syed Ameer Ali (1978)

Sejarah Peradaban Islam .......146


Abu’l Abbas memerintah tidak sampai lima tahun. Ia meninggal karena
mendapat serangan wabah penyakit cacar. Tetapi dalam keadaan sakit keras sebelum
meninggal, ia mewasiatkan untuk mewariskan khalifah kepada saudaranya Abu
Ja’far al-Manshur, dan setelah al-Manshur jabatan khalifah harus diserahkan kepada
keponakannya Isa bin Musa. Oleh beberapa pengamat, pewarisan tahta ini
merupakan tragedi yang kedua bagi umat Islam setelah pewarisan tahta dari
Muawiyah ke putranya Yazid pada awal pemerintahan Bani Umayah.
Sebagaimana diketahui, salah satu alasan yang digunakan oleh Abu’l Abbas
dalam menggalang perlawanan terhadap Bani Umayah adalah untuk mereformasi
praktek-praktek politik kotor berbau KKN yang diperankan oleh para penguasa Bani
Umayah. Sayangnya, setelah Abu’l Abbas berkuasa, ia lupa pada janji-janjinya
semula. Terlepas dari kenyataan bahwa Abu Ja’far yang bergelar al-Mashur (yang
artinya kemenangan) ini adalah seorang yang cakap, cerdas, disiplin dan memiliki
dedikasi tinggi dalam memajukan kesejahteraan rakyatnya, tetapi dengan menunjuk
saudaranya tersebut sebagai penerusnya, ia telah mengkhianati tujuan perjuangan
menghancurkan Bani Umayah, dan dianggap sebagai pihak yang paling
bertanggungjawab dalam melanggengkan pemerintahan monarki dalam kekhalifahan
Bani Abbasiyah.
Pada era Khulafaur-Rasyiddin pimpinan Daulah Islam bergelar khalifah,
kecuali khalifah Ali bin Abi Thalib yang mempunyai gelar tambahan Imam. Selain
itu sejak Umar ada gelar tambahan Amirul-Mukminan. Gelar Amirul Mukminin
menjadi ciri raja Hejaz, Syria dan Iraq, tempat rumah asal bangsa Arab serta pusat
dinasti muslim. Pada era Bani Abbas muncul kebiasaan menambahkan nama-nama
keluarga para khalifah, dimulai oleh Abu’l Abbas yang bergelar as-Saffah. Sejak itu
semua khalifah Bani Abbas menambahkan nama keluarga sebagai gelar tambahan
para khalifah, seperti al-Manshur, al-Mahdi, al-Hadi, ar-Rasyid, dan sebagainya.

Abu Ja’far al-Manshur (136-158H/754-775M)


Abu Ja’far al-Manshur (136-158H/754-775M) adalah khalifah Abbasiyah
pertama yang menyatakan bahwa jabatannya selaku khalifah adalah sebagai wakil
Tuhan di bumi. Dengan jumawa ia mengatakan bahwa dirinya adalah khalifah dan
bayangan Allah di muka bumi, yang akan menjadi panutan bagi kam muslimin.
Dalam pandangan al-Manshur, khalifah tidak membtuhkan pengakuan rakyat,
melainkan rakyat yang membutuhkan khalifah. Artinya, kekuasaan yang
dipegangnya adalah mandat dari Allah, bukan manusia, bukan pula sekedar pelanjut
kekuasaan Nabi seperti Khulafaur-Rasyiddin. Pandangan seperti ini diadopsi oleh
semua khalifah Abbasiyah. Tegasnya, sejak itu semua khalifah Abbasisyah
menganggap diri mereka sebagai wakil Tuhan di bumi.
Walaupun penunjukan dirinya sebagai khalifah dinilai kurang legitimate,
tetapi ternyata al-Manshur cukup berhasil menjalankan tugasnya sebagai khalifah. Ia

Sejarah Peradaban Islam .......147


adalah seorang politikus, negarawan, dan penguasa yang visioner. Di balik sifatnya
yang keras al-Manshur adalah seorang Muslim yang saleh dan penuh keteladanan.
Atas kehebatannya tersebut ada pengamat yang mengatakan al-Manshur sebagai
negarawan kelas satu. Pujian ini tentu bukan tanpa alasan. Selama 22 tahun berkuasa
al-Manshur berhasil mengkonsolidasikan situasi politik yang cukup labil waktu ia
ditunjuk sebagai pengganti Abu’l Abbas.
Kaum Barber dan Khawarij yang semula berjuang menumbangkan Bani
Umayah kecewa dengan cara-cara yang ditempuh al-Manshur. Karena itu mereka
menarik diri dan memberontak. Tetapi pemberontakan mereka juga berhasil
dipadamkan. Selanjutnya al-Manshur berhasil merebut benteng-benteng di kota
Malatia, Coppadocia dan Cicilia di Asia pada periode 756-758. Pada saat al-Manshur
sibuk memadamkan berbagai pemberontakan oleh sesama Islam dan melakukan
perluasan kekuasaan, tentara Bizantium menyerang dari barat laut. Tetapi upaya
mereka juga berhasil ditumpas, bahkan raja Konstantinopel dipaksa meneken
perjanjian damai. Dalam kesepakatan damai dengan Kaisar Constantine V, selama
gencatan senjata periode 758-765M ini Bizantium diwajibkan membayar upeti
tahunan kepada Bani Abbasiyah.
Sebagai pemimpin yang kuat dan efektif pada saat-saat tertentu al-Manshur
menunjukkan sifatnya yang keras. Seperti abangnya Abu’l Abbas, ia juga bertangan
besi dalam memerintah dan menumpas lawan-lawan politiknya dengan keras. Untuk
itu ia tidak segan-segan membunuh dan menghancurkan musuh-musuh politiknya
baik dari kelompok Syiah maupun Khawarij. Kalau perlu ia bahkan tidak sungkan-
sungkan menumpas bekas kawan-kawan politiknya, jika dianggap membahayakan,
seperti yang dilakukannya terhadap Abdullah dan Abu Muslim Khurasani. Padahal
Abdullah adalah panglima perang yang berhasil menumpas tentara Umayah dalam
Perang Dzar II tahun 749M. Sedangkan Abu Muslim Khurasani adalah pemimpin
dari golongan Syiah yang berhasil menumpas begitu banyak tentara Bani Umayah.
Tanpa jasa keduanya, tak mungkin Bani Abbasiyah berdiri. Tetapi karena al-
Manshur khawatir mereka akan menyaingi kekuasaannya, maka keduanya ditumpas.
Begitu juga al-Manshur membunuh pengikut dan simpatisan Syiah secara massal di
depan umum (Karim, 2007).
Dalam bidang pemerintahan, khalifah al-Manshur melakukan birokratisasi
dengan membuat pembagian kerja yang efektif dan pengawasan yang detil dalam
berbagai urusan yang harus dilaksanakan pemerintah. Ada Sekretaris Negara yang
bertugas mengesahkan mandat-mandat kerajaan. Beliau mendirikan kantor keuangan
yang bertugas mengurus penerimaan pajak dan pengeluaran-pengeluaran kerajaan.
Agar terdapat pembagian kerja yang lebih baik, didirikan lain-lain departemen atau
kantor yang disebut diwan, di antaranya:
Diwan al-Kharaj (Kantor Pusat Pajak, atau Departemen Keuangan),
Diwan al-Ziman an-Nafakat (Kantor Perbelanjaan Negara),
Diwan al-Ziman (Kantor Akuntan),

Sejarah Peradaban Islam .......148


Diwan al-Dia (Kantor Harta Milik Negara),
Diwan al-Jund (Kantor Penerangan),
Diwan al-Mawali wa’l Ghilman (Kantor Perlindungan Abdi dan Budak),
Diwan al-Barid (Kantor Pos),
Diwan al-Rasail (Kantor Surat Menyurat/Kesekretariatan),
Diwan al-Toukia (Kantor untuk Memajukan Permohonan),
Diwan al-Nazr fi’l Mazalun (Kantor untuk Menyelidiki Keberatan-
keberatan),
Diwan al-Ahdas wa asy-Syukra (Kantor Milisi dan Polisi) ,
Diwan al-Ata (Kantor Derma, seperti Kasir Umum) .
Dari semua diwan di atas, yang paling populer adalah Diwan al-Barid yang
bertugas memajukan bidang pos dan telekomunikasi serta informasi. Diwan al-Barid
ini didirikan untuk tujuan mengendalikan administrasi wilayah-wilayah propinsi.
Kinerjanya sangat baik. Konon menurut Heredotus, sistem pos pada era al-Manshur
tidak mengenal hujan, badai, ataupun malam, melainkan mereka tetap berkeliling
melaksanakan tugasnya. Para pejabat pos sekaligus bertugas sebagai pejabat intelijen
khalifah, memberikan informasi tentang kepemimpinan para gubernur, termasuk juga
informasi tentang pasukan negara dan kondisi pertanian. Dalam catatan sejarah
petugas pos merupakan satu di antara pendorong kemajuan ilmu geografi.
Semua diwan dikoordinir oleh sebuah institusi yang disebut wazir (setingkat
perdana menteri) sebagai koordinator departemen-departemen atau kantor-kantor
yang ada. Wazir beliau yang pertama adalah Abdul Jahan, dan kemudian diganti
dengan Khalid bin Barnak. Selain itu al-Manshur juga dibantu oleh Abu Ayyub
Muryani, yang pada awalnya adalah budak beliau, namun karena kepintaran dan
kecerdasannya kemudian dipromosikan menjadi wazir. Tiap kantor atau diwan
diketuai oleh seorang direktur yang disebut rais atau sadar, dan pekerjaan
pengawasan dilakukan oleh inspektur yang lazim disebut musyrif atau nazir. Setiap
hari ada muhtasib (pengurus pasar) berkeliling pasar memeriksa neraca (timbangan)
dan sukatan para pedagang.
Al-Manshur berjasa membentuk Undang-undang Dasar. Pada awalnya ide
untuk membuat undang-undang dasar ini datang dari Ibnu Muqaffa (106-145H).
Dalam suratnya kepada al-Manshur ia menganjurkan agar dibuat sebuah undang-
undang dasar yang seragam untuk seluruh negara, dan bahwa undang-undang dasar
itu harus ditulis dan dibukukan. Atas saran Ibnu Muqaffa tersebut khalifah al-
Manshur meminta kesediaan Imam Malik bin Annas agar bukunya yang berjudul al-
Muwatta dijadikan sebagai undang-undang dasar untuk kerajaan Abbasiyah. Tetapi
Imam Malik menolak ide tersebut. Karena itu al-Manshur membentuk undang-
undang dasar lain, yang dinamakan Namus, yang dalam bahasa Yunani disebut
Nomoi.
Bagaimana baiknya perlakuan al-Manshur terhadap Imam Malik
sebagaimana dijelaskan di atas, menunjukkan bahwa beliau hanya keras dalam

Sejarah Peradaban Islam .......149


memerintah. Tetapi untuk urusan agama kedua ulama tersebut tetap dihormati.
Walau Abu Ja’far pernah bentrok dengan Imam Hanafi dan Imam Malik, namun
adalah Abu Ja’far al-Manshur pula yang menetapkan secara formal mazhab sunni
yang diadopsi oleh ahl-sunnah wal jamaah selama era kedinastian Bani Abbasiyah. .
Walaupun beliau keras dalam memerintah, tetapi al-Manshur dikenal sebagai
penguasa yang adil. Sebagai gambaran, pada suatu ketika beliau pernah digugat oleh
seorang pemilik onta. Walaupun beliau adalah seorang khalifah yang memiliki
kekuasaan sangat tinggi, beliau tidak segan dan malu ketika diminta menghadiri
panggilan sidang oleh hakim. Beliau memenuhi panggilan sidang layaknya seorang
hamba hukum biasa. Walaupun dalam persidangan ia terbukti tidak bersalah, namun
beliau tetap menghargai hakim yang begitu ‛nekad‛ berani meminta dirinya
menghadiri gugatan seorang pemilik onta tersebut. Apa yang dilakukan oleh al-
Manshur di atas, sepertinya akan sulit ditemukan di Indonesia pada masa sekarang,
sebab setiap ada orang berpangkat yang dipanggil untuk menghadiri sidang, ada-ada
saja alasannya untuk tidak hadir.
Selain sebagai politikus, negarawan dan penguasa, Abu Ja’far al-Manshur
juga cukup berhasil dalam memajukan ekonomi dan perdagangan, seni, ilmu
pengetahuan dan kebudayaan. Dilihat dari sisi ekonomi, ada sisi positif dan negatif
dari al-Manshur. Di satu sisi ia menjalankan pemerintahan dengan tangan besi.
Tetapi hal ini ada baiknya dari segi pemerintahan dan ekonomi, dimana negara
menjadi stabil dan perekonomian berkembang. Ia banyak membangun kota-kota
baru, membuka jalan, menggali terusan dan sumber-sumber air. Selain itu beliau juga
mendirikan berbagai lembaga pendidikan dan yayasan waqaf. Dari sekian banyak
jasanya, yang tidak kalah pentingnya adalah membangun Baghdad sebagai ibukota
baru.
Sebagaimana diketahui, Ibukota Bani Abbasiyah yang pertama adalah al-
Hasyimiyah di lembah Furat dekat Kufah dan Basrah. Walau al-Hasyimiyah
merupakan daerah yang kaya dan subur, dan di sekitar lembah Furat ini sudah sering
dijadikan sebagai ibukota kerajaan dan pusat peradaban seperti kerajaan Babilon,
Ctesiphon dan Selucia, namun suatu hal yang dipelajari al-Manshur ialah bahwa
temperamen rakyat di kota Bashrah dan Kufah ini tidak tetap, mudah berubah-ubah.
Karena itu al-Manshur memutuskan bahwa daerah ini tidak baik untuk dijadikan
sebagai tempat kedudukan pemerintahan.
Untuk menjaga stabilitas pemeritahan, al-Manshur merasa perlu mencari
lokasi baru, dan pilihannya jatuh ke salah satu daerah di tepian sungai Tigris, yaitu
Baghdad. Pembangunan pertama kota Baghdad dilakukan tahun 762M. Dulunya
daerah di sekitar Baghdad ini oleh Kisra Anusyirwan, raja Persia yang sangat
masyhur karena keadilannya, sering dijadikan sebagai tempat istirahat musim panas.
Baghdad sendiri dalam bahasa Persia berarti ‚Taman Keadilan‛. Dengan
mendatangkan arsitek dan segala macam tenaga ahli (bangunan, pahat, lukis) dan
tukang (batu, kayu) yang paling hebat dan terkemuka saat itu, plus tenaga kerja yang

Sejarah Peradaban Islam .......150


ditaksir tidak kurang dari 100.000 orang, al-Manshur membangun gedung-gedung
megah untuk memerintah di Baghdad tahun 145H/762M. Dalam waktu tidak terlalu
lama Baghdad seperti disunglap menjadi ibukota yang megah. Kota Baghdad yang
dibangun al-Manshur berbentuk bundar, dikelilingi oleh tembok yang tinggi dan
parit yang cukup luas, berfungsi sebagai saluran air sekaligus sebagai benteng untuk
mencegah serangan musuh dari luar. Kota Baghdad memiliki empat buah pintu
gerbang, dan di antara pintu gerbang dibangun puluhan menara untuk mengintai
kalau ada gerakan musuh dari luar. Istana khalifah yang disebut al-Qashr al-Zahabi
(istana emas) tepat berada di tengah-tengah kota Bagjhdad. Sejak itu Baghdad juga
sering disebut sebagai ‚Darul Khilafat‛ (Tempat Kedudukan Khilafat) dan ‚Darus
Salam‛ (Tempat Perdamaian), sebab disinilah al-Manshur menjalankan kekuasaan
duniawi dan rohani. Sejak dipindahkannya ibukota kerajaan ke Baghadad,
pemerintahan Abbasiyah sedikit menjauh dari pengaruh peradaban Arab, dan
semakin dekat dengan pengaruh peradaban Persia, sebab kota ini persis berada di
tengah-tengah bangsa Persia.
Sebagai penguasa al-Manshur tidak hanya pandai memerintah, tetapi juga
sebagai pembangun pendidikan dan pembina aktif berbagai cabang ilmu
pengetahuan. Untuk memajukan pendidikan, al-Manshur memerintahkan para
sarjana Islam untuk menterjemahkan karya-karya ilmiah dan kesusasteraan asing dari
Yunani Kuno, India, Bizantium dan Persia ke dalam bahasa Arab. Termasuk di
antaranya adalah kitab-kitab hasil karya Aristoteles, Almagest karangan Ptolomeus,
koleksi fabel-fabel Hito Padesa, dan kitab-kitab tentang perbintangan dari India.
Hasil karya terjemahan ini oleh para cendekiawan Muslim dipelajari sungguh-
sungguh. Atas semua jasa dan keberhasilannya tersebut, walaupun Bani Abbasiyah
didirikan oleh Abu’l Abbas, tetapi adalah Abu Ja’far al-Manshur yang disebut-sebut
sebagai pembina Bani Abbasiyah yang pertama.

al-Mahdi (158-169H/775-785M)
Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, Abu’l Abbas mewasiatkan untuk
mewariskan kursi kekhalifahan kepada Abu Ja’far al-Manshur, dan jika al-Manshur
wafat maka jabatan khalifah harus diteruskan kepada kemenakannya Isa bin Musa.
Tetapi wasiat Abu’l Abbas ini tidak dipatuhi oleh Abu Ja’far al-Manshur. Waktu al-
Manshur berkuasa, ia berhasil ‛melobby‛ Isa bin Musa untuk mundur. Tidak begitu
jelas apakah al-Manshur berhasil membujuk Isa bin Musa karena alasan agama atau
alasan politis belaka, yang pasti hal tersebut telah memuluskan al-Manshur untuk
mewariskan tahta kepada putranya al-Mahdi (158-169H/775-785M).
Dibanding ayahnya yang keras dan sangat disiplin, al-Mahdi dikenal lebih
lembut, dan lebih dermawan pada rakyat. Segera setelah diangkat menjadi khalifah,
ia melepaskan para tahanan yang di‛cekal‛ oleh pimpinan-pimpinan terdahulu,
termasuk yang dicekal oleh ayahnya. Begitu juga daerah-daerah yang terkekang
selama pemerintahan ayahnya juga dibebaskan. Sebagai pimpinan yang lebih

Sejarah Peradaban Islam .......151


diplomatis, al-Mahdi mampu menjalin hubungan baik dengan negara-negara
tetangga seperti dengan kaisar China dan Tibet, juga dengan penguasa India.
Al-Mahdi berhasil menaklukkan suku Turan di Tabaristan, Isfahan, juga
Gilan, Kurdi (Irak Utara), Iran bagian barat laut, Turki Tenggara. Dalam
menjalankan pemerintahan al-Mahdi banyak dibantu oleh wazir Abu Abdillah.
Dengan dibantu oleh Abu Abdillah, selama sepuluh tahun al-Mahdi memerintah
berjalan dengan aman. Karena pemerintahan berjalan aman, maka perekonomian dan
kesejahteraan masyarakat juga meningkat.
Di masa al-Mahdi banyak kemajuan dalam bidang pembangunan ekonomi,
pertanian, pertambangan dan perdagangan. Perekonomian meningkat, terutama
sektor pertanian karena dibangunnya irigasi. Dengan majunya perekonomian maka
penerimaan negara juga meningkat. Hal ini memungkinkan al-Mahdi membangun
infrastruktur di berbagai bidang. Beliau tidak hanya membangun mesjid-mesjid dan
sekolah-sekolah, tetapi juga membangun sejumlah jalan yang dilengkapi sumber
mata air dan tempat berteduh. Hal ini sangat bermanfaaat bagi pengguna jalan,
terutama mereka yang hendak menunaikan ibadah haji ke Makkah.
Salah satu jasa al-Mahdi yang masih bisa disaksikan pada masa sekarang
adalah membangun kota Baghdad yang baru, tidak jauh dari kota Baghdad lama
yang dibangun ayahnya. Kota Baghdad baru yang dibangun oleh al-Mahdi ini dari
segi keindahan strukturnya jauh lebih hebat dari Baghdad yang lama. Kalau ada
penyair yang menyanjung keindahan kota Baghdad, maka yang dimaksudkannya
adalah kota Baghdad yang dibangun al-Mahdi ini. Dibanding kota Baghdad yang
lama, kota Baghdad yang baru iklimnya sangat sehat, dan tanahnya sangat subur.
Selain sangat cocok untuk jadi pusat pemerintahan, kota Baghdad baru ini juga
sangat baik untuk dijadikan sebagai pusat pengembangan seni dan ilmu pengetahuan.
Karena alasan yang terakhir inilah khalifah-khalifah berikutnya mendirikan lembaga
pendidikan tinggi Nizamiyah dan Mustansyiriyah di Baghdad. Nisamiayh didirikan
paruh pertama abad ke-5 oleh Nizam al-Mulk, wazir pada era kekuasaan Malik Syah,
sultan bangsa Saljuq. Sedang Mustansyiriyah didirikan awal abad ke-7 oleh al-
Mustansir Bi’llah.
Selain aktif membangun prasarana dan sarana ekonomi, sosial dan agama, al-
Mahdi juga giat dalam memajukan pembangunan kerohanian di bidang musik, sastra
dan filsafat. Beliau dianggap berjasa menetapkan dana santunan bagi masyarakat
miskin. Mereka yang tidak mampu diberi bantuan dan tunjangan. Bagaimana untuk
dirinya sendiri dan keluarganya? Seperti ayahnya al-Manshur, al-Mahdi juga tidak
mau menggunakan uang baitul maal untuk membeli baju baru bagi familinya. Corak
pemerintahan yang berpihak pada rakyat ini ternyata memberikan dampak positif
terhadap kemajuan ekonomi dan sosial.
Al-Mahdi memiliki dua orang putra, yaitu Musa dan Harun. Waktu
berperang dengan pasukan Romawi tahun 163H/779M, Musa berjaga di Baghdad,
sedangkan Harun ikut ayahnya al-Mahdi memimpin pertempuran. Dalam peperangan

Sejarah Peradaban Islam .......152


melawan pasukan Romawi tersebut Harun terbukti seorang pemimpin pasukan yang
cakap. Atas prestasinya tersebut, ia diangkat sebagai gubernur untuk seluruh wilayah
barat, termasuk Azerbaijan dan Armenia.
Sebelum al-Mahdi wafat, beliau mengamanatkan agar tahta jatuh ke tangan
putranya yang tertua, yaitu Musa, dan jika Musa mangkat tahta diserahkan kepada
Harun. Sebagai adik, Harun setuju saja. Demikianlah, sewaktu al-Mahdi wafat,
posisinya digantikan oleh Musa al-Hadi (169-170H/785-786M).
Tetapi setelah berkuasa ternyata Musa arogan. Ia kurang menghargai kaum
Mawali, padahal kaum Mawali ini sangat berjasa dalam menumbangkan Bani
Umayah. Selain itu Musa kurang begitu yakin terhadap persetujuan dan dukungan
Harun. Untuk menggerogoti kekuatan dan kekuasaan Harun, beberapa pembantu
utama Harun, di antaranya Yahya ibn Khalid al-Barmaki, dipenjarakan oleh Musa.
Hal ini tentu saja membuat Harun berang, sebab Yahya bin Khalid (w.190H/805M)
ini sangat berjasa dalam membesarkan dan mendidik Harun. Saking dekatnya
hubungan di antara keduanya, Harun memanggil ‛Ayah‛ pada Yahya. Sejak
dipenjarakanya Yahya, hubungan Abang-Adik ini menjadi renggang.
Untuk menghindari konflik dengan abangnya, Harun meninggalkan istana.
Tetapi nampaknya Musa belum puas. Untuk mengangkangi kekuasaan, ia
mewariskan tahta kepada anaknya Ja’far. Langkah yang dilakukan Musa ini
dianggap Harun sudah keterlaluan, sebab sesuai wasiat ayah mereka al-Mahdi,
kedudukan Musa al-Hadi akan digantikan oleh adiknya jika meninggal dunia. Harun
dibantu oleh para pendukungnya yang setia berhasil memaksa Musa turun dari tahta.
Sejak itu Dinasti Abbasiyah dipimpin oleh orang yang lebih kuat dan mempunyai
visi yang lebih cemerlang, yaitu Harun al-Rasyid.

Harun al-Rasyid (170-193H/786-809M)


Langkah pertama yang dilakukan oleh Harun ketika berkuasa adalah
melepaskan Yahya ibn Khalid dari penjara, dan melantiknya sebagai wazir (setara
perdana menteri). Untuk urusan keuangan publik ia meminta bantuan Abu Yusuf
sebagai qadi (hakim) dan kemudian dipromosikan menjadi qadi al-qudah (hakim
agung). Di bawah kekuasaan Harun al-Rasyid yang dibantu oleh wazir Yahya ibn
Khalid serta qadi al-qudah Abu Yusuf, dicapai kemajuan yang luar biasa baik dalam
politik dan militer, juga dalam perekonomian dan pendidikan.
Di bawah kepemimpinan Harun al-Rasyid dinasti Abbasiyah dalam waktu
relatif singkat berhasil menguasai beberapa bekas wilayah kekuasaan Bizantium dan
kekaisaran Sasaniah. Wilayah kekuasaan Islam di bawah Harun al-Rasyid mencakup
Iran, Syria, Armenia, Afrika Utara, Afrika Tengah, Sudan, Mesir, Spanyol, Asia
Tengah. Sekanjutnya oleh Harun wilayah Mesopotamia dijadikan sebagai al-wasim
(daerah istimewa).
Sebagai penguasa, Harun al-Rasyid sering dibandingkan dengan Umar bin
Khattab. Seperti halnya Umar bin Khattab, Harun al-Rasyid juga seorang penguasa

Sejarah Peradaban Islam .......153


yang keras, dan tidak sedikit yang menganggapnya sebagai diktator. Kenyataannya,
ia tidak segan-segan memancung leher pihak-pihak yang menentang kekuasaannya.
Tetapi disisi lain ia juga dikenal sebagai penguasa yang dermawan dan sangat
memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Untuk pribadi ganda seperti ini agaknya
Harun al-Rasyid lebih tepat disebut sebagai ‚benevolent dictator‛.
Salah satu kontribusi Harun adalah membangun kota Tarsus, dan
mempermegah kota Baghdad. Walau kota Baghdad sudah hebat dibangun oleh
pendahulunya al-Mahdi, namun adalah pada era Harun al-Rasyid kota Baghdab
menjadi kota metropolitan termegah, tidak hanya di dunia Islam, tetapi juga
diseluruh dunia waktu itu. Sebagai kota metropolitan, Baghdad tidak hanya menjadi
pusat politik dan pemerintahan, tetapi juga pusat perdagangan dan ekonomi, pusat
agama, pendidikan dan peradaban.
Dibawah kepemimpinan Harun yang tegas, politik dan pemerintahan Bani
Abbasiyah berjalan stabil. Berkat manajemen pemerintahan yang baik, dan didukung
oleh politik yang stabil, perekonomian dapat pula berkembang dengan baik. Pada
masa Harun berkuasa Baghdad mampu menyediakan hampir semua kebutuhan
penduduk terhadap berbagai barang dan jasa yang diperlukan. Baghdad menjadi lalu
lintas perdagangan antar negara. Para pedagang dapat berbisnis dengan aman, dan
para palancong dapat melakukan perjalanan dengan nyaman.
Pesatnya kemajuan ekonomi disegala sektor didukung oleh adanya sarana
dan prasarana pelabuhan yang sangat memadai. Pelabuhan besar yang dikelola waktu
itu seperti Teluk Persia dan Laut Merah sangat sibuk karena aktifnya perdagangan
dengan India. Begitu juga pelabuhan Syria dan Mesir (yang lebih dikenal dengan
Alexandria) serta pelabuhan Sisilia dan Gibraltar tidak kalah ramainya memfasilitasi
perdagangan dengan Eropa. Tersedianya sarana dan prasarana pelabuhan
menyebabkan kegiatan ekspor dan impor menjadi lancar. Hubungan perdagangan
dengan Cina yang waktu itu juga mengalami revolusi komersil berjalan baik dan
saling menguntungkan. Begitu juga hubungan dagang dengan Afrika Utara, Turki
dan Asia Tengah, semuanya berjalan lancar. Karena perdagangan lancar,
perekonomian berkembang sangat pesat.
Pada masa Harun al-Rasyid dibentuk sebuah badan bernama nazir al-sikkah
(pengawas mata uang), dengan tugas mengawasi semua jenis mata uang yang
dipakai dalam transaksi. Dengan berfungsinya nazir al-sikkah tersebut maka dinar
menjadi standar yang terjaga nilainya. Selain berhasil menjaga stabilitas nilai mata
uang, Harun al-Rasyid dengan bantuan Abu Yusuf juga berusaha menerapkan pajak
yang adil baik bagi warga Muslim maupun non-Muslim di daerah-daerah
taklukannya. Hanya saja, walaupun sudah dirancang dengan baik, tetapi ada saja
gubernurnya yang nakal, yang menerapkan pajak yang memberatkan warga non-
Muslim. Di antara gubernurnya yang suka menindas warga non-Muslim dan korup
tersebut adalah ’Ali bin Isa, gubernur Khurasan. Pada tahun 189H/804
ketidaksenangan rakyat Khurasan terhadap kepemimpinan ’Ali bin Isa mencapai

Sejarah Peradaban Islam .......154


puncaknya. Untuk mengatasi masalah, Harun al-Rasyid memerintahkan Harthamah
bin A’yan untuk menangkap dan memenjarakan ’Ali, dan menunjuk salah seorang
putranya, al-Ma’mun, menjadi gubernur di Khurasan. Keadaan menjadi tenang
setelah al-Ma’mun mendeklarasikan beberapa perubahan fiskal yang lebih adil bagi
rakyat Khurasan.
Harun al-Rasyid sadar bahwa ia bisa memerintah dengan baik karena dibantu
oleh banyak pihak. Sebagai balasan atas sumbangan dan prestasi para pembantunya,
Harun memberikan penghargaan yang tinggi bagi hakim, wazir, orator dan ahli
hadis. Selain itu para penyanyi, penyair, dan musisi sering diundang untuk
mempertunjukkan kebolehan mereka di istana. Di lembaga pendidikan tinggi al-
Hikmah yang didirikannya, para intelektual dapat menuntut ilmu dan mengajar
tanpa tekanan. Dengan semua hal yang dilakukan Harun di atas, dapat dikatakan
bahwa peradaban Arab Persia dari Bani Abbasiyah mencapai kemajuan paling
gemilang di bawah Harun al Rasyid. Populeritas Harun al-Rasyid melegenda ke
seluruh pelosok dunia hingga sekarang berkat ‛Kisah 1001 Malam‛.

al-Amin (193-198H/809-813M)
Harun memiliki duabelas orang putera. Dari keduabelas putera Harun
tersebut, hanya al-Amin yang berdarah murni Arab, yang merupakan hasil
perkawinan antara Harun dengan sepupunya Zubaidah. Sedangkan yang selebihnya,
termasuk al-Ma’mun dan al-Mu’tashim, adalah hasil perkawinan Harun dengan isteri
-isterinya orang Mawali (budak). Walau al-Amin lebih muda, namun dalam
wasiatnya Harun menetapkan al-Amin dalam urutan putra mahkota yang pertama,
baru kemudian al-Ma’mun dan al-Qasim.
Sesuai wasiat tersebut, waktu Harun al-Rasyid wafat tahun 193H/809M,
maka jabatannya sebagai khalifah digantikan oleh putra mahkota al-Amin (193-
198H/809-813M), sedangkan al-Ma’mun tetap sebagai gubernur di wilayah-wilayah
Timur di Khurasan, dan al-Mu’tashim sebagai gubernur di Awasim. Untuk
menegaskan kedaulatannya sebagai penguasa baru, termasuk di wilayah Khurasan, al
-Amin melakukan serangkaian tindakan yang kurang bersahabat terhadap al-
Ma’mun. Bahkan ia juga membebaskan ’Ali bin Isa yang dulu dihukum oleh ayahnya
karena korup dan menetapkan kebijakan perpajakan yang tidak adil di Khurasan,
serta mempromosikannya menjadi seorang pejabat di kalangan istana.
Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa al-Amin adalah putra Harun al-Rasyid
dengan isterinya Zubaidah yang keturunan Arab, sedang al-Ma’mun adalah putra
Harun dengan isteri lainnya dari keturunan Persia. Berbagai tindakan al-Amin yang
cenderung pro pada orang-orang Arab dan sangat kentara memojokkan orang-orang
Persia, khususnya Khurasan, akhirnya menimbulkan permusuhan dengan al-Ma’mun.
Dalam permusuhan bersaudara ini kalangan Arab mendukung al-Amin, sementara
warga Persia, khususnya orang-orang Khurasan, mendukung al-Ma’mun. Akhirnya
terjadilah perang saudara.

Sejarah Peradaban Islam .......155


Pada saat berkecamuknya perang saudara tahun 195H/810M, al-Amin
memerintahkan ’Ali bin Isa menyerbu Khurasan dengan kekuatan tentara tidak
kurang dari 40.000 personil. Tetapi al-Ma’mun tidak lengah. Walau ia hanya
memiliki tentara sekitar 4.000 personil, tetapi dengan dibantu oleh panglima Thahir
bin al-Hussayn yang ahli strategi perang, serangan ’Ali bin Isa berhasil dipatahkan.
Bahkan dalam pertempuran tersebut ’Ali bin Isa berhasil dibunuh. Begitu juga al-
Amin berhasil dibunuh tiga tahun kemudian. Untuk periode selanjutnya jabatan
khalifah dipegang oleh al-Ma’mun.

al-Ma’mun (198-218H/813-833M).
Al-Ma’mun bukanlah tipe penguasa yang haus kekuasaan. Walau ia sudah
menjabat sebagai khalifah, namun ia lebih banyak menghabiskan waktunya belajar
filsafat di Merv, sedangkan urusan kenegaraan diserahkan pada wakilnya Fadl ibn
Sahal. Dilihat dari intelektualitasnya dan pribadinya yang tidak haus kekuasaan ini,
al-Ma’mun sedikit mirip dan memang sangat memuja tokoh idolanya, yaitu Ali bin
Abi Thalib. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan yang dilakukannya, yaitu
memerintahkan rakyatnya untuk memuliakan Ali r.a. sebagai manusia paling mulia
di bumi ini sesudah Nabi Muhammad SAW. Beliau juga melarang rakyatnya
memakai baju hitam, yang selama ini dijadikan sebagai lambang perjuangan
Abbasiyah, dan menggantinya dengan baju hijau, lambang perjuangan Ali.
Puncak dari kecintaannya pada Ali, juga dalam upayanya mengembalikan
prinsip pemerintahan ke demokrasi Islam yang mewajibkan jabatan khalifah harus
dengan pemilihan rakyat, pada tahun 202H/817M al-Ma’mun mengeluarkan sebuah
keputusan yang sangat mengejutkan, yaitu mencalonkan Imam Ali al-Ridha ibn
Musa al-Kadzim, keturunan Ali, Imam kedelapan Syiah Duabelas, pimpinan Syiah
yang berpengaruh waktu itu, sekaligus juga iparnya karena al-Ridha kawin dengan
saudara perempuannya Umm ul-Fazl, untuk dipilih sebagai khalifah jika ia kelak
meninggal dunia. Dalam hal ini beliau ingin mengikuti jejak Abu Bakar dan Umar
bin Khattab, yang mengemukakan calon khalifah atau menyerahkan urusan
pemilihan pemimpin kepada majlis syura’. Hal ini sesuai dengan pandangan kaum
mu’tazilah yang sedang populer waktu itu, bahwa jabatan khalifah harus diserahkan
kepada orang yang paling pantas.
Berbagai kebijakan yang ditempuh oleh al-Ma’mun di atas dilakukan beliau
sambil tetap ‛bersemedi‛ bejalar filsafat di Merv. Hal ini kontan membuat rakyat
pendukung Abbasiyah berang, terutama mayoritas keluarganya yang berdarah
monarki. Lagipula, sesuai wasiat Harun al-Rasyid, tahta harus diurut bergantian di
antara ketiga anaknya: al-Amin, al-Ma’mun dan al-Qasim. Atas hasutan keluarganya
yang berdarah monarki, rakyat melakukan protes dimana-mana. Ada pula yang
melakukan pemberontakan. Pada puncaknya, rakyat yang menolak pencalonan Imam
Ali al-Ridza memutuskan untuk menurunkan al-Ma’mun dari tahta, dan mengangkat
Ibrahim ibn al-Hadi sebagai penggantinya.

Sejarah Peradaban Islam .......156


Dalam suasana kerajaan yang kacau ini al-Ma’mun terpaksa ‛turun gunung‛
dari pustakanya di Merv ke ibu kota Baghdad. Dalam perjalanan ia mendengar
khabar wakilnya Fadl al-Sahal terbunuh. Juga Imam Ali al-Ridza meninggal karena
diracuni oleh salah seorang keluarga Abbasiyah yang tidak senang dengan langkah-
langkah yang dilakukan al-Ma’mun. Dengan demikian, rencana al-Ma’mun agar
Imam Ali al-Ridza diangkat sebagai khalifah jika ia meninggal tidak pernah menjadi
kenyataan, karena ia wafat lebih duluan dari al-Ma’mun. Setibanya di Baghdad, al-
Ma’mun yang dibantu oleh panglimanya yang setia, Thahir bin al-Husseyn, berhasil
memulihkan keadaan. Sejak itu beliau lebih aktif mengurus pemerintahan dan
rakyatnya. Atas jasa-jasanya, Thahir diangkat al-Ma’mun menjadi gubernur di
Khurasan. Untuk membantu menjalankan pemerintahan di Khurasan, Thahir
mengangkat Abu Ubayd sebagai qadi.
Setelah berhasil menstabilkan keadaan, al-Ma’mun mulai menata
pemerintahan. Selain berbagai diwan yang sudah ada sejak al-Manshur berkuasa,
pada era al-Ma’mun juga didirikan suatu diwan khusus yang terdiri dari wakil-wakil
golongan masyarakat yang berjanji setia kepada khalifah. Dengan demikian hak-hak
orang Buy, Saman, Saljuq dan Ayyub, semuanya terwakili. Juga ada Dewan
Penasehat yang terdiri dari wakil-wakil dari semua golongan di bawah pemerintahan
al-Ma’mun sebanyak 17 orang mewakili kelompok masyarakat Islam, Yahudi,
Kristen dan Zoroaster, sementara itu hak-hak dan hak istimewa kekuasaan gereja
Kristen diatur dengan teliti dan dijamin (Ali, 1978).
Dalam sebahagian buku sejarah Islam, yang sering disebut-sebut sebagai
periode keemasan ialah era pemerintahan Harun al-Rasyid. Walau harus diakui
bahwa Harun al-Rasyid lebih populer, tetapi tidak sedikit pula pengamat menilai
bahwa anaknya al-Ma’mun lebih hebat. Al-Ma’mun adalah seorang intelektual yang
cerdas, bijak, adil, disamping juga pemberani. Kunci suksesnya ialah bahwa beliau
dikelilingi oleh orang-orang yang kompeten di bidangnya masing-masing. Dalam
menata pemerintahan al-Ma’mun dibantu oleh dua bersaudara Fadhal bin Sahal dan
Hasan bin Sahal sebagai wazir atau perdana menteri. Dalam urusan keuangan dan
kehakiman, di pusat al-Ma’mun dibantu oleh hakim agung Abu Yusuf yang juga
sudah lama mengabdi pada ayahnya Harun, dan di Khurasan panglima Thahir
dibantu oleh Abu Ubayd. Berkat bantuan Abu Yusuf di pusat dan Abu Ubayd di
wilayah Khurasan, al-Ma’mun mampu memajukan ekonomi dan kesejahteraan
rakyatnya sehingga mencapai suatu taraf paling tinggi yang oleh para ahli-ahli
sejarah disebut sebagai periode puncak keemasan dalam Islam. Terlepas dari
perbandingan antara ayah dan anak tersebut, lebih tepat kalau dikatakan pada
periode al-Rasyid dan al-Ma’mun pemerintahan dan terlebih lagi perekonomian dan
kebudayaan dinasti Abbasiyah mencapai puncak kejayaan. Tidak ada yang
menampik bahwa pemerintahan al-Rasyid dan al-Ma’mun menandai kemajuan
terhebat dalam sejarah Islam.
Walau al-Ma’mun sangat berhasil dalam banyak hal, mulai dari politik,

Sejarah Peradaban Islam .......157


pemerintahan, ekonomi, perdagangan, juga seni dan budaya, tetapi pada tahun
terakhir pemerintahannya beliau dianggap melakukan ‚blunder‛ sewaktu
memaksakan mu’tazilah sebagai doktrin resmi pemerintah Abbasiyah pada tahun
218/833. Walau paham rasionalis mu’tazilah telah memberi dampak yang sangat
positif bagi kemajuan ilmu pengetahaun sebagaimana yang akan diuraikan pada
bagian terakhir bab ini, namun langkah al-Ma’mun memaksakan aliran mu’tazilah
sebagai doktrin negara tidak disetujui semua golongan Islam yang ada waktu itu.
Terutama mazhab Hambali yang merupakan aliran ortodoks sangat menentang
doktrin rasionalisme tersebut. Perseteruan antara kaum mu’tazilah dengan Islam
ortodoks membawa implikasi panjang bagi persatuan dan kesatuan Islam era Bani
Abbasiyah.

B. Pengaruh Turki Pertama (232-334H/847-945M)


Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa selama satu abad dalam perhitungan
tahun hijriah, tepatnya periode 132-232H/750-847M, pemerintahan Negara Islam
dipengaruhi oleh suku Persia. Periode pertama ini disebut-sebut sebagai periode
keemasan dinasti Abbasiyah, dimana terjadi synergy antara budaya Arab dengan
Persia, dan khalifah kuat secara politik maupun agama. Tetapi sejak terjadinya
perpecahan antara aliran ortodoks dengan aliran mu’tazilah, dan kemudian
pemerintahan dipimpin oleh raja-raja yang lemah, mereka mulai didikte oleh orang-
orang Turki yang awalnya adalah para budak. Periode dimana dinasti Abbasiyah
dikendalikan oleh Turki budak ini berlangsung kurun waktu 232-334H/847-945M.

al-Mu’tashim (218-227H/833-842M)
Waktu al-Ma’mun sakit, adiknya al-Mu’tashim mengumumkan dirinya
sebagai khalifah. Hal ini sebetulnya sudah sesuai dengan wasiat Harun al-Rasyid,
yang menyebutkan agar tahta diserahkan secara berurutan dari al-Amin ke al-
Ma’mun dan al-Mu’tashim. Tetapi langkah al-Mu’tashim ini tidak disetujui oleh
Abbas, putra al-Ma’mun. Untuk memperkuat dirinya sekaligus untuk mengimbangi
persaingan antara Arab dan Persia, al-Mu’tashim mendatangkan budak-budak dari
Turki dan kemudian diangkatnya sebagai tentara reguler pasukan kerajaan. Berkat
bantuan para budak Turki tersebut perlawanan dari kubu Abbas berhasil dipatahkan.
Setelah berhasil mematahkan gerakan perlawanan dari Abbas, al-Mu’tashim
membalas jasa para Turki budak tersebut dengan memberi peluang kepada mereka
untuk berperan dalam pemerintahan. Inilah awal keterlibatan orang-orang Turki
budak dalam pemerintahan Dinasti Abbasiyah.
Karena suasana di kota Baghdad kurang nyaman, tahun 836M al-Mu’tashim
memindahkan ibukota ke Samarra’, sekitar 60 mil dari Baghdad. Bagitupun situasi
pemerintahan tidak pernah stabil. Orang-orang Turki budak yang diberi peluang
dalam pemerintahan makin lama makin berkuasa, dan akhirnya al-Mu’tashim
sendiri hanya sebagai boneka dari pengawal budak Turki tersebut. Khalifah diberi

Sejarah Peradaban Islam .......158


semua kesenangan duniawi, para keluarga istana dibiarkan melakukan korupsi, tetapi
pola pemerintahan, politik, juga ekonomi, diatur oleh Turki budak. Pemerintahan
semakin jauh dari syari’ah. Penguasa yang suka berfoya-foya semakin terperangkap
dekadensi moral, sedang rakyat tidak diurus, dan pendidikan diabaikan.

al-Wathiq (227-232H/842-847M)
Waktu al-Mu’tashim wafat tahun 227H/842M, jabatan khalifah dipegang
oleh anaknya, al-Wathiq (227-232H/842-847M). Dibanding ayahnya al-Mu’tashim,
al-Wathiq lebih cakap dalam memerintah. Ia juga lebih mahir di bidang seni, dan
memiliki perhatian yang lebih tinggi terhadap kelompok masyarakat miskin. Beliau
aktif memajukan perpustakaan. Begitu juga perdagangan dan perindustrian
berkembang cukup baik. Semua ini berkat kerja keras Abdul Malik Zayyat sebagai
wazir, seorang yang sangat cakap dan tegas dalam pendirian.
Tentang Abdul Malik Zayyat, ia sudah menduduki jabatan sebagai wazir
sewaktu ayahnya al-Mu’tashim berkuasa. Pernah Mu’tashim memerintahkan kepada
Abdul Malik Zayyat untuk memberikan sejumlah uang kepada puteranya, al-Wathiq.
Akan tetapi Zayyat menasehati al-Mu’tashim untuk tidak melakukan hal tersebut.
Wathiq yang mengetahui hal ini sangat dendam kepada Zayyat, dan dalam hati
berjanji akan membunuh Zayyat jika ia berkuaa kelak. Tetapi waktu al-Wathiq
menduduki kursi kekhalifahan menggantikan ayahnya, ia tidak jadi melaksanakan
niatnya karena tidak berhasil menemukan seorangpun yang memiliki kecakapan
untuk menggantikan Zayyat sebagai wazir. Akhirnya, selain tetap mempertahankan
Zayyat sebagai wasir, ia bahkan diberi tanggungjawab yang lebih besar sebagai
wazarah tafurdh atau Perdana Menteri, yang berarti memegang seluruh
tanggungjawab kekuasaan negara.
Al-Wathiq tidak lama memerintah dan meninggal dalam usia muda. Salah
satu persoalan yang muncul waktu al-Wathiq meninggal ialah bahwa beliau belum
sempat menunjuk penggantinya. Hal ini menimbulkan gonjang-ganjing tentang siapa
yang harus menjadi khalifah. Waktu itu ada yang menyarankan agar anaknya yang
masih berusia sangat muda, Muhammad, ditetapkan sebagai penerus. Tetapi para
perwira Turki budak menyarankan lebih baik memilih Ja’far al-Mutawakkil, saudara
al-Wathiq, sebagai penerus tahta. Akhirnya, desakan para perwira Turki budak ini
yang diterima.

al-Mutawakkil (232-247H/847-861M)
Seperti sudah disinggung sebelumnya, orang-orang Turki budak sudah mulai
masuk ke dalam ketentaraan dan pemerintahan Bani Abbasiyah sejak era al-
Mu’tashim. Walau para Turki budak ini diberi peran cukup berarti di militer dan
pemerintahan, namun oleh al-Mu’tashim dan begitu juga oleh al-Wathiq, orang-
orang Turki budak ini masih bisa dikendalikan. Tetapi di bawah al-Mutawakkil yang
lemah, justru orang-orang Turki budak yang lebih mengendalikan. Faktanya, Ja’far al

Sejarah Peradaban Islam .......159


-Mutawakkil bisa naik tahta adalah karena pengaruh perwira Turki budak. Inilah
awal orang-orang Turki budak menguasai Dinasti Abbasiyah, sekaligus awal
kemunduran Dinasti Abbasiyah. Walaupun khalifah masih dipegang oleh Bani
Abbasiyah, namun berbagai keputusan penting yang harus diambil oleh khalifah
harus mendapat persetujuan orang-orang Turki budak terlebih dahulu. Dalam
pemerintahan yang didominasi para Turki budak ini, pola pemerintahan, politik,
tidak terkecuali ekonomi, semakin jauh dari syari’ah. Penguasa mulai banyak yang
korup, suka berfoya-foya, dan terperangkap dekadensi moral.
Dalam memerintah al-Mutawakkil (232-247H/847-861M) yang dikendalikan
oleh Turki budak banyak melakukan tindak semberono. Sebagai misal, ia memecat
ibn Muzayyat yang sudah teruji kemampuannya dari jabatannya sebagai gubernur,
juga memberhentikan para perwira yang tidak mendukung pencalonannya sebagai
khalifah. Selain itu al-Mutawakkil juga tidak toleran terhadap kaum Syiah,
sebagaimana yang ditunjukkan oleh al-Ma’mun, al-Mu’tashim dan al-Wathiq. Ia
ditengarai memerintahkan untuk merobohkan makam Husein di Karbala, mengambil
tanah perkebunan Fadak yang pernah disita oleh Marwan dan diserahkan kembali
oleh Umar ibn Abdul Azis, tetapi kemudian ditarik kembali oleh al-Mutawakkil.
Selain itu ia memerintahkan pemberangusan terhadap aliran mu’tazilah.
Tindakannya memecat pejabat-pejabat yang kompeten dan perlakuannya yang tidak
akomodatif terhadap kelompok Syiah serta melarang aliran mu’tazilah telah
menyebabkan timbulnya gerakan-gerakan perlawanan serta konflik di tengah-tengah
masyarakat.
Al-Mutawakkil meninggal tahun 247H/861M. Tentang penyebab
kematiannya sedikit kontroversial. Ada yang mengatakan bahwa ia mati dibunuh
oleh seorang pengawal pribadinya yang berasal dari Turki budak. Tapi menurut
Ahmad (2001) al-Mutawakkil mati dibunuh oleh anaknya sendiri, al-Muntasir.
Sekedar untuk diketahui, al-Mutawakkil memiliki tiga orang putra, yaitu Muntasir,
Mu’taz dan Muayyid. Atas saran para pembesar Turki budak, khalifah al-
Mutawakkil menobatkan terlebih dahulu Mu’taz daripada Muntasir. Pewarisan tahta
yang tidak lazim ini tentu saja membuat al-Muntasir sebagai putra tertua berang,
dan memutuskan untuk membunuh ayahnya sendiri. Setelah membunuh ayahnya
Muntasir juga berusaha menyingkirkan kedua saudaranya Mu’taz dan Muayyid.
Tetapi al-Muntasir hanya memerintah satu tahun
Sudah sejak era al-Mutawakkil imperium Abbasiyah goyah. Khalifah yang
berkuasa pada hakekatnya hanya boneka mainan dari para perwira Turki budak.
Khalifah-khalifah Abbasiyah berikutnya mulai dari al-Muntasir (247-248H/861-
862M), al-Musta’in (248-252H/862-866M), al-Mu’taz (252-255H/866-869M), al-
Muhtadi (255-256H/869-870), al-Mu’tamid (279-289H892-902M), al-Mu’tazid (289
-295H/902-908M), al-Muqtadir (295-320H/908-932M), hingga al-Muttaqi (329-
333H/940-944M), semuanya tidak lebih dari sekedar boneka-boneka yang bisa
dipermainkan oleh para perwira Turki budak. Bahkan merekalah yang lebih

Sejarah Peradaban Islam .......160


menentukan siapa yang layak diangkat sebagai khalifah. Kalau mereka tidak
berkenan, dengan mudah mereka bisa mencopot khalifah dan menggantinya dengan
yang lain. Kalau perlu melalui pembunuhan. Menurut Bojena Gajane Stryzewska
dalam ‚Tarikh al-Daulah al-Islamiyah‛, dari duabelas khalifah pada periode
kekuasaan Turki budak ini, hanya empat orang yang wafat dengan wajar. Selebihnya
kalau bukan dibunuh, diturunkan dengan paksa (Yatim, 2006).
Sepeninggal Muntasir jabatan khalifah dialihkan pembesar Turki kepada
Ahmad bin Muhammad bin Mu’tashim yang bergelar Musta’in (248-252H/862-
866M). Karena Musta’in kurang ‚kooperatif‛ dengan para pembesar Turki, bahkan
pernah berencana menghukum mereka, maka Musta’in diberhentikan dan diganti
dengan adik Muntasir, yaitu Mu’taz bin Mutawakkil. Sedang Musta’in sendiri
diasingkan ke Wasith, dan dibunuh disana. Tetapi nasib al-Mu’taz tidak berbeda
dengan al-Musta’in yang digantikannya. Khalifah al-Mu’taz (252-255H/866-859M)
pernah dikurung oleh tentara Turki di dalam istananya sendiri, dipukul dan dikoyak
pakaiannya, disuruh berdiri di bawah terik matahari dengan kaki diangkat sebelah
silih berganti, juga ditampari mukanya dan disemprot dengan kata-kata ejekan dan
hinaan yang luar biasa, tetapi kepada rakyat diumumkan bahwa khalifah dan seluruh
keluarganya dalam keadaan aman di bawah perlindungan tentara Turki. Setelah puas
ditampar, dihina, dicaci maki, khalifah al-Mu’taz dimasukkan ke dalam kamar, tidak
diberi maka dan minum, hingga meninggal dalam keadaan sangat mengenaskan
tanpa seorangpun mengetahui (Ahmad, 2001).
Al-Mu’taz hanya memerintah tiga tahun. Selanjutnya jabatan khalifah
dipegang oleh al-Muhtadi (255-256H/869-870M). Beliau termasuk rajin beribadah,
dan mau memperhatian rakyat. Tetapi secara politik ia tetap dikendalikan oleh para
pembesar Turki. Nasibnya tidak lebih baik dari khalifah-khalifah pendahulunya.
Karena al-Muhtadi berusaha melawan tekanan pembesar Turki, ia dicopot dari kursi
khalifah dan disiksa hingga mati bulan Rajab tahun 256H. Posisi al-Muhtadi
digantikan oleh al-Mu’tamid (256-279H/870-892M) yang dikeluarkan dari penjara
Jausak sejak era Muhtadi. Sebagai khalifah boneka ia diperkenankan menikmati
segala kenikmatan dunia, tetapi apa-apa yang harus dilakukannya harus atas restu
pembesar Turki.
Sepeninggal al-Muhtadi jabatan khalifah diserahkan kepada Abu’l Abbas
bergelar al-Mu’tazid (279-289H/892-902M). Ia cukup baik dalam memerintah, dan
berhasil mengembalikan kebesaran Abbasiyah. Al-Mu’tazid cukup disegani lawan-
lawan politiknya dan disenangi rakyat. Pada masanya kehidupan politik dan
perekonomian berjalan baik. Sebagai pemimpin yang adil ia menghapus pajak-pajak
yang memberatkan. Karena berbagai kelebihan tersebut, selain Abu’l Abbas digelari
al-Mu’tazid, beliau juga digelari sebagai as-Saffah II. Beliau cukup beruntung
meninggal dalam keadaan wajar, tidak dibunuh atau diberhentikan seperti khalifah-
khalifah terdahulu. Sepeninggal al-Mu’tazid jabatan khalifah turun ke putranya Abu
Muhammad bergelar Muktafi Bi’llah 289-295H/902-908M) dan kemudian diteruskan

Sejarah Peradaban Islam .......161


ke al-Muqtadir (295-320H/908-932M) yang waktu itu baru berusia 13 tahun.
Muqtadir memerintah dalam suasana sangat kacau. Baru saja ia dilantik, ada
upaya untuk menggantikan posisinya oleh Abdullah bin Mu’taz. Tetapi untunglah
para pendukung Muqtadir berhasil mengembalikannya ke tahta kerajaan. Tetapi
tetap saja suasana pemerintahan sangat kacau dan penuh fitnah. Sehubungan dengan
hal ini dapat dikatakan bahwa dinasti Abbasiyah mengalami kemerosotan politik
paling rendah waktu dipimpin oleh al-Muqtadir. Selama memerintah terjadi duabelas
kali pergantian kabinet, dan bahkan wazir seperti Ibnu Fourat dan Ali bin Isa juga
dipecatnya. Ia banyak memecat para pejabat atas hasutan saudara-saudaranya serta
atas perintah ibu surinya Sayyidah. Kalaupun al-Muqtadir seperti orang yang
berkuasa, tetapi yang sesungguhnya memegang kendali pemerintahan adalah orang-
orang Turki budak, sedang urusan keuangan dikendalikan oleh wazir yang
berkolaborasi dengan bankir Yahudi. Kalifah sendiri hanyalah boneka dengan segala
kemewahan duniawi. Untuk melayani dirinya, konon Muqtadir memiliki 11 ribu
kasim dan ribuan budak dari Sisilia, Roma dan Ethiopia.
Kotornya kehidupan politik, dan sebahagian ulama justru terlibat dalam
politik praktis yang kotor tersebut, telah mengakibatkan terpecahnya pendapat para
ulama. Di antara para ulama sering terjadi perbedaan yang tajam dalam menafsirkan
Qur’an dan hadis terhadap suatu persoalan. Bahkan, sebahagian ulama yang
bermental lemah enggan mengeluarkan pendapat karena takut pendapatnya tersebut
dapat menimbulkan perpecahan yang lebih luas di tengah-tengah masyarakat. Dalam
melakukan ijtihad para ulama tidak lagi mengakomodasikan kebutuhan masyarakat.
Hal ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa mereka semakin tidak konsisten dalam
mengeluarkan fatwa. Misalnya, dalam Qur’an ditegaskan bahwa ‚Allah
menghalalkah jual beli dan mengharamkan riba‛, tetapi dalam kenyataannya sering
dilanggar.
Masuknya kembali riba dalam perekonomian Islam adalah karena
dilibatkannya para bankir Yahudi oleh para penguasa korup. Penguasa perlu
menggunakan jasa bankir Yahudi karena waktu Muqtadir berkuasa (908-932M),
beredar banyak jenis mata uang. Untuk membedakan satu jenis mata uang dengan
yang lainnya diperlukan keahlian khusus, yang kebetulan hanya dimiliki oleh orang-
orang Yahudi, yaitu sebagai naqid, sarraf, dan jihbiz. Selain karena keahlian mereka,
para bankir Yahudi mudah diajak ‚berkompromi‛ oleh penguasa untuk menilep uang
negara. Para bankir Yahudi inilah yang memperkenalkan untuk pertama kalinya
praktek perbankan dalam sejarah Islam.
Dinasti Abbasiyah semakin lemah sewaktu al-Muqtadir digantikan oleh al-
Kahir (320-322H/932-934M), ar-Razi (322-329H/934-940M), dan al-Muttaki (329-
333H/940-944M). Khalifah ar-Razi memerintah di bawah bayang-bayang kekuasaan
Ibnu Raiq. Yang lebih tragis lagi, al-Muttaki dibunuh dengan mata dicongkel oleh
panglima Turki bernama Touzon. Jabatan khalifah kemudian diteruskan ke al-
Mustakfi.

Sejarah Peradaban Islam .......162


C. Era Dominasi Bani Buwaihiyah (334-447H/945-1055M)
Untuk mengimbangi tekanan kelompok Turki budak, al-Mustakfi (333-
334H/944-946) meminta bantuan kepada Ahmad al-Buwayh, pemimpin suku
Buwaihiyah yang berkedudukan di Ahwaz. Suku Buwaihiyah adalah orang-orang
Turki dari Gilan yang sudah sejak lama bermukim di Iran yang berhasil mendirikan
kekuasaan mandiri di sepanjang pantai Caspia tahun 932M. Tokoh utama Bani
Buwaihiyah adalah Abu Syuja’ Buwayh, yang awalnya hanya seorang pencari ikan di
Dailam. Karena profesi sebagai nelayan waktu itu kurang menjanjikan, ia dan ketiga
anak-anaknya: Ali, Hasan dan Ahmad memilih masuk dinas militer. Prestasi mereka
dibidang militer ternyata lebih baik ketimbang kehidupan sebagai nelayan. Ali
berhasil menaklukkan daerah-daerah Persia, dan menjadikan Syiraz sebagai basis.
Selanjutnya ia juga berhasil menaklukkan Ray, Isfahan dan daerah-daerah Jabal.
Untuk mendapatkan legitimasi dari khalifah Abbasiyah yang waktu itu dipegang al-
Radhi, ia tidak lupa membayar sejumlah uang untuk baitul mal. Dengan adanya
legalitas dari khalifah Abbasiyah ia makin bebas bertindak, di antaranya melakukan
ekspansi ke Irak, Ahwaz dan Wasith
Waktu Baghdad mengalami kekisruhan politik akibat perebutan jabatan amir
al-umara antara wazir dan militer, pimpinan militer yang mendukung al-
Mustakfi.meminta bantuan kepada Ahmad ibn Buwayh yang berkedudukan di
Ahwaz. Permintaan ini tidak disia-siakan dan langsung dikabulkan oleh Ahmad al-
Buwaihiyah. Dalam tempo singkat pasukan Buwaihiyah berhasil mengamankan kota
Baghdad dan sekaligus mengusir para perwira Turki budak. Sebagai penghargaan
terhadap Ahmad al-Buwayh, pada tahun 334H/945M ia diangkat menjadi kepala
rumahtangga di istana Baghdad, dan bahkan juga diangkat sebagai amir al-umara’
dan diberi gelar Mu’izz al-Daulah. Ali yang menguasai bagian selatan Persia dan
berpusat di Syiraz diberi gelar Imad al-Daulah. Begitu juga Hasan yang memerintah
di bagian utara, yaitu Isfahan dan Ray, diberi gelar Rukn al-Daulah. Dengan
menguasai pasukan militer, tiga bersaudara Buwayh ini mampu mendikte khalifah.
Jabatan khalifah hanya sebagai boneka, sedang yang betul-betul mengendalikan
pemerintahan adalah tiga Buwayh bersaudara.
Prestasi Bani Buwaihiyah sangat baik dalam menjaga stabilitas politik.
Adalah berkat dukungan Bani Buwaihiyah khalifah Mustakfi bisa memerintah
dengan baik dan adil. Oleh al-Mustakfi tanah-tanah dan toko-toko yang diambil
penguasa terdahulu dengan paksa dikembalikan kepada mereka yang berhak. Waktu
al-Mustakfi meninggal tahun 295H, jabatan khalifah diberikan kepada saudaranya
Abul Fadh al Ja’far bin Mu’tadid, bergelar Muqtadir (295-320H). Tetapi waktu itu
Muqtadir baru berusia 13 tahun. Hal ini memberi peluang bagi Bani Buwaihiyah
untuk semakin menguasai Dinasti Abbasiyah.
Keberhasilan Bani Buwaihiyah menguasai kekhalifahan Abbasiyah
merupakan puncak pencapaian bangsa Iran asal Turki mengalahkan bangsa Arab

Sejarah Peradaban Islam .......163


secara progresif dalam kekuasaan politik di Negara Islam. Karena mayoritas mereka
adalah penganut Syiah radikal, hal ini sekaligus merupakan kemenangan kaum
Syiah atas kaum Sunni. Periode dimana dinasi Abbasiyah didominasi oleh kekuasaan
Turki Buwaihiyah berlangsung cukup lama, lebih dari satu abad mulai tahun 945
hingga 1055 Masehi.
Penguasa terbesar Buwaihiyah adalah Azad Daulah. Dengan kekuatan
militernya ia berhasil menyatukan dinasti-dinasti kecil di bawah komando penguasa
Buwaihiyah. Perekonomian maju disebabkan berkembangnya pertanian, perdagangan
dan industri, khususnya industri permadani. Ia cinta keadilan dan kebenaran,
terkenal dengan kedermawanannya, dan sangat memperhatikan pendidikan. Sebagai
seorang yang dermawan, beliau membangun banyak mesjid. Sebagai orang yang
mencintai pendidikan, beliau mahir dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan,
termasuk matematika. Konon beliau menggaji para pujangga dan pustakawan
dengan kekayaan pribadi, bukan uang dari baitul mal.
Berbeda dengan Bani Abbasiyah yang condong ke aliran Sunni, Bani
Buwaihiyah lebih condong ke aliran Syiah. Seperti kelompok-kelompok Syiah
lainnya, para pemimpin Bani Buwaihiyah, terutama Azad Daulah, memberi
perhatian yang cukup tinggi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan
kesusasteraan. Karena ia sangat memperhatikan pendidikan, banyak intelektual yang
muncul pada masa Azad Daulah berkuasa, di antaranya pakar astronomi al-Kohi dan
Abdul Wafa, ahli filsafat al-Farabi (w.950M) dan Ibnu Sina (w.1037M), juga
ilmuwan lain seperti al-Farghani, Abdul Rahman al-Shufi (w.980M), Abu al-A’la al
Ma’arri (w.1037) dan ibn Miskawayh (w.1030).
Tetapi sesudah Azad Daulah, penguasa Buwaihiyah banyak yang tidak
cakap. Anak-anak keturunan Ali, Hasan dan Ahmad saling berebut menguasai
jabatan amir al-umara. Perebutan pengaruh dan kekuasaan di antara keturunan Bani
Buwaihiyah ini menjadi faktor internal yang melemahkan kekuasaan mereka.
Sementara itu dari Bani Abbasiyah sendiri tidak ada pula yang muncul menjadi
khalifah yang kuat. Para khalifah membiarkan para penguasa Bani Buwaihiyah
berebut kekuasaan, asal mereka dibiarkan hidup bersenang-senang. Para tokoh
militer Turki juga kadang-kadang mengambil bagian.
Waktu orang-orang Arab, Persia dan Turki saling bersaing memperebutkan
pengaruh dan kekuasaan, di daerah-daerah muncul semangat kedaerahan
(syu’ubiyah) yang memperjuangkan kemandirian masing-masing. Hal ini merupakan
gejala baru dalam Negara Islam. Kalau selama ini gerakan Islam didominasi oleh
keagamaan, sekarang muncul semangat politik kedaerahan dan kebangsaan, dimana
tiap daerah atau suku bangsa berusaha lepas dari kekuasaan di Baghdad. Sebagai
dampak dari semangat kedaerahan tersebut maka sejak awal abad keempat hijriah
Dunia Islam mulai terpecah-belah. Dinasti-dinasti kecil melepaskan diri dari
kekuasaan Bani Abbasiyah. Di bawah pimpinan Banu Hamdan daerah ‘Mausil, Diar
Bakar, kampung-kampung Rabi’ah dan Mudhar membebaskan diri. Muhammad bin

Sejarah Peradaban Islam .......164


Thaghaj Ikhsyidy menguasai Mesir dan Syam. Nashar bin Ahmad Isamany
menguasai Khurasan. Pengaruh Ali bin Buwayh makin besar di Persia, sedang daerah
-daerah Haj, Isfahan dan al-Jabal berada di tangan saudaranya Hasan bin Buwayh.
Pada periode inilah Abdul Rahman III dari Bani Umayah memproklamirkan diri
sebagai khalifah di Andalusia (300-350H) dan dinasti Fathimiyah berdiri di Mesir.
Sementara itu dari eksternal Bani Abbasiyah yang makin lemah makin sering
mendapat serangan dari Bizantium.

D. Era Dominasi Turki Saljuq (447-590H/1055-1194M)


Dalam situasi serba tidak menentu sejak ditinggalkan oleh Azad Daulah,
akhirnya tahun 447H/1055M kekuatan Turki Saljuq yang waktu itu dibawah
kepemimpinan Tughril Bek, berhasil mengambil alih kekuasaan dari tangan Bani
Buwaihiyah. Waktu itu yang menjadi khalifah Abbasiyah adalah al-Qa’im (422-
476H/1031-1075M).
Bani Saljuq berasal dari beberapa kabilah kecil di Turkistan yang kemudian
berpindah ke Transaksonia dan Khurasan, dipersatukan oleh Saljuq ibn Tuqaq.
Berbeda dengan Bani Buwaihiyah yang condong ke aliran Syiah, Bani Saljuq, seperti
halnya Bani Abbasiyah, lebih condong ke aliran Sunni. Dibanding Bani Buwaihiyah
yang menguasai dinasti Abbasiyah sekitar satu abad (945-1055M), Turki Saljuq
berhasil menguasai dinasti Abbasiyah sekitar satu setengah abad, tepatnya sejak
447H/1055M hingga 590H/1194M.
Selama masa Turki Saljuq (447-590H/1055-1194M), khalifah-khalifah
dinasti Abbasiyah mulai dari al-Muqtadi (476-487H/1075-1094M), al-Mustazir (487
-512H/1094-1118M), al-Mustarsyid (512-529H/1118-1135M), al-Rasyid (529-
530H/1135-1136M), al-Muqtafi (530-555H/1135-1160M) al-Mustanjid (550-
566H/1160-1170M) dan al-Mustadzi (566-575H/1170-1180M) pada hakekatnya
hanya menjadi boneka yang dikendalikan oleh penguasa Turki Saljuq, mulai dari
Tughril Bek (455H/1063M), Elp Arselan (455H-465H/1063-1072M), Maliksyah (465
-485H/1072-1092M), Mahmud (485-487H/1092-1094M), Barki Yarig (487-
498H/1094-1103M), Malik Syah II (498H/1103), Abu Syuja’ Muhammad (498-
511H/1103-1117M) dan Abu Haris Sanjar (511-522H/1117-1128M).
Awalnya kedudukan khalifah Abbasiyah yang selama ini dirampas oleh
penguasa Buwaihiyah lebih baik waktu Dinasti Saljuq berkuasa. Waktu kekuatan
Turki Saljuq berhasil mengambil alih kekuasaan atas Dinasti Abbasiyah dari tangan
Turki Buwaihiyah, jabatan khalifah tetap dipegang oleh al-Qaim. Walaupun selama
44 tahun jadi Khalifah al-Qaim hanya menjadi boneka Turki Saljuq, minimal
perlakuan Bani Saljuq lebih sopan. Paling sedikit al-Qaim diminta mengurus soal
keagamaan. Akan tetapi urusan politik dan pemerintahan dikendalikan oleh Turki
Saljuq yang waktu itu dipegang oleh Tughril Bek.
Tughril Bek berkuasa hingga 1063M. Setelah ia wafat kedudukannya
digantikan oleh Elp Arselan (1063-1072M). Pada masa Elp Arselan perluasan daerah

Sejarah Peradaban Islam .......165


yang sudah dirintis Thugril Bek dilanjutkan ke Bizantium. Pada tahun 464H/1071
pasukan Elp Arselan berhasil mengalahkan tentara Romawi yang didukung oleh
tentara Ghuz, al-Akraj, al-Hajir, Perancis dan Armenia. Waktu Elp Arselan
meninggal tahun 465H/1072M, yang menjadi putra mahkota adalah Sultan Malik
Syah. Namun karena waktu itu Malik Syah masih muda, berusia 18 tahun, maka roda
pemerintahan dipercayakan kepada wazir Nizam al-Mulk yang terkenal kuat dan
cakap.

Nizam al-Mulk
Walaupun Nizam al Mulk al-Tusi (1018-1092) hanya sebagai wazir, yang
dijabatnya sejak periode Elp Arselan dan dilanjutkan pada periode Malik Syah
(w.485H/1092M), tetapi ia merupakan tokoh yang sangat mengagumkan. Pada era
Malik Syah yang dibantu Nizam al-Mulk ini pasukan Saljuq berhasil merebut Baitul
Maqdis tahun 471H dari kekuasaan Fathimiyah yang berkedudukan di Mesir. Pada
hakekatnya, al-Mulk bertanggung jawab atas segala kebijakan pemerintah pada era
Malik Syah, yang dijalankan sesuai prinsip-prinsip yang dituangkan al-Mulk dalam
buku ‛Siyasat Namah‛ (Prinsip-prinsip Pemerintahan). Buku tersebut ditulis oleh al-
Mulk atas permintaan sultan Malik Syah sendiri. Dalam buku tersebut al-Mulk
menyebutkan bahwa tugas dan tanggungjawab penguasa adalah: ‛menjamin keadilan
dan menjalankan segala sesuatu yang penting untuk meraih kemakmuran masyarakat
luas‛. Buku Siyasat Namah karya al-Mulk tersebut sudah diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggeris oleh Hubert Darke dengan judul ‛The Book of Government or Rules
for Kings‛ (London, 1961).
Penguasa Turki Saljuq seperti Tughril Bek, Elp Arselan dan Malik Syah
memberi perhatian istimewa terhadap pengembangan ilmu pengetahuan. Terutama
pada era Sultan Malik Syah, dengan dibantu oleh wazirnya Nizam al-Mulk banyak
kemajuan yang dicapai dalam dunia pendidikan. Kebanyakan pengamat setuju bahwa
adalah karena jasa al-Mulk Bani Abbasiyah yang didominasi Bani Saljuq mencapai
puncak kejayaan. Pada masa al-Mulk banyak didirikan sekolah-sekolah. Selain itu
Nizam al-Mulk juga mendirikan Madrasah Nizamiyyah di Baghdad, dimana biaya
hidup dan pendidikan pelajar di madrasah ini ditanggung oleh sultan Saljuq. Menurut
Phillip K.Hitti, model Madrasah Nizamiyah inilah yang menjadi model perguruan
tinggi di Eropa kemudian hari. Selain itu ia juga mendirikan madrasah lain di
Nayshapur. Nizam al-Mulk mengangkat al-Juwayni, guru al-Ghazali, dan kemudian
juga al-Ghazali, mengajar di madrasah madrasah yang didirikannya, baik di
Nizamiyah Baghdad maupun di Nayshapur.
Melalui berbagai gebrakannya yang sangat pro terhadap pengembangan ilmu
tersebut Nizam al-Mulk berjasa mencetak ahli-ahli astronomi, seniman penyair, para
sarjana dan ahli-ahli sejarah. Pada masa al-Mulk para pakar sering berkumpul dan
berdiskusi di istana Malik Syah. Di antara pakar-pakar berbagai bidang ilmu yang
sering berdiskusi di istana Malik Syah tersebut selain al-Juwayni dan al-Ghazali

Sejarah Peradaban Islam .......166


adalah sastrawan Umar Khayyam. Pakar-pakar lain di zaman al-Mulk adalah al-
Zamahsyari (ahli tafsir dan teologi), al-Qusyairi (pakar tafsir), Farid al-Addin al-
Athar (pakar sastra).
Selain banyak membiayai pembangunan sekolah-sekolah dan madrasah, atas
prakarsa al-Mulk juga banyak didirikan mesjid-mesjid dan rumah-sakit. Pada era al-
Mulk jalan-jalan membentang menghubungkan kota-kota yang ada di wilayah
kekuasaan dinasti Abbasiyah yang didominasi Turki Saljuq. Perdagangan dan
industri berkembang. Pajak yang memberatkan rakyat dihapuskan, sehingga
masyarakat hidup lebih sejahtera. Berkat jasa al-Mulk, pemerintahan imperium
Saljuq berlangsung dengan kokoh, stabil, dan masyarakat hidup damai, aman dan
makmur. Atas jasa-jasanya yang sangat besar dan keseriusannya mengabdi pada
kesultanan Saljuq, beliau dianugerahi gelar kehormatan yang sangat tinggi, yaitu
Attabek. Sayang orang yang begitu baik ini meninggal tidak wajar. Beliau konon
tewas karena dibunuh oleh kaki tangan Hasan ibn Sabah tahun 485H/1092M. Enam
bulan setelah terbunuhnya wazir al-Mulk yang sangat setia dan pembela ilmu
pengetahuan tersebut, menyusul Malik Syah mangkat.
Malik Syah digantikan oleh Sultan Sanjar, dan sebagai wazirnya diangkat
Fakhrul-Mulk, putera al-Mulk. Seperti ayahnya, Fakhrul-Mulk juga seorang
pelindung besar ilmu pengetahuan. Ia secara pribadi meminta al-Ghazali yang waktu
itu ‚bersemedi‛ untuk kembali sebagai rektor di Madrasah Maimunah-Nizamiyah,
nama baru dari sekolah tinggi madrasah yang sudah diperluas dan diperbesar oleh
Fakhrul-Mulk di Nayshapur. Tetapi Fakhrul Mulk juga tidak lama bertugas sebagai
wazir. Seperti ayahnya al-Mulk, anaknya Fakhrul-Mulk juga dibunuh oleh kaki
tangan Hasan ibn Sabah, ketua gerombolan ‚Orang Tua dari Gunung‛ tahun 500H,
yang waktu itu melancarkan gerakan huru hara yang terkenal dengan sebutan
Hasasyin, yang dalam literatur barat lebih populer dengan sebutan assasin. (Ali,
1978).
Walaupun pemerintahan Turki Saljuq berlangsung cukup panjang, yaitu
tahun 447-590H/1055-1194M), namun sepeninggal al-Mulk Malik Syah baik Bani
Abbasiyah maupun kesultanan Turki Saljuq sendiri melemah. Kesultanan Turki
Saljuq berakhir tahun 590H/1194M, dihancurkan oleh Khawarizm Syah.

E. Penilaian terhadap Bani Abbasiyah


Sebagaimana sudah disinggung sebelumnya, dinasti Abbasiyah yang
didirikan oleh Abu’l Abbas as-Shaffah (132-136H/750-754M) tidak terlepas dari
bantuan kelompok Syiah dan Persia. Dalam perjalanannya kelompok Syiah agak
ditinggalkan, tetapi kerjasama dengan bangsa Persia berlanjut. Synergy antara
budaya Arab dengan budaya Persia ini telah memberikan sumbangan yang sangat
tinggi dalam peradaban Islam, dimana selama satu abad dalam penanggalan Islam,
yaitu 132-232H/750-847M, khalifah kuat secara politik maupun agama, dan Dunia
Islam mengalami perkembangan yang luar biasa. Periode pertama ini disebut-sebut

Sejarah Peradaban Islam .......167


sebagai Periode Keemasan Islam. Kemajuan agak berkurang waktu Bani Abbasiyah
dipimpin oleh raja-raja yang lemah dan didikte oleh orang-orang Turki budak
(periode 232-334H/847-945M) dan oleh Bani Buwaihiyah (periode 334-447H/945-
1055M). Kemajuan kembali dirasakan waktu Dinasti Abbasiyah dibawah pengaruh
Turki Saljuq (447-590H/1055-1194M). Tetapi sejak abad ke-12 dinasti Abbasiyah
mulai mengalami kemunduran, selain disebabkan terjadinya proses disintegrasi juga
karena faktor eksternal Perang Salib, dan berakhir waktu kota Baghdad diserbu oleh
pasukan Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan tahun 656H/1258M.

Berbagai Keberhasilan yang Dicapai


Harun Nasution dalam ‚Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan
Gerakan‛ (1991) secara garis besar memetakan perkembangan sejarah Islam dalam
tiga periode, yaitu: periode klasik, periode pertengahan, dan periode modern. Periode
klasik yang disebutnya sebagai era kebangkitan, kemajuan, ekspansi dan integrasi,
meliputi periode sejak kemunculan Nabi Muhammad hingga era Bani Abbasiyah.
Dari periode klasik ini, puncak kejayaan Islam dicapai mulai pertengahan abad ke-7
hingga akhir abad ke-10 di bawah pemerintahan Bani Abbasiyah. Periode ini dalam
sejarah disebut-sebut sebagai ‚the golden age of Islam‛, atau ‚the most brillyant
period‛. Puncak dari era kejayaan ini adalah ketika Dinasti Abbasiyah dipimpin oleh
Harun al-Rasyid (786-809M) dan puteranya al-Ma’mun (813-833M).
Pada puncak kejayaan Bani Abbasiyah, Islam unggul di banyak bidang, tidak
hanya politik dan militer, perekonomian (pertanian, industri dan perdagangan),
tetapi juga pendidikan, seni dan budaya. Sebagai perbandingan dengan periode-
periode sebelumnya, kalau pada masa Nabi terjadi kemajuan dalam bidang agama
dan politik; pada masa Khulafaur-Rasyidin terjadi kemajuan dalam bidang politik
dan militer; dan pada era Bani Umayah terjadi kemajuan dalam politik, militer dan
ekonomi; maka pada era Bani Abbasiyah terjadi kemajuan dalam hampir semua
bidang: politik, militer, ekonomi, juga bidang sains dan peradaban.
Pada periode puncak Bani Abbasiyah, wilayah pengaruh dan kekuasaan
Islam meluas melalui Afrika Utara hingga Spanyol, dan melalui Persia hingga ke
India Timur. Pengaruh Islam waktu itu menembus Eropa, India dan Cina. Secara
politik dan militer, pada puncak kejayaan Bani Abbasiyah Islam menguasai wilayah
dari Indus hingga Atlantik. Waktu itu Negara Islam merupakan hegemon (adi kuasa)
tanpa tanding, dan hampir seluruh sektor ekonomi berjalan lancar. Selain sektor
pertanian, sektor-sektor lainnya juga berkembang, mulai dari sektor pertambangan,
industri, perdagangan dan jasa, transportasi, kerajinan, juga sektor pariwisata. Pada
masa jayanya, pengusaha dan pedagang Islam pernah menjadi market leader atau
penguasa pasar dalam perdagangan internasional. Iskandariyah dan Baghdad adalah
hegemon yang menentukan harga-harga barang dan jasa yang berlaku dalam
kerangka mekanisme pasar.

Sejarah Peradaban Islam .......168


Majunya perekonomian didukung oleh pertanian yang tangguh. Beberapa
wilayah kekuasaan Abbasiyah seperti Irak dan Mesir memiliki lahan-lahan yang
subur, sebahagian karena adanya oase dan sebahagian lagi karena adanya irigasi.
Produk pertanian yang dihasilkan mulai dari kurma, kafang-kacangan, buah ara,
kismis, tebu, kapas, anggur, jagung, gabah, pohon olive, gula, jeruk, kentang, dan
apel. Hasil peternakan unta dijumpai di Nejd, dan kuda di Iran. Pada periode Harun
al-Rasyid dan putranya al-Ma’mun, dalam dunia pertanian sudah dicapai
swasembada dalam hampir semua jenis bahan makanan pokok.
Selain maju di bidang pertanian, kemajuan dalam bidang industri tidak kalah
hebatnya. Pada era Harun al-Rasyid produk pertambangan yang dominan adalah
emas dan perak, juga besi, baja, batu bara, marmer, pirus dan mutiara. Produk tekstil
berbentuk karpet sangat banyak di Iran dan Irak; kain rami di Mesir, sutra di
Armenia, dan kain brokat di Fars. Waktu anaknya al-Ma’mun berkuasa, kegiatan
produksi di bidang pertambangan makin meluas meliputi tembaga, belerang, fosfat,
batubara, intan dan mutiara. Dalam industri tekstil mulai ada industri katun, wool
dan sutera. Lebih dari itu juga mulai ada laboratorium kimia untuk melakukan
penelitian bahan peledak serta penyediaan alat-alat perlengkapan perang.
Pada periode keemasan Bani Abbasiyah dibawah Harun al-Rasyid dan al-
Ma’mun, sejumlah perkampungan industri menjamur di hampir seluruh pelosok
negeri. Hasil industri yang menonjol adalah permadani, sutera, hiasan, berbagai jenis
tekstil (katun, wool, sutera, satin, brokat), sofa dan penutup kasur, serta alat-alat dan
perabotan rumahtangga. Dalam buku-buku Barat dikatakan bahwa salah satu
penyebab majunya peradaban Barat ialah ditemukannya mesin tenun di Eropa pada
abad pertengahan. Hal ini tidak sesuai dengan fakta sejarah, sebab pada era
keemasan Bani Abbasiyah awal abad ke-9 Persia sudah memiliki alat tenun untuk
menghasilkan karpet dan tekstil. Produk tekstil berbentuk karpet sangat banyak di
Iran dan Irak; kain rami di Mesir, sutra di Armenia, dan kain brokat di Fars.
Selain majunya pertanian dan industri, perdagangan juga mengalami
perkembangan yang sangat pesat. Pusat-pusat bisnis yang paling ramai dan terkenal
adalah Baghdad, Bashrah dan Alexandria. Dari kota-kota tersebut barang-barang
yang dihasilkan oleh produsen di ekspor ke luar negeri. Majunya perdagangan dan
perekonomian disegala sektor didukung oleh adanya sarana dan prasarana
transportasi, terutama jalan-jalan dan pelabuhan. Jalan-jalan dibangun untuk
menghubungkan sentra-sentra produksi dengan sentra-sentra pemasaran dan ke
pelabuhan-pelabuhan untuk kemudian di ekspor. Yang lebih menonjol lagi adalah
pembangunan pelabuhan.
Kerajaan Abbasiyah memiliki tiga pelabuhan besar yang sangat ramai
dikunjungi pedagang manca negara (Cina, India, Asia Tengah, dan lainnya), dua di
Bashrah dan satu di Sirat. Pelabuhan besar yang dikelola waktu itu seperti Teluk
Persia dan Laut Merah sangat sibuk karena aktifnya perdagangan dengan India.
Begitu juga pelabuhan Syria dan Mesir (yang lebih dikenal dengan Alexandria) serta

Sejarah Peradaban Islam .......169


pelabuhan Sisilia dan Gibraltar tidak kalah ramainya memfasilitasi perdagangan
dengan Eropa. Tersedianya sarana dan prasarana pelabuhan menyebabkan kegiatan
ekspor dan impor menjadi lancar. Hubungan perdagangan dengan Cina yang waktu
itu juga mengalami revolusi komersil berjalan baik dan saling menguntungkan.
Begitu juga hubungan dagang dengan Afrika Utara, Turki dan Asia Tengah,
semuanya berjalan lancar. Karena perdagangan lancar, perekonomian berkembang
sangat pesat.
Untuk mendukung aktivitas ekonomi dan perdagangan, Harun al-Rasyid
memerintahkan untuk membangun ‚caravanserai‛ atau penginapan khusus bagi para
pedagang. Harun al-Rasyid juga membangun dan menyediakan fasilitas penginapan
pada route perhubungan utama. Zubaydah, istri Harun al-Rasyid, membangun
beberapa tempat penginapan, sumur, dan tempat-tempat penampungan air serta
tempat-tempat pemandian umum sepanjang jalan perjalanan haji dari Baghdad
sampai ke Makkah. Untuk mengenang jasanya, jalan tersebut pada masa sekarang
dikenal dengan Darb Zubaydah (jalan Zubaidah).
Beberapa tempat penginapan pribadi terdapat di kota-kota besar sebagai
tempat untuk menjamu pelancong dan kolega dagang. Untuk tujuan ini, mereka juga
menyediakan tempat-tempat penyimpanan barang-barang berharga. Di Timur
Tengah penginapan seperti ini biasanya dinamakan Khans, di Arab Barat disebut
funduq yang berarti ‚rumah tamu‛. Penginapan-penginapan ini biasanya dilengkapi
dengan sejumlah kamar untuk pelancong, gudang untuk menyimpan barang-barang
pelancong, dan halaman untuk menambatkan binatang. Dari beberapa penginapan
yang masih bertahan hingga sekarang terlihat kemajuan arsitek sipil pada masa
silam. Tetapi beberapa di antaranya sudah diubah menjadi hotel mewah, seperti
Hotel Syah Abbas.
Apa rahasia sukses Harun al-Rasyid dan anaknya al-Ma’mun sebagaimana
dijelaskan di atas? Menurut sebahagian pengamat, hal ini tidak terlepas dari
dukungan keluarga Barmaki (Barmacides), sebuah keluarga berkebangsaan Parsi
(Faris) dari Balkh. Keluarga ini pada awalnya beragama majusi, tetapi kemudian
memeluk agama Islam. Salah satu dari keluarga Barmaki yang paling terrenal adalah
Khalid ibn Barmaki (w. 163H/782M). Pada era Abu’l Abbas as-Saffah Khalid ibn
Barmaki sudah berperan mengurus tentara dan pajak. Waktu meninggal posisinya
digantikan oleh putranya Yahya ibn Khalid (w.190H/805M). Yahya inilah yang
berjasa membesarkan dan mendidik Harun al-Rasyid.
Banyak pakar yang menilai bahwa pengaruh keluarga Barmaki sangat baik
terhadap kedigjayaan Bani Abbasiyah. Percampuran agama Islam Arab dengan
budaya Persia telah melahirkan zaman keemasan dalam sejarah Islam. Tetapi ada
pula yang mengatakan bahwa pengaruh keluarga Barmaki justru negatif, sebab
mereka terlalu berkuasa, menempatkan kroni-kroni mereka di berbagai jajaran
penting dalam pemerintahan, dan menguras kas negara. Misalnya Hitti (2005)
mencatat bahwa kekayaan keluarga Barmak ditaksir lebih dari 30 juta dinar, tidak

Sejarah Peradaban Islam .......170


termasuk di dalamnya nilai istana beserta perabotan dan ladangnya. Karena itulah
Harun membunuh Ja’far dan adiknya Fadhl di penjara tahun 198H/808M.
Menurut versi lain, keharmonisan keluarga Barmaki dengan penguasa
Abbasiyah tercoreng oleh kisah cinta gelap antara Ja’far yang waktu itu menjadi PM
dengan Abbasah, saudara perempuan Harun. Menurut Karim (2007), mereka diam-
diam menikah dan melahirkan anak laki-laki yang disembunyikan di Makkah tanpa
sepengetahuan Harun. Karena kemarahannya, Harun membunuh Ja’far ibn Yahya.
Tetapi Ibnu Khaldun tidak setuju dengan kisah cinta terlarang antara al-
’Abbasa, saudara perempuan ar-Rasyid dengan Ja’far ibn Yahya di atas. Menurut
Ibnu Khaldun, cerita di atas hanya isapan jempol Harun belaka. Yang sesungguhnya,
demikian Ibnu Khaldun menambahkan, Harun al-Rasyid sengaja membinasakan
keluarga Barmakiyah karena mereka berlaku sewenang-wenang mengontrol negara,
memotong serta menyembunyikan uang hasil pungutan pajak. Mereka mengisi
berbagai posisi dengan kroni dan orang-orang cetakan mereka, mulai dari kedudukan
wazir, sekretaris, panglima angkatan perang, penjaga pintu, hingga jabatan
administrasi militer dan sipil. Di satu sisi Harun memang memperoleh pendidikan
dari Yahya, dan memanggilnya ‚ayah‛. Karena Harun sangat menghormati Yahya,
maka kepongahannya semakin menjadi-jadi. Akhirnya mereka terlalu menguasai ar-
Rasyid dan terlalu dalam mengurusi pekerjaannya, bahkan ikut campur dalam
kewenangan yang seharusnya merupakan hak sulthan. Karena bersama keluarga
Barmak ini ar-Rasyid tidak memiliki ruang gerak untuk mengurus kerajaannya, dan
kepongahan mereka semakin menjadi-jadi, maka Harun yang tidak ingin ada dua
matahari di kerajaannya, akhirnya memutuskan membinasakan mereka.
Dalam memajukan pembangunan ekonomi, tidak ada yang menyangkal
bahwa kesuksesan luar biasa yang dicapai pemerintahan Harun al-Rasyid dan al-
Ma’mun tidak terlepas dari peran dua ‚ekonom‛ brilian Islam dimasa itu, yaitu Abu
Yusuf di Baghdad dan Abu Ubayd di Khurasan. Dengan mengikuti saran-saran
mereka, hampir seluruh sektor ekonomi berjalan lancar. Selain sektor pertanian,
sektor-sektor lainnya juga berkembang, mulai dari sektor pertambangan, industri,
perdagangan dan jasa, transportasi, kerajinan, juga sektor pariwisata.
Selain telah berjasa memajukan politik dan ekonomi, Harun al-Rasyid dan al
-Ma’mun juga aktif membangun sarana dan prasarana sosial keagamaan, pendidikan
dan kesehatan. Untuk mengembangkan pembangunan sosial keagamaan dibangun
mesjid-mesjid dan maktab-maktab (mesjid dalam ukuran lebih kecil, seperti surau di
Indonesia). Sebagai gambaran, di kota Baghdad saja konon terdapat 30.000 mesjid
besar-kecil. Menurut Ibnu Khaldun mengutip al-Khatib dalam buku Tarikh, pada
masa al-Ma’mun jumlah kamar mandi umum yang terdapat di Bagdad mencapai 65
ribu buah. Begitu juga untuk menjaga kesehatan masyarakat dibangun beberapa buah
rumah sakit. Yang terbesar di antaranya bernama Bimaristan.
Dari semua itu, pembangunan di bidang pendidikanlah yang paling
menonjol. Untuk meningkatkan pendidikan didirikan sarana dan prasarana

Sejarah Peradaban Islam .......171


pendidikan. Harun al-Rasyid dan al-Ma’mun telah berjasa meninggalkan warisan
intelektual yang sangat berharga bagi Dunia Islam. Hal ini dapat dibuktikan dengan
begitu banyaknya lembaga-lembaga pendidikan didirikan, mulai dari tingkat paling
dasar hingga yang paling tinggi. Hal ini dilakukan, sebab menurut al-Ma’mun,
‚kemakmuran rakyat tergantung pada kemajuan pendidikan dan peradaban‛. Untuk
itu beliau mendirikan berbagai lembaga pendidikan, mulai dari tingkat rendah hingga
yang paling tinggi. Sekolah-sekolah dan madrasah setingkat akademi didirikan di
tiap provinsi.
Pendidikan dasar pada umnya berlangsung di mesjid-mesjid dan maktab-
maktab. Sebahagian besar di antara mesjid-mesjid dan maktab-maktab tersebut
selain digunakan untuk tempat beribadah juga digunakan tempat belajar pendidikan
dasar-dasar ilmu agama seperti belajar membaca al-Qur’an dan Hadis, tafsir, fikih
serta ilmu-ilmu dasar lainnya seperti bahasa dan berhitung. Kegiatan belajar-
mengajar selain dilakukan di mesjid-mesjid dan maktab-maktab, oleh kelompok
menengah ke atas juga ada yang melakukannya dengan mendatangkan guru-guru
privat ke rumah-rumah. Bagi keluarga kerajaan, pendidikan berlangsung di istana
dengan mengundang ulama ahli ke istana atau rumah-rumah para pembesar kerajaan.
Dengan tersedianya prasarana dan sarana pendidikan secara merata ke
seluruh pelosok wilayah kekuasaan Islam, tingginya semangat guru-guru privat
untuk mengajar muridnya ke rumah-rumah, dan terutama sekali karena kuatnya
dorongan dari penguasa untuk memajukan pendidikan, maka mayoritas umat Islam
pada era Abbasiyah awal abad ke-9 sudah bisa baca tulis. Lebih dari sekedar mampu
membaca dan menulis, pada era Abbasiyah juga banyak dicetak para ahli diberbagai
bidang, mulai dari seni budaya, sastra, falsafat dan ilmu-ilmu eksak lainnya. Semua
ini dimungkinkan karena tersedianya lembaga-lembaga pendidikan untuk tingkatan
yang lebih tinggi. Harun al-Rasyid mendirikan Bayt al-Hikmah (yang berarti
‚Gedung Kebijaksanaan‛) yang berbentuk sebuah akademi di Baghdad. Tidak mau
ketinggalan, anaknya al-Ma’mun mendirikan akademi kedokteran dan farmasi.
Beliau juga mendirikan sebuah teropong bintang (observatory) di Tadmore.
Tiap lembaga pendidikan tinggi memiliki pustaka yang dilengkapi ribuan
buku-buku dan manuskrip. Untuk memperkaya perpustakaan di akademi ini al-
Ma’mun ‚memburu‛ naskah-naskah dan buku-buku asing dari seluruh penjuru dunia,
dan untuk itu ia mengirim utusan ke Yunani hingga ke Constantinopel. Begitu
tingginya perhatian al-Ma’mun memajukan dunia pendidikan, konon sebahagian
naskah berikut kaum terpelajar yang diboyong dari Bizantium, ditukar dengan emas!
Selanjutnya agar semua buku-buku asing tersebut bisa diterjemahkan ke dalam
bahasa Arab, al-Ma’mun mengaktifkan kembali kegiatan penerjemahan yang sudah
dimulai oleh khalifah al-Manshur. Kegiatan penerjemahan dilakukan oleh para
intelektual terdiri dari berbagai kebangsaan dan agama, tidak hanya Ialam, tetapi
juga Nasrani dan Yahudi.
Asimilasi bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain berpengaruh positif

Sejarah Peradaban Islam .......172


terhadap pengembangan ilmu pengetahuan di berbagai bidang. Misalnya, asimilasi
Arab-Persia berpengaruh positif terhadap pengembangan ilmu, filsafat dan sastra,
juga pemerintahan. Pengaruh India nampak dalam pengembangan ilmu matematika
(aljabar), astronomi dan kedokteran. Pengaruh Yunani yang masuk melalui karya-
karya terjemahan sejak era al-Manshur dan diperluas oleh al-Ma’mun sangat berjasa
dalam pengembangan filsafat, astronomi dan tata bahasa serta kedokteran.
Sehubungan dengan hal ini ada pengamat yang percaya bahwa pemikiran-
pemikiran dari Aristoteles dan filsuf Yunani Kuno lainnya diperkirakan akan lenyap
dari permukaan bumi seandainya tidak diselamatkan oleh ilmuwan Muslim melalui
gerakan penerjemahan yang didirikan al-Ma’mun. Ilmu dari berbagai cabang tersebut
dipelajari, diperdalam dan disebar-luaskan. Tujuan kegiatan penterjemahan yang
antara lain dilakukan oleh al-Kindi tersebut tidak lain adalah untuk memajukan
intelektual di kalangan umat Islam. Tetapi perlu juga dicatat bahwa yang menikmati
warisan intelektual yang ditinggalkan al-Ma’mun bukan hanya orang Islam saja,
sebab melalui aktivitas cendekiawan Muslim inilah nantinya orang Eropa bisa
belajar filsafat Yunani dan berbagai bidang ilmu lainnya. Sejarawan Barat seperti
W.Muir mencatat, ‚Adalah atas jasa al-Ma’mun bangsa-bangsa Eropa dapat
mengenal berbagai bidang ilmu‛.
Oleh para cendekiawan karya-karya para ilmuwan dan filosof-filosof besar
dunia dipelajari berdampingan dengan al-Qur’an. Tiap bagian bumi diselidiki oleh
intelektual Islam dan dibiayai oleh kerajaan. Raja-raja sendiri hadir setiap kali
diadakan pertemuan seni kesusasteraan dan diskusi-diskusi tentang filsafat. Waktu
Yunani dan Romawi sedang sekarat, India dan Cina tidur lelap, intelektual Islam
pada masa kejayaan Abbasiyah menjadi gudang ilmu pengetahuan terbaik dunia.
Benar sekali Humboldt mengatakan, ‚Kegiatan intelektual mereka tidak ada taranya,
menandai suatu zaman yang khas dalam sejarah dunia‛ (Ali, 1978).
Apa yang dikatakan Homboldt di atas benar adanya. Dari catatan sejarah
terbukti bahwa tiap kota berlomba dalam membina seni dan ilmu. Gubernur tiap
provinsi bahkan berusaha menandingi khalifah dalam pengembangan ilmu
pengetahuan. Para sarjana mengembara ke berbagai kota untuk mencari ilmu, sebab
sesuai ajaran Rasulullah upaya mencari ilmu termasuk suatu kewajiban suci. Berkat
dorongan semangat yang menyala-nyala untuk berpartisipasi dalam pembangunan
pendidikan ini tidak heran kalau bidang pendidikan mengalami kemajuan paling
pesat pada periode keemasan Islam ini. Kalau pada periode-periode sebelumnya
pendidikan berkembang secara alamiah, sejak awal abad ke-9 pendidikan kegiatan
pendidikan diorganisir lebih rapi, semuanya dikelola oleh pemerintah. Kaum
terpelajar dapat membaca dan melakukan pengkajian serta penelitian mandiri di
berbagai bidang, mulai dari agama, hukum (figh), filsafat, astronomi, geografi,
matematika, geometri, kimia, biologi, kedokteran, farmasi, musik dan syair. Pada
waktu itu ekonomi.belum merupakan bidang ilmu yang mandiri, tetapi dipelajari
bersamaan dengan hukum, sejarah dan ilmu-ilmu sosial lainnya.

Sejarah Peradaban Islam .......173


Buah dari tingginya perhatian penguasa terhadap kemajuan dalam bidang
pendidikan ialah banyaknya lahir pakar-pakar di berbagai bidang. Pakar-pakar di
bidang hukum (fiqh) antara lain: Abu Hanifah, Anas Malik, Syafi’i dan ibnu Hambal.
Dalam hal ini perlu diketahui bahwa ilmu hukum yang dikembangkan oleh mereka
berbeda dengan hukum peninggalan Romawi, melainkan khas Islam, yang dikenal
dengan fiqh. Landasan utama dari hukum Islam adalah Qur’an dan Hadis. Jika dari
keduanya tidak ditemukan pemecahan aatas permasalahan yang dihadapi, maka
dasar hukum yang dipakai adalah ijma’ dan pemikiran individu.
Pada masa kejayaan dinasti Abbasiyah ilmu filsafat berkembang pesat. Ahli-
ahli filsafat dari Baghdad antara lain: al-Kindi, al-Farabi dan Ibnu Sina. Abu Yusuf
Yakub ibn Ishak al-Kindi (w.256/870), sesuai namanya, adalah keturunan keluarga
Kinda. Ayah beliau, Ishak bin as-Sabbah, adalah gubernur Kufah pada era al-Mahdi,
al-Hadi hingga era Harun al-Rasyid. Beliau memperdalam ilmu di Basrah dan
Baghdad, dan pernah hidup di Fustat. Selain dikenal sebagai seorang filosof, beliau
juga ahli kimia, astrologi, optik dan seorang teoritikus musik serta ahli dalam bahasa
Yunani. Karena keanekaragaman bakat dan kedalaman pengetahuannya, beliau
begitu populer pada era al-Ma’mun dan al-Mu’tashim. Karena kemampuannya dalam
bahasa Yunani, Parsi dan India, al-Kindi dapat mendalami ilmu dan filsafat mereka,
selain ajaran Islam. Oleh al-Ma’mun, kemampuan al-Kindi dalam bahasa Yunani
digunakan untuk menerjemahkan karya filsuf-filsuf Yunani seperti Aristoteles ke
dalam bahasa Arab. Beliau menulis tidak kurang dari 200 karya tulis dalam berbagai
bidang, mulai dari filsafat, ilmu hitung, ilmu hukum, ilmu iklim, ilmu cahaya, dan
ilmu ketabiban. Karena kemampuannya yang luar biasa, konon ada pengamat Barat
yang menempatkan al-Kindi sebagai salah seorang di antara 12 orang paling
berbakat yang hidup di dunia hingga abad ke-16.
Abu Nashr Muhammad ibn Turkham al-Farabi (257-339/870-950) lahir di
Farab, Transaxonia. Selain dikenal sebagai filosof, beliau juga seorang tabib
terkemuka, ahli ilmu pasti, ahli fisika dan matematika, juga seorang ahli psikologi,
ahli politik, metafisik, logika dan musik. Kalau di kalangan Muslim al-Farabi dikenal
sebagai ‚Guru Kedua‛ (al-Muallim al-Sani) setelah Aristoteles, maka di kalangan
masyarakat Eropa ia dikenal dengan nama al-Faribius dan Avenasser. Al-Farabi
berjasa menggali dan mengembangkan sejumlah karya-karya para filsuf Yunani
Kuno, terutama Aristoteles. Dalam bidang filsafat beliau disebut-sebut sebagai
orang paling terpelajar dan paling cerdas di antara komentator-komentator
Aristoteles. Beberapa karyanya seputar pemikiran Aristoteles di terjemahkan ke
dalam bahasa Latin pada zaman pertengahan. Beliau menulis banyak buku, antara
lain: Ihsanul-Ulum, tafsir Organon, Tendensi Filsafat Plato dan Aristoteles, as-Sirat
ul-Fazila (tentang etika), as-Siyasat al-Madiniyyah (tentang politik) yang merupakan
bagian dari karya bersarnya berjudul Mabadi al-Maujudat. Al-Farabi juga menulis
beberapa buku tentang teori dan seni musik. Dalam Ihsanul-Ulum (Encyclopaedia of
Science) beliau membuat sebuah ikhtisar umum tentang semua cabang ilmu: (1)

Sejarah Peradaban Islam .......174


bahasa, (2) logika, (3) ilmu pasti, (4) ilmu alam, dan (5) ilmu-ilmu sosial, politik dan
ekonomi. Karya beliau yang tidak kalah menariknya adalah sebuah tafsirannya atas
karangan Aristoteles berjudul Organon. Menurut Ali (1978) karya tafsir al-Farabi
inilah yang menjadi rujukan utama bagi Francis Bacon dan St.Albertus Magnus
dalam menulis karya-karya mereka. Dalam ‛Tendensi Filsafat Plato dan Aristoteles‛
beliau menggabung doktrin Plato dan Aristoteles dalam sebuah pemikiran filsafat.
Atas jasa-jasanya, al-Farabi disebut-sebut sebagai ‚jembatan‛ pemikiran-pemikiran
Yunani Kuno ke Eropa. Sebagai seorang pemikir universal, pengaruh al-Farabi
sangat besar terhadap perkembangan pemikiran bangsa Eropa. Ia orang pertama yang
‚menyuguhkan kunci pembuka‛ terhadap pemahaman pemikiran Aristoteles. Ada
pakar yang menulis bahwa tanpa jasa al-Farabi, orang Eropa tidak akan kenal dengan
Aristoteles.
Ahli filsafat Islam yang lebih masyhur karena beliau juga seorang ahli
kedokteran dan farmasi ternama dan ahli ilmu pasti dan fisika, selain juga pakar
dibidang psikologi, filologi dan syair, adalah Ibnu Sina (370-429H/980-1037M).
Tentang kedalaman ilmunya, tidak ada yang meragukan bahwa Ibnu Sina adalah
orang yang terpandai di zamannya. Dalam bidang kedokteran beliau menulis sebuah
buku yang berjudul al-Qanun fi al-Tib. Karya ini adalah kitab kedokteran paling
lama dirujuk dari semua kitab kedokteran yang pernah dikarang sepanjang masa,
terutama mulai abad ke-11 hingga ke-17, dan bahkan masih dipelajari hingga
sekarang. Dua karya Ibnu Sina yang paling monumental di bidang filsafat adalah
Syifa dan Nayat. Kedua buku ini konon masih utuh hingga sekarang. Sebagai filosof,
Ibnu Sina menduduki tempat yang tidak kurang pentingnya dari Aristoteles. Beliau
mampu menyusun filsafat Aristoteles secara sistematis, dan lebih jauh dari itu,
sebagaimana diungkapkan oleh Syed Ameer Ali (1978), beliau telah mengisi ‛tempat
lowong antara Tuhan dan manusia‛ dalam karya tentang ilmu jiwa Aristoteles yang
hanya tinggal satu fragmen, dengan ajaran tentang makhluk berakal. Sebagai
pendukung rasionalis, Ibnu Sina berpandangan bahwa ‛dengan disiplin yang sabar
dari hati dan jiwanya‛, orang dapat mengangkat dirinya untuk bersatu dengan Akal
yang lebih tinggi, yaitu Tuhan. Ibnu Sina adalah seorang filsuf Islam yang paling
jujur dan bisa dipercaya, namun dituduh kafir oleh orang-orang fanatik dan mereka
yang iri pada kemasyhurannya. Meski mendapat perlawanan dari orang-orang yang
fanatik dan punya kepentingan sendiri, beliau berhasil mempengaruhi pemikiran
orang pada zaman-zaman berikutnya.
Selain banyak menghasilkan ahli hukum dan filsafat, zaman keemasan Islam
juga melahirkan begitu banyak pakar di bidang astronomi, antara lain: Masyallah dan
Ahmad ibn Muhammad al-Nahavandi, putera-putera Musa ibn Syakir (yaitu
Muhammad, Ahmad dan Hasan), juga Sind ibn Ali, Yahya ibn Abi Mansur, Khalik
ibn Abdul Malik, Abbas al-Farghani, al-Battani (877-918M), Ja’far, al-Fazari, serta
dua bersaudara Ali ibn Amajur dan Abu’l Hasan ibn Amajur. Pada era kekuasaan
Bani Buwaihiyah masih muncul dua astronom yang tidak kalah populernya, yaitu al-

Sejarah Peradaban Islam .......175


Kohi dan Abu’l Wafa. Dua nama yang disebutkan pertama, yaitu Masyallah dan
Ahmad ibn Muhammad al-Nahavandi, adalah ahli-ahli perbintangan Islam yang
hidup era pemerintahan al-Manshur. Masyallah yang disebut-sebut sebagai phoenix
di zamannya menulis tentang astrolabium, pengukur tinggi, sifat dan gerak bintang-
bintang dilangit. Ahmad al-Nahavandi berdasarkan hasil observasinya menulis
sebuah daftar tentang perbintangan. Putera-putera Musa ibn Syakir, yaitu
Muhammad, Ahmad dan Hasan yang hidup pada era al-Ma’mun dan dua
penggantinya, banyak menghasilkan penemuan-penemuan dalam ilmu perbintangan.
Mereka telah melakukan evaluasi tentang peredaran rata-rata matahari dan bintang-
bintang lain di langit, yang hasilnya hampir sama eksaknya dengan hasil temuan para
ahli perbintangan Eropa beberapa abad kemudian. Mereka mampu menentukan
biasnya jalan matahari dan menandai variasi-variasi dalam tingginya bulan. Mereka
mampu melihat dan menentukan dengan ketelitian sangat tinggi presensi equinox
dan gerak apogeum matahari. Pada waktu umat Kristen Eropa masih percaya bahwa
bumi ini datar, mereka telah mampu menghitung besarnya bulatan bumi dengan
presisi yang mengagumkan, mengingat peralatan yang digunakan mereka waktu itu
masih sangat sederhana. Abu’l Hasan adalah orang pertama yang menemukan
teleskop.
Ahli-ahli perbintangan lainnya seperti Sind ibn Ali, Yahya ibn Abi Mansur,
dan Khalik ibn Abdul Malik sudah mengamati equinox, gerhana, bintang berekor
(comet) dan gejala-gejala alam lainnya di langit. Al-Farghani yang di Eropa lebih
populer dengan sebutan Faragnus menulis tentang ringkasan ilmu astronomi.
Karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard Cremona dan Johannes
Hispalensis. Ahli perbintangan lainnya yang lebih populer adalah al-Batani. Daftar
astronomi yang ditulis oleh al-Batani diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan
dijadikan sebagai rujukan astronomi di Eropa selama berabad-abad. Beliau juga
berjasa memasukkan pengertian sinus dan cosinus pengganti tali busur dalam
perhitungan astronomi dan trigonometri. Ja’far yang adalah putera khalifah Muktafi
Bi’llah melakukan penyelidikan mengenai peredaran bintang berekor (comet) dan
menulis suatu uraian tentang hal itu. Al-Fazari adalah astronom Islam pertama yang
menyusun astrolobe.
Dua bersaudara Ali ibn Amajur dan Abu’l Hasan ibn Amajur adalah dua
astronom Islam yang masyhur abad ke-10. Mereka terkenal karena perhitungan
mereka mengenai perjalanan bulan. Masih tentang kecanggihan pakar-pakar Islam
dalam bidang astronomi, dapat dikatakan bahwa adalah intelektual Arab Muslim
yang pertama menemukan kompas laut, sehingga memungkinkan pelaut-pelaut Arab
bisa menempuh perjalanan laut ke berbagai penjuru dunia, baik untuk tujuan
penelitian maupun untuk perdagangan. Juga adalah fakta sejarah bahwa pelajar
Islam yang menemukan kepulauan Azora di Spanyol. Berkat kemajuan dalam bidang
astronomi maka pelayaran di laut dan pengembaraan di darat pada gilirannya telah
mendorong berkembangnya ilmu geografi. Ahli-ahli geografi besar Islam antara lain

Sejarah Peradaban Islam .......176


Ibn Khurdebeh, Jaihani, al-Mas’udi, al-Istakhari, ibn Hawkal, Yakut, al-Bakhri, al-
Muqaddasi, dan Idrisi.
Al-Kohi dan Abu’ Wafa yang muncul pada era kekuasaan Bani Buwaihiyah
banyak mempelajari dan menulis tentang perjalanan planit-planit. Karangan Abu’l
Wafa yang berjudul Ziy usy-Syamil (Daftar Umum atau Daftar yang Ditegaskan)
merupakan landmark kajian dan observasi yang sangat tajam dan teliti. Beliau orang
pertama yang menggunakan secons dan tangens dalam hitungan trigonometri, juga
sebagai pihak yang berjasa memperbaiki dan menyempurnakan teori Ptolomeus
tentang bulan.
Zaman keemasan Islam juga berhasil mencetak pakar-pakar di bidang
matematika, antara lain: Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi (780-850M) dan al-
Bairuni (973-1050M), termasuk juga Umar Khayam. Al-Khawarizmi adalah ahli
matematika ‛pencipta‛ aljabar, selain juga seorang astronom yang kompeten. Istilah
‛Aljabar‛ berasal dari judul buku hasil karangan beliau ‛Al-Jabr wa al-Maqabalah‛.
Sehubungan dengan bidang matematika ini, adalah intelektual Muslim yang
‛menemukan‛ aljabar dan sistem hitungan decimal, logaritma, angka Arab, dan juga
pakar matematika Islam yang pertama kali memperkenalkan angka nol.
Pada zaman kejayaan Islam juga banyak muncul pakar-pakar di bidang
kedokteran. Yang paling terkenal adalah ‚Bapak Ilmu Kedokteran‛ Ibnu Sina. Selain
Ibnu Sina masih banyak ahli di bidang kedokteran ini, di antaranya adalah: al-
Thabari, al-Razi, Ali ibn Abbas, dan al-Majusi. Al-Razi adalah ahli kedokteran
pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan measles, dan orang
pertama yang menyusun buku tentang kedokteran anak. Kitab al-Hawi karya al-Razi
yang terdiri dari 20 jilid juga merupakan buku induk dalam bidang medis.
Di bidang sains lainnya masih ada pakar di bidang kimia, fisika dan optik.
Pakar bidang kimia yang paling populer adalah Jabir ibn Hayyan. Beliau adalah
‛Bapak‛ Ilmu Kimia Modern. Istilah kimia sendiri berasal dari bahasa arab ‛al-
kemi‛, yang dalam bahasa inggeris disebut chemistry. Ahli fisika yang paling
cemerlang di zamannya adalah Abdul Rahman Sufi. Beliau berhasil memperbaiki
fotometri bintang-bintang. Sedangkan ahli optik yang paling ternama adalah Abu
Ali al-Hasan ibn al-Haythami, atau di Eropa lebih dikenal dengan sebutan Alhazen.
Beliau adalah orang pertama yang mengemukakan pendapat bahwa adalah benda
yang mengirim cahaya ke mata, dan bukan sebaliknya - sebagaimana pendapat
umum waktu itu – bahwa mata mengirim cahaya ke benda yang dilihat.
Selain bidang hukum, filsafat, astronomi, matematika, kedokteran dan
berbagai bidang sains lainnya, pada era kejayaan Islam Bani Abbasiyah juga banyak
muncul ahli-ahli di berbagai bidang seni mulai sastra, syair, musik dan sebagainya
yang tidak mungkin disebutkan satu persatu disini. Kenyataannya Baghdad menjadi
semakin terkenal berkat karya karya sastra Alf Lailah wa Lailah (Kisah Seribu Satu
Malam) oleh sastrawan besar Ibn Muqaffa’ dan syair-syair Abd al-Qadir al-Jillani
yang juga pendiri tarekat qadaryah.

Sejarah Peradaban Islam .......177


Perlu dicatat bahwa semua karya dan kontribusi cendekiawan Islam pada
puncak kejayaan Islam tersebut lahir karena semangat untuk melakukan penelitian
pada era al-Ma’mun dan khalifah-khalifah berikutnya sangat tinggi. Metoda deduktif
yang dikatakan sebagai ‛penemuan‛ orang-orang Eropa Barat sesungguhnya jauh
sebelumnya sudah dipahami para ilmuwan Islam dengan sempurna. Upaya
memberikan keterangan nyata tentang gejala-gejala dengan maksud mencari kembali
sebab daripada akibat dengan hanya mengakui apa yang telah dibuktikan oleh
pengalaman adalah prinsip-prinsip yang sudah lama diajarkan dan diterapkan oleh
sarjana-sarjana Islam. Bahkan paham rasionalitas, yang ‛katanya‛ merupakan ciri
khas manusia Barat, kenyataannya dikembangkan pertama kali oleh cendekiawan
Muslim pada era al-Ma’mun, dikenal dengan aliran mu’tazilah. Tokoh-tokoh
mu’tazilah yang terkenal antara lain: Abu al-Huzail al-A’laf (135-235H/752-849M)
dan al-Nazzam (185-221H/801-835M).

Mengapa Bani Abbasiyah Hancur?


Walau Islam pernah mencapai puncak kejayaan pada era Bani Abbasiyah
yang dalam sejarah disebut-sebut sebagai ‚the golden age of Islam‛, atau ‚the most
brillyant period‛, tetapi masa jaya ada akhirnya. Setelah mengalami beberapa kali
Perang Salib (488-690H/1095-1291M) yang sangat panjang, Bani Abbasiyah hancur
total akibat serangan tentara Mongol yang dipimpin Hulagu Khan tahun 656H/1258.
Tetapi kalau disigi lebih dalam, bukan karena kedua faktor itu saja Bani Abbasiyah
hancur. Walaupun faktor-faktor yang menyebabkan hancurnya Bani Umayah lebih
kompleks dari yang dihadapi Bani Umayah, tetapi anehnya, beberapa di antara
faktor internalnya persis sama, yaitu sistem pemerintahan yang tidak legitimate dan
pola hidup khalifah yang bermewah-mewah, selain juga karena pertentangan antara
umara dengan ulama, pertentangan antara kaum mu’tazilah dengan Islam ortodoks,
berkembangnya sufisme dan asketisme, masuknya riba dalam perekonomian Islam,
serta pengaruh negatif dominasi Bani Buwaihiyah (334-442H/945-1058M) dan Turki
Saljuq (447-590H/1055-1194).

Sistem Pemerintahan yang tidak Legitimate


Sebagaimana sudah disinggung sebelumnya, semenjak berakhirnya era
Khulafaur-Rasyiddin, tidak seorang pun di antara raja-raja Islam yang berkuasa yang
dipilih secara demokratis sesuai syara’, baik selama era Bani Umayah maupun era
Bani Abbasiyah. Walaupun sebelumnya telah banyak pihak, terutama para ulama,
yang mengecam praktek model penunjukan penguasa berdasarkan keturunan yang
di‛prakarsai‛ oleh Muawiyah sewaktu mendirikan dinasti Umayah, namun model ini
di‛lestarikan‛ oleh Abu’l Abbas dan keturunannya selama memegang tampuk
kendali pada era dinasti Abbasiyah. Padahal koalisi dari ketiga gerakan kaum
Mawali, Syiah dan Abbasiyah yang dipimpin oleh Abu’l Abbas pada awalnya adalah
dengan misi mendirikan kerajaan baru yang ideal sesuai tradisi Islam salaf. Tetapi

Sejarah Peradaban Islam .......178


janji mendirikan pemerintahan baru sesuai trandisi Islam salaf ini hanya sekedar janji
-janji politik belaka. Dalam kenyataan Abu’l Abbas menunjuk putranya Abu Ja’far al
-Manshur sebagai putra mahkota.
Sistem pemerintahan yang tidak legitimate ini berpengaruh terhadap pola
pemerintahan, politik, tidak terkecuali ekonomi, yang semakin jauh dari nilai-nilai
yang diajarkan syari’ah. Penguasa mulai banyak yang korup, suka berfoya-foya, dan
terperangkap dekadensi moral. Akibat dari perilaku penguasa yang semakin jauh dari
nilai-nilai Islami tersebut maka para ulama kembali menjauhkan diri dari istana.
Yang menjadi masalah, ketika para ulama menjauhkan diri dari istana, tidak ada lagi
dialog antara ulama dengan umara. Kalaupun ada ulama yang dekat dengan penguasa
untuk memberi masukan, hubungan ini dipandang oleh ulama sufi dengan curiga.
Karena ulama semakin menjauh, maka penguasa semakin berani berbuat sekehendak
hati. Sebagai dampaknya, situasi politik makin runyam, administrasi pemerintahan
terbengkalai, kehidupan rakyat tidak terperhatikan. Semuanya memicu terjadinya
konflik, pertengkaran, juga pemberontakan terhadap penguasa.

Merajalelanya Kebiasaan Hidup Mewah


Faktor kedua penyebab melemahnya kekuasaan Bani Abbasiyah yang identik
dengan kelemahan yang dijumpai pada era kekuasaan Bani Umayah ialah semakin
merajalelanya kebiasaan hidup mewah. Hal ini paling dirasakan sepeninggal al-
Ma’mun. Pola pemerintahan, politik, tidak terkecuali ekonomi, semakin jauh dari
syari’ah. Penguasa mulai banyak yang korup, suka berfoya-foya, dan terperangkap
dekadensi moral. Pola hidup bermewah-mewah ini pada awalnya dicontoh dari
budaya Persia dan Romawi, tetapi dilanggengkan oleh orang-orang Turki mulai
Turki budak, Turki Buwayhiyah dan Turki Saljuq yang mendominasi dinasti
Abbasiyah setelah dominasi Persia berakhir.
Sebagaimana sudah disinggung sebelumnya, waktu Islam menaklukkan
imperium Persia dan Romawi Timur, terjadi perkawinan dan asimililasi budaya
antara bangsa Arab dengan bangsa Persia. Sebagai contoh, ibu al-Ma’mun adalah
keturunan Persia, dan beliau sendiri juga kawin dengan seorang puteri Persia.
Perkawinan dan asimilasi budaya ini disatu sisi menguntungkan kedua belah pihak.
Tetapi dampak negatifnya bukan tidak ada. Penguasa Islam terpengaruh dengan
kebiasaan pola hidup mewah dan suka berfoya-foya bangsa Persia dan Romawi.
Begitu kuatnya pengaruh tersebut sehingga mampu menghilangkan kebiasaan hidup
sederhana dan militan yang ditanamkan Nabi dan dipelihara oleh Abu Bakar dan
Umar.
Sebagaimana sudah disinggung pada bab 3, Umar bin Khattab pada pidato
pelantikannya sebagai khalifah kedua menggantikan Abu Bakar meminta kepada
masyarakat bahwa kalau ia berbuat baik, masyarakat harus membantunya, dan jika
berbuat salah, beliau juga berharap masyarakat juga tidak segan-segan menegurnya,
kalau perlu ‛meluruskannya‛ dengan pedang. Kesederhanaan dan kerendahan hati ini

Sejarah Peradaban Islam .......179


tidak dimiliki para khalifah Abbasiyah. Mereka terkontaminasi oleh budaya
kekuasaan dan pola hidup mewah masyarakat Persia dan Romawi, menganggap diri
mereka sebagai ‛wakil Tuhan di Bumi‛ dan kebanyakan bertindak sebagai diktator
yang berkuasa atas segala-galanya. Kepala Negara dalam budaya Persia dan Romawi
adalah sumber dari seluruh kekuasaan dan pusat dari segala urusan yang
berhubungan dengan pemerintah dan negara. Karena pengaruh Persia dan Romawi
tersebut maka kehidupan khalifah Abbasiyah juga tidak ubahnya seperti kehidupan
para Kaisar, yang dipenuhi oleh semua kemewahan dan kebesaran. Suasana
kemewahan dan kebesaran yang memenuhi kehidupan para khalifah Abbasiyah
menyebabkan mereka hanyut semakin jauh dari sifat-sifat kesederhanaan bangsa
Arab sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dan Kulafaur
Rasyiddin.
Tetapi tidak semua pakar setuju dengan pendapat bahwa salah satu
penyebab runtuhnya Bani Abbasiyah, sama seperti Bani Umayah, adalah kebiasaan
hidup mewah, apalagi yang menyatakan bahwa para khalifah, termasuk di antaranya
Harun al-Rasyid, suka minum khamar. Menurut Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah,
memang ada khalifah Abbasiyah, juga khalifah Umayah, yang suka minum hasil
perasan buah korma. Jelas perasan buah korma ini tidak sama dengan khamar, juga
tidak dilarang oleh agama.

Pengaruh Turki Budak, Turki Buwaihiyah dan Turki Saljuq


Pemerintahan Bani Abbasiyah tidak murni dikuasa orang Arab, tetapi juga
ada pengaruh orang Persia, Turki Budak, Turki Buwaihiyah dan Turki Saljuq. Waktu
dipengaruhi orang-orang Persia, terjadi synergi yang baik antara budaya Arab dengan
budaya Persia, dan Islam mencapai puncak kejayaan. Kemunduran Islam mulai terasa
waktu khalifah-khalifah Abbasiyah menjadi boneka-boneka dari penguasa-penguasa
Turki budak, dan makin hancur di bawah dominasi Turki Buwayhiyah dan Turki
Saljuq. Menurut Ahmad (2001), kalau era Abbasiyah periode 132-218H/750-833M
disebut sebagai zaman monarki konstitusional, era 218-248H/833-856M lebih tepat
dikatakan sebagai era monarki absolut. Pada era ini tidak ada lagi tanda-tanda
keislaman. Khalifah tidak lagi menjadi Imam shalat, dan tidak mau menjadi khatib
setiap Jum’at sebagaimana yang dipraktekkan khalifah-khalifah terdahulu. Terlebih-
lebih periode 247-322H/816-934M, adalah periode yang sangat pahit bagi Dinasti
Abbasiyah. Khalifah hanya jadi boneka dan barang permainan para pembesar Turki
Buwaihiyah. Kekuasaan khalifah atas rakyatnya hilang, bahkan keamanan diri dan
jiwa khalifah tidak ada sama sekali, sebab setiap saat ia bisa dibawa ke tiang
gantungan , disakiti atau dibunuh oleh para pembesar Turki.
Pengaruh kekuasaan Bani Buwaihiyah berawal ketika al-Mustakfi (333-
334H/944-946) meminta bantuan kepada Ahmad al-Buwayh untuk mengimbangi
tekanan kelompok Turki budak. Permintaan al-Mustakfi dikabulkan oleh Ahmad al-
Buwayh, dan dalam tempo singkat pasukan Buwaihiyah berhasil mengamankan kota

Sejarah Peradaban Islam .......180


Baghdad dan sekaligus mengusir para perwira Turki budak. Tetapi setelah kekuatan
Turki budak bisa diusir, giliran Bani Buwaihiyah yang berasal dari Iran Syiah ini
pulalah yang lebih berkuasa di kekhalifahan Abbasiyah.
Pendudukan Baghdad oleh penguasa Buwaihiyah sebagai suatu negara-
pengganti kekhalifahan Abbasiyah memperlihatkan bahwa disintegrasi kerajaan
Abbasiyah tidak bisa dihindarkan. Walau dinasti Buwaihiyah bukanlah yang pertama
yang menjadi penguasa wilayah Abbasiyah de facto tanpa mengusir khalifah, tetapi
ia adalah yang pertama yang menduduki propinsi metropolitan Abbasiyah Irak dan
mengontrol langsung atas kekhalifahan sendiri. Keberhasilan mereka menguasai
kekhalifahan Abbasiyah merupakan puncak pencapaian bangsa Iran secara progresif
dalam kekuasaan politik di negara Islam dengan mengalahkan bangsa Arab.
Sebahagian dari orang-orang Iran ini adalah penganut Syiah radikal, bukan Sunni.
Hal ini sekaligus merupakan kemenangan kaum Syiah atas kaum Sunni. Periode
dimana Bani Abbasiyah dikuasai oleh kekuasaan Buwaihiyah berlangsung cukup
lama, lebih dari satu abad mulai tahun 945 hingga 1055 Masehi.
Posisi Bani Buwaihiyah sebagai penguasa kedaulatan Dinasti Abbasiyah
digantikan oleh Turki Saljuq (447-590H/1055-1194). Pada awalnya, penguasa Turki
Saljuq seperti Tughril, Elp Arselan dan Malik Syah memerintah dengan baik dan
memberi perhatian istimewa terhadap pengembangan ilmu pengetahuan, terutama
pada era Sultan Malik Syah yang dibantu oleh wazirnya Nizam al-Mulk. Tetapi sejak
itu grafik kembali menurun. Penguasa yang diberi segala fasilitas kenikmatan dunia
lebih suka hidup berfoya-foya, tetapi pemerintahan dijalankan oleh orang-orang
Turki Saljuq.
Untuk memenuhi gaya hidup mewah keluarga istana, orang-orang Turki
Saljuq menganjurkan agar khalifah menerapkan tingkat pajak yang lebih tinggi. Hal
ini paling dirasakan oleh kaum non-Muslim seperti para petani di Khurasan. Karena
tingkat pajak sangat membebani, khususnya non-Muslim, maka penderitaan
penduduk Khurasan akhirnya menjadi ancaman yang serius bagi stabilitas
pemerintahan Abbasiyah. Penerapan pajak tersebut makin membebani rakyat dan
jauh dari nilai-nilai Islam yang mengutamakan keadilan. Ironisnya, pada saat jenis
dan tingkat pajak ditingkatkan penguasa, justru perlindungan terhadap petani
semakin berkurang. Akibatnya, pembangunan di sektor pertanian anjlok, yang pada
gilirannya mengakibatkan lemahnya perekonomian dan bahkan pemerintahaan itu
sendiri. Karena kemewahan hidup para penguasa dibiayai dengan beban pajak yang
ditanggung oleh masyarakat secara tidak adil, sementara setiap kritik yang
dilancarkan dibayar dengan ganjaran keras oleh penguasa yang lalim, akhirnya
membuat para ulama pesimis. Mereka menjadi sangat tersiksa, dan mulai menjauhi
istana dan pusat-pusat kekuasaan.
Dari uraian di atas jelas bahwa sejak masuknya riba ke dalam perekonomian
dan terpecahnya masyarakat Islam ke dalam kelompok-kelompok kecil telah
membuka peluang bagi kekuasaan asing untuk menguasai daerah-daerah yang dulu

Sejarah Peradaban Islam .......181


jadi taklukan tentara Islam. Kaum Sholibiyyin semakin banyak menguasai daerah-
daerah Islam. Pada akhir abad ke-5 hijriah kaum Sholibiyyin berhasil melakukan
invasi militer dan menguasai wilayah Syam. Perang berkepanjangan menghancurkan
infrastruktur sosial dan ekonomi dalam masyarakat, menyebabkan perekonomian
juga semakin lemah. Dalam posisi serba lemah ini negara mudah diserang oleh pihak
luar. Era kejatuhan Bani Abbasiyah Islam semakin pasti ketika Baghdad jatuh
ketangan pasukan mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan pada tahun
656H/1258M.

Sejarah Peradaban Islam .......182


PERADABAN ISLAM
ERA MODERN

A. Belajar dari Sejarah Masa Lalu


Dari Bab 1 sampai bab 4 sudah kita bahas berbagai aspek sejarah Islam,
mulai dari era kebangkitan Islam pada masa Rasulullah dan era Khulafaur-Rasyidin,
dilanjutkan oleh era kedinastian Bani Umayah (di Damaskus) dan Bani Abbasiyah,
yang dikatakan sebagai puncak kejayaan Islam. Dari uraian tersebut ternyata bahwa
Islam pernah berjaya di banyak bidang, tidak hanya politik dan militer,
perekonomian dan perdagangan, juga pendidikan, seni dan kebudayaan.
Pada masa Nabi terjadi kemajuan dalam bidang agama dan politik, dan pada
masa Khulafaur-Rasyidin terjadi kemajuan dalam bidang politik dan militer dengan
wilayah kekuasaan yang makin luas melampaui jazirah Arab. Sejak era Bani
Umayah, walau bentuk pemerintahan sudah lari dari sistem syura sebagaimana yang
dianjurkan Nabi dan dilaksanakan dengan konsisten oleh Khulafaur-Rasyidin, namun
masih terjadi kemajuan dalam politik, militer dan lebih-lebih ekonomi. Selanjutnya
pada era Bani Abbasiyah terjadi kemajuan dalam hampir semua bidang, mulai dari
politik, militer, ekonomi, juga bidang sains dan peradaban.
Kecepatan dan jangkauan penaklukan negara Islam sangat luar biasa. Hal ini
bahkan diakui oleh sejarawan terkenal seperti Arnold Toynbee (1976) dan Hitti
(1973). Dari Kerajaan Romawi Timur orang-orang Arab Muslim menaklukkan Syria,
Mesopotamia, Palestina dan Mesir pada tahun 641M. Dari Kerajaan Persia mereka
menaklukkan Irak tahun 637M dan seluruh Iran, sampai sejauh Timur Laut,
termasuk Mery tahun 651M. Tahun 651 itu juga Kerajaan Persia Sasanid jatuh.
Tahun 653 penduduk Armenia dan Georgia tunduk pada negara Islam dengan syarat-
syarat yang meringankan. Antara tahun 647 dan 698 pasukan Islam menaklukkan
Afrika Barat Laut dari Romawi Timur, dan tahun 710-712 mereka menjatuhkan
Kerajaan Visigoth. Tahun 711 pasukan Islam juga menaklukkan Sind dan Punjab
Selatan, sampai Multan. Tahun 661-671 pasukan Islam menaklukkan Tokharistan

Sejarah Peradaban Islam .......183


(sekarang Afghanistan dan Uzbekistan) yang menjadi bagian Kerajaan Persia.
Pasukan Islam juga pernah menaklukkan Transoksania. Dengan penaklukan-
penaklukan tersebut, demikian Toynbee melanjutkan, negara Islam melingkupi jalur
darat antara India dan Cina melalui lembah sungai Oxus-Jaxartes.
Mengapa ekspansi Islam terjadi begitu pesat? Beberapa faktor yang
dikemukakan para ahli sejarah antara lain: para sahabat sangat konsisten
menyerukan dakwah agama; disiplin tentara Islam sangat tinggi; pemerintahan
didukung para sahabat; dan rasa persatuan dan kesatuan sangat tinggi. Kebetulan
pada waktu itu dinasti-dinasti besar seperti Byzantium, Persia dan Romawi Timur
sedang melemah, sedang pasukan Islam lagi semangat-semangatnya.
Berbeda dengan penaklukan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa lain, kita
bisa berbangga bahwa Islam melakukan ekspansi dengan simpatik, yaitu ikut
membangun masyarakat tempatan dan menerapkan pajak rendah. Penguasa Islam
tidak pernah memaksa penduduk non-Muslim masuk Islam. Dengan cara seperti itu
daerah-daerah taklukan pada umumnya tidak merasa ‛keberatan‛ atas pemerintahan
Islam. Hal ini diakui oleh Toynbee (1976), yang mengatakan bahwa penaklukan
Islam untuk sebahagian tertolong oleh sikap penganut Kristen Monophysite kerajaan
Persia Sasanid dan penganut Nestorian kerajaan Romawi Timur, yang justru merasa
beruntung di bawah kekuasaan Islam dibanding penguasa mereka sendiri.
Sayangnya, walau Islam pernah jaya hingga abad ke-11, dan kemajuan di
berbagai bidang masih berlanjut hingga abad ke-14, namun sejak abad ke-14 hingga
pertengahan abad ke-20 dapat diakatakan sebagai masa-masa gelap dan suram bagi
peradaban Islam. Sejak abad ke-16 masyarakat Muslim mengalami kemunduran
dalam hampir semua aspek, mulai dari politik, militer, ekonomi, sosial, dan budaya.
Yang menjadi pertanyaan, mengapa setelah menyumbang begitu begitu banyak
kemajuan, baik di bidang politik, ekonomi, hukum dan sosial budaya, Islam bisa
runtuh dan keok di hampir semua bidang?
Tentang penyebab kemunduran yang dialami oleh Umat Islam ini Umer
Chapra (2001) mencatat sudah banyak ilmuwan dan intelektual yang mengemukakan
pendapat tentang kemuduran yang dialami umat Islam tersebut, di antaranya oleh
Hitti (1958), Arsalan (1962), Izzawi (1966 dan 1970), Saunders (ed., 1966), Inalcik
(1970), Lambton (1970), Musallan (1981), Imam (1987), al-Najjar (1409H), Lewis
(1960, 1962) dan Kuran (1997). Dari berbagai kajian yang dilakukan oleh para
ilmuwan tersebut teridentifikasi beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya
kemunduran dalam peradaban Islam, antara lain: kemerosotan moralitas; hilangnya
dinamika dalam Islam setelah munculnya dogmatisme dan kekakuan berfikir;
kemunduran dalam aktivitas intelektual dan keilmuan; pemberontakan-
pemberontakan lokal dan perpecahan yang dibarengi oleh peperangan dan serangan-
serangan dari luar yang merusak dan melemahkan negara; terciptanya ketidak-
seimbangan keuangan dan hilangnya rasa aman terhadap kehidupan dan kekayaan,
pertumbuhan ekonomi dan investasi yang terus menurun; kemunduran dalam bidang

Sejarah Peradaban Islam .......184


pertanian, industri dan perdagangan; habis dan hilangnya kekayaan alam, bencana-
bencana alam seperti wabah penyakit dan kelaparan yang tidak hanya melemahkan
ekonomi tetapi juga menyebabkan penurunan jumlah penduduk dalam skala besar.
Dari beberapa faktor penyebab kemunduran dalam Islam yang diidentifikasi
oleh para pakar tersebut, ada yang disetujui oleh Umer Chapra (2001), tetapi ada
pula yang dibantahnya. Yang jelas Chapra membantah sinyalemen yang dilontarkan
oleh kekuatan-kekuatan sekuler dan anti-Islam yang menyimpulkan bahwa
kemunduran Islam disebabkan oleh Islam itu sendiri. Kenyataannya, sebagaimana
yang dikutip beliau dari Toynbee dalam ‛A Studty of History‛ (1935), Islam yang
dibawa Muhammad mampu mentransformasikan suku-suku Arab yang sebelumnya
suka bertengkar, miskin sumberdaya alam, beriklim buruk dan bertanah tandus
menjadi dapat berkembang secara pesat di berbagai bidang. Islam memberi perhatian
yang maksimum kepada rakyat, mengangkat mereka secara modal dan material, dan
memperbaiki lembaga-lembaga yang mempengaruhi kesejahteraan masyarakat.
Islam di satu sisi memiliki keunggulan, yaitu mampu menjanjikan program
yang seimbang dan dapat dilakukan untuk mereformasi moral, sosial, ekonomi dan
politik secara menyeluruh. Perhatian Islam yang besar pada keadilan sosial-ekonomi,
pertanggungjawaban kekuasaan politik, aturan hukum, nilai-nilai hukum dan
pembangunan karakter, dikombinasikan dengan strategi Islam untuk menggunakan
pendidikan serta dialog guna melakukan perubahan, mestinya terbukti sebagai
keberkahan yang besar bagi Dunia Muslim. Sayangnya, walau Islam memiliki begitu
banyak keunggulan, tetapi tidak pula bisa dipungkiri bahwa korupsi dan ketidak-
adilan justru lebih besar ditemukan di Dunia Islam ketimbang dunia sekuler Barat.
Begitu juga para pekerja Muslim kurang cermat, kurang kerja keras dan tidak tepat
waktu dibandingkan dengan pekerja Barat, dan para pengusaha Muslim tidak sejujur
dan sehati-hati sebagaimana digariskan oleh norma-norma Islam. Menurut Chapra
(2001), kaum Muslim tertinggal jauh dalam hal-hal tersebut bukan karena Islam,
tetapi lebih karena mengabaikan Islam.
Selain itu Chapra membantah bahwa Islam runtuh karena terjadinya
kemunduran moral dalam masyarakat Muslim. Walaupun ia mengakui bahwa
kerusakan moral berdampak terhadap kreativitas, vitalitas dan solideritas serta
membuat umat Islam tidak mampu menghadapi berbagai tantangan, namun
kemunduran moral masyarakat Muslim bukan sebagai penyebab, melainkan sebagai
akibat. Terjadinya kemunduran moral masyarakat Muslim disebabkan keadaan di
negara-negara Islam yang makin lama makin tidak kondusif untuk memberikan
pendidikan yang layak, sementara itu lembaga-lembaga politik, hukum, sosial dan
ekonomi semakin tidak menjamin keadilan, pengembangan sumberdaya manusia
secara maksimal, dan partisipasi masyarakat secara optimal. Semua ini menyebabkan
terjadinya kemunduran moral, yang mengakibatkan masyarakat kehilangan vitalitas
dan solideritasnya. Tapi, demikian Chapra menandaskan, disini moral adalah sebagai
akibat, bukan sebagai penyebab kemunduran sebagaimana yang disinyalir para

Sejarah Peradaban Islam .......185


pengamat Barat tersebut di atas.
Karena banyak kajian dan penilaian yang kurang pas tentang faktor-faktor
penyebab kemunduran Islam sebagaimana dikemukakan oleh kekuatan-kekuatan
sekuler tersebut di atas, maka Umer Chapra sendiri dalam ‚The Future of
Economics‛ (2001) memberikan uraian yang tidak kalah menarik tentang
kebangkitan, kejayaan dan kejatuhan Islam. Dengan mengadopsi pendekatan multi-
disipliner Ibnu Khaldun dari Muqaddimah yang didasarkan pada dinamika sejarah,
sosial, budaya, ekonomi dan politik serta model sebab-akibat sirkuler, Chapra
menyimpulkan bahwa faktor utama yang menyebabkan terjadinya kemunduran
dalam Dunia Islam adalah ditinggalkannya pemilihan pemimpin berdasarkan syura,
bentuk demokrasi yang dikembangkan oleh Rasulullah dan diteruskan oleh
Khulafaur-Rasyiddin, tetapi diabaikan oleh Muawiyah dengan mewariskan tahta
kepada anaknya Yazid. Sebagaimana sudah kita kemukakan sejak bab 4 hingga bab
8, stigma illegitimacy inilah yang menjadi salah satu pemicu perdebatan antara
ulama dan umara yang bermuara pada melemahnya persatuan dan kesatuan umat
Islam. Bentuk pemerintahan yang tidak absyah menyebabkan diabaikannya syari’ah
dan pemerintahan yang sarat KKN, yang pada gilirannya menyebabkan terjadinya
kemunduran dalam ekonomi dan politik; rusaknya solideritas antara pemerintah dan
masyarakat dan diabaikannya pendidikan, sehingga akhirnya negara-negara Islam
kalah hampir dalam segala aspek dari negara-negara sekuler Eropa dan Amerika
Serikat.
Selain semua faktor internal yang disebutkan di atas masih ada beberapa
faktor eksternal yang menyebabkan melemahnya sebahagian besar wilayah-wilayah
umat Islam, di antaranya adalah penghancuran Baghdad dan beberapa daerah
sekitarnya oleh tentara Mongol tahun 656H/1258, Perang Salib (488-690H/1095-
1291M), invasi Mongol (656-758H/1258-1355M), peristiwa Black Death, wabah
penyakit pes yang menyapu Eropa dan Asia tahun 1340-an. Tetapi karena sifatnya
eksternal, tak banyak yang bisa dilakukan. Oleh karena itu dalam upaya
mengantisipasi berbagai kelemahan yang dialami umat Islam, perhatian harus lebih
ditujuan untuk mengatasi masalah-masalah yang internal sifatnya.
Persoalan-persoalan politik, ekonomi dan sosial yang dihadapi umat Islam
semakin banyak, semakin bervariasi, dan semakin kompleks dari tahun ke tahun.
Untuk mengatasi berbagai persoalan politik, ekonomi dan sosial tersebut diperlukan
kehadiran para mujtahid, yaitu orang-orang yang berwenang membuat keputusan-
keputusan hukum agama, daripada sekedar menerapkan sejumlah preseden yang
telah ada. Tetapi, justru disinilah letak permasalahannya. Para ulama ortodoks
mendeklarasikan bahwa pintu ijtihad perorangan telah ditutup. Hal ini merupakan
kerugian yang sangat besar bagi umat Islam. Karena dilarang melakukan ijtihad,
kaum muslimin tidak memiliki kapabilitas dalam menemukan hukum-hukum syariat
khusus tentang masalah-masalah politik, ekonomi dan sosial yang ada di tengah-
tengah masyarakat.

Sejarah Peradaban Islam .......186


Dampak lebih parah dari kebijakan menutup pintu ijtihad ialah matinya
kreativitas para ilmuwan Muslim. Mereka hanya mempelajari buku-buku masa lalu
tanpa sikap kritis, dan tidak mampu mengkaitkan ilmu yang dibaca dari buku-buku
tua tersebut dengan persoalan-persoalan yang dihadapi di tengah-tengah masyarakat.
Artinya, mereka banyak hafal buku-buku, tetapi tak tahu bagaimana
menggunakannya untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat
dalam dunia nyata.
Dunia Islam mengalami masa-masa gelap sejak pertengahan abad ke-15
hingga paroh pertama abad ke-20. Kejatuhan Islam sudah dirasakan pada abad ke16,
dimana Dunia Islam mulai kalah dalam berbagai aspek dari Dunia Barat. Sebagai
contoh, Turki yang dulunya perkasa makin sering kalah waktu berhadapan dengan
dunia Barat, tidak hanya dalam bidang militer tetapi juga dalam bidang-bidang
kehidupan lainnya. Sejak abad ke-18 Islam jatuh baik dari segi politik, militer,
ekonomi dan sosial-budaya, bahkan juga dari segi intelektualitas bersamaan dengan
bangkitnya peradaban dan perekonomian negara-negara Barat. Sebagaimana
dikemukakan oleh Chapra (2001), ‛Peradaban Barat mengambil alih obor ilmu
pengetahuan dari Dunia Islam dengan pijar yang lebih terang‛.
Sebagai perbandingan, pada era dimana kerajaan-kerajaan Islam jauh dari
nilai-nilai Islam, negara-negara sekuler di Eropa dan kemudian Amerika Serikat
justru menerapkan sistem pemerintahan demokrasi dan menjunjung keadilan sesuai
yang dikehendaki dalam Islam. Dengan menerapkan sistem pemerintahan yang
menjunjung keadilan terbukti bahwa negara-negara Eropa dan Amerika Serikat,
walau sekuler, lebih berhasil dalam melaksanakan pembangunan dan meningkatkan
kesejahteraan rakyat mereka.
Pada abad ke-20 Dunia Barat berhasil mengalahkan negara-negara Islam,
sekaligus mendominasi di lapangan ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, juga
politik dan militer. Kalau ditelusuri lebih seksama, semua ini bisa terjadi karena
adanya lembaga-lembaga demokrasi dan pertanggungjawaban politik yang baik di
negara-negara Barat. Adalah sebuah ironi, negara-negara Barat walau sekuler tetapi
dengan lembaga-lembaga demokrasi serta akuntabilitas politik yang baik, lebih
berhasil dalam mengatasi sejumlah masalah yang gagal dipecahkan oleh kaum
Muslim yang memiliki nilai-nilai yang jauh lebih baik namun mengabaikan nilia-
nilai Islam sesuai syariah dalam kehidupan keseharian mereka.
Dari uraian di atas terlihat bagaimana gonjang ganjing dalam kehidupan
politik berimplikasi terhadap kemunduran dalam aktivitas intelektual dan keilmuan.
Selanjutnya begitu pendidikan diabaikan, Dunia Islam kalah dalam berbagai bidang,
tidak hanya ekonomi, politik dan ideologi, juga militer. Yang pasti, kondisi ini telah
melemahkan dinamika Islam, sehingga cita-cita untuk memperjuangkan sistem
politik, hukum dan sosial ekonomi yang akan membantu dalam merealisasikan
tatanan sosial ekonomi yang adil tinggal sebagai angan-angan belaka.
Dari berbagai kajian yang dilakukan oleh para ilmuwan baik Muslim maupun

Sejarah Peradaban Islam .......187


non-Muslim sebagaimana dijelaskan di atas, dapat diidentifikasi beberapa faktor
yang menjadi penyebab terjadinya kemunduran dalam peradaban Islam, antara lain:
kemerosotan moralitas; hilangnya dinamika dalam Islam setelah munculnya
dogmatisme dan kekakuan berfikir; kemunduran dalam aktivitas intelektual dan
keilmuan; pemberontakan-pemberontakan lokal dan perpecahan yang dibarengi oleh
peperangan dan serangan-serangan dari luar yang merusak dan melemahkan negara;
terciptanya ketidak-seimbangan keuangan dan hilangnya rasa aman terhadap
kehidupan dan kekayaan, pertumbuhan ekonomi dan investasi yang terus menurun;
kemunduran dalam bidang pertanian, industri dan perdagangan; habis dan hilangnya
kekayaan alam, bencana-bencana alam seperti wabah penyakit dan kelaparan yang
tidak hanya melemahkan ekonomi tetapi juga menyebabkan penurunan jumlah
penduduk dalam skala besar. Secara lebih spesifik Chapra (2001) menyimpulkan
bahwa faktor utama penyebab terjadinya kemunduran dalam Dunia Islam adalah
ditinggalkannya pemilihan pemimpin berdasarkan syura, dan selanjutnya stigma
illegitimacy ini memicu perdebatan antara ulama dan umara yang bermuara pada
melemahnya persatuan dan kesatuan umat Islam; menyebabkan diabaikannya
syari’ah dan pemerintahan yang sarat KKN, yang pada gilirannya menyebabkan
terjadinya kemunduran dalam ekonomi dan politik; rusaknya solideritas antara
pemerintah dan masyarakat dan kemunduran pendidikan.
Mengacu kepada berbagai faktor penyebab kemunduran Islam di atas, maka
sebagai strategi untuk perjuangan umat Islam kedepan, ada tiga hal yang paling perlu
dilakukan, yaitu mereformasi sistem politik ke arah yang lebih demokratis sesuai
syura, mereformasi sistem ekonomi ke arah perekonomian pasar yang berkedilan
sesuai syariat, dan mereformasi sistem pendidikan lewat islamisasi ilmu
pengetahuan.

B. Kebangkitan Kembali Islam Abad ke-20


Abad ke-20 menandai kebangkitan baru cita-cita Islam. Kebangkitan
kembali negara-negara yang berideologikan Islam pada abad ke-20 tersebut muncul
dalam tiga gelombang. Gelombang pertama adalah generasi sebelum Perang Dunia
pertama, dimulai oleh Iran yang merdeka tanggal 1 Agustus 1906. Generasi kedua
adalah periode pasca Perang Dunia pertama dan sebelum Perang Dunia kedua, diisi
oleh negara-negara seperti Mesir (19 April 1923), Turki (20 April 1924), Irak (21
Maret 1925), Afghanistan (31 Oktober 1931), dan Saudi Arabia (23 September
1932). Setelah berakhirnya Perang Dunia kedua masih ada beberapa negara yang
mayoritas penduduknya beragama Islam merebut atau memperoleh kemerdekaan,
dimulai oleh Indonesia (17 Agustus 1945), Yordania (17 Juni 1946), Pakistan (14
Agustus 1947), Syria (5 September 1950), Libya (3 Desember 1950) dan Sudan
(Februari 1953). Sebahagian di antara negara-negara yang mayoritas penduduknya
beragama Islam tersebut ada yang masih berbentuk kerajaan atau monarki (seperti
Arab Saudi, Yaman, Yordania), dan hanya sedikit yang berusaha menegakkan

Sejarah Peradaban Islam .......188


demokrasi dengan memilih bentuk Republik (seperti Iran, Indonesia dan Pakistan).
Menurut Ahmad (2001), Khadive Ismail di Mesir sebenarnya sejak tahun
1866 sudah memerintahkan membentuk dewan perwakilan yang disebut ‛Majelis
Syura Nawab‛, dengan pertimbangan bahwa selain sistem semacam ini makin
populer di Eropa dan Amerika Serikat, juga karena ada ajakan dalan al-Qur’an:
‛bermusyawarahlah dengan mereka (rakyat) dalam urusan (pemerintahan)‛. Sayang
gerakan demokrasi di Mesir berjalan lambat. Yang lebih cepat gerakan demokrasinya
adalah di Syria. Negara republik Islam ini sudah mempunyai perangkat kenegaraan
lengkap dengan parlemen yang benar-benar demokratis.
Suatu hal yang menggembirakan, hampir semua negara-negara dengan
mayoritas penduduk beragama Islam tersebut mempunyai undang-undang dasar. Di
Mesir undang-undang dasar ini disebut Dustour, di Irak dinamakan Qanun Asasi’y,
dan di Saudi Arabia disebut Nizahamud al-Asasi’y. Yang lebih menggembirakan
lagi, dalam beberapa undang-undang dasar di negara-negara yang mayoritas
penduduknya Islam tersebut ditegaskan bahwa agama resmi yang dianut adalah
Islam. Dalam Undang-undang Dasar Iran (7 Oktober 1907) pasal 1 dinyatakan,
‛Agama resmi Persia adalah Islam‛. Dalam Undang-undang Dasar Afghanistan (22
Februari 1933) pasal 1 berbunyi, ‛Agama Afghanistan adalah agama Islam yang suci,
dan mazhab resmi yang dianut oleh penduduknya adalah mazhab Hanafi. Raja
Afghanistan harus menganut mazhab ini‛. Undang-undang Dasar Mesir (19 April
1923) pasal 129 berbunyi, ‛Islam adalah agama kerajaan, dan bahasa Arab menjadi
bahasa resmi‛. Undang-undang Dasar Irak (21 Maret 1925, diubah pada 29 Juli 1925
dan diubah lagi pada 27 Oktober 1943) pasal 13 berbunyi, ‛Islam adalah agama
resmi negara. Kebebasan mengamalkan ibadah dari bermacam-macam aliran agama
yang dianut penduduk dijamin‛. Undang-undang Dasar Turki yang pertama (20 April
1924) pasal 2 berbunyi, ‛Agama negara Turki adalah Islam, bahasa resminya bahasa
Turki, dan pemerintahannya berkedudukan di Ankara‛. Sayangnya pada 10 April
1928 dan kemudian 5 Februari 1937 perkataan ‛Agama negara Turki adalah Islam‛
dihapus, begitu juga pasal 26 yang berbunyi ‛Dewan Perwakilan Rakyat
menjalankan perintah syariat‛ dihapus (Ahmad, 2001).
Islam makin bangkit sejak negara-negara Asia dan Afrika, sebahagian di
antaranya berpenduduk mayoritas Islam, merdeka tahun 60-an dan 70-an.
Kemerdekaan yang diraih negara-negara yang Islam yang selama ini terjajah telah
memberi angin segar bagi kebangkitan kembali nilai-nilai Islam. Kalau selama
dijajah negara-negara Islam didominasi mulai dari ekonomi, politik, ideologi hingga
budaya, dan hukum, maka setelah merdeka mereka menemukan kembali identitas
ideologi mereka dan siap berperan pada sebuah masa depan yang baru. Beberapa
tokoh dan cendekiwan Muslim mulai melakukan pembenahan dan mengevaluasi
secara kritis dan menyeluruh sistem ekonomi, politik, budaya dan hukum serta moral
dan ideologi yang diintrodusir secara paksa oleh negara-negara kolonial.
Menjelang berakhirnya abad ke-20 kolonialisme ditantang, baik pada tingkat

Sejarah Peradaban Islam .......189


intelektual maupun pada tingkatan militer. Begitu juga banyak muncul kajian Islam
tentang status quo Muslim dan peradaban Barat. Muncul berbagai aktivitas
intelektual baru yang menekankan perlunya menolak segala pemikiran sekutu Barat
dan kembali pada nilai-nilai Islam yang sesungguhnya, yaitu al-Qur’an dan al-Hadis.
Pentingnya jihad dan ijtihad telah direalisasikan. Keduanya menjadi benteng kembar
bagi kebangkitan Islam saat ini.

C. Reformasi Sistem Ekonomi


Salah satu upaya memajukan umat Islam adalah dengan memperjuangkan
perekonomian dan kesejahteraan umat Islam itu sendiri. Jika perekonomian dan
kesejahteraan umat Islam bisa ditingkatkan, diharapkan perjuangan untuk mengatasi
persoalan di berbagai bidang lain akan lebih mudah dilakukan. Sehubungan dengan
hal ini maka langkah kedua yang tidak kalah strategisnya untuk dilakukan adalah
mereformasi sistem ekonomi yang ada di negara-negara Islam agar sesuai dengan
nilai-nilai syariat. Ke depan sistem ekonomi Islam harus dikembangkan sedemikian
rupa sehingga dapat memberikan gambaran yang utuh (kaffah) mengenai
keseluruhan persoalan-persoalan ekonomi, termasuk mengembangkan strategi dan
kebijakan ekonomi sehingga mampu memberikan rahmatan lil alamin bagi seluruh
umat manusia dan alam semesta.

Nilai-nilai Ekonomi dalam Islam


Nilai-nilai ekonomi sesuai Islam dapat dipedomani dari al-Qur’an dan al-
Hadis; ketentuan dari pada Imam dalam mazhab mereka masing-masing mulai dari
mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali; dan terlebih lagi lewat pemikiran para
fuqaha’ dan cendekiawan Islam. Dari al-Qur’an dan as-Sunnah juga dari ketentuan-
ketentuan yang ditetapkan dalam Mazhab yang Empat, orang dapat menyimpulkan
bahwa Islam telah memberi pedoman hidup yang lengkap dalam semua aspek
kehidupan, termasuk dalam aktivitas ekonomi. Sebagai suatu ajaran yang sifatnya
menyeluruh, sistem ekonomi Islam tidak terlepas dari nilai-nilai syariat. Ekonomi
Islam bertitik tolak dari iman kepada Allah, tujuannya mencari ridha Allah, dan cara-
caranya tidak bertentangan dengan syariat-Nya. Dalam ajaran Islam tugas manusia
adalah jadi wakil Tuhan di bumi, menegakkan tatanan baru, mempromosikan
keadilan, perdamaian dan memakmurkan bumi.
Lebih jauh, dari ajaran-ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah
orang dengan mudah dapat menyimpulkan bahwa ekonomi Islam yang dibawakan
oleh Nabi Muhammad memiliki ciri-ciri atau karakteristik khusus, antara lain:
berlandaskan pada tauhid, mengutamakan keadilan, menjunjung tinggi kemanusiaan,
menjunjung tinggi kebebasan, dan berlandaskan pada akhlak.
Pertama, ekonomi Islam dilandaskan pada tauhid. Dengan berlandaskan pada
tauhid (ilahiyah), ekonomi Islam mengakui bahwa yang mengatur segala sesuatunya
– termasuk semua aktivitas ekonomi - adalah Allah, sedang manusia hanya sebagai

Sejarah Peradaban Islam .......190


pelaksana dengan kemampuan terbatas. Dalam ajaran Islam, segala aktivitas
manusia dalam hubungannya dengan alam dan manusia, termasuk semua aktivitas
ekonomi mulai dari alokasi, produksi, distribusi dan konsumsi, semuanya dibingkai
dalam kerangka hubungan dengan Allah. Berlandaskan tauhid, seorang Muslim tidak
akan mengambil harta yang bukan miliknya, dan tidak memakan harta yang bukan
haknya.
Kedua, Islam sangat mengutamakan keadilan. Sebagai sebuah sistem
ekonomi yang mengutamakan keadilan, al-Qur’an meletakkan keadilan sederjat
dengan kebajikan dan ketaqwaan, sekaligus sebagai kunci dan dasar dari
kesejahteraan umat manusia. Prinsip keadilan Islam sangat kentara dalam praktek
mudharabah (berbagi keuntungan dan kerugian), dimana pemilik modal dan
pengguna modal (pekerja) ditempatkan pada posisi yang sejajar. Dalam Islam tidak
boleh ada eksploitasi oleh suatu kelompok terhadap yang lain, seperti oleh tuan
terhadap hamba; majikan terhadap buruh; tuan tanah terhadap petani penyakap; toke
terhadap anak buah kapal; negara-negara maju terhadap negara-negara sedang
berkembang dan terkebelakang.
Ketiga, ekonomi Islam memberikan perhatian yang tinggi terhadap aspek
kemanusiaan. Sisi kemanusiaan Ekonomi Islam sangat kelihatan dalam rukun Islam
keempat, yaitu adanya kewajiban bagi umat Islam untuk membayar zakat. Zakat
secara harfiah berarti ‚penyucian‛, dan buah bagi orang yang melaksanakannya
adalah ketentraman jiwa. Sehubungan dengan hal ini ada perbedaan yang sangat
menyolok antara pajak dalam sistem kapitalis dengan zakat dalam Islam. Dalam
sistem kapitalis orang membayar pajak dengan keterpaksaan, karena pajak
merupakan kewajiban. Tapi dalam Islam, orang dengan senang hati membayar zakat
untuk kebaikan dirinya sendiri, sebab dengan menunaikan zakat seseorang akan
memperoleh ketentraman.
Keempat, Islam sangat menjunjung kebebasan. Dalam Qur’an ditegaskan
bahwa tujuan utama dari misi kenabian Muhammad SAW adalah melepaskan
manusia dari beban dan rantai yang membelenggunya (al-A’raaf: 157). Karena Islam
menjunjung kebebasan, berarti kreasi, inovasi dan improvisasi untuk hal-hal yang
baik dan bermanfaat adalah keharusan. Bagaimanapun, kebebasan dalam Islam
bersifat relatif. Dalam Islam, kebebasan melakukan kegiatan ekonomi, bertransaksi,
dan kepemilikan individu hanya dibenarkan, sepanjang masih berada dalam koridor
dan tidak melanggar aturan Allah atau Sunnah Rasul.
Terakhir, Ekonomi Islam dilandaskan pada akhlak, dimana Islam mengaitkan
masalah muamalah dengan etika, yaitu: kejujuran, amanah, adil, ihsan, kebajikan,
silaturrahim, dan kasih sayang. Dengan demikian semua ilmu, apakah ilmu politik,
juga ilmu ekonomi, bahkan perang, semuanya terkait dengan etika. Dalam kehidupan
ekonomi, etika Islam harus tercermin dalam semua kegiatan ekonomi, mulai dari
produksi, sirkulasi dan perdagangan, hingga konsumsi. Semuanya etika terkait
dengan akidah.

Sejarah Peradaban Islam .......191


Pandangan dan pemikiran yang lebih rinci diberikan oleh para fuqaha’ dan
cendekiawan Muslim. Pada masa kejayaan Islam kita mengenal fuqaha’ dan
cendekiawan ekonomi Islam seperti Abu Yusuf (113-182H/731-798M) yang menjadi
tangan kanan atau qadi al-qudah khalifah Harun al-Rasyid; al-Syaibani (132-
189H/750-804H) yang sangat aktif menganjurkan agar umat Islam giat dalam
bekerja dan berusaha; Abu Ubayd (150-224H) sebagai ahli keuangan publik dan
pejuang desentralisasi fiskal dari Khurasan; juga al-Mawardi (364-450H/794-
1058M); al-Ghazali (450-505H/1055-1111M); dan Ibnu Taimiyah (661-728H/1263-
1328M). Bahkan waktu Islam mengalami kemunduran abad ke-14, masih ada ahli
ekonomi-politik Islam seperti Ibnu Khaldun (732-806H/1332-1404M) dan muridnya
al-maqrizi (767-846H/ 1364-1442M). Pada abad pertengahan ahli ekonomi Islam
makin berkurang, baik dari segi kualitas maupun mutu, tetapi pada masa modern
muncul kembali tokoh-tokoh ekonomi dalam jumlah jauh lebih banyak, seperti
Khursid Ahmad, Muhammad Umar Zubair, Muhammad Anas Zarqa, Nejatullah
Shiddiqi dan menjelang berakhirnya abad ke-20 muncul dua ekonom kontemporer
Islam yaitu al- Qardhawi dan Umer Chapra.
Kontribusi Islam yang utama terletak pada ajaran-ajarannya yang membuat
hidup dan usaha manusia menjadi bertujuan dan berorientasi nilai. Lebih jelas, Islam
mengajarkan bahwa kekuatan moral dan material harus disatukan dan bahwa
penyelamatan spiritual bisa dicapai dengan menggunakan sumber-sumber material
untuk kepentingan manusia, dan bukan menjalani hidup sebagai pertapa. Dengan
demikian Ekonomi Islam tidak mengakui adanya pemisahan antara material dan
moral, kehidupan duniawi dan spritual. Ekonomi Islam sebagai sistem yang
komprehensif adalah pedoman hidup yang lengkap dan total (kaffah).
Sejarah menunjukkan bahwa Islam terbukti berjasa memperjuangkan
keadilan, martabat dan persamaan dalam masyarakat, dan mendorong terciptanya
pemerintahan yang efektif, bukan hanya untuk menjamin kepastian hukum dan
pranatanya, tetapi juga jaminan terhadap keadilan dan sosial-ekonomi. Islam yang
disampaikan Nabi Muhammad SAW dan ditindaklanjuti oleh Khulafaur-Rasyiddin
serta beberapa khalifah Islam sesudahnya, telah mendorong terciptanya pasar-pasar
yang terkendali dan teratur, yang berjalan dengan adil dan kompetitif. Ringkasnya,
Islam telah mendorong dan mengaktifkan semua lembaga-lembaga ekonomi dan
faktor-faktor pembangunan dalam arah yang positif.
Walau Islam telah memberi pedoman hidup yang menyeluruh, termasuk
dalam kehidupan ekonomi, tetapi jika tidak dijalankan oleh penguasa yang
legitimate sesuai syariah, hasilnya bisa melenceng dari yang seharusnya. Dari sejarah
kita bisa melihat bagaimana kekuasaan yang tidak legitimate berpengaruh negatif
terhadap perekonomian dan kesejahteraan rakyat. Lebih jelas, walau Islam sudah
memiliki sistem ekonomi yang lebih baik, tetapi sejarah menunjukkan bahwa waktu
negara-negara Islam diperintahi oleh para penguasa yang tidak legitimate, mereka
lebih tertarik pada upaya pemungutan pajak agar bisa digunakan untuk membiayai

Sejarah Peradaban Islam .......192


pola hidup mewah mereka ketimbang mendistribusikannya kepada mereka yang
lebih berhak menerimanya. Waktu dana tersedot untuk membiayai kemewahan,
maka pembangunan prasarana ekonomi dan sosial berkurang, dan akibatnya
perekonomian mengalami kemunduran dan kesejahteraan masyarakat ikut merosot.
Yang lebih ironis lagi, dari sejarah modern kita juga melihat bahwa pada
waktu Dunia Islam hancur karena menjauhi nilai-nilai yang terdapat dalam al-Qur’an
dan al-Hadis, yang lebih banyak memanfaatkan sistem ekonomi pasar yang
disampaikan Nabi Muhammad ini justru negara-negara sekuler di Eropa Barat dan
Amerika Serikat. Walau negara-negara Barat bersikap sekuler dan bebas nilai, tetapi
dengan menerapkan sistem ekonomi pasar sebagaimana yang diamanatkan Nabi
dalam sebuah Hadis tersebut, mereka lebih berhasil dalam mengatur perekonomian
dan mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat mereka.

Kebangkitan Ekonomi Islam Zaman Modern


Tetapi untunglah, sejak awal abad ke-19 setelah masyarakat-masyarakat
Muslim mengalami sebuah masa transisi yang sangat penting, muncul kaum
intelektual sebagai ‛golongan baru‛ menggantikan peran ulama yang semakin
menurun. Golongan baru ini berbeda dengan ulama dalam banyak hal, mulai dari
latar belakang pendidikan, kesetiaan institusional, juga dalam pandangan-pandangan
hidup mereka. Para intelektual golongan baru ini pada umumnya memperoleh
pendidikan di sekolah-sekolah umum, dan sebahagian dari pendidikan Barat, bukan
dari madrasah-madrasah seperti halnya para ulama. Melalui pendidikan yang mereka
terima, para intelektual ini telah melihat kemajuan Eropa dan Amerika Serikat di
segala bidang, mulai dari ekonomi, militer maupun sosial budaya dan pendidikan.
Namun mereka sadar ada sesuatu yang kurang, yaitu bahwa paham Barat hanya
mengajarkan manusia mengejar kepentingan duniawi dan materi belaka, dan
mengabaikan hal-hal yang berbau spritual dan moral.
Melalui proses pencarian yang panjang, akhirnya mereka sadar bahwa ajaran-
ajaran tentang kehidupan ekonomi yang bersifat menyeluruh, moril dan materil,
dunia dan akhirat, hanya ada dalam ekonomi Islam. Sebagai dampaknya, pada abad
ke 19 dan 20 semakin banyak cendekiawan Muslim yang yakin bahwa hanya sistem
ekonomi Islamlah sebagai jalan hidup terbaik. Untuk mengejar ketertinggalan dari
Barat di bidang ekonomi, mereka menyimpulkan bahwa sistem ekonomi yang
hendak diterapkan perlu direformasi sesuai nilai-nilai syariat.
Melihat Islam memiliki nilai-nilai ekonomi yang jauh lebih baik, dan sejarah
juga menunjukkan bahwa Islam telah berjasa memperjuangkan keadilan, martabat
dan persamaan dalam masyarakat, dan mendorong terciptanya pemerintahan yang
efektif bukan hanya untuk menjamin kepastian hukum dan pranatanya, tetapi juga
jaminan terhadap keadilan dan sosial-ekonomi, maka pejuang seperti Sayyid Qutb
menegaskan bahwa negara-negara Islam tidak perlu belajar dari negara-negara Barat
mengenai pembangunan ekonomi dan bahkan juga politik. Lebih jelas, karena segala

Sejarah Peradaban Islam .......193


sesuatunya sudah diatur secara garis besar dalam al-Qur’an, maka dengan tegas
Sayyid Qutb menyerukan bahwa orang-orang Islam tidak perlu meniru sistem lain
manapun, ataupun mencari hubungan dan kesamaan dengan sistem-sistem lainnya.
Bahkan dengan tegas beliau menentang setiap penyamaan (ekivalensi) antara nilai-
nilai Islam dengan nilai-nilai Barat, yang dimatanya hanya tertuju pada dunia dan
materi. Bagi Sayyid Qutb upaya mencampurkan unsur asing apapun ke dalam Islam
sama saja dengan menghancurkan dan membusukkan Islam itu sendiri. (Black,
2002).
Pada seperempat terakhir abad ke-20, pemikiran dan gerakan ekonomi Islam
diawali dengan diselenggarakannya Konferensi Ilmu Ekonomi Islam Internasional
Pertama di Mekkah tahun 1978. Dua tokoh yang memainkan peran penting dalam
Konferensi Ilmu Ekonomi Islam Internasional Pertama ini adalah Khursid Ahmad
dan Muhammad Umar Zubair. Sejak diselenggarakannya konferensi tersebut terjadi
perkembangan yang luar biasa dalam pengembangan pemikiran dan gerakan ekonomi
Islam. Atas jasa-jasa mereka yang luar biasa dalam pengembangan Ekonomi Islam,
keduanya secara bersama-sama dianugerahi IDB Award dua kali. Pertama tahun
1988 dan kedua tahun 1995.
Tokoh-tokoh pejuang ekonomi Islam seperti Khursid Ahmad, Muhammad
Umar Zubair, Muhammad Anas Zarqa, Nejatullah Siddiqi maupun al-Qardhawi dan
Umer Chapra, semuanya terlibat aktif mengembangkan disiplin Ilmu Ekonomi
Islam kontemporer. Mereka berperan aktif dalam proses transisi dari ‛Pengajaran-
pengajaran Ekonomi Islam‛ yang terpisah-pisah menjadi ‛Ekonomi Islam‛ yang
lebih utuh dan mandiri. Dengan latar belakang pendidikan mereka yang cukup baik
di bidang ekonomi, dibantu oleh sains dan teknologi dan dipadukan dengan nilai-
nilai agama Islam, maka pada tahun-tahun terakhir kita menyaksikan terjadi
perubahan dalam metode pengajaran Ekonomi Islam. Kalau dulu pelajaran tentang
Ekonomi Islam diberikan oleh para ulama yang membaca berbagai aspek ekonomi
dari kitab-kitab ‛kuning‛ (karena sudah usang dan lusuh), maka sejak tahun 80-an
Ekonomi Islam tersebut diberikan oleh pakar-pakar ekonomi yang juga beragama
Islam dengan latar belakang pendidikan ekonomi yang tangguh sehingga mampu
memanfaatkan ‛decision science tools‛ seperti matematika, statistika dan komputer.
Dalam penilaian Khursid Ahmad ekonomi konvensional telah gagal dalam
misinya mencapai keadilan distributif, pertumbuhan yang berkelanjutan,
pembangunan manusia yang seimbang, keharmonisan sosial dan keadilan kawasan
untuk sebagian besar manusia dan dihadapi di dalam negeri maupun luar negeri
dengan ancaman resesi berkepanjangan, pengangguran yang tidak bisa dihilangkan,
stagflasi, ekspansi moneter yang tidak terkendali, hutang dalam negeri dan luar
negeri yang semakin menggunung, dan terjadinya jurang yang ekstrim antara yang
kaya dengan yang miskin dalam masyarakat dan antar negara. Melihat berbagai
kelemahan tersebut, Khursid Ahmad menolak anggapan yang menyatakan bahwa
analisis ekonomi dapat terjadi pada iklim objektivitas positif dan bebas nilai. Bagi

Sejarah Peradaban Islam .......194


Khursid, usaha untuk mengembangkan Ilmu Ekonomi sebagai sistem analisis bebas
nilai tidak produktif, berdampak buruk, dan satanis. Karena ekonomi modern yang
bebas nilai telah gagal dalam mencapai berbagai tujuan yang diinginkan, maka
harapan tertumpu pada ekonomi Islam.
Pakar-pakar ekonomi Islam telah berusaha memberikan batasan tentang ilmu
ekonomi Islam, pembangunan dan tujuan pembangunan dalam perspektif Islam.
Nejatullah Siddiqi dalam ‚History of Islamic Economic Thought ‚ (1992)
mendefinisikan Ilmu Ekonomi Islam sebagai respons para pemikir Muslim terhadap
tantangan-tangan ekonomi zaman mereka, dimana dalam upaya ini mereka dibantu
oleh al-Qur’an dan as-Sunnah maupun akal dan pengalaman‛. Begitu juga Khursid
Ahmad dalam ‛Economic Development in an Islamic Perspective‛ mendefinisikan
pembangunan ekonomi sebagai suatu kerangka kerja Islami dan ekonomi
pembangunan Islam yang berakar pada pola nilai yang terdapat dalam al-Qur’an dan
as-Sunnah, dan tujuan-tujuannya ditetapkan oleh Tauhid. Sedangkan usaha
pembangunan ditujukan untuk pembangunan manusia yang sadar akan Tuhan,
kepribadian yang seimbang yang komit untuk dan mampu bertindak sebagai saksi
kebenaran terhadap manusia (Esposito, 2002).
Sesuai dengan berbagai pengertian di atas, ternyata antara ekonomi
konvensional dengan ekonomi Islam hanya berbeda dari segi tujuan saja. Kalau dulu
kebanyakan orang ‛percaya‛ bahwa antara Ekonomi Islam dengan Ekonomi
Konvensional itu sangat berbeda, setelah digali lebih dalam ternyata keduanya sama-
sama dilandaskan pada mekanisme pasar. Perbedaan di antara keduanya hanya dalam
tujuan saja, dimana kalau ekonomi konvensional lebih mengutamakan pencapaian
materi, maka tujuan Ekonomi Islam adalah maqashid, kesejahteraan materi dan
rohani, dunia dan akhirat, sesuai syari’ah.

D. Islamisasi Ilmu Pengetahuan


Pada pembahasan terdahulu sudah dijelaskan bahwa dengan ditolaknya
rasionalisme, bukan saja filsafat, tetapi juga ilmu pengetahuan alam yang terkait
dikeluarkan dari silabus sekolah-sekolah agama. Dampaknya sudah sama-sama kita
saksikan, dimana sebagai akibat dari penolakan terhadap rasionalisme, ditutupnya
pintu ijtihad dan dimusuhinya filsafat, telah menyebabkan Dunia Islam
‛dipecundangi‛ dalam hampir semua bidang, mulai dari ekonomi, militer, politik,
maupun sosial budaya, oleh pihak Barat. Hal ini terjadi karena di hampir semua
bidang kehidupan tersebut dalam perkembangannya dimasa lalu kurang didukung
oleh sains dan teknologi. Karena kenyataannya Dunia Islam kalah dalam hampir
semua bidang, sejak abad ke-19 justru Islam yang dulunya superior sekarang didikte
oleh negara-negara Barat, baik dalam bidang politik, ekonomi termasuk pendidikan.
Waktu kehidupan Barat makin merasuk dalam hampir semua bidang
kehidupan Islam, tercipta suatu sistem pendidikan ganda. Sistem yang satu lebih
fokus pada ilmu pengetahuan modern sesuai nilai-nilai sekuler Barat, sedang sistem

Sejarah Peradaban Islam .......195


pendidikan yang lainnya bertahan mempelajari teks-teks agama yang tidak tune
dengan situasi dan kondisi masyarakat yang baru. Perbedaan dalam latar belakang
pendidikan berimplikasi terhadap pekerjaan dan pendapatan. Mereka yang tamat
pendidikan Barat dengan mudah memperoleh pekerjaan dengan gaji lebih tinggi dan
posisi yang lumayan empuk. Sedangkan mereka yang tamat madrasah susah mencari
pekerjaan. Kalaupun dapat pekerjaan, mereka cenderung menerima gaji yang lebih
rendah. Dengan dipegangnya jabatan-jabatan penting oleh para lulusan lembaga
pendidikan sekuler yang tidak memahami ilmu agama menyebabkan penerapan
syari’ah dalam masyarakat semakin terabaikan. Melihat kondisi seperti ini maka
para intelektual Muslim sejak abad ke-19 sampai pada sebuah kesimpulan, yaitu
perlunya upaya untuk mensinerjikan ilmu pengetahuan modern dengan ilmu
pengetahuan agama. Adalah berkat tulisan-tulisan Jamaluddin al-Afghani dan
Muhammad Abduh di Dunia Arab, dan tulisan-tulisan Sir Sayyid Ahmad Khan dan
Muhammad Iqbal di anak benua India-Pakistan, juga oleh al-Faruqi dari Palestina
dengan gagasan Islamisasi ilmu pengetahuannya, fusi antara ilmu-ilmu agama dan
ilmu-ilmu umum dapat dilaksanakan.
Selain dikenal sebagai pejuang politik, al-Afghani juga sangat aktif berjuang
dalam bidang pendidikan. Sebagai pejuang pendidikan Islam, al-Afghani paling
benci dengan pendapat yang dilontarkan oleh Renan bahwa kemunduran negara-
negara Timur terkait dengan sikap Islam yang anti-sains. Walaupun Jamaluddin al-
Afghani sangat benci dengan pendapat Renan tersebut, tetapi dengan hati gundah
beliau terpaksa mengakuinya karena faktanya memang demikian. Dalam pandangan
al-Afghani Islam adalah sebuah unit kebudayaan yang kaya, tetapi kemudian
membiarkan dirinya merosot sehingga kalah dalam hampir semua bidang oleh kaum
kafir yang lebih mengutamakan rasio dalam pengembangan sains. Padahal, demikian
beliau menjelaskan, ‛Ilmu pengetahuan Eropa adalah perkembangan dari khasanah
pengetahuan warisan Islam. Adalah berkat ilmu yang diperoleh dari Islam, bangsa
Eropa mendominasi dunia‛ (Black, 2002).
Menurut al-Afghani, ‛Motor perubahan sejarah adalah pikiran dan watak‛.
Karena itu, yang paling dibutuhkan oleh umat Islam adalah kebangkitan spritual dan
intelektual. Untuk itu beliau menekankan perlunya evaluasi ulang terhadap
hubungan antara agama dengan sains. Menurut beliau, umat Islam di seluruh dunia
harus meninggalkan takhayul dan kembali ke Islam sejati, yaitu agama yang benar-
benar sesuai dengan semangat ilmu pengetahuan modern. Yang perlu dilakukan
adalah menghindarkan prasangka dan tidak boleh puas dengan sekedar meniru
leluhur mereka (taqlid). Hal ini tidaklah terlalu susah, sebab seorang Muslim bisa
memilih menjadi ilmiah sekaligus relijius. Selanjutnya beliau menandaskan, ‛Apa
yang dibutuhkan Islam sekarang adalah sebuah gerakan seperti renaissance Eropa!
Dan untuk itu, umat Islam tidak perlu malu mencontoh ke Eropa, sebab dengan
menerima perkembangan Eropa mutakhir adalah sama dengan kembali ke prinsip-
prinsip Islam sejati‛.

Sejarah Peradaban Islam .......196


Pejuang pendidikan Islam lainnya akhir abad ke-19 adalah Muhammad
Abduh. Bagi Muhammad Abduh, taqlid adalah ‛penyakit‛, dan masyarakat Islam
harus mengobati ‛kutukan sosial‛ ini. Seperti gurunya al-Afghani, beliau dikenal
memiliki pandangan yang liberal tentang pembaruan sosial dan pendidikan Islam.
Menurut beliau, Islam dan modernisasi sangat cocok, sebab ada kesesuaian antara
akal dengan wahyu, dan tidak ada konflik di antara keduanya. Konflik hanya muncul
oleh kenyataan bahwa manusia sering salah dalam memahami dan melihat keduanya
secara bertentangan (Hamim, 2000). Atas jasa-jasa beliau dalam memodernkan
Islam, beliau dikenal sebagai ‛Bapak Modernisasi Islam‛.
Pejuang lainnya pada pergantian abad ke-19 ke abad 20 adalah tokoh
pembaharuan Islam dari India, yaitu Muhammad Iqbal (1873-1938M). Dalam
penilaian beliau, disamping ekses kaum mu’tazilah dan paham deterministik, masih
ada hal lain yang mendorong Dunia Islam menuju kebekuan dan konservatisme, yang
salah satunya adalah keinginan elite politik yang tidak legitimate dan korup untuk
mendapatkan dukungan para fuqaha’ untuk membenarkan ketidak-absahan mereka.
Selain itu Iqbal juga mendiskusikan arti penting akal dalam kehidupan manusia.
Bagi Iqbal, kelahiran Islam adalah kelahiran intelek yang menjadikan manusia
sebagai satu-satunya yang menguasai lingkungannya. Karena posisi penting Islam
dianggap berasal dari akal, maka ijtihad menjadi bagian integral dari doktrin Islam.
Untuk memajukan Dunia Islam, Iqbal berpandangan bahwa umat Islam perlu
mengembangkan konsep ijtihad dan paham dinamisme Islam. Sehubungan dengan
hal ini perlu dikemukakan bahwa ijtihad yang dimaksudkan Iqbal adalah berupaya
mencurahkan kemampuan intelektual, dan menempatkan akal pada kedudukan yang
tinggi.
Walaupun Iqbal banyak menimba ilmu di negara-negara Barat, tetapi beliau
kerap memperingatkan bahwa model-model Barat tersebut tidak tidak cocok untuk
melaksanakan pembaharuan Islam. Menurut Iqbal, yang perlu diambil dari Barat
hanya ilmu pengetahuannya saja. Yang lain-lainnya tidak perlu. Bagi modernis
seperti Iqbal, pembaruan kebudayaan Islam hanya dapat terjadi melalui kajian ulang
sejarah ke dalam kondisi modern.
Selain tokoh-tokoh yang disebutkan di atas, masih ada Fazlur Rahman yang
juga aktif berjuang dalam pengembangan pendidikan Islam. Untuk memperbaiki
sistem pendidikan Islam Fazlur Rahman menegaskan perlunya dilakukan perubahan
radikal, yaitu dengan merombak silabus yang digunakan lembaga-lembaga
pendidikan Islam itu sendiri dengan yang lebih modern. Oleh Fazlur Rahman
fenomena kebangkitan kembali dan pembaharuan inilah yang disebut beliau sebagai
‚fundamentalisme Islam‛. Bagi Fazlur Rahman, ‚fundamentalis sejati‛ adalah orang
yang commit terhadap proyek rekonstruksi atas pemikiran kembali ajaran Islam,
yang untuk itu perlu mengartikan wahyu dalam term sejarah.
Pejuang Islam lainnya yang pantas dicatat adalah Ismail Razi al-Faruqi
(1921-1986), seorang tokoh berkebangsaan Palestina. Al-Faruqi selain berjuang

Sejarah Peradaban Islam .......197


memajukan Arabisme dan memodernisasikan Islam dan pada saat yang sama juga
aktif menggalang kerjasama Muslim-Kristen, juga dikenal sebagai aktivis yang
berjuang untuk mentransformasikan komunitas Islam di dalam dan di luar negeri.
Walaupun al-Faruqi memiliki hubungan baik dengan Kristen dan Barat, tetapi beliau
selalu memperingatkan supaya hati-hati dengan gerakan westernisasi yang cukup
gencar dialami negara-negara Islam tahun 60-an dan 70-an. Peringatan tersebut
didasarkan pada pemahaman bahwa, ‚westernisasi dibekali dengan sekulerisme dan
berdasar pada kemajuan material yang mengenyampingkan tempat bagi spritual yang
utuh‛. Sesuai pandangan tersebut dengan nada keras ia mengecam negara-negara
Islam yang mengadopsi program-program modernisasi tanpa filter. Menurut beliau
praktek seperti ini sangat berbahaya, sebab program-program modernisasi yang
diadopsi dan dicangkok dari Barat tanpa dipelajari terlebih dahulu hanya akan
mengasingkan orang-orang Muslim dari jati dirinya.
Sebagai tokoh pejuang pendidikan Islam al-Faruqi percaya bahwa kelemahan
dan kegagalan orang-orang Islam merupakan akibat dari ditundanya interpretasi
(ijtihad) yang merupakan sumber kreativitas Islam; kecenderungan untuk
mempertentangkan wahyu dengan aql (penalaran); pemisahan pikiran dari tindakan;
dan dualisme budaya dan agama. Untuk memajukan pendidikan Islam al-Faruqi pada
tahun 1970-an terlibat aktif dalam sebuah gerakan yang disebut ‛Islamisasi ilmu
pengetahaun‛. Dalam buku ‚Islamization of Knowledge‛ al-Faruqi mengatakan
bahwa kemalangan politik, ekonomi dan budaya agamis yang dialami masyarakat
Islam terutama disebabkan oleh suasana pendidikan dalam dunia Islam yang mendua
seperti tanpa visi. Menurut beliau, ini yang menyebabkan Islam kalah dalam
berbagai bidang, tidak hanya ekonomi dan politik, tetapi juga sosial dan budaya.
Salah satu manifestasi kebangkitan Islam ditunjukkan oleh semakin kuatnya
keinginan di kalangan akademisi dan intelektual Islam untuk menggali kembali
pemikiran-pemikiran dan pengetahuan Islam yang bersumber dari syari’ah. Untuk
menunjang program semacam inilah al-Faruqi mendesak dibentuknya semacam
‚Think Tank‛ yang terdiri dari para pakar di berbagai bidang yang disiapkan untuk
menjembatani dunia elite sekuler modern dan pemimpin religius yang lebih
tradisional. Tugas mereka adalah merencanakan, meneliti dan menyimpulkan seperti
apa seharusnya sistem politik, ekonomi dan sosial serta hukum Islam modern.
Sebagai dampak dari gerakan Islamisasi ilmu pengetahuan, kalau dulu anak-
anak madrasah hanya khusus mempelajari agama saja, begitu pula sebaliknya dimana
anak-anak di sekolah-sekolah umum sama sekali mengabaikan agama sehingga
disebut sekolah sekuler, sesat dan haram, sejak diterapkannya gagasan Islamisasi
ilmu pengetahuan maka kurikulum madrasah maupun sekolah-sekolah umum diubah.
Atas prakarsa tokoh-tokoh yang disebutkan di atas, di madrasah diperkenalkan ilmu-
ilmu umum, ada materi ilmu pengetahuan dan sains, juga bahasa Inggeris, sedang
sebaliknya di sekolah-sekolah umum juga dipelari dasar-dasar ilmu-ilmu agama.
Bahkan ada madrasah terpadu yang mengintegrasikan ilmu umum dan ilmu agama

Sejarah Peradaban Islam .......198


ke dalam satu kurikulum yang padu. Intinya, untuk mengembangkan pendidikan
Islam dimasa depan, harus ada upaya untuk mensinerjikan ilmu pengetahuan modern
dengan ilmu pengetahuan agama.

E. Perlunya Ijtihad
Umat Islam diperintahkan untuk mengikuti syariat, dan tidak ada dalil yang
memerintahkan untuk mengikuti perkataan dan perbuatan seorang ulama atau imam
tertentu, betapapun tinggi ilmu dan agama dan kedudukannya kecuali setelah
dihadapkan pada al-Qur’an dan as-Sunnah. Dengan kata lain, bagaimanapun
tingginya ilmu dan agama seseorang, ia tidak ma’shum. Karena itu tidak mungkin
kedudukan perkataannya menjadi seperti perkataan Rasulullah dalam fungsinya
sebagai hujjah. Sebagai implikasinya, tidak ada keharusan bagi umat untuk
mengikutinya. Kita tidak boleh menerima semua yang disampaikan oleh para ulama
terdahulu secara absolut, meskipun mereka adalah orang-orang berilmu pengetahuan
sangat mendalam, mempunyai keutamaan yang mulia dan kesalehan dan ketakwaan
yang tinggi, tetapi juga tidak baik untuk menolak semua yang diucapkan seorang
ulama secara mutlak. Semua orang selain Nabi adalah manusia yang berijtihad sesuai
dengan kapabilitas keilmuan dan spesialis keilmuan mereka. Hasil pemikiran
manusia bisa benar dan bisa salah, bisa lurus dan bisa pula menyimpang. Karena itu,
semua pendapat manusia selain Nabi, terbuka untuk dikritik dan diperdebatkan,
termasuk pendapat para Imam sekalipun. Diambil atau tidaknya pernyataan seorang
ulama terdahulu tergantung pada kesesuaiannya dengan timbangan ilmiahnya dan
kesesuaiannya dengan nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah yang muhtamad/valid/
tegas. Apa yang sesuai dengan al-Qur’an dan al-Hadis, maka itu adalah benar
adanya, sedang apa yang menyalahinya, adalah bathil (Qardhawi, 2003).
Al-Qur’an sebagai instrumen ilmiah memberikan panduan nilai-nilai moral
dan etik yang benar bagi kehidupan manusia: ‛Dan Kami turunkan kepadamu al-
Kitab untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar
gembira bagi orang-orang yang berserah diri (QS. 16: 89). Tetapi sehubungan dengan
ayat tersebut di atas bukan berarti bahwa al-Qur’an berisikan segala sesuatu yang
berhubungan dengan pengetahuan umum, melainkan terbatas pada segala aspek
panduan moral saja. Al-Qur’an memberikan panduan nilai, moral dan etika dalam
bentuk umum dan global bagi seluruh aspek kehidupan, tetapi al-Qur’an tidak
berbicara tentang segala sesuatunya secara detil. Untuk hal-hal yang berhubungan
dengan kehidupan duniawi, harus berpedoman pada Hadis dan hasil ijtihad manusia
sendiri. Khusus tentang hal-hal yang harus dipecahkan melalui ijtihad, ada
kesepakatan ulama bahwa jika ijtihadnya benar nilainya dua, dan jika salah nilainya
satu. Apa artinya semua ini? Manusia bisa saja salah dalam mengambil keputusan.
Tetapi kalaupun setelah ia berusaha mengerahkan semua tenaga dan enerji masih
juga hasilnya salah, ia bukannya berdosa, melainkan tetap dapat pahala, walau
nilainya satu. Yang jelas, orang yang salah dalam ijtihad paling tidak pantas disebut

Sejarah Peradaban Islam .......199


kafir. Apa langkah yang harus ditempuh agar ijtihad memberikan hasil yang
maksimal? Tidak ada jalan lain, kecuali bahwa ia harus mengerahkan penggunaan
akal sekuat tenaga, dan hasil dari upaya mengerahkan akal ini adalah ilmu
pengetahuan, semua dilandaskan pada syariat.
Upaya mengerahkan akal untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sesuai
syariat di kalangan umat Islam, harus diakui, tidaklah semudah membalik telapak
tangan. Sebagaimana dikemukakan Abdul Munir Mulkhan (2001), ‛Umat Islam
sukar membedakan ‛syariat Islam‛ sebagai ilmu yang disusun ulama sebagai tafsir
atas wahyu, dengan ‛Syariat Islam‛ sebagai ajaran Tuhan dalam wahyu yang
termaktub dalam al-Qur’an‛. Menurut Mulkhan lebih lanjut, wahyu Tuhan tidak
hanya termaktub dalam al-Qur’an, tetapi meliputi hukum alam (sunnatullah), baik
fisik, tumbuhan, hewan, maupun manusia. Inilah yang disebut ‛Syariat‛, yang oleh
para ahli ditulis dengan huruf ‛S‛ kapital, yang harus dibedakan dengan ‛syariat‛
yang ditulis dengan huruf kecil, yaitu sebagai tafsir atas sebahagian ‛Syariat‛ itu.
Tafsir atas Syariat sebagai keseluruhan wahyu Allah berupa al-Qur’an dan
as-Sunnah mencakup ilmu alam, teknologi, fisika, sosiologi, kimia, elektro, ilmu
sosial, sosiologi, ekonomi, antropologi, politik dan humaniora, filsafat serta seni
budaya. Secara keseluruhan tafsir-tafsir atas Syariat ini meliputi cabang-cabang
ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Menurut Mulkhan, upaya untuk melakukan
tafsir ulang atas teks-teks al-Qur’an dan al-Hadis sering kandas dengan argumen
‛hukum Tuhan tidak bisa didialogkan dan di-voting‛ guna mencari ijma’ nasional.
Bagi kelompok ini hanya ada satu pilihan, yaitu memberlakukan syariat sebagai
keputusan elite yang dikenal dengan ahlul wa aqli atas nama wakil mayoritas
penduduk Muslim. Padahal, demikian Mulkhan, Syariat sebagai keseluruhan wahyu
Tuhan bisa saja ditafsir ulang secara dinamis dan dialektik dalam beragam teori dan
sistem yang terbuka untuk dikritik dan disusun ulang. Tafsir seperti ini dapat dilihat
dari beragam teori dan sistem ilmu pengetahuan dan teknologi yang sudah ada, dan
hasilnya disusun ke dalam beragam konstitusi dan perundang-undangan tanpa
keharusan diberi label-label Islam atau syariat. Mengutip pendapat Abdullah Ahmed
an-Na’im, seorang ulama terkenal dari Sudan, Mulkhan menulis, ‛Selama umat
Islam tetap setia pada kerangka kerja syari’ah historis, mereka tidak akan pernah
benar-benar mencapai tingkat keharusan pembaruan yang mendesak supaya hukum
publik Islam itu bisa berfungsi sekarang‛.
Agar bisa menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis dalam konteks
kekinian, orang perlu ijtihad. Misalnya dalam bidang politik, umat Islam disuruh
patuh pada penguasa, sesuai ayat al-Qur’an yang berbunyi, ‛Hai orang yang beriman,
patuhilah Allah, patuhilah Rasul dan para para pemegang kuasa ( ulil amri) di antara
kamu‛ (QS 4: 59). Kalau diperhatikan, perintah patuh pada Allah dan Rasul, sangat
jelas maksudnya. Tetapi patuh kepada ’ulil amri, membutuhkan uraian lebih lanjut.
Ada yang mengartikan ’ulil amri’ sebagai ’pemegang kuasa’ atau ’pemegang
perkara’. Tapi, siapa seungguhnya mereka? Pendapat tiap orang bisa berbeda-beda.

Sejarah Peradaban Islam .......200


Ada yang mengartikannya sebagai ’pejabat negara’, ’pemimpin pasukan’, ’sultan’,
ada pula yang mengatikannya ’ahli fikih’ dan ’ahli fikih dan agama’. Karena tidak
ada penjelasannya dalam al-Qur’an maupun Hadis, maka disinilah perlunya ijtihad
(Asa, 2004: 87).
Dari uraian di atas jelas bahwa untuk memajukan Islam orang perlu
berijtihad. Jika ijtihad ditutup maka akal menjadi tidak berfungsi. Padahal peran akal
sangat penting bagi kehidupan manusia. Dalam pandangan tokoh Islam seperti Iqbal,
kelahiran Islam adalah kelahiran intelek, yang menjadikan manusia sebagai satu-
satunya makhluk yang menguasai lingkungannya. Karena posisi penting Islam
bersumber dari penggunaan akal, maka bagi Iqbal ijtihad seharusnya merupakan
bagian integral dari doktrin Islam. Sesuai pandangan tersebut maka untuk
memajukan Islam maka Iqbal justru mendesak bagi dilakukannya pengembangan
konsep ijtihad, yaitu berupaya mencurahkan kemampuan intelektual, dan
menempatkan akal pada posisi yang tinggi.
Tantangan lainnya yang dihadapi oleh umat Islam dan sebetulnya juga sudah
dirasakan umat Islam sejak abad pertengahan, adalah menghentikan permusuhan
terhadap filsafat di negara-negara Muslim. Pada bab-bab sebelumnya sudah
dijelaskan secara panjang lebar bahwa sikap memusuhi fislafat ini sangat merugikan
umat Islam, sebab sains dan teknologi tidak bisa dipisahkan dari filsafat. Adalah
fakta sejarah bahwa salah satu penyebab Islam lemah adalah karena mundurnya sains
dikarenakan adanya permusuhan terhadap filsafat, dimana sains seperti fisika dan
metafisika merupakan bagian integral dari filsafat.
Karena adanya sikap permusuhan tersebut maka kebanyakan cendekiawan
Islam asing dengan filsafat. Kenyataannya, pada era milenium ketiga masa sekarang
masih ada anggapan keliru tentang beda agama dengan filsafat, dengan mengatakan
bahwa filsafat dimulai dari keragu-raguan, sementara agama dimulai dari Iman.
Dalam budaya dan agama lain hal ini mungkin bisa diterima, tetapi dalam agama
Islam anggapan seperti ini tidak berlaku. Pendapat yang mengatakan bahwa
penganut Islam bermula dari Iman juga tidak seluruhnya benar. Walau peran iman
sangat penting, tetapi agama justru harus dipahami secara rasional, yaitu dengan
akal. Dalam sebuah Hadis bahkan sangat tegas dikatakan bahwa ‛agama adalah akal,
dan tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal‛.
Sebagai penutup, dalam upaya untuk mereformasi sistem politik, sistem
ekonomi dan sistem pendidikan sebagaimana dijelaskan di atas, alangkah baiknya
jika pemerintah dapat berkolaborasi dengan para ulama. Sehubungan dengan hal ini
Chapra (2001) sudah menegaskan bahwa, ‛Jika pemerintah tidak memaksakan
sekularisme pada masyarakat, tetapi berupaya menerapkan pendekatan pendidikan
yang lebih manusiawi dan realistis serta perubahan bertahap dalam kerangka
syari’ah, para ulama pasti akan ikut berpartisipasi. Dengan adanya dukungan dari
para ulama diharapkan keadilan sosial akan bangkit, konflik mereda, solideritas
antara elite penguasa dan masyarakat akan menguat‛. Amin!

Sejarah Peradaban Islam .......201


Daftar Pustaka

Afzalurrahman. 1995. Doktrin Ekonomi Islam. Yogyakarta: PT.Dhana Bakti Wakaf.


Ahal, Abdul Aziz Sayyidul. 2002. Umar bin Abdul Aziz: Negarawan yang Saleh
(Penerjemah
Abdul Rosyad Shiddiq). Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus.
Ahmad, Zainal Abidin. 2001. (Membangun) Negara Islam. Yogyakarta: Pustaka
Iqra’.
Ali, Syed Ameer. 1978. Api Islam (Alih Bahasa H.B.Yassin). Jakarta: Penerbit Bulan
Bintang.
-------. 1981. A Short History of Saracens. New Delhi: Kitab Bavan.
Ali, K. 2003. Sejarah Islam (Tarikh Pra Modern). Jakarta. Srigunting.
Arsalan, Amir Shakib. 1962. Our Decline and Its Causes (M.A.Shakoor, terj.),
Lahore: Sh.Muhammad Ashraf.
Asa, Syu’bah. 2000. Dalam Cahaya al-Qur’an: Tafsir Ayat-ayat Sosial-Politik.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Azmi, Sabahuddin. 1996. Abu Yusuf’s Contribution to the Theory of Public Finance.
Aligarth Muslim University
-------.2002. The Islamic Economics. New Delhi: Goodword Books.
Bacharach, Jere L. 1984. A Middle East Handbook. Cambridge: Cambridge
University Press.
Barber, Benjamin R., 1995. Jihad VS McWorld. New York: Ballantine Books.
Beckerman, Wilfred. 1976. Crisis in Economy or Economics. London, New
Stateman.
Belyaev, E.A. 1969. Islam and the Arab Califhate. New York: Preger.
Binder, Leonard. 1988. Islamic Liberation. Chicago: University of Chicago Press.
Brockkmann, Carl. 1982. History of the Islamic Peoples. London: Routledge &
Kegan Paul.
Buarque, Cristovam. 1993. The End of Economics: Ethics and the Disorder of
Progress. London: Zed Books.
Chapra, Umer. 2000. Islam dan Tantangan Ekonomi. Jakarta. Gema Insani.
-------. 2001. The Future of economics: An Islamic Perspective. Jakarta: Penerbit
Shari’ah Economics and Banking Institute.
Deliarnov. 2005. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
-------. 2006. Ekonomi Politik. Jakarta: Penerbit Erlangga
Effendy, Bachtiar. 2001. Teologi Baru Politik Islam: Pertautan Agama, Negara dan
Demokrasi. Yogyakarta: Galang Press.
Esposito, John L & John O.Voll. 2002. Tokoh-tokoh Kunci Gerakan Islam
Kontemporer. Jakarta: PT.RajaGrafindo.

Sejarah Peradaban Islam .......202


Etzioni, Amitai. 1988. The Moral Dimension: Towards a New Economics. New
York: Macmillan.
Geertz, Clifford. 1973. Interpretation of Cultures. New York: Basic Book.
Glasse, Cyril. 2002. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo
Haekal, Muhammad Husein. 1990. Sejarah Hidup Muhammad. Jakarta: Lentera
Antarnusa.
Haque, Israrul. 2003. Menuju Renaissance Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Haque, Ziaul. 1977. Landlord and Peasant in Early Islam. Istambul: Islamic Research
Institute
Hasan, Ibrahim Hasan. 1987. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Kota
Kembang
Hitti, Philip. 1974. History of the Arabs. London: McMillan Press.
Hodgson, Marshal G.S. 1981. The Venture of Islam: Conscience and History in a
World Civilization. Chicago: The University of Chicago Press.
Holt P.M. et al (ed). 1970. The Cambridge History of Islam. Cambridge: The
University Press
Ibn Khaldun, ‘Abd al Rahman b.Muhammad. 1958. The Muqaddimah: An
Introduction to History. 3 Vols (Trans Franz Rosenthal). New York: Pantheon
Book Inc.
Inalcik, Halil. 1970. ‚The Rise of the Ottoman Empire‛, dalam Holt et al, vol 1,
hal.295-325.
Ja’far, Muhammad. 2007. ‚Hukum Waris Adat (Islam Madura)‛, dalam Media
Indonesia. 21 Juli.
Jordac, George. 2004. Suara Keadilan: Sosok Agung Ali bin Abu Thalib (Abu
Muhammad as-
Sajjad, penterjemah). Jakarta: Lentera.
Karim, Adiwarman Azwar. 2004. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: PT
RajaGrafindo.
Karim, M.Abdul. 2007. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta:
Pustaka Book Publisher
Khaduri, Madjid. 1979. War and Peace in the Law of Islam. Baltimore: John
Hopkins.
Khaldun, Ibn. 2006. Muqaddimah. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Khan, Qomaruddin. 1973. The Political Thought of Ibn Taymiyah. Islamabad: Islam
Research Institute.
Khudhairi, Zainab al-. 1995. Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Bandung: Penerbit
Pustaka.
Lambton, Ann KS. 1970. ‚Persia: The Breakdown of Society‛, dalam Holt et.al, vol
1.hal 430-67.
-------. 1974. ‚Islamic Political Thought‛, dalam The Legacy of Islam (J.Schaacht &
C.Bosworth, editors). Oxford: Oxford University Press (hal 404-5).

Sejarah Peradaban Islam .......203


Little, Donald P. ‚Al-Mawardi‛, dalam The Encyclopaedia of Religion. New York:
Macmillian Publishing Company.
Madjid, Nurcolis. 1984. Khasanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Marthon, Said Sa’ad. 2004. Ekonomi Islam di Tengah Krisis Ekonomi Global
(Ahmad Ikhron, Pent.). Jakarta: Penerbit Zikrul Hakim.
Maududi, Abu A’la al. 1984. Khilafah dan Kerajaan. Bandung: Mizan.
Maududi, Sayyid.. 1984. The Islamic Movement: The Dynamics of Values, Power
and Change. Leicester, UK: The Islamic Publications.
Mulkhan, Abdul Munir. 2001. ‛Dilema Madrasah di Antara Dua Dunia‛, dalam
Kompas, 23 November, hal 35.
-------. 2001. ‛Etika Kemanusiaan bagi Pemberlakuan Syariat‛, dalam Kompas, 5
Desember, hal.4.
Musgrave, Richard A dan P. B. Musgrave. 1993. Keuangan Negara dalam Teori dan
Praktek (Alih Bahasa Alfonsus Sirait). Jakarta: Penerbit Erlangga.
Nasution, Harun. 1985. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI-Press.
-------. 1986. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI-Press.
-------. 1991. Pembaharuan Ide Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan
Bintang.
Norman, Daniel. 1960. Islam and The West: The Making of an Image. Edinburgh:
Edinburgh University Press.
Nu’man, Syibli. 1981. Umar yang Agung. Bandung: Penerbit Pustaka.
Pape, Robert A. 2006. Dying to Win: The Strategic Logic of Suicide Terrorism. New
York: Random House.
Qardhawi, Yusuf. 1997. Norma dan Etika Ekonomi Islam (Zainal Arifin dan Dahlia
Husin, Pent). Jakarta: Gema Insani Press.
-------. 2001. Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam (Didin Hafifuddin,
Pent.). Jakarta. Robbani Press.
Qutb, Sayyid. 1990. Milestones. Indianapolis: American Trust Publications.
Rais, M. Dhiauddin. 2001. Teori Politik Islam. Jakarta: Gema Insani.
Ra’ana, Irfan Mahmud. 1997. Ekonomi Pemerintahan Umar ibn al-Khattab. Jakarta:
Pustaka Firdaus.
Rahman, Fazlur. 1984. Islam. Bandung: Penerbit Pustaka.
-------. 2001. Gelombang Perubahan dalam Islam: Studi tentang Fundamentalisme
Islam. Jakarta: PT.RajaGrafindo.
Pape, Robert A. 2006. Dying to Win: the Strategic Logic of Suicide Terrorism. New
York: Random House.
Rosenthal, Franz.1967. Ibnu Khaldun: The Muqaddimah: An Introduction to
History. 3 vols. London: Routletge & Kegan Paul.
Saunders, John J. (ed). 1966. The Muslim World on the Eve of Europe’s Expansion.
Englewood Cliff, N.J: Prentice Hall.
Sabiq, Sayyid. 2002. Fiqh as-Sunnah. Beirut: Mu’assasat ar-Riwabh.

Sejarah Peradaban Islam .......204


Shiddiqi, M.Nejatullah. 1992. ‚History of Islamic Economic Thought‛, dalam
Ahmad dan Awan, hal.69-90
-------. 1996. Role of the State in the Economy: An Islamic Perspective. Leicester,
UK: The Islamic Foundation.
Sirojuddin, D. 1994. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT Intermasa.
Sjadzali, Munawir. 1990. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran.
Jakarta: UI-Press.
Sylabi, Ahmad. 1988. Sejarah dan Kebudayaan Islam: Imperium Turki Usmani.
Jakarta: Kalam Mulia
-------. 1994. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna.
Tibi, Bassam. 1999. Islam Kebudayaan dan Perubahan Sosial. Yogya: PT.Tiara
Wacana.
Toynbee, Arnold J. 1935. A Study of History. London: Oxford University Press.
-------. 1976. Mankind and Mother Earth: A Narrative History of the World. New
York: Oxford University Press.
Wolman, William. and Anne Colamosca. 1997. The Judas Economy: The Triumphh
of Capital and Betrayal of Work. New York: Addison-Wesley.
Yatim, Badri. 2006. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT.RajaGrafindo.

Sejarah Peradaban Islam .......205

Anda mungkin juga menyukai