Anda di halaman 1dari 6

MASYARAKAT Arab pra-Islam sudah memiliki pusat-pusat

perekonomian seperti pasar yang terbilang maju pada zamannya.


Bahkan pada saat itu profesi pedagang memiliki peranan penting dan
terpandang di kalangan masyarakat. Ditinjau dari tempat tinggalnya,
orang Arab terbagi dalam dua wilayah, yaitu Arab badui (kampung) dan
hadhari (perkotaan).

Dari sini, nampaklah perbedaan sumber penghidupan di antara mereka.


Orang Arab badui menggantungkan sumber kehidupannya dari
beternak. Mereka berpindah-pindah menggirin ternak menuju daerah
yang sedang mengalami musim hujan atau ke padang rumput. Mereka
mengonsumsi daging dan susu hasil ternaknya, membuat pakaian,
kemah, dan perabot dari wol (bulu domba) serta menjualnya jika
keperluan pribadi dan keluarganya sudah terpenuhi. Kekayaan mereka
terlihat dari banyaknya hewan ternak yang dimiliki.

BACA JUGA: 3 Pilar Ekonomi Islam Menurut Ibnu Khaldun


Adapun orang Arab perkotaan, terbagi menjadi dua. Penduduk yang
bertempat tinggal di daerah subur seperti Yaman, Thaif, Madinah,
Najd, Khaibar atau yang lainnya, mereka menggantungkan sumber
kehidupan pada pertanian. Meski begitu mayoritas mereka
menggantungkan sumber kehidupannya pada perniagaan. Terutama
penduduk Mekah, mereka memiliki pusat perniagaan istimewa.

Penduduk Mekah memiliki kedudukan tersendiri dalam pandangan


orang-orang Arab, yaitu mereka penduduk negeri Haram (Mekah).
Orang-orang Arab lain tidak akan mengganggu mereka, juga tidak akan
mengganggu perniagaan mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
menganugrahkan hal itu kepada mereka. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman,

‫َأَو َلْم َيَر ْو ا َأَّن ا َج َع ْلَن ا َح َر ًما َءاِم ًن ا َو ُيَتَخ َّط ُف الَّن اُس ِمْن َح ْو ِلِه ْم َأَفِباْلَباِط ِل ُيْؤ ِم ُن وَن َو ِبِنْع َمِة ِهللا َي ْك ُفُروَن‬

“Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Kami


telah menjadikan (negeri mereka) tanah suci yang aman, sedang
manusia sekitarnya rampok-merampok. Maka mengapa (sesudah nyata
kebenaran) mereka masih percaya kepada yang bathil dan ingkar
kepada nikmat Allah?” (QS. Al-Ankabut: 67)

Selain penduduk Mekah, penduduk Yaman juga terkenal dengan


perniagaan. Mereka menjadikan perniagaan seabgai primadona dalam
mencari rezeki. Kegiatan bisnis mereka tidak sebatas di darat, tetapi
juga merambah melintasi laut.

Mereka berangkat ke daerah pesisir Afrika, seperti Habasyah, Sudan,


Somalia, dan negeri Afrika lainnya. Menyeberang sampai ke Hindia dan
Pulau Jawa, Sumatera, dan negeri Asia lainnya. Setelah mereka
memeluk Islam, orang-orang ini memiliki peran yang sangat berarti
dalam penyebaran agama Islam di penjuru dunia.

Transportasi yang mereka andalkan pada saat itu ialah onta, yang
dianggap seabgai perahu padang pasir. Onta merupakan kendaraan
yang menakjubkan. Onta memiliki kekuatan yang tangguh, mampu
menahan haus dan mampu menempuh perjalanan yang sangat jauh.
Onta-onta ini pergi membawa barang dagangan dari negeri lainnya,
dan kemudian kembali membawa produk negeri tempat berniaga.

Aktivitas perdagangan ini juga dilakukan oleh kalangan bangsawan


seperti: Hasyim, Abu Thalib, Abu Lahab, Abbas, Abu Sufyan bin harb,
Abu Bakar, Zubair bin Awwam, dan lainnya. Di antara mereka ada yang
menjaul barang dagangan milik sendiri dan ada juga yang menjualkan
barang milik orang lainnya dengan mendapatkan upah atau dengan
cara bagi hasil.

BACA JUGA: Umar bin Khattab, Terbaik di Masa Jahiliyah, Terbaik


pula di Masa Islam
Begitu pula dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sebelum diangkat sebagai rasul, Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjualkan barang milik Khadijah.

Selain berdagang, ada juga masyarakat perkotaan yang menjadikan


ternak gembalaan sebagai sumber penghidupan, baik itu ternaknya
sendiri ataupun bukan. Saat masih kecil, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam menggembala kambing, begitu juga Umar bin Khaththab,
Ibnu Mas’ud dan lain sebagainya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabadikan perjalanan dagang yang


dilakukan orang-orang Quraisy, sebagai perjalanan dagang yang
sangat terkenal, yaitu perjalanan musim dingin menuju Yaman, dan
sebaliknya perjalanan dagang musim panas ke Syam. Allah berfirman,

Advertisements
‫} اَّلِذي َأْط َع َم ُهم ِّمن ُجوٍع َو َء اَم َن ُهم ِّمْن‬3{ ‫} َف ْلَي ْع ُبُد وا َر َّب َه َذ ا اْلَبْيِت‬2{ ‫} ِإيَالِفِه ْم ِر ْح َلَة الِّش َت آِء َو الَّصْيِف‬1{ ‫ِإليَالِف ُقَر ْي ٍش‬
}4{ ‫َخ ْو ٍف‬

“Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka


bepergian pada musim dingin dan musim panas. Maka hendaklah
mereka menyembah Rabb pemilik rumah ini (Ka’bah). Yang telah
memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan
mengamankan mereka dari ketakutan.” (QS. Quraisy: 1-4)

Konsekuensi dari arus perdagangan ini, maka orang-orang Arab zaman


jahiliyah memiliki pasar-pasar seabgai pusat perdagangan. Pusat
perdagangan yang terkenal, yaitu: Ukazh, Mijannah, dan Zul Majaz. Di
antara tiga pasar ini, yang paling besar dan paling banyak
pengunjungnya ialah Ukazh. Pasar ini dikunjungi orang-orang Arab dari
berbagai daerah di seluruh Arab. Pengunjung terbanyak berasal dari
Qabilah (suku) Mudhar, karena memang pasar ini terletak di daerah
mereka.

Pusat perdagangan ini bukan hanya sebagai tempat transaksi


perdagangan, tetapi juga menjadi pusat pertemuan para pakar sastra,
syair, dan para orator. Mereka berkumppul untuk saling menguji.
Sehingga, sebagaimana pertumbuhan kota-kota modern saat ini, maka
konsep pasar pada masa jahiliyah tersebut tidak sekedar sebagai
pusat perbelanjaan, tetapi juga menjadi pusat peradaban, kekayaan
bahasa dan transaksi-transaksi global.

Karena pusat perdagangan ini semuanya terletak di wilayah Mekah


dan sekitarnya, maka ini berarti kesempatan bagi orang-orang Quraisy
mengolaborasi bahasa mereka dengna bahasa Arab dari kabilah-
kabilah lainnya. Mereka bebas memilih bahasa yang disukainya.
Adapun bahasa Arab orang-orang Quraisy pada saat itu menjadi
bahasa yang paling mudah diucapkan, paling enak didengar serta
paling kaya perbendaharaan kata dan maknanya.

BACA JUGA: Ketika Kafir Quraisy Mengajak Rasulullah Bekerja Sama


dalam Ibadah
Sebagai pusat perdagangan, pada masa Jahiliyah transaksi riba
merata di Semenanjung Arab. Bisa jadi mereka terjangkiti penyakit ini
karena pengaruh orang-orang Yahudi yang menghalalkan transaksi
riba dengan non Bani Israil. Namun uniknya transaksi riba pada masa
Jahiliyah yang sangat keras dilarang pada masa Islam, ternyata lebih
ringan daripada riba yang beredar di zaman modern ini.

Sang pemberi utang mengatakan kepada yang erhutang, “Kamu mau


bayar, atau engkau beri tambahan, dan akan aku beri tambahan tempo
(pembayaran)”. Sehingga, uang dipinjam sedikit, tetapi harus
dikembalikan dalam jumlah berlipat ganda. Transaksi riba yang sangat
mencekik ini, bukan hanya dilakukan masyarakat kelas bawah, tetapi
juga dilakukan oleh kalangan bangsawan.

Begitulah gambaran sepintas kondisi perekonomian orang-orang Arab


Jahiliyah dan perkembangannya sebelum datangnya Islam. Ketika
Islam datang dan menjadi agama mereka, pasar-pasar ini masih
berjalan beberapa saat, yang kemudian ditinggalkan. Begitu juga Islam
datang menghapuskan transaksi riba, karena riba hanya merusak
tatanan perekonomian masyarakat. Wallahu a’lam []
SUMBER: YUFIDIA

Tags: Arab

EKonomi pada MAsa NAbi

Semasa hidupnya, Nabi Muhammad SAW mengajarkan banyak hal kebaikan bagi
umatnya seperti berkaitan dengan masalah kemasyarakatan, masalah hukum (fiqh),
politik (siyasah), juga masalah perniagaan atau ekonomi (muamlah).

Sistem perekonomian pada masa Nabi Muhammad SAW merupakan sistem ekonomi
yang berdasarkan syariat islam dan berlandaskan Al-Quran dan Sunnah Rasul.
Sejumlah aturan yang tertanam pada landasan perekonomian tersebut berbentuk
keharusan melakukan atau sebaiknya melakukan sesuatu, juga dalam bentuk larangan
melakukan atau sebaliknya tidak melakukan sesuatu.

Tentu aturan-aturan yang tersebut dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul bertujuan untuk
menjamin keselamatan manusia sepanjang hidupnya, baik agama diri, akal, harta
benda maupun nasab keturunan.

Rasulullah memulai implementasi perekonomian islam sejak diutusnya beliau sebagai


utusan Allah SWT pada usia 40 tahun. Sistem perekonomian islam tampak cerah bukan
pada masa Makkah, namun mulai pada masa Madinah atau hijrahnya Rasulullah ke
kota Yastrib (Madinah).

Adapun pada masa pemerintahannya, Rasulullah menerapkan jizyah, yakni pajak yang
dibebankan kepada orang-orang non-Muslim, khususnya ahli kitab, sebagai jaminan
perlindungan jiwa, harta milik, kebebasan menjalankan ibadah serta pengecualian dari
wajib militer.

Besarnya jizyah adalah satu dinar per tahun untuk setiap laki-laki dewasa yang mampu
membayarnya. Perempuan, anak-anak, pengemis dan penderita penyakit dibebaskan
dari beban ini. Pembayaran jizyah ini tidak harus berupa uang tunai, tetapi juga dapat
berupa berbagai barang lainnya.

Selain jizyah, Rasulullah juga menerapkan sumber pendapatan negara yang terpenting
dengan sistem Kharaj, yakni pajak tanah yang dipungut dari kaum non-Muslim. Tanah
tersebut diambil alih oleh kaum Muslimin dan pemiliknya diberi hak untuk mengolah
tanah tersebut dengan status penyewa dan bersedia memberikan sebagian hasil
produksinya kepada negara.

Disamping itu, bukan hanya non-Muslim yang dikenakan pajak, umat Islam pun
dikenakan pajak yang sama dengan kharaj, yakni Ushr dari hasil pertanian dan buah-
buahan.

Sumber pendapatan Negara selain jizyah dan kharaj adalah sistem Ushr, sebuah jenis
pajak yang telah berlangsung pada masa Arab Jahiliyah yang diadopsi oleh Rasulullah
sebagai bea impor yang dikenakan kepada semua pedagang dan dibayar hanya sekali
dalam setahun serta berlaku hanya terhadap barang-barang yang bernilai lebih dari 200
dirham. Tingkat bea yang dikenakan kepada para pedagang non-Muslim yang
dilindungi adalah sebesar 5 persen sedangkan pedagangg Muslim sebesar 2,5 persen.

Diantara sumber-sumber pendapatan Negara pada masa pemerintahan Rasulullah


Saw, zakat dan Ushr merupakan dua pendapatan yang paling utama dan penting.

Anda mungkin juga menyukai