Anda di halaman 1dari 11

Masyarakat Arab Pra-Islam

Bila dilihat dari asal-usul keturunan, penduduk jazirah Arab dapat dibagi menjadi dua
golongan besar, yaitu: Qahtaniyyun (keturunan Qahtan) dan Adnaniyyun (keturunan Ismail
bin Ibrahim). Pada mulanya bagian utara jazirah Arab diduduki oleh golongan Adnaniyyun
dan wilayah selatan di huni oleh golongan Qahtaniyyun. Akan tetapi lama kelamaan kedua
golongan tersebut membaur karena perpindahan dari utara ke selatan atau sebaliknya. Ada
perbedaan yang sungguh mencolok dalam bidang-bidang tertentu yang terdapat pada
masyarakat Arabia dengan masyarakatmasyarakat di sekitarnya. Mayoritas masyarakat selain
Arabia sudah menganut monotheisme sementara masyarakat Arabia masih menganut
polytheisme, masyarkat lain sudah berubah menjadi masyarakat agrikultural sementara
Arabia adalah masyarakat pengembala, masyarakat lain sudah berubah menjadi masyarakat
perkotaan sementara Arabia adalah daerah perkemahan. Hal ini dapat dijelaskan bahwa
memang terjadi keterasingan masyarakat Arabia dari masyarakat imperium pada masanya,
meski mereka tentu saja tidak terlepas dari pengaruh imperialis yang berkembang pada masa
itu. Memang tidak ada batasan yang jelas antara wilayah Arabia yang tidak berada di bawah
sebuah imperium dengan wilayah lain yang memang berada di bawah kekuasaan sebuah
imperium yang pada saat itu berada di Timur Tengah. Arabia dihubungkan dengan kultur-
kultur lain oleh para propogandis keliling yang juga adalah para pedagang. Para propogandis
ini membawa ajaran monotheisme ke dalam masyarakat Arabia. Selain itu juga
mempengaruhi pandangan mereka terhadap kebutuhan barangbarang mewah yang telah
dikenal pada masyarakat yang relatif lebih maju dari mereka, seperti tekstil, anggur,
perhiasan dan berbagai macam benda lain.

Mekah juga dikenali sebagai Bakkah dan terletak di daerah Hijaz. Ia dipercayai
didirikan dalam pertengahan kurun ke-5 SM. Mulamulanya, suku Jurhum menguasainya
kemudian suku Khuzaah datang dan menaklukinya dan akhirnya suku Quraisy mengusainya.
Sejarah kota Mekah ini bermula dengan peristiwa Nabi Ibrahim a.s. meninggalkan isterinya
dan puteranya di lembah yang keringkerontang. Beliau merupakan bangsa Kaldani (di Iraq)
dan bertutur dalam Bahasa Ibrani (Hebrew). Kota Mekah ini juga dikenali sebagai Jantung
Hati Semenanjung Tanah Arab, mengindikasikan bahwa ia merupakan kota terpenting di
Arab. Ada beberapa ciri yang dapat dilekatkan terhadap kota Mekah pra-Islam :

 Kedudukannya yang Strategis. Walaupun ia dikelilingi oleh bentangan gunung,


namun masih terdapat jalan-jalan keluar menuju ke kawasan-kawasan utama di
Yaman (Selatan), Palestina dan Syam (Utara) dan Pelabuhan Jeddah (Barat).
Kedudukan Mekah berada di tengah-tengah perjalanan ke wilayah-wilayah ini. Ia
seolah-olah menjadi sendi perhubungan di antara kawasan-kawasan utama ini. Hal ini
menyebabkan ia sering dikunjungi oleh pedagang-pedagang Arab baik dari Utara atau
dari Selatan.
 Ekonomi yang kuat. Mekah merupakan pusat perdagangan di kawasan tengah yang
bertaraf antara bangsa. Sebabnya, ia mempunyai persediaan air dari Telaga Zam-zam
yang terkenal. Telaga tersebut sebelumnya dikuasai oleh suku Khuza’ah yang
kemudian dikuasai oleh kabilah Quraisy. Terdapat satu Majlis Siqayah yang berkuasa
penuh atas otoritas zamzam, diketuai oleh Abdul Mutalib yang bertugas untuk
memberikan air kepada pengunjung-pengunjung Haji. Selain itu, kedudukannya yang
strategis juga menjadikannya objek vital bagi berbagai kafilah perdagangan dari Utara
ke Selatan. Selain itu, kehandalan kabilah Quraisy sendiri dalam bidang perniagaan
juga memperkokoh ekonomi di Mekah.
 Institusi Sosial. Qusai Bin Kilab telah membentuk Dewan Nadwah yang menjadi
tempat bermusyawarah bagi para pemimpinpemimpin Mekah mengenai masalah-
masalah yang mereka hadapi. Keberadaannya dapat mempersatukan masyarakat
Quraisy yang telah lama terpecah belah kepada satu kabilah yang besar dan mulia.
Semasa pemerintahan Abdul Manaf pula, 15 buah majlis dibentuk di bawah Darun
Nadwah ini yang berfungsi untuk menjamin keamanan kota Mekah dan melindungi
jemaah Haji. Di antaranya ialah Majlis Siqayah (penyediaan air), Majlis Rifadah
(penyediaan makanan), Majlis Sidanah (urusan ka’bah), Majlis Asynaq (mahkamah)
dan sebagainya. Hal yang tidak kalah pentingnnya adalah Mekah tidak dikuasai oleh
seorang raja pun sehingga terbebas dari pengaruh asing.
 Pasukan atau Tentara. Majlis Unnah (urusan perang) berada di bawah Dewan Darun
Nadwah dan bertanggungjawab penuh mengenai ketenteraan serta menyiapkan
senjata perang. Jabatan ini dipegang oleh Bani Makhzum. Kewujudan majlis ini
menjadikan Mekah dapat mempertahankan kedaulatan sepanjang masa walaupun
ketika itu Roma dan Parsia begitu giat melakukan usaha untuk menguasai
Semenanjung Tanah Arab. Di Mekah, semua lelaki dijadikan tentera.
 Agama. Pada permulaan, agama yang dianuti oleh masyarakat Mekah merupakan
agama Allah (kemudiannya digelar Hanif). Agama ini dibawa oleh Nabi Ibrahim a.s..
Beliau menyeru masyarakat supaya menganuti-Nya dan mengerjakan Haji. Ka’bah
telah didirikan atas perintah Allah. Ketika suku Khuzaah yang berasal dari Yaman
mengambilalih pemerintahan Mekah, agama penyembahan berhala diperkenalkan.
Buktinya, di sekitar Kaabah saja terdapat 360 berhala. Berhala-berhala ini kekal
sehinggalah dihancurkan oleh umat Islam pada tahun 8 Hijrah. Selain itu, terdapat
juga agama Yahudi, majusi dan sebagianya.
 Prasarana Di Mekah, terdapat Pasar Ukadz (Suq-Ukaz) yang terkenal dengan kegiatan
pesta-pesta perdagangan dan kesusasteraannya. Selain itu, terdapat juga Pasar Zul
Majaz dan al-Majinah yang mempunyai fungsi yang sama. Majlis Siqayah dan Majlis
Rifadah juga dibentuk, yang bertugas memberikan air dan makanan secara gratis
kepada para pengunjung. Selain itu, Ka’bah yang telah dibangun di tengah kota
Mekah juga menjadi tempat tumpuan bangsa Arab. Ada sebuah peraturan tidak
tertulis bahwa di sekitar Kabah merupakan kawasan haram perang. Bangunan ini telah
menjadi pusat ibadat dan pusat kebudayaan bagi mereka.

Bangsa Arab mempunyai akar panjang dalam sejarah, mereka termasuk ras atau
rumput bangsa Kaukasoid, dalam subras Medditerranean yang anggotanya meliputi wilayah
sekitar Laut Tengah, Afrika Utara, Armenia, Arabia, dan Irania. Bangsa Arab hidupnya
berpindah-pindah, nomad, karena tanahnya terdiri dari gurun pasir yang kering dan sangat
sedikit turun hujan. Perpindahan mereka dari satu tempat ke tempat yang lain mengikuti
tumbuhan stepa atau padang rumput yang tumbuh secara sporadis di tanah Arab di sekitar
oasis atau genangan air setelah turun hujan. Padang rumput diperlukan oleh bangsa Badawi,
Badawah, Badui, untuk mengembala ternak mereka. Mereka mendiami wilayah Jazirah
Arabia yang dahulu merupakan sambungan wilayah gurun membentang dari barat Sahara di
Afika hingga ke timur melintasi Asia, Iran Tengah, dan Gurun Gobi di Cina. Wilayah ini
sangat kering dan panas karena uap air laut disekitarnya. Sekalipun begitu, wilayah ini kaya
dengan penghasilan bahan minyak terbesar di dunia Bangsa Arab diketahui telah memiliki
peradaban jauh sebelum Islam muncul disana. Beberapa ahli mengungkapkan bahwa aspek
peradaban Arab meliputi agama, politik, ekonomi dan seni budaya. Sejarawan muslim
membagi penduduk Arab menjadi tiga kategori, yaitu:

1. al-‘Arab al-Ba’idah: Arab Kuno;


2. ‘Arab al-Arabiyah: Arab Pribumi; dan
3. al’Arab al-Musta’ribah: Arab pendatang.

Eksistensi Arab Kuno tidak dapat terdeteksi oleh sejarah kecuali beberapa kaum yang
dikisahkan dalam al-Quran dan kitab-kitab pendahulunya. Adapun Arab pribumi adalah dua
golongan besar, yaitu Qahthaniyun dan ‘Adnaniyun yang berasal dari Yaman dan merupakan
keturunan Nabi Isma’il AS yang berdiam di Hijaz, Tahama, Nejad, Palmerah dan sekitarnya.
Dari segi tempat tinggal mereka dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu Ahl al-Hadharah
(penduduk kota) dan Ahl al-Badiyah (penduduka gurun pasir). Kedua kelompok ini banyak
perbedaan dalam pranata sosial, tata cara, ekonomi, dan politik yang dipengaruhi kondisi
geografi dan kondisi alam dimana mereka tinggal Peradaban Arab pra Islam sering pula
dikenal dengan nama Era Jahiliyyah (kebodohan). Penamaan ini tidak murni dikarenakan
kebodohan mereka dalam berbagai segi dan tidak berperadaban, namun karena ketiadaan
pengetahuan mereka akan agama, tata cara kemasyarakatan, politik, dan pengetahuan tentang
ke-Esaan Allah.

Adapun dari segi fisik, mereka dinilai lebih sempurna dibanding orang-orang Eropa
dalam berbagai organ tubuh, begitupula dalam sisi pertanian dan perekenomian yang telah
maju. Disamping faktor teologis tersebut, mereka memiliki beberapa karakteristik khusus
yang semakin memperkuat kesan Jahil (bodoh) pada mereka. Lebih jauh, Ignaz Goldziher,
seorang orientalis asal Hongaria bahwa kondisi masyarakat kala itu bukan hanya jahiliyyah,
namun juga barbarisme dan cenderung primitif. Diantara preseden buruk yang melekat pada
Arab pra-Islam adalah kondisi dan kedudukan wanita yang dipandang sebelah mata, bahkan
setengah manusia. Meskipun ditemukan beberapa kepala suku wanita di Mekkah, Madinah,
Yaman dan sebagainya, namun jumlah mereka amat sedikit sekali. Di mata masyarakat
mereka, wanita tidak ada harganya dan tidak lebih berharga dari barang dagangan di pasar.
Beberapa pendapat bahkan lebih vulgar menyebutkan bahwa mereka tidak lebih dari
binatang, wanita dianggap barang dan hewan ternak yang tidak memiliki hak. Mereka tidak
dapat menjadi pewaris suami atau orang tua. Para lelaki juga bebas menikah dengan wanita
mana saja berapapun jumlahnya, sedangkan tidak demikian bagi wanita. Seorang istri yang
ditinggal suaminya meninggal juga dapat diwarisi oleh anak tertuanya atau salah satu kerabat
mendiang suaminya. Sungguh jauh berbeda dengan posisi suami setelah menikah yang
berkedudukan layaknya raja dan penguasa. Mereka juga terkenal dengan tradisi penguburan
anak hidup-hidup.
Namun, perlu dipahami bahwa tradisi tersebut tidak terjadi di seluruh suku Arab. Hanya
beberapa suku dan kabilah saja yang menerapkan tradisi tersebut. Tradisi tersebut dilakukan
dengan dasar bahwa anak (kebanyakan perempuan) adalah penyebab kemiskinan dan aib bagi
keluarga. Bila mereka kalah dalam peperangan, maka istri dan anak perempuan mereka akan
dirampas oleh musuh. Karenanya, mereka beranggapan lebih baik membunuh mereka
terlebih dahulu sebelum ditawan oleh musuh. Alasan lainnya adalah faktor kependudukan.
Salah satu peristiwa besar yang berpengaruh adalah hancurnya bendungan Ma’arib, Yaman,
rakyat berbondong-bondong melakukan urbanisasi besar-besaran ke Utara, termasuk
Mekkah, Yatsrib dan Damaskus. Perpindahan ini menyebabkan terbatasnya bahan pangan
dan menyebabkan kesulitan ekonomi dan kemiskinan banyak keluarga. Membunuh bayi yang
baru lahir disinyalir sebagai usaha untuk mengurangi pengeluaran keluarga.

Di beberapa suku lainnya, mereka tidak sedikit yang menyayangi anak-anak mereka, baik
perempuan maupun laki-laki. Namun, memiliki anak laki-laki tetap menjadi kebanggaan
tersendiri bagi suku-suku di Arab kala itu. Bangsa Arab juga dikenal hidup dalam kabilah-
kabilah atau klan-klan. Mereka hidup berdampingan antar kabilah dengan perjanjian damai
yang disebut alAhlaf. Kecintaan mereka terhadap keluarga, garis keturunan (nasab) dan
kabilah mengalahkan kecintaan mereka terhadap hal lainnya. Ibn Khaldun menyebutnya
dengan istilah al-‘Ashabiyah. Fanatisme kabilah ini seringkali menimbulkan percekcokan
dengan kabilah lain yang berujung pada peperangan bahkan dalam hal sepele sekalipun,
seperti kalah dalam pacuan kuda, persengketaan hewan ternak, mata air atau padang rumput.
Faktor geografis Arab yang dipengaruhi oleh gurun-gurun pasir yang luas dan tandus
mempengaruhi sifat dan perilaku rata-rata orang Arab yang terkesan keras.

Kondisi Geografis dan Antropologis Jazirah Arab

1. Kondisi geografis Jazirah Arab terletak di Benua Asia bagian barat, tepatnya di Timur
Tengah yang berbatasan langsung dengan benua Afrika dan dekat dengan benua
Eropa. Orang Arab sudah lazim menyebut daerahnya dengan “Jazirah Arabia”
walaupun tidak tepat karena artinya adalah pulau Arab. Jazirah Arab jika dilihat dari
ilmu geografi merupakan semenanjung, bukan pulau. Oleh karena itu, kata yang tepat
digunakan adalah Sibhul Jazirah Arab (semenanjung Arab). Walau demikian,
kelaziman orang Arab mengatakan jazirah Arab sebenarnya bima’na Sibhul Jazirah
Arab, Mengenai kelaziman orang mengatakan jazirah Arab merupakan suatu daerah
berupa pulau yang berada di antara benua Asia dan Afrika, seolah-olah daerah Arab
itu sebagai hati bumi (dunia). Pada zaman purba, persangkaan orang pun demikian,
walaupun letaknya di barat daya daerah Asia. Sejak dahulu, daerah Arab memang
terkenal dengan nama jazirah Arab, karena daerah itu sebagian besar dikelilingi oleh
sungai-sungai dan lautan sehingga terlihat seperti jazirah (pulau). Hal tersebut
merupakan perkataan sahabat Ibnu Abbas r.a. Jazirah Arab merupakan kediaman
mayoritas bangsa Arab kala itu. Jazirah Arab terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu
bagian tengah dan bagian pesisir. Di sana, tidak ada sungai yang mengalir tetap, yang
ada hanya lembah-lembah berair di musim hujan. Sebagian besar daerah jazirah Arab
adalah padang pasir sahara yang terletak ditengah dan memiliki keadaan dan sifat
yang berbeda-beda, karena itu ia bisa dibagi menjadi 3 bagian :
a. Sahara langit memanjang 140 mil dari utara ke selatan dan 180 mil dari timur ke
barat, disebut juga sahara Nufud. Oase dan mata air sangat jarang, tiupan air sering
kali menimbulkan kabut debu yang mengakibatkan daerah ini sukar ditempuh.
b. Sahara Selatan yang membentang menyambung Sahara Langit ke arah Timur sampai
selatan Persia. Hampir seluruhnya merupakan dataran keras, tandus, dan pasir
bergelombang. Daerah ini juga disebut dengan al-Rub’ al-khali (bagian yang sepi).
c. Sahara Harrat, sesuatu daerah yang terdiri dari tanah liat yang berbatu hitam bagaikan
terbakar. Gugusan batu-batuan hitam itu menyebar di keluasan Sahara ini, seluruhnya
mencapai 29 buah. Jazirah Arab berbentuk empat persegi panjang, sebelah utara
berbatasan dengan daerahdaerah yang terkenal dengan “Bulan Sabit yang Subur”
(fertile Crescent), yaitu daerah Mesopotamia, Syiria, dan Palestina, dengan tanah
perbatasan yang berpadang pasir; disebelah timur dan selatan dibatasi oleh Teluk
Persi dan Samudra Hindia; sebelah barat dibatasi Laut Merah. Pada zaman dahulu,
jazirah Arab terbagi ke dalam enam bagian yaitu: Hijaz, Yaman, Najd, Tihamah, Ihsa,
dan Yamamah (Arudh). Seiring dengan perkembangan zaman, sekarang jazirah Arab
terbagi ke dalam delapan bagian yang memiliki karakter masing-masing, yaitu :
 Hijaz, terletak di sebelah tenggara dari Thursina di tepi Laut Merah. Di daerah hijaz
itulah letaknya kota yang terkenal dengan nama Makkah atau Bakkah, Yastrib atau
Madinah, dan Thaif.
 Yaman, terletak disebelah selatan hijaz. Dinamakan Yaman karena daerah itu
letaknya disebelah kanan Ka’bah bila kita menghadap ke timur. Di sebelah kiri daerah
itu terletak negeri Asier. Di dalam daerah itu, ada beberapa kota yang besar-besar
seperti kota Saba’ (Ma’rib), Sharia, Hudaidah, dan ‘And.
 Hadhramaut, terletak disebelah timur daerah Yaman dan di tepi Samudera Indonesia.
 Muhram, terletak di sebelah timur daerah Hadhramaut.
 Oman, terletak di sebelah utara bersambung dengan Teluk Persia dan di sebelah
tenggara dengan Samudera Indonesia.
 Al-Hasa, terletak dipantai Teluk Persia dan panjangnya sampai ke tepi sungai
Euphrat.
 Najd, terletak di tengah-tengah antara hijaz, Al-Hasa, Sahara negeri Syam, dan negeri
Yamamah. Daerah ini merupakan dataran tinggi.
 Ahqaf, terletak di daerah Arab sebelah selatan dan di sebelah barat daya dari Oman.

Daerah ini merupakan dataran rendah. Secara garis besar, wilayah jazirah Arab terbagi
dua bagian yaitu bagian tengah dan bagian tepi. Bagian tengah terdiri dari tanah pegunungan
yang jarang terjadi turun hujan, penduduknya disebut kaum Badui (penduduk gurun/padang
pasir) hanya sedikit jumlahnya, terdiri dari kaum pengembara yang selalu berpindah-pindah
tempat (nomaden), mengikuti turunnya hujan, dan mencari padang-padang yang ditumbuhi
rumput tempat mengembalakan binatang ternak, sepeti unta yang diberi nama Safinatus
Sahara (bahtera padang pasir) dan biri-biri. Bagian tengah jazirah Arab terbagi dua bagian;
bagian utara disebut Najed dan bagian selatan disebut AlAhqaf. Bagian selatan penduduknya
sangat sedikit sehingga dikenal dengan nama Ar-Rab’ul Khali (tempat yang sunyi). Jazirah
Arab bagian tepi (pesisir) merupakan sebuah pita kecil yang melingkari jazirah Arab yang
dipertemuan Laut Merah dengan Laut Hindia, pita itu agak lebar. Pada bagian tepi ini, hujan
turun teratur dan penduduknya hidup menetap yang disebut Ahlul Hadhar (penduduk negeri).
Mereka mendirikan kota-kota dan kerajaan-kerajaan yaitu Al-Ahsa (Bahrain), Oman,
Mahrah, Hadhramaut, Yaman, dan Hejaz serta Hirah dan Ghassan di sebelah utara. Mereka
pernah membina berbagai macam kebudayaan. Luas Jazirah Arab kurang lebih 1.100.000 mil
persegi atau 126.000 falsafah persegi atau 3.156.558 kilometer persegi. Tanah yang begitu
luas itu sepertiganya tertutupi lautan pasir, yang paling besar terkenal dengan nama ar-Rab’ul
Khali. Selain pasir, daerah ini juga dipenuhi oleh batu-batu yang besar atau gunung-gunung
batu yang tinggi. Diantara yang paling tinggi adalah Jabal as-Sarat, sehingga iklim di Jazirah
Arab secara umum sangat panas, bahkan termasuk yang paling panas dan paling kering di
muka bumi. Menurut Bernard Lewis, padang pasir negeri Arab berjenis-jenis, dan yang
terpenting adalah yang disebut Nufud, yaitu lautan aneka ragam bukit pasir yang selalu
bergeser, sehingga merupakan pemandangan alam dengan lingkungan yang selalu berubah,
tanahnya agak keras dan terletak di daerah yang semakin mendekati Syiria dan Irak.

2. Kondisi antropologis Bangsa Arab termasuk rumpun bangsa Smit, yaitu keturunan
Syam ibn Nuh, serumpun dengan bangsa Babilonia, Kaldea, Asyuria, Ibrani, Phunisia,
dan Habsy, (Ratu Suntiah, 2011). Para sejarawan Arab membagi bangsa Arab atas
dua kelompok besar, yaitu Arab Baidah dan Arab Baqiyah. Arab Baidah adalah
bangsa Arab yang sudah punah jauh sebelum Islam lahir. Riwayatnya tidak banyak
diketahui kecuali yang termaktub di dalam kitab-kitab suci agama Samawi, semisal
kaum ‘Ad dan Tsamud. Adapun Arab Baqiyah terbagi dua yaitu Arab Aribah dan
Arab Musta’ribah. Arab Aribah dinamakan Qathaniyah yang dinisbatkan kepada
Qathan, moyang mereka. Bangsa Arab meyakini bahwa dari bahasa Qathan inilah asal
bahasa mereka. Sementara itu, Arab Musta’ribah adalah keturunan Ismail as ibn
Ibrahim as dan mereka dinamakan pula Ismailiyah atau ‘Adnaniyun (keturunan Ismail
ibn Ibrahim), (Badri Yatim, 2008). Masyarakat Arabia terbagi menjadi dua kelompok;
penduduk kota dan penduduk gurun atau Badui, (Chalil, 2001). Penduduk kota
bertempat tinggal menetap, mereka telah mengenal cara mengolah tanah pertanian,
juga telah mengenal tata cara perdagangan, bahkan hubungan perdagangan mereka
sampai ke wilayah luar negeri. Dibandingkan dengan kelompok Badui, mereka lebih
berbudi dan berperadaban. Kehidupan masyarakat Badui berpindah-pindah (nomadik)
dari satu tempat ketempat lainnya. Dalam tengah perjalanan, biasanya mereka
beristirahat pada suatu tempat dengan mendirikan kemah atau tenda. Mengendarai
unta, menggembalakan domba dan keledai, berburu dan menyerbu musuh, menurut
adat mereka merupakan pekerjaan yang pantas untuk laki-laki. Masyarakat, baik
nomadik maupun yang menetap, hidup dalam budaya kesukuan Badui. Organisasi dan
identitas sosial berakar pada keanggotaan dalam suatu rentang komunitas yang luas.
Kelompok beberapa keluarga membentuk kabilah (clan). Beberapa kelompok kabilah
membentuk suku (tribe) dan dipimpin oleh seorang syekh. Mereka sangat
menekankan hubungan kesukuan sehingga kesetiaan atau solidaritas kelompok
menjadi sumber kekuatan bagi suatu kabilah atau suku. Mereka suka berperang
sehingga peperangan antar suku sering kali terjadi. Sikap ini nampaknya telah
menjadi tabiat yang mendarah daging dalam diri orang Arab. Tidak dapat dipungkiri
bahwa kondisi geografis Arabia besar pengaruhnya terhadap kejiwaan masyarakatnya.
Arabia sebagai wilayah tandus dan gersang telah menyelamatkan masyarakatnya dari
serbuan dan penindasan bangsa asing. Pada sisi lainnya, kegersangan negeri ini
mendorong mereka menjadi pedagang- pedagang ke daerah lain. Keluasan dan
kebebasan kehidupan mereka di padang Sahara juga menimbulkan semangat
kebebasan dan individualisme dalam pribadi mereka. Kecintaan akan kebebasan ini
membuat mereka tidak pernah menerima dominasi pihak lain. Starbo, ahli sejarah dari
Eropa, menyatakan, “masyarakat Arabia adalah satusatunya masyarakat yang tidak
mengirimkan duta kepada Alexander Agung yang pernah bercitacita menjadikan
Arabia sebagai bagian dari wilayah kekuasaannya”. Sifat-sifat positif yang dimiliki
masyarakat Arabia tersebut, setelah mereka memeluk Agama Islam merupakan
sumber daya manusia yang tangguh untuk mendirikan sebuah imperium dan
peradaban Islam dalam sejarahdunia.

Menurut Ahmad Syalaby, Keistimewaan penduduk Arab ialah mereka mempunyai


keturunan (nasab yang jelas dan murni). Hal ini disebabkan jazirah Arab tidak pernah
dimasuki oleh orang asing. Bahasa mereka murni dan terpelihara, karena kerusakan bahasa
disebabkan oleh percampuran dengan bangsa-bangsa lain seperti yang terjadi pada bahasa
penduduk negeri. Oleh karena itu, padang pasir dijadikan sekolah tempat mempelajari dan
menerima bahasa Arab yang fasih ketika bahasa Arab telah mengalami kerusakan di kota-
kota dan negeri, sehingga bahasa Arab tetap terpelihara dan murni bahkan sampai saatini.
Sifat yang menonjol dari penduduk padang pasir adalah pemberani yang ditimbulkan oleh
keadaan mereka yang saling sendirian di pesawangan atau di padang pasir. Mereka
selamanya membawa senjata sebagai alat untuk menjaga dirinya sendiri karena tidak ada
yang melindunginya selain keberanian mereka sendiri. Mereka selalu mengganggu dan
menyerang penduduk negeri yang disebabkan sulitnya kehidupan di padang pasir. Oleh
karena itu, Ibnu Khaldun yang dikutip Syalabi mengatakan bahwa penduduk padang pasir
dipandang sebagai orang-orang biadab yang tidak dapat ditaklukkan atau dikuasai oleh
penduduk negeri. Dengan sifat-sifatnya itu, mereka tidak dikenal oleh kaum pelancong dan
penulis-penulis. Setelah agama Islam tersebar di Jazirah Arab, mereka berdatangan ke kota-
kota dan diceritakanlah peri kehidupan mereka di padang pasir. Lebih lanjut, Ahmad Hashari
menjelaskan bahwa penduduk Arab kuno adalah penduduk fakir miskin yang hidup di
pinggiran desa terpencil.Mereka senang berperang, membunuh, dan kehidupannya
bergantung pada bercocok tanam dan turunnya hujan. Mereka berpegang pada aturan qabilah
atau suku dalam kehidupan social.

Pada Periode Mekah: Tinjauan Terhadap Berbagai Aspek :

1) Aspek Ekonomi dan Perdagangan Hukum ekonomi dan keuangan menurut ajaran
Islam (alAhkam al-Iqtishadiyah wa-Almaliyah) mempunyai bentuk yang sangat
bervariasi. Keanekaragaman itu terjadi karena bervariasinya kultur serta pengetahuan
yang melatarbelakangi pikiran penulisnya. Namun demikian, secara umum dapat
ditegaskan bahwa terminologi al-Ahkam al-Iqtishadiyah wa-Almaliyah dipakai untuk
menunjuk kepada pengertian hukum (tatanan) yang mengatur sistem ekonomi dan
keuangan berkenaan dengan upaya manusia mencukupi kebutuhan, meningkatkan
taraf hidup, dan mewujudkan kesejahteraan, baik secara individu maupun secara
kolektif.
2) Aspek Sosial-Kemasyarakatan
 Sistem Keluarga Masyarakat Mekah Muhammad datang dan ditugaskan untuk
menyeru masyarakat yang pada umumnya mengenal sistem keluarga patriarkhal yang
sungguh kental, keluarga mereka terdiri dari ayah, ibu dan anakanaknya. Keluarga-
keluarga ini bersatu untuk menghasilkan kerjasama yang saling menguntungkan yang
biasanya berdasarkan nasab yang kemudian disebut dengan klan. Masyarakat Mekah
lebih tertarik dengan sistem kolektifitas dalam beberapa hal termasuk keamanan
pribadi. Mereka relatif tidak mengenal konsep pribadi. Mereka sangat tergantung
kepada klan masing-masing. Seorang individu bertanggung jawab atas klannya,
penganiayaan terhadap seorang anggota klan berarti juga penganiayaan terhadap klan.
Tidak ada balas dendam pribadi pada umumnya, tetapi pembalasan tindak aniaya
dilakukan oleh klan. Seorang yang tidak bernaung di bawah sebuah klan tidak
mendapat tempat di Mekah. Setiap klan biasanya dipimpin oleh seorang syaikh yang
dianggap paling bijak, kaya dan banyak berderma. Biasanya setiap anggota klan yang
ingin bertindak dalam beberapa bidang tertentu meminta saran pemimpin klan. Dari
beberapa pernyataan ahli-ahli sejarah, kami berpendapat bahwa memang orang-orang
Arab adalah orang yang mempunyai kesetiaan lebih tinggi kepada pemimpinnya
dibanding dengan orang-orang selain mereka pada saat itu.
 Tribalisme dan Sistem Kepemimpinan Tribalisme atau paham kesukuan berkembang
sangat pesat di Jazirah Arab, jauh sebelum kedatangan Islam. Hal ini dapat dipahami
karena sebagian besar penduduknya adalah masyarakat penggembala (pastoral).
Mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya sesuai dengan musim yang
terjadi guna mencari tanah yang subur dan daerah yang sesuai untuk ditinggali. Hal
ini dilakukan guna memenuhi kebutuhan hidup mereka dikarenakan satu lahan atau
daerah tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan dan menghadapi empat musim
yang berbeda. Dalam masyarakat Arab, paham tribalisme ini berkaitan erat dengan
konsep Asabiah atau solidaritas sosial. Solidaritas sosial sangat berpengaruh dan
mengakar pada masyarakat pengembara, karena mereka memiliki corak cara hidup
yang khas. Disebabkan oleh kebutuhan hidup, mereka harus saling membantu yang
terus menerus. Lebih-lebih kemiskinan padang pasir mempengaruhi mereka untuk
tidak terikat kepada tanah kelahiran, sehingga semua negeri atau daerah sama dalam
pandangan mereka dan tidak ada yang istimewa.
 Kedudukan Wanita Pada umumnya, bukan hanya di Mekah, wanita tidak diberi peran
signifikan terhadap kehidupan bermasyarakat. Mereka diperlakukan tidak seperti
wanita pada masa modern ini. Tampaknya hal ini merupakan bias dari sistem
patriarkhal yang dianut oleh masyarakat Arabia, dalam hal ini masyarakat Mekah.
Kemungkinan besar, wanita tidak mendapatkan warisan dari ayahnya. Seorang ayah
bisa saling bertukar putri dengan ayah lain untuk dinikahi. Pelecehan terhadap wanita
dalam masyarakat Mekah tergambar jelas dalam prilaku sosial, pernikahan,
pengontrolan harta dan pembunuhan bayi perempuan. Dalam pernikahan meskipun
mereka mengenal mahar, tapi ternyata sang ayahlah yang menerima mahar tersebut,
juga bukan merupakan adat yang tidak tercela untuk mengawini wanita lalu
menceraikannya dan mengawininya kembali dengan semena-semena, atau menikahi
wanita sebanyak yang mereka suka. Sedangkan dalam pengontrolan harta, wanita
sama sekali tidak mempunyai hak. Meskipun harta tersebut merupakan milik pribadi
si perempuan. Dehumanisasi perempuan yang paling jelas tergambar dalam
pembunuhan bayi perempuan, karena anggapan bahwa mempunyai anak perempuan
adalah aib. Namun tampaknya perlakuan dan pembunuhan tersebut – seperti yang
diungkapkan Esposito dan K. Ali tidaklah berlaku umum bagi setiap wanita di
kalangan bangsa Arab, hanya terdapat pada kasus tertentu dan bagi wanita dari
kalangan tertentu saja. Kenyataan membuktikan bahwa bangsa Arab terus
berkembang biak hingga sampai saat ini mengindikasikan bahwa tidak setiap bayi
wanita yang lahir dibunuh, karena tentu saja yang melahirkan bangsa Arab adalah
wanita.
 Perbudakan Memang ada beberapa trend yang sedang dipraktekkan oleh mayoritas
bangsa diseluruh dunia. Selain polygami, mungkin perbudakan adalah hal yang lebih
signifikan untuk disebutkan sebagai salah satu ciri peradaban manusia pada masa
kuno. Baik di Asia, maupun Eropa perbudakan adalah hal yang sering ditemui. Dalam
masyarakat Mekah, seorang yang tidak mempunyai klan akan dijadikan budak. Klan
yang kalah dalam perang juga akan bernasib serupa. Orang-orang yang mempunyai
budak berkuasa penuh atas tenaga, hidup dan mati seorang budak Budak wanita bisa
diajak tidur oleh tuannya, tanpa memperdulikan hak-hak si wanita bahkan ketika
ternyata mereka hamil karena hubungan intim tersebut. Anak seorang budak secara
otomatis menjadi budak yang dimiliki oleh tuan yang memiliki ibu mereka.
 Aspek Keagamaan Secara umum daerah Arabiah tak terkecuali kota Mekah bila
ditinjau dari nuansa spiritualitasnya terpengaruh oleh berbagai ajaran, diantaranya
adalah :
a) animisme, yaitu kepercayaan setiap benda didiami roh.
b) dinamisme, yaitu kepercayaan pada daya-daya gaib pada benda atau tempat tertentu.
c) fetisisme, yaitu kepercayaan pada jin-jin yang bersifat baik maupun jahat.
d) hanifisme, yaitu tendensi monoteistik yang bersifat asketik serta perbauran komunitas
Yahudi dan Kristen yang datang pada abad 1 Masehi. Komunitas Yahudi dan Kristen
berdomisili di Medinah.
 Aspek Intelektual Pada waktu Islam diturunkan, bangsa Arab dikenal dengan sebutan
“kaum jahili”. Kaum Quraisy penduduk Mekah sebagai bangsawan di kalangan
bangsa Arab hanya memiliki 17 orang yang pandai tulis baca. Suku Aus dan Khajraz
yang merupakan mayoritas dari penduduk Yastrib (Madinah), hanya memiliki 11
orang yang pandai membaca. Hal ini menyebabkan bangsa Arab sedikit sekali
mengenal ilmu pengetahuan dan kepandaian lain. Keistimewaan mereka hanyalah
ketinggian dalam bidang syair-syair Jahili yang disebarkan secara hafalan. Agama
warisan Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as hanya tinggal bekas-bekasnya yang telah
diselewengkan. Pada bidang imu pengetahuan, Rasulullah memberikan perhatiannya
yang besar, terutama dalam periode awal peletakkan dasar keimanan dan ketauhidan
bagi umat Islam, yakni masyarakat kota Mekah. Hal ini di samping untuk
memudahkan beliau dalam membimbing masyarakat keluar dari kebejatan moral
sebagaimana misinya untuk membumikan akhlak mulia, juga ajaran Islam sendiri
amat menjunjung tinggi kegiatan dan semangat mengembangkan intelektualitas diri,
demi untuk kemashlahatan kehidupan manusia.
 Aspek Hukum Sebagaimana dimaklumi, organisasi dan institusi politik yang diakui
dan dipatuhi oleh masyarakat dalam sebuah daerah atau Negara mutlak harus ada,
demi keberlangsungan hukum dan menjaga fungsinya sebagai pengikat bagi seluruh
interaksi sosial dalam masyarakat tersebut yang harus dipatuhi secara bersama.
Institusi atau organisasi tersebut selain berfungsi untuk membuat hukum dan
peraturan yang tetap dan mengikat juga sebagai pengawal terhadap peraturan dan
hukum yang ditetapkan dan disetujui secara bersama oleh anggota masyarakat
tersebut demi kelangsungan hidup yang lebih aman, terjamin dan tenteram. Karena
itulah ketiadaan institusi hukum yang berkuasa penuh atas masyarakat Mekah
mengakibatkan ketiadaan sistem hukum yang dianut dan berlaku secara universal.
Ketiadaan hukum ini tentu saja mengakibatkan ketiadaan peradilan tetap. Tapi
meskipun demikian, tidak mesti lantas hukum pribadi berlaku pada masyarakat
Mekah. Dalam menyelesaikan persengketaan, biasanya hakim yang diangkat
memutuskan berdasarkan sunnah atau tradisi yang sudah berlaku di kalangan mereka
dan dianggap dapat diterima oleh seluruh masyarakat. Sistem sunnah sangat kental
dalam masyarakat Mekah, dengan begitu dapat dipastikan bahwa seorang hakim yang
ditunjuk adalah orang yang menguasai dengan baik sunnah-sunnah yang berlaku di
kalangan mereka. Keputusan akhir hakim ini bukan saja menjadi keputusan untuk
kedua belah klan yang bersengketa, akan tetapi juga akan menjadi acuan bagi mereka
yang bersengketa pada kemudian hari. Dengan begitu posisi hakim ini bukan hanya
sebagai pemutus perkara tapi juga merupakan penfasir terhadap hukum yang berlaku
bagi masyarakat. Pada periode Mekah ini, aspek hukum belum banyak tersentuh oleh
dakwah Rasulullah SAW, karena pada fase ini dakwah lebih menitik beratkan pada
masalah ketauhidan, sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan berbagai hukum yang
menyentuh setiap aspek kehidupan manusia belum banyak disentuh oleh wahyu
keRasulan. Jadi hukum yang berlaku di kota Mekah masih banyak yang berasal dari
tradisi bangsa Arab sendiri khusunya penduduk Mekah dan belum banyak berubah.
Rasulullah SAW sendiri pada fase Mekah ini tidak bertindak sebagai hakim yang
menyelesaikan setiap permasalahan dan persengketaan, kecuali ketika terjadinya
perselisihan mengenai permasalahan peletakan hajar al-aswad. Hal ini juga didasarkan
pada kenyataan bahwa di kota Mekah keadaan Rasulullah SAW dan para pengikutnya
termasuk kaum yang lemah dan tidak berpengaruh, meskipun setelah Islamnya Umar
bin alKhattab dan Hamzah bin Abdul Muthalib, dua tokoh berpengaruh di kalangan
penduduk kota Mekah, sehingga tidak dapat merubah hukum yang telah ada dengan
menyesuaikannya sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW.
Daftar Pustaka

 Al-Tsaqafa: Jurnal Peradaban Islam Vol. 16 No.1, Juni 2019, hlm. 044-062 ISSN
(Cetak) : 0216-5937 ISSN (Online) 2654-4598 Pengaruh Penyebaran Islam di Timur
Tengah dan Afrika Utara: Studi Geobudaya dan Geopolitik Yuangga Kurnia Yahya
Universitas Darussalam Gontor Ponorogo Madiun Jawa Timur Email :
yuangga4@unida.gontor.ac.id
 ALFIKR: Jurnal Pendidikan Islam Vol.5, No.1, Juni 2019, h. 39~48 39 ISSN 2088-
690X Journal homepage: http://jurnal.tarbiyah.stainsorong.ac.id/index.php/alfikr
Kehidupan Sosial Masyarakat Arab Masa Awal Kehadiran Pendidikan Islam
Muhammad Satir Jurusan Tarbiyah, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Sorong Email: muhammadsatirstain@gmail.com
 https://journal.iainlangsa.ac.id/index.php/at/article/download/806/694/

Anda mungkin juga menyukai