LANDASAN TEORI
1
Adalah jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri perjalanan jarak
jauh, kecepatan rata-rata tinggi,dan jumlah jalan masukdibatasisecara efisien.
2) Jalan Kolektor
Adalah jalan yang melayani angkutan pengumpul/pembagi dengan
ciri-ciri perjalanan jarak sedang,kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan
masuk dibatasi.
3) Jalan Lokal
Adalah jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri
perjalanan jarak dekat,kecepatan rata-rata rendah,dan jumlah jalan masuk
tidak dibatasi.
4) Jalan Lingkungan.
Adalah jalan yang melayani lingkungan setempat dengan cirri
perjalanan jarak dekat,kecepatan rata-rata rendah,dan jumlah jalan masuk
tidak dibatasi.
2
Tabel 2.1 Klafikasi Jenis Jalan
Volume Lalu
Fungsi Lintas Dalam Kelas
(SMP)
PRIMER : Arteri - I
Kolektor > 10.000 I
< 10.000 II
SKUNDE
Arteri > 20.000 I
R:
< 20.000 II
Kolektor > 6.000 II
< 6.000 III
Jalan
> 500 III
Lokal
< 500 IV
(Sumber : Standar Perencanaan Geometrik Untuk Jalan Perkotaan, 1988)
Tabel 2.2 di lampirkan untuk mengetahui klafikasi jenis jalan
3
2.2.3. Klasifikasi Menurut Medan Jalan
Medan jalan diklasifikasikan berdasarkan kondisi sebagian
besar kemiringan medan yang diukur tegak lurus garis kontur.Klasifikasi
menurut medan jalan untuk perencanaan geometrik dapat dilihat dalam tabel
2.3.
Tabel 2.3. Klasifikasi Menurut Medan Jalan
No Jenis Medan Notasi Kemiringan Medan(%)
1 Datar D <3
2 Perbukitan B 3-25
3 Pegunungan G >25
(Sumber: TataCaraPerencanaanGeometrikJalanAntarKotaBina Marga,1997)
Tabel 2.3 di lampirkan untuk mengetahui klafikasi menurut medan jalan
4
Dalam perancangan jalan, bentuk geometrik jalan terdapat parameter-
parameter perencanaan yang merupakan penentu tingkat kenyamanan dan
keamanan yang dihasilkan oleh suatu bentuk geometrik jalan.Oleh karena itu
diperlukan standar perencaan jalan ynag bertujuan sebagai acuan dari
parameter perencanaan jalan itu tersendiri.
Standar perencanaan adalah ketentuan yang memberikan batasan-
batasan dan metode perhitungan agar dihasilkan produk yang memenuhi
persyaratan. Standar perencanaan geometrik untuk ruas jalan di Indonesia
biasanya menggunakan peraturanresmiyang dikeluarkan olehDirektorat
Jenderal Bina Margatentang perencanaan geometric jalan raya.
2.3.1. Kendaraan rencana
Kendaraan rencana adalah kendaraan yang dimensi dan radius
putarnya dipakai sebagai acuan dalam perencanaan geometrik.Untuk
perencanaan, setiap kelompok diwakili oleh satu ukuran standar.Dan ukuran
kendaraan rencana untuk masing-masing kelompok adalah ukuran terbesar
yang mewakili kelompoknya.
Berdasarkan dari bentuk,ukuran,dan daya dari kendaraan-kendaraan
yang mempergunakan jalan kendaraan-kendaraan tersebut dikelompokkan
menjadi tiga kategori (TPGJAK,1997):
a) Kendaraan Kecil, diwakilioleh mobilpenumpang.
b) Kendaraan Sedang, diwakili oleh truk 3 as tandem dan bus besar 2as.
c) Kendaraan Besar, diwakilioleh truk-semi-trailer
5
Kecil
Kendaraan
410 250 1210 210 240 740 280 1410
Sedang
Kendaraan
410 250 2100 1.5 90 290 1400 1370
Besar
(Sumber: TataCaraPerencanaanGeometrikJalanAntarKota,1997)
Tabel 2.4 di lampirkan untuk mengetahui dimensi kendaraan rencana
Dimensi dasar untuk masing-masing kategori kendaraan rencana ditunjukkan
dalam tabel 2.4,gambar 2.1 sampai dengan gambar 2.2 menampilkan sketsa dimensi
kendaraan rencana tersebut.
6
Gambar 2.2 Dimensi Kendaraan Besar
(Sumber: TataCaraPerencanaanGeometrikJalanAntarKota,1997)
Gambar 2.2 di lampirkan untuk mengetahui dimensi kendaraan besar
7
Kendaraan bermotor beroda empat, dengan dua gandar berjarak
2,0 , 3,0 m ( termasuk kendaraan penumpang, opelet, mikro bis,
angkot, mikro bis, pick-up, dan truk kecil).
3. HV ( Heavy Vehcle) atau kendaraan berat
Kendaraan bermotor dengan jarak as lebih dari 3,50 m, biasanya
beroda lebih dari empat, (meliputi : bism truk dua as, truk tiga as
dan truk kombinasi sesuai sistem klasifikasi Bina Marga)
b. Ekivalensi Mobil Penumpang
Ekivalensi terhadap satuan mobil penumpang dibedakan berdasarkan
banyaknya jalut, lajur, serta ada atau tidaknya median jalan. Ekivalensi
mobil penumpang digunakan untuk mengkonversikan volume
kendaraan dari berbagai jenis golongan kendaraan bermotor menjadi
satuan mobil penumpang.
8
yang berfungsi sebagai: ruangan untuk berhenti, ruang untuk menghindar
dalam keadaan darurat, memberikan kelenggangan pengemudi, pendukung
konstruksi perkerasan jalan dari arah samping, ruang pembantu pada saat
perbaikan dan pemeliharaan jalan, ruang melintas kendaraan patroli,
ambulans, dll
4. Trotoar adalah jalur yang terletak berdampingan dengan jalur lalu lintas
yang dikhususkan untuk pejalan kaki. Untuk keamanan pejalan kaki maka
trotoar hatus di buat terpisah dari jalur lalu lintas oleh struktur fisik berupa
kerb. Kebutuhan trotoar tergantung dari volume lalu lintas pemakai jalan.
5. Median adalah jalur pemisah yang teletak ditengah jalan untuk membagi
jalan dalam masing-masing arah. Fungsi median antara lain sebagai daerah
netral dimana pengemudi masih dapat mengontrol kendaraan pada saat
darurat, menyediakan jarak yang cukup untuk membatasi kesialuan dari
kendaraan lain yang belawanan arah, mengamankan kebebasan
samping dari masing-masing arah, menyediakan ruang untuk kanalisasi
pertemuan pada jalan, menambah rasa kelegaan, kenyamanan, dan
keindahan bagi pengguna jalan.
9
milik jalan dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan keluasaan keamanan
penggunaan jalan antara lain untuk keperluan pelebaran daerah manfaat jalan
dikemudian hari.
10
2.5.1. Komposisi Penampang Melintang
Dalam komposisi penampan melintang hanya terdiri dari jalur lalu
litas, median dan jalur tepian (jika ada), bahu, jalur pejalan kaki, selokan
dan lereng. Jalur lalu lintas (travaled way = carriage way) adalah
keseluruhan bagian perkerasan jalan yang diperuntukan untuk lalu lintas
kendaraan.
Lebar Jalur
Lebar jalur sangat ditentukan oleh jumlah dan lebar lajur
peruntukannya. Lebar jalur minimum adalah 4.5 meter,
memungkinkan 2 kendaraan kecil saling berpapasan. Papasan dua
11
kendaraan besar yang terjadi sewaktu-waktu dapat menggunakan
bahu jalan.
Penentuan Lebar Jalur dan Bahu jalan.
Tabel 2.5
ART KOLEKTOR LO
id minimu Id minimu id minimu
Leba Leba Leba Leba Leba Leba Leba Leba Leba Leba Leba Leba
eal m eal m eal m
VLH
r r r r r r r r r r r r
R
jalur ba jalur ba jalur bah jalur ba jalur ba jalur ba
<3.00 6, 1,5 4,5 1, 6,0 1,5 4,5 1,0 6,0 1, 4, 1,0
03.000 0 0 0 5
- 7, 2,0 6,0 1, 7,0 1,5 6,0 1,5 7,0 1, 6, 1,0
10.001 0 5 5 0
- 7, 2,0 7,0 2, 7,0 2,0 **) **) - - - -
25.0 0 0
>25.0
00 2nx3 2×7, 2nx3
0 ,5*) 2,5 0*) 2, ,5*) 2,0 **) **) - - - -
Sumber : Tata Cara Perencanaan
0 Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina Marga
1997.
Keterangan : **) = Mengacu pada persyaratan ideal
*)= 2 jalur terbagi, masing – masing n ×
3, 5m, di mana n= Jumlah lajur per jalur
- = Tidak ditentukan
2.5.3. Lajur
Lajur adalah bagian jalur lalu lintas yang memanjang, dibatasi oleh
marka lajur jalan, memiliki lebar yang cukup untuk dilewati suatu kendaraan
bermotor sesuai kendaraan rencana. Lebar lajur tergantung pada kecepatan
dan kendaraan rencana, yang dalam hal ini dinyatakan dengan fungsi dan
kelas jalan seperti ditetapkan dalam Tabel 2.9. Jumlah lajur ditetapkan
dengan mengacu kepada MKJI berdasarkan tingkat kinerja yang
12
direncanakan, di mana untuk suatu ruas jalan dinyatakan oleh nilai rasio
antara volume terhadap kapasitas yang nilainya tidak lebih dari 0,80. Untuk
kelancaran drainase permukaan, lajur lalu lintas pada alinyemen lurus
memerlukan kemiringan melintang normal sebagai berikut .
2-3% untuk perkerasan aspal dan perkerasan beton;
4-5% untuk perkerasan kerikil
Lebar Lajur Jalan Ideal
Tabel 2.6
FUNGSI KELAS LEBAR LAJUR IDEAL
Arteri I 3,75
II, 111 A 3,50
13
Median adalah bagian banguna jalan yang secara fisik memisahkan
dua jalur lalu lintas yang berlawanan arah fungsi.
Jalan 2 arah dengan 4 lajur atau lebih perlu dilengkapi median. Median
dapat dibedakan atas:
Median direndahkan, terdiri atas jalur tepian dan bangunan
pemisah jalur yang direndahkan.
Median ditinggikan, terdiri atas jalur tepian dan bangunan pemisah
jalur yang ditinggikan.
Lebar minimum median terdiri atas jalur tepian selebar 0,25
- 0,50 meter dan bangunan pemisah jalur, ditetapkan dapat dilihat
dalam Tabel 2.10. Perencanaan median yang lebih rinci mengacu pada
Standar Perencanaan Geometrik untuk Jalan Perkotaan, Direktorat
Jenderal Bina Marga, Maret 1992.
14
Jarak tanggap adalah jarak yang ditempuh oleh kendaraan sejak
pengemudi melihat suatu halangan yang menyebabkan ia harus
berhenti sampai saat pengemudi menginjak rem.
Jarak pengereman adalah jarak yang dibutuhkan untuk menghentikan
kendaraan sejak pengemudi menginjak rem sampai kendaraan
berhenti. Jarak pandang henti diformulasikan dengan berdasar asumsi
: tinggi mata pengemudi 105 cm da tinggi halangan 15 cm di atas
permukaan jalan.
2.6.2. Jarak pandng menyiap
Pada jalan 2 lajur 2 arah tak terbagi (2/2 TB), kendaraan dengan
kecepatan tinggi sering mendahului kendaraan lain dengan kecepatan yang
lebih rendah sehingga pengemudi tetap dapat mempertahankan kecepatan
sesuai dengan yang diinginkannya.
Gerakan mendahului dilakukan dengan mengambil lajur jalan yang
diperuntukkan untuk kendaraan dari arah yang berlawanan. Jarak yang
dibutuhkan pengemudi sehingga dapat melakukan gerakan mendahului
dengan aman dan dapat melihat kendaraan dari arah depan dengan bebas
dinamakan jarak pandangan mendahului. Jarak pandang mendahului
(Jd) standar dihitung berdasarkan panjang jalan yang diperlukan untuk
dapat melakukan gerakan mendahului suatu kendaraan dengan sempurna
dan aman berdasarkan asumsi yang diambil.
15
pengemudi di tikungan dengan membebaskan obyek-obyek penghalang
sejauh E, yang diukur dari garis tengah lajur dalam sampai pada obyek
penghalang, sehingga persyaratan untuk Jh terpenuhi.
Ada dua bentuk Daerah Bebas Samping Di Tikungan, yaitu:
1) Jarak Pandang Henti (Jh) < Panjang Tikungan (Lt)
2) Jarak Pandang Henti (Jh) > Panjang Tikungan (Lt)
Jenis tikungan yang ummunya digunakan dalam perencanaan suatu jalan raya
antara lain :
16
Panjang Bagian Lurus Maksimum
Tabel 2.7
Tc = R . Tg. Δ / 2………………………………….…………………
(2.3)
Ec = Tc . Tg Δ / 4…….………………………....………….………....
(2.4)
Lc = Δ ( 2p.R) / 360…………………………..……………….….….
(2.5)
Dimana :
17
Lc = Panjang bagian tikungan (m)
Tabel 2.8 : Batas kecepatan rencana pada lengkung Full Circle (FC)
18
Lengkung Spiral Circle Spiral merupakan bentuk tikungan yang
memiliki peralihan dari bagian lurus ke bagian Circle, yang mengalami gaya
sentrifugal terjadi secara berangsur-angsur. Batasan kecepatan rencana yang
digunakan pada lengkung Spiral adalah seperti diperlihatkan pada tabel 2.9 :
Tabel 2.9 : Batas kecepatan rencana pada lengkung Spiral Circle Spiral (SCS)
Adapun lengkung Spiral Circle Spiral seperti diperlihatkan pada gambar 2.5 berikut :
19
lurus ke bagian spiral ke bagian lingkaran. Untuk menghitung lengkung
Spiral-Circle-Spiral pada tikungan digunakan persamaan berikut :
Ls.90
qs = π .R ……………………………………………………………...
(2.1)
Dc = D - 2.qs ………………………………………….……………….....
(2.2)
Δc(2. π. R )
Lc = 360 . ………………………………………………………...
(2.3)
Kontrol:.......................................................................................
Lc > 20 ………………..Ok! S-C-S
Lt = Lc + 2.Ls …………………………………………………………..(2.4)
Ls2
− R (1-cos θ s)
P = 6. R ………………………………………………
(2.5)
3
Ls
2
k = Ls – ( 40 . R ) - R . sin q s …………………………………….
(2.6)
20
Es = Jarak PI ke lengkung peralihan (m)
Lc = Panjang lengkung circle (m)
D = Sudut perpotongan kedua bagian tangen (°)
Lt = Panjang lengkung circle (m)
Ls = Panjang lengkung spiral (m)
qs = Sudut Spiral (o)
Dc = Sudut busur lingkaran (o)
2.7.4. Bentuk lengkung spiral spiral
Lengkung Spiral-spiral merupakan lengkung yang tajam, untuk tikungan
ini dianjurkan dalam perencanaan agar tidak digunakan, terkecuali pada
daerah yang keadaan medan memaksa pada medan yang sulit. Lengkung ini
hanya terdiri dari bagian Spiral saja hal ini terjadi bila R minimum < R Rencana < R
lengkung peralihan dan Ls < dari Tabel.
Menurut Silvia Sukirman (1994), lengkung Spiral-Spiral adalah
lengkung tanpa busur lingkaran, sehingga titik SC berimpit dengan titik CS.
Untuk menghitung lengkung Spiral-Spiral ini, digunakan persamaan berikut
ini :
qs = ½ D ………………………………………………………........(2.9)
Ls = qs . . R / 90 ….…………………………….…………….
......(2.10)
p= (Ls2 / 6 . Rc) . (1- Cos s) ……………………………………... ......(2.11)
k= Ls – (Ls/40.Rc2)-Rc.Sin s……………………………………. . .......(2.12)
Ts = (Rc +P) tan s + k………………………………………..........(2.13)
Es = (Rc +P) Sec s – Rc.……………………………………...........(2.14)
Lt = 2 . Ls…………………………………………………….... ......(2.15)
Dimana :
Ts = Jarak antara titik Ts ke PI (m)
21
R = Jari jari lengkung (m)
Es = Jarak PI ke lengkung peralihan (m)
D = Sudut perpotongan kedua bagian tangen (o)
L = Panjang lengkung spiral (m)
q = Sudut Spiral (o)
Bentuk dari lengkung Spiral-Spiral ialah seperti diperlihatkan pada gambar
2.6 di bawah ini.
22
untuk kecepat an tertentu dapat dihitung jari-jari minimum untuk
superelevasi maksimum dan koefisien gesekan maksimum.
23
1) Superelevasi dicapai secara bertahap dari kemiringan melintang normal
pada bagian jalan yang lurus sampai ke kemiringan penuh (superelevasi)
pada bagian lengkung.
2) Pada tikungan SCS, pencapaian superelevasi dilakukan secara linear
diawali dari bentuk normal sampai awal lengkung peralihan (TS) pda
bagian lurus jalan lalu dilanjutkan sampai superelevasi penuh pada akhir
bagian lengkung peralihan (SC).
3) Pada tikungan FC, pencapaian superelevasi dilakukan secara linear.
Diawali dari bagian lurus sepanjang 2/3 Ls sampai dengan bagian
lingkaran penuh sepanjang 1/3 Ls.
4) Pada tikungan SS, pencapaian superelevasi seluruhnya dilakukan
pada bagian spiral.
5) Superelevasi tidak diperlukan jika radius (R) cukup besar, untuk
itu cukup lereng luar diputar sebesar lereng normal (LP) atau
bahkan tetap lereng normal (LN).
24
3) Pengemudi akan mengalami kesukaran dalam mempertahankan
lintasannya pada lajur jalannya terutama pada tikungan-tikungan
tajam dan pada kecepatan tinggi. Untuk menghindari hal diatas
maka pada tikungan- tikungan tajam perlu perkerasan jalan dipertebal
pada tikungan.
2.7.9. Stationing
Berdasarkan jarak trase jalan dan elemen-elemen lengkungan yang
diperoleh, maka dapat ditentukan stationing. Menurut Silvia Sukirman (1994),
stationing dalam tahap perencanaan adalah memberi nomor pada interval-
interval tertentu dari awal pekerjaan. Disamping itu, pemberian nomor jalan
tersebut akan memberikan informasi tentang panjang jalan secara keseluruhan.
Tujuan dari stationing itu sendiri adalah untuk memudahkan pada saat
penentuan trase jalan yang telah direncanakan tersebut di lapangan. Pada
tikungan, pemberian nomor dilakukan pada setiap titik penting. Jadi terdapat
Sta titikTC dan Sta titik CT pada tikungan Full Circle. Menurut Silvia
Sukirman (1994), Metode penomorannya dilakukan dengan cara sebagai
berikut :
25
sumbu jalan melalui tepi dalam masing-masing perkerasan untuk jalan dengan
median. Sering disebut juga sebagai penampang memanjang jalan.
Dengan demikian, alinyemen vertikal menyatakan bentuk geometrik jalan
dalam arah vertikal. Bentuk dari penampang memanjang sangat menetukan
jalannya kenderaan yang melewati jalan tersebut, karena memberikan pengaruh
yang sangat besar terhadap kecepatan, kemampuan,percepatan, kemampuan
perlambatan, kemampuan untuk berhenti, jarak pandangan dan kenyamanan
pengemudi kenderaan tersebut. Maka berbeda dengan alinyemen horizontal, pada
alinyemen vertikal tidak hanya ditujukan pada bagian yang lengkung, tetapi justru
pada yang penting yaitu bagian badan jalan yang lurus yang pada umumnya
merupakan suatu kelandaian.
26
walaupun tidak seberapa dibandingkan dengan gerakan truck yang terbebani
penuh. Panjang maksimum landai yang masih dapat diterima tanpa
mengakibatkan gangguan jalannya arus lalu lintas yang berarti atau biasa disebut
dengan panjang kritis landai, adalah panjang yang mengakibatkan pengurangan
kecepatan maksimum sebesar 25% Km/Jam. Kelandaian maksimum dan panjang
kritis landai tersebut seperti diperlihatkan pada tabel 2.5 dan 2.6 di bawah ini :
27
2.8.2. Lengkung Vertikal
Alinyemen vertikal terdiri dari dua buah lengkung, yaitu :
a. Lengkung Vertikal Cekung, yaitu titik perpotongan antara kedua tangen yang
berada di bawah permukaan jalan yang disebut juga lengkung vertikal
positif (+).
28
Sumber: Silvia Sukirman (1994)
A = g1 – g2............................................................................……......(2.16)
Dimana :
A . Lv
Ev = 800 ........................................................................................(2.17)
Dimana :
29
Untuk menntukan panjang station, dapat digunakan persamaan di bawah ini :
2
A.X
Y = 200 . Lv …………………………………………......
(2.18)
Dimana :
A = Perbedaan aljabar landai (m)
30
2.8.4. Kubikasi
a+b
.t
Luas Trapesium : A= 2 .................................... (2.19)
A = Luas (m2)
t = Tinggi (m)
31
2.10. Mass Curve Diagram
Menurut Carl F. Meyer dan David W. Gibson (1984), bahwa mass curve
diagram merupakan suatu cara untuk mengetahui besarnya perbandingan volume
galian serta timbunan, sehingga didapatkan volume komulatif dari kedua volume di
atas. Mass curve diagram dari pekerjaan tanah adalah grafik kontinue dari jumlah
netto dan diplotkan dengan station-station sebagai sumbu absis dari jumlah aljabar
galian serta timbunan sebagai koordinat. Biasanya, volume galian diberi tanda positif
sedangkan timbunan diberi tanda negatif.
32
dihindarkan.
Iklim I
<900 0.5 1.0-1.5 1.0 1.5-2.0 1.5 2.0-2.5
mm/Th
Iklim II
>900 1.5 2.0-2.5 2.0 2.5-3.0 2.5 3.0-3.5
mm/th
Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya dengan metode
Analisa Komponen, Depertemen Pekerjaan Umum (1987)
33
Tabel 2.12 di lampirkan untuk mengetahui : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan
Lentur Jalan Raya dengan metode Analisa Komponen, CBR tanah dasar rencanaNilai
CBR yang di dapat melalui metode grafis dan analitis.
Indeks Permukaan (IP)
Untuk mendapatkan nilai IP dapat dilihat dari nilai LER dan tabel indeks
permukaan padat dilihat pada table 2.13.
34
BURAS 2.9 – 2.5
LATASIR 2.9 – 2.5
JALAN TANAH ≤ 2.4
JALAN KERIKIL ≤ 2.4
Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya dengan metode
Analisa Komponen, Depaertemem Pekerjaan Umum (1987)
Tabel 2.14 di lampirkan untuk mengetahuiIndeks Permukaan pada awal umur rencana
(IPo)
Menetapkan Tebal PerkerasanVariabel-variabel untuk menetapkan lapisan
tebal perkerasan dilihat pada lampiran tabel B.5 untuk lapisan pekerasan permukan,
lampiran tabel B.6 untuk pekerasan pondasi, dan untuk lapiasan pondasi bawah setiap
nilai ITP bila digunankan pondasi bawah makan tebal minimum adalah 10cm, dengan
rumus yang digunakan :
ITP = a1 x d1 + a2 x d2 + a3 x d3.................................................................(2.24)
Dimana :
a1 = koefisien kekuatan lapisan atas
a2 = koefisien kekuatan lapisan pondasi
a3 = koefisien kekuatan lapisan bawah
d1 = tebal pekerasan lapisan atas
d2 = tebal pekerasan lapisan pondasi
d3 = tebal pekerasan lapisan bawah
35