Anda di halaman 1dari 35

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Pengertian Geometrik


Dalam proses pembangunan suatu infrastruktur diperlukan suatu perencanaan
yang harus dipersiapkan secara matang dan memahami perencanaan suatu
infrastruktur tersebut. Ada banyak hal yang harus dipahami dalam suatu perencanaan
terutama pada perencanaan geometrik jalan raya.
Perencanaan geometrik jalan raya adalah suatu bagian dari perencanaan jalan
yang dititik beratkan pada perencaan bentuk fisik sehingga dapat memenuhi fungsi
dasar dari jalan yaitu memberikan pelayanan yang optimum pada arus lalu lintas.
Geometrik atau dimensi yang nyata dari suatu jalan beserta bagian-bagiannya
disesuaikan dengan tuntutan serta sifat-sifat lalu-lintas.Perencanaan geometrik jalan
raya dipengaruhi oleh faktor-faktor lalu lintas, keadaan topografi, keamanan dan
kapasitas jalan seperti pada faktor topografi jalan yang ditentukan oleh klasifikasi
medan dan besarnya lereng melintang.

2.2. Klasifikasi Jalan


Klasifikasi jalan merupakan aspek penting yangpertamakali harus di
identifikasikan sebelum melakukan perancangan jalan. Karena kriteria desain
suaturencana jalanyang ditentukan dari standar desain ditentukan oleh klasifikasi
jalan rencana.Pada prinsipnya klasifikasi jalan dalam standar desain (baik untuk jalan
dalam kota maupun jalan luar kota) didasarkan pada klasifikasi jalan menurut
undang-undang dan peraturan pemerintah yang berlaku. Klasifikasi jalan raya dibagi
dalam beberapa kelompok (TPGJAK No.038/T/BM/1997),yaitu :

2.2.1. Klasifikasi menurut fungsi jalan,terbagi atas:


1) Jalan Arteri

1
Adalah jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri perjalanan jarak
jauh, kecepatan rata-rata tinggi,dan jumlah jalan masukdibatasisecara efisien.

2) Jalan Kolektor
Adalah jalan yang melayani angkutan pengumpul/pembagi dengan
ciri-ciri perjalanan jarak sedang,kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan
masuk dibatasi.

3) Jalan Lokal
Adalah jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri
perjalanan jarak dekat,kecepatan rata-rata rendah,dan jumlah jalan masuk
tidak dibatasi.

4) Jalan Lingkungan.
Adalah jalan yang melayani lingkungan setempat dengan cirri
perjalanan jarak dekat,kecepatan rata-rata rendah,dan jumlah jalan masuk
tidak dibatasi.

Klasifikasi jalan di Indonesia menurut Standar Perencanaan Geometrik Jalan


Raya Perkotaan ( SPGJP, 1988).Dapat dikelompokan berdasarkan kapasitas lalu
lintas harian rata-rata (LHR) yang dilayani dalam satuan smp.Klasifikasi jalan
berdasarkan lalu lintas harian rata-rata dapat dilihat pada table 2.1 dibawah ini :

2
Tabel 2.1 Klafikasi Jenis Jalan
Volume Lalu
Fungsi Lintas Dalam Kelas
(SMP)
PRIMER :  Arteri - I
 Kolektor > 10.000 I
< 10.000 II
SKUNDE
 Arteri > 20.000 I
R:
< 20.000 II
 Kolektor > 6.000 II
< 6.000 III
 Jalan
> 500 III
Lokal
< 500 IV
(Sumber : Standar Perencanaan Geometrik Untuk Jalan Perkotaan, 1988)
Tabel 2.2 di lampirkan untuk mengetahui klafikasi jenis jalan

2.2.2. Klasifikasi menurut kelas jalan


Klasifikasimenurutkelasjalan berkaitan dengan kemampuan jalan
untuk menerima bebanlalu lintas, dinyatakan dalam muatan sumbu terberat
(MST) dalamsatuanton (Pasal 11, PP. No.43/1993).Klasifikasi Jalan Menurut
Kelas Jalan dapat dilihat di tabel 2.2
Tabel 2.2 Klasifikasi Jalan Menurut Kelas Jalan
No Fungsi Kelas Muatan Sumbu Terberat MTS (Ton)
I >10
1 Jalan Arteri II 10
IIIA 8
IIIA
2 Jalan Kolektor 8
IIIB
(Sumber: TataCaraPerencanaanJalangeometricantarkota,1997)
Tabel 2.2 di lampirkan untuk mengetahui klafikasi jalan menurut kelas jalan

3
2.2.3. Klasifikasi Menurut Medan Jalan
Medan jalan diklasifikasikan berdasarkan kondisi sebagian
besar kemiringan medan yang diukur tegak lurus garis kontur.Klasifikasi
menurut medan jalan untuk perencanaan geometrik dapat dilihat dalam tabel
2.3.
Tabel 2.3. Klasifikasi Menurut Medan Jalan
No Jenis Medan Notasi Kemiringan Medan(%)
1 Datar D <3
2 Perbukitan B 3-25
3 Pegunungan G >25
(Sumber: TataCaraPerencanaanGeometrikJalanAntarKotaBina Marga,1997)
Tabel 2.3 di lampirkan untuk mengetahui klafikasi menurut medan jalan

2.2.4. Klasifikasi Menurut Wewenang Pembinaan Jalan


Klasifikasi jalan menurut wewenang pembinaannya sesuai
PP.No.26/1985 adalah jalan nasional,jalan provinsi, jalan
kabupaten/kotamadya, jalan desa, dan jalan khusus.
1) Jalan nasional merupakan jalan arteri dan kolektor dalam sistem
jaringan jalan primer yang memhubungkan antar ibu kota propinsi dan
jalan strategis nasional serta jalan tol.
2) Jalan provinsi adalah jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer
yang menghubungkan ibu kota propinsi dan ibu kota kabupaten.
3) Jalan kabupaten adalah jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer
yang menghungkan ibu kota kabupaten dengan ibu kota kecamatan
serta jalan umum dalam jaringan jalan sekunder dalam suatu wilayah
kabupaten.
4) Jalan kota merupakan jalan umum dalam sistem jaringan sekunder yang
fungsinya menghubungkan pusat pelayanan dalam kota.
2.3. Kriteria Perencanaan

4
Dalam perancangan jalan, bentuk geometrik jalan terdapat parameter-
parameter perencanaan yang merupakan penentu tingkat kenyamanan dan
keamanan yang dihasilkan oleh suatu bentuk geometrik jalan.Oleh karena itu
diperlukan standar perencaan jalan ynag bertujuan sebagai acuan dari
parameter perencanaan jalan itu tersendiri.
Standar perencanaan adalah ketentuan yang memberikan batasan-
batasan dan metode perhitungan agar dihasilkan produk yang memenuhi
persyaratan. Standar perencanaan geometrik untuk ruas jalan di Indonesia
biasanya menggunakan peraturanresmiyang dikeluarkan olehDirektorat
Jenderal Bina Margatentang perencanaan geometric jalan raya.
2.3.1. Kendaraan rencana
Kendaraan rencana adalah kendaraan yang dimensi dan radius
putarnya dipakai sebagai acuan dalam perencanaan geometrik.Untuk
perencanaan, setiap kelompok diwakili oleh satu ukuran standar.Dan ukuran
kendaraan rencana untuk masing-masing kelompok adalah ukuran terbesar
yang mewakili kelompoknya.
Berdasarkan dari bentuk,ukuran,dan daya dari kendaraan-kendaraan
yang mempergunakan jalan kendaraan-kendaraan tersebut dikelompokkan
menjadi tiga kategori (TPGJAK,1997):
a) Kendaraan Kecil, diwakilioleh mobilpenumpang.
b) Kendaraan Sedang, diwakili oleh truk 3 as tandem dan bus besar 2as.
c) Kendaraan Besar, diwakilioleh truk-semi-trailer

Tabel 2.4. Dimensi Kendaraan Rencana


Dimensi Kendaraan Radius
Kategori Tonjolan (Cm) Radius
(Cm) Putar
Radius Tonjolan
Panjan
Putar Tinggi Lebar Depan Belakang Min Maks (Cm)
g
Kendaraan 130 210 580 90 150 420 730 780

5
Kecil
Kendaraan
410 250 1210 210 240 740 280 1410
Sedang
Kendaraan
410 250 2100 1.5 90 290 1400 1370
Besar
(Sumber: TataCaraPerencanaanGeometrikJalanAntarKota,1997)
Tabel 2.4 di lampirkan untuk mengetahui dimensi kendaraan rencana
Dimensi dasar untuk masing-masing kategori kendaraan rencana ditunjukkan
dalam tabel 2.4,gambar 2.1 sampai dengan gambar 2.2 menampilkan sketsa dimensi
kendaraan rencana tersebut.

Gambar 2.1 Dimensi Kendaraan Kecil


(Sumber: TataCaraPerencanaanGeometrikJalanAntarKota,1997)
Gambar 2.1 di lampirkan untuk mengetahui dimensi kendaraan kecil

6
Gambar 2.2 Dimensi Kendaraan Besar
(Sumber: TataCaraPerencanaanGeometrikJalanAntarKota,1997)
Gambar 2.2 di lampirkan untuk mengetahui dimensi kendaraan besar

2.3.2. Satuan Mobi Penumpang


Menurut MKJI (1997), kendaraan bermotor dijalan perkotaan
diberdakan menjadi tiga bagian yaitu sepeda motor (MC), kendaraan ringan
(LV), dan kendaraan berat (HV), sedangkan kendaraan tidak bermotor
dimasukkan sebagai kejadian terpisah dalam faktor penyesuaian hambatan
samping. Data volume kendaraan dihitung secara terpisah sesuai dengan
golongan atau tipenya. Maka dari itu dalam proses perhitungan, data
volume tersebut perlu dikalikan dengan koefisien satuan mobil penumpang
(smp). Berikut penggolongan atau klasifikasi dan ekivalensi mobil
penumpang (emp) kendaraan motor menurut MKJI (1997).
a. Klasifiksi kendaraan bermotor
1. MC (Motor Cycle) atau sepeda motor
Kendaraan motor dengan dua atau tiga roda (termasuk sepeda
motor, kendaraan roda tiga sesuai sistem klasifikasi Bina Marga).
2. LV (Light Vehicle) atau kendaraan ringan

7
Kendaraan bermotor beroda empat, dengan dua gandar berjarak
2,0 , 3,0 m ( termasuk kendaraan penumpang, opelet, mikro bis,
angkot, mikro bis, pick-up, dan truk kecil).
3. HV ( Heavy Vehcle) atau kendaraan berat
Kendaraan bermotor dengan jarak as lebih dari 3,50 m, biasanya
beroda lebih dari empat, (meliputi : bism truk dua as, truk tiga as
dan truk kombinasi sesuai sistem klasifikasi Bina Marga)
b. Ekivalensi Mobil Penumpang
Ekivalensi terhadap satuan mobil penumpang dibedakan berdasarkan
banyaknya jalut, lajur, serta ada atau tidaknya median jalan. Ekivalensi
mobil penumpang digunakan untuk mengkonversikan volume
kendaraan dari berbagai jenis golongan kendaraan bermotor menjadi
satuan mobil penumpang.

2.4. Bagian-Bagian Jalan


Jalan memiliki bagian-bagian yang sangat penting, bagian-bagian tersebut
dikelompokkan menjadi 4 bagian, yaitu bagian yang berguna untuk lalu lintas,
bagian yang berguna untuk drainase jalan, bagian pelengkap jalan, dan bagian
kontruksi jalan.
Bagian yang beguna untuk lalu lintas terdiri dari:
1. Jalur lalu lintas adalah keseluruhan bagian perkerasan jalan yang
diperuntukan untuk lalu lintas kendaraan. Jalur lalu lintas terdiri dari
beberapa lajur (lane) kendaraan. Jalur lalu lintas untuk satu arah minimal
terdiri dari satu lajur lalu lintas.
2. Lajur lalu lintas, merupakan bagian paling menentukan lebar melintang
jalan secara keseluruhan. Brsarnya lebar lajur lalu lintas dapat ditentukan
dengan pengamatan secara langsung
3. Bahu jalan adalah jalur yang terletak berdampingan dengan jalur lalu lintas

8
yang berfungsi sebagai: ruangan untuk berhenti, ruang untuk menghindar
dalam keadaan darurat, memberikan kelenggangan pengemudi, pendukung
konstruksi perkerasan jalan dari arah samping, ruang pembantu pada saat
perbaikan dan pemeliharaan jalan, ruang melintas kendaraan patroli,
ambulans, dll
4. Trotoar adalah jalur yang terletak berdampingan dengan jalur lalu lintas
yang dikhususkan untuk pejalan kaki. Untuk keamanan pejalan kaki maka
trotoar hatus di buat terpisah dari jalur lalu lintas oleh struktur fisik berupa
kerb. Kebutuhan trotoar tergantung dari volume lalu lintas pemakai jalan.
5. Median adalah jalur pemisah yang teletak ditengah jalan untuk membagi
jalan dalam masing-masing arah. Fungsi median antara lain sebagai daerah
netral dimana pengemudi masih dapat mengontrol kendaraan pada saat
darurat, menyediakan jarak yang cukup untuk membatasi kesialuan dari
kendaraan lain yang belawanan arah, mengamankan kebebasan
samping dari masing-masing arah, menyediakan ruang untuk kanalisasi
pertemuan pada jalan, menambah rasa kelegaan, kenyamanan, dan
keindahan bagi pengguna jalan.

2.4.1. Daerah Mafaat Jalan


Daerah manfaat jalan (damaja) meliputi bagan jalan, saluran tepi
jalan dan ambang pengamanan. Badan jalan meliputi jalur lalu lintas,
dengan atau tanpa jalur pemisah dan bahu jalan.

2.4.2. Daerah Milik Jalan


Daerah milik jalan (damija), merupakan ruang sepanjang jalan yang
dibatasi oleh lebar dan tinggi tertentu yang dikuasai oleh pembina jalan
dengan suatu hak tertentu. Biasanya pada jarak per satu km dipasang patok
DMJ berwarna kuning.
Sejalur tanah tertentu diluar daerah manfaat jalan tetapi didalam daerah

9
milik jalan dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan keluasaan keamanan
penggunaan jalan antara lain untuk keperluan pelebaran daerah manfaat jalan
dikemudian hari.

2.4.3. Daerah Pengawasan Jalan


Daerah pengawasan jalan (dawasja) adalah sejalur tanah tertentu yang
terletak diluar daerah milik jalan, yang penggunaannya diawasi oleh
pembina jalan, dengan maksud agar tidak mengganggu pandangan
pengemudi dan konstruksi
jalan. Dalam hai tidak cukup luasnya daerah milik jalan.

2.5. Penampang Melintang


Penampang melintang jalan merupakan potongan melintang tegak lurus
sumbu jalan. Pada potongan melintang jalan dapat terlihat bagian-bagian
jalan. Bagian-bagian jalan yang utama dapat dikelompokan sebaagai berikut :
A. Bagian yang langsung berguna untuk lalu lintas
 Jalur lalu lintas
 Lajur lalu lintas
 Bahu jalan
 Trotoar
 Media
B. Bagian yang berguna untuk drainase jalan
 Saluran samping
 Kemiringan melintang jalur lalu lintas
 Kemiringan melintang bahu
 Kemiringan lereng

10
2.5.1. Komposisi Penampang Melintang
Dalam komposisi penampan melintang hanya terdiri dari jalur lalu
litas, median dan jalur tepian (jika ada), bahu, jalur pejalan kaki, selokan
dan lereng. Jalur lalu lintas (travaled way = carriage way) adalah
keseluruhan bagian perkerasan jalan yang diperuntukan untuk lalu lintas
kendaraan.

2.5.2. Jalur Lalu lintas


Jalur lalu lintas adalah bagian jalan yang dipergunakan untuk lalu
lintas kendaraan yang secara fisik berupa perkerasan jalan.
 Batas jalur lalu lintas dapat berupa:
(1) Median;
(2) Bahu;
(3) Trotoar;
(4) Pulau jalan; dan
(5) Separator.
 Jalur lalu lintas dapat terdiri atas beberapa lajur. Jalur lalu lintas
dapat terdiri atas beberapa tipe, yaitu :
(1) 1 jalur-2 lajur-2 arah (2/2 TB)
(2) 1 jalur-2 lajur-l arah (2/1 TB)
(3) 2 jalur-4 1ajur-2 arah (4/2 B)
(4) 2 jalur-n lajur-2 arah (n12 B), di mana n = jumlah lajur.
Keterangan: TB = tidak terbagi. B = terbagi

 Lebar Jalur
Lebar jalur sangat ditentukan oleh jumlah dan lebar lajur
peruntukannya. Lebar jalur minimum adalah 4.5 meter,
memungkinkan 2 kendaraan kecil saling berpapasan. Papasan dua

11
kendaraan besar yang terjadi sewaktu-waktu dapat menggunakan
bahu jalan.
Penentuan Lebar Jalur dan Bahu jalan.
Tabel 2.5
ART KOLEKTOR LO
id minimu Id minimu id minimu
Leba Leba Leba Leba Leba Leba Leba Leba Leba Leba Leba Leba
eal m eal m eal m
VLH
r r r r r r r r r r r r
R
jalur ba jalur ba jalur bah jalur ba jalur ba jalur ba
<3.00 6, 1,5 4,5 1, 6,0 1,5 4,5 1,0 6,0 1, 4, 1,0
03.000 0 0 0 5
- 7, 2,0 6,0 1, 7,0 1,5 6,0 1,5 7,0 1, 6, 1,0
10.001 0 5 5 0
- 7, 2,0 7,0 2, 7,0 2,0 **) **) - - - -
25.0 0 0
>25.0
00 2nx3 2×7, 2nx3
0 ,5*) 2,5 0*) 2, ,5*) 2,0 **) **) - - - -
Sumber : Tata Cara Perencanaan
0 Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina Marga
1997.
Keterangan : **) = Mengacu pada persyaratan ideal
*)= 2 jalur terbagi, masing – masing n ×
3, 5m, di mana n= Jumlah lajur per jalur
- = Tidak ditentukan
2.5.3. Lajur
Lajur adalah bagian jalur lalu lintas yang memanjang, dibatasi oleh
marka lajur jalan, memiliki lebar yang cukup untuk dilewati suatu kendaraan
bermotor sesuai kendaraan rencana. Lebar lajur tergantung pada kecepatan
dan kendaraan rencana, yang dalam hal ini dinyatakan dengan fungsi dan
kelas jalan seperti ditetapkan dalam Tabel 2.9. Jumlah lajur ditetapkan
dengan mengacu kepada MKJI berdasarkan tingkat kinerja yang

12
direncanakan, di mana untuk suatu ruas jalan dinyatakan oleh nilai rasio
antara volume terhadap kapasitas yang nilainya tidak lebih dari 0,80. Untuk
kelancaran drainase permukaan, lajur lalu lintas pada alinyemen lurus
memerlukan kemiringan melintang normal sebagai berikut .
 2-3% untuk perkerasan aspal dan perkerasan beton;
 4-5% untuk perkerasan kerikil
Lebar Lajur Jalan Ideal
Tabel 2.6
FUNGSI KELAS LEBAR LAJUR IDEAL
Arteri I 3,75
II, 111 A 3,50

Kolektor III A, III B 3,0


Lokal III C 3,0
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen
Bina Marga 1997.

Gambar 2.3 Kemiringan melintang jalan normal

2.5.4. Median dan Jalur Tepian

13
Median adalah bagian banguna jalan yang secara fisik memisahkan
dua jalur lalu lintas yang berlawanan arah fungsi.
Jalan 2 arah dengan 4 lajur atau lebih perlu dilengkapi median. Median
dapat dibedakan atas:
 Median direndahkan, terdiri atas jalur tepian dan bangunan
pemisah jalur yang direndahkan.
 Median ditinggikan, terdiri atas jalur tepian dan bangunan pemisah
jalur yang ditinggikan.
Lebar minimum median terdiri atas jalur tepian selebar 0,25
- 0,50 meter dan bangunan pemisah jalur, ditetapkan dapat dilihat
dalam Tabel 2.10. Perencanaan median yang lebih rinci mengacu pada
Standar Perencanaan Geometrik untuk Jalan Perkotaan, Direktorat
Jenderal Bina Marga, Maret 1992.

2.6. Jarak Pandang


Jarak pandang adalah suatu jarak yang diperlukan oleh seorang
pengemudi pada saat mengemudi sedemikian rupa, sehingga jika pengemudi
melihat suatu halangan yang membahayakan, maka pengemudi dapat
melakukan sesuatu (antisipasi) untuk menghindari bahaya tersebut dengan
aman.

2.6.1. Jarak pandang henti


Jarak pandang henti adalah jarak minimum yang diperlukan
pengemudi untuk dapat menghentikan kendaraannya dengan aman setelah
melihat adanya halangan di depannya. Jarak pandang henti sangat
berpengaruh bagi pengendara oleh karena itu ‘setiap titik’ di sepanjang
jalan harus memenuhi jarak pandang henti.
Jarak pandang henti terdiri dua elemen, yaitu :

14
 Jarak tanggap adalah jarak yang ditempuh oleh kendaraan sejak
pengemudi melihat suatu halangan yang menyebabkan ia harus
berhenti sampai saat pengemudi menginjak rem.
 Jarak pengereman adalah jarak yang dibutuhkan untuk menghentikan
kendaraan sejak pengemudi menginjak rem sampai kendaraan
berhenti. Jarak pandang henti diformulasikan dengan berdasar asumsi
: tinggi mata pengemudi 105 cm da tinggi halangan 15 cm di atas
permukaan jalan.
2.6.2. Jarak pandng menyiap
Pada jalan 2 lajur 2 arah tak terbagi (2/2 TB), kendaraan dengan
kecepatan tinggi sering mendahului kendaraan lain dengan kecepatan yang
lebih rendah sehingga pengemudi tetap dapat mempertahankan kecepatan
sesuai dengan yang diinginkannya.
Gerakan mendahului dilakukan dengan mengambil lajur jalan yang
diperuntukkan untuk kendaraan dari arah yang berlawanan. Jarak yang
dibutuhkan pengemudi sehingga dapat melakukan gerakan mendahului
dengan aman dan dapat melihat kendaraan dari arah depan dengan bebas
dinamakan jarak pandangan mendahului. Jarak pandang mendahului
(Jd) standar dihitung berdasarkan panjang jalan yang diperlukan untuk
dapat melakukan gerakan mendahului suatu kendaraan dengan sempurna
dan aman berdasarkan asumsi yang diambil.

2.6.3. Kebebasan samping pada tikungan


Jarak pandang pengemudi pada lengkung horisontal (di tikungan),
adalah pandanngan bebas pengemudi dari halangan benda-benda di sisi
jalan. Daerah bebas samping di tikungan (E) adalah ruang untuk menjamin
kebebasan pandang pengemudi kendaraan di tikungan, sehingga Jh dapat
terpenuhi, dan dimaksudkan untuk memberikan kemudahan pandangan

15
pengemudi di tikungan dengan membebaskan obyek-obyek penghalang
sejauh E, yang diukur dari garis tengah lajur dalam sampai pada obyek
penghalang, sehingga persyaratan untuk Jh terpenuhi.
Ada dua bentuk Daerah Bebas Samping Di Tikungan, yaitu:
1) Jarak Pandang Henti (Jh) < Panjang Tikungan (Lt)
2) Jarak Pandang Henti (Jh) > Panjang Tikungan (Lt)

2.7. Alinyemen Horinzontal


Alinyemen horizontalatau trasejalan merupakan gambaran badan jalan
yang tegaklurus bidang.Padagambar tersebutakan terlihat apakah jalan tersebut
akan merupakan jalan lurus,berbelok kekiri atau ke kanan. Pada perencanaan
alinyemen horizontal, umumnya akan ditemui dua jenis bagian jalan,yaitu bagian
lurus,dan bagian lengkung yang disebut tikungan.

Jenis tikungan yang ummunya digunakan dalam perencanaan suatu jalan raya
antara lain :

2.7.1. Panjang bagian lurus


Panjang maksimum bagian lurus harus dapat ditempuh dalam waktu
≤ 2,5 menit (Sesuai Vr), dengan pertimbangan keselamatan pengemudi
akibat dari kelelahan.

16
Panjang Bagian Lurus Maksimum
Tabel 2.7

Panjang Bagian Lurus Maksimum ( m )


Fungsi Datar Bukit Gunung

Arteri 3.000 2.500 2.000

2.000 1.750 1.500

Sumber : TPGJAK No 038/T/BM/1997

2.7.2. Bentuk lengkung Full circle


Lengkung Full Circle terdiri dari bagian lingkaran tanpa adanya
peralihan. Untuk menghitung lengkung Full Circle dipergunakan persamaan
sebagai berikut

Tc = R . Tg. Δ / 2………………………………….…………………

(2.3)

Ec = Tc . Tg Δ / 4…….………………………....………….………....

(2.4)

Lc = Δ ( 2p.R) / 360…………………………..……………….….….
(2.5)

Dimana :

Tc = Jarak antara Tc ke PI dan PI ke Ct ( m )

Rc = Jari- jari rencana (m)

Ec = Jarak PI lengkung peralihan (m)


0
D = Sudut tangen ( )

17
Lc = Panjang bagian tikungan (m)

Tabel 2.8 : Batas kecepatan rencana pada lengkung Full Circle (FC)

Kecepatan Rencana Jari-jari lengkung minimum (Rc) m


120 2.500
100 1.500
80 900
60 500
50 350
40 250
30 130
20 60
Sumber : Shirley.L Hendarsin (2000)
Adapun lengkung Full Circle seperti pada gambar 2.4 berikut :

Gambar 2.4 : Bentuk Lengkung Full Circle


2.7.3. Bentuk Lengkup Spiral circle spiral

18
Lengkung Spiral Circle Spiral merupakan bentuk tikungan yang
memiliki peralihan dari bagian lurus ke bagian Circle, yang mengalami gaya
sentrifugal terjadi secara berangsur-angsur. Batasan kecepatan rencana yang
digunakan pada lengkung Spiral adalah seperti diperlihatkan pada tabel 2.9 :

Tabel 2.9 : Batas kecepatan rencana pada lengkung Spiral Circle Spiral (SCS)

Batasan rencana V Jari-jari lengkung minimum (Rc)


(Km/jam) (m)
120 600
100 370
90 280
80 210
60 115
50 80
40 50
30 30
20 15
Sumber : Shirley.L Hendarsin (2000)

Adapun lengkung Spiral Circle Spiral seperti diperlihatkan pada gambar 2.5 berikut :

Gambar 2.5 : bentuk lengkung spiral circle spiral (S-C-S)

Lengkung Ts-Ts adalah lengkung peralihan berbentuk spiral yang


menghubungkan bagian lurus di kiri Ts, titik ts adalah titik peralihan bagian

19
lurus ke bagian spiral ke bagian lingkaran. Untuk menghitung lengkung
Spiral-Circle-Spiral pada tikungan digunakan persamaan berikut :
Ls.90
qs = π .R ……………………………………………………………...
(2.1)

Dc = D - 2.qs ………………………………………….……………….....
(2.2)
Δc(2. π. R )
Lc = 360 . ………………………………………………………...
(2.3)

Kontrol:.......................................................................................
Lc > 20 ………………..Ok! S-C-S
Lt = Lc + 2.Ls …………………………………………………………..(2.4)

Ls2
− R (1-cos θ s)
P = 6. R ………………………………………………
(2.5)
3
Ls
2
k = Ls – ( 40 . R ) - R . sin q s …………………………………….
(2.6)

Es = ( R + P ) sec D/2 - R……………………………………………….


(2.7)
Ts = (R + P) tg D/2 + k………………………………………………(2.8)
Dimana :
Ts = Jarak antara titik Ts ke PI (m)
R = Jari jari titik Ts dan PI (m)
p = Jarak antara tangen dan busur lingkaran (m)
k = Jarak antara Ts dan Cs pada garis lurus (m)

20
Es = Jarak PI ke lengkung peralihan (m)
Lc = Panjang lengkung circle (m)
D = Sudut perpotongan kedua bagian tangen (°)
Lt = Panjang lengkung circle (m)
Ls = Panjang lengkung spiral (m)
qs = Sudut Spiral (o)
Dc = Sudut busur lingkaran (o)
2.7.4. Bentuk lengkung spiral spiral
Lengkung Spiral-spiral merupakan lengkung yang tajam, untuk tikungan
ini dianjurkan dalam perencanaan agar tidak digunakan, terkecuali pada
daerah yang keadaan medan memaksa pada medan yang sulit. Lengkung ini
hanya terdiri dari bagian Spiral saja hal ini terjadi bila R minimum < R Rencana < R
lengkung peralihan dan Ls < dari Tabel.
Menurut Silvia Sukirman (1994), lengkung Spiral-Spiral adalah
lengkung tanpa busur lingkaran, sehingga titik SC berimpit dengan titik CS.
Untuk menghitung lengkung Spiral-Spiral ini, digunakan persamaan berikut
ini :

qs = ½ D ………………………………………………………........(2.9)
Ls = qs . . R / 90 ….…………………………….…………….
......(2.10)
p= (Ls2 / 6 . Rc) . (1- Cos s) ……………………………………... ......(2.11)
k= Ls – (Ls/40.Rc2)-Rc.Sin s……………………………………. . .......(2.12)
Ts = (Rc +P) tan s + k………………………………………..........(2.13)
Es = (Rc +P) Sec s – Rc.……………………………………...........(2.14)
Lt = 2 . Ls…………………………………………………….... ......(2.15)
Dimana :
Ts = Jarak antara titik Ts ke PI (m)

21
R = Jari jari lengkung (m)
Es = Jarak PI ke lengkung peralihan (m)
D = Sudut perpotongan kedua bagian tangen (o)
L = Panjang lengkung spiral (m)
q = Sudut Spiral (o)
Bentuk dari lengkung Spiral-Spiral ialah seperti diperlihatkan pada gambar
2.6 di bawah ini.

Gambar 2.6 : Bentuk Lengkung Spiral-Spiral


2.7.5. Jari-jari tikungan

Agar kendaraan stabil saat melalui tikungan, perlu dibuat suatu


kemiringan melintang jalan pada tikungan yang disebut superelevasi (e).
Pada saat kendaraan melalui daerah superelevasi, akan terjadi gesekan
arah melintang jalan antara ban kendaraan dengan permukaan aspal yang
menimbulkan gaya gesekan melintang. Perbandingan gaya gesekan
melintang dengan gaya normal disebut koefisien gesekan melintang (f).
Di dalam suatu perencanaan garis lengkung maka perlu diketahui
hubungan kecepatan rencana dengan kemiringan melintang jalan
(superelevasi) karena garis lengkung yang direncanakan harus dapat
mengurangi gaya sentrifugal secara berangsur-angsur mulai dari nol
sampai nol kembali. Untuk menghindari terjadinya kecelakaan, maka

22
untuk kecepat an tertentu dapat dihitung jari-jari minimum untuk
superelevasi maksimum dan koefisien gesekan maksimum.

2.7.6. Lengkung peralihan

Lengkung peralihan adalah lengkung yang disisipkan di antara


bagian lurus jalan dan bagian lengkung jalan berjari jari tetap R; berfungsi
mengantisipasi perubahan alinemen jalan dari bentuk lurus (R tak
terhingga) sampai bagian lengkung jalan berjari jari tetap R sehingga gaya
sentrifugal yang bekerja pada kendaraan saat berjalan di tikungan
berubah secara berangsur-angsur, baik ketika kendaraan mendekati
tikungan maupun meninggalkan tikungan. Bentuk lengkung peralihan dapat
berupa parabola atau spiral (clothoid). Dalam tata cara ini digunakan
bentuk spiral. Panjang lengkung peralihan (L) ditetapkan atas pertimbangan
bahwa:

1) Lama waktu perjalanan di lengkung peralihan perlu dibatasi


untuk menghindarkan kesan perubahan alinemen yang mendadak,
ditetapkan 3 detik (pada kecepatan VR);
2) Gaya sentrifugal yang bekerja pada kendaraan dapat diantisipasi
berangsur- angsur pada lengkung peralihan dengan aman; dan
3) Tingkat perubahan kelandaian melintang jalan (re) dari bentuk
kelandaian normal ke kelandaian superelevasi penuh tidak boleh
melampaui re-max yang ditetapkan sebagai berikut: Untuk VR <
70km/jam, re-max = 0,035 m/m/ detik,untuk VR.80km/jam, re-mak=
0,025 m/m/detik.

2.7.7. Pencapaian superelevasi

Ada lima pencapaian superelevasi, yaitu :

23
1) Superelevasi dicapai secara bertahap dari kemiringan melintang normal
pada bagian jalan yang lurus sampai ke kemiringan penuh (superelevasi)
pada bagian lengkung.
2) Pada tikungan SCS, pencapaian superelevasi dilakukan secara linear
diawali dari bentuk normal sampai awal lengkung peralihan (TS) pda
bagian lurus jalan lalu dilanjutkan sampai superelevasi penuh pada akhir
bagian lengkung peralihan (SC).
3) Pada tikungan FC, pencapaian superelevasi dilakukan secara linear.
Diawali dari bagian lurus sepanjang 2/3 Ls sampai dengan bagian
lingkaran penuh sepanjang 1/3 Ls.
4) Pada tikungan SS, pencapaian superelevasi seluruhnya dilakukan
pada bagian spiral.
5) Superelevasi tidak diperlukan jika radius (R) cukup besar, untuk
itu cukup lereng luar diputar sebesar lereng normal (LP) atau
bahkan tetap lereng normal (LN).

2.7.8. Pelebaran jalur lalu lintas ditikungan

Pelebaran perkerasan dilakukan pada tikungan-tikungan yang tajam,


agar kendaraan tetap dapat mempertahankan lintasannya pada jalur yang
telah disediakan.
Kendaraan yang bergerak dari jalan harus menuju ke tikungan sering
kali tidak dapat mempertahankan lintasannya pada jalan yang disediakan, hal
ini disebabkan:
1) Pada waktu membelok yang diberi belokan pertama kali adalah roda
depan, sehingga lintasan roda belakang akan keluar lajur (off tracking).
2) Sejak lintasan kendaraan tidak lagi berimpit, karena bemper depan dan
belakang kendaraan akan mempunyai lintasan yang berbeda
dengan lintasan roda depan atau belakang kendaraan.

24
3) Pengemudi akan mengalami kesukaran dalam mempertahankan
lintasannya pada lajur jalannya terutama pada tikungan-tikungan
tajam dan pada kecepatan tinggi. Untuk menghindari hal diatas
maka pada tikungan- tikungan tajam perlu perkerasan jalan dipertebal
pada tikungan.

2.7.9. Stationing
Berdasarkan jarak trase jalan dan elemen-elemen lengkungan yang
diperoleh, maka dapat ditentukan stationing. Menurut Silvia Sukirman (1994),
stationing dalam tahap perencanaan adalah memberi nomor pada interval-
interval tertentu dari awal pekerjaan. Disamping itu, pemberian nomor jalan
tersebut akan memberikan informasi tentang panjang jalan secara keseluruhan.

Tujuan dari stationing itu sendiri adalah untuk memudahkan pada saat
penentuan trase jalan yang telah direncanakan tersebut di lapangan. Pada
tikungan, pemberian nomor dilakukan pada setiap titik penting. Jadi terdapat
Sta titikTC dan Sta titik CT pada tikungan Full Circle. Menurut Silvia
Sukirman (1994), Metode penomorannya dilakukan dengan cara sebagai
berikut :

a. Setiap jarak 100 m untuk daerah datar


b. Setiap jarak 50 m untuk daerah bukit
c. Setiap jarak 25 m untuk daerah gunung.

2.8. Alinyemen Vertikal


Menurut Silva Sukirman (1994), bahwa alinyemen vertikal adalah
perpotongan bidang vertikal dengan bidang permukaan perkerasan jalan melalui

25
sumbu jalan melalui tepi dalam masing-masing perkerasan untuk jalan dengan
median. Sering disebut juga sebagai penampang memanjang jalan.
Dengan demikian, alinyemen vertikal menyatakan bentuk geometrik jalan
dalam arah vertikal. Bentuk dari penampang memanjang sangat menetukan
jalannya kenderaan yang melewati jalan tersebut, karena memberikan pengaruh
yang sangat besar terhadap kecepatan, kemampuan,percepatan, kemampuan
perlambatan, kemampuan untuk berhenti, jarak pandangan dan kenyamanan
pengemudi kenderaan tersebut. Maka berbeda dengan alinyemen horizontal, pada
alinyemen vertikal tidak hanya ditujukan pada bagian yang lengkung, tetapi justru
pada yang penting yaitu bagian badan jalan yang lurus yang pada umumnya
merupakan suatu kelandaian.

2.8.1. Kelandaian jalan


Menurut Silvia Sukirman (1994), landai jalan adalah garis lurus yang
dapat berupa mendatar, mendaki ataupun menurun yang dinyatakan dalam
persen. Pada umumnya gambar rencana suatu jalan dibaca dari kiri ke kanan.
Maka, landai jalan diberi tanda positif untuk pendakian dari kiri ke kanan dan
diberi tanda negatif untuk penurunan dari kiri.
Kelandaian jalan pada alinyemen vertikal terdiri tas dua bagian, yaitu :
a. Landai minimum, yaitu landai datar atau landai ideal (0%) dan dalam
perencanaan disarankan menggunakan :
1. Landai datar untuk jalan–jalan diatas tanah timbunan yang tidak mempunyai
kereb.
2. Landai 0,15% yang dianjurkan untuk jalan-jalan diatas tanah timbunan
dengan medan datar dan mempergunakan kereb.
3. Landai minimum sebesar 0,3% - 0,5% yang dinjurkan untuk jalan-jalan
didaerah galian atau jalan yang memakai kereb.
b. Landai maksimum, yaitu kelandaian diatas landai datar atau landai ideal dan
mulai memberikan pengaruh kepada gerak kenderaan mobil penumpang

26
walaupun tidak seberapa dibandingkan dengan gerakan truck yang terbebani
penuh. Panjang maksimum landai yang masih dapat diterima tanpa
mengakibatkan gangguan jalannya arus lalu lintas yang berarti atau biasa disebut
dengan panjang kritis landai, adalah panjang yang mengakibatkan pengurangan
kecepatan maksimum sebesar 25% Km/Jam. Kelandaian maksimum dan panjang
kritis landai tersebut seperti diperlihatkan pada tabel 2.5 dan 2.6 di bawah ini :

Tabel 2.10 Kelandaian Maksimum


Kecepatan Rencana (Km/Jam) 80 60 50 40 30 20
Kelandaian maks standart (%) 4 5 6 7 8 9
Kelandaian maks Mutlak (%) 8 9 10 11 12 13
Sumber : Spesifikasi Standart Untuk Perencanaan Geometrik Jalan Raya luar kota
(Rancangan Akhir) 1990

Tabel 2.11 Panjang Kritis Untuk Kelandaian-Kelandaian Yang melebihi Maksimum


Standart
Kecepatan Rencana (Km/Jam)
80 60 50 40 30 20
5 % 500 m 6% 7% 8% 9% 10%250m
500 m 500 m 420 m 340 m
6 % 600 m 7% 8% 9% 10% 11%250m
500 m 420 m 340 m 250 m
7 % 500 m 8% 9% 10% 11% 12%250m
340 m 340 m 250 m 250 m
8 % 420 m 9% 10% 11% 12% 13%250m
340 m 250 m 250 m 250 m
Sumber : Standart Spesifikasi Untuk Perencanaan Geometrik Jalan Raya luar kota
(Rancangan Akhir), 1990

27
2.8.2. Lengkung Vertikal
Alinyemen vertikal terdiri dari dua buah lengkung, yaitu :

a. Lengkung Vertikal Cekung, yaitu titik perpotongan antara kedua tangen yang
berada di bawah permukaan jalan yang disebut juga lengkung vertikal
positif (+).

Gambar 2.7 :Lengkung Vertikal Cekung

Sumber: Silvia Sukirman (1994)


b. Lengkung Vertikal Cembung, yaitu titik perpotongan antara kedua tangen
yang berada di atas permukaan jalan yang biasa dilambangkan dengan negatif
(-).

Gambar 2.11 : Lengkung Vertikal Cembung

28
Sumber: Silvia Sukirman (1994)

Bentuk lengkung vertikal yang umum dipergunakan adalah berbentuk


lengkung parabola sederhana.Titik A merupakan titik peralihan dari bagian tangen ke
bagian lengkung vertikal yang diberikan simbol PLV. Titik B merupakan titik
peralihan dari bagian lengkung vertikal ke bagian tangen dan di beri simbol PTV.
Titik PPV dalah titik perpotongan kedua bagiab tangen. Letak titik-titik pada
lengkung vertikal dinyatakan denagn X dan Y terhadap sumbu koordinat yang
melalui titik A.

Menurut Djamal Abdat (1981), untuk menentukan perbedaan aljabar landai


dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan berikut ini :

A = g1 – g2............................................................................……......(2.16)

Dimana :

A = Pergeseran aljabar landai (%)

titik tertinggi - titik terendah


.100 %
g1,2 = Kelandaian jalan = jarak

Berdasarkan harga A dan bentuk lengkung, maka diperoleh harga Lv,


sehingga pergeseran vertikal dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan di
bawah ini :

A . Lv
Ev = 800 ........................................................................................(2.17)

Dimana :

Ev = Pergeseran vertikal (m)

A = Perbedaan aljabar landai (%)

Lv = Panjang lengkung horizontal (m)

29
Untuk menntukan panjang station, dapat digunakan persamaan di bawah ini :

2
A.X
Y = 200 . Lv …………………………………………......
(2.18)

Dimana :
A = Perbedaan aljabar landai (m)

Y = Pergeseran vertikal dari setiap station (m)

Lv = Panjang lengkuk vertikal (m)

X = Jarak Horizontal (m)

2.8.3. Lajur pendakian


Lajur pendakian adalah lajur yang disediakan khusus untuk truk
bermuatan berat atau atau kendaraan lain yang berjalan dengan kecepatan
lebih rendah, sehingga kendaraan lain dapat mendahului kendaraan yang lebih
lambat tanpa menggunakan lajur lawan. Lajur pendakian harus disediakan
pada ruas jalan yang mempunyai kelandaian yang besar, menerus, dan volume
lalu lintasnya relatif padat.
Penempatan lajur pendakian harus dilakukan dengan ketentuan sebagai
berikut:
1) Disediakan pada jalan arteri dan kolektor
2) Apabila panjang kritis terlampaui, jalan memiliki VLHR > 15.000 SMP/hari,
dan persentase truk > 15%.
Lebar lajur pendakian sama dengan lebar lajur rencana. Dan lajur pendakian
dimulai 30 meter dari awal perubahan kelandaian dengan serongan sepanjang 45
meter dan berakhir 50 meter sesudah puncak kelandaian dengan serongan sepanjang
45 meter.

30
2.8.4. Kubikasi

Dalam perencanaan jalan raya terdapat penimbunan dan penggalian


yang kesemuanya ini harus diperhitungkan sedemikian rupa sehingga efesien dan
ekonomis. Untuk itu, besarnya galian harus lebih banyak dari pada timbunan,
karena hasil dari pada timbunan, karena hasil dari penggalian dapat digunakan
sebagai timbunan.

Untuk menghitung luas sebuah potongan melintang dengan metoda geometrik


(sering juga disebut dengan metoda trapesium), maka masing-masing bagian
dibagi-bagi luasnya sehingga menjadi bentuk-bentuk geometrik sederhana. Untuk
perhitungan luas timbunan dan luas galian seperti diperlihatkan pada gambar 2.13
serta persamaan yang dipergunakan di bawah ini :

a+b
.t
Luas Trapesium : A= 2 .................................... (2.19)

a. Luas Segitiga : A = ½ . a . t ..................................... (2.20)


b. Luas segi empat : A = b . t ........................................... (2.21)
Dimana :

A = Luas (m2)

a = Panjang alas atas (m)

b = panjang alas bawah (m)

t = Tinggi (m)

2.9. Drainase Permukaan Jalan

Drainase permukaan dimaksudkan untuk menampung, mengalirkan dan


kemudian membuang air (hujan) dari permukaan jalan agar tidak merusak perkerasan
jalan. Air hujan yang tidak segera terbuang akan merusak lapis-lapis perkerasan jalan.

31
2.10. Mass Curve Diagram
Menurut Carl F. Meyer dan David W. Gibson (1984), bahwa mass curve
diagram merupakan suatu cara untuk mengetahui besarnya perbandingan volume
galian serta timbunan, sehingga didapatkan volume komulatif dari kedua volume di
atas. Mass curve diagram dari pekerjaan tanah adalah grafik kontinue dari jumlah
netto dan diplotkan dengan station-station sebagai sumbu absis dari jumlah aljabar
galian serta timbunan sebagai koordinat. Biasanya, volume galian diberi tanda positif
sedangkan timbunan diberi tanda negatif.

2.11. Koordinasi Alinyemen


Alinemen vertikal, alinemen horizontal, dan potongan melintang jalan adalah
elemen elemen jalan sebagai keluaran perencanaan hares dikoordinasikan
sedemikian sehingga menghasilkan suatu bentuk jalan yang baik dalam arti
memudahkan pengemudi mengemudikan kendaraannya dengan aman dan nyaman.
Bentuk kesatuan ketiga elemen jalan tersebut diharapkan dapat memberikan kesan
atau petunjuk kepada pengemudi akan bentuk jalan yang akan dilalui di depannya
sehingga pengemudi dapat melakukan antisipasi lebih awal.
Koordinasi alinemen vertikal dan alinemen horizontal harus memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a) alinemen horizontal sebaiknya berimpit dengan alinemen vertikal, dan secara
ideal alinemen horizontal lebih panjang sedikit melingkupi alinemen
vertikal;
b) tikungan yang tajam pada bagian bawah lengkung vertikal cekung atau pada
bagian atas lengkung vertikal cembung harus dihindarkan;
c) lengkung vertikal cekung pada kelandaian jalan yang lurus dan panjang harus
dihindarkan;
d) dua atau lebih lengkung vertikal dalam satu lengkung horizontal harus
dihindarkan; dan
e) tikungan yang tajam di antara 2 bagian jalan yang lurus dan panjang harus

32
dihindarkan.

2.12. Tentang Tebal Perkerasan Jalan


Menentukan Nilai DDT (Daya Dukung Tanah)
Dari hasil pemeriksaan data CBR, kita dapat menentukan nilai DDT dengan
menggukan rumus :
DDT =4.3 x log(CBR segmen) +1.7....................................................................(2.22)

Menentukan Faktor Regional (FR)


Faktor regional berguna untuk memperhatikan kondisi jalan yang berbeda
antara yang satu dengan yang lain. Untuk mendapatkan nilai FR, terlebih dahulu
harus didapatkan nilai persen kendaraan berat. Data-data untuk menghitung %
kendaraan berat didapat dari data komposisi kendaraan rencana awal, dengan
memggunakan rumus :

% kendaraan berat = Jumlah kendaraan berat x 100 %.............................(2.23)


Jumlah semua kendaraan

Nilai FR dapat kita lihat pada tabel 2.12:


Tabel 2.12 Faktor Regional
Kelandaian I (<6% ) Kelandaian II (6-10% ) Kelandaian III (>6% )
Curah
%Kenderaan Berat %Kenderaan Berat %Kenderaan Berat
Hujan
≤ 30% > 30 % ≤ 30% > 30 % ≤ 30% > 30 %

Iklim I
<900 0.5 1.0-1.5 1.0 1.5-2.0 1.5 2.0-2.5
mm/Th

Iklim II
>900 1.5 2.0-2.5 2.0 2.5-3.0 2.5 3.0-3.5
mm/th

Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya dengan metode
Analisa Komponen, Depertemen Pekerjaan Umum (1987)

33
Tabel 2.12 di lampirkan untuk mengetahui : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan
Lentur Jalan Raya dengan metode Analisa Komponen, CBR tanah dasar rencanaNilai
CBR yang di dapat melalui metode grafis dan analitis.
Indeks Permukaan (IP)
Untuk mendapatkan nilai IP dapat dilihat dari nilai LER dan tabel indeks
permukaan padat dilihat pada table 2.13.

Tabel 2.13 Indeks Permukaan pada akhir umur rencana (IP)


Lintas Ekivalen Klasifikasi Jalan
Rencana Lokal Kolektor Arteri Tol
< 10 1,0 – 1,5 1,5 1,5 – 2,0 -
10 – 100 1,5 1,5 – 2,0 2,0 -
100 – 1000 1,5 – 2,0 2,0 2,0 – 2,5 -
> 1000 - 2,0 – 2,5 2,5 2,5
Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya dengan metode
Analisa Komponen, Depaertemem Pekerjaan Umum (1987) Tabel 2.13 di lampirkan
untuk mengetahui Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya dengan
metode Analisa Komponen Indeks Permukaan pada awal umur rencana (ITP) ITP
dapat ditentukan melalui grafik nomogram.Untuk menentukan ITP dari grafik
nomogram di perlukan data sebagai berikut, IP, IPo, DDT, LER, dan FR. Untuk
mendapatkan angka Ipo, dapat dilihat pada tabel 2.14.

Tabel 2.14 Indeks Permukaan pada awal umur rencana (IPo)


Rounghness*)
Jenis Permukaan IPo
(mm/km)
LASTON ≥4 ≤1000
3.9 - 3.5 >1000
LASBUTAG 3.9 - 3.5 ≤2000
3.4 - 3.0 >2000
HRA 3.49– 3.5 ≤ 2000
3.4 – 3.0 > 2000
BURDA 3.9 – 3.5 < 2000
BURTU 3.4 – 3.0 < 2000
LAPEN 3.4 – 3.0 ≤ 3000
2.9 – 2.5 > 3000
LATASBUM 2.9 – 2.5

34
BURAS 2.9 – 2.5
LATASIR 2.9 – 2.5
JALAN TANAH ≤ 2.4
JALAN KERIKIL ≤ 2.4
Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya dengan metode
Analisa Komponen, Depaertemem Pekerjaan Umum (1987)
Tabel 2.14 di lampirkan untuk mengetahuiIndeks Permukaan pada awal umur rencana
(IPo)
Menetapkan Tebal PerkerasanVariabel-variabel untuk menetapkan lapisan
tebal perkerasan dilihat pada lampiran tabel B.5 untuk lapisan pekerasan permukan,
lampiran tabel B.6 untuk pekerasan pondasi, dan untuk lapiasan pondasi bawah setiap
nilai ITP bila digunankan pondasi bawah makan tebal minimum adalah 10cm, dengan
rumus yang digunakan :
ITP = a1 x d1 + a2 x d2 + a3 x d3.................................................................(2.24)
Dimana :
a1 = koefisien kekuatan lapisan atas
a2 = koefisien kekuatan lapisan pondasi
a3 = koefisien kekuatan lapisan bawah
d1 = tebal pekerasan lapisan atas
d2 = tebal pekerasan lapisan pondasi
d3 = tebal pekerasan lapisan bawah

35

Anda mungkin juga menyukai