Anda di halaman 1dari 27

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Kanker Paru

Kanker paru adalah pertumbuhan sel kanker yang tidak terkendali

dalam jaringan paru yang dapat disebabkan oleh sejumlah karsinogen,

terutama asap rokok. Menurut World Health Organization (WHO), kanker

paru merupakan penyebab kematian utama dalam kelompok kanker. Kanker

paru memerlukan penanganan yang tepat. Buruknya diagnosis penyakit ini

berkaitan dengan jarangnya penderita datang ke dokter karena penyakitnya

masih berada pada stadium awal (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,

2003:1). Menurut Zhou, et al (2002: 2) hanya 15% kasus kanker paru yang

ditemukan sejak stadium awal. Deteksi dini dan penanganan yang tepat pada

pasien yang menderita kanker paru diharapkan mampu mengurangi angka

kematian yang diakibatkan oleh kanker paru dan dapat meningkatkan angka

harapan hidup.

1. Penyebab Kanker Paru

Penyebab pasti kanker paru belum diketahui, tetapi paparan zat yang

bersifat karsinogen merupakan faktor penyebab utama. Kejadian kanker paru

sangat berkaitan dengan merokok. Asap rokok yang telah diidentifikasi dapat

menyebabkan kanker dengan 63 jenis bersifat karsinogen dan beracun

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003: 2). Menurut American Cancer

Society (2013) kasus kanker paru disebabkan oleh rokok (perokok aktif)

10
sebesar 80%, dimana perokok pasif 20% sampai 30% beresiko terkena kanker

paru. Selain faktor utama penyebab kanker paru, terdapat faktor lain seperti

polusi udara, paparan radon, genetik dan lingkungan (Urman & Hosgood,

2015: 491).

2. Jenis Kanker Paru

Terdapat dua jenis kanker paru, yaitu (Varalakhsmi, 2013: 63):

a. Small Cell Lung Cancer (SCLC)

SCLC adalah jenis kanker paru yang tumbuh lebih cepat daripada

jenis kanker NSCLC, akan tetapi pertumbuhan SCLC lebih dapat

terkendali dengan kemoterapi. Sekitar 20% kasus kanker paru adalah

SCLC, atau sekitar 30.000 pasien setiap tahunnya terdiagnosis penyakit

tersebut.

b. Non Small Cell Lung Cancer (NSCLC)

Sekitar 75%-80% kasus kanker paru adalah NSCLC. Terdapat 3

tipe NSCLC, yaitu:

1) Adenokarsinoma

Adenokarsinoma adalah jenis dari NSCLC yang paling umum dari

kanker paru dan lebih banyak muncul pada wanita. Kanker tipe ini

berkembang dari sel-sel yang memproduksi lendir pada permukaan

saluran udara.

2) Karsinoma skuamosa

11
Jenis ini paling umum dari kanker paru serta paling banyak terjadi

pada pria dan orang tua. Karsinoma skuamosa berkembang dalam sel

yang mengisi saluran udara, dan kanker ini tumbuh relatif lambat.

3) Karsinoma sel besar

Pertama kali muncul biasanya di saluran pernapasan yang lebih kecil

dan dapat menyebar dengan cepat. Tipe ini sering disebut juga

karsinoma tidak berdiferensiasi karena bentuk sel kanker ini bundar

besar.

3. Tahapan Klasifikasi Stadium Kanker Paru

Menurut Global Bioscience (2013) tahapan kanker paru adalah sebagai

berikut:

a. Tahap Perkembangan SCLC

1) Tahap terbatas merupakan tahapan kanker yang hanya ditemukan pada

satu bagian paru-paru saja dan pada jaringan di sekitarnya.

2) Tahap ekstensif merupakan tahapan kanker yang ditemukan pada

jaringan dada di luar paru-paru ataupun ditemukan pada organ-organ

tubuh yang jauh.

b. Tahap Perkembangan NSCLC

1) Tahap tersembunyi merupakan tahap ditemukannya sel kanker pada

dahak (sputum) pasien di dalam sampel air saat bronkoskopi, tetapi

tidak terlihat adanya tumor di paru-paru.

2) Stadium 0 merupakan tahap ditemukannya sel-sel kanker hanya pada

lapisan terdalam paru-paru dan tidak bersifat invasif.

12
3) Stadium I merupakan tahap kanker yang hanya ditemukan pada paru-

paru dan belum menyebar ke kelenjar getah bening sekitarnya.

4) Stadium II merupakan tahap kanker yang ditemukan pada paru-paru

dan kelenjar getah bening di dekatnya.

5) Stadium III merupakan tahap kanker yang telah menyebar ke daerah

di sekitarnya, seperti dinding dada, diafragma, pembuluh besar atau

kelenjar getah bening di sisi yang sama atau pun sisi berlawanan dari

tumor tersebut.

6) Stadium IV merupakan tahap kanker yang ditemukan lebih dari satu

lobus paru. Sel-sel kanker telah menyebar juga ke organ tubuh

lainnya, misalnya ke otak, kelenjar adrenalin, hati, dan tulang.

4. Gejala Kanker Paru

Gambaran penyakit kanker paru terdiri dari keluhan subjektif dan

gejala objektif. Keluhan utama dapat berupa batuk-batuk atau tanpa dahak,

batuk darah, sesak napas, suara serak, sakit dada, sulit menelan, dan terdapat

benjolan di pangkal leher. Gejala atau keluhan akibat metastasis di luar paru,

seperti kelainan yang timbul karena kompresi hebat di otak, pembesaran

hepar, dan berat badan berkurang juga merupakan ciri dari adanya kanker

paru. (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003: 3)

5. Deteksi Dini Kanker Paru

Kanker paru dapat terdeteksi dengan melakukan beberapa cara, yaitu

biopsy dengan pemeriksaan mikroskopik menggunakan contoh jaringan

tubuh. Computed tomography (CT) atau pemeriksaan radiologi dengan

13
menggunakan X-ray dapat digunakan untuk menghasilkan citra bagian tubuh

tertentu, sedangkan magnetic resonance imaging (MRI) digunakan untuk

pemeriksaan tanpa X-ray namun menggunakan medan magnet dan frekuensi

radio (Agency for Toxic Subtances and Disease Registry, 2013: 4).

Penelitian yang dilakukan oleh Udeshani (2011: 425) yang

menyatakan bahwa pada umumnya deteksi kanker paru dilakukan melalui

pemeriksaan radiologi atau CT. Deteksi dini kanker paru yang diperoleh dari

hasil CT adalah proyeksi radiografi dari paru. Paru-paru yang tidak sehat

akan terdapat nodul di paru-paru pada citra foto paru. Nodul tersebut tidak

selalu menjadi indikasi kanker paru karena nodul yang muncul dapat juga

disebabkan oleh penyakit paru lain seperti tuberculosis atau pneumonia.

Menurut (Japanese Society of Radiology Technology, 1997) nodul

yang terdeteksi pada paru-paru dikategorikan menjadi dua yaitu non

cancerous nodule (tumor jinak) dan cancerous nodule (tumor ganas). Tumor

jinak yang terdapat pada jaringan paru tidak akan menyerang selain organ paru

karena tumor jinak hanya menyerang satu tempat dan tidak menyebar ke

organ tubuh lainnya Agency for Toxic Subtances and Disease Registry

(2013:1) menyatakan bahwa tumor jinak bukanlah kanker karena tumor jenis

ini bisa diangkat dan tidak kambuh kembali, sedangkan tumor ganas adalah

sel kanker yang menyebar dan membahayakan organ dan jaringan yang ada di

sekitar tumor tersebut. Pertumbuhan tumor ganas pada jaringan paru sangat

berbahaya apabila tidak dapat dikendalikan, karena sel kanker ini dapat

menyebar hingga keluar organ paru dan berkembang.

14
B. Preprocessing Citra

Teknik image enhancement atau operasi pengolahan citra merupakan

salah satu teknik untuk meningkatkan kualitas citra. Hal ini bertujuan untuk

memperbaiki kualitas tampilan citra atau menonjolkan ciri tertentu dalam

citra. Citra yang digunakan dalam pengolahan ini adalah citra grayscale. Citra

grayscale merupakan citra digital dengan warna yang dimiliki adalah warna

hitam, keabuan, dan putih. Tingkatan keabuaan di sini merupakan warna abu

dengan berbagai tingkatan dari hitam hingga mendekati putih. Citra grayscale

memiliki kedalaman warna 8 bit (256 komposisi warna keabuan).

Pengolahan citra dapat dilakukan dengan beberapa operasi, yaitu

operasi titik, operasi spasial, dan operasi transformasi (Rinaldi Munir, 2004:

83). Operasi titik dikenal juga dengan nama operasi pointwise yang terdiri dari

pengaksesan pixel pada lokasi yang diberikan, memodifikasinya dengan

operasi-operasi lanjar (linear) atau nirlanjar (non linear) dan menempatkan

nilai pixel baru pada lokasi yang bersesuaian di dalam citra yang baru. Operasi

diulangi untuk keseluruhan pixel di dalam citra. Setiap pixel mewakili tidak

hanya satu titik dalam sebuah citra melainkan sebuah bagian berupa kotak

yang merupakan bagian terkecil (sel) (Darma Putra, 2010: 35).

Secara sistematis, operasi titik dapat dinyatakan sebagai (Gambar 2.1):

( ) * ( )+ (2.1)
keterangan,

15
citra input

citra output

operasi linier maupun nonlinier

𝑡𝑖𝑡𝑖𝑘 *𝑓(𝑥 𝑦)+

Gambar 2.1 Operasi Titik (Rinaldi Munir, 2004: 42)

Operasi titik merupakan suatu teknik operasi pengolahan citra yang

bertujuan untuk memodifikasi histogram citra masukan agar sesuai dengan

karakteristik yang diharapkan. Histogram citra adalah grafik yang

menggambarkan penyebaran nilai-nilai intensitas pixel pada suatu citra atau

bagian tertentu di dalam citra (Rinaldi Munir, 2004: 83). Beberapa teknik

operasi pengolahan citra melalui operasi titik adalah intensity adjustment,

histogram aqualization, dan thresholding. Teknik operasi titik yang

digunakan pada tugas akhir ini adalah operasi titik intensity adjustment.

Intensity adjustment bekerja dengan cara melakukan pemetaan linier

terhadap nilai intensitas pada histogram awal menjadi nilai intensitas pada

histogram yang baru. Histogram dapat digunakan untuk menentukan suatu

konstanta yang merupakan faktor penyesuaian pada operasi titik intensity

adjustment. Secara matematis, operasi titik intensity adjustment ditulis

sebagai berikut.

( ) ( )

16
dengan ( ) adalah citra setelah penyesuaian dan ( ) adalah citra

sebelum penyesuaian, sedangkan b adalah suatu konstanta yang merupakan

faktor penyesuaian. Jika b positif, kecerahan gambar bertambah, sebaliknya

jika b negatif kecerahan gambar berkurang (Rinaldi Munir, 2004: 92).

Menurut Darma Putra (2010: 121), proses penyesuaian dilakukan

dengan menambahkan atau mengurangkan nilai setiap pixel dengan suatu

konstanta. Apabila nilai pixel setelah penyesuaian melebihi nilai maksimum

intensitas yang mungkin untuk citra grayscale (nilai maksimum intensitas

adalah 255), maka nilai pixel tersebut akan dijadikan 255. Demikian pula

sebaliknya, jika nilai pixel hasil penyesuaian lebih kecil dari 0 (nol), maka

nilai pixel tersebut dijadikan 0.

Perintah umum pada Matlab R2010a untuk melakukan operasi titik

intensity adjustment adalah sebagai berikut:

J = imadjust(I,[low_in,high_in),[low_out,high_out])

dimana, low_in merupakan nilai intensitas yang akan dipetakan sebagai

low_out dan high_in merupakan nilai intensitas yang akan dipetakan

sebagai high_out. Berikut contoh penggunaan teknik operasi titik intensity

adjustment.

17
Frekuensi nilai keabuan pixel
4500

4000

3500

3000

2500

2000

1500

1000

500

0 50 100 150 200 250

Nilai keabuan pixel


(a) (b)
Gambar 2.2. (a) Citra N1.jpg sebelum dilakukan operasi titik.
(b) Data histogram citra N1.jpg sebelum dilakukan operasi titik

Frekuensi nilai keabuan pixel 4500

4000

3500

3000

2500

2000

1500

1000

500

0 50 100 150 200 250

Nilai keabuan pixel

(a) (b)
Gambar 2.3. (a) Citra N1.jpg setelah dilakukan operasi titik.
(b) Data histogram citra N1.jpg setelah dilakukan operasi titik

Perintah yang dimasukkan pada Matlab adalah:

I=imread(‘N1.jpg’);

J=imadjust(I,[0.15 0.9],[0 1]);

figure, imshow(I); figure, imhist (I);

figure, imshow(J); figure, imhist (J);

Citra N1.jpg yang ditunjukkan pada (Gambar 2.2(a)) merupakan citra

dengan nilai kekontrasan yang rendah. Berdasarkan histogramnya (Gambar

2.2(b)), dapat diketahui bahwa citra tersebut memiliki pixel yang rendah pada

18
intensitas di bawah 40 dan di atas 225. Nilai-nilai keabuan pixel pada

histogram (Gambar 2.2(b)) belum merata dari rentang 0 sampai 255, oleh

karena itu melalui operasi titik intensity adjustment nilai-nilai keabuan pixel

akan direntangkan dari 0 sampai 255 seperti pada (Gambar 2.3 (b)), dengan

kata lain seluruh nilai keabuan pixel terpakai secara merata.

C. Ekstraksi Citra

Salah satu teknik ekstraksi citra adalah Gray Level Co-occurrence

Matrix (GLCM). GLCM banyak digunakan dalam klasifikasi citra dan fitur-

fitur yang diperoleh dari GLCM dapat membantu memahami rincian gambar

secara keseluruhan dalam hal tekstur (Gadkari, 2004: 8). Ekstraksi citra yang

dilakukan dengan metode GLCM dapat menghasilkan 14 fitur ekstraksi yaitu

energy, contrast, correlation, sum of square variance, invers difference

moment, sum average, sum entropy, sum variance, entropy, difference

variance, difference entropy, maximum probability, homogeneity, dan

dissimiliraity.

1. Energy

Energy adalah fitur yang bekerja dengan mengukur konsentrasi pasangan

intensitas pada matriks koakurensi. Rumus energy (E) adalah sebagai

berikut (Sharma & Mukharjee, 2013: 331):

∑ ∑ * ( )+ (2.2)
dengan,

( ) menunjukkan pixel pada baris ke- dan kolom ke- dengan

19
banyak derajat keabuan (grayscale) yang diperoleh dari citra.

Nilai energi semakin besar apabila pixel yang memenuhi syarat matriks

intensitas berkumpul pada beberapa koordinat dan mengecil apabila

letaknya menyebar.

2. Contrast

Contrast merupakan perbedaan intensitas antara nilai tertinggi (terang) dan

nilai terendah (gelap) dari pixel yang saling berdekatan. Suatu contrast

merupakan ukuran variasi antar derajat keabuan dari suatu daerah citra

(Gadkari, 2014: 13). Rumus contrast (C) adalah sebagai berikut (Kalas,

2010: 19):

∑ ∑ ( )( ) (2.3)
dengan,

( ) menunjukkan pixel pada baris ke- dan kolom ke- dengan

banyak derajat keabuan (grayscale) yang diperoleh dari citra.

Nilai contrast membesar jika dipengaruhi oleh variasi intensitas dalam

citra tinggi. Nilai contrast semakin kecil apabila variasi rendah.

3. Correlation

Correlation suatu citra menunjukkan ukuran ketergantungan linear derajat

keabuan (grayscale) citra, sehingga dapat menujukkan adanya struktur

linear dalam citra yang dirumuskan sebagai berikut (Mohanaiah, et al,

2013:2):

*( ) ( )+
∑ ∑ (2.4)

20
dengan,

( ) menunjukkan pixel pada baris ke- dan kolom ke- dengan

∑ ∑ *( ) ( )+

(nilai rata-rata elemen kolom pada histogram citra),

∑ ∑ *( ) ( )+

(nilai rata-rata elemen baris pada histogram citra),

∑ ∑ *( ) ( )+

(standar deviasi elemen kolom pada histogram citra),

∑ ∑ {( ) ( )}

(standar deviasi elemen baris pada histogram citra).

banyak derajat keabuan (grayscale) yang diperoleh dari citra.

4. Sum of square (variance)

Variance adalah ukuran statistik yang mengukur tingkat keragaman suatu

pixel pada citra. Rumus sum of square variance (SSV) adalah sebagai

berikut (Anami & Burkpalli, 2009: 11):

∑ ∑ ( )( ) (2.5)
dengan,

rata-rata ∑ ∑ ( ),

( ) menunjukkan pixel pada baris ke- dan kolom ke- dengan

banyak derajat keabuan (grayscale) yang diperoleh dari citra.

21
5. Inverse Difference Moment (IDM)

IDM adalah ukuran dari homogenitas lokal. Nilai IDM tinggi ketika

derajat keabuan (grayscale) lokal seragam dan invers dari GLCM tinggi

(Mohanaiah, et al, 2013: 2). Rumus IDM adalah sebagai berikut (Sharma

& Mukharjee, 2013: 331):

( )
∑ ∑ (2.6)
( )

dengan,

( ) menunjukkan pixel pada baris ke- dan kolom ke- dengan

banyak derajat keabuan (grayscale) yang diperoleh dari citra.

6. Sum average

Sum average adalah fitur yang menunjukkan seberapa banyak nilai rata-

rata pixel yang ada dalam citra. Rumus sum average (SA) adalah sebagai

berikut (Haralick, et al, 1973: 619):

∑ {( ) ( )} (2.7)
( )

dengan,

∑ ∑ ( )
( )

( ) menunjukkan pixel pada baris ke- dan kolom ke- dengan

banyak derajat keabuan (grayscale) yang diperoleh dari citra.

22
7. Sum entropy

Sum entropy adalah fitur yang menunjukkan seberapa banyak derajat

keabuan (grayscale) yang acak. Rumus sum entropy (SE) adalah sebagai

berikut (Haralick, et al, 1973: 619):

∑ { } (2.8)
( ) ( )

dengan,

∑ ∑ ( )
( )

( ) menunjukkan pixel pada baris ke- dan kolom ke- dengan

banyak derajat keabuan (grayscale) yang diperoleh dari citra.

8. Sum variance

Sum variance menunjukkan seberapa banyak level keabu-abuan yang

bervariasi dari nilai rata-rata (Sharma & Mukharjee, 2013: 331). Rumus

sum variance (SV) adalah sebagai berikut (Haralick, et al, 1973: 619):

∑ ( ) (2.9)
( )

dengan,

= sum entropy,

∑ ∑ ( )
( )

banyak derajat keabuan (grayscale) yang diperoleh dari citra.

9. Entropy

Entropy adalah fitur untuk mengukur ketidakteraturan dari distribusi

intensitas. Entropy menunjukkan jumlah informasi dari sebuah citra yang

23
dibutuhkan untuk mengkompres citra (Mohanaiah, et al, 2013: 2). Rumus

entropy (EN) dari suatu citra adalah sebagai berikut (Haralick, et al, 1973:

619):

∑ ∑ ( ) * ( )+ (2.10)
dengan,

( ) menunjukkan pixel pada baris ke- dan kolom ke- dengan

banyak derajat keabuan (grayscale) yang diperoleh dari citra.

10. Difference variance

Difference variance adalah fitur yang menunjukkan perbedaan tingkat

keragaman suatu pixel pada citra. Rumus difference variance (DV) adalah

sebagai berikut (Haralick, et al, 1973: 619):

( ) (2.11)
( )

dengan,

∑ ∑ ( ) ( )
( )

banyak derajat keabuan (grayscale) yang diperoleh dari citra.

11. Difference entropy

Difference entropy adalah fitur yang menunjukkan ketidakteraturan dalam

suatu citra. Rumus difference entropy (DE) adalah sebagai berikut

(Haralick, et al, 1973: 619):

∑ ( ){ ( )} (2.12)
( ) ( )

dengan,

24
∑ ∑ ( ) ( )
( )

banyak derajat keabuan (grayscale) yang diperoleh dari citra.

12. Maximum probability

Maximum probability menunjukkan derajat keabuan (grayscale) yang

memenuhi relasi pada persamaan entropy dan dirumuskan sebagai berikut

(Anami & Burkpalli, 2009: 11):

* ( )+ (2.13)
dengan,

( ) menunjukkan pixel pada baris ke- dan kolom ke- dengan

banyak derajat keabuan (grayscale) yang diperoleh dari citra.

13. Homogeneity

Homogeneity memberikan nilai yang merupakan ukuran kedekatan dari

distribusi elemen di GLCM ke diagonal GLCM dan dirumuskan sebagai

berikut (Sharma & Mukharjee, 2013: 331):

( )
∑ ∑ (2.14)

dengan,

( ) menunjukkan pixel pada baris ke- dan kolom ke- dengan

banyak derajat keabuan (grayscale) yang diperoleh dari citra.

14. Dissimiliraity

Dissimiliraity menunjukkan perbedaan tiap pixel dan dirumuskan sebagai

berikut (Anami & Burkpalli, 2009: 11):

25
∑ ∑ ( ) (2.15)
dengan,

( ) menunjukkan pixel pada baris ke- dan kolom ke- dengan

banyak derajat keabuan (grayscale) yang diperoleh dari citra.

D. Neural Network (NN)

NN merupakan sistem pengolahan informasi yang memiliki

karakteristik menyerupai jaringan saraf biologis (Fauset, 1994: 3). NN juga

merupakan jaringan untuk memodelkan cara kerja otak manusia. NN adalah

sebuah arsitektur yang terdiri dari banyak neuron yang bekerja bersama untuk

memberikan respon pada input (Yeung, et al, 2010: 1). Neuron adalah unit

pemroses informasi yang menjadi dasar dalam pengoperasian NN. Terdapat 3

lapisan penyusun NN yaitu lapisan input (input layer), lapisan tersembunyi

(hidden layer), dan lapisan output (output layer) (Siang, 2005: 23).

1. Lapisan input

Neuron pada lapisan input menerima input dari luar yang berupa gambaran

dari suatu permasalahan.

2. Lapisan tersembunyi (hidden layer)

Lapisan tersembunyi tersusun atas neuron-neuron yang berperan

meneruskan sinyal dari lapisan input. Neuron pada lapisan tersembunyi

merupakan suatu sistem pemrosesan dimana terjadi pemrosesan informasi

yang dapat meningkatkan kemampuan NN dalam menyelesaikan masalah

26
yang lebih kompleks. Output dari lapisan tersembunyi tidak dapat diamati

secara langsung.

3. Lapisan output

Output dari lapisan output merupakan hasil NN atau solusi dari

permasalahan yang digambarkan pada lapisan input.

Model NN ditentukan oleh tiga hal (Fausett, 1994: 3) yaitu, arsitektur

jaringan, algoritma pembelajaran, dan fungsi aktivasi. Fungsi aktivasi

merupakan salah satu hal yang menentukan karakteristik dari NN. Arsitektur

jaringan merupakan pola hubungan yang terjalin antar neuron. Sedangkan

algoritma pembelajaran merupakan metode untuk menentukan bobot-bobot

pada jaringan.

1. Arsitektur Jaringan

Arsitektur jaringan akan menentukan keberhasilan target yang dicapai

karena tidak semua permasalahan dapat diselesaikan dengan arsitektur yang

sama. Beberapa arsitektur jaringan yang sering dipakai dalam jaringan saraf

antara lain (Siang, 2005: 24):

a. Jaringan Lapisan Tunggal (Single Layer)

Single layer adalah sekumpulan input neuron yang dihubungkan

langsung dengan sekumpulan outputnya. Arsitektur single layer ditunjukkan

oleh (Gambar 2.4). Beberapa neuron pada lapisan input dan lapisan output

saling terhubung dan memiliki bobot masing-masing (Kriesel, 2005: 74)

27
𝑊
𝑋 𝑌
𝑊𝑗
𝑊𝑚
⋮ ⋮
𝑊𝑖
𝑊𝑗𝑖 𝑌𝑗
𝑋𝑖
𝑊𝑚𝑖
⋮ ⋮
𝑊𝑛
𝑊𝑗𝑛
𝑋𝑛 𝑌𝑚
𝑊𝑚𝑛

Gambar 2.4 Arsitektur Jaringan Lapisan Tunggal (Single Layer)

b. Jaringan Lapisan Banyak (Multi Layer)

Jaringan multi layer memiliki satu atau lebih lapisan yang terletak

diantara lapisan input dan lapisan output (memiliki satu atau lebih lapisan

tersembunyi). Jaringan multi layer juga dapat menyelesaikan permasalahan

yang lebih sulit dari lapisan single layer. Model jaringan multi layer dapat

dilihat pada (Gambar 2.5).

𝑋 𝑌
𝑉 𝑊
𝑍
𝑉𝑝 𝑊𝑝
⋮ ⋮

𝑉𝑖 𝑊𝑗
𝑋𝑖 𝑌𝑗
𝑉𝑝𝑖 𝑊𝑗𝑝
⋮ 𝑍𝑝 ⋮
𝑉𝑛 𝑊𝑚

𝑋𝑛 𝑌𝑚
𝑉𝑝𝑛 𝑊𝑚𝑝

Lapisan Lapisan Tersembunyi Lapisan Output

Gambar 2.5 Arsitektur Jaringan Lapisan Banyak (Multi Layer)

28
c. Jaringan Lapisan Kompetitif

Jaringan syaraf dengan lapisan kompetitif memiliki bentuk yang

berbeda dengan jaringan lapisan single layer maupun jaringan multi layer,

dimana neuron yang satu dengan neuron yang lainnya saling terhubung.

(Gambar 2.6) berikut merupakan salah satu contoh aksitektur jaringan

kompetitif.

1 𝜖
1
𝐴 𝐴𝑚

𝜖
𝜖 𝜖

𝜖
1 1
𝐴𝑖 𝐴𝑗
𝜖

Gambar 2.6 Arsitektur Jaringan Lapisan Kompetitif

2. Fungsi Aktivasi

Fungsi aktivasi digunakan untuk mengaktifkan setiap neuron yang ada

pada jaringan. Fungsi aktivasi akan menentukan output suatu unit (mengubah

sinyal input menjadi sinyal output) yang akan dikirim ke unit lain. Ada

beberapa fungsi aktivasi yang sering digunakan dalam jaringan saraf tiruan

(Fausett, 1994: 17-19), antara lain:

a. Fungsi Undak Biner (Hard Limit)

Jaringan dengan lapisan tunggal sering menggunakan fungsi undak

(step function) untuk mengkonversikan input dari suatu variabel yang bernilai

kontinu ke suatu output biner (0 atau 1). Fungsi ini sering digunakan pada

29
jaringan dengan lapisan tunggal. Pada Matlab R2010a, perintah untuk

menggunakan fungsi undak biner adalah hardlim. (Gambar 2.7) adalah fungsi

undak biner (hard limit) dengan rumus sebagai berikut:

( ) { (2.16)

x
𝜃
Gambar 2.7 Fungsi Aktivasi Undak Biner (Hard Limit)

b. Fungsi Bipolar (Symetric Hard Limit)

Fungsi bipolar mirip dengan fungsi undak biner, perbedaannya terletak

pada nilai output yang dihasilkan. Nilai output bipolar berupa 1 dan -1

(Gambar 2.8). Pada Matlab R2010a, perintah untuk menggunakan fungsi

bipolar adalah hardlims. Fungsi bipolar dirumuskan sebagai berikut:

( ) { (2.17)

y
1

0 x

-1

Gambar 2.8 Fungsi Aktivasi Bipolar (Symetric Hard Limit)

30
c. Fungsi Identitas (Linier)

Fungsi linier memiliki nilai output yang sama dengan nilai inputnya

(Gambar 2.9). Fungsi identitas sering dipakai apabila menginginkan output

berupa sembarang bilangan riil. Pada Matlab R2010a, perintah untuk

menggunakan fungsi identitas (linier) adalah purelin. Fungsi linier

dirumuskan sebagai berikut:

( ) (2.18)

-1 1 x

-1

Gambar 2.9 Fungsi Aktivasi Identitas (Linier)

d. Fungsi Sigmoid Biner

Fungsi sigmoid biner sering digunakan karena nilai fungsinya terletak

antara 0 dan 1 dan dapat diturunkan dengan mudah. Pada Matlab R2010a,

perintah untuk menggunakan fungsi sigmoid biner adalah logsig. Fungsi

sigmoid biner dirumuskan sebagai berikut:

( ) (2.19)

dengan turunan pertama fungsi pada Persamaan (2.19) adalah:

( ) (2.20)

31
e. Fungsi Sigmoid Bipolar

Fungsi sigmoid bipolar hampir sama dengan fungsi sigmoid biner,

perbedaannya terletak pada rentang nilai outputnya. Rentang nilai output

fungsi sigmoid bipolar adalah -1 sampai 1. Pada Matlab R2010a, perintah

untuk menggunakan fungsi sigmoid bipolar adalah tagsig. Fungsi sigmoid

bipolar dirumuskan sebagai sebagai:

( ) (2.21)

dengan turunan pertama fungsi pada Persamaan (2.21) adalah:

( ) (2.22)

3. Algoritma Pembelajaran

Algoritma pembelajaran bertujuan untuk melakukan pengaturan

terhadap bobot yang ada pada NN, sehingga diperoleh bobot akhir yang tepat

sesuai dengan pola data yang dilatih. Pada proses pembelajaran akan terjadi

perbaikan bobot-bobot berdasarkan algoaritma tertentu. Nilai bobot akan

bertambah jika informasi yang diberikan ke suatu neuron mampu

tersampaikan ke neuron yang lain. Sebaliknya, nilai bobot akan berkurang jika

informasi yang diberikan ke suatu neuron tidak tersampaikan ke neuron

lainnya. Nilai bobot akan diubah secara dinamis hingga mencapai suatu nilai

yang cukup seimbang pada saat pembelajaran dilakukan pada input yang

berbeda. (Sri Kusumadewi dan Sri Hartati, 2006: 84). Ada 2 metode

pembelajaran NN, yaitu pembelajaran terawasi (supervised learning) dan

pembelajaran tak terawasi (unsupervised learning).

32
a. Pembelajaran Terawasi (Supervised Learning)

Metode pembelajaran pada NN disebut terawasi jika, output yang

diharapkan telah diketahui sebelumnya. Satu pola input akan diberikan ke

suatu neuron pada lapisan input. Selanjutnya pola akan dirambatkan sepanjang

NN hingga sampai ke neuron pada lapisan output. Lapisan output akan

membangkitkan pola output yang akan dicocokan dengan pola output

targetnya. Error muncul apabila terdapat perbedaan antara pola output hasil

pembelajaran dengan pola target. Diperlukan pembelajaran lagi apabila nilai

error masih cukup besar.

b. Pembelajaran Tak Terawasi (Unsupervised Learning)

Pembelajaran tak terawasi tidak memerlukan target output dan tidak

dapat ditentukan hasil yang diharapkan selama proses pembelajaran. Pada

metode ini, tidak dapat ditentukan hasil outputnya. Selama proses

pembelajaran, nilai bobot disusun dalam suatu range tertentu sesuai dengan

nilai input yang diberikan. Tujuan pembelajaran ini adalah untuk

mengelompokkan unit-unit yang hampir sama ke dalam suatu area tertentu.

E. Ketepatan Hasil Klasifikasi

Keputusan medis mengenai tindakan medis yang harus dilakukan

bergantung pada hasil klasifikasi (diagnosa). Kemungkinan yang dapat terjadi

dalam hasil klasifikasi diagnosa ditunjukkan dalam (Tabel 2.1) berikut.

33
Tabel 2.1 Hasil Klasifikasi Uji Diagnosa

Test/Measure True Situation / Event Total


Performance Performance
Indicator Present Indicator Absent
Positive True Positive False Positive TP+FP
(TP) (FP)
Negative False Negative True Negative FN+TN
(FN) (TN)
Total TP+FN FP+TN TP+FP+FN+TN

Berdasarkan (Tabel 2.1), terdapat empat kemungkinan hasil

klasifikasi diagnosa yaitu:

1. True Positive (TP)

a. Klasifikasi asli citra menyatakan tumor dan hasil pembelajaran

menyatakan tumor,

b. Klasifikasi asli citra menyatakan kanker dan hasil pembelajaran

menyatakan kanker,

c. Klasifikasi asli citra menyatakan tumor dan hasil pembelajaran

menyatakan kanker,

d. Klasifikasi asli citra menyatakan kanker dan hasil pembelajaran

menyatakan tumor.

2. True Negative (TN)

Klasifikasi asli citra menyatakan normal dan hasil pembelajaran

menyatakan normal.

3. False Positive (FP)

a. Klasifikasi asli citra menyatakan normal dan hasil pembelajaran

menyatakan tumor,

34
b. Klasifikasi asli citra menyatakan normal dan hasil pembelajaran

menyatakan kanker.

4. False Negative (FN)

a. Klasifikasi asli citra menyatakan tumor dan hasil pembelajaran

menyatakan normal,

b. Klasifikasi asli citra menyatakan kanker dan hasil pembelajaran

menyatakan normal.

Tingkat ketelitian diagnosa dapat diukur dengan sensitivitas,

spesifisitas, dan akurasi. Sensitivitas, spesifisitas, dan akurasi adalah statistik

yang umum digunakan untuk mendeskripsikan hasil uji diagnosa (Zhu, et al,

2010: 2). Ketiganya digunakan untuk mengetahui seberapa bagus dan

terpercaya hasil klasifikasi yang telah dilakukan.

1. Sensitivitas

Zhu, et al (2010: 2) menyatakan proporsi dari true positive

teridentifikasi secara tepat dalam uji diagnosa. Menurut Spitalnic (2004: 1)

sensitivitas adalah peluang hasil uji positif yang diberikan kepada pasien

dengan kondisi memang berpenyakit. Contohnya jika sensitivitas = 95%,

artinya ketika dilakukan uji diagnosa pada pasien yang berpenyakit, maka

pasien tersebut berpeluang 95% dinyatakan positive (berpenyakit). Rumus

sensitivitas adalah sebagai berikut (Zhu, et al, 2010: 2):

(2.23)

35
2. Spesifisitas

Spesifisitas adalah proporsi dari true negative yang teridentifikasi

secara tepat dalam uji diagnosa (Zhu, et al, 2010: 2). Spitalnic (2004: 1)

menyatakan bahwa spesifisitas adalah peluang hasil uji negatif diberikan

kepada pasien dengan kondisi memang tidak berpenyakit. Contohnya jika

spesifisitas = 95%, artinya ketika dilakukan uji diagnosa pada pasien yang

tidak berpenyakit maka pasien berpeluang 95% dinyatakan negative (tidak

berpenyakit). Rumus spesifisitas adalah sebagai berikut (Zhu, et al, 2010: 2):

(2.24)

3. Akurasi

Diagnosa dikatakan akurat jika merefleksikan nilai kebenaran atau

mendeteksi adanya substansi yang diukur (Lord, 2008: 11). Akurasi

merupakan kemampuan dalam mengidentifikasi hasil positif maupun hasil

negatif secara tepat. Contohnya, jika nilai akurasi = 95%, artinya klasifikasi

akurat sebesar 95%, baik untuk pasien yang dinyatakan tidak berpenyakit

maupun dinyatakan memiliki penyakit. Rumus sensitivitas adalah sebagai

berikut (Zhu, et al, 2010: 2):

(2.25)

36

Anda mungkin juga menyukai